BAB II
HAKIKAT BAHASA DAN
PEMEROLEHAN BAHASA
A. Tujuan
Setelah mempelajari sumber belajar ini, guru diharapkan memiliki
pemahaman terhadap konsep hakikat bahasa, hakikat pemerolehan bahasa, dan
jenis-jenis pemerolehan bahasa dengan baik
1
yang mempengaruhi pemerolehan
bahasa
C. Uraian Materi
1. Hakikat Bahasa
2
kata pertamanyalah yang menjadi pokok, sedangkan kata kedua menjadi penjelas
kata pertama.
Dari contoh-contoh di atas, dan banyak lagi contoh lainnya yang tidak
dapat dikemukakan di sini, jelaslah bahwa tiap bahasa memiliki aturan-aturannya
sendiri yang menguasai hal-hal bunyi dan urutan-urutannya, hal-hal kata dan
susunannya, dan sebagainya. Dapatlah disimpulkan bahwa bahasa itu
sesungguhnya adalah kumpulan pola-pola, kumpulan kaidah-kaidah yang
kemudian disebut sistem. Jadi, bahasa adalah sistem unsur-unsur dan kaidah-
kaidah.
Bila pertama kali kita melihat sebuah benda, dan orang yang memahami
benda itu menyebutnya dengan ‘jam’, maka urutan bunyi /j/, /a/, dan /m/ kita
asosiasikan dengan benda tersebut. Kemudian, meskipun benda tersebut tidak
lagi berada di hadapan kita, bila kita mendengar seseorang mengucapkan urutan
bunyi itu, maka kita akan serta-merta mengasosiasikannya dengan benda
tersebut.
Demikianlah, terjadinya proses asosiasi antara bunyi-bunyi (baik berupa
kata maupun kalimat) dengan sesuatu (benda maupun konsep) menunjukkan
ketinggiasn akal budi manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Urutan bunyi
/j/, /a/, dan /m/ itu, dalam pikiran manusia, ternyata adalah lambang-lambang
yang berdiri untuk sesuatu yang lain yang dapat diterangkan sebagai “Sesuatu
yang terdiri atas berbagai roda kecil yang digerakkan oleh beberapa per, yang
ditempatkan di dalam sebuh kotak besar atau kecil, dan yang fungsinya untuk
menunjukkan waktu.” Seperti diketahui, sesuatu yang berdiri untuk sesuatu yang
lain disebut tanda. Dengan demikian jelaslah bahwa bahasa itu sesungguhnya
adalah sistem tanda.
Tidak terdapat hubungan logis atau rasional antara bunyi-bunyi bahasa
dengan sesuatu yang dilambangkannya. Untuk menjelaskan hal ini, ambillah
konsep K sebagai kasus. K adalah binatang berkaki empat, berkuku satu dan
banyak dijinakkan untuk keperluan manusia, baik untuk membantunya sebagai
binatang poenarik maupun untuk hiburan di dalam pacuan. Orang Indonesia
menyebut konsep K ini dengan urutan bunyi [k-u-d-a]; orang Inggeris
3
menyebutnya [h-o-r-s-e], dan orang Jawa menyebutnya dengan [j-a-r-a-n].
Sekiranya ada hubungan yang rasional atau logis antara bunyi-bunyi dengan
bendanya, tentulah tidak akan ada perbedaan urutan bunyi di dalam bahasa-
bahasa di dunia ini untuk konsep yang sama, seperti contoh-contoh yang telah
diberikan di atas. Jadi jelaslah, tidak ada hubungan yang rasional dan logis antara
bunyi-bunyi sebagai lambang dengan sesuatu yang dilambangkannya. Dengan
kata-kata lain, urutan bunyi dalam satu bahasa bersifat mana suka atau arbitrer.
