Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA PASIEN DENGAN STEMI

DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT RSUD AMBARAWA

Disusun untuk memenuhi syarat mata kuliah Kritis

Pada Program Studi D III Keperawatan Semarang

Oleh :

Bunga Arum Yuningtias

NIM. P.1337420114074

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN SEMARANG

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG

2017
I. JENIS KASUS
A. Pengertian

ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) dalah rusaknya bagian otot jantung


secara permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh proses degeneratif
maupun di pengaruhi oleh banyak faktor dengan ditandai keluhan nyeri dada,
peningkatan enzim jantung dan ST elevasi pada pemeriksaan EKG. STEMI adalah
cermin dari pembuluh darah koroner tertentu yang tersumbat total sehingga aliran
darahnya benar-benar terhenti otot jantung yang dipendarahi tidak dapat nutrisi-
oksigen dan mati. Lokasi infark miokard berdasarkan perubahan gambaran EKG.

No Lokasi Gambaran EKG

1 Anterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V4/V5

2 Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3

3 Anterolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-


V6 dan I dan aVL

4 Lateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-


V6 dan inversi gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I dan aVL

5 Inferolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF, dan V5-
V6 (kadang-kadang I dan aVL).

6 Inferior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, dan aVF

7 Inferoseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF, V1-V3

8 True posterior Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST depresi di V1-


V3. Gelombang T tegak di V1-V2

9 RV Infraction Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R).

Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior.

Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam pertama infark.

B. Patofisiologi

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak se
klusithrobus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri
koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI
karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika
trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular. Pada sebagian
besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau
ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi
thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner.
Infark Miokard yang disebabkan trombus arteri koroner dapat mengenai endoka
dium sampai epikardium, disebut infark transmural. Namun bisa juga hanya mengenai
daerah subendokardial, disebut infark subendokardial. Setelah 20 menit terjadinya
sumbatan, infark sudah dapat terjadi pada subendokardium, dan bila berlanjut terus
rata-rata dalam 4 jam telah terjadi infark transmural. Kerusakan miokard ini dari
endokardium keepikardium menjadi komplit dan ireversibel dalam 3-4 jam. Meskipun
nekrosis miokard sudah komplit, proses remodeling miokard yang mengalami injury
terus berlanjut sampai beberapa minggu atau bulan karena daerah infark meluas dan
daerah non infark mengalami dilatasi.

C. Etiologi
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi
injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi
dan akumulasi lipid.
1. Penyempitan arteri koroner nonsklerolik
2. Penyempitan aterorosklerotik
3. Trombus
4. Plak aterosklerotik
5. Lambatnya aliran darah didaerah plak atau oleh viserasi plak
6. Peningkatan kebutuhan oksigen miokardium
7. Penurunan darah koroner melalui yang menyempit
8. Penyempitan arteri oleh perlambatan jantung selama tidur
9. Spasme otot segmental pada arteri kejang otot.

D. Manifestasi Klinis
1.Keluhan utama klasik : nyeri dada sentral yang berat , seperti rasa terbakar, ditindih
benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir, tertekan yang berlangsung ≥ 20
menit, tidak berkurang dengan pemberian nitrat, gejala yang menyertai : berkeringat,
pucat dan mual, sulit bernapas, cemas, dan lemas.
2.Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat atau obat nitrat.
3.Kelainan lain: di antaranya atrima, henti jantung atau gagal jantung akut.
4.Bisa atipik:
a.Pada manula: bisa kolaps atau bingung.
b.Pada pasien diabetes: perburukan status metabolik atau atau gagal jantung bisa
tanpa disertai nyeri dada.
E. Komplikasi
Adapun komplikasi yang terjadi pada pasien STEMI, adalah:
1.Disfungsi ventrikuler
Setelah STEMI, ventrikel kiri akan mengalami perubahan serial dalambentuk,
ukuran, dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark.
Proses inidisebut remodeling ventikuler dan umumnya mendahului
berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun
pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi.Secara akut,
hasil ini berasal dari ekspansi infark al ; slippage serat otot, disrupsi sel
miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona nekrotik.
Selanjutnya, terjadi pula pemanjangan segmen noninfark, mengakibatkan
penipisan yang didisprosional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang
jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark,
dengan dilatasi tersebar pasca infark pada apeks ventikrel kiri yang yang
mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal
jantung dan prognosis lebih buruk. Progresivitas dilatasi dan konsekuensi
klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain. Pada
pasien dengan fraksi ejeksi < 40 % tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung,
inhibitor ACE harus diberikan.

2. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan ( puump failure ) merupakan penyebab utama kematian di
rumah sakit pada STEMI. Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang
baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal ( 10 hari infark )
dan sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan
bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru.
3. Gagal jantung
4. Syok kardiogenik
5. Perluasan IM
6. Emboli sitemik/pilmonal
7. Perikardiatis
8. Ruptur
9.Ventrikrel
10.Otot papilar
11.Kelainan septal ventrikel
12.Disfungsi katup
13.Aneurisma ventrikel
14. Sindroma infark pascamiokardias

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien


STEMI namun tidak boleh menghambat implementasi terapi repefusi.
1. Petanda (Biomarker) Kerusakan Jantung : Pemeriksaan yang dianjurkan adalah
Creatinin Kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn)T atau cTn1 dan
dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien
STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan
diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan
biomarker. Pengingkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal
menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).
2. CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan kembali normal dala 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan
kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
3. cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dab cTn I. Enzi mini meningkat setelah 2 jam bila ada
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:


1. Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8
jam.
2. Creatinin Kinase (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
3. Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.

II. FOKUS ASSEMENT

III. MASALAH / DIAGNOSA KEPERAWATAN

a. Perubahan pola napas berhubungan dengan infark ditandai dengan


sesak.
b. Nyeri berhubungan dengan iskemia dan infark jaringan miokard
ditandai dengan keluhan nyeri dada.
c. Gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan penurunan
perfusi organ ditandai dengan edema.
d. Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan kondisi yang
mempengaruhi masukan nutrisi/peningkatan kebutuhan metabolik
ditandai dengan kelebihan berat badan.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen ditandai dengan kelemahan dalam
aktivitas .
f. Ansietas berhubungan dengan ancaman kehilangan/kematian
ditandai dengan ketakutan, gelisah dan perilaku takut.

