Anda di halaman 1dari 21

Gambaran radiologi :

a. Kehilangan tulang alveolar disekitar Molar pertama dan Incisivus pada usia
pubertas
b. Suatu bentuk kerusakan tulang alveolar yang meluas dari permukaan distal
gigi P2 hingga permukaan mesial dari gigi M2
c. Kerusakan tulang dalam arah vertikal lebih sering dijumpai pada daerah gigi
Molar sebab tulang interdental di daerah ini lebih luas dibanding di daerah
Incisivus

2. Generalized Aggresive Periodontitis

Definisi : merupakan suatu penyakit yang umumnya terjadi


pada orang dewasa pada usia dibawah 30 thn / lebih. Penyakit
ini ditandai dengan hilangnya attachment interproksimal secara
keseluruhan yang mempengaruhi 3 gigi permanen lainnya
selain Molar pertama dan Incivus.

Karakteristik klinik

a. Umumnya memiliki jumlah plak bakterial yang lebih sedikit yang


berhubungan dengan gigi yang terlibat. Secara kuantitatif, jumlah plak
cenderung tidak seimbang dengan kerusakan periodontal yang terjadi
secara kualitatif. A. Actinomycetem comitans dan Bacteroides tonsythus
ditemukan padaplak gigi penderita.

1
b. Beberapa pasien Generalized Aggresive Periodontitis mengalami kondisi
sistemik seperti pada kekurangan berat badan, depresi mental dan malaise

GambaranRadiologis :
a. Terdapat bentuk kerusakan tulang yang parah dengan jumlah plak gigi yang
minimal.

b. Terlihat kehilangan tulang alveolar yang mendukung lebih


dari tiga gigi kecuali molar pertama dan incisivus.

2.3 Etiologi Periodontitis

Penyebab atau etiologi periodontitis dapat dipengaruhi beberapa


faktor, yaitu faktor local dan faktor sistemik. Periodontitis sering terjadi
akibat perluasan infeksi dari karies yang tidak dirawat sampai akhirnya
menjadi gangrene. Periodontitis dapat pula muncul akibat gingivitis kronis
yang tidak dirawat yang kemudian berdampak pada kesehatan jaringan
periodontium.

Faktor lokal :

Beberapa faktor local yang dapat menyebabkan Periodontitis, yaitu :

a. Dental plak

2
Plak adalah lapisan tipis pada permukaan gigi yang berisi bakteri
beserta produknya. Berperan penting pada terjadinya karies. Masa plak
ini terdiri dari kumpulan debris yang merupakan koloni campuran
bakteri, saliva, sisa makanan, epitel dan leukosit.
b. Kalkulus
Kalkulus adalah suatu masa yang terdeposit pada permukaan gigi,
biasanya pada sela-sela gigi. Kalkulus tidak bias lepas dengan sikat
gigi dan harus dengan alat khusus.

c. Food imfaction
Food imfaction adalah terdesaknya makanan/sisa makanan dalam
jaringan peridontum terutama ginggivaoleh karena tekanan
pengunyahan sering terjadi pada bagian interproximal. Merupakan
tempat yang baik bagi pertumbuhan bakteri dan produknya dapat
mengiritasi ginggiva.
d. Trauma gigi
Trauma gigi diakibatkan karena adanya tekanan oklusal pada
pengunyahan, jaringan periodontum menerima daya tekan yang besar.
Lama kelamaanjaringan periodontum mengalami pelebaran, sehingga
daerah tersebut mudah menjadi focus infeksi, atau bias juga karena
daya tekan yang besar yang diteruskan sampai ke akar gigi dan
jaringan periodontum sekitar, sehingga mudah terjadi inflamasi atau
peradangan pada daerah tersebut.
e. Karies gigi
Karies yang terus menerus meluas sampai profunda, sehingga
akhirnya menyebabkan periodontitisf.
f. Gigi gangrene
Perluasan infeksi daerah gangrene gigi ke jaringan yang paling
dekat yaitu jaringan periodontium sehingga menyebabkan
periodontitis.

