Anda di halaman 1dari 32

Perencanaan dan Pelaksaan Pekerjaan Perkerasan Beton (Rigid

Pavement)

Oleh: Purnomo

ABSTRAK
Dari tahun 2004-1014 telah terjadi kenaikkan harga aspal aspal 300 % dibanding dengan kenaikan
harga semen sebesar 150%, mengakibatkan biaya jalan beton (rigid pavement) lebih kompetitif
dibanding dengan jalan fleksibel. Turunnya kualitas pekerjaan perkerasan fleksibel seperti pemadatan
subgrade yang kurang, kualitas bahan agregat base dan pemadatan yang tidak baik, kesalahan
jobmix formula hotmix yang mengakibatkan setiap musim hujan jalan jalan fleksibel lebih cepat rusak
dibanding dengan jalan jalan beton mendorong opini masyarakat bahwa jalan beton lebih unggul
dibanding dengan jalan fleksibel (aspal). Kondisi ini dengan cepat telah mengubah mindset para ahli
jalan dan otoritas penyelenggara jalan bahwa jalan “beton merupakan solusi terjadinya
kerusakan kerusakan jalan setiap musim hujan”. Ibarat sejata dalam dunia pewayangan
bahwa senjata “cokro baskoro dan “senjata pasopati” pasti bisa memenangkan dalam perang “barata
yhudha”, beton dianggap jenis perkerasan yang bisa menyelesaikan segala kerusakan perkerasan
yang ada sekarang sehingga terjadi program pembetonan jalan dan lainsebagainya. Para pembuat
kebijakan lupa bahwa untuk menggunakan senjata yang ampuh (cokro baskoro, dan pasopati)
dilakukan dengan suatu perenungan atau pembelajaran, dan perhitungan yang cermat untuk
mencari suatu kebenaran dan hanyalah kebenaran yang bisa dicapai dengan senjata tersebut, bukan
didasari pada kepanikan, emosi, ingin cepat selesai sebagaimana yang dilakukan “Buto Cakil” seorang
prajurit sejati yang tak pernah menolak perintah, dan selalu menjaga kehormatannya sebagai
seorang ksatria, yaitu bertempur dengan cara ksatria, tanding, satu lawan satu, yang selalu dengan
mudah mengambil senjatanya yang akhirnya Cakil terhuyung huyung jatuh dengan dada tertembus
keris oleh tangannya sendiri. Itulah gambaran penerapan teknologi yang tanpa dipikir panjang
akhirnya akan menjadi bom waktu pada waktu operasi dan pemeliharaan berikutnya. Beton bila
digunakan sebagai bahan kontruksi perkerasan jalan tentunya lebih tahan terhadap air, dan pada
musim panas tidak terjadi rutting, namun karena sifat beton adalah kaku sangat sensitif terhadap
cracking dan bila sudah retak akan mahal biaya pemeliharaanya bahkan dengan terpaksa harus
diganti dengan konstruksi baru.
Kata kuncinya: tanah dasar yang stabil, sistem drainase baik, dan proses pengecoran yang benar.

1. Pendahuluan.

Perkerasan beton semen atau perkerasan kaku terdiri dari pelat beton semen yang
bersambung (tidak menerus) tanpa atau dengan dowel, atau menerus dengan
tulangan, terletak di atas tanah dasar atau diatas lapisan granular dengan bounding
atau unbounding baik dengan semen atau aspal yang terletak diatas tanah dasar
(subgrade),tanpa atau dengan pengaspalan sebagai lapis permukaan. Tanah dasar
yang terletak dibawah pondasi atau dibawah pelat beton telah dipadatkan dengan
ketebalan tertentu, sehingga tidak terjadi penurunan yang tidak merata. Fedaral
Highway Administration (FHWA) mendefinisikan perkerasan kaku terdiri dari pelat
beton semen yang dibangun di atas lapis pondasi (base) yang berada diatas tanah
dasar. Perbedaan perkerasan kaku dan perkerasan fleksibel yang paling menonjol
adalah cara keduanya dalam menyebarkan beban diatas tanah dasar (subgrade).
Perkerasan fleksibel terbuat dari agregat dan campuran agregat dengan aspal yang
kekakuan dan modulus elastisitas lebih rendah dibanding dengan pelat beton
sehingga penyebaranya beban ke tanah dasar jauh lebih sempit dibandingkan
dengan perkerasan kaku. Karena kekakuan dan modulus elastisnya besar maka
untuk perkerasan kaku kekuatan struktur perkerasan diberikan oleh pelat betonya iti
sendiri, sedangkan untuk perkerasan lentur diberikan oleh ketebalam lapisan lapisan
pondasi bawah, pondasi dan lapis permukaan (gambar 1).

a b

Gambar 1a Penyebaran beban perkerasan Gambar 1b Penyebaran beban perkerasan


fleksibel rigid
Gambar 1 Penyebaran beban
Konstruksi perkerasan kaku bisa terdiri dari pelat beton tanpa dowel, dengan dowel,
dengan tulangan, dengan tulangan menerus, prategang atau juga bisa dengan
filber. Dilangan ada yang langsung diletakan diatan tanah yang dibadatkan
(subgrade), diatas material granular, diatas material granular yang dibounding
dengan aspal atau semen (lean concrete). Karena material beton bila sudah rusak
atau pecah harus diganti baru maka dalam Manual Desain Perkerasan Jalan Bina
Marga Nomor: 02/M/BM/2013 untuk perkerasan kaku atau konstruksi perkerasan
yang berbasis semen umurnya harus lebih 40 tahun (tabel 1 Umur Perkerasan
Jalan).
Tabel 1 Umur Perkerasan Jalan
Jenis Elemen Perkerasan Umur Rencana
Perkerasan (tahun)
Perkerasan lapisan aspal dan lapisan berbutir dan CTB 20
Lentur pondasi jalan 40
semua lapisan perkerasan untuk area yang tidak diijinkan
sering ditinggikan akibat pelapisan ulang, misal : jalan
perkotaan, underpass, jembatan, terowongan.
Cement Treated Based
Perkerasan lapis pondasiatas, lapis pondasi bawah, lapis beton semen,
Kaku dan pondasi jalan
Jalan tanpa Semua elemen Minimum 10
Penutup