IV. INTERVENSI DAN RASIONALISASI

1. Intervensi untuk diagnose gangguan nyeri.


 Tujuan: Menyatakan nyeri berkurang atau hilang.
 Kriteria hasil:
 Menyatakan nyeri dada terkontrol dalam waktu 3 hari.
 Mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi dalam waktu 1 hari.
 Menunjukkan menurunnya tegangan, rileks dan mudah bergerak dalam
waktu 3 hari.
 Intervensi:
 Kaji lokasi, karakter, dura durasi, dan intensitas, nyeri, dengan
menggunakan skala nyeri 0 (tidak nyeri) sampai 10 (nyeri hebat).
Kaji gejala berkaitan, seperti mual dan diaporesis.
 Kaji dan catat TD dan FJ dengan episode nyeri. TD dan Fj dapat
meningkat karena randsang simpatis atau menurun karena iskemia
dan fungsi jantung menurun.
 Berikan obat nyeri yang diprogramkan (biasanya morfin sulfat):
catat kualitas pengurangan nyeri dengan menggunakan skala nyeri,
dan tentukan interval waktu danri pemberian sampai penghilangan
nyeri.
 Tenangkan pasien selama episode nyeri; temani pasien bila
mungkin.
 Observasi dan laporkan efek samping dari obat nyeri: hipotensi, FP
lambat, sulit miksi.
 Berikan O2 sesuai program, biasanya 2-4 L/menit per kanula nasal.
 Siapkan pasien untuk pindah UPK. (Unit Perawatan Kritis)
2. Intervensi untuk diagnosa gangguan keseimbangan elektrolit.
 Tujuan: Mempertahankan keseimbangan cairan dalam 1 hari dibuktikan
dengan TD dalam batas normal.
 Kriteria hasil:
 Tidak ada distensi vena perifer/vena dan edema dependen
 Paru bersih dan berat badan stabil.
 Intervensi:
 Auskultasi bunyi nafas untuk adanya krekels.
 Catat DVJ, adanya edema dependen.
 Ukur masukan/haluaran, catat penurunan pengeluaran, sifat
konsentrasi. Hitung keseimbangan cairan.
 Timbang berat badan tiap hari.
 Pertahankan pemasukan total cairan 2000 ml/24 jam dalam
toleransi kardiovaskuler.
 Berikan diet natrium rendah/minuman.
 Berikan diuretic, contoh furosemid (Lazix); hidralazin
(Apresoline): spironolakton dengan hidronolakton (Aldactone).
 Pantau kalium sesuai indikasi.
3. Intervensi dari perubahan pola nutrisi:
 Tujuan: Meningkatkan nutrisi yang seimbang bagi pasien.
 Kriteria hasil: setelah perawatan menyatakan berat badan berkurang
dalam waktu 1 minggu.
 Intervensi:
 Kaji nutrisi secara kontinu, selama perawatan setiap hari,
perhatikan tingkat energy; kondisi kulit, kuku, rambut, rongga
mulut, keinginan untuk makan/anoreksia.
 Timbang berat badan setiap hari dan bandingkan dengan berat
badan saat penerimaan.
 Dokumentasikan masukan oral selama 24 jam, riwayat makanan,
jumlah kalori dengan tepat.
 Jamin penampungan akurat dari specimen (urine, feses, drainase)
untuk pemeriksaan keseimbangan nitrogen.
 Berikan larutan nutrisi pada kecepatan yang dianjurkan melalui alat
control infuse sesuai kebutuhan. Atur kecepatan pemberian per jam
sesuai anjuran. Jangan meningkatkan kecepatan untuk “mencapai”.
 Ketahui kandungan elektrolit dari larutan nutrisional.
 Jadwalkan aktivitas dengan istirahat. Tingkatkan teknik relaksasi.
4. Intervensi dari intoleransi aktivitas:
 Tujuan: mendemontrasikan peningkatan toleransi aktivitas yang dapat
diukur.
 Kriteria hasil: melaporkan tidak adanya angina/terkontrol dalam rentang
waktu selama pemberian obat.
 Intervensi:
 Pantau pasien terhadap tanda intolenransi aktivitas, dan minta
pasien untuk merentang aktivitas dan yang diprogramkan.
 Mati dan laporkan gejala-gejala curah jantung menurun atau gagal
jantung: TD menurun, ekstremitas dingin, oliguria, nadi perifer
menurun, FJ meningkat.
 Pantau M & H dan waspadai haluaran urine <30 ml/jam.
Auskultasi lapang paru setiap dua jam terhadap krekels, yang dapat
terjadi pada retensi cairan dengan gagal jantung.
 Palpasi nadi perifer pada interval sering. Waspadai ketidakteraturan
dan penurunan amplitude, yang merupakan sinyal gagal jantung.
 Berikan O2 dan obat-obatan sesuai program.
 Selama periode akut dari curah jantung menurun dan sesuai
program, dukung pasien dalam mempertahankan tirah baring
dengan mempertahankan barang-barang milik pribadi dalam
jangkauan, member situasi yang tenang, dan batasi pengunjung
untuk memastikan periode istirahat tanpa gangguan.
 Bantu pasien untuk menggunakan pispot bila ke kamar mandi
diizinkan.
 Bantu pasien melakukan latihan rentang gerak pasif atau dibantu
seperti ditentukan oleh toleransi aktivitas dan keterbatasan
aktivitas. Konsul dengan dokter tentang tipe dan jumlah latihan di
tempat tidur yang dapat dilakukan bila kondisi pasien membaik
 Bila tepat, ajarkan pasien mengukur FJ sendiri untuk mengukur
toleransi latihan.
 Pastikan pasien menjalani istirahat tanpa gangguan ≥90 menit.
Rencanakan aktivitas yang sesuai.
5. Intervensi untuk diagnosa ansietas:
 Tujuan: mengidentifikasi dan mengenal perasaan pasien.
 Kriteria hasil: menyatakan penurunan ansietas/takut.
 Intervensi:
 Identifikasi dan ketahui persepsi pasien terhadap ancaman/situasi. Dorong
mengekspresikan dan jangan menolak perasaan marah, kehilangan, takut
dll.
 Catat adanya kegelisahan, menolak dan menyangkal mengikuti program
medis.
 Mempertahankan kepercayaan.
 Kaji tanda verbal/nonverbal kecemasan dan tinggal dengan pasien.
Lakukan tindakan bila pasien menunjukkan perilaku merusak.
 Terima tetapi jangan diberi penguatan terhadap penggunaan penolakan.
Hindari konfrontasi.
 Orientasikan pasien atau orang terdekat terhadap prosedur rutin dan
aktivitas yang di harapkan. Tingkatkan partisipasi bila mungkin. Jawab
semua pertanyaan secara nyata. Berikan informasi konsisten; ulangi
sesuai indikasi.
 Anjurkan pasien atau orang terdekat untuk mengkomunikasikan dengan
seseorang, berbagi pertanyaan dan masalah.
 Berikan periode istirahat atau waktu tidur tidak terputus, lingkungan
tenang, dengan tipe kontrol pasien, jumlah rangsangan eksternal.
 Dukung kenormalan proses kehilangan, melibatkan waktu yang perlu
untuk penyelesaian.
 Berikan privasi untuk pasien dan orang terdekat.
 dukung kemandirian, perawatan sendiri dan pembuatan keputusan dalam
rencana pengobatan.
 dukung keputusan tentang harapan setelah pulang.
DAFTAR PUSTAKA

Agustina. 2011. ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) pada Laki-Laki 54 Tahun Memiliki
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi
Keperawatan.Jakarta:EGC
Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC
Kowalak, Welsh.2002. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Reeves, Charlene J., dkk. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba
Medika
Price, A. Sylvia. 1995. Patofisiologi Edisi 4. Jakarta: EGC
(http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page=ST+Elevasi+Miokard+Inf
ark+%28STEMI%29+pada+Laki-
Laki+54+Tahun+Memiliki+Kebiasaan++Minum+Alkohol, (diakses 24 Oktober
2012)
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22069/4/Chapter%20II.pd
f), (diakses 24 Oktober 2012)

Anda mungkin juga menyukai