Laporan Kasus Keratitis
Laporan Kasus Keratitis
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama Lengkap : An. R
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 15 tahun
Alamat : Desa Mekarsari, Rt.2 Rw.11 , Banjar Kota
Datang Ke klinik Mata Tanggal : 30 Oktober 2015
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Pandangan mata sebelah kiri seperti ada yang menghalangi.
RPS : Pasien datang ke poli mata RSU Banjar dengan keluhan pengelihatan
mata kiri sisi luar seperti terhalang benda keputihan seperti kabut sejak
satu minggu yang lalu. Pasien juga mengeluh mata kirinya kadang
terasa gatal dan kemerahan sejak satu bulan yang lalu. Sekitar
seminggu yang lalu pasien melihat di bulatan hitam mata kirinya
terdapat bercak berwana keputihan. Keluhan seperti rasa nyeri, mata
seperti berpasir, mata berair lebih banyak dari biasanya, mata seperti
ada yang mengganjal, kotoran mata lebih banyak disangkal oleh
pasien.
RPD : Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya.
RPK : Pada keluarga pasien tidak ada yang menderita seperti ini.
Riwayat Pengobatan : Pasien sudah berobat ke puskesmas di berikan obat tetes mata,
tetapi tidak ada perubahan
Riwayat Alergi : Alergi obat-obatan (-), makanan (-), udara (-)
Riwayat Psikososial : Selama ini pasien pergi dan pulang sekolah mengendarai
dengan sepeda motor tanpa menggunakan pelindung mata,
pasien mengaku sering kelilipan, dan bila kelilipan pasien
menggosok matanya. Pasien tidak pernah menggunakan lensa
kontak.
1
III. PEMERIKSAAN FISIK MATA ( Status Oftalmologikus )
No Pemeriksaan OD OS
2
5 Palpebra
6 Punctum Lakrimalis
3
7 Konjungtiva Tarsal Superior
4
9 Konjungtiva Bulbi
5
10 Kornea
11 Sklera
13 Iris
6
14 Pupil
Besar ± 3 mm ± 3 mm
15 Lensa
IV. RESUME
• Anamnesis
Seorang anak perempuan usia 15 tahun, datang dengan keluhan pengelihatan mata
kiri sisi luar seperti terhalang kabut putih sejak satu minggu yang lalu. Terkadang
mata kiri pasien terasa gatal dan terlihat merah. Sehari-hari pasien pergi dan
pulang sekolah dengan menggunakan sepeda motor, pasien sering kelilipan saat
mengendarai motor. Pasien juga sering menggosok matanya bila kelilipan.
7
V. DIAGNOSA KERJA
Keratitis
VI. PENATALAKSANAAN
Pengobatan
- Kompres mata
- Antibiotik topikal
Edukasi
- Hindari terlalu banyak menyentuh mata yang sakit
- Menjaga kebersihan daerah mata
- Kontrol ke poli mata
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel
tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan
epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film air mata
merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal seringterlihat
mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan men jadi lapis sel sayap dan
semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan
sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula
okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa
melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat
e r a t k e p a d a n ya . B i l a t e r j a d i g a n g g u a n a k a n m e n g a k i b a t k a n e r o s i
9
r e k u r e n . Sedangkan epitel berasal dari ektoderem permukaan.Epitel memiliki
daya regenerasi
2. Membran bowman
Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari
epitel.Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal
dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dar i ketebalan kornea. Merupakan
l a p i s a n tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan
lebar s e k i t a r 1 µ m ya n g s a l i n g m e n j a l i n y a n g h a m p i r m e n c a k u p s e l u r u h
d i a m e t e r kornea, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di
bagian perifer serat kolagen ini bercabang, terbentuknya kembali serat kolagen
memakan waktulama, dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel
stroma kornea yangm e r u p a k a n fibroblas terletak di antara serat
kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat
k o l a g e n d a l a m p e r k e m b a n g a n e m b r i o a t a u sesudah trauma
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea yang
dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak amorf
pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur
hidup d a n m e m p u n y a i t e b a l + 4 0 m m . L e b i h k o m p a k d a n e l a s t i s
daripada membranBowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan
p r o s e s p a t o l o g i k l a i n n y a dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain.