Lain halnya dengan perkerasan fleksibel bila sistem pemeliharaanya baik,


kerusakannya biasanya hanya pada lapis permukaan sehingga perbaikannya cukup
dilapis ulang, atau jika kerusakannya sampai base material tersebut bisa didaur
ulang sehingga umur perkerasannya ditetapkan 20 tahun.
Karena umur perkerasannya lebih dari 40 tahun dan kalau rusak harus dibongkar
yang biaya perbaikannya mahal dan membuat lalu lintas macet maka dalam
perencanaan dan pelaksanaan konstruksi beton harus mempertimbangkan hal hal
sebagai berikut;
a. Akibat dari kekakuan dan modulus elastisitas yang cukup besar pada pelat beton
maka penyebaran beban roda ketanah dasar cukup besar, untuk Joint Plan
Concrete Pavement penyebaran beban selebar pelat beton itu sendiri. Atau
dengan kata lain kekuatan perkerasan lebih banyak ditentukan oleh kekuatan
beton itu sendiri sehingga pengaruh daya dukung tanah tidak begitu signifikan.
Terjadinya penurunan tanah dasar yang tidak seragam akan mengakibatkan
rongga dibawah pelat sehingga pelat berfungsi seperti jembatan dan pelat beton
tidak kuat menahan beban dan akan pecah Untuk itu pelat harus diletakan
ditanah dasar yang kuat menahan beban beton dan roda kendaraan serta tanah
dasar yang stabil sehingga dapat menahan beban seluas pelat beton tersebut.
b. Beton terdiri dari gabungan material semen, air, pasir (agregat halus) dan kerikil
(agregat kasar) yang kemudian dicampur dan diaduk hingga tercampur secara
merata. Perbandingan jumlah material beton akan berpengaruh pada kuat beton
itu sendiri. Kuat beton biasanya diukur dengan cara ditekan atau diberi beban
pada umur beton 28 hari. Beton yang dibuat secara konvensional umumnya
mempunyai kuat tekan antara 18–32 Mpa. (N/mm2) dan berat 2,4 ton/m3,
biasanya disebut sebagai beton normal/ konvensional, sedangkan beton yang
mempunyai kuat tekan di atas 35 Mpa biasanya disebut dengan beton mutu
tinggi. Beton mutu tinggi umumnya ditambahkan bahan tambahan atau additive
dan admixture, yaitu bahan selain semen, agregat, dan air yang ditambahkan
pada adukan beton, sebelum atau selama pengadukan beton untuk mengubah
sifat beton sesuai dengan keinginan perencana. Penambahan additive atau
admixture tersebut ke dalam campuran beton dapat meningkatkan kinerja beton
hampur di semua aspeknya, yaitu kekuatan, kemudahan pengerjaan, keawetan,
dan kinerja-kinerja lainnya dalam memenuhi tuntutan teknologi konstruksi
modern. Bahan additive dan admixture dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu:
Air Entraining Agent (ASTM C260), Admixture Kimia (Bahan Tambahan Kimia,
ASTM C49 dan BS 5075), dan Mineral Admixture (Bahan Tambahan Mineral).
Karena material beton merupakan proses hidrasi semen dengan air yang
prosesnya tidak bisa diulang kembali maka kekuatan pelat beton sangat
tergantung pada proses proses hidrasi tersebut. Kesalahan pada waktu proses
hidrasi tidak bisa diulang kembali dan kerusakanya harus dibongkar.
c. Pengaruh pemampatan tanah dasar akibat dari proses pemadatan yang kurang
baik, perubahan volume tanah akibat dari terjadinya srinkage dan sweeling,
terjadinya pemompaan (pumping) butiran halus akan mengakibatkan rongga
dibawah pelat beton sehingga beton akan mudah patah.
d. Gerakan pelat yang tertahan/lengkungan (warping/curling), perancangan
sambungan dan tulangan untuk JRCP dan CRCP, akan mengakibatkan beban
beban tambahan pada pelat beton sehingga kalau tidak diantisipasi beton akan
patah.
Dari penjelasan diatas jelas bahwa perkerasan beton tidak memerlukan daya dukung
tanah dasar yang tinggi karena peran lapis pondasi bawah dalam mendukung beban
pada perkerasan beton tidak signifikan, dan beton lebih tahan terhadap pengaruh air
sewaktu musim hujan sehingga tidak terjadi stripping seperti campuran aspal panas,
namun bukan berarti perkerasan beton dapat diletakan diatas tanah dasar yang
masih terjadi proses pemampatan, tanah dasar yang kemungkinan terjadi srinkage
dan swelling yang signifikan sehingga terjadi defferensial setlement, diletakkan
diatas tanah yang kemungkinan bisa terjadi pumping, diletakkan pada badan jalan
yang drainasenye buruk, dipasang dowel yang tidak pada posisi yang benar,
tulangan pada posisi yang benar dan di cor pada lingkungan yang tidak benar dan
cara yang yang tidak benar. Diabaikannya faktor faktor tersebut diatas satu dua
tahun terlihat bagus namun setelah itu akan terjadi permasyalahan yang
pemeliharaanya mahal atau selamat pada saat yang membuat keputusan menjabat
(maksimum 5 tahun) setelah itu akan meninggalkan permasalahan bagi
penggantinya atau akan memberikan image yang jelek bagi institusi penyelenggara
yang membuat kebijakan “betonisasi” tanpa melakukan kajian kajian sebagaimana
yang dijelaskan diatas.

2 KINERJA DAN DESAIN PERKERASAN KAKU

2.1 Desain dan Kinerja perkerasan berbasis Semen.


Perkerasan berbasis semen secara masif digunakan di Indonesia untuk stabilisasi
tanah (soil cement) sekitar tahun 1975 di Palembang (dalam kota Palembang,
Palembang – Kayu agung) oleh Pertamina, sedangkan untuk Bina Marga mulai
menggunakan mulai tahun 1984 untuk daerah daerah yang sulit didapat batu
agregat seperti lintas timur Sumatera, Merauke dan lain sebagainya.

Gambar 2 : Pengerjaan stabilisasi tanah dengan semen tahun 1980-an

Keberhasilan perkerasan perkerasan soil cement sangat dipengaruhi oleh peralatan


yang digunakan. Makin kecil kemampuan peralatan untuk memecah butiran butiran
tanah yang akan dicampur dengan semen tingkat keberhasilanya makin tinggi.
Diatas soil cement dilapis dengan lapisan DBST atau chip seal atau lapisan
campuran aspal panas (Hotmix), konstruksi ini masih dikategorikan fleksibel. Fungsi
bounding disini digunakan untuk memperluas penyebaran beban ke tanah dasar

Gambar 3 Penyebaran beban material unbound dan bound ke tanah dasar

Konstruksi perkerasan dengan bounding cement ini terus berkembang untuk cement
treated base, Roller Compacted Concrete (tahun 1992 di Cikampek- Pamanukan),
Cement Base Course (CBC) di Pantura (1999).

Gambar 3 Jenis perkerasan berbasis semen

Sedangkan untuk perkerasan kaku mulai dibangun secara masif mulai tahun 1985 di
pelebaran jalan Cawang Muara Karang dan Jalan Tol, dan proyek proyek di Jakarta
sekitarnya (1990-an). Jalan Tol Padalarang – Cileunyi (1992), lingkar Plelen (2001),
Jalan Tol Cikampek- Padalarang (2004), Jalan Tol Plumbon- Palimanan (2004),
Pelebaran jalan Pantura (mulai 2004) dan terus berkembang sampai sekarang.
Umur desain untuk perkerasan kaku sebelum 2014 umumnya 20 tahun dan
sebagian kecil bertahan selama umur desain dengan sedikit pemeliharaan, seperti
jalan Tol padalarang – Ciliunyi, jalan tol Cawang – Grogol, namun banyak yang
umurnya belum 10 tahun sudah mengalami kerusakan yang cukup parah sehingga
memerlukan biaya pemeliharaan yang tinggi seperti perkerasan rigid di Pantura,
Cikampek – Padalarang, Plumbon – Palimanan, pelabaran jalan Tol Jakarta-
Cikampek, Jakarta - Tangerang dan lain sebagainya.

Gambar 4 Konstruksi Rigid diatas tanah lunak Lamongan dibangun tahun 2000
mulai rusak tahun 2005

Gambar 5 Konstruksi Rigid jalan Tol plumbon – Palimanan diatas timbunan tanah
dibangun tahun 2004 mulai rusak tahun 2008, diperbaik yang pecah, diatasnya
diaspal dan sekarang dibongkar diganti dengan fleksibel.
Gambar 6 Konstruksi Rigid jalan dijalur Pantura dibangun tahun 2003 tahun 2010
diganti dengan konstruksi fleksibel.

