Anda di halaman 1dari 12

IMPLEMENTASI SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS 16 DI NEGARA

BERKEMBANG (STUDI KASUS: INDONESIA, FILIPINA, DAN AFRIKA SELATAN)


Oleh:
Gede Surya Marteda
Gede.marteda@gmail.com | 25317037

Abstrak. Target Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs)
menjadi harapan bersama negara-negara yang tergabung dalam Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Keberhasilan mencapai target ini sangat bergantung pada stabilitas, keamanan, dan kemampuan
untuk bekerja sama yang hanya dimungkinkan ketika terdapat kedamaian, keadilan, dan
keberterimaan seluruh kelompok. Hal ini dituangkan dalam target ke-16 SDGs yang dalam
pelaksanaannya, terutama di negara berkembang, memiliki tantangan yang cukup besar. Makalah ini
membahas studi kasus dari 3 negara berkembang: Indonesia, Filipina, dan Afrika Selatan untuk dapat
melihat pencapaian sementara dan membandingkan strategi penerapan SDGs khususnya target ke-16
serta relasi terhadap lingkungan dan perencanaan lingkungan. Didapatkan bahwa tantangan yang
paling besar adalah tingginya persepsi dan tingkat korupsi serta pelaksanaan pemerintahan yang tidak
efisien yang berpotensi menyebabkan peningkatan polusi dan rusaknya lingkungan.

Kata kunci: evaluasi, indeks, pemantauan, pembangunan berkelanjutan

Pendahuluan
SDGs merupakan kelanjutan Millennium Development Goals (MDGs) yang disepakati oleh negara
anggota PBB pada tahun 2000 dan berakhir pada akhir tahun 2015. Sebanyak 193 kepala negara dan
pemerintahan dunia hadir untuk menyepakati agenda pembangunan universal baru yang tertuang
dalam dokumen berjudul Transforming Our World: the 2030 Agenda for Sustainable Development —
berisi 17 Tujuan dan 169 Sasaran yang berlaku mulai tahun 2016 hingga tahun 2030 inilah yang
menjadi titik mula SDGs.

SDGs berusaha menyeimbangkan 3 aspek penting: sosial, ekonomi dan lingkungan dalam sebuah
kerangka pembangunan yang inklusif baik secara ekologis, sosial maupun relasional (Gupta dan
Vegelin, 2016 (Sustainable development goals and inclusive development)). SGDs membawa 5
prinsip-prinsip mendasar yaitu: People (manusia), Planet (bumi), Prosperity (kemakmuran), Peace
(perdamaian), dan Partnership (kerjasama). Kelima prinsip dasar ini dikenal dengan istilah 5 P dan
menaungi 17 Tujuan dan 169 Sasaran yang tidak dapat dipisahkan, saling terhubung, dan terintegrasi
satu sama lain guna mencapai kehidupan manusia yang lebih baik.

Meskipun begitu, diakui bahwa stabilitas negara, hukum, dan kedamaian global menjadi kunci sukses
kemajuan pencapaian SDGs. Selain itu, dalam proses pencapaian SDGs, mulai dari perencanaan hingga
pelaksanaan, harus melibatkan seluruh komponen masyarakat sehingga terjaminnya kesetaraan bagi
seluruh kelompok masyarakat merupakan aspek yang sangat penting (Cheong, 2017). Dalam SDGs hal
ini dituangkan pada target 16, “Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh”.

Dalam penerapannya, setiap negara pasti memiliki tantangan dan prioritas masing-masing. Terdapat
5 prioritas yang disarankan oleh Lu et all (2015): Penyusunan ukuran, pembuatan mekanisme
pengukuran, evaluasi kemajuan, peningkatan infrastruktur, dan verifikasi dan standardisasi data.
Dalam pelaksanaan prioritas tersebut negara berkembang memiliki tantangan yang lebih tinggi,
terutama dalam peningkatan infrastruktur (Sarvajayakesavalu, 2015).

1
Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih rinci tentang target 16 dari SDGs ini serta indikator-indikator
yang digunakan untuk penilaian kemajuan pencapaian target tersebut. Kemudian dibahas juga
tentang strategi implementasi di beberapa Negara berkembang dan dampak pencapaian target ini
terhadap perencanaan lingkungan.

