Anda di halaman 1dari 26

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama Lengkap : An. R
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 15 tahun
Alamat : Desa Mekarsari, Rt.2 Rw.11 , Banjar Kota
Datang Ke klinik Mata Tanggal : 30 Oktober 2015

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Pandangan mata sebelah kiri seperti ada yang menghalangi.
RPS : Pasien datang ke poli mata RSU Banjar dengan keluhan pengelihatan
mata kiri sisi luar seperti terhalang benda keputihan seperti kabut sejak
satu minggu yang lalu. Pasien juga mengeluh mata kirinya kadang
terasa gatal dan kemerahan sejak satu bulan yang lalu. Sekitar
seminggu yang lalu pasien melihat di bulatan hitam mata kirinya
terdapat bercak berwana keputihan. Keluhan seperti rasa nyeri, mata
seperti berpasir, mata berair lebih banyak dari biasanya, mata seperti
ada yang mengganjal, kotoran mata lebih banyak disangkal oleh
pasien.
RPD : Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya.
RPK : Pada keluarga pasien tidak ada yang menderita seperti ini.
Riwayat Pengobatan : Pasien sudah berobat ke puskesmas di berikan obat tetes mata,
tetapi tidak ada perubahan
Riwayat Alergi : Alergi obat-obatan (-), makanan (-), udara (-)
Riwayat Psikososial : Selama ini pasien pergi dan pulang sekolah mengendarai
dengan sepeda motor tanpa menggunakan pelindung mata,
pasien mengaku sering kelilipan, dan bila kelilipan pasien
menggosok matanya. Pasien tidak pernah menggunakan lensa
kontak.

1
III. PEMERIKSAAN FISIK MATA ( Status Oftalmologikus )

No Pemeriksaan OD OS

1 Visus 6/8, PH: 6/6 6/8, PH: 6/6

2 Tekanan Intra Okuler Normal Normal

3 Kedudukan Bola Mata

Posisi Ortoforia Ortoforia

Eksoftalmus (-) (-)

Endoftalmus (-) (-)

4 Pergerakan Bola Mata

Atas (+) baik (+) baik

Bawah (+) baik (+) baik

Temporal (+) baik (+) baik

Temporal atas (+) baik (+) baik

Temporal bawah (+) baik (+) baik

Nasal (+) baik (+) baik

Nasal Atas (+) baik (+) baik

Nasal Bawah (+) baik (+) baik

Nistagmus (-) (-)

2
5 Palpebra

Hematom (-) (-)

Edema (-) (-)

Hiperemis (-) (-)

Benjolan (-) (-)

Ulkus (-) (-)

Fistel (-) (-)

Hordeolum (-) (-)

Kalazion (-) (-)

Ptosis (-) (-)

Ektropion (-) (-)

Entropion (-) (-)

Sekret (-) (-)

Trikiasis (-) (-)

6 Punctum Lakrimalis

Edema (-) (-)

Hiperemis (-) (-)

Benjolan (-) (-)

Fistel (-) (-)

3
7 Konjungtiva Tarsal Superior

Edema (-) (-)

Hiperemis (-) (-)

Sekret (-) (-)

8 Konjungtiva Tarsalis Inferior

Kemosis (-) (-)

Hiperemis (-) (-)

Anemia (-) (-)

Folikel (-) (-)

Papil (-) (-)

Lithiasis (-) (-)

Simblefaron (-) (-)

4
9 Konjungtiva Bulbi

Kemosis (-) (-)

Pterigium (-) (-)

Pinguekula (-) (-)

Flikten (-) (-)

Simblefaron (-) (-)

Injeksi konjungtiva (-) (-)

Injeksi siliar (-) (+)

Injeksi episklera (-) (-)

Perdarahan subkonjungtiva (-) (-)

5
10 Kornea

Kejernihan Jernih Keruh

Edema (-) (-)

Ulkus (-) (-)

Arkus senilis (-) (-)

11 Sklera

Episkleritis (-) (-)

Skleritis (-) (-)

12 Kamera Okuli anterior

Kedalaman Sedang Sedang

Kejernihan Jernih Jernih

Hifema (-) (-)

Hipopion (-) (-)

13 Iris

Warna Cokelat Cokelat

Gambaran radien Jelas Jelas

Eksudat (-) (-)

Sinekia Anterior (-) (-)

Sinekia Posterior (-) (-)

6
14 Pupil

Bentuk Bulat Bulat

Besar ± 3 mm ± 3 mm

Isokor (+) (+)

Letak Sentral Sentral

Refleks cahaya langsung (+) (+)

15 Lensa

Kejernihan Jernih Jernih

IOL (-) (-)

Shadow iris (-) (-)

IV. RESUME
• Anamnesis
Seorang anak perempuan usia 15 tahun, datang dengan keluhan pengelihatan mata
kiri sisi luar seperti terhalang kabut putih sejak satu minggu yang lalu. Terkadang
mata kiri pasien terasa gatal dan terlihat merah. Sehari-hari pasien pergi dan
pulang sekolah dengan menggunakan sepeda motor, pasien sering kelilipan saat
mengendarai motor. Pasien juga sering menggosok matanya bila kelilipan.

