Menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2009 yang termasuk dalam subjek retribusi daerah yaitu:
1. Retribusi jasa umum
Subjek retribusi jasa umum adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati
pelayanan jasa umum yang bersangkutan.
2. Retribusi jasa usaha
Subjek retribusi jasa usaha adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati
pelayanan jasa usaha yang bersangkutan.
3. Retribusi perizinan tertentu
Subjek retribusi perizinan tertentu adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh izin
tertentu dari pemerintah daerah.
Objek Retribusi Daerah
Menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
dalam Marihot P. Siahaan (2013:619) objek retribusi terdiri dari tiga kelompok jasa, yaitu:
1. Jasa umum
Jasa umum, yaitu jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk
tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi
atau badan.
2. Jasa usaha
Jasa usaha, yaitu jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah, dengan menganut
prinsip-prinsip komersial karenga pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor
swasta.
3. Perizinan tertentu
Perizinan tertentu, yaitu kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian
izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembnaan, pengaturan,
pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunaan sumber
daya alam barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi
kepentingan mum dan menjaga kelestarian lingkungan.
BUKU
Hingga 2008, Departemen Keuangan yang harus berupaya keras, tidak bisa mengatasi ketidak harmonisan, hal ini
mengingat semakin banyaknya perda-perda yang bermasalah. Harmonisasi perpajakan daerah, hanya dapat diselesaikan
dengan cara menyusun sistematika berupa perubahan UU 34/2000. Bila mengingat UU No.34/2000yang di dalamnya terdapat
terbukanya kewenangan propinsi / kabupaten terhadap penetapan pajak daerah, dan pemberlakuan berbagai jenis pajak
maupun retribusi baru.
UU 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah direvisi menjadi UU No. 34/2000 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah. Dalam tahun 2008 ini, pemerintah akan merevisi UU No. 34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah yang salah satu poinnya mempertimbangkan untuk mengatur jenis-jenis pajak yang dapat ditarik daerah. Tindakan
pemerintah ini disebut amandemen/perubahan UU No. 34/2000 di DPR adalah untuk jenis-jenis pajak yang dapat ditarik
daerah. Keterbukaan inilah yang menimbulkan masalah karena banyaknya penafsiran lain selain jenis pajak yang akan diatur,
jadi semakin banyak bertambah jenis-jenis pajak daerah.
Sehubungan dengan banyaknya PERDA-PERDA bermasalah, Menteri Keuangan meminta Depdagri membatalkan
369 peraturan daerah dari 4.412 yang sudah dilaporkan dan dievakuasi pemerintah pusat hingga akhir Januari tahun ini karena
dianggap berpotensi menimbulkan masalah. Perda dianggap bermasalah jika ditemukan terjadi tumpang tindih dengan
kebijakan pemerintah pusat, pengenaan Retribusi yang lebih bersifat sebagai pajak atau bertentangan dengan prinsip retribusi,
menghambat arus barang, modal, dan manusia, serta menjadikan biaya kegiatan ekonomi lebih mahal. Berdasarkan Intruksi
Menteri Keuangan No.1/MK0.10/2004, daerah diminta memberikan laporan kepada pemerintah pusat atas setiap perda yang
dikeluarkan[1].
Untuk mendukung evaluasi terhadap 440 perda itu yang jumlahnya menjadi 4.412, dari 13.520 produk kebijakan yang
dihasilkan pemerintah daerah, Istana akan meninjau kembali produk hukum yang mengikat ketentuan pajak daerah dan
retribusi daerah.[2]
Bagaimana meng amandemen UU 34 / 2000 jo. UU 18 / 1997 tentang pemberlakuan pajak daerah dan retribusi
daerah oleh propinsi/kabupaten ? Bagaimana memperluas tax base dengan pengecualian tertutupnya kemungkinan multi
interprestasibagi pemerintah daerah otonom untuk memperluas atau mengusulkan pajak baru ?
Berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan retribusi daerah, daerah diberikan
kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 27 jenis retribusi. Penetapan jenis pajak dan retribusi tersebut
didasarkan pertimbangan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut hampir di semua daerah
dan merupakan jenis pungutan yang secara teori maupun praktik merupakan jenis pungutan yang baik.
6.2.1.Pajak Daerah
Jenis Pajak Daerah berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 dapat diklasifikasikan yaitu jenis pajak tingkat profinsi
atau tingkat I dan jenis pajak Kabupaten/Kota atau tingkat II. Jenis pajak tingkat I bersifat limitatif yang berarti
provisi tidak dapat memungut pajak lain selain yang telah ditetapkan. Adanya pembatasan jenis pajak yang
dapat dipungut oleh provisi terkait dengan kewenangan provisi sebagai daerah otonom yang tgerbatas hanya
meliputi kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas daerah kabupaten/kota dan kewenagan
yang tidak atau belum dapast dilaksanakan daerah kabupaten/kota, serta kewenagan bidang pemerintahan
tertentu.
Jenis pajak tingkat II tidak bersifat limitatif, artinya kabupaten/kota diberi peluanga untuk menggali potensi
sumber-sumber keuangannya selain yang ditetapkan secara eksplisit dalam UU No.34 Tahun 2000 dengan
menetapkan sendiri jenis pajak yang bersifat spesifik sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam UU
tersebut.
b. Pajak Hiburan;
c. Pajak Reklame;
6.2.2.Retribusi Daerah
Ketentuan secara lengkap mengenai objek dan subjek retribusi telah diatur dalam PP No.65 Tahun 2001 tentang Retribusi
Daerah, dimana kewenangan daerah dalam pemungutan retribusi hanya ada pada penetapan tarif dan sasaran
pengenaan retribusi.