SDGs Target 16: Meningkatkan Masyarakat yang Inklusif dan Damai untuk
Pembangunan Berkelanjutan, Menyediakan Akses terhadap Keadilan bagi
Semua, dan Membangun Institusi yang Efektif, Akuntabel dan Inklusif di
Semua Tingkatan.
Sebuah hal yang penting bagi pemerintah, swasta dan masyarakat sipil untuk bekerja sama dalam
upaya mengurangi kekerasan, memberikan keadilan, memerangi korupsi dan memastikan partisipasi
inklusif setiap saat. Kebebasan untuk mengekspresikan pandangan, secara pribadi dan di depan
umum, harus terjamin. Orang harus dapat berkontribusi pada keputusan yang mempengaruhi
kehidupan mereka.

Hukum dan kebijakan harus diterapkan tanpa bentuk diskriminasi apapun. Sengketa perlu diselesaikan
melalui sistem politik dan keadilan yang berfungsi. Institusi nasional dan lokal harus bertanggung
jawab dan perlu berada di tempat untuk memberikan layanan dasar kepada keluarga dan masyarakat
secara adil dan tanpa memerlukan adanya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Begitu pula kejahatan yang mengancam fondasi kedamaian masyarakat, termasuk kasus
pembunuhan, perdagangan manusia dan kejahatan terorganisir lainnya, serta undang-undang atau
praktik yang diskriminatif

Kekerasan dan kerusuhan bersenjata memiliki dampak merusak pada pembangunan suatu negara,
yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan sering mengakibatkan kesulitan berkepanjangan
bagi masyarakat. Kekerasan, dalam segala bentuknya, memiliki dampak yang meluas pada
masyarakat. Kekerasan mempengaruhi kesehatan, perkembangan dan kesejahteraan anak-anak, dan
kemampuan mereka untuk berkembang. Hal itu menyebabkan trauma dan melemahkan inklusi sosial.

Kurangnya akses terhadap keadilan berarti bahwa konflik tetap tidak terselesaikan dan orang tidak
dapat memperoleh perlindungan dan pemulihan. Lembaga yang tidak berfungsi menurut hukum yang
sah cenderung kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan, dan kurang mampu
memberikan pelayanan publik yang baik dan adil untuk seluruh lapisan masyarakat.

Praktik kesenjangan perlakuan berdasarkan kelompok-kelompok tertentu tidak hanya melanggar hak
asasi manusia, tapi juga menyebabkan dendam dan permusuhan, dan bisa menimbulkan kekerasan.

Hal ini juga yang menyebabkan dalam transformasi MDGs menjadi SDGs yang dituangkan dalam
dokumen Transforming Our World: the 2030 Agenda for Sustainable Development, memastikan
terwujudnya perdamaian, keadilan, dan inklusivitas menjadi salah satu target dalam mencapai agenda
pembangunan berkelanjutan secara global yakni target ke-16: Meningkatkan Masyarakat yang
Inklusif dan Damai untuk Pembangunan Berkelanjutan, Menyediakan Akses terhadap Keadilan
bagi Semua, dan Membangun Institusi yang Efektif, Akuntabel dan Inklusif di Semua Tingkatan.

Untuk mencapai target ini dibutuhkan sebuah ukuran yang jelas dan sistematis yang dapat digunakan
sebagai acuan dalam penilaian kemajuan pelaksanaan target. Indikator pelaksanaan target 16 dapat
dilihat secara rinci pada Tabel 1. Dalam SDGs ada tiga jenis tingkatan indikator berdasarkan data yang
digunakan dan ruang lingkup data atau tier (IAEG-SDG, 2017), antara lain:

2
Tier 1: Indikator yang telah memiliki konsep yang jelas, metodologi dan standar secara internasional,
data data yang secara teratur dihasilkan oleh minimal 50% dari negara yang terdaftar menjadi anggota
PBB dan 50% dari populasi negara tersebut.

Tier 2: Indikator yang telah memiliki konsep yang jelas, metodologi dan standar secara internasional,
namun data data yang diperlukan tidak secara teratur dihasilkan oleh negara-negara anggota.