Kecil pula kemungkinan bagi seseorang untuk mengganti urutan bunyi
dalam bahasanya untuk sebuah konsep yang sudah ada. Betapa pun diktatornya
kekuasaan seseorang di suatu tempat, tidak mungkin baginya mengganti urutan
bunyi [k-u-d-a], untuk konsep yang telah dikemukakan di atas, dengan urutan
bunyi lain, misalnya menjadi [k-r-a-u]. Jika pun dimungkinkan, maka penggantian
urutan bunyi bahasa itu haruslah mendapat persetujuan atau kesepakatan
sejumlah besar masyarakat pemakai bahasa. Dari deskripsi di atas dapatlah
disimpulkan bahwa urutan-urutan bunyi itu mestilah mencapai sifat konvensional
untuk dapat dianggap sebagai kata-kata di dalam bahasa itu. Sifat inilah yang
menentukan, baik perubahan arti maupun hidup dan matinya kata-kata dalam
satu bahasa.dapatlah disimpu;lkan bahwa
Dari seluruh paparan di atas dapatlah disimpulkan bahwa hakikat bahasa
itu dicirikan oleh empat hal, yakni (1) bahasa adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia, (2) bahasa adalah sistem tanda, (3) bahasa itu
arbitrer/mana suka, dan (4) bahasa bersifat konvensional (lihat Samsuri, 1981: 9-
12)
2. Pemerolehan Bahasa
2.1 Konsep Pemerolehan Bahasa
Simanjuntak (1987: 157) mengatakan, proses pemerolehan bahasa adalah
proses-proses yang berlaku di dalam otak seorang kanak-kanak (bayi) sewaktu
memperoleh bahasa ibundanya. Ditambahkan Simanjuntak bahwa proses itu
berlangsung tanpa disadari oleh kanak-kanak itu sendiri. Kiparsky mengajukan
batasan yang lebih kompleks lagi. Menurut Kiparsky (dalam Tarigan, 1985: 243).
4
pemerolehan bahasa atau language acquisition adalah suatu proses yang
digunakan anak-anak untuk menyesuaikan seperangkan hipotesis yang makin
bertambah rumit, atau pun teori-teori yang masih terpendam, dengan ucapan-
ucapan orang tuanya sampai dia memilih, berdasrkan suatu ukuran atau takaran
penilaian tata bahasa yang paling baik serta yang paling sederhana dari bahasa
tersebut. Kanak-kanak melihat dengan pandangan yang cerah akan kenyataan-
kenyataan bahasa yang dipelajarinya dengan melihat tata bahasa asli orang
tuanya, serta pembaharuan-pembaharuan yang telah mereka perbuat, sebagai
tata bahasa tunggal. Kemudian, dia menyusun atau membangun suatu tata
bahasa yang baru serta yang disederhanakan dengan pembaharuan-
pembaharuan yang dibuatnya sendiri.
Berbicara mengenai pemerolehan bahasa, kita tidak dapat melepaskan diri
dari berbicara mengenai alat pemerolehan bahasa (language acquisition device
atau LAD). LAD merupakan alat hipotetis yang – berdasarkan input data linguistik
primer suatu bahasa – menghasilkan output yang terdiri atas tata bahasa yang
adekuat secara deskriptif bagi bahasa tersebut. Skema ini dapat digambarkan
sebagai berikut:
5
tata bahasa yang tepat bagi bahasanya – untuk memelajari bahasanya –
berdasarkan suatu sampel data linguistik utama yang terbatas.
7
(4) metode untuk memilih salah satu dari hipotesis-hipotesis yang sesuai dengan
data linguistic utama tertentu (Tarigan, 1985: 243-247).
8
(3) Belajar bagi kaum behavioris adalah pembentukan hubungan asosiatif antara
stimulus dan respon yang berulang-ulang sehingga terbentuk kebiasaan.
Pembentukan kebiasaan ini disebut pengondisian.
(4) Pengondisian selalu disertai ganjaran sebagai penguatan asosiasi antara S-R.
(5) Bahasa adalah perilaku manusia yang kompleks di antara perilaku-perilaku
lain.
(6) Anak menguasai bahasa melalui peniruan.
(7) Perkembangan bahasa seseorang ditentukan oleh frekuensi dan intensitas
latihan yang disodorkan.
B.F. Skinner adalah tokoh aliran behaviorisme. Dia menulis buku Verbal
Behavior (1957) yang digunakan sebagai rujukan bagi pengikut aliran ini. Menurut
aliran ini, belajar merupakan hasil faktor eksternal yang dikenakan kepada suatu
organisme. Menurut Skinner, perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang
lain, dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila suatu usaha menyenangkan, perilaku
itu akan terus dikerjakan. Sebaliknya, apabila tidak menguntungkan, perilaku itu
akan ditinggalkan. Singkatnya, apabila ada reinforcement (penguatan) yang cocok,
perilaku akan berubah dan inilah yang disebut belajar.