Dalam menetapkan tarif Retribusi Jasa Umum, prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif didasasrkan pada
kebijakan daerah dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan
masyarakat, dan aspek keadilan. Untuk mencapai sasaran dimaksud, penetapan tarif Retribusi Jasa Umum,
antara lain, dimaksudkan untuk menutup sebagian atau sama dengan biaya penyediaan jasa yang
bersangkutan dan membantu golongan masyarakat kurang mampu sesuai dengan jenis pelayanan yang
diberikan. Dengan demikian prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum dapat berbeda
menurut jenis pelayanan dalam jasa yang bersangkutan dan golongan pengguna jasa.
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk
memperoleh keuntungan yang layak sebagaimana keuntungan yang pantas diterima oleh pengusaha swasta
sejenis yang beroperasi secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau
seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
6.2.3.Persyaratan PDRD
Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan jenis pajak selain yang ditetapkan, yang memenuhi kriteria,
adalah sebagai berikut:
b. objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum;
c. potensinya memadai;
Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada Daerah Tingkat II setelah
dikurangi 10% (sepuluh persen) untuk Daerah Tingkat I yang bersangkutan. Pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Jasa yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Daerah bukan merupakan objek retribusi.
b. Tarif retribusi.
a. Untuk Retribusi Jasa Umum, ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan Daerah dengan mempertimbangkan biaya
penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan;
b. Untuk Retribusi Jasa Usaha, berdasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak;
c. Untuk Retribusi Perizinan Tertentu, didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau sama dengan
biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
Cara perhitungan besarnya retribusi sebagaimana dimaksud diatas serta prinsip dan sasaran penetapan tarif
diatur dengan Peraturan Pemerintah. Tarif retribusi ditinjau kembali secara berkala dengan memperhatikan
prinsip dan sasaran penetapan tarif .
UU No. 34 / 2000 atau selama 8 tahun telah membedakan jenis-jenis pajak daerah yang dipungut oleh provinsi,
kabupaten atau kota, tergantung cakupan umum, objek, subyek dan wajib pajak.
Sejak 1957, dengan UU No. 11 Darurat, ternyata tidak semua pajak cocok untuk dijadikan pajak daerah, sebagian
besar menyebabkan pajak daerah tidak potensial. Dengan UU No. 18/1997 Jo. UU No. 34 / 2000, pajak daerah adalah iuran
wajib langsung dari pribadi tanpa imbalan yang seimbang, untuk pembiayaan pemerintahan dan pembangunan. Tujuan pajak
daerah adalah untuk kepentingan bersama, untuk stabilitas ekonomi, serta pertahanan dan keamanan. Objek pajaknya
memiliki mobilitas yang rendah artinya sulit dipindahkan, misalnya pajak hotel, pajak restoran, pajak sarang walet. Jadi yang
menanggung pajak adalah masyarakat setempat (lokal). Adapun pajak daerah yang tidak cocok antara lain, pajak
ekspor/impor, pajak pemancar R/TV, pajak reklame dalam media cetak/elektronik.
h. Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C 20% (dua puluh persen);
ketentuan mengenai:
c. wilayah pemungutan;
d. masa pajak;
e. penetapan;
g. kedaluwarsa;
h. sanksi administrasi;
a. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan
atau sanksinya;
6.3.3.Perumusan Perda
Mendagri dengan Peraturan No. 16/2005 memandu produk hukum PDRD menjadi Perda yaitu produk hukum yang diterbitkan
oleh kepala daerah. Berdasarkan sifarnya, Perda PDRD bersifat mengatur. Mekanisme penyusunan Perda
PDRD berawal dari rancangan / pembahasan PDRD dari Satker / Tim Perda dan Biro Hukum. Sekda
menerima dan melakukan perubahan / penyempurnaan usulan dari Tim Perda Satker. Hasil rancangan
Perda dari Sekda disampaikan ke DPRD.
SATKER
TIM PERDA
SATKER
BIRO HUKUM
DPRD
UU No. 32 / 2004 mengatur mekanisme Rancangan Perda dari Tim PDRD Satker ke DPRD untuk dibahas dan
mendapat persetujuan DPRD. Sebelum ditetapkan Gubernur, Menteri Dalam Negeri berkoordinasi dengan Menteri Keuangan
untuk melakukan evaluasi. Bilamana sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan atau
kepentingan umum, Gubernur menetapkan Rancangan PDRD menjadi Perda PDRD.
Rancangan Perda kabupaten/kota tentang PDRD yang telah disetujui bersama DPRD, sebelum ditetapkan
Bupati/Walikota, terlebih dahulu dievaluasi oleh Gubernur dan berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Apabila Gubernur dan
Menteri Keuangan menyatakan hasil evaluasi Rancangan PDRD sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dan atau kepentingan umum, Bupati/Walikota bersama DPRD menetapkan Rancangan PDRD menjadi Perda
PDRD.
(1) Apa yang dimaksud dengan retribusi daerah ? Jelaskan dengan contoh !
Retribusi adalah pungutan daerah atas pemberian izin karena menggunakan fasilitas umum untuk kepentingan pribadi,
artinya imbalan baliknya atas retribui, dapat dirasakan langsung. Contoh, retribusi parkir di tepi jalan, seharusnya jika
tidak punya uang, tidak bayar dan artinya tidak punya hak untuk parkir. Parkir tradisional ini cocok dengan retribusi,
dengan tarif murah, bermasyarakat, dan benar-benar pelayanan untuk publik.
(2) Setujukan Saudara dengan Gedung Parkir sebagai sumber Retribusi Daerah ?
Gedung Parkir adalah tempat parkir modern yang dikelola secara kolektif oleh mall, hotel, perkantoran, atau pusat
perbelanjaan lainnya. Bagi pengguna jasa parkir berarti konsumsinya sebesar tarif parkir yang sangat mahal dan
jam-jaman, dengan dalih tidak mengganggu kesempatan konsumsi orang lain, tetapi sulit untuk tidak bayar. Layanan
parkir modern ini tidak membedakan siapa saja konsumennya, maka harus bayar tanpa diskriminasi.
