Disusun Oleh:
1. Konsep Teori
A. Total Hip Replacement (THR)
Total Hip Artroplasti (THA) merupakan prosedur ortopedi yang melibatkan eksisi
bedah kepala dan proksimal leher femur dan penghilangan acetabular tulang rawan dan
tulang subchondral. Kanal buatan dibuat di daerah bagian proksimal moduler femur, dan
logam prostesis femoralis, terdiri dari batang dan kepala berdiameter kecil, dimasukkan
ke dalam kanal meduler femoral. Komponen acetabular terdiri dari polietilen yang
dimasukkan pada bagian proksimal dalam ruang acetabular (Siopack & Jergesen, 1995).
Prinsip dasar dari THA yaitu dengan mengganti sendi pinggul yang rusak diganti
dengan buatan cup acetabular dan kepala femoral, yang menggantikan rusak permukaan
artikulasi secara alami. Oleh karena itu bahan yang digunakan harus memiliki gesekan
rendah dan menahan keausan dan beban mekanik berosilasi. Kepala femoral adalah
berada di batang femur. Cup acetabular berada di panggul dan terdiri dari shell yang
dimasukkan untuk memberikan bantalan beban permukaan artikulasi. Desain modular ini
memungkinkan penggunaan bahan yang berbeda dengan sifat yang paling cocok untuk
fungsi masing-masing (Holzwarth & Cotogno, 2012).
Implant Patella
Patela dipotong datar dan dilengkapi dengan
komponen patela plastik.
Gambar: rekomendasi profilaksis pada Total Hip Replacement (Sumber:Meehan, Jamali & Nguyen,
2009).
3) Dislokasi
Terjadinya dislokasi yaitu terputusnya kepala femoral dan cup acetabular
komplikasi umum dalam minggu-minggu pertama setelah operasi ketika kekuatan
jaringan belum pulih dan terutama ketika diameter kecil kepala femoral
digunakan. Panjang kaki yang tidak sama dapat menyebabkan pilihan yang tidak
tepat dari dimensi batang atau masalah terjadi selama operasi. Nyeri dapat terjadi
setelah THA karena otot-otot pinggul sebelum operasi harus beradaptasi kembali
dengan anatomi yang normal. Nyeri kronis dapat disebabkan oleh kerusakan saraf
selama operasi atau dengan otot bergesekan dengan komponen prostesis
(Holzwarth & Cotogno, 2012).
Evaluasi risiko terjadinya dislokasi setelah THR angat diperlukan. Evaluasi
tersebut yaitu pemeriksan fisik dan pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan fisik
harus mencakup penilaian kedua ekstremitas bawah, berbagai gerak, kekuatan,
status neurovaskular, panjang kaki, lokasi sayatan sebelumnya dan posisi kaki.
Selain itu, jika terindikasi secara klinis, tes diagnostik termasuk jumlah sel darah
putih, laju endap darah, tingkat C-reaktif protein, aspirasi dan infeksi dapat
menjadi faktor yang berkontribusi terhadap ketidakstabilan (Werner & Brown
TE,2012). Berikut algoritma evaluasi dislokasi pada THR
Gambar alur penatalaksanaan terjadinya dislokasi pada THR (Sumber: Dargel J, Oppermann J,
Brüggemann GP, Eysel P.(2004)
4) Kerusakan stem
Terjadinya kerusakan batang jarang terjadi setelah dilakukan prosedur THR.
Hal ini dapat terjadi karena beban osilasi yang menyebabkan kegagalan, yaitu
ketika bagian distal berfungsi baik ketika terisi semen sedangkan bagian
proksimal menjadi longgar. Namun permasalahan ini dapat telah diselesaikan
dengan meningkatkan teknik penyemenan (Holzwarth & Cotogno, 2012).