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal,
tebalantara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel
darikornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan
lapisane p i t e l k a r e n a t i d a k m e m p u n y a i d a y a r e g e n e r a s i , s e b a l i k n ya
e n d o t e l mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh
endoteld a n m e m b e r i k a n d a m p a k p a d a r e g u l a s i c a i r a n , j i k a e n d o t e l
t i d a k l a g i d a p a t menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan
sistem pompa endotel,stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan
kemudian hilangnyatransparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea
10
ditentukan olehepitel dan endotel yang merupakan membrane
semipermeabel,kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika
terdapat kerusakan pada lapisanini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada
kornea
2.4 Klasifikasi
Keratitis menurut lokasinya dapat dibagi menjadi:
1. Keratitis superfisial
Keratitis superfisial mengenai bagian epitel dan subepitel kornea. Keratitis ini
dapatberbentuk pungtata, numular, dendritik,geografik dan disciform.Bentuk-bentuk
ini khas untuk menentukan etiologinya. Biasanya tidak meninggalkan parut.
2. Keratitis stroma
Keratitis ini mengenai lapisan stroma dan biasanya berbentuk disciform.
3. keratitis profunda
Keratitis profunda mengenai stroma lapisan dalam dan endotel kornea dan
mempunyai bentuk yang tidak khas. Disfungsi endotel akan menyebabkan munculnya
edema kornea. Biasanya meninggalkan parut.
Keratitis dapat juga dibagi berdasar mikroorganisme penyebab infeksinya, bentuk lesi,
maupun etiologi lainnya. Di bawah ini adalah jenis-jenis keratitis berdasarkan pembagian
tersebut.
12
kronis tanpa terlihat gejala kelainan konjungtiva, ataupun tanda akut, yang sering terjadi pada
dewasa muda.
13
gambaran merah kusam atau disebut juga ’salmon patch’ dari Hutchinson. Seluruh kornea
dapat berbentuk merah cerah. Kelainan ini biasanya bilateral. Pengobatan tergantung
penyebabnya. Pada keratitis diberikan tetes mata sulfas atropin untuk mencegah sinekia
akibat terjadinya uveitis dan tetes mata kortikosteroid. Keratitis profunda dapat juga terjadi
akibat trauma sehingga mata terpajan pada kornea dengan daya tahan rendah.
14
4. Penyakit permukaan okular yang terjadi apabila mekanisme pertahanan tubuh melemah
seperti pada keadaan penyakit kornea pasca herpes, trauma, keratopati bulosa, pajanan
kornea, mata kering, dan kehilangan sensasi pada kornea
5. Defisiensi air mata
6. Malposisi dari kelopak mata yaitu entropion dengan trikiasis dan lagoftalmus
7. Pemakaian steroid topikal
2.4.4.2. Organisme penyebab
Organisme patogen penyebab keratitis bakteri diantaranya Streptococcus,
Pseudomonas, Enterobacteriaceae (termasuk Klebsiella, Enterobacter, Serratia, dan
Proteus), dan Staphylococcus sp.
2.4.4.3. Gejala klinis
Pasien dengan keratitis bakteri pada umumnya bersifat unilateral, nyeri, fotofobia,
hiperlakrimasi, dan terdapat penurunan fungsi penglihatan. Anamnesis yang perlu dilakukan
diantaranya riwayat pemakaian kontak lensa, trauma, penurunan status imunologis, defisiensi
air mata, penyakit kornea, dan malposisi kelopak mata. Dapat ditemukan infiltrat stromal dan
sekret kental mukopurulen. Kornea edem, injeksi konjungtiva, dan pada kasus yang berat
dapat ditemukan hipopion. Tekanan intraokular dapat turun disebabkan hipotonus badan
siliar. Namun, pada umumnya tekanan intraokular meningkat akibat sumbatan dari trabecular
meshwork oleh sel peradangan. Kelopak mata juga dapat edema.
