Anda di halaman 1dari 9

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


PROGRAM PASCASARJANA
UJIAN AKHIR SEMESTER

Oleh:
Tyapatra Dwi Rangga 17070845010

PROGRAM STUDI PASCASARJANA MANAJEMEN PENDIDIKAN


UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2017
UJIAN AKHIR SEMESTER TAHUN 2017-2018

Mata Kuliah : Filsafat Ilmu (Manajemen Pendidikan)


SKS : 3 sks
Dosen : Dr. Totok Suyanto, M.Pd.
Bentuk : Kajian (take home exam)

1. Salah satu kebijakan nasional di bidang pendidikan adalah bergulirnya Manajemen


Berbasis Sekolah (MBS). Paparkan secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis
MBS.
2. Hakekat pengambilan keputusan organisasional adalah menetapkan pilihan dari sejumlah
alternatif yang ada. Paparkan a) ontologi pengambilan keputusan organisasi, b)
epistemologi pemecahan masalah organisasi (pengambilan keputusan).
3. Sekolah sebagai organisasi dan sistem setidaknya dapat dilihat dari 3 perspektif, yakni: a)
perspektif sosial, b) perspektif profesional, dan c) perspektif politik. Paparkan masing-
masing perspektif, dan untuk kebanyakan sekolah di sekitar kita perspektif mana yang
paling sering digunakan?
4. Untuk membangun pendidikan nasional digunakanlah beragam aliran filsafat pendidikan
seperti Progresivisme, Rekonstruksionisme, Perenialisme, maupun Esensialisme.
Menurut saudara UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
menggunakan aliran filsafat yang mana? Berikan paparannya.

Jawab:
1. a. Secara Ontologis
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan paradigma baru pendidikan yang
memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dalam kerangka kebijakan pendidikan
nasional. Otonomi ini diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan
sumber dana dengan mengalokasikan sesuai dengan prioritas kebutuhan serta lebih
tanggap terhadap kebutuhan setempat. Manajemen Berbasis Sekolah juga menawarkan
sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memahami peserta
didik. Pada dasarnya Manajemen berbasis Sekolah suatu strategi pengelolaan
penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang menekankan pada pengerahan dan
pendayagunaan sumber internal sekolah dan lingkungannya secara efektif dan efisien
sehingga menghasilkan lulusan yang berkuaitas dan bermutu. Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan
secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan
(stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan
keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional.
b. Secara Epistemologis
1) Pemberdayaan
Manajemen berbasis sekolah sebagai proses pemberdayaan. Pemberdayaan yang
telah membuat kesetaraan dalam segala aspek tersebut juga meliputi aspek
pendidikan, antara lain dikeluarkannya MBS sebagai paradigma baru manajemen
pendidikan. Sedikitnya terdapat delapan langkah pemberdayaan dalam kaitannya
dengan MBS, yaitu:
1. Menyusun kelompok guru sebagai penerima awal atas rencana program
pemberdayaan.
2. Mengidentifikasi dengan membangun kelompok peserta didik di sekolah.
3. Memilih dan melatih guru dan tokoh masyarakat yang terlibat langsung dalam
implementasi MBS.
4. Membentuk dewan sekolah yang terdiri dari unsur-unsur sekolah, unsur
masyarakat di bawah pengawasan pemerintah daerah.
5. Menyelenggarakan pertemuan-pertemuan para anggota dewan anggota sekolah.
6. Mendukung aktivitas kelompok yang tengah berjalan.
7. Mengembangkan hubungan yang harmonis antara sekolah dan masyarakat.
8. Menyelenggarakan lokakarya untuk evaluasi.
2) Penerapan
Menurut kutipan dari Sholeh (2012) dengan kata lain, penerapan MBS
mensyaratkan yang berikut:
1. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
3. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada
saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran
komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu
bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala
sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para
guru dan orang tua murid.
c. Aksiologis
Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang
memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan berikut:
1. Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada
peserta didik, orang tua, dan guru.
2. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
3. Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar,
tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
4. Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru,
manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah, dan perubahan perencanaan.
Sedangkan tujuan Manajemen Berbasis Sekolah yang lebih rinci yaitu:
1. Meningkatkan peran serta warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama
2. Meningkatkan tanggungjawab sekolah terhadap orangtua, mayarakat, dan
pemerintah
3. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang
akan dicapai
4. Memberikan pertanggungjawaban tentang mutu pendidikan kepada pemerintah,
orangtua peserta didik, dan masyarakat
5. Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menyusun kurikulum muatan lokal,
sedangkan kurikulum inti dan evaluasi berada pada kewenangan pusat dan
pengembangannya disesuaikan dengan daerah dan sekolah masing-masing.
6. Memberikan kesempatan untuk menjalin hubungan kerjasama kepada sekolah baik
dengan perorangan, masyarakat, lembaga dan dunia usaha yang tidak mengikat.

