Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure)


berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermitten
yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik abnormal dan berlebihan di
neuron-neuron secara paroksismal dan disebabkan oleh berbagai etiologi.1
Status epileptikus ditegakkan apabila kejang yang terjadi bersifat
kontinyu, berulang dan disertai gangguan kesadaran dengan durasi kejang
yang berlangsung lebih dari 30 menit. Status epileptikus merupakan kejang
yang paling serius karena terjadi terus menerus tanpa berhenti dimana
terdapat kontraksi otot yang sangat kuat, kesulitan bernapas dan muatan
listrik di dalam otaknya menyebar luas sehingga apabila status epileptikus
tidak dapat ditangani segera, maka besar kemungkinan dapat terjadi
kerusakan jaringan otak yang permanen dan dapat menyebabkan kematian.1
Oleh karena itu, gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi
secepat mungkin. Rata-rata 15% penderita meninggal, walaupun pengobatan
dilakukan secara tepat. Lebih kurang 60-80% penderita yang bebas dari
kejang setelah lebih dari 1 jam akan menderita cacat neurologis atau berlanjut
menjadi penderita epilepsi.1,2
Menurut statistik Amerika Serikat, 0.5% kehamilan dijumpai pada
wanita epilepsi. Risiko pada wanita epilepsi yang hamil lebih besar dari pada
wanita normal yang hamil. Angka kematian neonatus (bayi baru lahir) pada
pasien epilepsi yang hamil adalah tiga kali dibandingkan populasi normal.
Sedangkan dari hampir 12.000 perempuan di Amerika Serikat mengalami
kehamilan saat menjalani terapi dengan obat antiepilepsi (OAE). Kurang
lebih 6% bayi yang dilahirkan oleh ibu yamg mendapat terapi OAE tersebut
mengalami cacat bawaan baik secara anatomis maupun fisiologis. 3
Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi bervariasi. Kira-kira
seperempat kasus frekuensi bangkitan akan meningkat terutama pada
trimester terakhir. Seperempatnya lagi menurun dan separuhnya tidak
mengalami perubahan selama kehamilan. 3,4

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I Definisi

SE biasanya didefinisikan sebagai aktivitas bangkitan yang


berlangsung 30 menit atau dua atau lebih bangkitan lain antara kesadaran tidak
pulih secara penuh (EFA, 1993). Lowenstein et al (1999) mengajukan bahwa
SE didefinisikan sebagai bangkitan konvulsif, terus berlangsung menyeluruh
berakhir lebih dari 5 menit atau dua atau lebih bangkitan selama pasien tidak
kembali ke kesadaran dasar. 1,3
Hal yang masuk akal dari revisi definisi berdasarkan pada fakta bahwa
tipe bangkitan tonik-klonik umum jarang berakhir lebih dari 5 menit, terminasi
spontan menjadi berkurang lebih dari 5 menit, dan hal tersebut menjadi
bangkitan terpanjang yang terus berlangsung, hal yang lebih sulit bila
bangkitan di kendalikan dengan OAE dan tingkatan terbesar dari kerusakan
neuron. Definisi tersebut konsisten dengan klinis tersering dimana hal ini
menjadi tidak masuk akal untuk menunggu selama 30 menit sebelum memulai
terapi dengan OAE 3,4
Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan mewakili
keadaan darurat medis dan neurologis utama. International League Against
Epilepsy mendefinisikan status epileptikus sebagai aktivitas kejang yang
berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih. Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau
seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih, harus
dipertimbangkan sebagai status epileptikus.5

2
II Epidemiologi

Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan


angka kejadian kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-
klonik umum yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga
kasus, status epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien yang
mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa
epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat antikonvulsan. 4
Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen,
tetapi mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status
epileptikus kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu
distribusi bim odal dengan puncak pada neonatus, anak-anak dan usia tua. 3,4
Pada pasien dengan diagnosis epilepsi, SE dapat dicetuskan oleh drug
withdrawal. Hal ini penting untuk diingat bahwa pasien dengan epilepsi memiliki
penyebab akut untuk SE (Walker, 2005). Kejadian dari SE menunjukan distribusi
bimodal dengan puncak pada anak-anak kurang dari setahun dari usia dan tua. Anak
anak kurang dari setahun dari usia memiliki insidens tertinggi. Keseluruhan, laki laki
lebih sering terjadi SE, dimana sebagain adalah bukan etnik kulit putih.5
Beberapa penelitian epidemiologik juga menemukan bayi dari ibu yang
menderita epilepsi mengalami cacat lahir sekitar dua sampai tiga kali lipat dibanding
populasi umum . Di seluruh dunia, sekitar 40.000 bayi setiap tahun terpajan OAE di
dalam kandungan. Diperkirakan sekitar 1.500-2.000 dari bayi tersebut mengalami
cacat lahir sebagai dampak OAE tersebut.5
Pengobatan wanita epilepsi yang hamil pada umumnya dilakukan menurut
prinsip yang sama seperti pada pasien tidak hamil. Resiko yang dialami janin karena
bangkitan yang dialami ibu mungkin sama besar dengan yang disebabkan obat anti
epilepsi. Malformasi yang disebabkan terapi obat anti epilepsi akan terjadi pada 4-8
minggu pertama dalam pertumbuhan janin.6

3
III. Etiologi

1. Idiopatik epilepsi :
Biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum, penyebabnya
tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai inteligensi
normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi
genetik.
2. Kriptogenik epilepsi :
Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui. Kebanyakan
lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang
mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk disini adalah
sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi mioklonik.
Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.
3. Simptomatik epilepsi :
Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang mendasari,
contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan saraf
pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan
pembuluh darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan metabolik dan
kelainan neurodegeneratif. 5.6

Faktor pencetus Status Epileptikus

a. Penderita Epilepsi tanpa pengobatan atau dosis pengobatan yang tidak


memadai
b. Pengobatan yang tiba-tiba dihentikan atau gangguan penyerapan GIT
c. Keadaan umum yang tidak menurun sebagai akibat kurang tidur, stres
psikis, atau stres fisik.
d. Pengunaan atau Withdrawal alkohol, drug abuse, atau obat-obat anti
depresi.5,6

4
IV. Klasifikasi

Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat,


karena penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus.
Pada umumnya status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal
bangkitan – area tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer
otak (Generalized onset)- kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan
klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi. Tahun 1981 International
League Against Epilepsy (ILAE) membuat suatu klasifikasi internasional
mengenai kejang dan epilepsi yang membagi ke jang menjadi 2 golongan
utama : serangan parsial (partial onset seizures) dan serangan umum
(generalized-onset seizures). Serangan parsial dimulai pada satu area fokal di
korteks serebri, sedangkan serangan umum dimulai secara simultan di kedua
hemisfer. Serangan lain yang sulit digolongkan dalam satu kelompok dimasuk
kan dalam golongan tak terklasifikasikan (unclassified). ILAE kemudian
membuat klasifikasi yang diperbarui menggunakan diagnosis multiaksial pada
tahun 1989, kemudian disempurnakan lagi pada tahun 2001, namun klasifikasi
tahun 1981 teta p masih sering digunakan. 8

Serangan parsial (fokal) Serangan parsial sederhana (dengan gejala


motorik, sensorik, otonom, atau psikis)
Serangan parsial kompleks
Serangan parsial dengan generalisasi sekunder
Serangan umum Absens (petit mal)
Tonik-klonik (Grand mal)
Tonik
Atonik
Mioklonik
Serangan Epilepsi tak
teklasifikasikan

Tabel 1. Klasifikasi ILAE 1981( ket : Klasifikasi serangan Epilepsi


menurut International League Against Epilepsy (ILAE ) pada Tahun
1981)

5
V. Patofisiologi

Kejang dipicu oleh perangsangan sebagian besar neuron secara berlebihan,


spontan, dan sinkron sehingga mengakibatkan aktivasi fungsi motorik (kejang),
sensorik, otonom atau fungsi kompleks (kognitif, emosional) secara lokal atau umum.
Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksimal akibat
penghambatan neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara
neurotransmiter eksitatori dan inhibitori (7). Defisiensi neurotransmiter inhibitori
seperti Gamma Amino Butyric Acid (GABA) atau peningkatan neurotransmiter
eksitatori seperti glutamat menyebabkan aktivitas neuron tidak normal.
Neurotransmiter eksitatori (aktivitas pemicu kejang) yaitu, glutamat, aspartat, asetil
kolin, norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotripin, purin, peptida, sitokin dan
hormon steroid. Neurotransmiter inhibitori (aktivitas menghambat neuron) yaitu,
dopamin dan Gamma Amino Butyric Acid (GABA). Serangan kejang juga diakibatkan
oleh abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal ion, dan defisiensi ATPase yang
berkaitan dengan transport ion, dapat menyebabkan ketidak stabilan membran
neuron7.

Aktivitas glutamat pada reseptornya (AMPA) dan (NMDA) dapat memicu


pembukaan kanal Na+. Pembukaan kanal Na ini diikuti oleh pembukaan kanal Ca2+,
sehingga ion-ion Na+ dan Ca2+ banyak masuk ke intrasel. Akibatnya, terjadi
pengurangan perbedaan polaritas pada membran sel atau yang disebut juga dengan
depolarisasi. Depolarisasi ini penting dalam penerusan potensial aksi sepanjang sel
syaraf. Depolarisasi berkepanjangan akibat peningkatan glutamat pada pasien epilepsi
menyebabkan terjadinya potensial aksi yang terus menerus dan memicu aktivitas sel-
sel syaraf. Beberapa obat-obat antiepilepsi bekerja dengan cara memblokade atau
menghambat reseptor AMPA (alpha amino 3 Hidroksi 5 Methylosoxazole- 4-
propionic acid) dan menghambat reseptor NMDA (N-methil D-aspartat). Interaksi
antara glutamat dan reseptornya dapat memicu masuknya ion-ion Na+ dan Ca2+ yang
pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya potensial aksi. ( gambar 1 hal;11)
Namun felbamat (antagonis NMDA) dan topiramat (antagonis AMPA) bekerja
dengan berikatan dengan reseptor glutamat, sehingga glutamat tidak bisa berikatan
dengan reseptornya.8

6
Efek dari kerja kedua obat ini adalah menghambat penerusan potensial aksi
dan menghambat aktivitas sel-sel syaraf yang teraktivasi . Patofisiologi epilepsi
meliputi ketidakseimbangan kedua faktor ini yang menyebabkan instabilitas pada sel-
sel syaraf tersebut.

Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:

a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya


pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat
terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.
c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan.
Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan
kejang.8,9
Sel saraf di otak berkomunikasi melalui transmisi listrik dan kimia. Ada
keseimbangan yang teratur antara faktor yang menyebabkan eksistasi dan inhibisi
aktifitas listrik otak.8

Untuk dapat mempresentasikan sinyal listrik diotak menjadi perilaku,


banyak sel saraf yang terlibat. Dalam kebanyakan kasus kejang, sejumlah kecil
kumpulan sel saraf yang abnormal menyebabkan perubahan pada sel didekatnya
atau pada sel yang memilik hubungan erat dengannya. Pada kejang, sejumlah besar
kumpulan sel saraf tereksitasi bersamaan (hipersinkroni), sehingga menyebabkan
aktfitas tubuh berlebihan.9

Penyebab kelainan yang utama adalah hilangnya sel saraf yang


menginhibisi sel eksitasi dan membatasi penyebaran listrik otak atau mungkin
dikarenakan produksi berlebihan rangsangan kimia otak yang menyebabkan sel
mengeluarkan sinyal listrik yang abnormal. Neurotransmitter eksitasi juga
dilepasakan berlebihan dan mengganggu bendungan listrik sel saraf yang
normalnya membatasi penyebaran sinyal listrik yang abnormal. 10

7
Diantara neurotansmitter-neurotarsmitter eksitasi dapat disebut glutamate,
aspartat, norepinefrin, dan asetilkolin, sedangkan nerutransmitter inhibisi yang
terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA).Secara klinis dan berdasarkan
EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme
kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac output, peningkatan
oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum,
peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. 11

Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan
ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah , pH
dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. 12

Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya


hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan
syaraf yang irreversibel.Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus
selama tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan
mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis
aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak
berlanjut.10,11

Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi
maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks
serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus
mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan
syaraf maksimal dalam zona Summer.Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau
kehilangan syaraf begitu kompleks dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas
syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan pelepasan dari glutamat dan
merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium dan Kalsium dan
kerusakan sel yang diperantarai kalsium.12

Pada wanita hamil terjadi perubahan fisiologis dalam tubuhnya. Salah


satunya adalah fungsi ginjalnya meningkat yang ditandai dengan peningkatan
creatinine clearance sekitar 50% sehingga akan menurunkan kadar Obat Anti

8
Epilepsi (OAE) dalam sirkulasi darah yang akhirnya meningkatkan kebutuhan
OAE. 12,13
Selain itu, hormon esterogen bersifat epileptogenik. Sebaliknya,
progesteron yang bersifat antiepileptik akan meningkat pada fase luteal dalam
siklus menstruasi sehingga pada masa itu frekuensi bangkitan akan turun .7,8
Hormon estrogen terus meningkat selama kehamilan dan mencapai puncaknya
pada trimester ketiga. Hal inilah yang menyebabkan frekuensi bangkitan pada epilepsi
menjadi meningkat terutama pada trimester terakhir.

Bangkitan selama kehamilan meningkatkan risiko outcome kehamilan yang


merugikan. Bangkitan pada trimester pertama diketahui meningkatkan risiko
malformasi kongenital pada keturunan 12,3% berbanding 4% dengan anak yang
terpapar dengan bangkitan maternal pada waktu yang lain.

Bangkitan umum tonik-klonik meningkatkan risiko hipoksia dan asidosis dan


juga cedera karena trauma benda tumpul. 9.11

Peneliti dari Kanada menemukan bahwa bangkitan maternal selama


kehamilan meningkatkan risiko keterlambatan perkembangan. Meski jarang terjadi,
status epileptikus dapat menyebabkan tingkat mortalias yang tinggi bagi ibu dan anak.
Di dalam sebuah penelitian terhadap 29 kasus yang dilaporkan, 9 ibu dan 14 anak
meninggal selama atau sesaat setelah episode status epileptikus. Anak dari seorang
perempuan yang memiliki tiga kali bangkitan tonik klonik umum selama
kehamilannya dapat menyebabkan perdarahan intraserebral. 12

Pada kehamilan akan terjadi hemodilusi, dengan akibat filtrasi glomerulus


berkurang sehingga terjadi retensi cairan serta edema, akibatnya kadar obat dalam
plasma akan menurun. Retensi cairan yang terjadi menyebabkan hiponatremi.
Keadaan ini akan menimbulkan gangguan parsial dari sodium pump yang
mengakibatkan peninggian eksitabilitas neuron dan mempresipitasi bangkitan.11,12

9
Secara ringkas, beberapa penyebab yang dideteksi memicu kenaikan frekuensi
bangkitan adalah :
(1) Faktor hormonal, peningkatan estrogen yang bersifat epileptogenik,
(2) Metabolik, yaitu peningkatan sodium dan retensi cairan,
(3) Psikologik dan emosional, yaitu kecemasan atau ketegangan yang
cenderung meningkat serta gangguan tidur,
(4) Farmakokinetik yaitu gangguan ikatan protein atau protein binding plasma
dan absorbsi OAE,
(5) Kurangnya ketaatan pasien selama kehamilan terhadap terapi yang
disebabkan karena malas, bosan atau adanya mual-muntah selama kehamilan maupun
kekawatiran terhadap efek samping obat3,9
Kebanyakan perempuan dengan epilepsi telah mengalami bangkitan
sebelum kehamilan. Meskipun jarang terjadi, beberapa perempuan dengan
epilepsi mungkin mengalami bangkitan hanya selama kehamilan, yang disebut
dengan gestational epilepsy. Perempuan tersebut akan bebas bangkitan diantara
kehamilan. 13,14,15

Sebuah subkelompok lain (gestational onset epilepsy) mungkin mengalami


bangkitan pertama mereka ketika hamil dan setelah itu mungkin terus mendapatkan
bangkitan rekuren spontan. Sekitar 1% hingga 2% perempuan dengan epilepsi
mungkin mengalami status epileptikus selama kehamilan, yang berhubungan dengan
mortalitas dan morbiditas yang tinggi10.

Pada masa lalu, perempuan dengan epilepsi disarankan untuk tidak memiliki
anak dan sebagian besar negara memiliki hukum yang menghambat pernikahan bagi
mereka yang memiliki epilepsi tetapi perilaku ini telah secara bertahap memberikan
jalan bagi sebuah suasana dimana pernikahan dan keibuan menjadi sesuatu yang dapat
diterima bagi perempuan dengan epilepsi, dan manajemen kehamilan pada perempuan
dengan epilepsi semakin mendapatkan perhatian dari neurolog dan dokter lain.15

Sebagian besar perempuan dengan epilepsi saat ini dapat memiliki dan
membesarkan anak yan normal dan sehat, tetapi kehamilan mereka memiliki
peningkatan risiko untuk komplikasi.

10
Kehamilan dapat menyebabkan eksaserbasi frekuensi bangkitan pada beberapa
perempuan dengan epilepsi, dan baik epilepsi maternal dan paparan obat antiepileptik
in utero dapat meningkatkan risiko terjadinya outcome yang merugikan pada anak
yang dilahirkan dari ibu dengan epilepsi. Outcome ini termasuk kematian janin dan
kematian perinatal, malformasi dan anomali kongenital, perdarahan neonatal, berat
badan lahir rendah, keterlambatan perkembangan, dan epilepsi masa kanak-kanak.14,15

Mengacu pada bahasan di atas, perempuan hamil dengan epilepsi


dihadapkan pada kondisi yang unik. Penghentian sama sekali OAE juga bukan
suatu keputusan yang realistik. Satu sisi, kehamilannya mempunyai risiko untuk
meningkatkan serangan, di sisi lain penggunaan OAE umumnya mempunyai efek
teratogenik. Penanganan epilepsi pada perempuan hamil perlu direncanakan
secara cermat.16

Gambar 1: Celah interneuron , tempat serta mekanisme kerja obat anti epilepsi

11
VI. Gambaran Klinis

Tanda Khas Epilepsi Parsial Sederhana


Aktivitas motorik merupakan gejala yang paling lazim pada epilepsi parsial
sederhana. Gerakan ditandai dengan gerakan klonik atau tonik yang tidak sinkron,
dan mereka cenderung melibatkan wajah, leher dan tungkai. Kejang versify terdiri
atas pemutaran kepala dan gerakan mata gabungan adalah sangat lazim. Rata – rata
kejang berlangsung selama 10 – 22 detik. Kejang parsial sederhana dapat
terancukan dengan gerenjit ( tic ), namun gerenjit ditandai dengan pengangkatan
bahu, mata berkedip – kedip dan wajah menyeringai serta terutama melibatkan
wajah dan bahu. Gerenjit dapat tertekan sebentar, tetapi kejang parsial tidak dapat
dikendalikan. EEG dapat menunjukkan gelombang paku atau gelombang tajam
unilateral atau bilateral, atau gambaran paku multifokal pada penderita dengan
kejang parsial sederhana, gelombang paku ombak di daerah temporal tengah
( daerah Rolandik ).13

Gambar 2. Manifestasi Epilepsi Parsial Sederhana ( Ket : Bentuk dan proses terjadinya epilepsi
Parsial sederhana )

12
Jenis epilepsy ini mempunyai kekhususan tersendiri, yaitu
prognosisnya baik. Serangannya mudah diobati, dicegah dengan
antikonvulsan, dan umumnya akan sembuh pada umur 15 tahun.
Ciri dan jenis epilepsy ini adalah :
1. Serangan pertama biasa terjadi antara usia 5 – 10 tahun.
2. Serangan terutama terjadi sewaktu tidur.
3. Respon terhadap obat antikonvulsan baik.
4. Prognosis baik.
5. Sumber ( focus ) epilepsinya adalah di daerah temporal tengah,
pada satu sisi atau pada kedua sisi di otak.
6. Serangan – serangan kejang akan menghilang atau berhenti bila
mencapai usia remaja, demikian juga halnya dengan gelombang
paku di daerah temporal tengah yang terlihat pada pemeriksaan
EEG akan menghilang.
Anak dengan jenis epilepsy ini mempunyai inteligensi, tingkah laku,
dan kemampuan bersekolah yang tidak berbeda dengan populasi umum.
Jenis epilepsy ini cukup sering dijumpai.