• Pada pemeriksaan fisik mata di dapatkan


Okuli sinistra : kornea infiltrat

7
V. DIAGNOSA KERJA
 Keratitis

VI. PENATALAKSANAAN
 Pengobatan
- Kompres mata
- Antibiotik topikal

 Edukasi
- Hindari terlalu banyak menyentuh mata yang sakit
- Menjaga kebersihan daerah mata
- Kontrol ke poli mata

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Histologi Kornea


Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-12 mm
horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan
kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan
dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme pada sistem
optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus
h u m o r d a n o k s i g e n ya n g b e r d i f u s i m e l a l u i l a p i s a n a i r m a t a . S e b a g a i
t a m b a h a n , kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu
organtubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya
adalah100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea dipersarafi oleh banyak
saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke
V, saraf siliar longus yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea,
menembusmembran Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel
dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Krause
ditemukan pada daerah limbus
Kornea dalam bahasa latin “cornum” artinya seperti tanduk, merupakan
selaput bening mata, bagian dari mata yang b ersifat tembus cahaya, merupakan
lapis dari jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :

1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel
tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan
epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film air mata
merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal seringterlihat
mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan men jadi lapis sel sayap dan
semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan
sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula
okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa
melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat
e r a t k e p a d a n ya . B i l a t e r j a d i g a n g g u a n a k a n m e n g a k i b a t k a n e r o s i

9
r e k u r e n . Sedangkan epitel berasal dari ektoderem permukaan.Epitel memiliki
daya regenerasi

2. Membran bowman
Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari
epitel.Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal
dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dar i ketebalan kornea. Merupakan
l a p i s a n tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan
lebar s e k i t a r 1 µ m ya n g s a l i n g m e n j a l i n y a n g h a m p i r m e n c a k u p s e l u r u h
d i a m e t e r kornea, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di
bagian perifer serat kolagen ini bercabang, terbentuknya kembali serat kolagen
memakan waktulama, dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel
stroma kornea yangm e r u p a k a n fibroblas terletak di antara serat
kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat
k o l a g e n d a l a m p e r k e m b a n g a n e m b r i o a t a u sesudah trauma
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea yang
dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak amorf
pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur
hidup d a n m e m p u n y a i t e b a l + 4 0 m m . L e b i h k o m p a k d a n e l a s t i s
daripada membranBowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan
p r o s e s p a t o l o g i k l a i n n y a dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain.
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal,
tebalantara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel
darikornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan
lapisane p i t e l k a r e n a t i d a k m e m p u n y a i d a y a r e g e n e r a s i , s e b a l i k n ya
e n d o t e l mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh
endoteld a n m e m b e r i k a n d a m p a k p a d a r e g u l a s i c a i r a n , j i k a e n d o t e l
t i d a k l a g i d a p a t menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan
sistem pompa endotel,stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan
kemudian hilangnyatransparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea
10
ditentukan olehepitel dan endotel yang merupakan membrane
semipermeabel,kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika
terdapat kerusakan pada lapisanini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada
kornea

2.2 Fisiologi Kornea


Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui
berkascahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya
yang uniform, avaskuler dan Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan
kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar
epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting
daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak j a u h
lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan.
Sebaliknya, kerusakan p a d a e p i t e l h a n y a m e n y e b a b k a n e d e m a s t r o m a
kornea lokal sesaat yang a k a n meghilang bila sel-sel epitel telah
beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata p r e k o r n e a l m e n g h a s i l k a n
h i p e r t o n i s i t a s r i n g a n l a p i s a n a i r m a t a t e r s e b u t , ya n g mungkin merupakan
faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial danmembantu mempertahankan
keadaan dehidrasi..
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Subst ansi larut-lemak
dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya
agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel
a d a l a h s a w a r ya n g e f i s i e n t e r h a d a p m a s u k n y a m i k r o o r g a n i s m e k e d a l a m
k o r n e a . N a m u n s e k a l i k o r n e a i n i c e d e r a , s t r o m a ya n g a v a s k u l a r d a n
m e m b r a n b o w m a n mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti
bakteri, virus, amuba,dan jamur .
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya,
dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan
sel dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama
terjadi di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan
kejernihan kornea,s e g e r a m e n g g a n g g u p e m b e n t u k a n b a ya n g a n ya n g b a i k
di retina. Oleh k a r e n a n ya kelainan sekecil apapun di kornea, dapat
menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di daerah pupil
11
2.3 Definisi dan Etiologi keratitis
Keratitis merupakan peradangan pada kornea. Keratitis dapat terletak superfisial maupun
profunda. Keratitis superfisial tidak akan meninggalkan parut ketika masa penyembuhan,
sedangkan keratitis profunda dapat meninggalkan parut yang mengganggu penglihatan ketika
masa penyembuhan. Keratitis dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti infeksi, mata kering
yang disebabkan oleh gangguan kelopak mata atau kurangnya air mata, pajanan terhadap
sinar yang terlalu terang, reaksi alergi terhadap iritan, dan defisiensi vitamin A. Keratitis
dapat terjadi pada dewasa maupun anak. Mata yang kering dapat menurunkan mekanisme
pertahanan kornea sehingga mengakibatkan keratitis. Gejala dan tanda keratitis diantaranya
ialah mata merah, hiperlakrimasi, nyeri, penurunan visus, serta fotofobia.

2.4 Klasifikasi
Keratitis menurut lokasinya dapat dibagi menjadi:
1. Keratitis superfisial
Keratitis superfisial mengenai bagian epitel dan subepitel kornea. Keratitis ini
dapatberbentuk pungtata, numular, dendritik,geografik dan disciform.Bentuk-bentuk
ini khas untuk menentukan etiologinya. Biasanya tidak meninggalkan parut.
2. Keratitis stroma
Keratitis ini mengenai lapisan stroma dan biasanya berbentuk disciform.
3. keratitis profunda
Keratitis profunda mengenai stroma lapisan dalam dan endotel kornea dan
mempunyai bentuk yang tidak khas. Disfungsi endotel akan menyebabkan munculnya
edema kornea. Biasanya meninggalkan parut.
Keratitis dapat juga dibagi berdasar mikroorganisme penyebab infeksinya, bentuk lesi,
maupun etiologi lainnya. Di bawah ini adalah jenis-jenis keratitis berdasarkan pembagian
tersebut.