2. a. Ontologi pengambilan keputusan organisasi


Pengambilan keputusan yang tepat melalui empat cara, yakni kebijaksanaan, emosi,
pemikiran kreatif dan kritis, serta etika.
1) Kebijaksanaan
pengetahuan tentang hal-hal yang tidak mengalami perubahan. Dalam etika, hal ini
berarti hal-hal yang dianggap benar atau salah, baik atau buruk secara umum.
Namun kebijaksanaan teoritis saja tidak cukup. Diperlukan kebijaksanaan praktis,
yang berarti memahami hal-hal yang tepat dilakukan dalam situasi tertentu melalui
pemahaman situasi yang tepat, memahami persoalan yang terjadi, dan menerapkan
langkah-langkah yang tepat.
2) Emosi
emosi dalam pengambilan keputusan dapat membantu meningkatkan kemampuan
melakukan penilaian (judgement) yang sehat menyangkut signifikansi sebuah
peristiwa, disertai dengan reaksi yang pantas. Namun emosi dapat mendatangkan
pemahaman mendalam tentang keadaan, nilai-nilai, dan pilihan hanya jika dalam
kondisi sehat. Jika tidak, pengambil keputusan akan kehilangan nilai-nilai
informasi.
3) Pemikiran Kreatif dan kritis
penciptaan, pemikiran, ide, keputusan dan tindakan, sering dengan cara-cara yang
baru dan tidak lazim. Dalam setiap tahap pengambilan keputusan, pemikiran
kreatif memiliki manfaat. Sementara, pemikiran kritis, menurut Ennis, adalah
proses yang bertujuan untuk mengambil keputusan yang logis tentang apa yang
diyakini dan dilakukan. Pemikiran kritis mencakup seperangkat keterampilan dan
sikap. Pemikiran kritis perlu diterapkan pada seluruh proses pengambilan
keputusan, memperoleh pemahaman akurat tentang situasi, dalam mengukur nilai,
dan juga dalam mengukur, menjalankan dan memantau opsi.
4) Etika
standar atau moral yang menyangkut benar-salah, baik-buruk. Konsep etika dalam
pengambilan keputusan merupakan bentuk penerapan dari etika deontologi dan
teleologi. Deontologi menyatakan bahwa sebuah keputusan yang diambil harus
didasarkan pada tugas-tugas dan hak-hak orang lain sebagai pertimbangan utama.
Sedangkan dalam teori etika teleologi, suatu perbuatan dianggap baik apabila
memiliki tujuan yang baik, demikian pula sebaliknya. Sebuah perbuatan yang pada
dasarnya adalah baik namun memiliki tujuan buruk, maka perbuatan tersebut
dinilai salah.
b. Epistemologi pemecahan masalah organisasi (pengambilan keputusan)
Epistimologi filsafat membicarakan tiga hal, yaitu objek filsafat (yaitu yang
dipikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran
(pengetahuan) filsafat.
1) Objek Filsafat
Pengetahuan di dapatkan dari pengamatan. Di dalam pengamatan indrawi tidak
dapat di tetapkan apa yang subjektif dan apa yang objektif. Segala pengetahuan di
mulai dengan gambarangambaran indrawi. Gambarangambaran itu kemudian di
tingkatkan sampai kepada tingkatantingkatan yang lebih tinggi, yaitu
pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif.
2) Cara memperoleh pengetahuan filsafat
Pertama-tama filosof harus membicarakan (mempertanggung jawabkan) cara
mereka memperoleh pengetahuan filsafat. Yang menyebabkan kita hormat kepada
para filosof antara lain ialah karena ketelitian mereka sebelum mencari
pengetahuan mereka membicarakan dan mempertanggungjawabkannya lebih
dahulu cara memperoleh pengetahuan tersebut. Sifat itu sering kurang dipedulikan
oleh kebanyakan orang. Pada umumnya orang mementingkan apa yang diperoleh
atau diketahui, bukan cara memperoleh atau mengetahuinya.
3) Ukuran kebenaran filsafat
Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis tidak empiris. Ukuran logis dan
tidaknya tersebut akan terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan teori
itu. Fungsi argumen dalam filsafat sangatlah penting, sama dengan fungsi data
pada pengetahuan sains. Bobot teori filsafat justru terletak pada kekuatan argumen
bukan pada kekuatan konklusi. Karena argumen itu menjadi kesatuan dengan
konklusi, maka boleh juga diterima pendapat yang mengatakan bahwa filsafat itu
argumen. Kebenaran konklusi ditentukan oleh argumennya.
3. a. Perspektif sosial
Setiap orang juga merupakan bagian dari suatu sistem sosial. Sekolah bukanlah
sekadar suatu perkumpulan yang terdiri dari pelaksana adminsitrasi, guru dan murid
dengan segala sifat dan pembawaan mereka masing-masing. Sekolah merupakan
suatu sistem sosial yang di dalamnya terdapat seperangkat hubungan yang mapan
yang menentukan apa yang terjadi di sekolah. Dalam perspektif sosial, pendidikan
adalah sebagai suatu gejala sosial. Pendidikan adalah setiap sistem budaya atau
instruksi intelektual yang formal atau semiformal. Analisis sosiologi dalam
pendidikan meliputi proses interaksi sosial yang terkait dengan aktivitas pendidikan
baik dari lingkup keluarga, kehidupan sosio-kultur masyarakat maupun pada tingkat
nasional. Pendidikan dalam perspektif sosial dapat menghasilkan sebuah gambaran
objektif tentang hubungan sosial yang menyusun pendidikan. Pendidikan sebagai
persiapan untuk hidup di masyarakat. Salah satu tujuan pendidikan yang disebutkan
oleh para ahli pendidikan adalah bahwa mendidik itu bertujuan membimbing anak
agar dapat hidup serasi dengan masyarakat tempat hidupnya. Jadi dapat disimpulkan
bahwa masyarakat mempunyai harapan agar pendidikan di sekolah dapat memberikan
bekal ilmu pengetahuan dan ketrampilan pada peserta didik agar dapat berkembang di
masyarakat.
b. Perspektif profesional
Proses profesional adalah proses evolusi yang menggunakan pendekatan organisasi
dan sistemastis untuk mengembangkan profesi ke arah status professional
(peningkatan status). Secara teoritis menurut Gilley dan Eggland (1989) pengertian
professional dapat didekati dengan empat prespektif pendekatan yaitu orientasi
filosofis, perkembangan bertahap, orientasi karakteristik, dan orientasi non-tradisonal.
1) Orientasi filosofi, pendekatan keprofesionalannya adalah adanya sertifikat,
lissensi, dan akreditasi. Selain itu untuk tingkat keprofesionalan harus memlalui
pendekatan sikap individu, yaitu pengembangan sikap individual, kebebasan
personal, pelayanan umum dan aturan yang bersifat pribadi.
2) Orientasi perkembangan, Dimulai dari adanya asosiasi informal individu-individu
yang memiliki minat terhadap profesi
3) Orientasi karakteristik, Profesionalisasi juga dapat ditinjau dari
karakteristik profesi/pekerjaan.
4) Orientasi non-tradisional, dengan bidang ilmu tertentu diharapkan mampu melihat
dan merumuskan karakteristik yang unik dan kebutuhan dari sebuah profesi.
c. Perspektif politik
Manajer dalam semua level selalu terlibat dalam perilaku politik untukmendapatkan
promosi atau untuk mempengaruhi pengambilan keputusanorganisasi berdasarkan
keinginannya. Kekuasaan dapat dimaknai baik atau buruk, sangat tergantung kepada
bagaiman pemegang kekuasaan menggunakannya. Dibutuhkan integritas dan
moralitas plus spiritualitas yang baik agar penguasa dalam menjalankan
kekuasaannya yang diwarnai dengan aktivitas politiknya diorganisasi hanya
bertujuan untuk mencapai visi dan misi organisasi.
Dari bermacam-macam perspektif diatas, kebanyakan sekolah di sekeliling kita
menggunakan perspektif sosialnya. Karena dalam perspektif sosial sekolah membutuhnya
masyarakat dan keluarga dari seorang peserta didik untuk mewujudkan tujuan dalam
membangun sekolah tersebut. Serta tujuan sekolah dsini adalah membangun peserta didik
bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan membuat peserta didik bisa berguna
untuk lingkungan sekitar untuk masyarakat sekitar.

