Anda di halaman 1dari 4

Kantor Surat Kabar De Locomotief

Pagar seng terpasang menutupi bagian muka sebagian bangunan yang berada di Jalan
Kepodang kawasan Kota Lama Semarang. Dari balik seng tersebut, terlihat reruntuhan bangunan
yang tak utuh lagi. Tidak beratap. Temboknya rapuh di sana-sini. Berbagai tanaman liar tampak
hidup subur, termasuk di sela-sela pecahan tembok. Salah satu sisi tembok bangunan yang berada
di Jalan Jalak saat ini menjadi spot foto yang banyak diburu pengunjung Kota Lama karena
keunikan akar pohon yang menembus tembok.
Bangunan ini menjadi salah satu saksi bisu perkembangan pers di Kota Semarang.
Setidaknya ada 6 harian yang pernah berkantor di gedung yang beralamat di Jalan Kepodang No
20-22 ini, De Locomotief salah satunya. Ruas jalan ini dulunya bernama Hoogendorpstraat, setelah
Indonesia merdeka diganti menjadi Jalan Purwodinatan Barat II dan diganti lagi menjadi Jalan
Kepodang hingga kini.
Sejarah perkembangan pers Semarang dimulai pada pertengahan abad ke 19. Liem Thian
Joe dalam buku Riwajat Semarang : Dari Djamannja Sam Poo Sampe Terhapusnja Kong Koan
menuliskan, pada 1825, orang-orang Belanda menerbitkan surat kabar pertama di Semarang
bernama Semarangsch Advertentieblad.
Tapi dosen sejarah Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Dewi Yuliati, dalam buku
Melacak Pers Jawa Tengah mencatat, di Semarang, pertumbuhan industri pers milik orang Eropa
dirintis oleh perusahaan Olifant & Co pada 1846. Perusahaan ini memperoleh izin dari Gubernur
Jenderal JJ Rochussen untuk menerbitkan Semarangsche Advertentieblad dan Semarangsche
Courant. Kemudian pada 1852, PJ De Groot menerbitkan Semarangsche Nieuws-en
Advertentieblad yang pada 1862 berganti nama menjadi De Locomotief. Penggantian nama koran
ini dikaitkan dengan berdirinya Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) pada 1862.
NIS adalah perusahaan kereta api pertama di Indonesia yang membuka jalur Semarang–Tanggung
(Grobogan).
Koordinator Komunitas Lopen Semarang,
Muhammad Yogi Fajri, menjelaskan, bang-unan
tersebut aslinya terdiri atas 2 lantai. Pada 2007, ia
sempat memotret saat tembok di lantai 2 belum
runtuh. “Bangunan ini sangat penting sebagai
bagian dari perjuangan Indonesia untuk merdeka,
tapi sekarang terlupakan dan perlahan musnah,”
jelasnya.
De Locomotief memang tak bisa dilepaskan dari perjuangan bangsa Indonesia. Meski
merupakan surat kabar berbahasa Belanda dan dimiliki orang Belanda, tapi jajaran redaksinya
merupakan pendukung Politik Etis. Salah satu pemimpin redaksi De Locomotief, Pieter Brooshoft
memberikan andil dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat Bumiputera. Lewat laporannya
tentang kemelaratan masyarakat akibat sistem tanam paksa, koran ini mendorong pemerintah
Hindia Belanda untuk menyejahterakan masyarakat Bumiputera lewat Politik Etis atau Politik Balas
Budi. Politik Etis ini dicetuskan oleh Conrad Theodor van Deventer.
De Locomotief merupakan koran berpengaruh di Semarang pada saat itu. Tapi dalam
perjalanannya, koran-koran lain bermunculan. Mulai dari yang dikelola bangsa Tionghoa maupun
Bumiputera. De Locomotief mengalami pasang surut bahkan sempat berhenti terbit. Usai
Indonesia Merdeka, pada 1947, De Locomotief kembali terbit. Hingga akhirnya benar-benar tutup
pada 1956.
Dalam catatan Jawa Pos Radar Semarang, surat kabar yang berkantor di Jalan Kepodang
20-22 ini bukan De Locomotief saja. Setidaknya ada 5 surat kabar lain yang pernah menjalankan
kegiatan jurnalistik di tempat ini, termasuk proses pencetakan koran. Di masa-masa awalnya,
harian Suara Merdeka pernah berkantor di sini sebelum pindah ke Jalan Merak. Ini terlihat dari
alamat redaksi yang tercantum pada edisi 27 Juni 1950. Dengan demikian, redaksi Suara Merdeka
berbagi kantor dengan De Locomotief yang masih terbit.
Setelah De Locomotief berhenti terbit, gedung ini digunakan sebagai kantor redaksi Harian