Tanda Khas Epilepsi Parsial Kompleks


Kejang jenis ini disebut juga kejang psikomotor. Kejang ini dapat
didahului oleh kejang parsial sederhana dengan atau tanpa aura, disertai
dengan gangguan kesadaran atau sebaliknya, mulainya kejang parsial
kompleks ini dapat bersama dengan keadaan kesadaran yang berubah. Aura
terdiri dari rasa tidak enak, samar – samar, sedikit rasa tidak enak
epigastrium, atau ketakutan pada sekitar sepertiga anak. Kejang parsial ini
sukar didokumentasikan pada bayi dan anak, frekuensi hubungannya
dengan kejang parsial kompleks mungkin kurang terestimasi. Kesadaran
terganggu pada anak dan bayi sukar dinilai.
Kejang parsial kompleks yang disertai gelombang tajam atau paku –
paku setempat EEG antar kejang lobus temporalis anterior, dan paku
multifokus merupakan temuan yang sering. Sekitar 20 % bayi dan anak
dengan kejang parsial
kompleks mempunyai EEG antar kejang rutin normal. Daerah yang
terkena kejang parsial kompleks lebih luas dibandingkan dengan kejang
parsial sederhana dan biasanya didahului dengan aura.13

13
Gambar 3. Manifestasi Epilepsi Parsial Kompleks ( Ket : proses,gambaran klinis ,
radiologis dan EEG pada pasien Epilepsi Parsial Kompleks )

Tanda Khas Epilepsi Parsial Kemudian Menjadi Umum


Bentuk kejang ini disebut juga status epilepsy fokal atau epilepsy
parsial kontinu. Bentuk kejang biasanya kejang klonik ( kelojotan ). Tiap
bagian tubuh dapat terlibat, misalnya tangan, muka, dan kaki. Kejang ini
dapat terbatas dan dapat pula menjalar ke bagian tubuh lainnya. Bila kejang
bermula di ibu jari, ia dapat menjalar ke jari lainnya, kemudian ke
pergelangan tangan, ke lengan bawah, lengan atas, muka, kemudian ke
tungkai dan kaki.. Sehabis kejang sesekali dijumpai bahwa otot yang
terlibat lemah. Kelemahan ini umumnya pulih setelah beberapa menit atau
jam.14

14
Tanda Khas Epilepsi Tonik Klonik Umum
Bangkitan grandmal disebut juga bangkitan tonik klonik umum atau
bangkitan mayor ( serangan besar ). Bangkitan grandmal merupakan jenis
epilepsi yang sering dijumpai. Serangan grandmal yang khas adalah sebagai
berikut
Penderita secara mendadak menghilang kesadarannya, disertai kejang
tonik (badan dan anggota gerak menjadi kaku ), yang kemudian diikuti oleh
kejang
klonik (badan dan anggota gerak berkejut - kejut, kelojotan ). Bila
penderita sedang berdiri sewaktu serangan mulai, ia akan jatuh seperti
benda mati. Pada fase tonik badan menjadi kaku. Bila kejang tonik ini kuat,
udara dikeluarkan dengan kuat dari paru-paru melalui pita suara sehingga
terjadi bunyi yang disebut sebagai jeritan epilepsy ( epileptic cry ). Sewaktu
kejang tonik ini berlangsung, penderita menjadi biru ( sianosis ) karena
pernafasan terhenti dan terdapat pula kongesti ( terbendungnya ) pembuluh
darah balik vena. Biasanya fase kejang tonik ini berlangsung selama 20 –
60 detik.13,14

Gambar 4. Epilepsi tonik-klonik umum (Gambaran klinis dan EEG pada pasien
epilepsi Tonik Tonik Klonik )

15
Kemudian disusul oleh fase klonik. Pada fase ini terjadi kejang klonik
yang bersifat umum, melibatkan semua anggota gerak. Semua anggota gerak pada
fase klonik ini berkejang klonik ( kelojotan ) juga otot pernafasan dan otot rahang.
Pernafasan menjadi tidak teratur, tersendat - sendat, dan dari mulut keluar busa.
Lidah dapat tergigit waktu ini dan penderita dapat pula mengompol. 14,15
Bilapenderita terbaring pada permukaan yang keras dan kasar, kejang
klonik dapat mengakibatkan luka – luka karena kepala digerak – gerakkan
sehingga terantuk – antuk dan luka. Biasanya fase klonik ini berlangsung kira –
kira 40 detik, tetapi dapat lebih lama. Setelah fase klonik ini penderita terbaring
dalam koma. Fase koma ini biasanya berlangsung kira – kira 1 menit. Setelah itu
penderita tertidur, yang lamanya bervariasi, dari beberapa menit sampai 1 – 3 jam.
Bila pada saat tidur ini dibangunkan ia mengeluh sakit kepala, dan ada pula yang
tampak bengong. Lama keadaan bengong ini berbeda –beda. Ada penderita yang
keadaan mentalnya segera pulih setelah beberapa menit serangan selesai. Ada pula
yang lebih lama, sampai beberapa jam atau hari.15,16
Kelemahan umum, muntah, nyeri kepala hebat, pegal otot, gelisah, mudah
tersinggung, dan berbagai perubahan tingkah laku merupakan gejala pasca
serangan yang sering dijumpai. Gangguan pasca serangan ini dapat berlangsung
beberapa saat, namun dapat juga sampai beberapa jam. Sesekali dijumpai
keadaan dimana serangan grandmal timbul secara beruntun, berturut – turut
sebelum penderita pulih dari serangan sebelumnya. Hal ini merupakan keadaan
gawat darurat, dan disebut status epileptikus. Dapat berakibat fatal, memautkan
dan dapat pula mengakibatkan terjadinya cacat pada penderitanya. 15,16

Tanda Khas Epilepsi Tonik Umum


Kejang ini biasanya terdapat pada BBLR dengan masa kehamilan kurang
dari 34 minggu dan pada bayi dengan komplikasi perinatal berat misalnya
perdarahan intraventrikuler. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan
tonik satu ekstremitas, atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan
tungkai yang menyerupai sikap deseberasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan
bawah dengan bentuk dekortikasi. Juga ditemukaan adanya epileptic cry. Bentuk
kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus dibedakan dengan sikap
opistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningeal karena infeksi selaput otak
atau kernikterus.15,16

16
Gambar 5.Ket : Gambaran klinis pasien dengan Epilepsi tonik

Tanda Khas Epilepsi Klonik Umum


Kejang klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan
permulaan fokal dan multifokal yang berpindah – pindah. Bentuk klinis kejang
klonik fokal berlangsung 1-3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai
gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini
dapat disebabkan oleh kontusio serebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan
cukup bulan, atau oleh ensefalopati metabolic. Kejang klonik fokal sering diduga
sebagai suatu keadaan gemetar ( jitteriness ). Pada BBL dengan kejang klonik
fokal hendaknya dilakukan pemeriksaan USG dan penatahan kepala untuk
mengetahui apakah terjadi perdarahan otak. Apabila pemeriksaan tersebut normal
tetapi terdapat kelumpuhan salah satu tungkai setelah kejang berhenti, penatahan
kepala harus diulangi 1 minggu kemudian untuk mencari kemungkinan terjadinya
infark serebri.
Bentuk kejang ini merupakan gerakan klonik pada satu atau lebih anggota
gerak yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misalnya kejang klonik
lengan kiri diikuti dengan kejang klonik tungkai bawah kanan. Kejang yang satu
dengan yang lain sering berkesinambungan, seolah-olah memberi kesan sebagai
kejang umum.15,16

17
Tanda Khas Epilepsi Absence

Gambar 6.Ket: Gambaran Klinis dan EEG pasien dengan Epilepsi Absence (Petit
Mal Seizure)

Jenis epilepsy ini dikenal juga dengan nama Petit mal. Jenis ini jarang
dijumpai. Nama lainnya ialah lena khas, lena sederhana ( simple absence ) atau
lena murni ( pure absence ). Serangan petit mal berlangsung singkat hanya
beberapa detik 5-15 detik.
Pada serangan petit mal terdapat hal berikut:
1. Penderita tiba-tiba berhenti melakukan apa yang sedang ia lakukan
(misalnya makan, bermain, berbicara, membaca )
2. Ia memandang kosong, melongo ( staring ). Pada saat ini ia tidak bereaksi
bila diajak bicara atau bila dipanggil, karena ia tidak sadar.
Setelah beberapa detik ia kemudian sadar dan melanjutkan lagi apa yang
sedang ia lakukan sebelum serangan terjadi. 15,16