Sebagai pembanding perkembangan perkerasan kaku di Amerika sebagaian besar


umurnya bertahan sampai 20 tahun dengan sedikit pemeliharaan dan sekarang
telah dirancang perkerasan kaku untuk umur desain 100-tahun dengan
menggunakan teknologi terbaru, teknik konstruksi yang baik, dan peralatan, dan
bahan ditingkatkan.
Dengan memperhatikan kinerja dari perkerasan kaku dinegara negara maju selama
bertahun-tahun dan juga kemajuan dalam teknologi perkerasan, peralatan, dan
material, standar desain struktur untuk perkerasan kaku telah meningkat dari tahu
ketahun. Perubahan desain utama termasuk:
 Pada tahap awal sebagai alas pengecoran dibawah beton dipasang pondasi
beton kurus setebal 10 Cm. Karena dibawah beton kurus berupa tanah lempung
banyak terjadi pumping. Untuk menghindari ini drainase layer sudah menjadi
keharusan. Dibeberapa negara banyak yang menggunakan lapis pondasi
stabilisasi semen permeabel (CTPB), yang adalah lapis pondasi beton tanpa
pasir untuk memungkinkan air melewati pondasi dengan mudah atau
menggunakan lapis pondasi stabilisasi aspal permeabel (ATPB), yang
merupakan lapis pondasi beton aspal (AC) dengan kadar pengikat aspal lebih
rendah dari pada AC konvensional.
 Ketebalan pelat. Pada 1980-an, Pelat dengan tebal 8-inch (203 mm) adalah
praktik umum dan beberapa menggunakan tebal 9 inci (229 mm). Kemudian,
pelat dengan tebal 9-inch (229 mm) menjadi praktek umum. Saat ini, pelat
dengan tebal 10-inch (254 mm) umum digunakan dan bahkan beberapa
mengggunakan tebal 12-inch (305 mm) tergantung pada proyeksi lalu lintas.
 Dowel, tulangan pengikat (tie bar), dan penutup sambungan ditambahkan pada
tahun 2000.
Terdapat juga perubahan kecil sehubungan dengan kinerja struktural seperti
texturing permukaan, jarak dan tata letak sambungan, dan rincian untuk penutup
sambungan.
Untuk sebagian besar tempat, bahan campuran beton yang digunakan dalam pelat
perkerasan cukup konstan. Seseorang dapat menggunakan spesifikasi bahan
perkerasan 1980-an.Kekuatan lentur juga relatif konstan. Satu pengecualian adalah
persyaratan campuran mineral saat ini yang ditambahkan untuk agregat yang reaktif
atau reaksi alkali-silika (ASR). Persyaratan untuk kekuatan, perawatan (curing),
pencampuran, transportasi campuran, slump dan penetrasi tetap relatif konstan
selama 30 tahun terakhir.
Namun, peningkatan beban lalu lintas dan jumlah aplikasi sumbu berat cukup
signifikan, yang berpengaruh pada kualitas berkendara (rideability), dan akhirnya
menurunkan daya tahan struktur perkerasan. Hal ini terlihat sebagai alasan utama
yang membuat perkerasan kaku mulai menunjukkan kerusakan permukaan.
Kerusakan untuk perkerasan kaku pada CTB adalah faulting. Kerusakan ini terjadi
dari waktu ke waktu dengan pelat ujung depan naik yang terhubung dengan tepi
bersisian dari pelat ujung belakang, menyebabkan kualitas berkedara yang buruk
dan akhirnya retak di dekat sambungan. Telah diketahui bahwa saat LCB kemudian
umum digunakan, jumlah dan kejadian faulting berkurang. Hal ini disebabkan
karena LCB tidak mempunyai bahan lepas atau lemah terikat pada permukaannya,
sehingga mengurangi potensi terjadi pumping akibat keberadaan air dan bahan
halus. Lapis pondasi yang diperlebar sampai ke bahu juga membantu mengurangi
faulting pelat. CTPB dan ATPB digunakan untuk membuang air dari antarmuka
antara lapis pondasi dan pelat perkerasan untuk menghilangkan mekanisme
terbawanya bahan halus dari pelat bagian bawah ke bagian atas. Saluran samping
juga dimaksudkan untuk tujuan yang sama. Meskipun awalnya faulting telah
dianggap sebagai masalah kualitas berkendara, keberadaannya menjadi kunci
terhadap kerusakan struktural dari perkerasan kaku yang dibangun pada pondasi
mudah tererosi seperti CTB.
2.2 Penyebab Kerusakan Perkerasan Kaku
Ada beberapa penyebab kegagalan perkerasan kaku salah satu penyebab secara
umum kualitas waktu pelaksanaan yang tidak tepat sehingga struktur perkerasan
tidak dibangun seperti yang dirancang, alasan kedua adalah kondisi lokasi proyek
yang tidak lengkap atau keliru dianalisis tanpa pertimbangan yang tepat dari
dampak lingkungan terhadap perkerasan ditambah dengan ketidaktepatan jadwal
pemeliharaan terhadap perkerasan. Hal seperti ini tidak selalu dikarenakan
kekurangan atau kesalahan dalam desain perkerasan kaku, melainkan lebih kepada
ketidak tepatan mentransfer teori dalam praktek. Isu-isu lain mungkin melibatkan
perubahan yang tak terduga di lokasi kerja (seperti peningkatan beban lalu lintas)
setelah konstruksi. Estimasi beban sumbu yang terlalu rendah, praktek-praktek
pembangunan yang tidak benar, kerusakan terkait material, atau lingkungan yang
berubah (seperti munculnya air tanah setelah konstruksi) adalah contoh lain dari
perubahan yang tak terduga setelah konstruksi.
Beberapa contoh bahwa perkerasan kaku tidak dilaksanakan sebagaimana yang
dirancang.
a. Mix design yang terlalu banyak semen.
b. Selama pengangkutan ditambah air

Gambar 7 Untuk menghidari mengeras campuran ditambah air

c. Slump tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya (dalam spesifikasi ditetapkan


slump untuk beton yang dibentuk dengan slipfoam berkisar 20-50 mm dan yang
dibentuk dengan fix foam berkisar 50-75 mm), namun prakteknya ada yang lebig
dari 90mm.

Gambar 8 Slump diatas 90 mm


d. Dowel tidak dibuat sebagaimana mestinya (pemotongan dowel harus
menggunakan alat potong gergaji sehingga ujungnya rata)

Gambar 9 Pemotongan dowel tidak merata (akan terjadi beban ekstra)


e. Pemasangan dowel yang tidak dipasang pada tempatnya.

Gambar 10 Perletakan dowel tidak pada garis contraction joint

f. Pemasangan dowel yang tidak pada garis lurus

Gambar 11 Banyak dowel yang diijak sehingga tidak lurus lagi

Gambar 11 a Dowel yang benar


g. Coating yang salah (seharusnya dengan olie)

Gambar 12 Coating dowel diganti plastik


h. Pemotongan expasion joint terlambat

i. Pemadatan subgrade yang kurang sehingga terjadi proses pemampatan dan


penurunan subgrade yang tidak merata.

Gambar 13 Pelat beton pecah akibat penurunan subgrade yang tidak merata
Kesalahan ini lebih disebabkan oleh pemahaman para Satker, PPK, Kontraktor dan
Konsultan supervisi terhadap perkerasan kaku yang kurang.
a. Terjadinya kembang susut subgrade akibat sistem drainase yang tidak baik.

Gambar 14 beton pecah akibat penurunan tanah dasar.


b. Terjadinya diferensial setlement.

Gambar 15 Pelat beton patah akibat terjadinya diferensial setlement.

2.3 Mekanisme Faulting dan Upaya Mengatasi Faulting


faulting adalah salah satu kerusakan utama dan paling serius pada perkerasan
beton polos dengan sambungan. Untuk dapat mengatasi kerusakan akibat
faulting perlu memahami terjadinya faulting. Ada empat kondisi yang biasanya
harus ada untuk menyebabkan perkerasan mengalami faulting. Pertama harus
ada curling atau pengangkatan dari pelat. Perbedaan termal atau panas adalah
penyebab utama dari pengangkatan pelat. Kedua harus ada bahan halus yang
dapat bergerak di air. Ketiga harus ada air untuk membawa bahan halus dari
material lapis pondasi. Dan terakhir, pelat yang berdampingan pada sambungan
harus bebas bergerak secara independen satu dari yang lain, pelat yang
merupakan ujung depan harus mampu rebound ke atas setelah beban roda
meninggalkan pelat dan menekan pelat ujung belakang. Jika salah satu dari
keempat kondisi ini tidak ada, maka faulting seharusnya tidak terjadi.
Ketika faulting mencapai titik di mana ada drop-off (Gambar 16) dari pelat ujung
depan ke pelat ujung belakang sebesar 0,06 inci (1,5 mm) atau lebih,
pemeliharaan perkerasan menjadi sebuah kebutuhan. Bahu mulai menekan dan
retak, terutama di sisi bawah sambungan. Dengan meningkatnya faulting,
kerusakan bahu dan / atau drop-off juga meningkat. Kualitas berkendara menjadi
buruk sementara ketinggian drop-off meningkat dengan waktu dan aplikasi
beban. Meskipun kualitas berkendara dapat dibenahi dengan grinding berlian,
atau dilapis aspal langkah sementara ini tidak akan mengatasi penyebab
kerusakan struktur perkerasan. Sementara faulting terus terjadi, dukungan di tepi
depan pelat terus berkurang sehingga fungsi pelat lebih menjadi seperti jembatan
kantilever atau balok. Akhirnya, retak melintang muncul di dekat tepi pelat yang
masih didukung oleh lapis pondasi. Sementara kondisi terus memburuk, pelat
tanpa dukungan pondasi yang memadai akan retak. Hal ini sering terjadi 3-6 kaki
dari sambungan melintang. Pelat pendek yang baru terbentuk ini harus menahan
tegangan longitudinal yang meningkat akibat hilangnya luas penampang di sisi
berlawanan dari retak. Selain itu, perkerasan mulai untuk faulting pada retak,
yang kini berfungsi sebagai sambungan baru. Kerusakan lebih lanjut di lokasi ini
dapat menyebabkan retak tahap ketiga. Pada tahap akhir kerusakan perkerasan
ini, penggantian pelat mungkin adalah strategi rehabilitasi yang layak. Semakin
pelat mengalami retak tahap ketiga, perkerasan semakin memerlukan rehabilitasi
besar.