Tier 3: Belum terdapat metodologi atau standar yang diakui secara internasional untuk indikator atau
sedang dikembangkan

Berdasarkan Tabel 1 dapat kita lihat bahwa indikator target ke-16 SDGs ini terdiri dari 9 indikator tier
I, 7 indikator tier II, dan 7 indikator tier III. Sekitar 33% dari seluruh indikator target ke-16 belum
memiliki metodologi atau standar pengukuran yang diakui secara internasional. Hal ini menjadi
tantangan tersendiri untuk seluruh negara dalam mengintegrasikan indikator ini dengan indikator-
indikator nasional yang telah ada atau akan dikembangkan selanjutnya.

Berdasarkan indikator-indikator yang telah dibuat dan ditetapkan, sebuah metode penilaian cepat
yang disebut SDG Index and Dashboard dibuat dan pertama kali digunakan pada dokumen “SDG Index
and Dashboard - Global Report 2015” dan disempurnakan pada “SDG Index and Dashboard - Global
Report 2016”. Pembuatan indeks ini bertujuan untuk mempermudah pemantauan, pelacakan,
pembandingan dan evaluasi kemajuan penerapan strategi pencapaian SDGs di berbagai negara
(Sachs,et all., 2016).

Tabel 1 (lanjut). Rincian Indikator Target 16 SDGs

Target Indikator Tier


16.1 Secara signifikan mengurangi 16.1.1
Angka korban kejahatan pembunuhan per
segala bentuk kekerasan dan
100.000 penduduk berdasarkan umur dan
terkait angka kematian
jenis kelamin I
dimanapun.
16.1.2

Kematian disebabkan konflik per 100.000


penduduk terpilah berdasarkan jenis
kelamin, umur dan penyebab kematian. II/III
16.1.3
Proporsi penduduk yang mengalami
kekerasan secara fisik, psikologi atau
seksual dalam 12 bulan terakhir. II
16.1.4
Proporsi penduduk yang merasa aman
berjalan sendirian di area tempat
tinggalnya II
16.2 Menghentikan perlakuan 16.2.1
Proporsi anak umur 1-17 tahun yang
kejam, eksploitasi, perdagangan,
mengalami hukuman fisik dan/atau agresi
dan segala bentuk kekerasan dan
psikologis dari pengasuh dalam sebulan
penyiksaan terhadap anak.
terakhir I
16.2.2 Angka korban perdagangan manusia per
100.000 penduduk menurut jenis
kelamin, kelompok umur dan jenis
eksploitasi. I
16.2.3 Proporsi perempuan dan laki-laki muda
umur 18-29 tahun yang mengalami
kekerasan seksual sebelum umur 18
tahun. II

3
Tabel 1 (lanjut). Rincian Indikator Target 16 SDGs

Target Indikator Tier


16.3 Menggalakkan negara 16.3.1
berdasarkan hukum di tingkat
nasional dan internasional dan Proporsi korban kekerasan dalam 12
menjamin akses yang sama bulan lalu yang melaporkan kepada pihak
terhadap keadilan bagi semua. berwajib atau pihak berwenang yang
diakui dalam mekanisme resolusi konflik. II
16.3.2