Faktor sistemik :

3
Dengan adanya penyakit sistemik tertentu merupakan salah satu
predisposisi terjadinya penyakit gigi dan dapat memperberat penyakit gigi yang
sudah ada. Misalnya pada penyakit diabetes mellitus, gangguan metabolisme
karbohidrat memiliki resiko lebih tinggi untuk menjadi infeksi sehingga aktivitas
vitamin C dalam tubuh menurun dan mudah terjadi kerusakan jaringan
periodontal.

2.4 Faktor yang Memengaruhi Periodontitis

2.4.1 Modifying Factors

Modifying factor adalah factor factor yang mendukung terjadinya


periodontitis serta memberikan perubahan jaringan pada bagian yang
diserang (gingiva).

1. Hormone
Hormone estrogen dan progesterone dapat memperburuk respon gingiva
terhadap bakteri plak. Adanya interaksi hormone dengan plak dapat
mengubah komposisi plak sehingga terjadi peradangan dan perdarahan
pada gingiva.
Perdarahan dan pembengkakan terjadi karena perningkatan hormone dapat
meningkatkan aliran darah menuju gusi dan lebih reaktif terhadap plak,
sehingga kapiler membesar dan terdesak oleh cairan sel radang ke arah
permukaan.
Contoh hal-halnya terkait hormone yang mempengaruhi periodontitis
adalah pubertas, kehamilan, siklus mentruasi, dan mengkonsumsi pil
kontrasepsi.

2. Mengkonsumsi obat-obatan
Phenytoin : phenytoin merupakan obatan ticovulsan untuk anti kejang
yang biasa dikonsumsi oleh penderita epilepsy. Jika pasien yang
mengkonsumsi obat ini memiliki akumulasi plak yang tinggi dan oral
hygiene yang buruk pada mulutnya dapat memperparah periodontitis.

4
Karena obat ini menstimulasi produksi kolagen yang berlebih sehingga
membuat jaringan gingiva bengkaknya bertambah parah
Cyclosporine :obat ini biasanya dikonsumsi oleh pasien yang menerima
transplantasi organ, agar tubuh tidak menolak organ yang baru
ditransplantasikan. Obat ini juga dapat menstimulasi poliferasi fibroblast
dan produksi kolagen yang memperparah periodontitis.
3. Leukemia
Sel-sel leukemia dapat menginfiltrasi gingival dan menyebabkan
pembesaran gingival ( leukemic gingival enlargement)

2.4.2 Contributing Factors

Contributing factor merupakan factor yang dapat memperparah


keadaan periodontitis, tetapi tidak sampai merubah keadaan jaringan yang
terkena.

1. Merokok
Kebiasaan merokok menyebabkan penumpukan stain sehingga
permukaan gigi lebih kasar dan plak lebih mudah menempel.

2. HIV / AIDS
Penurunan system imunitas pada penderita HIV dapat menyebabkan
periodontitis bertambah parah.

3. Diabetes militus
Pada penderita diabetes (yang memiliki akumulasi plak yang tinggi)
kandungan glukosa pada cairan gingiva lebih tinggi dari orang normal.
Dan hal ini dapat meningkatkan jumlah bakteri dalam rongga mulut
sehingga memperparah periodontal

4. Pernafasan mulut
Pada orang yang memiliki kebiasaan bernafas lewat mulut pasti
memiliki rongga mulut yang kering dan aliran saliva yang kurang.

5
Padahal saliva berfungsi untuk lubrikasi mulut dan mencegah bakteri
menumpuk. Sehingga jika aliran saliva berkurang bakteri dalam mulut
akan bertambah dan memperburuk periodontitis.

Periodontitis Kronis

Periodontitis kronis merupakan bentuk paling umum pada kasus


periodontitis. Prevalensinya lebih banyak terjadi pada orang dewasa
dibandingkan dengan anak-anak. Ciri khas dari perodontitis ini adalah
gejalanya tidak terdapat rasa sakit dan progress penyakit ini terjadi sangat
lambat dan pada waktu yang sangat lama.

Tanda dan gejala klinis dari periodontitis antara lain adalah:

a. Terdapat akumulasi plak subgingival dan supragingival yang


menumpuk serta berkalsifikasi membentuk kalkulus.
b. Terjadi inflamasi pada gingival, yang ditandai dengan perdarahan,
pembengkakan, dan perubahan struktur gingival.
c. Terdapat poket periodontal.
d. Terjadi attachment loss.
e. Destruksi tulang alveolar.
f. Gejala tidak terasa sakit dan terdapat rasa “itchiness”, yaitu rasa
gatal dan sedikit terbakar.