Gambar 16 Drop-off pelat yang disebabkan oleh erosi pondasi (Stahl, 2006)

Upaya untuk meningkatkan durabilitas perkerasan beton polos dengan sambungan


secara bertahap berpusat pada mengatasi faulting dari pelat perkerasan serta juga
meningkatkan ketebalan pelat. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa upaya
untuk mengurangi faulting yang sudah ada pada perkerasan beton dengan
sambungan telah memasukkan penambahan tulangan dowel di sambungan
melintang yang ada, juga disebut sebagai dowel-bar retrofit.
3. Tegangan Pada pelat akibat beban.
Tegangan yang timbul akibat beban lalu lintas pada perkerasan beton bergantung
pada letak beban: dibaguan dalam, sudut atau dipinggir perkerasan.

P
P P

P P

Asumsi bidang retak

p=kδ P=0
Gambar 17 Letak beban dan tegangan yang bekerja
Persamaan untuk menentukan tegangan lentur dalam pelat untuk beban sudut yang
diberikan oleh Westergaard (1926):

Persamaan untuk menentukan tegangan lentur dalam pelat untuk beban tengah
atau dalam pelat diberikan oleh Westergaard (1926):
Persamaan untuk menentukan tegangan lentur dalam pelat untuk beban pinggir
dalam pelat diberikan oleh Westergaard (1926):

Untuk desian tebal pererasan bisa mdngikuti Manual Desain Perkerasan jalan
Nomor: 02/M/BM/2013 yang diterbitkan oleh Bina Marga.

4. Tipe Perkerasan Kaku


Seleksi type perkerasan menurut NCHRP 1-32 terdiri dari :
a. Perkerasan Beton tak bertulang bersambung (Jointed Plain Concrete
Pavement,JPCP) tanpa dowel.
b. Perkerasan Beton tak bertulang bersambung (Jointed Plain Concrete
Pavement,JPCP) dengan dowel.
c. Perkerasan Beton dengan tulangan bersambung (Jointed Reinforced Concrete
Pavement,JRCP) dengan dowel.
d. Perkerasan Beton dengan tulangan menerus (Continuous Reinforced Concrete
Pavement,CRCP).
e. Perkerasan Beton Prestress.

Gambar 18: Pedoman seleksi type perkerasan menurut NCHRP 1-32


Fungsi tulangan dalam perkerasan beton atau kaku bukan untuk menahan beban
tetapi untuk mengikat retak atau mengendalikan retak .