Banyak kritikan diarahkan terhadap aliran ini. Chomsky mengatakan
bahwa toeri yang berlandaskan conditioning dan reinforcement tidak bisa
menjelaskan kalimat-kalimat baru yang diucapkan untuk pertama kali dan inilah
yang kita kerjakan setiap hari. Bower dan Hilgard juga menentang aliran ini
dengan mengatakan bahwa penelitian mutakhir tidak mendukung aliran ini.
Aliran behaviorisme mengatakan bahwa semua ilmu dapat
disederhanakan menjadi hubungan stimulus-respons. Hal tersebut tidaklah benar
karena tidak semua perilaku merupakan respons dari satu stimulus. Beberapa
hasil penelitian membuktikan bahwa sejumlah orang yang mendapatkan stimulus
yang sama tidak serta merta melahirkan respons yang sama. Terdapat variabel-
variabel lain yang memengaruhi reaksi atau respons seseorang terhadap satu
stimulus.
9
2.3.2 Teori Nativisme
Menurut aliran ini, bahasa adalah sesuatu yang kompleks dan rumit.
Nativisme juga percaya bahwa setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan
suatu alat untuk memperoleh bahasa (language acquisition device, disingkat
LAD). Mengenai bahasa apa yang akan diperoleh anak bergantung pada bahasa
yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Sebagai contoh, seorang anak yang
dibesarkan di lingkungan Melayu, sudah dapat dipastikan bahwa bahasa Melayu
akan menjadi bahasa pertamanya.
Semua anak yang normal dapat belajar bahasa apa saja yang digunakan
oleh masyarakat sekitarnya. Apabila diasingkan sejak lahir, anak tidak
memperoleh bahasa. Dengan kata lain, LAD tidak mendapat “makanan”
sebagaimana biasanya (Baradja, 1990:33). Tanpa LAD, tidak mungkin seorang
anak dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat dan bisa menguasai sistem
bahasa yang rumit. LAD juga memungkinkan seorang anak dapat membedakan
bunyi bahasa dan bukan bunyi bahasa.
10
menerangkan pertumbuhan kemampuan berbahasa. Mereka menilai penjelasan
Chomsky tentang hal itu belum memuaskan.
11
Dalam pemerolehan bahasa pertama, anak sangat dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal. Benar jika ada teori yang mengatakan bahwa kemampuan
berbahasa si anak telah ada sejak lahir (telah ada LAD). Hal ini telah dibuktikan
oleh berbagai penemuan, seperti yang telah dilakukan oleh Howard Gardner. Dia
mengatakan bahwa sejak lahir anak telah dibekali berbagai kecerdasan. Salah
satu kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan berbahasa (Campbel, dkk.,
2006: 2-3). Akan tetapi, yang tidak boleh dilupakan adalah lingkungan yang juga
merupakan faktor yang memengaruhi kemampuan berbahasa si anak. Banyak
penemuan yang telah membuktikan hal ini.
12
adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/, dengan
demikian strukturnya adalah KV.
13
kata-kata yang berkaitan ke dalam satu medan semantik. Pada mulanya, proses
ini berlangsung jika makna kata-kata yang digeneralisasi secara berlebihan
semakin sedikit -- setelah kata-kata baru untuk benda-benda yang termasuk
dalam generalisasi ini dikuasai oleh kanak-kanak. Umpamanya, kalau pada
utamanya, kata anjing berlaku untuk semua binatang berkaki empat, namun
setelah mereka mengenal kata kuda, kambing, harimau maka kata anjing berlaku
untuk anjing saja. Keempat, tahap generalisasi. Tahap ini berlangsung setelah
kanak-kanak berusia lima tahun. Pada tahap ini, kanak-kanak telah mulai mampu
mengenal benda-benda yang sama dari sudut persepsi, bahwa benda-benda itu
mempunyai fitur-fitur semantik yang sama. Pengenalan seperti ini semakin
sempurna ketika usia kanak-kanak itu semakin bertambah. Jadi, ketika berusia
antara lima tahun sampai tujuh tahun, misalnya, mereka telah mengenal apa
yang dimaksud dengan hewan.
14
kedua dilesapkan. Kata mobil, misalnya, akan disingkat menjadi /bi/. Pada
perkembangannya kemudian, konsonan akhir ini mulai muncul. Pada umur 2,0
tahun, misalnya, Echa menamakan ikan sebagai /tan/, persis sama dengan kata
bukan.