2.4.1 Keratitis Pungtata


Keratitis pungtata (KP) ialah keratitis yang terkumpul di daerah membran Bowman,
dengan infiltrat berbentuk bercak-bercak halus. KP dapat disebabkan oleh moluskum
kontangiosum, akne rosasea, herpes simpleks, herpes zoster, blefaritis neuroparalitik, infeksi
virus lainnya, traukoma, serta trauma radiasi. KP biasanya terdapat bilateral dan berjalan

12
kronis tanpa terlihat gejala kelainan konjungtiva, ataupun tanda akut, yang sering terjadi pada
dewasa muda.

2.4.2 Keratitis Marginal


Keratitis marginal merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan
limbus. Dapat disebabkan oleh penyakit infeksi lokal konjungtiva, bersifat rekuren, biasanya
terdapat pada pasien paruh baya dengan blefarokonjungtivitis. Bila tidak diobati dengan baik
akan mengakibatkan tukak kornea. Penderita akan mengeluh sakit, seperti kelilipan,
lakrimasi, disertai fotofobia berat. Pada mata akan terlihat blefarospasme pada satu mata,
injeksi konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang memanjang, dangkal unilateral dapat tunggal
atau multipel, sering disertai neovaskularisasai dari limbus. Pengobatan yang diberikan
adalah antibiotika sesuai penyebabnya dan steroid dosis ringan.

2.4.3 Keratitis Interstisial


Keratitis yang ditemukan pada jaringan kornea yang lebih dalam. Keratitis interstisial
(KI) dapat terjadi akibat alergi atau infeksi spiroket ke dalam stroma kornea, dan
tuberkulosis. Pada keratitis interstisial akibat lues kongenital didapatkan neovaskularisasi
dalam, yang terlihat pada usia 5-20 tahun pada 80% pasien lues. KI merupakan keratitis
nonsupuratif profunda disertai dengan neovaskularisasi. Biasanya akan memberikan keluhan
fotofobia, lakrimasi, dan penurunan visus. Pada keratitis intertisial maka keluhan bertahan
seumur hidup.
Seluruh kornea keruh sehingga iris sukar dilihat, permukaan kornea seperti permukaan
kaca. Terdapat injeksi siliar disertai serbukan pembuluh ke dalam sehingga memberikan

13
gambaran merah kusam atau disebut juga ’salmon patch’ dari Hutchinson. Seluruh kornea
dapat berbentuk merah cerah. Kelainan ini biasanya bilateral. Pengobatan tergantung
penyebabnya. Pada keratitis diberikan tetes mata sulfas atropin untuk mencegah sinekia
akibat terjadinya uveitis dan tetes mata kortikosteroid. Keratitis profunda dapat juga terjadi
akibat trauma sehingga mata terpajan pada kornea dengan daya tahan rendah.

2.4.4 Keratitis Bakterial


Keratitis bakterial adalah suatu infeksi yang mengancam penglihatan, bersifat
progresif, serta terjadi destruksi kornea secara keseluruhan dalam 24-48 jam pada jenis
bakteri yang virulen. Ulkus kornea, pembentukan abses stromal, edema kornea, dan
peradangan segmen anterior merupakan karakteristik dari penyakit ini.

2.4.4.1. Patofsiologi pada keratitis bakterial


Gangguan pada epitel kornea yang utuh, penyakit kelopak mata kronik, trauma
pemakaian kontak lensa dan abnormal tear film dapat mengakibatkan masuknya
mikroorganisme ke dalam stroma kornea, dimana proliferasi serta pelepasan toksin dan enzim
bakteri dapat mengakibatkan destruksi dari kornea dan terbentuk ulkus. Proses infeksi
dipengaruhi oleh faktor virulensi dari bakteri. Pada fase awal, epitel dan stroma daerah yang
terinfeksi membengkak dan nekrosis, sel inflamasi akut (umumnya PMN) mengelilingi area
yang terinfeksi dan menyebabkan terbentuknya infiltrat. Nekrosis dan penipisan dari kornea
dapat menyebabkan parut kornea. Penipisan yang berat dapat menyebabkan perforasi dan
mengakibatkan terjadinya endoftalmitis. Difusi dari produk peradangan (termasuk sitokin)
posterior merangsang sel inflamasi menuju bilik mata depan dan dapat mengakibatkan
hipopion.
Hal-hal yang dapat menyebabkan kerusakan epitel antara lain:
1. Pemakaian kontak lensa berlebihan
2. Kontaminasi solutio kontak lensa atau pengobatan tetes mata
3. Penurunan status imunologis sebagai akibat dari malnutrisi, alkohol, dan diabetes