Gambar 19 JRCP

Gambar 20 CRCP

Gambar 21 Tulangan tidak sesuai dengan ketentuan


5. Fungsi Tanah dasar
Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung pada sifat-
sifat dan daya dukung tanah dasar.
Persoalan tanah dasar yang sering ditemui antara lain :
a. Perubahan bentuk yang tetap (deformasi permanen) dari jenis tanah tertentu
sebagai akibat beban lalulintas.
b. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar air.
c. Daya dukung tanah tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada daerah
dan jenis tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau akibat
pelaksanaan konstruksi.
d. Lendutan selama dan sesudah pembebanan lalulintas untuk jenis tanah tertentu.
e. Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalulintas dan penurunan yang
diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir (granular soil) yang tidak dipadatkan
secara baik pada saat pelaksanaan konstruksi.
Jenis tanah dasar yang direkomendasikan adalah tidak termasuk tanah yang
berplastisitas tinggi yang diklasifikasikan sebagai A-7-6 menurut AASHTO M145 atau
CH menurut Unified atau Casagrande Soil Clasification. CBR minimum yang
direkomendasikan adalah sebesar 6% setelah perendaman dan memiliki kepadatan
kering maksimum (MDD) 100% sesuai SNI 03-1742-1989.
Kinerja Sebuah tanah dasar umumnya tergantung pada tiga karakteristik dasar
(yang semuanya saling terkait):
a. Load Bearing capacity. Tanah dasar harus mampu mendukung beban yang
ditransformasikan / disebarkan dari struktur perkerasan. Daya dukung beban ini
sering dipengaruhi oleh tingkat pemadatan, kadar air, dan jenis tanah. Tanah
dasar yang dapat mendukung jumlah pembebanan yang berat dan berulang ulang
tanpa adanya deformasi yang berlebihan dianggap baik dan memenuhi syarat.
b. Moisture Content (kadar air). Moisture cenderung mempengaruhi karakteristik
tanah dasar termasuk daya dukung tanah dasar, penyusutan dan pengembangan
(shrinkage & swelling). Kenaikan kadar air 2% saja dapat menurunkan daya
dukung tanah dasar sampai 50%. Kadar air dapat dipengaruhi oleh beberapa hal
seperti drainase yang kurang baik, permukaan air tanah, infiltrasi, atau porositas
dari lapis permukaan (seperti retak, lobang di lapis permukaan). Umumnya,
subgrade yang terendam akan akan merusak perkerasan.
c. Shrinkage and/or swelling (muai /susut). Beberapa tanah akan menyusut
atau mengembang tergantung pada kadar air mereka. Selain itu, tanah dengan
kandungan fraksi halus yang berlebihan sangat sensitif terhadap muai susut. Muai
susut cenderung menjadi faktor perusak/retak dari suatu perkerasan diatasnya
sehingga harus dihilangkan atau pengaruhnya dihilangkan.
Strength/ Stiffness Test .
Dari sudut pandang desain perkerasan dan rekayasa teknik, ada dua karakteristik
umum tanah yang menarik, klasifikasi menurut kekuatan atau kekakuannya
(strength and stiffness). Kekuatan (strength) material mengacu pada jumlah
beban atau tegangan yang dapat ditahan sebelum runtuh (baik melalui fraktur
atau deformasi yang tinggi). Kekakuan (stiffness) dari material mengacu pada
kemampuannya untuk menahan deformasi akibat pembebanan. Dua sifat tersebut
sangat berbeda, namun masing-masing sangat berkorelasi dan sering digunakan
sebagai pengganti untuk satu dan lainnya. Tiga hal yang dijadikan dasar untuk
menetukan kekakuan / kekuatan subgrade yang umum digunakan di Amerika
Serikat: California Bantalan Ratio (CBR), Resistance Nilai (R-value) dan elastis
(resilient) modulus. Meskipun ada faktor-faktor lain yang yang digunakan untuk
mengevaluasi bahan tanah dasar tersebut (seperti swelling atau dalam kasus
kasus tertentu terhadap tanah lempung/clay).
California Ratio Bantalan (CBR)
California Rasio Bantalan (CBR) tes adalah uji kekuatan sederhana yang
membandingkan daya dukung dari bahan yang dinilai dengan material standar
dengan komposisi bagur yang mempunyai CBR 100% (dengan demikian, kualitas
tinggi bahan batu pecah harus memiliki CBR @ 100%). Umumnya material
standar tersebut memiliki ukuran gradasi maksimum kurang dari 19 mm (0,75 in)
(AASHTO 2000) Metode ini dikembangkan oleh Divisi Jalan California sekitar
tahun 1930 dan kemudian diadopsi oleh banyak negara, lembaga federal AS dan
dunia internasional yang menangani pembangunan jalan. Hampir seluruh
laboratorium dilengkapi dengan alat untuk melakukan tes CBR ini.
Resistance Nilai (R-value).
Variabel tanah selain CBR, yang digunakan sebagai dasar untuk perhitungan tebal
perkerasan adalah nilai ketahanan (R- value). Resistance Nilai (R-value) tes
adalah tes kekakuan (stiffness) material. Pengujian R- Value untuk
mengekspresikan perlawanan material terhadap deformasi sebagai fungsi dari
rasio tekanan lateral yang ditransformasikan menjadi tekanan vertikal. Test ini
pada dasarnya adalah hasil test triaxial dimodifikasi. Uji R-nilai dikembangkan oleh
F.N. Hveem dan R.M. Carmany Divisi California Bina Marga dan pertama kali
dilaporkan pada tahun 1940-an. Uji R value dikembangkan sebagai perbaikan test
CBR untuk mengatasi adanya diformasi subgrade seperti rutting yang terjadi pada
tapak roda. R-nilai kebanyakan digunakan oleh State Highway Agen (Shas) di
pantai barat AS.
Modulus Resilient
The Resilient Modulus (MR) adalah tes kekakuan bahan subgrade. Modulus
Resilient material adalah perkiraan nyata dari modulus elasitas. Kekakuan
(elastisitas) didefinisikan sebagai perbandingan antara tegangan dan regangan
terhadap pembebanan dengan kecepatan rendah, sedangkan resilient modulus,
adalah antara tegangan dan regangan pada penerapan beban secara cepat.
Modulus elastis
Modulus elastisitas kadang-kadang disebut modulus Young setelah Thomas Young
yang dipublikasikan konsep kembali 1807.Modulus elastisitas (E) dapat diperoleh
dari setiap bahan padat dan merupakan rasio konstan stress dan strain
(kekakuan). Bahan yang elastis jika mampu untuk kembali ke bentuk aslinya atau
ukuran awal segera setelah diberikan tarikan atau regangan.
Triaxial Resilient Modulus Test
Secara fondamental ada dua pendekatan test laboratorium untuk memperkirakan
modulus elastisitas dan mendapatkan data penurunan (deflleksi) /
backcalculation.
 Diametral modulus resilient. Tes ini biasanya digunakan untuk mengukur
kinerja Hot Mix Asphalt (akan dibahas tersendiri).
 Triaxial modulus resilient. Tes ini biasanya digunakan pada bahan terikat
seperti tanah dan agregat.
Dalam tes modulus resilient triaksial, Modulus Resilient (MR) diperoleh melalui uji
tegangan dan regangan secara berulang ulang dengan waktu dan besaran gaya
tertentu. Sementara benda uji mengalami tekanan dinamic (Stress) siklik, juga
dikenakan pembatas stres statis yang disediakan oleh ruang tekanan triaksial.
Kelembaban.
Air/ uap air memasuki struktur perkerasan melalui retakan di permukaan, secara
lateral dari pengeringan selokan yang kurang baik, dan dari permukaan air
melalui kapiler. Keberadaan uap air dalam tanah dan lapisan dasar struktur
perkerasan melemahkan material dan akhirnya mengurangi kapasitas beban yang
dapat ditahan. Perubahan kelembaban yang bervariasi pada suatu segmen
mendorong terjadinya diferensial setlemet dalam segmen tersebut. Selain itu, uap
air (evaporasi) bisa merubah beberapa tanah lempung yang dapat menyebabkan
perubahan volume, distorsi perkerasan dan kekasaran jalan. Karena efek dari
kelembaban tanah terhadap kinerja dari perkerasan sangat besar maka drainase
harus diberikan perhatian yang lebih dalam desain, konstruksi perkerasan dan
operation dan maintenace.
Dari uraian diatas jelas bahwa tanah dasar memegang peran penting dalam
mempertahankan kondisi jalan perkerasan selalu mantap sepanjang tahun. Dalam
pembangunan jalan baru atau rekonstruksi tanah dasar harus dilindungi dari
pengarus perubahan water content, oleh karena itu dalam ditemui kondisi tanah
(galian) yang PI tinggi atau klasifikasi tanah A-7-6, perlu dilakukan perbaikan
sehingga tidak terlalu sensitif terhadap air misalnya dengan kapur atau semen.
Sedang untuk jalan jalan lama yang kondisi subbasenya sudah tercampur dengan
tanah dasar maka perlu dilakukan stabilisasi (dengan Cement Treatment
Recycling Base). Dalam Operation dan Maintenance yang perlu diperhatikan
adalah melindungi badan jalan dari pengarus air baik air permukaan atau air
tanah.
6. Lapis pondasi
Lapis pondasi adalah bagian dari struktur perkerasan yang terletak antara tanah
dasar dan lapis perkerasan beton semen. Biasanya terdiri atas lapisan dari material
berbutir (granular material) yang dipadatkan, distabilisasi ataupun tidak, atau lapisan
tanah yang distabilisasi.
Fungsi lapis pondasi antara lain :
a. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebar
beban roda.
b. Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan-lapisan di
atasnya dapat dikurangi ketebalannya (penghematan biaya konstruksi).
c. Mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi.
d. Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan konstruksi berjalan lancar.
Lapis pondasi diperlukan sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah
dasar terhadap roda-roda alat berat (terutama pada saat pelaksanaan konstruksi)
atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup tanah dasar
dari pengaruh cuaca.
Lapis pondasi pada perkerasan beton semen adalah bukan merupakan bagian utama
yang memikul beban, tetapi merupakan bagian yang berfungsi sebagai berikut:
a. Mengendalikan pengaruh kembang susut tanah dasar.
b. Mencegah intrusi dan pemompaan pada sambungan, retakan dan tepi-tepi pelat.
c. Memberikan dukungan yang mantap dan seragam pada pelat beton.
d. Sebagai perkerasan lantai kerja selama pelaksanaan.
e. Sebagai perletakan terhadap lapis pondasi.
Bahan pondasi dapat berupa :
 Unstabilized (Granular) Subbase
Gradasi agregat Unstabilized (Granular) Subbase bebas mengalirkan air (dengan
target permeabilitas 45m/hari, tetapi tidak lebih dari 107m/hari, berdasarkan tes
di labolatorium). Unstabilized (Granular) Subbase harus dipadatkan ≥ 95%
berdasarkan kepadatan AASHTO T99 / ASTM D698. Gradasi tipikal dari
Unstabilized (Granular) Subbase diperlihatkan pada Tabel 1.1.
Gradasi Unstabilized (Granular) Subbase yang baik dan padat harus memiliki
indek plastisitas (PI) ≤ 6,0 dan terdapat maksimum 15% dari partikel halus (lolos
saringan No.200 / 75 µm). Cement Aggregate Mixtures
 Cement Treated Base (CTB)
 Campuran beton kurus (Lean-Mix Concrete, LC).
 Asphalt Treated Base (ATB)
 Tanah-Semen (Soil-Cement) atau Kapur

7. Drainase
Air masuk dibawah perkerasan dapat berasal dari banyak sumber, antara lain:
a. Retakan permukaan ataau lewat joint
b. Pinggiran perkerasan
c. Uap air dari bawah/evaporasi
d. Air capiler dari bawah
e. Air tanah pada musim hujan tinggi
Gambar 21 Sumber air dalam subgrade
Air di dalam tanah dasar dapat merupakan hasil infiltrasi air permukaan atau dari air
tanahnya sendiri. Air yang meresap ke tanah dasar dapat mempercepat rusaknya
perkerasan. Untuk mengurangi meresapnya air hujan dapat dilakukan dengan cara
a. Membuat drainase yang baik
b. Membuat struktur perkerasan /permukaan yang kedap air dan miring menuju
saluran drainase
c. Pemeliharaan bahu jalan yang baik.

8. Pelaksanaan.
a. Perancangan Proporsi Campuran
Beton merupakan fungsi dari bahan penyusunnya yang terdiri dari bahan semen,
agregat kasar, agregat halus dan air. Perencana dapat mengembangkan
pemilihan material yang baik sehingga diperoleh beton yang efisien dan
memenuhi kekuatan batas yang disyaratkan. Tahapan-tahapan perancangan
proporsi campuran beton dapat dilihat pada Gambar 22.
Bahan-bahan beton
Semen
Semen yang digunakan pada pekerjaan konstruksi harus sesuai dengan semen
yang dipakai pada disain proporsi campuran. Ini secara sederhana dapat diartikan
semen yang sama tipenya atau boleh diartikan semen dari sumber yang sama.
Semen yang digunakan harus memenuhi spesifikasi seperti dibawah ini:
a) Semen yang digunakan untuk pekerjaan beton harus jenis semen Portland tipe
I, II, III, IV, dan V yang memenuhi SNI 15-2049-2004 tentang Semen
Portland.
b) Semen tipe IA (Semen Portland tipe I dengan air-entraining agent), IIA (Semen
Portland tipe II dengan air-entraining agent), IIIA (Semen Portland tipe III
dengan air-entraining agent), dan PCC (Portland Composite Cement).
Mulai

Bahan lain
Pengujian bahan beton

Semen Agregat halus Agregat kasar Air

Memenuhi Tidak
syarat
Ya
Perencanaan campuran beton
(Mix design)