Evaluasi tidak hanya mengutamakan sifat PDRD, objek, potensi, dampak pelestarian lingkungan, dan dampak
secara ekonomi. Pokok utama dari evaluasi adalah dampak secara finansial terhadap PAD (Penerimaan Asli Daerah) yaitu
efektifitas tarif yang diberlakukan terhadap objek/subyek PDRD dalam upaya peningkatan penerimaan daerah. Adapun,
konotasi evaluasi hingga saat ini masih dibatasi ruang lingkup Menteri Keuangan dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk
menyetujui atau membatalkan, Rancangan PDRD dari Tim PDRD Satker.
Rancangan PDRD akan disetujui, sepanjang PDRD tidak bertentangan dengan pajak pusat. PD adalah PD, RD
bukan PD, dan RD harus sesuai dengan prinsip-prinsip mobilitas retribusi, artinya PDRD tidak berpindah-pindah. Bila pusat
menetapkan kenikmatan rokok sebagai objek Pajak Pusat maka daerah tidak bisa menetapkan rokok objek Pajak Daerah,
maksudnya agar tidak menimbulkan duplikasi dengan pungutan daerah. Daerah juga tidak boleh menghambat arus lalu lintas
barang, tidak boleh memungut pajak atas barang ekspor, tidak boleh menetapkan pajak ekspor atas produk
perkebunan/hewan. Sebaiknya Daerah tidak menetapkan Jembatan Timbang yang berakibat menimbulkan ekonomi biaya
tinggi. Daerah harus menggunakan suber daya alam yang terseia secara ekonomis, dan tidak boleh melakukan tindakan yang
berakibat meningkatnya beban subsidi pemerintah.
(3) Yang membedakan pengelola parkir sebagai private goods dan public goods?
Pengelola parkir di mall, hotel, perkantoran, atau pusat perbelanjaan lainnya disebut private goods, artinya
layanan konsumsi parkir memberi manfaat bagi orang tertentu, artinya konsumsi parkir memberi kesempatan
kepada private goods untuk memperoleh retribusi. Padahal retribusi itu hak Pemda, jadi Pemda berhak
memperoleh bagian misalnya 30% dari retribusi parkir modern. Bila private goods tidak mau kompromi untuk
membagi hasil parkir, maka Pemda berhak menutup jalan masuk ke tempat parkir.
Disebut public goods bila contoh perparkiran dikelola secara tradisional. Pungutan parkir tradisional cocok disebut
pajak atas kesempatan menggunakan konsumsi parkir, pungutannya yang relatif murah sekalipun,masih ada
kesempatan untuk menghindar dari pembayaran atau separoh harga.
Ekonomis adalah pertimbangan / alasan utama dalam pengambilan keputusan memilih retribusi. Efisiensi atau
terbatasnya sumber dana atau terbatasnya daya, juga menjadi alasan memilih retribusi. Alasan lainnya, retibusi
mendorong alokasi sumber daya, lebih adil daripada pajak, dan menciptakan diversifikasi sumber-sumber
penerimaan daerah.
Keinginan untuk terus hidup mendorong terbukanya Pasar Tradisional, dengan sumber daya yang terbatas pada jalan
tanah, becek, sempit dan gelap. Tidak adanya akses ke sumber dana perbankan, mendorong berdirinya rumah
liliput, rumah dan toko rakyat. Disinilah awal dari retribusi / karcis untuk sewa tempat, yang kemudian berkembang
diversifikasi menjadi retribusi kebersihan, retribusi keamanan, retribusi penerangan, dll.
(5) Bagaimana retribusi dapat memperbaiki sumber daya secara signifikan dan adil
Retribusi memegang kunci keberhasilan memenuhi kebutuhan masyarakat/rakyat kecil, dengan keterbatasan
dana, bersedia menerima pelayanan yang seimbang dengan retribusi yang murah. Kapasitas sumber daya juga
digunakan secara murah menurut harga pasarnya. Penggunaan fasilitas listrik dan air yang berlebihan tanpa
disadari merupakan subsidi bagi masyarakat / pelaku bisnis yang pendapatannya terus bertambah.
Retribusi secara tradisional tumbuh dengan sangat lambat, kecuali penerimaan retribusi daerah yang
direncanakan akan memperbaiki sumber daya secara signifikan. Pendirian proyek-proyek baru, pasar Senen
Baru, Mall, secara signifikan merubah nilai / harga pasar. Pengunaan space harus diimbangi dengan sewa mahal,
belum termasuk retribusi fasilitas, retribusi listrik dan retribusi air, yang selama ini digunakan secara boros, dengan
proyek baru penggunaan sumber daya menjadi tekendali.
Peraturan Daerah tentang pajak dan retribusi akan menjadi dasar berpijak dari kebijakan yang berkaitan dengan
kegiatan pemungutan pajak maupun retribusi yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan, pemberlakuan Peraturan Daerah harus mendapat persetujuan dari DPRD, ditandatangani oleh Kepala
Daerah serta diundangkan dalam lembaran daerah. Namun demikian, pemerintah daerah berkewajiban menyampaikan
Peraturan Daerah kepada Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri, lima belas hari
setelah ditetapkan, dimana kewajiban tersebut berkaitan dengan kewenangan pusat untuk melakukan pengawasan yang
sudah harus ditetapkan dalam tempo satu bulan sejak diterimanya Perda tersebut.