Proporsi tahanan terhadap seluruh


tahanan dan narapidana. I
16.4 Pada tahun 2030 secara 16.4.1
Total nilai aliran dana gelap masuk dan
signifikan mengurangi aliran dana
keluar negeri (dalam US$). III
gelap maupun senjata,
16.4.2
menguatkan pemulihan dan Proporsi senjata api dan senjata ringan
pengembalian aset curian dan yang disita, yang terdaftar dan terlacak,
memerangi segala bentuk yang sesuai dengan standar internasional
kejahatan yang terorganisasi. dan ketentuan hukum. II
16.5 Secara substansial 16.5.1 Proporsi penduduk yang memiliki paling
mengurangi korupsi dan tidak satu kontak hubungan dengan
penyuapan dalam segala petugas, yang membayar suap kepada
bentuknya. petugas atau diminta untuk menyuap
petugas tersebut dalam 12 bulan terakhir. II
16.5.2 Proporsi pelaku usaha yang paling tidak
memiliki kontak dengan petugas
pemerintah dan yang membayar suap
kepada seorang petugas, atau diminta
untuk membayar suap oleh
petugaspetugas, selama 12 bulan terakhir I
16.6 Mengembangkan lembaga 16.6.1 Proporsi pengeluaran utama pemerintah
yang efektif, akuntabel, dan terhadap anggaran yang disetujui. I
transparan di semua tingkat. 16.6.2 Proporsi penduduk yang puas terhadap
pengalaman terakhir atas layanan publik. III
16.7 Menjamin pengambilan 16.7.1 Proporsi jabatan (menurut kelompok
keputusan yang responsif, inklusif, umur, jenis kelamin, disabilitas dan
partisipatif dan representatif di kelompok masyarakat) di lembaga publik
setiap tingkatan. (DPR/DPRD, pelayanan publik, peradilan)
dibanding distribusi nasional. III
16.7.2 Proporsi penduduk yang percaya pada
pengambilan keputusan yang inklusif dan
responsif menurut jenis kelamin, umur,
disabilitas dan kelompok masyarakat. III
16.8 Memperluas dan 16.8.1 Proporsi keanggotaan dan hak
meningkatkan partisipasi negara pengambilan keputusan dari negara-
berkembang di dalam lembaga negara berkembang di Organisasi
tata kelola global. Internasional. I
16.9 Pada tahun 2030, 16.9.1
memberikan identitas yang syah Proporsi anak umur di bawah 5 tahun
bagi semua, termasuk pencatatan yang kelahirannya dicatat oleh lembaga
kelahiran. pencatatan sipil, menurut umur. I
16.10 Menjamin akses publik 16.10.1 Jumlah kasus terverifikasi atas
terhadap informasi dan pembunuhan, penculikan dan
melindungi kebebasan mendasar, penghilangan secara paksa, penahanan
sesuai dengan peraturan nasional sewenang-wenang dan penyiksaan
dan kesepakatan internasional. terhadap jurnalis, awak media, serikat III

4
Tabel 1 (lanjut). Rincian Indikator Target 16 SDGs

Target Indikator Tier


pekerja, dan pembela HAM dalam 12
bulan terakhir.
16.10.1 Jumlah negara yang mengadopsi dan
melaksanakan konstitusi, statutori
dan/atau jaminan kebijakan untuk akses
publik pada informasi. II
16.a Memperkuat lembaga- 16.a.1
lembaga nasional yang relevan,
termasuk melalui kerjasama
internasional, untuk membangun
kapasitas di semua tingkatan,
khususnya di negara berkembang,
untuk mencegah kekerasan serta Tersedianya lembaga hak asasi manusia
memerangi terorisme dan (HAM) nasional yang independen yang
kejahatan. sejalan dengan Paris Principles. I
16.b Menggalakkan dan 16.b.1 Proporsi penduduk yang melaporkan
menegakkan undang-undang dan mengalami diskriminasi dan pelecehan
kebijakan yang tidak diskriminatif dalam 12 bulan lalu berdasarkan pada
untuk pembangunan pelarangan diskriminasi menurut hukum
berkelanjutan. HAM Internasional. III
Sumber: IAEG-SDG, 2017

Berdasarkan indeks SDG diketahui bahwa bahkan negara dengan rerata pendapatan perkapita yang
tinggi pun masih kesulitan untuk mencapai SDGs, hal ini masuk akal karena sangat mungin untuk
meningkatkan perokonomian maka keberlanjutan lingkungan dan kesetaraan menjadi hal yang
dikorbankan. Begitu pula, negara-negara miskin sebagian besar menempati peringkat bawah pada
indeks SDG. Hal ini tidak mengherankan, mengingat fakta bahwa banyak target SDGs seperti
mengakhiri kemiskinan ekstrim (SDG 1) dan kelaparan (SDG 2), dan untuk akses universal terhadap
perawatan kesehatan (SDG 3), pendidikan (SDG 4), aman air dan sanitasi (SDG 6), layanan energi
modern (SDG 7), pekerjaan yang layak (SDG 8), dan infrastruktur berkelanjutan (SDG 9), yang tetap
merupakan tantangan penting bagi banyak negara miskin di dunia (Sachs,et all., 2016).

Negara-negara berkembang, dalam indeks tersebut, ternyata memiliki pencapaian target yang
beragam termasuk untuk target ke-16, sehingga negara-negara berkembang ini menarik untuk dikaji
lebih lanjut terutama dalam integrasi dan implementasi target SDGs.