Campuran percobaan
(Pembuatan benda uji beton)

Perawatan

Pengujian benda uji beton

Pengujian kuat Pengujian kuat lentur beton


tekan beton (Perkerasan beton semen/kaku)

Tidak Memenuhi
syarat
Ya
Formula campuran kerja
(Job mix formula, JMF)

Selesai

Gambar 22 Tahapan perancangan proporsi campuran beton


Agregat
Sifat-sifat agregat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
a) Agregat yang digunakan harus bersih, keras, kuat yang diperoleh dari
pemecahan batu atau koral, atau dari penyaringan dan pencucian (jika perlu)
kerikil dan pasir sungai.
b) Agregat harus bebas dari bahan organik seperti yang ditunjukkan oleh
pengujian SNI 03-2816-1992 tentang metode pengujian kotoran organik dalam
pasir untuk campuran mortar dan beton, dan harus memenuhi sifat-sifat
lainnya yang diberikan dalam Tabel 2.1 bila contoh-contoh diambil dan diuji
sesuai dengan prosedur yang berhubungan.
Ukuran maksimum agregat kasar tidak boleh melebihi:
 jarak terkecil antara sisi-sisi cetakan.
 ketebalan pelat lantai.
 jarak bersih minimum antara tulangan-tulangan atau kawat-kawat bundel
tulangan atau tendon prategang atau selongsong-selongsong.
Pembatasan ini dapat diabaikan jika kelacakan dan metoda pemadatan beton
adalah sedemikian sehingga beton dijamin dapat dicor tanpa terjadi sarang lebah
ataupun rongga. Perencana wajib memutuskan apakah pembatasan ukuran
maksimum agregat tersebut boleh diabaikan.
Air
Hampir semua air alami yang dapat diminum dan tidak mempunyai rasa atau bau
yang mencolok akan memenuhi syarat sebagai air campuran pembuatan beton.
Ketidakmurnian air (mengandung oli, asam, alkali garam, bahan organik dll)
dapat mempengaruhi tidak hanya kuat beton dan stabilitas volume, tetapi dapat
juga mengakibatkan florescence atau korosi tulangan. Air harus harus memenuhi
ketentuan dalam SNI 03-6817-2002 tentang metode pengujian mutu air untuk
digunakan dalam beton.
Bahan tambah
Ketentuan mengenai bahan tambahan ini harus mengacu pada SNI 03-2495-1991
spesifikasi bahan tambah untuk beton.
Bahan tambahan yang mengandung calcium chloride, calcium formate, dan
triethanolamine tidak boleh digunakan. Untuk kombinasi 2 (dua) atau lebih bahan
tambahan, kompatibilas bahan tambahan tersebut harus dinyatakan dengan
sertifikat tertulis dari produser. Super plasticizer/hinge range water reducer dapat
digunakan apabila disebutkan dalam Gambar.
b. Pengecoran.
Pengecoran dapat dilakukan dengan 2 cara Fix form dan Slipfoam.

Pengecoran dilakukan metode fix form dan dengan peralatan yang sangat
sederhana, pengecoran dengan cara ini sulit mendapatkan suatu kerataan yang
baik.
Pengecoran dilakukan dengan fix form dn dengn paver, pengecoran dengan cara ini
dapat mengasilkan permukaan yang rata namun perlu fix form yang mutunya baik.

Pengecoran dilakukan dengan Slipform, pengecoran dengan cara ini dapat


mengasilkan permukaan yang rata namun perlu ruang yang lebar dan biaya relatif
lebih mahal dibanding dengan 2 cara diatas.
Kondisi tempat kerja
Pelaksanaan pekerjaan pengecoran campuran beton harus dihentikan bilamana kondisi
dibawah ini terjadi:
 Laju penguapan melampaui 1,0 kg/m2/jam
Tingkat penguapan akan sangat tinggi bila kelembaban relatif kecil, temperatur beton
lebih tinggi dari temperatur udara, dan bila angin bertiup pada permukaan beton.
Bilamana terjadi kombinasi panas, cuaca kering dan angin yang kencang akan
mengakibatkan hilangnya kelembaban yang lebih cepat dibandingkan dengan pengisian
kembali rongga oleh proses aliran air. Pengeringan yang cepat juga terjadi pada cuaca
dingin, serta jika temperatur beton pada saat pengecoran adalah lebih tinggi dari pada
temperatur udara.
Jika laju penguapan air lebih dari 1,0 kg/m2 per jam, pencegahan harus dilakukan untuk
menghindari terjadinya retak susut plastis. Besarnya laju penguapan dapat diestimasi
dengan menggunakan nomogram seperti diperlihatkan pada Gambar 23.
Gambar 23 Nomogram penentuan besar laju penguapan