14
4. Penyakit permukaan okular yang terjadi apabila mekanisme pertahanan tubuh melemah
seperti pada keadaan penyakit kornea pasca herpes, trauma, keratopati bulosa, pajanan
kornea, mata kering, dan kehilangan sensasi pada kornea
5. Defisiensi air mata
6. Malposisi dari kelopak mata yaitu entropion dengan trikiasis dan lagoftalmus
7. Pemakaian steroid topikal
2.4.4.2. Organisme penyebab
Organisme patogen penyebab keratitis bakteri diantaranya Streptococcus,
Pseudomonas, Enterobacteriaceae (termasuk Klebsiella, Enterobacter, Serratia, dan
Proteus), dan Staphylococcus sp.
2.4.4.3. Gejala klinis
Pasien dengan keratitis bakteri pada umumnya bersifat unilateral, nyeri, fotofobia,
hiperlakrimasi, dan terdapat penurunan fungsi penglihatan. Anamnesis yang perlu dilakukan
diantaranya riwayat pemakaian kontak lensa, trauma, penurunan status imunologis, defisiensi
air mata, penyakit kornea, dan malposisi kelopak mata. Dapat ditemukan infiltrat stromal dan
sekret kental mukopurulen. Kornea edem, injeksi konjungtiva, dan pada kasus yang berat
dapat ditemukan hipopion. Tekanan intraokular dapat turun disebabkan hipotonus badan
siliar. Namun, pada umumnya tekanan intraokular meningkat akibat sumbatan dari trabecular
meshwork oleh sel peradangan. Kelopak mata juga dapat edema.
Beberapa jenis bakteri memiliki respon kornea yang khas yaitu :
1. S. aureus dan S. pneumoniae pada umumnya memberikan gambaran oval, kuning-putih,
supurasi stroma yang padat dan opak dikelilingi kornea yang jernih, serta menyebar dari
fokus infeksi ke tengah kornea. Pada umumnya muncul 24-48 jam setelah inokulasi pada
kornea. Hipopion dapat terjadi. Pada pemeriksaan Gram akan ditemukan diplokokus
Gram positif.
2. Pseudomonas sp umumnya menghasilkan eksudat mukopurulen, nekrosis liquefaktif yang
difus, dan semi-opak ’ground-glass’ pada penampakan stroma. Infeksi berkembang
dengan cepat karena enzim proteolitik yang diproduksi oleh Pseudomonas. Terasa nyeri,
dan perforasi kornea dapat terjadi dalam 48 jam. Pada pemeriksaan Gram akan ditemukan
bakteri batang Gram negatif
3. Enterobacteriaceae biasanya menyebabkan ulserasi dangkal, supurasi pleomorfik abu-
abu-putih dan diffuse stromal opalescence. Endotoksin yang dihasilkan bakteri Gram-
negatif dapat memberikan gambaran infiltrat ring cornea.

15
Pada pemeriksaan oftalmologis dapat ditemukan ulserasi epitel, infiltrat kornea tanpa
kehilangan jaringan, peradangan supuratif stroma dan padat, kehilangan jaringan stroma, dan
edema stroma. Dapat juga ditemukan peningkatan reaksi bilik mata depan dengan atau tanpa
hipopion, lipatan pada membran descemet, edema kelopak mata, sinekia posterior,
peradangan kornea fokal maupun difus, hiperemis konjungtiva, dan eksudat mukopurulen.
2.4.4.4. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu penegakkan diagnosis adalah kultur
mikroorganisme dengan pengambilan spesimen dari ulkus, menggunakan spatula platinum
dan ditempatkan pada agar darah dan agar coklat. Pewarnaan menggunakan Gram, Giemsa,
dan pewarnaan tahan asam atau akridin orange.
2.4.4.5. Terapi
Terapi dimulai dengan antibiotik spektrum luas sebab infeksi polimikrobial sering
terjadi. Pemilihan regimen pengobatan dapat menggunakan terapi kombinasi, aminoglikosida
(gentamisin 1,5%, tobramisin 1,5%) 1 tetes/jam, cefazolin fortifikasi 1 tetes/jam pada jam
bangun selama lima hari, dan sefalosporin (cefuroxim 5%) atau monoterapi dengan
fluoroquinolon seperti ciprofloksasin 0,3% 2 tetes/15 menit selama 6 jam diteruskan 2
tetes/30 menit selama 18 jam dan kemudian di tapp off sesuai respon pengobatan. Monoterapi
kurang adekuat pada infeksi Streptococcus. Kombinasi terapi menggunakan fluorokuinolon
dan cefuroxim dapat disarankan pada anak. Perbaikan kondisi terjadi pada 48 jam berikutnya.
Perawatan di rumah sakit dapat dilakukan bila kepatuhan pasien kurang atau
dibutuhkan perawatan malam hari pada kasus sulit. Apabila hasil yang didapatkan cukup baik
maka antibiotik topikal dapat diberikan setiap dua jam. Apabila perbaikan yang terjadi dapat
dipertahankan maka tetes mata dapat diganti yang lebih rendah kadarnya atau dihentikan.
Pemberian tetes mata yang terlalu sering terutama aminoglikosida dapat mengakibatkan
keracunan konjungtiva dan kornea serta memperlambat penyembuhan epitel. Ciprofloksasin
dapat menyebabkan penumpukan deposit kornea berwarna putih dan memperlambat
penyembuhan. Antibiotik diganti apabila organisme telah resisten dan infeksi bertambah
berat.
Siklopegik seperti atropin 1% dapat digunakan pada kedua mata untuk mencegah
sinekia posterior akibat uveitis anterior sekunder serta mengurangi nyeri akibat spasme siliar.
Kompres dingin dapat membantu mengurangi peradangan.
Terapi steroid masih kontroversial, keuntungan penggunaan steroid adalah
mengurangi nekrosis pada stroma dan mengurangi parut yang terjadi. Namun, steroid juga
dapat memperpanjang infeksi. Terapi steroid diindikasikan pada kultur yang steril dan terjadi
16
perbaikan dengan penggunaan steroid. Pada umumnya perbaikan terjadi 7-10 hari setelah
terapi dimulai