18
Jadi pada serangan petit mal didapatkan menghilangnya kesadaran yang
berlangsung mendadak dan singkat. Waktu serangan terjadi penderita tidak jatuh,
biasanya ia agak terhuyung. Tidak didapatkan aura, dan pasien tidak ngompol
sewaktu serangan.
Faktor turunan ( hereditas ) besar peranannya pada petit mal. Pada 75 %
anak kembar satu telur yang menderita petit mal kembarannya juga menderita
petit mal. Kira –kira sepertiga penderita petit mal mempunyai anggota keluarga
yang juga petit mal atau grandmal terutama saudara kandung dan orang
tuanya.16,17

Tanda Khas Epilepsi Atonik


Biasanya disebut juga dengan bangkitan akinetik ( serangan jatuh ).
Epilepsi ini biasanya mulai antara 2 – 5 tahun. Pada jenis ini sewaktu serangan
penderitanya tiba – tiba secara mendadak jatuh. Hal ini dapat menyebabkan
giginya patah dan kepalanya luka. Bila misalnya penderita sedang duduk di depan
meja sewaktu serangan datang, maka ia dapat secara mendadak tidak berdaya dan
kepala terbentur pada meja.
Pada serangan atonik ini didapatkan menghilangnya secara mendadak
tenaga otot – otot yang mempertahankan sikap. Pada serangan ini tenaga otot –
otot yang mempertahankan sikap secara mendadak hilang yang berlangsung
singkat. Bila penderita kebetulan sedang berdiri pada waktu serangan datang,
maka ia akan jatuh. Serangan ini disebut juga serangan jatuh ( drop – attack ).17,18
Tanda Khas Epilepsi Mioklonik
Epilepsi masa anak ditandai dengan kejang berulang yang terdiri dari
kontraksi otot sebentar, sering kontraksi otot simetris dengan kehilangan tonus
tubuh dan jatuh atau menelungkup ke depan.16,17

19
Gambar7.Gambaran klinis dan EEG pasien dengan Epilepsi Juvenile Mioklonik

Untuk menentukan apakah seorang menderita bangkitan kejang atau epilepsi


biasanya tidak sukar, asal kita dapat menyaksikan sendiri serangan tersebut atau dapat
memperoleh anamnesis yang dapat dipercaya. Kesukarannya ialah menentukan penyakit
atau kelainan yang menyebabkan terjadinya bangkitan kejang atau epilepsi. Tiap
penderita harus diperiksa secara teliti dengan melakukan anamnesis , pemeriksaan
jasmani, dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.17,18

20
VII PENATALAKSANAAN

Status epileptikus merupakan gawat darurat neurologic. Harus ditindaki secepat


mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf permanen. Biasanya
dilakukan dua tahap tindakan:
I. Stabilitas Penderita
Tahap ini meliputi usaha usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital
yang mungkin terganggu. Prioritas pertama adalah memastikan jalan napas yang
adekuat dengan cara pemberian oksigen melalui nasal canul atau mask ventilasi.
Tekanan darah juga perlu diperhatikan, hipotensi merupakan efek samping yang
umum dari obat yang digunakan untuk mengontrol kejang. Darah diambil untuk
pemeriksaan darah lengkap, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin. Harus
diperiksa gas-gas darah arteri untuk melacak adanya asidosis metabolic dan
kemampuan oksigenasi darah. Asidosis di koreksi dengan bikarbonat intravena.
Segera diberi 50 ml glukosa 50% glukosa iv, diikuti pemberian tiamin 100 mg
im.18

II. Menghentikan Kejang


a. Status Epileptikus Konvulsif
Tujuan utama adalah menghentikan kejang , langkah yang tepat diperlukan
untuk menilai jenis kejang dan terapi yang sesuai. Tabel 2 sebagai panduan
untuk Penangaan Status Epileptikus Konvulsif

Stadium Penatalaksanaan
Stadium I - Memperbaiki fungsi kardio-respirasi
(0-10 - Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen, resusitasi bila perlu
menit)
Stadium II - Pemeriksaan status neurologic
(10-60 - Pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu
menit) - Monitor status metabolic, AGD dan status hematologi
- Pemeriksaan EKG

21
- Memasangi infus pada pembuluh darah besar dengan NaCl 0,9%.
Bila akan digunakan 2 macam OAE pakai jalur infus
- Mengambil 50-100 cc darah untuk pemeriksaan laboratorium
(AGD, Glukosa, fungsi ginjal dan hati, kalsium, magnesium,
pemeriksaan lengkap hematologi, waktu pembekuan dan kadar
OAE), pemeriksaan lain sesuai klinis
- Pemberian OAE emergensi : Diazepam 0.2 mg/kg dengan
kecepatan pemberian 5 mg/menit IV dapat diulang bila kejang
masih berlangsung setelah 5 menit
- Berilah 50 cc glukosa 50% pada keadaan hipoglikemia
- Pemberian tiamin 250 mg intervena pada pasien alkoholisme
- Menangani asidosis dengan bikarbonat
Stadium III - Menentukan etiologi
(0-60/90 - Bila kejang berlangsung terus setelah pemberian lorazepam /
menit) diazepam, beri phenytoin iv 15 – 20 mg/kg dengan kecepatan < 50
mg/menit. (monitor tekanan darah dan EKG pada saat pemberian)
- Atau dapat pula diberikan fenobarbital 10 mg/kg dengan kecepatan
< 100 mg/menit (monitor respirasi pada saat pemberian)
- Memulai terapi dengan vasopressor (dopamine) bila diperlukan
- Mengoreksi komplikasi
Stadium IV - Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60 menit, pasien dipindah
(30/90 ke ICU, diberi Propofol (2mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu)
menit) atau Thiopenton (100-250 mg bolus iv pemberian dalam 20 menit,
dilanjutkan dengan bolus 50 mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan
sampai 12-24 jam setelah bangkitan klinis atau bangkitan EEG
terakhir, lalu dilakukan tapering off.
Iviemonitor bangkitan dan EEG, tekanan intracranial, memulai
pemberian OAE dosis rumatan

Tabel 2. Penanganan Status Epileptikus Konvulsif

22
b. Status Epileptikus Non Konvulsif
Pada status epileptikus Non konvulsif terdapat bebrapa terapi yang
dapat diberikan , sesuai dengan klinis dan tipe epilepsi yang didapatakan.
Tipe Terapi Pilihan Terapi Lain
SE Lena Benzodiazepin Valproate IV
IV/Oral
SE Parsial Klobazam Oral Lorazepam/Fenintoin/Fenobarbital
Complex IV
SE Lena Atipikal Valproat Oral Benzodiazepin, Lamotrigin,
Topiramat, Metilfenidat, Steroid
Oral
SE Tonik Lamotrigine Oral Metilfenidat, Steroid
SE Non-konvulsif Fenitoin IV atau Anastesi dengan tiopenton,
pada pasien koma Fenobarbital Penobarbital,Propofol atau
Midazolam
Tabel 3. Penanganan Status Epileptikus Non Konvulsif

c. Status Epileptikus Refrakter


Secara teori dapat didefinisikan sebagai menetapnya serangan
epilepsi walaupun telah diberi semua OAE yang ada dengan cara
monoterapi maupun kombinasi yang memungkinkan, dengan dosis
toleransi maksimal .
Kombinasi obat anti epilepsi yang dapat diberikan pada jenis
epilepsi , dapat berupa seperti tabel dibawah ini

Kombinasi OAE Indikasi


Sodium valproate + etosuksimid Bangkitan Lena
Karbamazepin + sodium valproate Bangkitan Parsial Kompleks
Sodium valproate + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum
Topiramat + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum

Tabel 4. Kombinasi OAE yang dapat digunakan pada epilepsi refrakter

23
TATALAKSANA EPILEPSI PADA KEHAMILAN

Kehamilan berkaitan dengan peningkatan kadar estrogen dan progesterone


yang bermakna serta perubahan metabolism hormone dan obat antiepilepsi. Kedua hal
tersebut akan memengaruhi frekuensi bangkitan.
Epilepsi pada kehamilan dapat menyebabkan komplikasi maternal dan
fetal/neonatal. Komplikasi maternal yang dapat terjadi, yaitu : bangkitan berulang
(hipoksia), status epilepstikus, bangkitan saat persalinan, hipertensi kehamilan,
persaliunan preterm. Sedangkan komplikasi pada fetal/neonatal yang bias terjadi
adalah : keguguran (2 kali lebih sering dari normal), kelainan congenital (2 - 3 kali
lebih sering dari normal), hipoksia, kurangnya usia kehamilan dan berat badan lahir,
kelahiran premature , IQ rendah dan perilaku abnormal.

TERATOGENITAS

Tidak ada OAE yang dianggap pasti aman pada kehamilan . Malformasi
congenital mayor meningkat 2 - 3 kali pada bayi dari ibu yang mendapatkan obat
antiepilepsi monoterapi. Terdapat peningkatan efek teratogenisitas yang lebih tinggi
pada ibu menggunakan asam valproat serta penggunaan politerapi.Oleh karena itu,
direkomendasikan pemberian asam folat pada perempuan yang merencanakan
kehamilan pada saat hamil terutama pada trimester pertama dengan dosis 1 – 5 mg
perhari untuk mencegah defek neural tube.
Pemberian asam folat perikonsepsial juga berhubungan positif dengan IQ anak
yang lahir dari perempuan menggunakan obat antiepilepsi. Beberapa obat antiepilepsi
generasi kedua yang relative kecil menimbulkan teratogenitas adalah lamotrigin,
leviteracetam, oxcarbazepin, dan topiramat.