Penyakit periodontal kronis sering dimodifikasi atau dikaitkan dengan


penyakit sistemik, seperti diabetes mellitus dan infeksi HIV, dan juga
dipengaruhi oleh faktor predisposisi lokal, seperti jumlah kalkulus, dan
faktor environmental, seperti kebiasaan merokok.

Periodontitis kronis dikarakterisasi menjadi 3 jenis, yaitu:

a. Slight atau ringan, yaitu jika attachment loss sedalam 1-2 mm.
b. Moderate atau sedang, yaitu jika attachment loss sedalam 3-4 mm.
c. Severe atau berat, yaitu jika attachment loss dalamnya ≥5 mm.

6
Periodontitis kronis juga disubklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

a. Localized form, yaitu jika daerah jaringan periodontal yang terkena


<30%.
b. Generalized form, yaitu jika daerah jaringan periodontal yang terkena
>30%.
1. Periodontitis Agresif

Sebelum adanya klasifikasi periodontitis menurut American Academy


of Periodontology (AAP) tahun 1999, periodontitis agresif dulu
diklasifikasikan sebagai early-onset periodontitis.

Beberapa ciri khas yang membedakan periodontitis agresif dengan


periodontitis lain:

a. Terjadi pada pasien yang sehat secara klinis.


b. Attachment loss dan destruksi tulang terjadi sanat cepat.
c. Adanya akumulasi plak dan kalkulus yang besar.
d. Selalu dikaitkan dengan riwayat periodontitis agresif pada orang tua
atau keluarga pasien (faktor genetis).

Periodontitis agresif disubklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

a. Localized Aggressive Periodontitis

Sebelum klasifikasi AAP tahun 1999, Localized Aggressive


Periodontitis diklasifikasikan sebagai Localized Juvenile Periodontitis
(LPJ). Periodontitis agresif bentuk ini biasanya menyerang usia
pubertas atau remaja muda. Karakteristiknya yaitu “localized first
molar/incisor presentation with interproximal attachment loss on at
least two permanent teeth, one of which is a first molar, and involving
no more than two teeth other than first molars dan incisors.”

b. Generalized Aggressive Periodontitis

7
Sebelum klasifikasi AAP tahun 1999, Generalized Aggressive
Periodontitis diklasifikasikan sebagai Generalized Juvenile
Periodontitis (GPJ) dan Rapidly Progressive Periodontitis (RPP).
Periodontitis agresif bentuk ini biasanya menyerang usia di bawah 30
tahun, namun tidak menutup kemungkinan juga untuk menyerang usia
lebih tua di atas 30 tahun. Pasien dengan periodontitis ini memiliki
respon buruk terhadap pathogen yang muncul. Destruksi tulang yang
ada terjadi secara bertahap dalam waktu yang lama (bulanan atau
tahunan). Karakteristiknya adalah “generalized interproximal
attachment loss affecting at least three permanent teeth other than first
molars and incisors.”

Periodontitis sebagai Manifestasi Penyakit Sistemik

Periodontitis dapat disebabkan karena manifestasi penyakit sistemik


berikut:

a. Kelainan Hematologi
 Neutropenia
 Leukemia
 Dan lain-lain
b. Kelainan Genetik
 Neutropenia menurun
 Down Syndrome
 Leukocyte adhesion deficiency syndrome
 Papillon- Lefevre syndrome
 Chediak-Higashi syndrome
 Histiocytosis syndromes
 Glycogen storage disease
 Infantile genetic agranulocytosis
 Cohen syndrome
 Hypophosphatasia
 Dan sebagainya

8
c. Not otherwise specified

Dispekulasikan dari berbagai kasus dan penelitian bahwa,


mayoritas kelainan diatas ini berefek dari perubahan yang berasal dari
mekanisme host defense seperti pada neutropenia dan leukocyte
adhesion deficiency, tetapi masih kurang dimengerti untuk sindrome
dengan bermacam-macam penyebab.