2.4.5 Keratitis viral


Gambaran keratitis pungtata dapat terjadi pada keratitis virus. Keratitis terkumpul di
daerah membran Bowman, serta bersifat bilateral dan kronis.
2.4.5.1 Keratitis Herpes Simplek
Keratitis herpes simplek terdiri atas dua bentuk : primer dan rekurens. Infeksi okuler
HSV pada pasien imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada pasien
imunokompromais perjalanan penyakitnya dapat menahun. Infeksi virus aktif dapat timbul di
dalam stroma, sel-sel endotel, dan segmen anterior. Sebagian besar infeksi HSV pada kornea
disebabkan HSV tipe 1 (penyebab herpes labialis), tetapi beberapa kasus pada bayi dan
dewasa disebabkan HSV tipe 2. Lesi kornea kedua jenis ini tidak dapat dibedakan. Kerokan
dari lesi epitel dan cairan dari lesi kulit menunjukkan sel-sel raksasa multinuklear.
Herpes simplek primer jarang ditemukan, bermanifestasi sebagai blefarokonjungtivitis
vesikuler, kadang kornea, dan umumnya pada anak muda. Umumnya sembuh sendiri tanpa
menimbulkan kerusakan yang berarti. Serangan keratitis herpes jenis rekurens umumnya
dipicu oleh demam, pajanan berlebihan terhadap cahaya ultraviolet, trauma, stres psikis, awal
menstruasi, atau sumber imunosupresi lokal atau sistemik lain. Biasanya unilateral dan sering
terjadi pada pasien atopik.
Herpes simpleks terbagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal berdasarkan
mekanisme kerusakannya. Bentuk epitelial yang murni ialah dendritik, dan stromal adalah
diskiformis. Biasanya infeksi herpes simpleks berupa campuran epitel dan stroma. Pada
bentuk epitelial kerusakan terjadi akibat pembelahan virus di dalam sel epitel sehingga terjadi
kerusakan sel dan terbentuk tukak kornea superfisial yang biasanya menetap lebih dari 1
tahun. Sedangkan bentuk stromal diakibatkan reaksi imunologik tubuh terhadap virus tetapi
kemungkinan adanya penyakit virus aktif tidak dapat disingkirkan, dan dapat sembuh sendiri
setelah beberapa minggu sampai bulan. Antigen dan antibodi bereaksi di dalam stroma kornea
dan menarik sel leukosit dan sel radang lain. Sel mengeluarkan bahan proteolitik untuk
merusak antigen (virus) yang juga akan merusak jaringan stromal di sekitarnya. Hal ini
berkaitan dengan pengobatan dimana pada bentuk epitelial dilakukan terhadap virus dan
pembelahannya, sedangkan pada keratitis stromal dilakukan pengobatan menyerang virus dan
reaksi radangnya.

17
Gejala pertama umumnya iritasi, fotofobia, lakrimasi, dan dapat terjadi gangguan
penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya timbul pada awal infeksi, gejala mungkin
minimal. Ulserasi kornea kadang merupakan gejala infeksi herpes rekuren. Lesi paling khas
adalah ulkus dendritik, terdapat pada epitel kornea, memiliki pola percabangan linear khas
dengan tepian kabur, memiliki bulbus-bulbus terminalis pada ujungnya. Ulserasi geografik
adalah penyakit dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar dengan
tepian ulkus tegas, serta sensasi kornea menurun. Pasien cenderung kurang fotofobik
daripada pasien dengan pasien infiltrat kornea non-herpetik. Ulserasi umumnya jarang terjadi.
Terapi keratitis HSV bertujuan menghentikan replikasi virus di dalam kornea dan
memperkecil efek merusak respon radang.
1. Debridement: Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial,
karena virus berlokasi di dalam epitel. Epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement
dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Obat sikloplegik seperti atropin 1% atau
homatropin 5% diteteskan ke dalam sakus konjungtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan.
Pasien diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek kornea sembuh, umumnya
dalam 72 jam. Pengobatan tambahan dengan antivirus topikal mempercepat pemulihan epitel.
Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena
tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi keracunan obat.
2. Terapi obat: Agen anti-virus topikal yang dipakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir efektif untuk penyakit
stroma. Idoxuridine dan trifluridine sering menimbulkan reaksi toksik. Acyclovir oral
digunakan untuk penyakit herpes mata berat. IDU merupakan obat antiviral yang murah,
bersifat tidak stabil, bekerja dengan menghambat sintesis DNA virus dan manusia sehingga
bersifat toksik untuk epitel normal dan tidak boleh dipergunakan lebih dari 2 minggu.
Terdapat dalam larutan 1% dan diberikan setiap jam. Salep 0,5% diberikan setiap 4 jam.
Vidarabin sama dengan IDU, akan tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep. Trifluorotimidin
(TFT) sama dengan IUD, diberikan 1% setiap 4 jam. Acyclovir bersifat selektif terhadap
sintesis DNA virus. Dalam bentuk salep 3% yang diberikan setiap 4 jam. Sama efektif
dengan antivirus lain akan tetapi dengan efek samping yang minimal.
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten umumnya sembuh sendiri dan terjadi
pembentukan parut minimal. Dalam hal ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu,
bahkan berpotensi sangat merusak. Sekali dipakai kortikosteroid topikal, umumnya pasien
terpaksa memakai obat itu untuk mengendalikan episode keratitis berikutnya, dengan
kemungkinan terjadi virus yang tidak terkendali dan efek samping lain yang berhubungan
18
dengan steroid, seperti superinfeksi bakteri dan fungi, glaukoma, dan katarak. Kortikosteroid
topikal dapat pula mempermudah perlunakan kornea, yang meningkatkan risiko perforasi
kornea. Jika memang perlu pemakaian kortikosteroid topikal karena hebatnya peradangan,
penting sekali ditambahkan obat antivirus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.
3. Terapi bedah: Keratoplasti penetrans diindikasikan untuk rehabilitasi pada parut kornea
berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca
bedah, infeksi herpes rekurens dapat timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal
yang dipakai untuk mencegah penolakan transplantasi kornea. Keratoplasti lamelar memiliki
keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan terjadi
penolakan transplant.
4. Pengendalian mekanisme pemicu: Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, pajanan
berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar ultraviolet dapat dihindari, keadaan-keadaan
yang dapat menimbulkan stres psikis dapat dikurangi.