Pada awal USK juga tidak ada gugus konsonan. Semua gugus yang ada di
awal atau akhir kalimat disederhanakan menjadi satu konsonan saja. Kata putri
(untuk Eyang putri) diucapkan oleh Echa mula-mula sebagai Eyang /ti/. Ciri lain
dari USK adalah bahwa kata-kata dari kategori sintaktik utama (content words),
umumnya nomina, verba, adjektiva, dan mungkin juga adverbia. Tidak ada kata
fungsi, seperti dari, atau ke. Di samping itu, kata-katanya selalu dari kategori sini
dan kini. Tidak ada yang merujuk kepada yang tidak ada di sekitar atau pun ke
masa lalu dan masa depan. Anak pun juga dapat menyatakan negasi nggak,
pengulangan lagi, dan habisnya sesuatu.
Sekitar umur 2,0 tahun, anak mulai mengeluarkan ujaran dua kata atau
UDK (Two Word Utterance). Anak mulai dengan dua kata yang diselingi jeda
sehingga seolah-olah dua kata itu terpisah. Untuk menyatakan bahwa lampunya
telah menyala. Echa misalnya, bukan mengatakan /lampunala/ “lampu nyala” tapi
/lampu // nala/. Jadi, berbeda dengan USK, UDK, secara sintaksis, lebih kompleks
tetapi semantiknya makin lebih jelas (Dardjowidjojo, 2003: 265)
15
Pemerolehan kemampuan percakapan di tandai dengan struktur percakapan yang
terdiri atas tiga komponen, yaitu (1) pembukaan, (2) giliran, dan (3) penutup. Bila
orang tua menyapanya, atau anak-anak yang menyapa terlebih dahulu, itulah
tanda bahwa percakapan akan dimulai. Pada tahap giliran, akan terjadi
pemberian respons, dan pada bagian penutup, tidak mustahil pula bahwa
pertanyaan tadi tidak terjawab karena anak lalu pergi saja meninggalkan orang
tuanya atau beralih ke kegiatan lain.
D. Aktivitas Pembelajaran
Aktivitas pembelajaran dilakukan dengan mekanisme tertentu melalui
tahap-tahap pembelajaran berikut:
(1) Pengantar Instruktur
Instruktur membuka pertemuan dan menyampaikan materi yang akan
dibahas atau didiskusikan. Instruktur dapat membentuk kelompok-kelompok
diskusi peserta bila diperlukan.
(2) Curah Pendapat
a. Instruktur meminta peserta pelatihan melakukan curah pendapat tentang
hakikat bahasa dan pemerolehan bahasa dalam kelompok peserta
3 – 4 orang.
b. Instruktur kemudian merangkum hasil curah pendapat secara pleno
dan menuliskannya pada slide power point.
(3) Diskusi Mengelaborasi Kompetensi
a. Peserta diminta mendiskusikan/mengelaborasi tujuan, kompetensi ,dan
indikator pencapaian kompetensi (IPK) terkait materi pembelajaran
hakikat bahasa dan pemerolehan bahasa.
b. Instruktur mengimbau peserta pelatihan untuk berbagi pendapat tentang
tujuan, kompetensi, dan IPK (instruktur meminta seorang peserta untuk
menulis hasil diskusi mereka dengan menggunakan power point)
c. Instruktur bersama peserta menyelaraskan tujuan, kompetensi, dan IPK
hasil diskusi dengan tujuan yang telah dipersiapkan oleh instruktur.
16
(4) Mengisi Lembar Kerja (LK)
a. Peserta (dalam kelompok peserta 3-4 orang) diminta mengisi LK yang telah
dipersiapkan. Instruktur membimbing peserta mengisi LK (instruktur dapat
menayangkan informasi yang telah disiapkan).
b. LK dapat berupa pertanyaan atau penugasan yang berorientasi kepada
tujuan atau kompetensi yang telah ditetapkan.
c. Peserta kembali merampungkan LK sampai tuntas dibimbing oleh instruktur
(catatan : peserta dapat menuntaskan lembar kerja diluar jam pelatihan).
(5) Menyajikan hasil LK
a. Presentasi hasil pengisisan LK oleh 5 orang guru yang ditunjuk oleh
instruktur (penunjukan secara acak oleh instruktur disepakati sebelumnya
bersama peserta).
b. Setiap peserta lainnya mengisi pedoman observasi.
(6) Refleksi
Instruktur bersama-sama dengan peserta melakukan refleksi/kaji ulang
atas seluruh rangkai pembelajaran yang telah dilakukan; mengapresiasi
hasil-hasil yang telah dicapai atau yang belum tercapai; mengevaluasi
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hasil belajar.
17