Diagnosis periodontitis akibat kelainan sistemik dipakai bila


faktor pedisposisi yang paling kentara adalah kelainan sistemik.
Faktor lokal seperti tingginya kadar plak dan kalkulus tidak terlihat.

2. Necrotizing Periodontal Disease

Terdiri dari dua bentuk, necrotizing ulcerative gingivitis dan


necrotizing ulcerative periodontitis. Tanda klinis necrotizing
periodontal disease ini tidak terbatas pada adanya ulserasi dan
nekrosis pada papilla dan marginal gingiva yang terlapis dengan

9
pseudomembrane putih kekuningan, penumpulan papilla, pendarahan
dengan mudah, rasa nyeri dan halitosis, tapi pada penyakit ini juga
terdapat gejala demam, malaise dan pembengkakan kelenjar getah
bening (lympadenopathy).

Necrotizing Ulcerative Periodontitis

Sama seperti NUG, kasus dari NUP memiliki ciri-ciri adanya


nekrosis dan ulserasi dari bagian koronal papila interdental dan
marginal gingiva dengan perubahan warna gingiva menjadi merah
terang dan gingiva mudah berdarah. Fitur yang menonjolkan perbdaan
NUPdari NUG adalah adanya destruksi progresif yang melibatkan
kehilangan perlekatan dan tulang alveolar. Kawah tulang interdental
yang dalam melambangkan lesi periodontal pada NUP.

Namun, adanya poket periodontal dengan probing yang dalam


tidak ditemukan karena ulser dan nekrosis pada gusi menghancurkan
epitel marginal dan jaringan ikat sehingga menyebabkan resesi gusi.
Poket periodontal terbentuk karena sel epitelial junction tetap sehat
dan dengan begitu dapat bermigrasi kearah apikal untuk menutup area
dimana jaringan ikatnya hilang. Pada NUG dan NUP, terjadi nekrosis
dari epitelial junction ini sehingga menghasilkan ulser yang mencegah
migrasi epitel dan maka daari itu poket tidak dapat terbentuk. Lesi
parah dari NUP mengarah ke kehilangan tulang yang parah, mobilitas
gigi dan kehilangan gigi. Pada pasien yang mengidap NUP dapat
dijumpai adanya bau mulut, demam, malaise dan lympadenopathy.

NUG dan NUP banyak dijumpai pada penderita HIV-AIDS


karena gangguan sistem kekebalan imunnya. NUP pada pasien HIV
positif lebih cepat bekembang dibanding pasien dengan HIV negatif.

10
Etiologi dari NUP belum sepenuhnya diketahui, adanya bakteri
fusiform-spirochete memegang kunci utama. Karena bakteri patogen
tidak sepenuhnya bertanggungjawab atas penyakit ini, beberapa faktor
predisposisi seperti oral hygiene yang buruk, penyakit periodontal
yang sudah ada, merokok, infeksi virus, sistem kekebalan tubuh yang
rendah, stress psikologis dan malnutrisi dapat menjadi penyebab
terbentuknya NUP.

3. Periodontitis Associated with Endodontic Lesions

Pada lesi endodontik-periodontal, nekrosis pulpa mendahului


perubahan periodontal. Lesi periapikal yang berasal dari infeksi dan
nekrosis pulpa dapat menyebabkan destruksi ligamen periodontal dan
tulang alveolar. Ditandai dengan probing yang dalam. Infeksi pulpa
dapat mengenai area furkasi dan dapat menyebabkan ikut serta furkasi
dalam kehilangan perlekatan dan tulang alveolar.

Bakteri yang berasal dari poket periodontal yang berhubungan


dengan kehilangan perlekatan dan akar yang terekspos dapat berakibat
pada nekrosis pulpa. Infeksi mencapai pulpa melalui foramen apikal.
Pada kasus periodontitis dengan lesi endodontik, infeksi endodontik
harus terlebih dahulu ditangani sebelum memberi terapi pada lesi
periodontal.

11
Pola Kerusakan Tulang Pada Penyakit Periodontal

Penyakit periodontal dapat marubah gambaran morfologi tulang


alveolar sehingga terjadi enurunan ketinggian tulang. Patogenesis
perubahan ini penting untuk penegakan diagnosa dan perawatan.