TATALAKSANA SEBELUM KEHAMILAN


 Berikan penyuluhan kepada setiap perempuan yang menggunakan OAE dalam
masa reproduksi tentang berbagai risiko dan keuntungan akibat pengguanaan OAE
terhadap kehamilan dan janin.
 Terapi OAE diberikan dalam dosis optimal sebelum konsepsi (bila memungkinkan
periksa kadar obat dalam darah sebagai basis pengukuran.

24
 Bila memungkinkan diganti OAE yang kurang teratogenik, dan dosis efektif harus
tercapai sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum konsepsi.
 Hindari penggunaan OAE politerapi.
 Apabila memungkinkan, hindari penggunaan valproat. Apabila harus
menggunakan valproat,berikan dosis terkecil (kurang dari 750mg) dan gunakan
bentuk lepas lambat.

TATALAKSANA SAAT HAMIL


 Ibu diberikan informasi bahwa bagi yang mengalami bebas bangkitan minimal 9
bulan sebelum kehamilan, kemungkinan besar (84-92%) akan tetap bebas bangkitan
selama kehamilannya. Demikian juga kemungkinan terjadinya persalinan premature
atau kontraksi prematur terutama pada perempuan yang merokok.
 Jenis OAE yang sedang digunakan jangan diganti bila tujuannya hanya untuk
mengurangi resiko teratogenik.
 Padapengguna asam valproat atau OAE politerapi, dianjurkan untuk dilakukan:
- Pemeriksaan kadar alfa-fetoprotein serum (pada minggu 14-16 kehamilan)
- Pemeriksaan ultrasonografi (pada minggu 1-20 kehamilan)
- Amnionsentesis untuk pemeriksaan kadar alfa-fetoprotein dan
antikolinesterase dalam cairan amnion)Apabila terdapat abnormalitas pada
pemeriksaan diatas, merupakan bahan pertimbangan untuk meneruskan
kehamilan atau tidak.
 Kadar OAE diperiksa awal setiap trimester dan pada bulan terakhir kehamilan.
Juga dapat dipantau bila ada indikasi (misalnya bila terjadi bangkitan atau ragu
dengan ketaatan minum obat)
 Dosis OAE dapat dinaikkan apabila kadar OAE turun dibawah kadar OAE
sebelum kehmailan, atau sesuai kebutuhan klinik.

PERSALINAN PADA EPILEPSI


 Harus dilakukan di klinik atau rumah sakit dengan fasilitas untuk perawatan
Epilepsi dan untuk unit intensif untuk neonatus.
 Persalinan dapat dilakukan secara normal per vaginam.
 Selama persalinan, OAE harus tetap diberikan.

25
 Terapi kejang saat melahirkan dianjurkan sebaiknya digunakan diazepam 10 mg
i.v atau fenitoin 15-20 mg/kg bolus i.v diikuti dosis 8mg/kg/hari diberikan 2
kali/hari secara intravena atau oral.
 Vitamin K 1 mg intramuscular diberikan pada neonatus saat dilahirkan oleh ibu
yang menggunakan OAE penginduksi-enzim untuk mengurangi risiko terjadinya
perdarahan.

Tata Laksana Setelah Persalinan


 Bila dosis OAE dinaikkan selama lehamilan, maka turunkan kembali secara
bertahap sampai dosis sebelum kehamilan untuk menghindari toksisitas. Kadar
OAE perlu dipantau sampai minggu ke-8 pasca persalinan.
 Perlu diberikan penyuluhan kemungkinan kekambuhan bangkitan akibat kurang
tidur dan kelelahan karena merawat bayi sehingga diperlukan pendampingan.
 Merawat bayi sebaiknya dilakukan dilantai untuk menghindari bayi terjatuh
disaat ibu mengalami kekambu

Menurut American Academy of Neurology tahun 2009, dikatakan bahwa


mengkonsumsi OAE tidak menyebabkan kesulitan-kesulitan saat kehamilan. Seperti
misalnya adanya bukti yang baik bahwa OAE tidak menjadi risiko tinggi untuk
perdarahan selama kehamilan. Juga dikatakan risiko untuk terjadinya proses
persalinan Caesar dan persalinan dini tidak cukup tinggi. Tidak cukup bukti yang
mengatakan bahwa OAE berhubungan dengan peningkatan tekanan darah pada
kehamilan. Namun, perlu hati-hati jika Anda tidak dapat menghindari lebih dari satu
OAE saat kehamilan, Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa penggunaan
Asam Valproat multidrug bisa menyebabkan cacat lahir sehingga dilarang untuk
mengkonsumsi Asam Valproat khususnya pada trimester pertama.19,20
Begitu hamil, seorang wanita dengan epilepsi yang diberikan OAE harus
diikuti oleh seorang ahli kandungan. Seorang ahli kandungan berisiko tinggi atau
spesialis fetal maternal dipilih meskipun tidak selalu mungkin. Wanita hamil harus
diperiksa serologis dan USGnya pada trimester pertama untuk menentukan adanya
risiko neural tube defect. 21,22

26
Sepanjang kehamilan, pemantauan level OAE akan menolong untuk
mengendalikan kejang. Farmakokinetik OAE dipengaruhi perubahan fisiologis
kehamilan. Sepanjang kehamilan, aliran darah ginjal dan filtrasi glomerular
meningkat sebagai suatu fungsi peningkatan curah jantung dan volume plasma, cairan
ekstravaskular (luar pembuluh darah) dan jaringan lemak meningkat untuk
menciptakan distribusi volume lebih besar. Level serum albumin menurun, yang mana
menurunkan pengikatan obat, meningkatkan fraksi bebas, dan meningkatkan drug
clearance. Farmakokinetik dapat mempengaruhi konsentrasi OAE dan paling penting
untuk OAE adalah ikatan protein tinggi, metabolisasi secara hepatik (melalui hati)
atau dibersihkan secara renal (melalui ginjal). OAE dengan ikatan protein tinggi
dalam jumlah total dan jumlah yang bebas, termasuk untuk fenitoin dan valproat
harus dimonitor.22
Vitamin K profilaksis direkomendasikan pada saat beberapa minggu akhir
kehamilan, dimulai kira-kira minggu ke-36. Insidens perdarahan pada bayi baru lahir
dilaporkan meningkat pada anak yang terpapar OAE selama kehamilan khususnya
OAE yang merangsang sistem enzim sitokrom P450. OAE yang merangsang enzim
sitokrom P450 adalah fenobarbital, primidon, fenitoin, karbamazepin merangsang
enzim mikrosom fetal yang mendegradasi vitamin K.19,20
American Academy of Neurology dan American Academy of Pediatrics
memperbolehkan wanita dengan epilepsi yang mengkonsumsi OAE untuk menyusui.
Sepanjang menyusui bayi, bagaimanapun juga akan terpapar OAE pada konsentrasi
OAE yang diberikan. Jika ibu menerima ethosuximid, fenobarbital, atau pirimidon
memilih menyusui, mereka harus dilatih untuk memantau anaknya untuk tanda-tanda
sedasi dan letargi. Pada laporan-laporan kasus, fenitoin, karbamazepin, dan valproat
mungkin aman. OAE ini tidak ditransfer ke anak melalui ASI pada konsentrasi yang
21
sama pada ibu.
Beberapa jenis obat dapat menembus plasenta dan mempengaruhi janin dalam
uterus, baik melalui efek farmakologik maupun efek teratogeniknya. Secara umum
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masuknya obat ke dalam plasenta dan
memberikan efek pada janin adalah:
(1) Sifat fisikokimiawi dari obat
(2) Kecepatan obat untuk melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin

27
(3) Lamanya pemaparan terhadap obat
(4) Bagaimana obat didistribusikan ke jaringan-jaringan yang berbeda pada janin
(5) Periode perkembangan janin saat obat diberikan dan
(6) Efek obat jika diberikan dalam bentuk kombinasi.
Banyak penulis setuju bahwa lorazepam (0,1 mg/kgBB) atau diazepam (0,15
mg/kgBB) dapat diberikan pada tahap awal, disusul fenitoin (15-20 mg/kgBB) atau
fosfenitoin (18-20 mg/kgBB). Jika benzodiazepin dan fenitoin gagal, fenobarbital
dapat diberikan dengan dosis 20 mg/kgBB, namun harus mendapatkan perhatian
khusus karena dapat menyebabkan depresi pernapasan. Jika kejang tetap berlanjut,
pertimbangkan pemberian anestesi umum, dapat digunakan agen seperti midazolam,
propofol, atau pentobarbital.
Penelitian pada binatang telah terbukti bahwa semua obat-obat anti epilepsi
adalah bersifat teratogenik dan dihubungkan dengan kadar obat anti epilepsi misalnya
fenitoip, berakibat malformasi pada tikus, tergantung pada jenis tikus dan dosis yang
diberikan. Salah satu bentuk malformasi tersebut adalah palatum yang terbelah dan ini
merupakan malformasi yang terbanyak tampak pada epilepsi.22
Umumnya obat anti epilepsi yang digunakan adalah fenitoin,karbamazepin,
dan sodium valproat, dihubungkan dengan malformasi konginetal minor seperti wajah
dismorfik dan hipoplasia phalang distal. Trimetadion dihubungkan dengan
abnormalitas berat, dan fenobarbital adalah obat anti epilepsi yang paling rendah
toksisitasnya. 21.22.23