2.4.5.2 Keratitis Virus Varicella-Zoster


Infeksi virus varicella-zoster (VZV) terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan
rekurens (zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella akan tetapi sering pada
zoster oftalmik. Pada varicella lesi mata terdapat di kelopak dan tepian kelopak, jarang ada
keratitis. Komplikasi kornea pada zoster oftalmik diperkirakan timbul jika terdapat erupsi
kulit di daerah yang dipersarafi cabang nervus nasosiliaris. Biasanya herpes zoster akan
mengenai orang dengan usia lanjut.
Keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi epitelnya keruh
dan amorf. Kekeruhan stroma disebabkan oleh edema dan sedikit infiltrat sel. Kehilangan
sensasi kornea merupakan ciri mencolok dan sering berlangsung berbulan-bulan setelah lesi
kornea tampak sudah sembuh. Uveitis yang timbul cenderung menetap. Skleritis dapat
menjadi masalah berat pada penyakit VZV mata.
Gejala yang terlihat pada mata adalah rasa sakit pada daerah yang terkena dan badan
berasa hangat. Penglihatan berkurang dan merah. Pada kelopak akan terlihat vesikel serta
pada kornea akan terlihat infiltrat. Vesikel tersebar sesuai dengan dermatom yang dipersarafi
saraf trigeminus dan dapat progresif dengan terbentuknya jaringan parut. Daerah yang
terkena tidak melewati garis meridian.
Pengobatan biasanya tidak spesifik dan hanya simtomatik.
Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk mengobati herpes
zoster oftalmik, khususnya pada pasien yang kekebalannya terganggu. Dosis oralnya adalah
19
800 mg 5 kali sehari untuk 10-14 hari. Terapi hendaknya dimulai 72 jam setelah timbulnya
kemerahan (rash). Peran antivirus topikal kurang meyakinkan. Kortikosteroid topikal
mungkin diperlukan untuk mengobati keratitis berat, uveitis, dan glaukoma sekunder.
Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Terapi ini mungkin diindikasikan
untuk mengurangi insidens dan hebatnya neuralgia pasca herpes, namun risiko komplikasi
steroid cukup bermakna.

2.4.6 Keratitis fungal (keratomikosis)


Biasanya diawali dengan kerusakan epitel kornea akibat ranting pohon, daun, dan
bagian dari tumbuhan. Jamur yang dapat mengakibatkan keratitis ialah Fusarium, Candida,
Cephalocepharium, dan Curvularia. Keratitis jamur dapat terjadi akibat efek samping dari
pemakaian antibiotik dan steroid yang tidak tepat serta penyakit sistemik imunosupresif.
Keratitis jamur sering ditemukan di daerah pertanian, dengan didahului trauma kornea
(umumnya oleh kayu), dan terjadi pada individu sehat tanpa predisposisi penyakit mata.
Keluhan timbul setelah 5 hari-3 minggu setelah kejadian. Pasien akan mengeluh sakit
mata yang hebat, berair, dan silau. Pada awalnya akan terdapat nyeri hebat, namun perlahan-
lahan menghilang seiring dengan saraf kornea yang rusak.
Pada mata akan terlihat infiltrat yang berhifa dan satelit bila terletak di dalam stroma.
Biasanya disertai dengan cincin endotel dengan plak tampak bercabang-cabang dan lipatan
membran descemet. Gejala khasnya adalah ulkus putih-abu-abu tanpa batas yang jelas, lesi
dikelilingi oleh infiltrat seperti jari-jari. Keratitis kandida umumnya berkaitan dengan
penyakit kornea kronik atau imunokompromais. Didapatkan ulkus putih-kuning dengan
supurasi padat seperti keratitis bakteri.
Terdapat 2 tipe jamur yaitu molds dan ragi. Molds (filamen jamur) terbagi atas septa
(penyebab tersering keratitis jamur) dan non-septa. Mereka menghasilkan koloni-koloni yang
bergabung menjadi hifa. Ragi membentuk pseudohifa. Penyebab tersering infeksi jamur
adalah Fusarium, Aspergillus (filamen jamur) dan Candida (ragi). Trauma organik adalah
penyebab tersering keratitis oleh jamur berfilamen, sedangkan imunosupresi atau gangguan
epitel kornea kronik umumnya menyebabkan keratitis jamur ragi. Gangguan pertahanan
kornea dapat menyebabkan infeksi Candida. Kolonisasi fungi di stroma akan berlanjut
menuju lapisan yang lebih dalam dan sulit untuk mendapatkan spesimen untuk diagnostik dan
tatalaksana.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan KOH 10% pada kerokan kornea yang
menunjukkan adanya hifa, dan kultur pada agar saboroud. Diagnosis pada umumnya sulit
20
ditegakkan dan sering terjadi misdiagnosis dengan keratitis bakteri. Dokter dapat
mempertimbangkan diagnosis keratitis jamur apabila gejala memburuk dengan terapi
antibiotik.
Tatalaksana keratitis jamur tidak mudah, hanya sebagian antijamur yang bersifat
fungistatik. Terapi antijamur membutuhkan sistem imunitas baik dan waktu terapi cukup
lama. Antijamur yang dapat digunakan adalah polyene antibiotik (nistatin, amfoterisin B,
natamisin); analog pirimidin (flusitosin); imidazol (klorteimazol, mikonazol, ketokonazol),
triazol (flukonazol, itrakonazol); dan perak sulfadiazin. Steroid dikontraindikasikan untuk
keratitis jamur. Untuk infeksi jamur filamen, natamisin adalah pilihan pertama. Alternatif
amfoterisin B dan flusitosin dapat digunakan untuk infeksi jamur ragi. Pemilihan obat sesuai
dengan patogen penyebab dapat dilihat pada tabel 1. Pemberian siklopegik disertai obat oral
antiglaukoma diperlukan bila timbul peningkatan tekanan intraokular. Bila tidak berhasil
dapat dilakukan keratoplasti. Penyulit yang terjadi adalah endoftalmitis.