Tindak lanjut atas pengawasan tersebut, adalah keputusan untuk membatalkan suatu Perda pajak atau retribusi,
apabila berdasarkan hasil pengkajian dinyatakan bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Sejak diberlakukannya otonomi daerah, fenomena yang muncul adalah kecenderungan daerah yang ingin mengatur
segala hal berdasarkan pandangan bahwa semua objek dan subjek yang berada di wilayah teritorinya menjadi kewenangan
daerah sehingga harus tunduk kepada kemauan daerah yang diatur dalam peraturan daerah. Apa yang terjadi kemudian,
adalah semacam euphoria dimana daerah adakalanya tidak lagi memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku, diantaranya
dengan membuat peraturan daerah yang mengatur materi diluar kewenangannya. Otonomi kadang-kadang juga diartikan
bahwa daerah harus mampu mandiri, dan untuk itu perlu memperoleh pendapatan asli daerah (PAD) yang setinggi-tingginya
yang dijabarkan dalam bentuk penerbitan berbagai Perda pajak maupun retribusi tanpa mempertimbangkan kriteria-kriteria
sebagai persyaratan penerbitan Perda dimaksud.
Adanya kewenangan yang luas untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri, sebagaimana dinyatakan
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, berimplikasi kepada terbitnya Perda pajak dan retribusi selain jenis-
jenis yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, Pemerintah Daerah juga beranggapan bahwa Undang –undang tersebut memungkinkan daerah dapat
menciptakan berbagai jenis pungutan pajak dan retribusi. Kondisi demikian tercermin dari banyaknya Peraturan
Daerah yang berkaitan dengan penetapan pajak dan retribusi baru yang tidak sejalan dengan kriteria yang telah
ditetapkan dalam Undang-undang. Bahkan sebenarnya, Undang-Undang juga mewajibkan daerah untuk
mensosialisasikan terlebih dahulu pungutan pajak atau retribusi baru yang hendak dikenakan kepada masyarakat
lokal sebelum diterbitkan menjadi Perda, namun ketentuan ini umumnya tidak dijalankan oleh daerah.
Pada pihak lain, Undang-Undang juga mengamanatkan bahwa setiap penerbitan Peraturan Daerah tentang pajak
atau retribusi yang menyalahi ketentuan undang-undang, maka Pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam Negeri
dengan pertimbangan Menteri Keuangan dapat membatalkan Peraturan Daerah tersebut dalam kurun waktu 1 (satu)
bulan sejak diterimanya peraturan daerah dimaksud.
Ketentuan Undang-undang mengamanatkan bahwa Perda-perda tentang pajak dan retribusi yang diterbitkan oleh
Pemerintah Daerah harus disampaikan ke pemerintah pusat, yaitu ke Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan
paling lama 15 (lima belas) hari sejak ditetapkan. Penyampaian Perda-perda dimaksud pada dasarnya merupakan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh daerah, karena hal itu menjadi amanat Undang-Undang dan ini berkaitan
dengan kewenangan pusat dalam rangka pengawasan.
Mengingat bahwa terbitnya peraturan pelaksanaan dari UU Nomor 34 Tahun 2000 agak terlambat, dan guna
mengingatkan kembali akan kewajiban Pemerintah daerah untuk menyampaikan Perda, maka Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (DJPKPD) telah melakukan tindakan proaktif yaitu meminta kepada
Gubernur, Walikota dan Bupati seluruh Indonesia agar mengirimkan Perda dimaksud kepada DJPKPD. Hal ini
dinyatakan dalam Surat Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah a.n Menteri Keuangan Nomor :
S-37/MK.7/2001 tertanggal 4 Desember 2001.
Setelah diterbitkannya surat tersebut memang terlihat daerah-daerah mulai mengirimkan Perdanya kepada DJPKPD,
walaupun ada juga Pemerintah Daerah yang sudah mengirimkan Perdanya sebelum diterbitkannya surat dimaksud.
Berdasarkan pemantauan, selama kurun waktu Agustus 2001 sampai dengan Januari 2003 terdapat 9 Provinsi dan
83 Kabupaten/Kota yang telah menyampaikan Perda dengan jumlah Perda masing-masing adalah 27 Perda Provinsi
dan 861 Perda Kabupaten /Kota.
Provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mengirimkan atau menyampaikan Perdanya secara langsung adalah 21 dari
30 jumlah Provinsi seluruh Indonesia dan 287 dari 370 jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia atau persentase
masing-masing adalah 70% dan 77,6%. Data tersebut memperlihatkan bahwa kesadaran daerah baik Provinsi
maupun Kabupaten/Kota untuk memenuhi amanat Undang-undang berkaitan dengan kewajiban mengirim atau
menyampaikan Perdanya kepada Menteri Keuangan masih relatif rendah.
Di samping Perda-perda yang diterima langsung dari daerah, Direktorat Pendapatan Daerah DJPKPD juga
menerima Perda dari Departemen Dalam Negeri sebanyak 85 Perda. Perda-perda tersebut dianggap sebagai Perda
bermasalah yang memerlukan pengkajian lebih lanjut. Usaha untuk memperoleh Perda juga dilakukan melalui surat
permintaan Perda secara tersendiri yang dikirimkan langsung kepada Bupati/Walikota yang bersangkutan. Surat
permintaan ini dilakukan sehubungan dengan adanya keluhan dari dunia usaha yang diwakili oleh asosiasi atau dari
lembaga tertentu tentang terbitnya suatu Perda yang kelayakannya masih perlu dipertanyakan. Selain daripada itu,
sebagai bagian dari usaha komprehensif guna memperoleh Perda juga telah dilakukan pengumpulan Perda
langsung ke lapangan. Kegiatan pengumpulan Perda ini dilakukan pada 31 (tiga puluh satu) kabupaten/kota dan
diperoleh Perda sebanyak 555 Perda.
Dalam pada itu, guna mengantisipasi kemungkinan terbitnya Perda yang dikemudian hari ternyata bermasalah
karena bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, Menteri
Keuangan merasa perlu untuk melakukan pemantauan secara lebih dini. Pemantauan dilakukan dengan cara
mencari informasi tentang hal tersebut dari sejak masih dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)
melalui jajaran Departemen Keuangan di daerah.