A. Resorpsi Tulang Horizontal

Resorpsi tulang horizontal merupakan pola kehilangan tulang yang


paling sering ditemukan pada penyakit periodontal. Puncak tulang alveolar
mengalami penurunan, tetapi margin tulang yang tersisa tegak lurus
terhadap permukaan gigi. Septum interdental serta bagian facial dan
lingual juga mengalami kerusakan, tetapi derajat kerusakan disekeliling
gigi berbeda-beda (Carranza, 2002).

Gbr 6. Garnbaran radiografis kehilangan tulang horizontal pada bagian proksimal

gigi. Kehilangan tulang dianggap horizontal apabila sisa puncak tulang alveolar

bagian proksimal sejajar terhadap garis khayal yang terdapat. diantara cementoenam

junction yang berdekatan dengan gigi (Klaus dkk, 1989).

B. Defek Vertikal atau Angular

12
Defek vertikal atau angular terjadi dalam arah oblique, membuat
lubang yang menembus ke dalam tulang di sepanjang akar; dasar defek
terletak ke arah apikal di sekitar tulang. Defek angular disertai poket
infrabony yang mendasari defek angular (Carranza, 2002).

Defek angular diklasifikasikan berdasarkan jumlah dinding osseus.


Defek angular dapat memiliki satu, dua, atau tiga dinding. Jumlah dinding
pada bagian apikal defek lebih besar daripada bagian oklusal yang disebut
dengan combined osseus defect (Carranza, 2002).

Defek vertikal terjadi pada interdental yang dapat terlihat secara


jelas pada gambaran radiografis, walaupun kadang tertutup oleh kepingan
tulang yang tebal. Defek angular juga terdapat pada permukaan facial dan
lingual atau palatal, tetapi defek ini tidak terlihat pada gambaran
radiografis. Pembedahan merupakan cara yang pasti untuk rnengetahui
adanya bentuk defek tulang vertikal (Carranza, 2002).

Defek tulang diklasifikasikan menjadi :

a. Defek tulang 3 dinding yang dibatasi oleh 1 permukaan gigi dan 3


permukaan tulang.
b. Defek tulang 2 dinding (crater interdental) yang dibatasi oleh 2
permukaan gigi dan 2 permukaan tulang.
c. Defek tulang 1 dinding dibatasi oleh 2 permukaan gigi dan 1
permukaan tulang serta jaringan lunak.
d. Defek tulang kombinasi (Cup-shaped defect) dibatasi oleh
beberapa permukaan gigi dan beberapa permukaan tulang (Klaus
dkk, 1989).

13
Gbr 7. Gambaran skematik morfologi defek tulang. A. Defek tulang 3 dinding, B.

Defek tulang 2 dinding, C. Defek tulang 1 dinding, D. Cup-shaped defect (Klaus

dkk, 1989).

Defek vertikal meningkat sesuai dengan usia. Hampir 60% orang


dengan defek angular interdental hanya mempunyai satu defek. Defek
vertikal dapat dideteksi dengan pemeriksaan radiografi yang telah
dilaporkan bahwa banyak terlihat pada permukaan distal dan mesial, akan
tetapi defak dengan tiga dinding lebih sering diternukan pada permukaan
mesial molar atas dan bawah (Carranza, 2002).

Defek vertikal dengan tiga dinding biasa disebut dengan defek


intrabony. Defek ini paling sering terdapat pada bagian rnesial dari molar
kedua dan ketiga rahang atas dan bawah. Defek vertikal dengan satu
dinding disebut juga henniseptum (Carranza, 2002).

14
Gbr 8. Gambaran radiografi kehilangan tulang vertikal (angular) yang disertai

dengan keterlibatan furkasi. Kehilangan tulang dianggap vertikal apabila puncak

tulang alveolar pada bagian proksimal tulang tidak sejajar dengan garis khayal yang

terdapat diantara cement-enamel junction yang berbatasan dengan gigi (Klaus dkk:,

1989).