5) Revisi Pembedahan
Pada total hip replacement dapat terjadi revisi pembedahan. Revisi dilakukan
jika terdapat kegagalan penanaman prostesis. Semua komponen semen dan
prostetik dihilangkan dengan hati-hati untuk menghindari penetrasi atau patah
tulang. Komponen baru kemudian ditanamkan. Indikasi bedah untuk revisi
artroplasti termasuk melonggarnya komponen prostetik, weardebris osteolisis,
infeksi akut atau infeksi kronis yang mendalam, kegagalan mekanis komponen
prostetik, dan dislokasi berulang kronis. Revisi bedah secara teknis lebih sulit
daripada artroplasti total pinggul primer prosedur, baik karena ada saham tulang
kurang untuk bekerja dengan dan karena penghapusan semen patuh atau
komponen palsu dapat menyebabkan fraktur atau perforasi tulang. Alasan yang
paling sering untuk operasi revisi adalah melonggarnya batang dan atau cup
acetabular, yaitu hilangnya kontak antara tulang dan implan. Alasan lain seperti
ketidaksesuaian cup yang dapat meningkatkan beban pinggul dan melonggarnya
femoral. Kontak yang tidak cukup antara tulang dan implan menyebabkan stres
pelindung, karena implantasi dari hasil batang femoralis pada transmisi beban,
berbeda dengan kondisi beban fisiologis alami di femur. Di mana kontak tulang-
implan sifatnya lemah, sebuah sebagai kompensasi tulang diserap secara lokal di
mana ia tidak lagi membawa beban (Holzwarth & Cotogno, 2012).
Diperlukan tindakan untuk mencegah kebutuhan untuk operasi revisi total hip
replacement. Pentingnya kesadaran dan pengawasan pasca. Dislokasi dapat
dicegah dengan mengikuti petunjuk dokter bedah, beberapa bentuk infeksi pinggul
dapat dicegah dengan pengobatan yang tepat dari infeksi tubuh lainnya dan
dengan memberikan antibiotik sebelum prosedur. Pemeriksaan fisik, radiografi
dan pemantauan ketat diperlukan untuk menentukan penggantian pinggul direvisi.
6) Deep vein thrombosis dan emboli paru
Deep vein thrombosis dan emboli paru sebagai penyebab utama morbiditas
dan kematian pada pasien. Dengan tidak adanya profilaksis, kejadian deep vein
trombosis mungkin sebanyak 70% dan dari paru emboli, 20%. Kematian dari
emboli paru telah dilaporkan setinggi 2%. Penggunaan profilaksis rutin terhadap
pembuluh darah tromboflebitis direkomendasikan dalam artroplasti total pinggul.
Gradedcompression stoking elastis dan mobilisasi dini digunakan sebagai
tindakan pencegahan minimum. Berbagai antikoagulasi diberikan, namun masih
perlu pengkajian ulang terhadap penggunaan antikoagulan. Dosis rendah heparin
umumnya digunakan, namun dipertanyakan manfaatnya kecuali dikombinasikan
dengan antitrombin III. Dosis rendah warfarin digunakan namun banyak ahli
bedah yang enggan untuk menerima risiko komplikasi perdarahan. Menggunakan
anestesi regional di artroplasti total pinggul dilaporkan menurunkan kejadian vena
dalam trombosis dan emboli paru sebanyak dua pertiga bila dibandingkan dengan
general anesthesia (Siopack & Jergesen, 1995).
7) Penulangan heterotopic
Osifikasi heterotopik (HO) dapat sebanyak 70% dari pasien yang menjalani
artroplasti total pinggul. Pasien yang berisiko mengalami osifikasi heterotopik
termasuk orang-orang dengan pembentukan tulang heterotopic sebelumnya dan
orang-orang dengan memiliki hyperostosis skeletal idiopatik, ankylosing
spondylitis, pada pria dan hipertrofik osteoarthritis. Profilaksis dengan
antiinflamasi nonsteroid atau dengan radiasi dosis rendah pasca operasi menjadi
terapi efektif untuk pasien berisiko tersebut (Siopack & Jergesen, 1995).