Hal itu direalisasikan melalui penerbitan Instruksi Menteri Keuangan Nomor 2/IMK/2002 yang ditujukan kepada
Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Anggaran, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, serta Direktur Jenderal
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah untuk melakukan pemantauan terhadap Rancangan Peraturan Daerah
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diperkirakan bertentangan dengan kepentingan umum dan atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan menyampaikan hasil informasi tersebut kepada Menteri
Keuangan dengan tembusan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Instruksi Menteri Keuangan tersebut selanjutnya ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal Anggaran dengan menerbitkan
Surat Edaran Nomor SE-40/A/2002 yang ditujukan kepada para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Anggaran di seluruh Indonesia untuk lebih proaktif melakukan pemantauan terhadap Rancangan Peraturan Daerah
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan menyampaikan informasi kepada Direktur Jenderal Anggaran
apabila Rancangan Peraturan Daerah tersebut diperkirakan bertentangan dengan kepentingan umum dan atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun, belum ada informasi dari jajaran Departemen Keuangan di
daerah berkaitan dengan adanya Raperda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
1. Perda-perda tentang pajak dan retribusi yang telah sesuai dengan jenis-jenis pajak dan retribusi sebagaimana
yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
2. Perda-perda tentang jenis-jenis pajak dan retribusi baru (di luar yang tercantum dalam peraturan perundang-
undangan).
4. Perda-perda yang bersifat pengaturan namun di dalamnya tercantum pula pungutan-pungutan yang mirip
pungutan pajak dan atau retribusi.
5. Perda-perda yang bersifat pengaturan yang di dalamnya juga memuat pungutan namun pungutan tersebut
berkaitan dengan jasa di bidang kepelabuhanan.
Perda-Perda yang masuk kelompok pertama pada dasarnya disetujui untuk diberlakukan sepanjang judul dan
materi/substansi yang diatur didalamnya sudah sesuai dengan yang ditentukan dan diatur dalam perundang-
undangan. Akan tetapi, apabila dari kelompok ini terdapat Perda yang judulnya sesuai dengan yang tercantum dalam
perundang-undangan namun substansi/materi yang ada di dalamnya mengatur hal-hal yang menyimpang atau tidak
sesuai dengan pengaturan dalam perundang-undangan maka terhadap Perda yang demikian ditindaklanjuti dengan
meminta kepada Pemda yang bersangkutan untuk merevisi Perda tersebut.
Permintaan untuk merevisi Perda disampaikan melalui Surat Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk
meneruskan hal tersebut kepada Pemda yang bersangkutan. Penilaian terhadap Perda Kelompok pertama seperti
tersebut di atas, demikian pula penilaian terhadap kelompok Perda lainnya dilakukan melalui penelitian Perda satu
persatu masing-masing dikaji secara mendalam dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dari sektor terkait. Berdasarkan pengkajian tersebut, Perda-perda yang materi/substansinya bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi selanjutnya dituangkan ke dalam
matriks “Rekapitulasi Peraturan Daerah Yang Dipertimbangkan untuk Dibatalkan Beserta Alasan Pembatalannya”.
Matriks rekapitulasi Perda tersebut diatas dipisahkan menurut kategori pajak, retribusi, sumbangan dan masing-
masing dikelompokkan menurut sektor.
Khusus Perda tentang Kepelabuhanan untuk sementara tidak dimasukkan ke dalam matriks rekapitulasi Perda
karena Menteri Perhubungan sudah merekomendasikan pembatalan Perda tersebut kepada Menteri Dalam Negeri.
1. Jelaskan bagaimana cara kerja yang efektif, Tim PDRD melakukan evaluasi PDRD ?
Tim PDRD harus melakukan survey ke lapangan untuk menemukan jenis-jenis PDRD, yang seharusnya PDRD
memiliki nama-nama objek dan subjek pajak, dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak, wilayah
pemungutan, masa pajak, penetapan, tata cara pembayaran dan penagihan, kedaluwarsa, sanksi
administrasi, tanggal mulai berlakunya.
Nama PDRD yang baru dan janggal adalah identitas utama temuan evaluasi, yang keberadaannya dapat ditanyakan kepada
wajib PDRD, bila mungkin diperoleh keputusan dari kepala daerah.
PDRD bukan hanya nama dan tarif pungutannya saja. Perda PDRD harus mengatur juga objek dan subjek pajak, dasar
pengenaan, tarif, tata cara dan wilayah pemungutan. Aturan ini menggiring PDRD tradisional ke sistem modernisasi,
misalnya bagi hasil PDRD antara Gedung Parkir/Perkantoran dengan Pemda.
Definisi objek PDRD tanpa batas menimbulkan multitafsir dan mendorong daerah untuk memperluas penganekaragaman
PDRD tanpa potensi hasil pungutan PDRD yang akurat, sebaliknya tidak menyadari bakal terjadinya tragedi
perekonomian, selain itu terjadinya pergeseran atas keharusan membayar pajak daerah.
Contoh, mendefinisikan reklame sebagai objek PDRD adalah dimaksudkan untuk memperkenalkan barang/jasa. Definisi
reklame harus dibatasi tidak termasuk papan nama dan logo perusahaan. Bila pungutan PDRD terjadi atas papan
nama, maka inilah bahan evaluasi untuk meperbaiki kompetensi SDM Daerah !
Terdapat beberapa pendekatan, serba lembaga yang terdiri dari DPRD, Satker, Gubernur/ Walikota/ Bupati, pendekatan serba
kebijakan, yang mendorong munculnya banyak Perda bermasalah, dan pungutan yang tumpng tindih antara pusat
dan daerah. Pendekatan yang serba barang/jasa yang menimbulkan multitafsir dan pendefinisian yang menjurus
memperluas penganekaragaman. Pendekatan serba pelayanan/perizinan yang kurang mmemperhatikan aspek
ekonomi dan kepentingan umum.