Keterlibatan Furkasi

Istilah keterlibatan furkasi menunjukkan adanya invasi


penyakit periodontal ke daerah bifurkasi dan trifurkasi pada gigi
dengan akar banyak. Prevalensi keterlibatan furkasi pada gigi rnolar
masih belum jelas, tetapi terdapat beberapa laporan yang
mengindikasikan bahwa molar pertama rahang bawah paling sering
terkena dan premolar rahang atas yang paling jarang, sedangkan yang
lainnya telah ditemukan prevalensi yang lebih tinggi pada molar
rahang at as. Jumlah keterlibatan furkasi meningkat sesuai dengan usia
(Carranza, 2002)

Keterlibatan furkasi dapat terlihat secara klinis atau tertutup


oleh dinding poket. Perluasan keterlibatan dapat diketahui dengan cara
mengeksplorasi menggunakan probe yang tumpul disertai semprotan
udara hangat untuk mempermudah visualisasi (Carranza, 2002).

15
Gbr 9. Gambaran skematik : (A) Pembesaran gingiva, (B) Gingiva sehat, (C)

Pembentukan poket pada periodontitis, (D) Resesi gingiva, (E) Keterlibatan furkasi

pada penyakit periodontal lanjut pada gigi molar bawah yang memperlihatkan

adanya kehilangan tulang alveolar pada daerah bifurkasi (lookjordiagnosis.com).

Keterlibatan furkasi diklasifikasikan menjadi grade I, II, III dan IV


berdasarkan jumlah kerusakan jaringan

 Grade I kehilangan tulang insipien


 Grade II kehilangan tulang sebagian (cul-de-sac)
 Grade III kehilangan tulang total dengan terbukanya furkasi
throught and through
 Grade IV sama dengan grade III tetapi disertai dengan resesi
gingiva sehingga furkasi terlihat secara klinis (Carranza,2002).

16
Gbr 10. Gambaran skematik klasifikasi keterlibatan furkasi. (Kiri) kehilangan tulang

minimal, (tengah) lesi cul-de-sac, (kanan) lesi through and through (Klaus dkk, 1989).

Secara mikroskopis, keterlibatan furkasi tidak memperlihatkan


gambaran patologis yang khas, tetapi hanya merupakan fase yang simpel
dalam perluasan poket periodontal ke daerah akar. Pada tahap dini, terjadi
pelebaran membran periodontal dengan seluler dan cairan eksudat
inflamasi, diikuti dengan proliferasi epitel ke dalam daerah furkasi dari
bagian tengah poket periodontal. Perluasan inflamasi ke dalam tulang
menyebabkan resorpsi dan penurunan ketinggian tulang. Pola destruksi
tulang dapat berbentuk kehilangan tulang horizontal, atau defek angular
yang berhubungan dengan poket infrabony. Plak, kallkulus, dan debris
bakteri mengisi ruangan pada daerah yang mengalami keterlibatan furkasi,
(Carranza, 2002).

Pola destruksi dan derajat keterlibatan furkasi bervariasi pada


masing- masing kasus. Kehilangan tulang pada setiap akar gigi dapat
berbentuk horizontal atau angular, clan sering membentuk cra ter pada
daerah interradikular. Probing untuk mengetuhui adanya pola destruksi

17
horizontal atau vertikal di sekeliling akar yang terlibat dan pada daerah
crater untuk menentukan kedalaman vertikal (Caranza, 2002).

Keterlibatan furkasi adalah tahap penyakit periodontal yang


progresif dan mempunyai etiologi yang sama. Kesulitan. dalam
mengontrol plak pada daerah furkasi berperan terhadap perluasan lesi di
daerah ini (Carranza, 2002).

Peran trauma oklusi sebagai etoilogi keterlibatan furkasi masih


kontroversial. Beberapa pendapat mengemukakan bahwa furkasi
merupakan daerah yang paling sunsitif terhadap injuri dari perluasan daya
oklusal, sedangkan pendapat lain mungangap bahwa inflamasi dan oedem
disebabkan oleh plak pada daerah furkasi (Carranza, 2002).

Trauma oklusi dianggap sebagai faktor etiologi yang memperberat


kasus keterlibatan furkasi dengan kelainan tulang berbentuk angular atau
Seperti karakter dan kerusakan tulang terlokalisir pada satu akar
(Carranza, 2002).