Tempo. Meski namanya sama, tapi Harian Tempo ini tak ada hubungannya dengan majalah Tempo
yang ada saat ini. Sastrawan Remy Sylado pernah menjadi wartawan di Harian Tempo. Setelah
1965, Harian Tempo berganti nama menjadi Suluh Indonesia edisi Jawa Tengah, koran yang
berafiliasi pada Partai Nasional Indonesia (PNI). Selanjutnya berganti nama lagi menjadi Suluh
Marhaen edisi Jawa Tengah. Terakhir, gedung ini digunakan sebagai kantor Harian Republik.
Kini bangunan tersebut tak lagi terawat, bahkan tinggal reruntuhan. Sejumlah pihak pernah
mengusulkan agar eks kantor De Locomotief ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Tapi
usulan tersebut belum mendapatkan respons positif dari pemerintah. Sementara kondisi
bangunan sekarang, sedikit demi sedikit akan lenyap karena lapuk.
Koordinator Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Semarang, Rukardi, mengakui kondisi gedung
De Locomotief saat ini cukup memprihatinkan. Sejauh ini, kata Rukardi, KPS telah melayangkan
surat laporan ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah dan tim ahli cagar budaya
Kota Semarang setelah melakukan pelacakan sumber-sumber sejarah lewat wawancara kepada
sejumlah narasumber dan saksi sejarah. Hanya saja, surat yang dilayangkan oleh KPS tidak pernah
mendapatkan respons dari pemerintah.
”Robohnya gedung itu kan terjadi beberapa kali itu. Roboh pertama kami membuat
laporan, berharap yang tersisa bisa diselamatkan. Ternyata tidak ada tanggapan, dan kini sampai
sudah habis bangunan itu,” sesalnya.
Diceritakan, hasil turun wawancara dengan sejumlah sumber, yakni orang yang sehari-hari
berada di sekitar gedung eks De Locomotief dihasilkan bahwa diduga bangunan ini ”sengaja
dirobohkan”. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan KPS, bangunan yang telah lama mangkrak
ini kayu-kayunya dicuri oleh orang. Sehingga oleh pemilik, daripada diambil orang,
dimanfaatkanlah kayu-kayu tersebut. ”Tapi ini diduga. Dari info warga sekitar situ dan belum ada
verifikasi dari pemiliknya,” terangnya.
Dikatakan, sebuah bangunan dapat ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya jika
memenuhi setidaknya 3 kriteria, yakni nilai sejarah, arsitektural yang penting dan mewakili
zamannya, serta minimal usianya 50 tahun.
Bersama anggota KPS Semarang, Rukardi berharap agar gedung yang memiliki nilai sejerah
ini dapat dibangun kembali untuk menjadi monumen pengingat pergerakan bangsa ini. Dengan
kondisi saat ini, satu hal yang sekiranya dapat dilakukan adalah membangun ulang gedung De
Locomotief menggunakan material baru dengan konstruksi yang sama persis. Cara ini hanya bisa
dilakukan jika pemeritah kota atau lembaga berwenang memiliki dokumentasi konstruksi bagunan
tersebut.
”Kalau itu ada, kemungkinan masih bisa dibangun ulang. Saya nggak tahu apakah pemkot
atau lembaga berwenang punya dokumentasi konstruksi bangunan itu,” ujarnya. Ia menjelaskan,
dalam kasus De Locomotief tidak ada cara lain selain itu. Sebab, bangunan bernilai sejarah ini
memang sudah habis. Padahal sebagaimana diketahui, De Locomotief punya nilai sejarah penting
dalam pergerakan bangsa ini.
”Ini yang kami sesalkan kenapa pemkot tidak pernah berpikir soal itu. Mereka berpikir pada
persoalan arsitektural saja. Hanya bangunan yang arsitekturnya bagus saja yang dinilai perlu
diselamatkan,” sesalnya.
Memang, kata dia, dengan cara ini otentisitas bangunan sejarah ini tidak dapat
dipertahankan. Setidaknya, menurutnya, dengan bangunan baru yang bentuknya sama persis,
Indonesia memiliki monumen untuk mengingatkan peran besar sebuah media dalam perjalanan
bangsa ini. ”Pemkot mestinya menyadari bahwa Semarang ini kota penting bagi perjalanan sejarah
bangsa ini,” katanya. (tulisan dilengkapi oleh Sigit Andrianto)

 http://historia.id/modern/bekas-kantor-redaksi-de-locomotief-di-semarang-dihancurkan
 https://www.jawapos.com/radarsemarang/read/2018/02/11/48029/jejak-kantor-6-
koran-terancam-lenyap

Anda mungkin juga menyukai