Prosedur atau cara menggunakan diagram penentuan besar laju penguapan pada
Gambar 23 :
1. Masukkan nilai suhu udara dalam derajat Farenheit atau derajat Celcius
2. Tarik garis dari nilai suhu udara menuju grafik kelembaban relatif
3. Setelah didapat titik pada grafik kelembaban udara, tarik garis ke arah kanan untuk
suhu beton
4. Tarik garis kembali ke arah bawah untuk mendapatkan titik pada grafik kecepatan
angin
5. Tarik garis ke arah kiri untuk membaca nilai dari penguapan rata-rata (kg/m2/jam)
Contoh pembacaan diagram penentuan besar laju penguapan pada Gambar 2.11:
Contoh 1 : - Suhu udara = 64oF / 18oC
- Kelembaban relatif = 45 %
- Suhu beton = 60oF / 16oC
- Kecepatan angin = 20 mph / 32 km/jam
- Penguapan rata-rata = 0,6 kg/m2/jam
Contoh 2 : - Suhu udara = 86oF / 30oC
- Kelembaban relatif = 40 %
- Suhu beton = 80oF / 27oC
- Kecepatan angin = 20 mph / 32 km/jam
- Penguapan rata-rata = 1,3 kg/m2/jam
Pada kondisi lapangan seperti contoh 1, maka proses pengecoran boleh dilaksanakan
karena laju penguapan masih dibawah 1,0 kg/m2/jam meskipun campuran beton yang
digunakan merupakan campuran beton normal (tanpa bahan tambah apapun).
Sedangkan pada kondisi lapangan contoh 2, pengecoran beton normal (tanpa bahan
tambah apapun) tidak boleh dilaksanakan karena laju penguapan sudah diatas 1,0
kg/m2/jam. Kecuali apabila campuran beton yang digunakan sudah ditambahkan bahan
tambah untuk memperlambat waktu pengikatan/pengerasan (set retarding) campuran
beton, atau pada saat pencampuran bahan-bahan campuran beton air yang digunakan
merupakan air yang dingin (air es) sehingga bisa munurunkan suhu campuran beton,
maka hal ini berakibat pada besaran nilai laju penguapan akan turun.
 Apabila lokasi pekerjaan beton tidak dilengkapi dengan fasilitas pelindung dari pengaruh
air hujan dan angin, maka selama turun hujan atau apabila udara penuh debu atau
tercemar maka pekerjaan pengecoran beton harus segera dihentikan.
Kehilangan slump (slump loss)
Kehilangan slump dapat didefinisikan sebagai kehilangan konsistensi beton segar
setelah lewat suatu waktu tertentu. Ini sesungguhnya suatu gejala normal, yaitu air
bebas dalam campuran beton berkurang oleh reaksi hidrasi, oleh absorpsi pada
permukaan beton segar dan oleh penguapan.
Dalam kondisi normal kehilangan slump dapat diabaikan bila terjadi setengah jam
setelah semen teraduk dengan air, tapi akan menunjukkan kehilangan slump yang
cukup besar setelah 1.5 jam oleh pengaruh pengadukan, pengantaran dan
pengecoran.
Biasanya pengukuran slump dilakukan sesudah pencampuran dan kemudian
sebelum beton segar dituang untuk memeriksa apakah konsistensi beton sudah baik,
bila tidak maka akan diadakan penyesuaian yang tepat untuk menjamin cukup
konsistensi bagi pemadatan dan finishing beton yang dicor. Untuk mengatasi ini,
timbul praktek lapangan seperti pada beton ready mix, dibuat slump lebih tinggi dari
rencana sewaktu meninggalkan pabrik pengaduk untuk kompensasi kehilangan
slump yang diperkirakan, atau menambahi air (masih dalam rasio air-semen yang
diijinkan), lalu beton segar diaduk ulang (remixing) sebaik-baiknya sebelum dituang.
Praktek tersebut terakhir ini dikenal dengan kata retempering ("diatur ulang"). Bagi
yang memanfaatkan caracara ini baiknya menggunakan prosedur A dan B yang
tersedia di ACI 305R-91. Dalam hal perbaikan slump dilakukan dengan pemakaian
bahan tambahan kimia dianjurkan berpedoman pada ASTM C494.
Bila inspeksi lapangan dan kontrol mutu lemah, sering kali terjadi pekerja lapangan
melakukan praktek yang jelek dengan menambah ekstra air pada beton segar,
apakah itu perlu atau tidak dengan tujuan ingin memudahkan transportasi beton
segar. Sudah tentu ini harus dihindari karena retempering air berlebihan atau tidak
diaduk ulang (remixing) sesuai aturan akan menyebabkan pengurangan kekuatan,
keawetan dan sifat-sifat lemah lain beton.
Waktu pengikatan (setting time)
Bila semen dicampur dengan air maka akan terjadi reaksi pengikatan (setting).
Dibedakan 2 macam waktu pengikatan (setting) yaitu awal pengikatan (setting) dan
akhir pengikatan (setting). Awal waktu pengikatan didefinisikan sebagai awal
pengerasan (solidifikasi) pasta beton. Begitu juga akhir waktu pengikatan
didefinisikan sebagai akhir solidifikasi beton segar.
Baik awal waktu pengikatan dan akhir waktu pengikatan beton ditentukan oleh
metoda uji yang disebut metoda perlawanan penetrasi ( penetration resistance
method). Khusus untuk waktu pengikatan beton segar diatur oleh ASTM C403. Yang
penting bagi produsen beton adalah makna dari 2 macam waktu pengikatan itu,
yaitu awal waktu pengikatan adalah didefinisikan sebagai batas pengolahan ( limit of
handling) dan akhir waktu pengikatan sebagai permulaan pengembangan kekuatan
mekanis beton. Selanjutnya ASTM C403 mengatakan bahwa awal waktu pengikatan
adalah kira-kira waktu dimana beton segar sudah tidak bisa/boleh diaduk, ditem-
patkan dan dipadatkan secara baik. Sedangkan akhir waktu pengikatan memberikan
kira-kira waktu sesudah itu proses pengembangan kekuatan beton melaju cukup
cepat. Sudah jelas, pengetahuan mengenai waktu pengikatan ini sangat diperlukan
dalam penjadwalan operasi konstruksi beton. Waktu awal pengikatan diperoleh dari
saat antara beton dicampur air dan saat terjadi perlawanan penetrasi sebesar 3.5
Mpa.
Faktor-faktor utama yang berpengaruh pada waktu pengikatan beton adalah kom-
posisi semen, rasio air-semen, temperatur dan bahan tambahan campuran. Karena
itu harus diingat, waktu pengikatan dari pasta semen bisa berbeda dengan waktu
pengikatan beton yang mengandung jumlah semen yang sama namun rasio air-
semen berbeda. Pada umumnya makin tinggi rasio air-semen, makin lama waktu
pengikatan.
Memiliki data uji waktu pengikatan awal dengan memperhitungkan faktor-faktor di
atas akan sangat bermanfaat bagi operasi produksi beton ini. Kalau tidak ada, maka
akan berlaku bahwa agar tetap memenuhi syarat kelacakan, beton segar harus
selesai ditempatkan dan dipadatkan dalam waktu 1.5 jam setelah selesai proses
pencampuran.
Segregasi didefinisikan sebagai terjadinya pemisahan pada komponen-komponen
beton segar sehingga tidak lagi terdistribusi secara homogen. Ada 2 macam
segregasi, yaitu pertama karena beton segar terlalu kering, terjadi pemisahan
mortar dari badan beton (seperti, karena penggetaran berlebihan) sedangkan yang
kedua didefinisikan sebagai fenomena penampakan lapisan air dipermukaan atas
beton setelah penempatan dan pemadatan beton segar tetapi sebelum mulai awal
waktu pengikatan.
Segregasi dan bleeding
Air adalah komponen paling ringan dalam campuran beton segar, sehingga bleeding
adalah bentuk segregasi karena agregat yang lebih berat bergerak ke bawah oleh
gaya gravitasi. Dalam prakteknya selain air naik kepermukaan, banyak yang
tertahan sebagai kantong-kantong air diantara agregat kasar dan tulangan, dimana
di bagian atas kantong-kantong air itu lebih banyak dan lebih besar dari bagian
bawah sehingga bagian atas ini kurang kuat dibanding bagian bawah.
Informasi ini menjadi dasar kuat bahwa segregasi harus sedapatnya dikurangi
karena tidak mungkin beton mencapai kekuatan maksimum bila beton sudah dalam
kondisi tidak padat.
Masalah bleeding ini dapat dikurangi atau dihindarkan apabila semua ketentuan hasil
disain campuran, pengantaran, pengecoran dan metoda penempatan dipenuhi
sebaik-baiknya. Terutama pada segregasi oleh campuran kering, syarat gradasi AK
serta ukuran butir maksimumnya dan gradasi AH nya jangan dilanggar, walau
kadang kala campuran kering dapat dikurangi dengan sedikit tambahan volume air
(retempering). Bagi yang berminat akan pengukuran laju bleeding dan total
kapasitas, bleeding dari suatu campuran beton segar dapat dipelajari di ASTM 0232

Perawatan perkerasan beton semen


Perawatan/curing adalah kegiatan menutup atau melindungi lapisan perkerasan
beton semen supaya tetap lembab ( moist). Dengan menjaga kelembaban lapisan
beton semen maka ikatan antara pasta semen dan agregat akan menjadi semakin
kuat. Proses pengerasan beton semen tidak akan berjalan dengan baik jika lapisan
beton semen dibiarkan pada udara terbuka.
Permukaan perkerasan beton semen yang terekspos harus segera dirawat dengan
cara sebagai berikut:
1) Penyemprotan bahan perawat (curing compound) berupa bahan membran cairan
berpigmen putih (Curing Concrete - type 2 White Pigmented) dan Liquid
Membrane-Forming Compounds yang memenuhi AASHTO M148. Bahan membran
tanpa warna atau bening tidak akan disetujui. Lalu bahan perawat disemprot
segera setelah permukaan tersebut selesai dikasarkan dengan sikat sesuai dengan
kondisi berikut ini:
a) Bahan perawatan harus dalam bentuk lapisan yang menerus dan tak terputus,
dan disemprotkan dengan merata dalam 2 kali penyemprotan:
Pertama-tama dalam waktu 15 menit setelah kondisi air permukaan “tidak
begitu mengkilap”, dan
Yang kedua 10 sampai 30 menit setelah itu atau sebagaimana disarankan
pabrik pembuatnya
b) Alat penyemprot yang dapat beroperasi penuh merupakan prasyarat untuk
penghamparan perkerasan
c) Masing-masing penyemprotan harus dengan kadar yang sesuai dengan
sertifikat pengujian untuk perawatan yang efisien. Jika digunakan alat
penyemprot mekanis untuk menyemprotkan bahan perawat pada permukaan
beton disyaratkan dengan menggunakan kecepatan 0,22 - 0,27 lt/m2 atau 0.27
- 0.36 lt/m2 untuk penyemprotan manual.
d) Setiap ruas yang penyemprotannya tidak memenuhi syarat harus disemprot
ulang dalam waktu 6 (enam) jam dengan kadar penyemprotan yang telah diuji
tidak kurang dari kekurangan dua kali penyemprotan semula.
e) Lapisan perawatan harus dipertahankan utuh dalam bentuk selaput
(membrane) yang menerus dan tidak patah sampai kekuatan lapangan sebesar
300 kg/cm2 dicapai. Setiap kerusakan selaput perawatan ( curing membrane)
harus diperbaiki dengan penyemprotan manual pada lokasi yang cacat
f) Setiap perkerasan beton semen yang telah mengeras dengan umur kurang dari
7 hari yang bersebelahan dengan perkerasan yang akan dihampar harus
disemprot ulang dengan satu kali penyemprotan dengan panjang minimum 7 m
dan diperluas ke lokasi yang sering dilalui orang selama pengecoran pada
sambungan konstruksi.
2) Penutupan lapisan permukaan beton menggunakan burlap atau karung goni yang
selalu dibasahi selama minimum 7 hari. Lapis pondasi bawah beton kurus yang
saat selesai dikerjakan harus segera dirawat paling tidak sampai 70% kekuatan
yang disyaratkan tercapai. Perawatan permukaan harus dilaksanakan dengan
salah satu metoda berikut:
a).Penutupan dengan lembaran plastik yang kedap sampai lapis perkerasan
berikutnya dihampar, tertambat kokoh terhadap tiupan pada permukaan dan
mempunyai sambungan tumpang tindih sekurang-kurangnya 300 mm dan
dipasang sedemikian hingga kadar air di bawahnya tidak menguap keluar.
b).Seluruh permukaan disemprot dengan merata dengan bahan perawatan
berpigmen putih (Curing Concrete - type 2 White Pigmented).
c).Pengabutan yang berkesinambungan menutup seluruh permukaan dan
mempertahankan kondisi kadar air yang permanen selama seluruh durasi
perioda perawatan. Perawatan dengan pembasahan yang sebentar-sebentar
tidak dapat diterima.