[)iagnosa keterlibatan furkasi ditegakkan dengan pemeriksaan


klinis dan melakukan probing dengan probe khusus. Pemeriksaan
radiografi pada daerah ini sangat membantu, tetapi lesi di daerah tersebut
sering tidak jelas karena lebar sudut dan radiopak struktur disekitarnya.
Efek dari perubahan sudut horizontal pada rontgen foto dapat
menyebabkan gambaran overlap sehingga menjadi tidak jelas (Carranza.,
2002).

18
Gbr 11. Gambaran foto panoramik pada gigi regio kiri bawah menunjukkan

kehilangan tulang berat generalisata sekitar 30-80% yang disebabkarn karena

penyakit periodontal. Garis merah menunjukkan penurunan tulang alveolar,

sedangkan garis kuning rnenunjukkan tempat dimana seharusnya tulang alveolar

berada. Panah pink pada sisi kanan menunjukkan adanya keterlibatan furkasi yang

menyebabkan akar menjadi terbuka yang merupakan tanda penyakit periodontal

lanjut. Panah biru pada bagian tengah menunjukkan 80% kehilangan tulang pada

gigi 21, dan secara klinis gigi menujukkan kegoyangan Garis orange yang

berbentuk oval pada sisi kiri menunjukkan penyakit periodontal agresif yang

mempengaruhi semua gigi insisif rahang bawah. Garis merah yang terpisah

menunjukan variasi kepadatan tulang yang rnenyebabkan batas ketinggian tulang

menjadi tidak jelas

19
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari hasil diskusi dan pembahasan kasus ini, dapat disimpulkan


bahwa pasien bernama Martin mengelami periodontitis yang ditandai
dengan adanya gigi yang goyang, bau mulut, dan perdarahan pada gusi,
kedalaman poket >4 mm, ada perdarahan, kehilangan perlekatan
(attachment loss), kehilangan tulang (alveolar bone loss), halitosis, dan
gusi mengalami resesi, ditambah dengan riwayat pasien yang tidak pernah
merokok dan pernah menderita gingivitis sebelumnya. Hal ini disebabkan
karena pasien tidak menjaga oral hygienenya sehingga akumulasi plak
bertambah dan menyebabkan tanda dan gejala seperti yang telah
disebutkan.

Pasien harus diberikan pengobatan dengan diberikan pendidikan


pada pasien tentang kontrol plak, bisa pula dilakukan bedah periodontal
untuk mengeliminasi poket. Lalu dilakukan pula pemeliharaan berupa
reevalusi kesehatan periodontal setiap 6 bulan dengan mencatat scor plak,
ada tidaknya inflamasi gingiva, kedalaman poket dan mobilitas gigi,
melakukan radiografi untuk mengetahui perkembangan periodontal dan
tulang alveolar tiap 3 atau 4 tahun sekali, scalling dan polishing tiap 6
bulan sekali.

20
DAFTAR PUSTAKA

Carranza F. A., Henry H. T., Michael G. N. 2002. Clinical Periodontology 9th ed.
W. B. Saunders Co, Philadelphia.
John Coventry, Gareth G, Crispian S, Maurizio T. 2000. ABC of Oral Health
Periodontal Disease. British Medical Jurnal.com.
Klaus H, dkk. 1989. Color Atlas of Dental Medicine 1 : Periodontolagy 2nd ed.
Theme Medical Publisher Inc, New York.
Muller D, 1980. The Scoring of The Defects of The Alveolar Process In Human.
Crania. Journal of Human Evolution. Academic Press Inc, London.
Schwairtz M, Lamster I. B., Fine J. B. 1995. Clinical Guide To Periodontics. W.
B. Saunders Co, Philadelphia.
Varma B. R. R., Nayak R. P. 2002. Current Concepts In Periodontics lst ed. Arya
Publishing House, New Delhi.
Yuval Zubery, dkk. 1998. Bone Resorption Caused By Three Periodontal
Pathogens In Vivo In Mice Is Mediated In Part By Prostaglandin.
American Society for Microbiology, USA.
Zainal A. Y., Salmah K. 1992. Periodontologi. Universiti Malaya, Kuala Lumpur.

21

Anda mungkin juga menyukai