Jadi yang dimaksud dengan pendekatan serba lembaga, bukan Satker tetapi BUMN/BUMD atau pendekatan melalui privat
goods. Misalnya BUMN/BUMD jalan Tol, dimana Pemda mendapat bagihasil atas Perda PDRD Jalan Tol.
BUMN/BUMD juga bisa membesarkan ternak skala besar sebagai objek PDRD, jangan PIR (Peternakan Inti Rakyat)
yang dijadikan objek.
Yang dimaksud dengan pelayanan publik yang baik, adalah pelayanan serba cepat, serba murah dan serba tepat. Jadi PDRD
tidak tepat mengekploitasi pelayanan, PDRD menuju arah yang berlawanan, peraturan PDRD serba berbelit-belit,
Perda PDRD tidak sinkron dengan UU, punguatan ganda, PDRD menghambat lalu lintas barang/jasa dan
mengakibatkan biaya tinggi.
Perda-perda yang termasuk ke dalam matriks “Rekapitulasi Peraturan Daerah Yang Dipertimbangkan untuk
Dibatalkan Beserta Alasan Pembatalannya” adalah merupakan Perda-perda yang direkomendasikan Menteri Keuangan
kepada Menteri Dalam Negeri untuk dibatalkan setelah melalui proses pengkajian yang intensif dan mendalam. Kegiatan
pengkajian dilaksanakan oleh Tim Pengkajian Peraturan Daerah dan Retribusi Daerah sesuai dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor : 263/KMK.07/2002 tanggal 4 Juni 2002 tentang Pembentukan Tim Pengkajian Peraturan Daerah tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Sebagai Bahan Pertimbangan Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri, dengan
tugas sebagai berikut :
2. Mempersiapkan pertimbangan Menteri Keuangan kepada Menteri dalam Negeri berdasarkan hasil pengkajian
Perda dimaksud;
Keanggotaan Tim Pengkajian ini meliputi para aparat baik dalam lingkungan maupun di luar lingkungan Departemen
Keuangan. Para Aparat dalam lingkungan Departemen Keuangan meliputi Biro Hukum dan Humas; Direktorat Pendapatan
Daerah; Direktorat Peraturan Perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak; Direktorat Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan
Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan Direktorat Penerimaan Minyak dan Bukan Pajak, Direktorat Jenderal Lembaga
Keuangan. Sementara aparat dari luar Departemen Keuangan meliputi Biro Hukum dan Humas, Sekretariat Jenderal
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral; Biro Hukum dan Organisasi, Sekretariat Jenderal Departemen Perindustrian
dan Perdagangan; Biro Hukum dan Ortala, Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian; Biro Perencanaan dan Keuangan,
Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan; Biro Hukum dan KSLN, Sekretariat Jenderal Departemen Perhubungan; serta
Biro Keuangan, Sekretariat Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan. Namun demikian, mengingat luasnya cakupan
Perda yang dibahas maka dalam pelaksanaan kegiatan pengkajian Perda juga dilibatkan instansi-instasi lain di luar instansi-
instansi tersebut diatasyaitu Departemen Tenaga Kerja; Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan; Departemen Kesehatan;
serta Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Secara keseluruhan kegiatan Pengkajian Peraturan Daerah telah dilakukan terhadap 1528 Perda, yang meliputi
sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, sektor Pertanian dan Peternakan, sektor Perdagangan dan Industri, sektor
Kehutanan dan Perkebunan, sektor Pariwisata, sektor Kesehatan, sektor Ketenagakerjaan, sektor Pertanahan, dan sektor
Perhubungan. Melalui kegiatan Pengkajian Perda tersebut direkomendasikan 206 Perda oleh Menteri Keuangan kepada
Menteri Dalam Negeri untuk dibatalkan.
Alasan pokok Menteri Keuangan dalam merekomendasikan ke-206 Perda tersebut untuk dibatalkan oleh Menteri
Dalam Negeri adalah :
umum
5. Potensinya memadai
Peluang Sinkronisasi
1. Desentralisasi fiskal akan lebih bermakna; tantangan bagi kapasitas administrasi perpajakan di daerah.
2. Daerah dapat menggali sumber potensial. Misal: Bali: Visa on arrival, airtime, dana CD dari hotel besar
Bontang, Balikpapan, Nunukan: bagi hasil tambang, dana CD perusahaan minyak Kebumen: pajak sarang
burung Sleman: retribusi pondokan, retribusi BTS Kalimantan Tengah: IHPH.
3. Potensi PAD akan langsung terkait dengan kebutuhan belanja danpelayanan umum di daerah.
6.5.2.2.Pembangunan Kapasitas
Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi yaitu terletak pada kemampuan keuangan
daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber
keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan Pusat harus seminimal mungkin,
sehingga PAD khususnya pajak dan retribusi daerah harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang
didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem
pemerintahan negara.
Berkaitan dengan hal tersebut, optimalisasi sumber-sumber PAD perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
keuangan daerah. Untuk itu diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi subyek dan objek pendapatan. Dalam jangka
pendek kegiatan yang paling mudah dan dapat segera dilakukan adalah dengan melakukan intensifikasi terhadap
objek atau sumber pendapatan daerah yang sudah ada terutama melalui pemanfaatan teknologi informasi.