1. Benzodiazepin
- Diazepam
Diazepam merupakan obat pilihan pertama (level evidence A pada banyak
penelitian). Obat memasuki otak secara cepat, setelah 15-20 menit akan terdistribusi
ke tubuh. Walaupun terdistribusi cepat, eliminasi waktu paruh mendekati 24 jam.
Sangat berpotensi sedatif jika terakumulasi dalam tubuh pada pemberian
berulang.Diazepam dengan dosis 5-10 mg intravena dapat menghentikan kejang pada
sekitar 75% kasus. Diazepam dapat diberikan secara intramuskuler atau rektal. Efek
samping termasuk depresi pernapasan, hipotensi, sedasi, iritasi jaringan lokal. Sangat
berpotensi hipotensi dan depresi napas jika diberikan bersamaan obat antiepilepsi lain,
khususnya barbiturat. Walaupun demikian, diazepam masih merupakan obat penting
dalam manajeman SE karena efeknya yang cepat dan berspektrum luas. Diazepam

28
adalah turunan dari benzodiazepine dengan rumus molekul 7-kloro-1,3-dihidro-1-
metil-5-fenil-2H-1,4-benzodiazepin-2-on. Merupakan senyawa Kristal tidak berwarna
atau agak kekuningan yang tidak larut dalam air. 21
Secara umum , senyawa aktif benzodiazepine dibagi kedalam empat kategori
berdasarkan waktu paruh eliminasinya, yaitu :
1.Benzodiazepin ultra short-acting
2.Benzodiazepin short-acting, dengan waktu paruh kurang dari 6 jam.
Termasuk didalamnya triazolam, zolpidem dan zopiclone.
3.Benzodiazepin intermediate-acting, dengan waktu paruh 6 hingga 24 jam.
Termasuk didalamnya estazolam dan temazepam.
4.Benzodiazepin long-acting, dengan waktu paruh lebih dari 24 jam.
Termasuk didalamnya flurazepam, diazepam dan quazepam.20
Bekerja pada sistem GABA, yaitu dengan memperkuat fungsi hambatan
neuron GABA. Reseptor Benzodiazepin dalam seluruh sistem saraf pusat, terdapat
dengan kerapatan yang tinggi terutama dalam korteks otak frontal dan oksipital, di
hipokampus dan dalam otak kecil. Pada reseptor ini, benzodiazepin akan bekerja
sebagai agonis. Terdapat korelasi tinggi antara aktivitas farmakologi berbagai
benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat ikatan. Dengan adanya interaksi
benzodiazepin, afinitas GABA terhadap reseptornya akan meningkat, dan dengan ini
kerja GABA akan meningkat. Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran ion klorida
akan terbuka sehingga ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk ke dalam
sel. Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel bersangkutan
dan sebagai akibatnya, kemampuan sel untuk dirangsang berkurang.23
Sebagaimana obat, selain memiliki efek yang menguntungkan diazepam juga
memiliki efek samping yang perlu diperhatikan dengan seksama. Efek samping
diazepam memiliki tiga kategori efek samping, yaitu :
1.Efek samping yang sering terjadi, seperti : pusing, mengantuk
2.Efek samping yang jarang terjadi, seperti : Depresi, Impaired Cognition
3.Efek samping yang jarang sekali terjadi,seperti : reaksi alergi, amnesia,
anemia, angioedema, behavioral disorders, blood dyscrasias, blurred vision,
kehilangan keseimbangan, constipation, coordination changes, diarrhea, disease of
liver, drug dependence, dysuria, extrapyramidal disease, false Sense of well-being,
fatigue, general weakness, headache disorder, hypotension, Increased bronchial
secretions, leukopenia, libido changes, muscle spasm, muscle weakness, nausea,

29
neutropenia disorder, polydipsia, pruritus of skin, seizure disorder, sialorrhea, skin
rash, sleep automatism, tachyarrhythmia, trombositopenia, tremors, visual changes,
vomiting, xerostomia.20
Peringatan – peringatan yang perlu diperhatikan bagi pengguna diazepam
sebagai berikut :
1.Pada ibu hamil diazepam sangat tidak dianjurkan karena dapat sangat
berpengaruh pada janin. Kemampuan diazepam untuk melalui plasenta
tergantung pada derajat relativitas dari ikatan protein pada ibu dan janin. Hal
ini juga berpengaruh pada tiap tingkatan kehamilan dan konsentrasi asam
lemak bebas plasenta pada ibu dan janin. Efek samping yang dapat timbul
pada bayi neonatus selama beberapa hari setelah kelahiran disebabkan oleh
enzim metabolism obat yang belum lengkap. Kompetisi antara diazepam dan
bilirubin pada sisi ikatan protein dapat menyebabkan hiperbilirubinemia pada
bayi neonatus.
2.Sebelum menggunakan diazepam harap kontrol pada dokter terlebih dahulu.
3.Jika berusia diatas 65 tahun dosis yang diberikan tidak boleh terlalu tinggi
karena dapat membahayakan jiwa pasien tersebut. Usia lanjut dapat
mempengaruhi distribusi, eliminasi dan klirens dari benzodiazepine.
4.Obat ini tidak diperbolehkan diminum pada saat membawa kendaraan
karena obat ini menyebabkan mengantuk.
5.Pada pasien yang merokok harus konsultasi pada dokter lebih dahulu
sebelum menggunakan diazepam, karena apabila digunakan secara bersamaan
dapat menurunkan efektifitas diazepam.
6.Jangan menggunakan diazepam apabila menderita glukoma narrowangle
karena dapat memperburuk penyakit
7.Katakan pada dokter jika memiliki alergi.
8.Hindarkan penggunaan pada pasien dengan depresi CNS atau koma, depresi
pernafasan, insufisiensi pulmonari akut,, miastenia gravis, dan sleep apnoea
9.Hati-hati penggunaan pada pasien dengan kelemahan otot serta penderita
gangguan hati atau ginjal, pasien lanjut usia dan lemah.
10.Diazepam tidak sesuai untuk pengobatan psikosis kronik atau obsesional
states.21

30
- Lorazepam

Lorazepam merupakan pilihan golongan benzodiazepin untuk menajemen SE.


Lorazepam berbeda dengan diazepam dalam beberapa hal. Obat ini kurang larut
dalam lemak dibandingkan diazepam dengan waktu paruh dua hingga tiga jam
dibandingkan diazepam yang 15 menit, sehingga mempunyai durasi lebih lama.
Lorazepam juga mengikat reseptor GABAergiclebih kuat daripada diazepam,
sehingga durasi aksinya lebih lama. Efek antikonvulsan lorazepam berlangsung 6-12
jam pada rentang dosis 4-8 mg. Agen ini berspektrum luas dan berhasil menghentikan
kejang pada 75-80% kasus. Efek sampingnya sangat identik dengan diazepam. Oleh
karena itu, lorazepam juga merupakan pilihan untuk manjemen SE.

- Midazolam

Midazolam merupakan golongan benzodiazepin yang bereaksi cepat, penetrasi


cepat melewati sawar darah otak, dan durasi yang singkat. Midazolam dapat
digunakan sebagai agen alternatif untuk SE refrakter. Walau pun midazolam jarang
merupakan pilihan pertama untuk kejang akut di Amerika Serikat, obat ini sangat
umum digunakan di Eropa.22

2. Agen Antikonvulsan
- Fenitoin
Fenitoin merupakan salah satu obat yang efektif mengobati kejang akut dan
SE. Disamping itu, obat ini sangat efektif pada manajemen epilepsi kronik, khususnya
pada kejang umum sekunder dan kejang parsial. Keuntungan utama fenitoin adalah
efek sedasinya yang minim. Namun, sejumlah efek samping serius dapat muncul
seperti aritmia dan hipotensi, khususnya pada pasien di atas usia 40 tahun. Efek
tersebut sangat dihubungkan dengan pemberian obat yang terlalu cepat. Di samping
itu, iritasi lokal, flebitis, dan pusing dapat muncul pada pemberian intravena. Fenitoin
sebaiknya tidak dicampur dengan dekstrosa 5%, melainkan salin normal untuk
menghindari pembentukan kristal.
Fenitoin merupakan obat antiepilepsi yang pemakaiannya sangat luas, namun
mempunyai efek teratogenik. Fenitoin termasuk obat kategori D yaitu obat-obat yang
terbukti menyebabkan meningkatnya kejadian malformasi janin pada manusia atau
menyebabkan kerusakan janin yang bersifat ireversibel (tidak dapat membaik

31
kembali). Obat-obat dalam kategori ini juga mempunyai efek farmakologik yang
merugikan terhadap janin. Angka malformasi total pada 305 anak yang dilahirkan
oleh ibu tanpa epilepsi adalah 6,4%. Prosentase malformasi akibat penggunaan
Fenitoin pada masa kehamilan adalah 30%.
Pemberian obat antiepilepsi selalu dimulai dengan dosis rendah, dinaikkan
bertahap sampai epilepsi terkendali dan terjadi efek kelebihan dosis. Frekuensi
pemberian biasanya didasarkan atas waktu paruh plasma. Obat yang mempunyai
waktu paruh lama, seperti fenitoin, dapat diberikan sehari sekali menjelang tidur.
Kadang obat diberikan dalam 3 kali dalam sehari untuk menjaga agar kadar
plasmanya tidak terlalu tinggi sehingga terhindar dari efek sampingnya.
Penggunaan Fenitoin dapat mengakibatkan terjadinya sindrom hidantoin fetus.
Sindrom ini pertama kali diperkenalkan oleh Hanson dan Smith (1975) untuk
menggambarkan pola abnormalitas yang diamati pada neonatus, dimana ibu epilepsi
yang hamil diberikan obat fenitoin, biasanya dikombinasi dengan fenobarbital.
Sindrom ini terdiri dari abnormalitas kraniofasial, kelainan anggota gerak, defisiensi
pertumbuhan, retardasi mental baik ringan atau sedang. Studi prospektif dari 35 bayi
pada prenatal diberi obat golongan Hidantoin ditemukan bahwa 11% mempunyai
gambaran sebagai sindroma ini.
Konsentrasi obat antiepilepsi dalam plasma wanita hamil yang melahirkan
bayi malformasi selalu lebih tinggi daripada kadar obat antiepilepsi pada wanita
epilepsi hamil yang melahirkan tanpa malformasi. Para wanita epilepsi yang hamil
dengan menggunakan berbagai jenis obat antiepilepsi lebih mudah melahirkan bayi
dengan malformasi daripada wanita epilepsi yang hamil memakai obat epilepsi
tunggal.
Perubahan fisiologis yang dinamis terjadi pada tubuh seorang wanita hamil
karena terbentuknya unit fetal-plasentalmaternal. Keadaan ini mempengaruhi profil
farmakokinetika obat baik dari segi absorbsi, distribusi, maupun eliminasinya.20,21,22

- Fosfenitoin

Fosfenitoin adalah prodrug dari fenitoin yang larut dalam air yang akan
dikonversi menjadi fenitoin setelah diberikan secara intravena. Seperti fenitoin,
fosfenitoin digunakan dalam tatalaksana kejang akut tonik-klonik umum atau parsial.
Fosfenitoin dikonversi menjadi fenitoin dalam waktu 8 sampai 15 menit.