Beberapa jenis bakteri memiliki respon kornea yang khas yaitu :
1. S. aureus dan S. pneumoniae pada umumnya memberikan gambaran oval, kuning-putih,
supurasi stroma yang padat dan opak dikelilingi kornea yang jernih, serta menyebar dari
fokus infeksi ke tengah kornea. Pada umumnya muncul 24-48 jam setelah inokulasi pada
kornea. Hipopion dapat terjadi. Pada pemeriksaan Gram akan ditemukan diplokokus
Gram positif.
2. Pseudomonas sp umumnya menghasilkan eksudat mukopurulen, nekrosis liquefaktif yang
difus, dan semi-opak ’ground-glass’ pada penampakan stroma. Infeksi berkembang
dengan cepat karena enzim proteolitik yang diproduksi oleh Pseudomonas. Terasa nyeri,
dan perforasi kornea dapat terjadi dalam 48 jam. Pada pemeriksaan Gram akan ditemukan
bakteri batang Gram negatif
3. Enterobacteriaceae biasanya menyebabkan ulserasi dangkal, supurasi pleomorfik abu-
abu-putih dan diffuse stromal opalescence. Endotoksin yang dihasilkan bakteri Gram-
negatif dapat memberikan gambaran infiltrat ring cornea.
15
Pada pemeriksaan oftalmologis dapat ditemukan ulserasi epitel, infiltrat kornea tanpa
kehilangan jaringan, peradangan supuratif stroma dan padat, kehilangan jaringan stroma, dan
edema stroma. Dapat juga ditemukan peningkatan reaksi bilik mata depan dengan atau tanpa
hipopion, lipatan pada membran descemet, edema kelopak mata, sinekia posterior,
peradangan kornea fokal maupun difus, hiperemis konjungtiva, dan eksudat mukopurulen.
2.4.4.4. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu penegakkan diagnosis adalah kultur
mikroorganisme dengan pengambilan spesimen dari ulkus, menggunakan spatula platinum
dan ditempatkan pada agar darah dan agar coklat. Pewarnaan menggunakan Gram, Giemsa,
dan pewarnaan tahan asam atau akridin orange.
2.4.4.5. Terapi
Terapi dimulai dengan antibiotik spektrum luas sebab infeksi polimikrobial sering
terjadi. Pemilihan regimen pengobatan dapat menggunakan terapi kombinasi, aminoglikosida
(gentamisin 1,5%, tobramisin 1,5%) 1 tetes/jam, cefazolin fortifikasi 1 tetes/jam pada jam
bangun selama lima hari, dan sefalosporin (cefuroxim 5%) atau monoterapi dengan
fluoroquinolon seperti ciprofloksasin 0,3% 2 tetes/15 menit selama 6 jam diteruskan 2
tetes/30 menit selama 18 jam dan kemudian di tapp off sesuai respon pengobatan. Monoterapi
kurang adekuat pada infeksi Streptococcus. Kombinasi terapi menggunakan fluorokuinolon
dan cefuroxim dapat disarankan pada anak. Perbaikan kondisi terjadi pada 48 jam berikutnya.
Perawatan di rumah sakit dapat dilakukan bila kepatuhan pasien kurang atau
dibutuhkan perawatan malam hari pada kasus sulit. Apabila hasil yang didapatkan cukup baik
maka antibiotik topikal dapat diberikan setiap dua jam. Apabila perbaikan yang terjadi dapat
dipertahankan maka tetes mata dapat diganti yang lebih rendah kadarnya atau dihentikan.