Dengan melakukan efektivitas dan efisiensi sumber atau objek pendapatan daerah, maka akan meningkatkan
produktivitas PAD tanpa harus melakukan perluasan sumber atau objek pendapatan baru yang memerlukan studi,
proses dan waktu yang panjang. Dukungan teknologi informasi secara terpadu guna mengintensifkan pajak mutlak
diperlukan karena sistem pemungutan pajak yang dilaksanakan selama ini cenderung tidak optimal. Masalah ini
tercermin pada sistem dan prosedur pemungutan yang masih konvensional dan masih banyaknya sistem berjalan
secara parsial, sehingga besar kemungkinan informasi yang disampaikan tidak konsisten, versi data yang berbeda
dan data tidak up-to-date. Permasalahan pada sistem pemungutan pajak cukup banyak, misalnya baik dalam hal
data wajib pajak/retribusi, penetapan jumlah pajak, jumlah tagihan pajak dan target pemenuhan pajak yang tidak
optimal.
Secara umum, upaya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah
melalui optimalisasi intensifikasi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, antara lain dapat dilakukan dengan
cara-cara sebagai berikut:
Tindakan yang dilakukan untuk memperluas basis penerimaan yang dapat dipungut oleh daerah, yang dalam
perhitungan ekonomi dianggap potensial, antara lain yaitu mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan
jumlah pembayar pajak, memperbaiki basis data objek, memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas
penerimaan dari setiap jenis pungutan.
Upaya yang dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan, yaitu antara lain mempercepat penyusunan
Perda, mengubah tarif, khususnya tarif retribusi dan peningkatan SDM.
• Meningkatkan pengawasan
Hal ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan pemeriksaan secara dadakan dan berkala,
memperbaiki proses pengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak dan sanksi terhadap pihak
fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan pelayanan yang diberikan oleh daerah.
Tindakan yang dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaiki prosedur administrasi pajak melalui
penyederhanaan admnistrasi pajak, meningkatkan efisiensi pemungutan dari setiap jenis pemungutan.
Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan instansiterkait di daerah.
Selanjutnya, ekstensifikasi perpajakan juga dapat dilakukan, yaitu melalui kebijaksanaan Pemerintah untuk
memberikan kewenangan perpajakan yang lebih besar kepada daerah pada masa mendatang. Untuk itu, perlu
adanya perubahan dalam sistem perpajakan Indonesia sendiri melalui sistem pembagian langsung atau beberapa
basis pajak Pemerintah Pusat yang lebih tepat dipungut oleh daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada gagasan yang berkembang di kalangan para pakar internasional, akademisi
maupun praktisi di bidang desentralisasi fiskal, untuk menambahkan taxing power kepada Pemerintah Daerah. Hal
ini dapat dilihat dari gambaran consolidated revenues APBD dan APBN (APBD Kabupaten/Kota + Provinsi +
Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN), porsi PAD hanya sebesar 5,30% dari total consolidated revenues, di lain
pihak pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah sekitar 30% dari consolidated expenditures.
Gambaran porsi PAD terhadap total consolidated revenues yang hanya 5,30% tersebut menunjukkan betapa
sentralistisnya sisi penerimaan antara Kabupaten/Kota dan Provinsi di satu pihak dan Penerimaan Dalam Negeri
dalam APBN di lain pihak. Sebagai perbandingan yang sama, masing-masing untuk developing countries, transition
countries dan OECD countries rata-rata sebesar 9,27%, 16,59% dan 19,13%. Keadaan ini kurang mendukung
akuntabilitas dari penggunaan anggaran daerah, dimana keterbatasan dana transfer dari Pusat untuk membiayai
kebutuhan Daerah idealnya dapat ditutup oleh Daerah dengan menyesuaikan basis pajak atau tarif pajak daerahnya.
Untuk itu perlu dicarikan upaya untuk meningkatkan taxing power Daerah antara lain melalui pengalihan sepenuhnya
beberapa pajak Pusat kepada Daerah (artinya daerah sepenuhnya menetapkan basis pajak, tarif maupun
administrasi pemungutannya), pengalihan sebagian Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) kepada Daerah dan
lain-lain kebijakan sharing tax dan piggy backing system. Kabupaten/Kota perlu diberikan tambahan pendapatan
dengan memberikan kewenangan penuh memungut pajak sampai dengan besaran tertentu.
PBB dan BPHTB dapat dialihkan menjadi pajak Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota diberikan wewenang untuk
menetapkan dasar pengenaan pajak (tax-base) dan tarif sampai dengan batas tertentu atas kedua jenis pajak
tersebut, meskipun untuk sementara waktu administrasinya akan tetap dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pasal 25/Pasal 29 Orang Pribadi yang sekarang dibagihasilkan kepada Daerah
dapat dialihkan dalam bentuk Opsen atau piggy back, dimana Daerah seyogyanya diberikan kewenangan
mengenakan opsi sampai dengan batas tertentu dibawah wewenang penuh Pemerintah Kabupaten/Kota. Kebijakan
ini sekaligus diharapkan dapat menghilangkan upaya Daerah untuk menggali sumber-sumber PAD yang berdampak
distortif terhadap perekonomian.
Di lain pihak, dilihat dari sisi kewenangan yang menjadi tanggung jawabDaerah, Indonesia tergolong Negara yang
melaksanakan desentralisasi dengan Bank Dunia dan Nota Keuangan dan RAPBN Pemerintah Indonesia pada
berbagai tahun suatu proses yang “big-bang”. Hal ini dapat dilihat dari pergeseran expenditure assignment yang
dilaksanakan oleh daerah pada tahun 1990-an sebesar 16,59% dari Total Consolidated Expenditure(APBD+APBN)
meningkat menjadi 27,78% pada tahun 2001.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penyelenggaraan otonomi daerah akan dapat dilaksanakan dengan baik
apabila didukung dengan sumber-sumber pembiayaan yang memadai. Potensi ekonomi daerah sangat menentukan
dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah bagi penyelenggaraan rumah tangganya. Namun
demikian, otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan hanya semata diukur dari
jumlah PAD yang dapat dicapai tetapi lebih dari itu yaitu sejauh mana pajak daerah dan retribusi daerah dapat
berperan mengatur perekonomian masyarakat agar dapat bertumbuh kembang, yang pada gilirannya dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Kesalahan Perda karena bersifat mikro yang seharusnya Perda PDRD itu mencakup ruang lingkup yang makro. Tindakan
Perda yang dapat dibenarkan, adalah :
Pemda sebaiknya membuat Perda bahwa Pungutan PDRD sebaiknya dilakukan oleh Badan/Lembaga, kemudian
Pemda memperoleh bagihasil dari Badan.