4. Ada beberapa aliran filsafat yang digunakan dalam dunia pendidikan.


1) Filsafat Pendidikan progresivisme
Progresivisme merupkan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi
penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar naturalistik, hasil belajar
dunia nyata, dan juga pengalaman teman sebaya.
2) Filsafat Pendidikan Esensialisme
Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang
telah ada sejak awak peradaban umat manusia. Esensialisme memandang bahwa
pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama
yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
3) Filsafat Pendidikan Perenialisme
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan,
dimana susunannya itu merupakan hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi
seseorang untuk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat
bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama
dari filsafat khususnya filsafat pendidikan.
4) Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan
lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Maka,
proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu
merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang
baru, untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar umat
manusia.
Menurut undang-undang ini yang dimaksud dengan: Pendidikan nasional adalah
pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional
Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Hal ini menggunakan aliran
filsafat pendidikan Rekonstruksionisme, karena Aliran rekonstruksionisme, pada
prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis
kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut, memandang bahwa keadaan sekarang
merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran,
kebingungan dan kesimpangsiuran. Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran
rekonstruksionisme tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang oleh aliran perenialisme.
Keduanya memepunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan
ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan. Aliran
perenialisme memilih cara tersendari, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama
atau di kenal dangan regressive road culture yang mereka anggap paling ideal. Sedangkan
itu aliran rekonsruksinisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina suatu
konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan
umat manusia.

Anda mungkin juga menyukai