Integrasi dan Implementasi Target SDGs ke-16 di Negara Berkembang (Studi


kasus: Indonesia, Filipina, dan Afrika Selatan)
Indonesia

Indonesia merupakan salah satu Negara yang paling proaktif dalam advokasi SDgs di kancah
internasional begitu juga dalam pelaksanaannya. Bentuk komitmen dalam usaha mencapai SDGs
dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan serta tindak lanjut dari BAPPENAS dalam bentuk dokumen detail
pemetaan implementasi SDGs dalam perencanaan nasional (ADB, 2017) (From Goals to Action:
Implementing the Sustainable Development Goals)

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2004, perencanaan pembangunan di


Indonesia disusun dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dimana salah satu produknya

5
adalah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (disingkat RPJP Nasional), adalah dokumen
perencanaan pembangunan nasional untuk periode 20 (dua puluh) tahun. RPJP Nasional untuk tahun
2005 sampai dengan 2025 diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007. Pelaksanaan RPJP
Nasional 2005-2025 terbagi dalam tahap-tahap perencanaan pembangunan dalam periodisasi
perencanaan pembangunan jangka menengah nasional 5 (lima) tahunan disebut dengan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Upaya lebih sistematis dalam pencapaian SDGs dilakukan
dengan mengintegrasikan 17 target dan 230 indikatornya ke dalam RPJMN.

Untuk target 16, Kebijakan RPJMN 2015-2019 yang sesuai adalah: (i) Meningkatkan peran
kelembagaan demokrasi dan mendorong kemitraan lebih kuat antara pemerintah, swasta dan
masyarakat sipil; (ii) Memperbaiki perundangundangan bidang politik; (iii) Penyempurnaan sistem
manajemen dan pelaporan kinerja instansi pemerintah secara terintegrasi, kredibel, dan dapat diakses
publik; (iv) Penerapan e-government untuk mendukung proses bisnis pemerintah dan pembangunan
yang sederhana, efisien dan transparan dan terintegrasi; (v) Penerapan open government; (vi)
Restrukturisasi kelembagaan birokrasi pemerintah agar efektif, efisien dan sinergis; (vii) Penerapan
manajemen Apartur Sipil Negara (ASN) yang transparan, kompetitif dan berbasis merit; (viii)
Peningkatan kualitas pelayanan publik; (ix) Membangun keterbukaan informasi publik dan komunikasi
publik; (x) Mendorong masyarakat untuk dapat mengakses informasi publik dan memanfaatkannya;
(xi) Meningkatkan kualitas penegakan hukum; (xii) Melakukan harmonisasi dan evaluasi peraturan
terkait HAM; (xiii) Optimalisasi Bantuan Hukum dan Layanan Peradilan bagi Masyarakat; (xiv)
Penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak; (xv) Harmonisasi peraturan perundang-
undangan di bidang korupsi; (xvi) Penguatan kelembagaan dalam rangka pemberantasan korupsi;
(xvii) Meningkatkan efektivitas implementasi kebijakan antikorupsi; (xviii) Meningkatkan pencegahan
korupsi; (xix) Memperkuat sistem perlindungan anak dan perempuan dari berbagai tindak kekerasan;
(xx) Meningkatkan kapasitas kelembagaan perlindungan anak dan perempuan; serta (xxi) Peningkatan
ketersediaan layanan bantuan hukum bagi kelompok marjinal.

Selain itu, Indonesia telah melakukan pemetaan pemangku kepentingan dan instansi yang akan
menjadi pelaksana maupun sumber data yang didokumentasikan dengan baik dalam pedoman
Perancangan Rencana Aksi sehingga diharapkan dapat dilaksanakan dengan mangkus dan tepat
sasaran (BAPPENAS, 2015).

Menurut Indeks SDGs, performa Indonesia dalam pencapaian SDGs target ke-16 masih lemah
(Gambar 1). Terdapat dua indikator yang terpenuhi dengan sangat baik (Indikator 16.1.1 dan 16.3.2),
tiga indikator yang cukup terpenuhi dan dua indikator yang tidak terpenuhi. Persepsi korupsi di
Indonesia hanya mencapai nilai 36 dari 100 yang berarti tingkat praktik korupsi dan pandangan
masyarakat terhadap praktik korupsi masih sangat tinggi.