32
Dimetabolisme oleh hati dan mempunyai waktu paruh 14 jam. Karena 1,5 mg
fosfenitoin ekuivalen dengan 1 mg fenitoin, maka dosis, konsentrasi, dan kecepatan
infus intravena digambarkan sebagai phenytoin equivalent (PE).
Dosis awal 15 sampai 20 mg PE per kgBB, dan diberikan dengan kecepatan
150 mg PE per menit, kecepatan pemberian infus tiga kali lebih cepat dari fenitoin
intravena.Fosfenitoin lebih disukai, karena bekerja lebih cepat dan iritasi vena yang
lebih minimal (menghindari risiko purple-glove syndrome yang terjadi pada fenitoin).
Efek samping dari fosfenitoin termasuk parestesia dan pruritus, namun muncul jika
diberikan da-lam pemberian yang terlalu cepat. Pemberian intravena dihubungkan
dengan hipotensi, sehingga monitoring jantung dan tekanan darah yang ketat
dilakukan. Walaupun fosfenitoin lebih baik daripada fenitoin, namun kelemahannya
adalah harga yang mahal dan tidak terdapat di semua rumah sakit. 21.22.23

3. Barbiturat
Fenobarbital
Fenobarbital digunakan setelah benzodiazepin atau fenitoin gagal mengontrol
SE. Loading dose 15 sampai 20 mg per kgBB. Karena fenobarbital dosis tinggi
bersifat sedatif, proteksi jalan napas sangat penting, dan risiko aspirasi merupakan
perhatian khusus. Fenobarbital intravena juga dihubungkan dengan hipotensi sistemik.
Jika dilakukan pemberian intramuskuler, maka dilakukan pada otot besar, seperti
gluteus maximus. Defisit neurolgis permanen dapat timbul jika diinjeksikan
berdekatan dengan saraf tepi. Saat ini, untuk penanganan SE refrakter lebih sering
digunakan agen lain (midazolam, propofol, pentobarbital) daripada fenobarbital.
Terdapat sedikit keterangan mengenai teratogenik dari obat ini, studi Awal
mengatakan bahwa sebagian besar manita epilepsi mendapat kombinasi antara
fenotoin dan fenobarbital. Efek teratogenik obat ini kurang bila dibandingkan dengan
obat anti epilepsi lain dan pada manusia, Shapiro dan kawan-kawan (1976)
menemukan fenobarnbital tidak menyebabkan meningkatnya angka malformasi
(Laidlaw, 1988; Yerby,1991). Pemakaian obat ini dapat mengakibatkan sindrom
fenobarbital fetus, yang berupa Dismorfim wajah, gangguan pertumbuhan pre dan
postnatal, perkembangan lambat (Yerby, 1991). Bagian Obstetri dan Ginekologi
Akademi Amerika menganjurkan pemakaian fenobarbital sebagai obat pilihan untuk
wanita epilepsi yang hamil (Yerby,1991). Sullivan (1975), pada penelitiannya
terhadap tikus yang hamil diberikan obat ini mengakibatkan bibir and palatum

33
sumbing berkisar antara 0.6 – 3.9% (Yerbi, 1991). Dosis Fenobarbital antara 30 – 240
mg/hari.21.

Pentobarbital
Merupakan barbiturat kerja singkat yang bersifat sedatif, hipnotif, dan besifat
antikonvulsan. Digunakan hanya untuk SE refrakter, jika agen lain gagal untuk
menghentikan kejang. Pasien membutuhkan intubasi dan dukungan ventilasi.
Dibandingkan fenobarbital, pentobarbital mempunyai penetrasi yang lebih cepat dan
waktu paruh yang lebih singkat, sehingga dapat sadar lebih cepat dari koma ketika
penyapihan (weaning).Efektivitas pentobarbital lebih tinggi daripada propofol dalam
mengakhiri SE refrakter. Suatu studi mendapatkan tingkat keberhasilan pentobarbital
yang tinggi (92% dengan perbandingan 80% untuk midazolam dan 73% untuk
propofol). Namun demikian, sangat dihubungkan dengan tingginya ke jadian
hipotensi dibandingkan midazolam dan propofol (77% vs 42% dan 30%)22,23

4. Anestesi Umum
Propofol
Propofol merupakan suatu senyawa fenolik yang tidak berhubungan dengan
obat anti-konvulsan lain. Propofol sangat larut dalam lemak, sehingga dapat bereaksi
dengan cepat, mempunyai sifat anestesi jika diberikan secara intravena dengan dosis
1-2 mg/kgBB, sangat efektif dan nontoksik. Beberapa publikasi melaporkan
penggunaan infus jangka panjang propofol dapat di terapkan pada SE.Propofol dapat
menyebabkan depresi napas dan depresi serebral, sehingga membutuhkan intubasi dan
ventilasi. Hipotensi mungkin membutuhkan penatalaksanaan segera. Penggunaan
jangka panjang (atau dosis tinggi >5 mg/kg/jam dalam 48 jam) dapat menyebabkan
asidosis, aritmia jantung, dan rabdomiolisis (propofol infusion syndrome) yang fatal,
khususnya pada anak usia muda, sehingga propofol sebaiknya tidak digunakan
digunakan pada kelompok ini.Tapering offPada pasien yang ditatalaksana dengan
infus kontinu obat antiepilepsi harus diteruskan 12 sampai 24 jam setelah kejang
berhenti. Jika selama periode tapering off terdapat kejang, maka pengobatan dengan
infus kontinu harus diperpanjang dengan memperhatikan adanya kejang baik secara
klinis maupun EEG. Jika tidak ada kejang, maka tapering off dapat diteruskan.

34
Penelitian pada binatang telah terbukti bahwa semua obat-obat anti epilepsi
adalah bersifat teratogenik dan dihubungkan dengan kadar obat anti epilepsi
misalnya fenitoin, berakibat malformasi pada tikus, tergantung pada jenis tikus dan
dosis yang diberikan. Salah satu bentuk malformasi tersebut adalah palatum yang
terbelah dan ini merupakan malformasi yang terbanyak tampak pada epilepsi
(Laidlaw, 1988; Hirano, 1989). Umumnya obat anti epilepsi yang digunakan adalah
fenitoin,karbamazepin, dan sodium valproat, dihubungkan dengan malformasi
konginetal minor seperti wajah dismorfik dan hipoplasia phalang distal. Trimetadion
dihubungkan dengan abnormalitas berat, dan fenobarbital adalah obat anti epilepsi
yang paling rendah toksisitasnya. 22,23

5.Golongan Oksazolidindion
Trimetadion
Trimetadion ( 3,5,5 trimetiloksazolidin 2,4,dion), sekalipun telah terdesak oleh
suksinimid,merupakan prototip obat bangkitan lena. Trimetadion juga bersifat
analgetik dan hipnotik. Pada SSP, trimetadion memperkuat depresi
pascatransmisi,sehingga transmisi impuls berurutan dihambat, transmisi impuls satu
per satu tidak terganggu.Trimetadion memulihkan EEG abnormal pada bagkitan lena.
Trimetadion per oral mudah di absorbsi dari saluran cerna dan didistribusi ke
berbagai cairan badan. Biotransformasi trimetadion terutama terjadi di hati dengan
demetilasi yang menghasilkan didion (5,5, dimetiloksazolidin ,2,4, dion ). Senyawa
ini masihaktif masih aktif terhadap bangkitan lena, tetapi efek antikonvulsi nya lebih
lemah.
Intoksikasi dan efek samping trimetadion yangbersifat ringan berupa sedasi
hemeralopia, sedang yang bersifat lebih berat berupa gejala padakulit,darah,ginjal dan
hati. Gejala intoksikasi lebih sering ttimbul pada pengobatan kronik.Sedasi berat
dapat diatasi dengan amfetamin tanpa mengurangi efek antiepilepsinya,
bahkansesekali amfetamin dapat menekan bangkitan lena.Efek samping pada kulit
berupa rua morbiliform dan kelainan akneform, lebih berat lagiberupa dermatitis
eksfoliatif atau eritema multiformis. Kelainan darah berupa neutropenia ringan,tetapi
anemia aplastik dapat bersifat fatal. Gangguan fungsi ginjal dan hati,berupa
syndromenefrotik dan hepatitis, dapat menyebabkan kematian.