1. Perda seharusnya berorientasi mempercepat arus barang dan uang yang diperdagangkan secara lokal, bukan
ekspor/impor.
Masih banyak barang lain selain daripada tembakau, gula dan alkohol, dimana pusat bertahan atas cukai rokok
sebagai sumber keuangan negara. Seharusnya Pemda tidak kehabisan akal, inisiatif dan kreatifitas untuk membuat
Perda PDRD.
3. Pungutan public goods adalah bersifat pajak. Jadi pungutan PDRD oleh Badan/Lembaga adalah privat goods yang
bersifat retribusi dalam skala besar, yang akan menganut asas non diskriminasi dan adil.
Berkaitan dengan hal tersebut, optimalisasi sumber-sumber PAD perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan keuangan
daerah. Untuk itu diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi subyek dan objek pendapatan. Dalam jangka pendek
kegiatan yang paling mudah dan dapat segera dilakukan adalah dengan melakukan intensifikasi terhadap objek atau
sumber pendapatan daerah yang sudah ada terutama melalui pemanfaatan teknologi informasi.
Dengan melakukan efektivitas dan efisiensi sumber atau objek pendapatan daerah, maka akan meningkatkan produktivitas
PAD tanpa harus melakukan perluasan sumber atau objek pendapatan baru yang memerlukan studi, proses dan waktu
yang panjang. Dukungan teknologi informasi secara terpadu guna mengintensifkan pajak mutlak diperlukan karena
sistem pemungutan pajak yang dilaksanakan selama ini cenderung tidak optimal. Masalah ini tercermin pada sistem
dan prosedur pemungutan yang masih konvensional dan masih banyaknya sistem berjalan secara parsial, sehingga
besar kemungkinan informasi yang disampaikan tidak konsisten, versi data yang berbeda dan data tidak up-to-date.
Permasalahan pada sistem pemungutan pajak cukup banyak, misalnya baik dalam hal data wajib pajak/retribusi,
penetapan jumlah pajak, jumlah tagihan pajak dan target pemenuhan pajak yang tidak optimal.
Secara umum, upaya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah
melalui optimalisasi intensifikasi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, antara lain dapat dilakukan dengan
cara-cara sebagai berikut:
Upaya yang dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan, yaitu antara lain mempercepat penyusunan
Perda, mengubah tarif, khususnya tarif retribusi dan peningkatan SDM.
• Meningkatkan pengawasan
Hal ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan pemeriksaan secara dadakan dan berkala,
memperbaiki proses pengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak dan sanksi terhadap pihak
fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan pelayanan yang diberikan oleh daerah.
Tindakan yang dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaiki prosedur administrasi pajak melalui
penyederhanaan admnistrasi pajak, meningkatkan efisiensi pemungutan dari setiap jenis pemungutan.
Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan instansiterkait di daerah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penyelenggaraan otonomi daerah akan dapat dilaksanakan dengan baik
apabila didukung dengan sumber-sumber pembiayaan yang memadai. Potensi ekonomi daerah sangat menentukan
dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah bagi penyelenggaraan rumah tangganya. Namun
demikian, otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan hanya semata diukur dari
jumlah PAD yang dapat dicapai tetapi lebih dari itu yaitu sejauh mana pajak daerah dan retribusi daerah dapat
berperan mengatur perekonomian masyarakat agar dapat bertumbuh kembang, yang pada gilirannya dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Keanggotaan Tim Pengkajian ini meliputi para aparat baik dalam lingkungan maupun di luar lingkungan Departemen
Keuangan. Para Aparat dalam lingkungan Departemen Keuangan meliputi Biro Hukum dan Humas; Direktorat
Pendapatan Daerah; Direktorat Peraturan Perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak; Direktorat Penerimaan dan
Peraturan Kepabeanan dan Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan Direktorat Penerimaan Minyak dan
Bukan Pajak, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan.
Sementara aparat dari luar Departemen Keuangan meliputi Biro Hukum dan Humas, Sekretariat Jenderal
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral; Biro Hukum dan Organisasi, Sekretariat Jenderal Departemen
Perindustrian dan Perdagangan; Biro Hukum dan Ortala, Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian; Biro
Perencanaan dan Keuangan, Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan; Biro Hukum dan KSLN, Sekretariat
Jenderal Departemen Perhubungan; serta Biro Keuangan, Sekretariat Jenderal Departemen Kelautan dan
Perikanan. Namun demikian, mengingat luasnya cakupan Perda yang dibahas maka dalam pelaksanaan kegiatan
pengkajian Perda juga dilibatkan instansi-instasi lain di luar instansi-instansi tersebut diatasyaitu Departemen
Tenaga Kerja; Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan; Departemen Kesehatan; serta Badan Pertanahan Nasional
(BPN).
1. Desentralisasi fiskal akan lebih bermakna bilamana mendorong pengembangan tantangan bagi kapasitas
administrasi perpajakan daerah.
Misal,
Balikpapan, Nunukan bagi hasil tambang, dana CD perusahaan minyak Kebumen, pajak sarang burung
Sleman, retribusi pondokan, retribusi BTS
3. Potensi PAD akan langsung terkait dengan kebutuhan belanja danpelayanan umum di daerah.
Retribusi Daerah
Pengertian
Referensi