2.4.7 Keratitis Acanthamoeba


Acanthamoeba adalah protozoa hidup-bebas yang terdapat di dalam air tercemar yang
mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi kornea oleh Acanthamoeba adalah
komplikasi yang semakin dikenal pada pengguna soft contact lens, khususnya bila memakai
larutan garam buatan sendiri, berenang di kolam renang, danau, atau air asin ketika
menggunakan kontak lensa, dan kurangnya higienis kontak lensa. Infeksi ini juga ditemukan
pada bukan pemakai lensa kontak, setelah terpapar pada air atau tanah tercemar.
Gejala awal adalah nyeri, kemerahan, dan fotofobia. Tanda klinik khas adalah ulkus
kornea indolen, cincin stroma, dan infiltrat perineural. Keratitis Acanthamoeba sering
disalahdiagnosiskan sebagai keratitis herpes.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kerokan dan biakan pada media khusus.
Biopsi kornea mungkin diperlukan. Sediaan histopatologik menampakkan adanya bentuk
amuba (kista atau trofozoit). Larutan dan kotak lensa kontak harus dibiak. Sering bentuk
amuba dapat ditemukan pada larutan kotak penyimpan lensa kontak.
Terapi dengan obat umumnya dimulai dengan isetionate propamidine topikal (larutan
1%) secara intensif dan tetes mata neomycin. Biquanide polyhexamethylene (larutan 0,01-
0,02%), dikombinasi dengan obat lain atau sendiri, kini makin populer. Agen lain yang
mungkin berguna adalah paromomycin dan berbagai imidazole topikal dan oral seperti
ketoconazole, miconazole, dan itraconazole. Acanthamoeba spp mungkin menunjukkan

21
sensitivitas obat yang bervariasi dan dapat menjadi resisten. Kortikosteroid topikal mungkin
diperlukan untuk mengendalikan reaksi radang kornea.
Mungkin diperlukan keratoplasti pada penyakit yang telah lanjut atau setelah resolusi
dan terbentuknya parut untuk memulihkan penglihatan. Bila amuba telah sampai di sklera
maka terapi obat dan bedah tidak berguna lagi.
Tabel 1. Pilihan terapi medikamentosa sesuai organisme penyebab keratitis
Organisme Pilihan pertama Pilihan kedua Pilihan ketiga
Gram positif kokus Cefazolin Penisilin G Vancomisin atau
 S.pneumoniae ceftazidim
Gram positif batang Amikasin Ciprofloksasin
 nocardia sp,
actinomyses sp
Organisme gram Cefazolin Penisilin G Vancomisin atau
positif lain : kokus ceftazidim
dan batang
Gram negatif kokus Ceftriakson Penisilin G Cefazolin atau
vancomisin
Gram negatif batang Tobramisin atau Ciprofloksasin Polimiksin B atau
 pseudomonas gentamisin karbenisilin
Gram negatif batang Penisilin G Gentamisin Tobramisin
 moraxella
Gram negatif batang Tobramisin Seftazidim Gentamisin atau
lainnya karbenisilin
Yeast like organism Natamisin Amfoterisin B Nistatin, mikonazol
= candida sp
Hifa-like organism Natamisin Amfoterisin B Mikonazol
= jamur
Kista, tropozoit = Propamidin dan Propamidin atau Mikonazol
akantamuba poliheksametilen neomisisn
biguanid

2.4.8. Keratitis numularis

22
Keratitis dengan gambaran halo (infiltrat bundar berkelompok dengan tepi berbatas tegas),
sering ditemukan unilateral pada petani sawah.

2.4.9. Keratitis filamentosa


Keratitis yang disertai filamen mukoid, tidak diketahui penyebabnya dan biasa menyertai
penyakit lainnya seperti dry eyes syndrome, diabetes, pasca bedah katarak, dan keracunan
kornea oleh obat tertentu.

2.4.10. Keratitis alergi


Terdapat keratokonjungtivitis flikten dan keratitis fasikularis. Keratokonjungtivitis flikten
merupakan radang pada konjungtiva dan kornea. Terjadi karena reaksi imun pada jaringan
yang sudah tersensitisasi oleh antigen. Pada benjolan akan ditemukan adanya penimbunan sel
limfoid dan eosinofil. Pengobatan dilakukan dengan pemberian steroid. Keratitis fasikularis
merupakan keratitis dengan pembentukan pembuluh darah yang menjalar dari limbus ke
kornea. Jenis ini merupakan penampilan flikten yang berjalan (wander phlycten) sambil
membawa jalur pembuluh darah baru sepanjang permukaan kornea.