Penggunaan NSAID peri-operatif terbukti mengurangi risiko pengembangan
pembentukan tulang heterotopic atau osifikasi heterotopik. Review lain
menunjukkan penurunan 57% dalam risiko HO saat NSAID digunakan sebagai
profilaksis (Qian & Kang, 2009). Penggunaan radioterapi untuk mencegah HO
pada THR disebabkan oleh sel-sel osteoprogenitor terlibat lebih awal dalam
perbaikan tulang karena radiosensitive daripada sel-sel yang lebih matang.
8) Loosening
Terjadinya kelonggaran/loosening adalah penyebab paling umum dari
kegagalan di arthroplasties pinggul yang tidak terinfeksi. Hal ini terlihat dengan
penyerapan tulang di sekitar implan atau semen dan biasanya terdeteksi radiografi.
Kelonggaran dapat terjadi terjadi secara mekanik atau biologis secara alami dan
sering terjadi dengan infeksi lama. Kelonggaran mekanik merupakan hasil dari
beban berlebih. Berlebihnya muatan disebabkan karena desain prostetik yang
buruk, dan teknik penyisipan yang tidak tepat. Proses terjadinya kelonggaran
biologis merupakan hasil dari resorpsi tulang yang dimediasi oleh sel sehingga
merangsang puing-puing partikel-pakai dari semen, polyethylene, atau logam
(JAC). Secara normal, setiap tahun penggunaan polietilen terjadi keausan 0,1 mm
per tahun. Namun jika terjadi keausan partikel yang lebih besar dari ukuran kritis
tertentu (0,2-0,8 um) maka terjadi fagosit oleh makrofag yang memulai aktivasi
interleukin-diinduksi oleh osteoklas sehingga terjadinya osteolisis periprosthetic.
9) Pseudotumor
Risiko osteolisis rendah pada penggunaan implan MoM. Pasien tersebut
menunjukan peningkatan permanen konsentrasi ion chrome dan cobalt dalam
darah. Pasien dapat mengalami lesi inflamasi steril di sekitar area jaringan lunak
di sekitar area MoM hip implant dengan patogenensis yang masih belum jelas.
Meskipun sudah dilakukan biopsi lesi, namun sulit untuk membedakan dari
jaringan tumor nekrotik. Lesi ini disebut sebagai pseudotumours, tetapi juga
deskripsi lainnya telah digunakan dalam literatur seperti bursae, kista atau massa
inflamasi. Adanya pseudotumours dapat menyebabkan gejala yang parah dan
sering memerlukan operasi revisi. Dalam pseudotumor terdapat jaringan partikel
puing-puing logam kecil dan insiden disertai dengan peningkatan konsentrasi ion
logam dalam serum darah.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Pada pasien dengan kelainan sendi patela dan sendi panggul, keluhan yang
paling sering muncul adalah nyeri. Nyeri terjadi pada saat sendi digerakan,
aktivitas dengan beban yang berat atau pada saat terjadi inflamasi. Nyeri ini
biasanya mereda jika aktivitas dihentikan dan mendapatkan analgetik.
Nyeri pasca prosedur total hip replacement dan total knee replacement
timbul akibat adanya perlukaan atau lesi yang mengalami proses replacement.
Nyeri juga berkaitan dengan adanya proses inflamasi pasca pembedahan.
Beberapa kasus, nyeri terjadi selama mendapatkan terapi continous passive
motion.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang.
Pengkajian riwayat kesehatan terutama berkaitan dengan masalah sendi
yang diderita. Penyakit penyerta atau masalah lain yang berkaitan dengan
masalah sendi harus dikaji secara mendalam karena pasien akan mengalami
prosedur pembedahan. Demi menekan dampak pembedahan maka kondisi
pasien sebelum dilakukan prosedur tersebut harus benar-benar baik.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Fokus pengkajian adalah proses terjadinya gangguan pada sendi baik hip
joint atau knee joint. Trauma, osteoporosis, osteoathritis dan penyakit lain yang
menjadi penyebab gangguan sendi harus dikaji secara mendalam untuk
menentukan program terapi yang sesuai bagi pasien.