Pemberian tetes mata yang terlalu sering terutama aminoglikosida dapat mengakibatkan
keracunan konjungtiva dan kornea serta memperlambat penyembuhan epitel. Ciprofloksasin
dapat menyebabkan penumpukan deposit kornea berwarna putih dan memperlambat
penyembuhan. Antibiotik diganti apabila organisme telah resisten dan infeksi bertambah
berat.
Siklopegik seperti atropin 1% dapat digunakan pada kedua mata untuk mencegah
sinekia posterior akibat uveitis anterior sekunder serta mengurangi nyeri akibat spasme siliar.
Kompres dingin dapat membantu mengurangi peradangan.
Terapi steroid masih kontroversial, keuntungan penggunaan steroid adalah
mengurangi nekrosis pada stroma dan mengurangi parut yang terjadi. Namun, steroid juga
dapat memperpanjang infeksi. Terapi steroid diindikasikan pada kultur yang steril dan terjadi
16
perbaikan dengan penggunaan steroid. Pada umumnya perbaikan terjadi 7-10 hari setelah
terapi dimulai
17
Gejala pertama umumnya iritasi, fotofobia, lakrimasi, dan dapat terjadi gangguan
penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya timbul pada awal infeksi, gejala mungkin
minimal. Ulserasi kornea kadang merupakan gejala infeksi herpes rekuren. Lesi paling khas
adalah ulkus dendritik, terdapat pada epitel kornea, memiliki pola percabangan linear khas
dengan tepian kabur, memiliki bulbus-bulbus terminalis pada ujungnya. Ulserasi geografik
adalah penyakit dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar dengan
tepian ulkus tegas, serta sensasi kornea menurun. Pasien cenderung kurang fotofobik
daripada pasien dengan pasien infiltrat kornea non-herpetik. Ulserasi umumnya jarang terjadi.
Terapi keratitis HSV bertujuan menghentikan replikasi virus di dalam kornea dan
memperkecil efek merusak respon radang.
1. Debridement: Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial,
karena virus berlokasi di dalam epitel. Epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement
dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Obat sikloplegik seperti atropin 1% atau
homatropin 5% diteteskan ke dalam sakus konjungtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan.
Pasien diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek kornea sembuh, umumnya
dalam 72 jam. Pengobatan tambahan dengan antivirus topikal mempercepat pemulihan epitel.
Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena
tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi keracunan obat.
2. Terapi obat: Agen anti-virus topikal yang dipakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir efektif untuk penyakit
stroma. Idoxuridine dan trifluridine sering menimbulkan reaksi toksik. Acyclovir oral
digunakan untuk penyakit herpes mata berat. IDU merupakan obat antiviral yang murah,
bersifat tidak stabil, bekerja dengan menghambat sintesis DNA virus dan manusia sehingga
bersifat toksik untuk epitel normal dan tidak boleh dipergunakan lebih dari 2 minggu.
Terdapat dalam larutan 1% dan diberikan setiap jam. Salep 0,5% diberikan setiap 4 jam.
Vidarabin sama dengan IDU, akan tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep. Trifluorotimidin
(TFT) sama dengan IUD, diberikan 1% setiap 4 jam. Acyclovir bersifat selektif terhadap
sintesis DNA virus. Dalam bentuk salep 3% yang diberikan setiap 4 jam. Sama efektif
dengan antivirus lain akan tetapi dengan efek samping yang minimal.
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten umumnya sembuh sendiri dan terjadi
pembentukan parut minimal. Dalam hal ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu,
bahkan berpotensi sangat merusak. Sekali dipakai kortikosteroid topikal, umumnya pasien
terpaksa memakai obat itu untuk mengendalikan episode keratitis berikutnya, dengan
kemungkinan terjadi virus yang tidak terkendali dan efek samping lain yang berhubungan
18
dengan steroid, seperti superinfeksi bakteri dan fungi, glaukoma, dan katarak. Kortikosteroid
topikal dapat pula mempermudah perlunakan kornea, yang meningkatkan risiko perforasi
kornea. Jika memang perlu pemakaian kortikosteroid topikal karena hebatnya peradangan,
penting sekali ditambahkan obat antivirus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.