Filipina

Penerapan SDGs di Filipina menjadi tanggung jawab dari National Economic and Development
Authorities (NEDA) dan Philipine Statistic Authorities (PSA). Pengkajian SDGs dan integrasi ke dalam
perencanaan pembangunan nasional dilakukan selama periode Oktober 2015 – Mei 2016 dan
menghasilkan adopsi 220 indikator dari total 239 indikator (Suncion, 2016) dimana khusus untuk
target ke-16 jumlah indikator yang diadopsi adalah 17 dari total 23 indikator yang tersedia.

6
Gambar 1. Indeks SDG Indonesia target SDG 16 (Sumber: Sachs,et all., 2016)

Indikator tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam rencana pembangunan nasional Filipina baik
jangka panjang (LTV AmBisyon Natin 2040) maupun perencanaan jangka menengah seperti Philippine
Development Plan, Public Investment Program dan Budget Priorities Framework. Integrasi ke dalam
ketiga dokumen ini menunjukan komitmen Filipina dalam mencapai seluruh target SDGs.

Kesetaraan gender sudah cukup maju di Filipina. Nilai negara baik pada ukuran dan indeks kesetaraan
gender internasional, tetapi masih diperlukan usaha yang cukup besar untuk mempertahankan
prestasi dan untuk mengatasi tantangan-tantangan berikutnya. Meskipun ada kebijakan yang
menguntungkan - Filipina menjadi penandatangan instrumen hak asasi manusia internasional dan
telah berhasil diundangkan kebijakan dan undang-undang untuk perlindungan dan promosi hak
perempuan - Implementasi kebijakan tampak tidak merata dan lamban (UNDP, 2010).

Beberapa isu keamanan dalam negeri yang melibatkan kaum minoritas masih menjadi tantangan
besar untuk Filipina dalam mencapai target ke-16. Konflik melibatkan kelompok Muslim Mindanao
dalam beberapa tahun terakhir menjadi perhatian utama pemerintah Filipina di bidang keamanan.
Selain itu, “Perang terhadap Narkoba” yang dideklarasikan semenjak kepemimpinan Rodrigo Duterte
memicu isu-isu terkait SARA dan gender memanas.

7
Gambar 2. Indeks SDGs Filipina target SDG 16 (Sumber: Sachs,et all., 2016)

Selain itu, berdasarkan SDGs Indeks (Gambar 2), Filipina memiliki pencapaian target ke-16 yang cukup
rendah. Dari total 8 indikator yang dimasukan kedalam indeks, 6 indikator cukup terpenuhi dan 2
indikator sangat kurang terpenuhi. Permasalahan utama yang dihadapi Filipina adalah tingkat korupsi
dan kematian akibat konflik yang tinggi.

Afrika Selatan

Ketidaksetaraan gender tetap menjadi tantangan besar untuk mencapai pembangunan berkelanjutan
di subregional. Dasar pemikiran untuk kesetaraan gender setidaknya memiliki tiga dimensi: sebagai
isu hak asasi manusia, isu ekonomi dan isu sosial. Secara khusus, kesetaraan jender relevan dengan
pertumbuhan dan stabilitas ekonomi di masa depan di subregional. Banyak kebijakan dan instrumen
gender telah ditetapkan di tingkat nasional, dimana pelaksanaannya, walaupun masih banyak celah
dan kekurangan, merupakan salah satu langkah positif yang perlu diapresiasi (UNECA, 2015).

Good governance menjadi salah satu isu dalam pencapaian target ke-16 di wilayah Afrika Selatan.
Dalam mendukung tata pemerintahan yang lebih baik yang mendorong pertumbuhan dan
pembangunan berkelanjutan, ECA telah melacak kemajuan yang dicapai di bidang kritis ini melalui
publikasi Laporan Tata Pemerintahan Afrika.