Riwayat kesehatan dahulu juga harus dapat mengkaji penyakit atau masalah
yang dapat memperburuk kondisi pasien saat ini. Beberapa penyakit yang dapat
memperburuk diantaranya adalah, diabetes mellitus, stroke, acute limb
infarction dan lain sebagainya.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Pengkajian riwayat penyakit yang diturunkan secara genetik. Beberapa
kndisi kelainan imunitas, deformitas tulang maupun kasus keganasan anggota
keluarga sebaiknya dikaji dan lakukan pemeriksaan kepada pasien terkait
penyakit yang ada di keluarga. Salah satu kondisi yang menyulitkan adalah
haemophilia sehingga pembedahan menjadi lebih beresiko.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem muskuloskeletal: tidak terkaji
b. Sistem Respirasi
Pemeriksaan sistem respirasi harus dilakukan sebelum prosedur pembedahan.
Masalah pada sistem respirasi akan meningkatkan resiko jika dilakukan
pembedahan.
1) Pola pernafasan, irama, kedalaman, penggunaan otot tambahan dalam
bernapas ( berhubungan dengan adanya riwayat TBC).
2) Pengkajian riwayat adanya batuk yang lama pada pasien.
3) Pemeriksaan taktil fremitus yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya
penumpukan cairan dan kesimetrisan penngembangan paru.
Lakukan pengkajian status oksigenasi, yaitu adanya cyanosis, pucat, napas
pendek, tanda hipoksia, kesulitan bernafas.
c. Sistem Urinari
Pemeriksaan difokuskan pada adanya tanda-tanda penyakit ginjal kronis yang
berhubungan dengan adanya proses infeksi dan pengobatan.
d. Sistem persyarafan
Pemeriksaan difokuskan pada adanya gangguan pada sistem persayarafan secara
komprehensif. Pasien dengan ganggua persyarafan akan menghambat proses
rehabilitasi dan beresiko mengalami kegagalan pada program rehabilitasi.
Program rehabilitasi pada pasien berfokus pada peningkatan kemampuan
mobilitas pasien.
e. Sistem imunologi
Difokuskan pada pemeriksaan kelenjar limfe, bila ada infeksi terjadi
pembengkanan pada kelenjar limfe.
f. Sistem kardiovaskular
Pemeriksaan sistem kardiovaskuler penting dilakukan, masalah yang muncul
merupakan efek dari adanya rasa nyeri, dan pengobatan yang diberikan untuk
mengatasi rasa nyeri. Nyeri muncul karena adanya penekanan pada medula
spinalis. Lakukan pengukuran tekanan darah secara berkala. Pada pasien dengan
myeloradikulipathy terjadi penurunan tekanan darah yang diawali dengan
menurunnya retensi vaskuler perifer.
g. Sistem Integument
Sebelum dilakukaan THR atau TKR sebaiknya dilakukan pemeriksaan pada
area yang akan mengalami pembedahan. Jika terdapat infeksi maka akan
menjadi penyulit pada saat pembedahan serta pada penyembuha luka akibat
prosedur pembedahan.
Pada saat pembedahan maka pasien akan diposisikan secara statis tergantung
surgical positioning yang dibutuhkan dalam waktu yang lama. Durasi prosedur
THR dan TKR kurang lebih 3 jam. Kondisi tersebut dapat menyebabkan cedera
pada pasien.
h. Sistem pencernaan
5. Pemeriksaan penunjang yg harus dilakukan
a. Pemeriksaanlaboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis dan LED meningkat
tujuannya adalah untuk memberikan informasi mengenai masalah
muskuloskletal dan komplikasi yang terjadi seperti adanya perdarahan
(Smeltzer and Bare, 2010).
2) Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
3) Pungsi lumbal Biasanya dilaksanakan bersamaan dengan mielografi, untuk
mengetahui tingginya konsentrasi albumin didalam liquor, yang ditentukan
oleh ada atau tidak adanya blok
b. Pemeriksaan diagnostik
1. Radiologi
Dengan X ray maka dapat diketahui kondisi struktur tulang maupun
struktur sendi yang mengalami kelainan. X ray merupakan metode yang
paling sederhana yang dapat dilakukan pada pasein dengan gangguan pada
sendi dan pada sistem skelet tubuh.
2. Athroskopi
Digunakan untuk mennilai keadaan sendi. Sebuah kamera kecil
dimasukan ke dalam ruang sendi untuk menilai struktur, lesi maupun
deformitas yang terjadi pada sendi. Atroskopi juga dilakukan unutk
mengambil specimen cairan sendi.
Keterangan :
1= keluhan parah
2= keluhan substansial
3= keluhan sedang
4= keluhan ringan
5= tidak ada keluhan
Impaired physical mobility r/t musculoskeletal impairment
Definisi: Keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri adan terarah pada tubuh meliputi satu ekstremitas atau lebih
Domain 4:Activity/Rest
Class 2:Activity/Exercise
Kriteria Hasil/ Tujuan Intervensi Keterangan
Immobility Consequences: Bed Rest Care -
Physiological Aktivitas:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 7x 24 jam diharapkan klien 1. Jelaskan tujuan bed rest pada klien
mampu menurunkan resiko keparahan 2. Gunakan alas tidur yang tepat
fungsi fisik akibat imobilisasi, dengan 3. Hindari penggunaan alas tidur yang
kriteria hasil: berbahan kasar
Indikator Awal Target 4. Pertahankan linen tempat tidur
Luka tekan 3 4 dalam keadaan bersih
Thrombosis vena 2 3 5. Gunakan side rails
Konstipasi 3 4 6. Monitor kondisi kulit klien
7. Monitor tanda-tanda konstipasi
Keterangan : 8. Monitor fungsi urinaria
1= keluhan parah 9. Letakkan barang-barang yang
2= keluhan substansial mudah terjangkau oleh klien
3= keluhan sedang
4= keluhan ringan Self-care assistant
5= tidak ada keluhan Aktivitas:
Discharge Planning
Aktivitas:
DAFTAR PUSTAKA
Adie, S., Naylor, J. M., & Harris, I. A. (2009). Cryotherapy after total knee arthroplasty: A
systematic review and meta-analysis of randomized controlled trials. Journal of
Arthroplasty , 25(5), 709-715. doi: 10.1016/j.arth.2009.07.010
Ali, Zaidin H., (2000). Dasar-Dasar Keperawatan Profesional.Jakarta : Widya Medika
American Academy of Orthopaedic Surgeons. (2015).Total Hip Replacement. orthoinfo.org
American Academy of Orthopaedic Surgeons. (2015).Total Knee Replacement. orthoinfo.org
Dargel J, Oppermann J, Brüggemann GP, Eysel P.(2004). Dislocationfollowing total hip
replacement. Dtsch Arztebl Int, 111: 884–90.DOI: 10.3238/arztebl.2014.0884
Denis, M., Moffet, H., Caron, F., Ouellet, D., Paquet, J., Lucie, N. (2006). Effectiveness of
continuous Passive Motion and conventional physical therapy after total knee
arthroplasty: A randomized controoled trial. Physical Therapy. 86, 2, 1-12.