Perlindungan perkerasan beton semen


Setelah beton dicor dan dipadatkan, hingga berumur beberapa hari, beton harus
dilindungi terhadap kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan.
a) Pencegahan terhadap retak susut plastis
Retak susut plastis adalah retak yang terjadi pada permukaan beton basah dan
pada saat masih plastis. Penyebab utama dari retak tipe ini adalah pengeringan
permukaan beton yang terlalu cepat yang dipengaruhi oleh kelembaban relatif,
temperatur beton dan udara serta kecepatan angin. Jika laju penguapan air lebih
dari 1,0 kg/m2 per jam, pencegahan harus dilakukan untuk menghindari
terjadinya retak susut plastis.
Prosedur untuk meminimalkan retak akibat susut plastis :
buat pelindung angin untuk mengurangi pengaruh angin dan atau sinar matahari
terhadap permukaan beton semen kendalikan perbedaan temperatur yang
berlebihan antara beton dan udara baik cuaca panas maupun dingin hindari
keterlambatan penyelesaian akhir setelah pengecoran beton rencanakan waktu
antara pengecoran dan permulaan perawatan dengan memperhatikan prosedur
pelaksanaan, apabila terjadi keterlambatan, lindungi beton dengan penutup
sementara lindungi beton selama beberapa jam pertama setelah pengecoran dan
pembuatan tekstur permukaan untuk meminimalkan penguapan
b) Perlindungan terhadap hujan;
Untuk melindungi beton belum berusia 12 jam, harus ditutup dengan bahan
seperti plastik, terpal atau bahan lain yang sesuai.
c) Perlindungan terhadap kerusakan permukaan.
Perkerasan harus dilindungi terhadap lalulintas umum dan proyek, dengan
pemasangan rambu lalulintas, penerangan lampu, penghalang, dan lain
sebagainya.

Sambungan pada perkerasan beton semen

Sambungan pada perkerasan beton semen dibuat dengan tipe, ukuran dan pada
lokasi seperti yang ditentukan dalam Gambar. Semua sambungan harus dilindungi
agar tidak kemasukan material yang tidak dikehendaki sebelum ditutup dengan
bahan pengisi.
Sambungan pada perkerasan beton semen ditujukan untuk :
 Membatasi tegangan dan pengendalian retak yang disebabkan oleh
penyusutan, pengaruh lenting serta beban lalulintas.
 Memudahkan pelaksanaan.
 Mengakomodasi gerakan pelat.
Pada perkerasan beton semen terdapat beberapa jenis sambungan antara lain:
 Sambungan memanjang
 Sambungan melintang
 Sambungan isolasi
Semua sambungan harus ditutup dengan bahan penutup (joint sealer), kecuali pada
sambungan isolasi terlebih dahulu harus diberi bahan pengisi ( joint filler).

Sambungan memanjang dengan batang pengikat (tie bars)


Pemasangan sambungan memanjang dengan batang pengikat (tie bars) ditujukan
untuk mengendalikan terjadinya retak memanjang. Jarak antar sambungan
memanjang sekitar 3-4 m.
Sambungan memanjang harus dilengkapi dengan batang ulir dengan mutu minimum
BJTU-24 dan berdiameter 16 mm.
Ukuran batang pengikat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
At = 204 x b x h dan
l = (38,3 x ) + 75
Dengan pengertian :
At = Luas penampang tulangan per meter panjang sambungan (mm2).
b = Jarak terkecil antar sambungan atau jarak sambungan dengan tepi perkerasan
(m).
h = Tebal pelat (m).
l = Panjang batang pengikat (mm).
= Diameter batang pengikat yang dipilih (mm).
Jarak batang pengikat yang digunakan adalah 75 cm.

9. Kesimpulan.
Dalam laporan Kajian Kebijakan Pembangunan 2014 yang berjudul “ Indonesia
Menghindari Perangkap (Indonesia: Avoiding The Trap)” halaman 97 dikatakan bahwa
‘belanja jalan jalan nasional telah meningkat tiga kali lipat antara tahun 2005
dan 2011 namun hanya menghasilkan peningkatan (output) sebesar 20 persen
dalam pembangunan dan pemeliharaan jalan-jalan. Dari tahun 2005 hingga 2011,
sebagian besar jaringan jalan nasional diperluas melalui jalan strategis. Namun
upaya-upaya itu tidak meningkatkan kemajuan pencapaian sasaran dalam
membangun jaringan jalan-jalan arteri berstandar tinggi yang akan sangat
mendukung kebutuhan ekonomi. Kurangnya perawatan jalan-jalan daerah
merupakan masalah yang serius karena pembangunan jalan baru lebih diprioritaskan
dari pemeliharaan. Diperkirakan bahwa pemeliharaan jalan daerah yang memadai
akan membutuhkan peningkatan dua kali lipat dari tingkat belanja saat ini (Bank
Dunia, 2012)”. Kritikan ini harus kita terima karena banyaknya jalan jalan yang
selesai dibangun atau ditingkatkan atau di lapis dengan program pemeliharaan
berkala, namun umur tidak sampai setengahnya. Ada 4 hal yang kita lupakan atau
lepas diantaranya:
 Mutu program, mutu perencanaan (design), mutu pelaksanaan.
 Organisasi dan sistem pemeliharaan jalan yang dapat mencegah terjadinya
lobang (pemeliharaan preventive/preservasi).
 Delivery System yang tidak menghasilkan pelaksana pembangunan/pemeliharaan
jalan yang dapat membangun/memelihara dengan mutu yang baik.
 Partisipasi masyarakat pemakai jalan/ pemanfaat jalan/pemerhati jalan atau
dengan kata lain masyarakat makin permisif terhadap penyelenggaraan jalan.
Akibat kondisi inilah yang menyebabkan produktivitas penyelenggara jalan rendah
dan harus kita perbaiki supaya tidak terjebak dalam fenomena lagu “ gundul gundul
patcul” ciptaan Sunan Kalijogo tahun 19400 –an yang akhir nyanyianya segone
nggelimpang dadi sak latar (sumber daya yang ada mubazir).

10. Referensi.
a. Geoffery griffiths and Nick Thom, Concrete Pavement Design Guidance Note,
Taylor & Francis .
b. ACPA, 1991. Design and Construction of Joints for Concrete Highways,
American Concrete Pavement Association, Portland Cement Association, TB-
010.0D, Arlington Heights, IL, 1991.
c. ACPA, 1998. Guidelines for Partial-Depth Spall Repair, American Concrete
Pavement Association, TB003.02P, 1998.
d. Caltrans, 1996. Caltrans Traffic Manual, Sacramento, CA, 1996.
e. Caltrans, 1999. Standard Specifications, California Department of Transportation, July
1999.

f. FHWA, 2001. PCC Pavement Evaluation and Rehabilitation Reference Manual,


National Highway Institute Course No. 131062, Federal Highway Administration,
October 2001.

g. FHWA, 2003. Distress Identification Manual for the Long-Term Pavement


Performance Program, Publication No. FHWA-RD-03-031, FHWA, June 2003.

h. FHWA, 2005. Memorandum on Pavement Preservation Definitions, FHWA,


September 12, 2005.

Anda mungkin juga menyukai