Bukti menunjukkan bahwa Afrika telah membuat kemajuan sederhana dalam memperbaiki
pemerintahan. Meskipun marjinal, kemajuan ini telah menghasilkan hasil positif yang mencakup
penurunan tingkat konflik kekerasan dan perang saudara, konsolidasi perdamaian dan keamanan,
pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen dalam beberapa tahun terakhir, perbaikan sederhana dalam

8
standar hidup masyarakat Afrika dan lebih sedikit kematian akibat pandemik HIV / AIDS. Afrika juga
terus mencatat kemajuan yang luar biasa dalam tata kelola ekonomi dan pengelolaan keuangan
publik. Perekonomian Afrika dikelola dengan lebih baik, dengan perbaikan sistem pajak dan mobilisasi
pendapatan, pengelolaan anggaran yang lebih baik dan lingkungan yang lebih kondusif bagi investasi
swasta dan pertumbuhan sektor swasta (UNECA, 2016).

Gambar 3. Indeks SDGs Afrika Selatan target SDG 16 (Sumber: Sachs,et all., 2016)

Berdasarkan indeks SDGs pada Gambar 3, Afrika memiliki pencapaian target ke-16 yang cukup rendah.
Dari tujuh indikator yang dimasukan ke dalam indeks, enam indikator menunjukan pencapaian yang
rendah (cukup dan sangat kurang). Hanya satu indikator yang menunjukan pencapaian yang sangat
baik yakni dari indikator kepemilikan barang/properti.

Berdasarkan tiga negara berkembang yang menjadi studi kasus di makalah ini, dapat diambil
kesimpulan bahwa kemampuan negara berkembang untuk mencapai target ke-16 ini rendah.
Tantangan utama yang harus dihadapi oleh negara berkembang adalah tingkat korupsi yang tinggi dan
pelaksanaan pemerintahan yang tidak efisien.

9
Relasi Isu Kedamaian, Keadilan, dan Inklusivitas pada Target 16 SDGs terhadap
Perencanaan Lingkungan

Perang dan konflik dapat menimbulkan dampak dan dampak lingkungan, yang menyebutkan: konflik
sumber daya alam, penciptaan "pengungsi lingkungan" karena orang-orang mengungsi, dan
penggunaan lingkungan sebagai senjata perang. Contoh dampak lingkungan yang terjadi sebagai
akibat perang dan konflik meliputi polusi udara, penggundulan hutan, kurangnya pengelolaan limbah,
degradasi kawasan lindung dan keanekaragaman hayati, dan perincian struktur tata kelola lingkungan.
Dalam absennya kedamaian, terutama karena perang atau urbanisasi yang berlebihan, dapat
mengakibatkan terjadinya pengrusakan alam, eksploitasi alam berlebihan dalam konteks pemenuhan
kebutuhan perang, bahkan dampak negative langsung ke biota yang ada di sekitar kawasan perang
seperti Suriah atau Jordan (Weir, 2016).

Selain itu, hal sebaliknya juga dapat terjadi. Ketidakberlanjutan alam dapat menyebabkan terjadinya
keresahan berakibat pada absennya kedamaian. Syria dan Bangladesh misalnya, musim kering 2006-
11 telah disebut sebagai penyebab utama perang sipil. Kekeringan tidak diragukan lagi memberi
kontribusi pada lebih dari satu juta orang meninggalkan tanah mereka dan bermigrasi ke kota-kota
besar di Suriah, di mana mereka sering berjuang untuk mendapatkan pekerjaan (Simpson, 2016).

Bangladesh, salah satu kota yang paling rentan terhadap efek perubahan iklim mengalami hal serupa
(Displacement Solution, 2012). Setelah sebagian besar wilayahnya terkena dampak perubahan iklim,
seperti baniir dan tanah longsor, Bangladesh kewalahan untuk menangani migrasi penduduknya
sendiri yang cukup besar akibat gagalnya usaha adaptasi perubahan iklim dan pengungsi Rohingya
yang mencapai 700.000 jiwa (Simpson, 2016).

Tingginya persepsi dan tingkat korupsi juga dapat memengaruhi kualitas lingkungan, bahkan
cenderung merusak. Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin tinggi pula tingkat polusi. Hal ini sangat
terlihat pada negara berkembang (Welsch, 2004; Cole, 2007).

Semakin baik pelaksanaan pemerintahan maka semakin besar pula kesempatan untuk mencapai
SDGs. Dengan tercapainya good governance, maka konflik dan praktik korupsi yang memiliki dampak
langsung ke lingkungan akan dapat diminimalisasi.