35
Dapat mengakibatkan kelainan pada janin yang spesifik disebut sindrom
trimetadion fetus. German dan kawan-kawan (1970) melaporkan bahwa dalam satu
keluarga terdapat 4 bayi yang mengalami malformasi dilahirkan dari ibu yang
menderita epilepsi dengan menggunakan obat ini; studi lanjutan mengkonfirmasi
terhadap resiko tinggi pada sindrom ini,yang mana dapat menyebabkan
perkembangan yang lambat, anomali kraniofasial dan kelainan jantung bawaan.
Golongan obat ini tidak digunakan pada kehamilan.
Indikasi utama trimetadion ialah bangkitan lena murni (tidak disertai
komponenbangkitan bentuk lain). Trimetadion dapat menormalkan gambaran EEG
dan meniadakankelainan EEG akibat hiperventilasi maksimal pada 70% pasien.
Bangkitan lena yang timbul padaanak umumnya sembuh menjelang dewasa. Dalam
kombinasi dengan trimetadion, efek sedasifenobarbital dan primidon dapat memberat.
Sebaiknya jangan dikombinasikan denganmefenitoin, sebab gangguan pada darah
dapat bertambah berat.Penghentian terapi trimetadion harus secara bertahap karena
bahaya eksaserbasi bangkitandalam bentuk epileptikus, demikian pula obat lain yang
terlebih dulu diberikan.
Trimetadion di kontraindikasikan pada pasien anemia, leucopenia,penyakit
hati, ginjal dan kelainan n.opticus. 22,23

6.Sodium Valproat

Sodium valproate mempunyai dua cara kerja: seperti phenytoin, ia


menyebabkan penghambatan pada kanal-kanal sodium yang bergerbang voltase dan
bergantung pada pemakaian. Ia juga meningkatkan kadar GABA di otak apabila
diberikan dalam jangka waktu lama.Sodium valproate sebaiknya tidak diberikan
kepada pasien penyakit liver akut atau yang mempunyai sejarah gagal fungsi hepar.

Sodium valproate mempunyai jauh lebih sedikit efek samping dibanding obat-
obat antiepileptik yang lain; permasalahan utama adalah gangguan gastrointestinal
dan lebih penting lagi adalah gagal liver. Sifat racun pada hepar akan semakin
menonjol ketika sodium valproate dipakai bersama dengan obat antiepileptik yang
lain.

36
Obat ini relatif baru dan sedikit data yang berefek pada uterus. Penggunaan
obat ini dapat mengakibatkan kelainan pada janin berupa sindrom valproat fetus.
Pernah dilaporkan terhadap 7 bayi yang dilahirkan dari ibu epilepsi yang
menggunakan obat ini berupa kelainan pada wajah dengan ciri-ciri: lipatan epikantus
inferior, jembatan hidung yang datar, filtrum yang dangkal. Obat ini pada manusia
dapat menembus plasenta secara bebas dan memberikan dosis yang lebih tinggi pada
neonatus dari ibu. Pada studi prospektif dari 12 bayi, pada anternatal diberikan
sodium valproat menunjukkan semuanya normal. Pada kasus sporadik pernah
dilaporkan bahwa obat ini dapat menyebabkan kelainan “neural tube defect”. Pada
wanita epilepsi yang hamil bila diberikan obat ini dapat menyebabkan kelainan
tersebut kira-kira 1,2%. Dosis sodiumm valproat antara 600-3000 mg/hari 22,23

7. Karbamazepin

Mekanisme kerja sama halnya dengan Fenitoin , pada membran permeabilitas


menunjukkan bahwa carbamazepin menutup saluran natrium, pada konsentrasi terapi
dapat menstabilkan membran neuron yang hiperaktif, menghalangi kerusakan neuron
yang berulang dan mengurangi perambatan sinaptik impuls yang berasal dari luar.
Obat ini tidak terlibat pada malformasi mayor tetapi dapat menyebabkan
retardasi pertumbuhan kepala janin. Hiilesmaa dan kawan-kawan (1981) didalam
penelitiannya terhadap 133 wanita menunjukkan bahwa penggunaan obat ini (tunggal)
atau kombinasi dengan fenobarbital dapat menyebabkan retardasi . Juga pernah
dilaporkan dari 25 anak dari ibu yang menggunakan obat karbamazepin tunggal
ditemukan 20% dengan gangguan perkembangan . Belakangan ini dilaporkan bahwa
karbamazepin mengakibatkan meningkatnya kasus spina bifida sebanyak 0,5 – 1,0% .
Dosis karbamazepin 400-1800 mg/hari.22,23

37
VIII. Kesimpulan

1. Epilepsi merupakan kumpulan berbagai gejala dan tanda klinis, ditandai


oleh bangkitan (seizure) berulang akibat gangguan fungsi otak secara
intermitten yang diakibatkan oleh terjadinya lepas muatan listrik abnormal
dan berlebihan di neuron – neuron secara paroksismal.
2. International League Against Epilepsy mendefinisikan status epileptikus
sebagai aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus selama 30 menit
atau lebih.
3. Tahun 1981 International League Against Epilepsy (ILAE) membuat suatu
klasifikasi internasional mengenai kejang dan epilepsi yang membagi
kejang menjadi 2 golongan utama : serangan parsial (partial onset
seizures) dan serangan umum (generalized-onset seizures).
4. Ketepatan diagnosis pada pasien dengan status epilepsi bergantung
terutama pada penegakan terhadap gambaran yang jelas baik dari pasien
maupun dari saksi. Untuk mempermudah anamnesis, berikut perlu
dintanyakan kepada pasien maupun saksi Family history, Past history
,Systemic history, Alcoholic history, Drug history dan Focal neurological
symptoms and signs.
5. EEG merupakan tes untuk membantu dalam penegakan diagnosa dan
membantu pembedaan antara kejang umum dan kejang fokal.
6. Status epileptikus merupakan gawat darurat neurologic. Harus ditindaki
secepat mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf
permanen. Biasanya dilakukan dua tahap tindakan yakni stabilitas pasien
dan menghentikan kejang dengan obat anti kejang.
7. Sekarang ini seorang wanita yang memiliki epilepsi tidak lagi dilarang
untuk hamil dan melahirkan anak. Tidak mengkonsumsi obat-obat anti
epilepsi bukan merupakan solusi yang baik karena jika ibu mengalami
bangkitan selama kehamilan juga berefek buruk bagi janin. Oleh sebab
itu, dibutuhkan kerjasama dari pasien-pasien ini untuk secara rutin kontrol
kehamilan untuk melihat perkembangan janin akibat obat-obat anti
epilepsi yang dikonsumsi

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams RD., Victor M. 1989. Principles of Neurology.7 thed. Singapore : Mc


Graw Hill Book.

2. Ahmed Z, Spencer S.S (2004) : An Approach to the Evaluation of a Patient

for Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55.

3. Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W. The


A treatment of convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child 2000;
83:415-19.
4. Alfred Goodman Gilman, 2006, Goodman & Gilman’s The Pharmacological
Basis of Therapeutics 11th Edition (electronic Version), Mc-Graw Hill Medical
Publishing Division, New York.
5. Barbara G. Wells, et.all., 2006, Pharmacotherapy Handbook 6th Edition
(Electronic Version), Mc Graw-Hill Book Company, New York.
6. Clinical Management of Pregnant Women with Epilepsy. Available from the
URL : http://www.medscape.com/viewarticle/530483
7. Ernst Mutschler, 1986, Dinamika Obat ; Farmakologi dan
Toksikologi (terjemahan), ITB, Bandung.

8. Guyton, Arthur C. 1987.Fisiologi Kedokteran. 148 – 168. Edisi ke 5. EGC.


Jakarta.

9. Hadi S (1993) : Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi, Badan Penerbit

UNDIP Semarang : 55-63.

10. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North
Am 2001;48:683-94.

11. Harsono (2001) : Epilepsi, edisi 1, GajahMada University Press, Yogyakarta.

12. Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman

Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.

39
13. Lowenstein DH. Seizures and Epilepsy. In : Kasper DL, Braunwald E, Fauci

AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL (ed). Harrison’s Principles of

Internal Medicine 15th Edition CD ROM. McGraw-Hill. 2001.

14. Mardjono M (2003) : Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan


Penatalaksanaannya dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi,
Agoes A (editor); 129-148.
15. Manajemen Epilepsi pada Kehamilan. Available from the URL:
http://journal.uii.ac.id/index.php/JKKI/article/viewFile/547/471

16. Nia Kania, dr., SpA., MKes.Kejang pada Anak. Disampaikan pada acara
Siang Klinik Penanganan Kejang Pada Anak di AMC Hospital Bandung, 12
Februari 2007.
17. Oguni H (2004) : Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, 48
(Suppl.8):13-16
18. Paul E. Marik, MD, FCCP; and Joseph Varon, MD, FCCP. The Management
of Status Epilepticus. CHEST 2004; 126:582–591
19. Price, A. Silvia; Wilson, M. Lorraine, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit, 901 – 929, 1021 – 1022, EGC, Jakarta, 1995.
20. Sisodiya S.M, Duncan J (2000) : Epilepsy : Epidemiology, Clinical
Assessment,Investigation and Natural History, Medicine
International,00(4);36-41.
21. Women with Epilepsy: Drug Risks and Safety during Pregnancy. Available
from the URL : http://www.aan.com/practice/guideline/uploads/338.pdf
22. Laurent C. Galichet, 2005, Clarke’s Analysis of Drugs and Poisons 3rd Edition
(Electronic Version), Pharmaceutical Press, London.
23. Sean C. Sweetman, et.all., 2007, Martindale : The Complete Drugs
Reference 35th Edition (Electronic Version), Pharmaceutical Press, Lond

40
41

Anda mungkin juga menyukai