2.4.11. Keratitis lagoftalmus


Keratitis akibat lagoftalmus sehingga terjadi kekeringan kornea. Pengobatan dengan
pemberian tetes air mata dan pencegahan infeksi sekunder.

2.4.12. Keratitis neuroparalitik


Keratitis akibat kelainan syaraf trigeminus sehingga kornea menjadi anestesi dan kehilangn
daya pertahanannya terhadap iritasi dari luar.

2.4.13. Keratokonus
Keratokonus merupakan penyakit degeneratif bilateral yang jarang. Berkaitan dengan
sindrom Down, dermatitis atopik, retinitis pigmentosa, sindrom Marfan, dll. Terjadi
perubahan pada membrana Bowman dengan degenerasi keratosit, ruptur membran Descemet,
dan parut linear superfisial yang tidak teratur pada apeks konus yang terbentuk. Biasanya
muncul mada dekade kedua kehidupan. Tanda-tandanya meliputi keluhan pandangan kabur
dan kornea yang berbentuk konus.

2.5 Penegakan diagnosis


23
Penegakan diagnosis keratitis dilakukan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan oftalmologis. Dari anamnesis didapatkan adanya keluhan mata merah
dan berair (hiperlakrimasi) yang biasanya tidak disertai kotoran mata (kecuali bila purulen).
Mata biasanya sakit dan rasa sakit ini diperberat oleh gesekan palpebra (terutama palpebra
superior). Fotofobia juga ditemui oleh karena adanya kontraksi iris yang biasanya juga
mengalami peradangan. Dilatasi pembuluh darah iris adalah fenomena refleks sebagai akibat
iritasi pada ujung ujug syaraf kornea. Keluhan pandangan kabur (penurunan visus) memiliki
derajat yang berbeda antar pasien bergantung kepada letak lesi.
Lesi kornea dapat terjadi karena trauma maupun non trauma. Trauma dapat dari luar (trauma
tumpul, benda asing, jari tangan, dll) maupun dari bagian mata sendiri (trikiasis, distrikiasis).
Sedangkan penyebab non trauma di antaranya adalah sebagai komplikasi konjungtivitis atau
blefaritis, alergi atau hipersensitivitas terhadap obat, kurangnya air mata atau substansi air
mata, degenerasi, imunosupresi (penyakit sistemik seperti diabetes dan HIV, penggunaan
steroid lama) serta defisiensi vitamin A. Baik lesi karena trauma maupun non trauma dapat
menyebabkan infeksi dan peradangan pada kornea. Pada anamnesis perlu dicari etiologi-
etiologi tersebut.
Tanda peradangan kornea di antaranya adalah injeksi siliar dan terlihatnya infiltrat pada
kornea. Untuk memastikan adanya lesi pada kornea digunakan fluoresein. Dapat juga
digunakan lup serta senter hingga alat yang lebih canggih seperti biomikroskop (slit lamp).
Pada pemeriksaan dengan senter perlu diperhatikan perjalanan pantulan cahaya saat
menggerakkan senter. Pemeriksaan biasanya dilakukan dengan memberikan anestesi lokal.
Tanda lain yang bisa ditemukan yaitu:
– Ciliary flush
injeksi pembuluh darah konjungtiva dan episklera di sekeliling kornea
– Corneal opacification
Yaitu berupa tampilan kornea yang keruh
– Corneal epithelial disruption
• Iregularitas pantulan cahaya
• Uji fluoresein
• Uji dengan papan placido menunjukkan gambaran garis lingkaran tidak
beraturan
Keratitis dalam perjalanannya dapat sembuh tanpa meninggalkan bekas, dapat menjadi
sikatriks, maupun berlanjut menjadi ulkus kornea yang bisa berkomplikasi ke arah
endoftalmitis.
24
2.6 Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan radang kornea secara umum, pasien diberikan antibiotika topikal
maupun antiviral atau antifungal sesuai penyebab infeksi, air mata buatan, siklopegik bila
perlu, serta suplementasi vitamin A, C, dan E. Steroid topikal sebaiknya dihindari pada kasus
keratitis kecuali pada beberapa kasus tertentu seperti pada keratitis marginal. Penatalaksanaan
lainnya disesuaikan dengan masing-masing jenis keratitis. Pada keratitis yang sembuh dengan
meninggalkan bekas sikatriks, biasanya penderita mengeluhkan adanya gangguan
penglihatan. Hal ini dapat diatasi dengan jalan keratoplasti (transplantasi kornea).

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Edisi keempat. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta: 2011

2. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia, Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter
Umum dan Mahasiswa Kedokteran, Jakarta : Sagung Seto, 2002
3. John P. Lensa. Dalam: Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. Oftalmologi umum
(ed. 14). Jakarta: Widya Medika. 2000.
4. Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan kelima. Jakarta: 1989. hlm. 83-84.

5. Vaughan, Deaniel. Ofthalmology Umum. Edisi 14 Cetakan Pertama. Widya Medika

Jakarta, 2000: hlm. 4-6

6. Srinivasan M, et al. Distinguishing infectious versus non infectious keratitis. INDIAN

Journal of Opthalmology. 2006: hlm. 56:3,50-56

7. Ophthalmology AAo. Examination techniques for the external eye and cornea. Basic

and Clinical Science Course. Cornea and external eye disease. Vol 8. San Francisco:

American Academy of Ophthalmology; 2009-2010:25-30

8. Edelstein SL, Wichiensin P, Huang AJ. Bacterial keratitis. In: Krachmer JH, Mannis
MJ, Holland EJ, eds. Cornea. Vol 1. 3rd ed. San Francisco: Mosby; 2011:919-940.

26

Anda mungkin juga menyukai