3. Terapi bedah: Keratoplasti penetrans diindikasikan untuk rehabilitasi pada parut kornea
berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca
bedah, infeksi herpes rekurens dapat timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal
yang dipakai untuk mencegah penolakan transplantasi kornea. Keratoplasti lamelar memiliki
keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan terjadi
penolakan transplant.
4. Pengendalian mekanisme pemicu: Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, pajanan
berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar ultraviolet dapat dihindari, keadaan-keadaan
yang dapat menimbulkan stres psikis dapat dikurangi.
21
sensitivitas obat yang bervariasi dan dapat menjadi resisten. Kortikosteroid topikal mungkin
diperlukan untuk mengendalikan reaksi radang kornea.
Mungkin diperlukan keratoplasti pada penyakit yang telah lanjut atau setelah resolusi
dan terbentuknya parut untuk memulihkan penglihatan. Bila amuba telah sampai di sklera
maka terapi obat dan bedah tidak berguna lagi.
Tabel 1. Pilihan terapi medikamentosa sesuai organisme penyebab keratitis
Organisme Pilihan pertama Pilihan kedua Pilihan ketiga
Gram positif kokus Cefazolin Penisilin G Vancomisin atau
S.pneumoniae ceftazidim
Gram positif batang Amikasin Ciprofloksasin
nocardia sp,
actinomyses sp
Organisme gram Cefazolin Penisilin G Vancomisin atau
positif lain : kokus ceftazidim
dan batang
Gram negatif kokus Ceftriakson Penisilin G Cefazolin atau
vancomisin
Gram negatif batang Tobramisin atau Ciprofloksasin Polimiksin B atau
pseudomonas gentamisin karbenisilin
Gram negatif batang Penisilin G Gentamisin Tobramisin
moraxella
Gram negatif batang Tobramisin Seftazidim Gentamisin atau
lainnya karbenisilin
Yeast like organism Natamisin Amfoterisin B Nistatin, mikonazol
= candida sp
Hifa-like organism Natamisin Amfoterisin B Mikonazol
= jamur
Kista, tropozoit = Propamidin dan Propamidin atau Mikonazol
akantamuba poliheksametilen neomisisn
biguanid
22
Keratitis dengan gambaran halo (infiltrat bundar berkelompok dengan tepi berbatas tegas),
sering ditemukan unilateral pada petani sawah.
2.4.13. Keratokonus
Keratokonus merupakan penyakit degeneratif bilateral yang jarang. Berkaitan dengan
sindrom Down, dermatitis atopik, retinitis pigmentosa, sindrom Marfan, dll. Terjadi
perubahan pada membrana Bowman dengan degenerasi keratosit, ruptur membran Descemet,
dan parut linear superfisial yang tidak teratur pada apeks konus yang terbentuk. Biasanya
muncul mada dekade kedua kehidupan. Tanda-tandanya meliputi keluhan pandangan kabur
dan kornea yang berbentuk konus.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Edisi keempat. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta: 2011
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia, Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter
Umum dan Mahasiswa Kedokteran, Jakarta : Sagung Seto, 2002
3. John P. Lensa. Dalam: Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. Oftalmologi umum
(ed. 14). Jakarta: Widya Medika. 2000.
4. Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan kelima. Jakarta: 1989. hlm. 83-84.
7. Ophthalmology AAo. Examination techniques for the external eye and cornea. Basic
and Clinical Science Course. Cornea and external eye disease. Vol 8. San Francisco:
8. Edelstein SL, Wichiensin P, Huang AJ. Bacterial keratitis. In: Krachmer JH, Mannis
MJ, Holland EJ, eds. Cornea. Vol 1. 3rd ed. San Francisco: Mosby; 2011:919-940.
26