Kesimpulan
Tercapainya Target Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs)
yang menjadi harapan bersama ini sangat bergantung pada stabilitas, keamanan, dan kemampuan
untuk bekerja sama yang hanya dimungkinkan ketika terdapat kedamaian, keadilan, dan
keberterimaan seluruh kelompok. Hal ini dituangkan dalam target ke-16 SDGs yang dalam
pelaksanaannya, terutama di negara berkembang, memiliki tantangan yang cukup besar. Berdasarkan
studi kasus dari 3 negara: Indonesia, Filipina, dan Afrika Selatan, untuk dapat menerapkan dan
mencapai target ini, dapat dimulai dengan memperbaiki tatanan pemerintahan dan mengurangi angka
korupsi di masing-masing negara.

Daftar Pustaka
ADB. 2015. From Goals to Action: Implementing the Sustainabilites Development Goals. Manilla: ADB.

Asuncion, Myrna C. 2016. TowardsAchieving the 2030 Agenda for Sustainable Development. Manilla:
National Economic and Development Authority.

10
Asuncion, Myrna C. 2016. Philippine Initiative in the Implementation of The Sustainable Development
Goals. Manilla: National Economic and Development Authority.

BAPPENAS. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Jakarta:
Sekretariat Negara.

BAPPENAS. 2015. Pedoman Penyusunan Rencana Aksi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/
Sustainable Development Goals (SDGs). Sekretariat TPB Kementrian BAPPENAS: Jakarta.

Cheong, Lee Yee. 2017. Evidence Based Education and the UN Sustainable Development Goals (SDGs)
2016–2030. In Children and Sustainable Development, pp. 85-92. Springer.

Cole, Matthew A. 2007. Corruption, income and the environment: an empirical analysis. Ecological
Economics 62, no. 3-4: 637-647.

Displacement Solution. 2012. Climate Displacement in Bangladesh. Geneva.

Gupta, Joyeeta, and Courtney Vegelin. 2016. Sustainable development goals and inclusive
development. International environmental agreements: Politics, law and economics 16, no. 3: 433-
448.

IAEG-SDG. 2017. Tier Classification for Global SDG Indicator. New York: United Nations Statistics
Division

Statistical Services Branch.

Lu, Yonglong, Nebojsa Nakicenovic, Martin Visbeck, and A. Stevance. .2015. Five priorities for the UN
sustainable development goals. Nature 520, no. 7548: 432-433.

Republik Indonesia. 2017. Peraturan Presiden No 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030. Lembaran Negara RI Tahun 2017. Jakarta: Sekretariat
Negara.

Republik Indonesia. 2004. Undang-undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Negara . Lembaran Negara RI Tahun 2004. Jakarta: Sekretariat Negara.

Sachs, J., Schmidt-Traub, G., Kroll, C., Durand-Delacre, D. and Teksoz, K. 2016. SDG Index and
Dashboard s - Global Report . New York: Bertelsmann Stiftung and Sustainable Development Solutions
Network (SDSN).

Sarvajayakesavalu, Suriyanarayanan. 2015. Addressing challenges of developing countries in


implementing five priorities for sustainable development goals, Ecosystem Health and Sustainability,
1:7, 1-4, DOI: 10.1890/EHS15-0028.1

Simpson, Kumuda. 2016. Climate and security why its so hard. Diperoleh 10 Februari 2018, 14:48 WIB
dari https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/climate-change-and-security-and-why-its-so-
hard

UNDP. 2010. Gender Equality and Women’s Empowerment in The Philippines. United Nation
Development Programme.

UNECA. 2015. Report on sustainable development goals for the Southern Africa subregion. Economic
Comission for Africa: Ethiopia.

11
Weir, Doug. 2016. What the Absence of the Environment in SDG 16 on Peace and Security Should Tell
Us. Diperoleh 10 Februari 2018, 14:48 WIB dari https://sustainablesecurity.org/2016/04/29/what-
the-absence-of-the-environment-in-sdg16-on-peace-and-security-should-tell-us/

Welsch, Heinz. 2004. Corruption, growth, and the environment: a cross-country analysis. Environment
and Development Economics 9, no. 5: 663-693.

12

Anda mungkin juga menyukai