Dochterman, J. M., Bulecheck, G. N. (2004). Nursing Intervention Classification. Fourth
Ed. Iowa: Mosby Elsevier
Dochterman, J. M., Bulecheck, G. N. (2004). Nursing Intervention Classification. Fourth
Ed. Iowa: Mosby Elsevier
Edmunds, C. T., Boscainos, P. J. (2011). Effect of surgical approach for total hip
replacement on hipfunction using Harris Hip scores and Trendelenburg’s test.A
retrospective analysis. The surgeon. 9, 124-129. doi: 10.1016/j.surge.2010.08.014
Friedman, R. J. (2010). Limit the bleeding Limit tha pain in Total Hip and Knee
Arthroplasty. Orthopedics. 1-4
Gilbey, H. J., Ackland, T. R., Wang, A. W., Morton, A. R., Trouchet, T., & Tapper, J.
(2003). Exercise improves early functional recovery after total hip arthroplasty.
Clinical Orthopaedics And Related Research
Hardwick, M. E., Puildo, P. A., Adelson, W. S. (2012). Nursing Intervention using healing
touch in bilateral total knee arthroplasty. Orthopaedic Nursing. 31, 1, 1-7.
Herdman, T. H., Kamitsuru, S. (ed). (2014). Nursing Diagnoses: Definition & Classification
2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell.
Herdman, T. H., Kamitsuru, S. (ed). (2014). Nursing Diagnoses: Definition & Classification
2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell.
Holzwarth, U., & Cotogno, G. (2012). Jrs scientific and policy reports Total Hip
Arthroplasty. Joint Research Centre of the European Commission
Hsu, C.-C., Chen, W.-M., Chen, S.-R., Tseng, Y.-T., & Lin, P.-C. (2015). Effectiveness of
Music Listening in Patients With Total Knee Replacement During CPM
Rehabilitation. Biological research for nursing, 1099800415572147.
Kim, Y-H., Kulkarni, S. S., Park, J-W., Kim, B. S. (2015). Prevalence of Deep Vein
Thrombosis and Pulmonary Embolism Treatedwith Mechanical Compression Device
after Total Hip Arthroplasty. The Journal of Arthroplasty. 30, 675–680. doi:
10.1016/j.arth.2014.11.004.
Medical Advisory Secretariat. (2005).Physiotherapy rehabilitation after total knee or hip
replacement: anevidence-based analysis. Ontario Health Technology Assessment
Series; 5(8)
Meehan, J., Jamali, A. A., & Nguyen, H. (2009). Prophylactic antibiotics in hip and knee
arthroplasty. J Bone Joint Surg Am, 91. doi: 10.2106/JBJS.H.01219
Miller, M. D., Brinker, M. R. (ed). (2000). Review of orthopaedic. Third ed. United States of
America: W.B Saunders.
Miller, M. D., Brinker, M. R. (ed). (2000). Review of orthopaedic. Third ed. United States of
America: W.B Saunders.
Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M. L., Swanson, E. (ed). (2004). Nursing Outcome
Classification. Fourth Ed. Iowa: Mosby Elsevier.
Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M. L., Swanson, E. (ed). (2004). Nursing Outcome
Classification. Fourth Ed. Iowa: Mosby Elsevier.
Parker, R. J. (2011). Evidence Based Practice: Caring for patient undergoing total knee
arthroplasty. Orthopaedic Nursing. 30, 1, 1-7. doi: 10.1097/NOR.0b013e3182057451
Qian K Kang. Prophylaxis of heterotopic ossification – an updated review Journal of
Orthopaedic Surgery and Research 2009, 4:12 doi:10.1186/1749-799X-4-12
Siopack, J. S., & Jergesen, H. E. (1995). Total Hip Arthroplasty. West J Med, 162:243-249
Summerfield, D. L. (2006). Decreasing the Incidence of Deep Vein Thrombosis through the
use of prophylaxis. Association of Operating Room Nurses. AORN Journal. 84, 4,
642-645.
Werner BC, Brown TE.(2012) Instability after total hip arthroplasty.World J Orthop.3:122-
130
Yin, H.-Z., & Shan, C.-M.(2015). The effect of nursing intervention based on Autar scale
results to reduce deep venous thrombosis incidence in orthopaedic surgery patients.
International journal o f nursing sciences, 2.