Anda di halaman 1dari 10

BAB II

Pembahasan

2.1Pengertian Pajak Daerah


Secara resmi era otonomi daerah berlaku di Indonesiasejak 1 Januari 2001sehingga
daerah dituntut mrncari berbagai alternatif sumber penerimaan yang dapat digunakan
membiayai pengeluaran atau belanja daerah. Pemberian kewenangan kepada daerah untuk
memungut pajak dan retribusi daerah diperlukan adanya landasan hukum berupa undang-
undang. Sebagai landasan hukum yang merupakan dasar hukum pungutan Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1977 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 yang berlaku sejak 1 Januari 2010.
Sebagaimana dimuat dalam penjelasan perubahan Undang-Undang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (PRRD) Tahun 2009 yang menyebutkan secara umum bahwa dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan, setiap daerah yaitu provinsi yang terbagi atas daerah
kabupaten dan kota mempunyai hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan diperlukan efisiensi dan efektivitas
serta pelayanan kepada masyarakat yang harus selalu ditingkatkan. Dengan perubahan
Undang-Undang PDRD tahun 2009 memberikan kewenangan kepada daerah untuk
memungut 11 jenis pajak yaitu 4 jenis pajak untuk tingkat provinsi dan 7 jenis pajak untuk
tingkat kabupaten/kota. Namun kabupaten/kota masih diberi wewenang untuk menetapkan
jenis pajak lainnya dengan syarat memenuhi ketetuan yang ditetapkan dalam undang-
undang. Telah disampaikan bahwa undang-undang PDRD diadakan perubahan, adapun atas
perubahan undang-undang dengan dasar pertimbangan :
1. Hasil penerimaan pajak dan retribusi belum memadai dan masig memiliki peran yang
relative kecil terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
2. Pemberian peluang untuk mengenakan pungutan baru yang diharapkan dapat
meningkatkan penerimaan daerah dan kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang
hampir tidak ada jenis pungutan pajak dan retribusi baru yang dapat dipungut di daerah.
3. Pungutan baru yang ditetapkan daerah memberikan dampak negative terhadap iklim
investasi, sehimgga menimbulkan ekonomi biaya tinggi sebagai akibat tumpang
tindihnya dengan pungutan pusat dan menghalangi arus barang dan jasa antardaerah
4. Ridak ada kewenangan provinsi, sehingga provinsi tidak dapat menyesuaikan
penerimaan pajaknya, sehingga menimbulkan ketergantungan provinsi yang tinggi
terhadap dana aloasi pusat yang menimbulkan pungutan retribusi baru yang
bertentangan dengan undang-undang PDRD
5. Pengaturankewenangan perpajakan dan retribusi yang ada kurang mendukung
pelaksanaan otonomi daerah.

Dengan pertimbangan tersebut dilakukannya perubahan dengan diberlakukannya undang-


undang PDRD Nomor 28 Tahun 2009 diharapkan kemampuan daerah untuk membiayai
kebutuhan pengeluarannya semakin besar karena memudahkan penyesuaian pendapatannya.

2.2 Jenis dan Objek Pajak Derah

JENIS PAJAK DAERAH YANG DIPUNGUT

Pajak Daerah yang dipungut terdiri atas

1. Jenis pajak provinsi terdiri atas


a. Pajak Kendaraan Bermotor
b. Pajak Balik Nama Kendaraan Bermotor
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d. Pajak Air permukaan
e. Pajak Rokok
2. Jenis pajak Kabupaten/Kota terdiri atas
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
g. Pajak Parkir
h. Pajak Air Tanah
i. Pajak Sarang Burung Walet
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Pengaturan selanjutnya undang-undang membatasi yaitu dengan pelarangan pihak daerah


untuk memungut pajak selain jenis pajak yang telah ditetapkan dalam undang-undang PDRD dan
daerah juga diberikan kewenangan menetapkan jenis pajak yang harus dipungut seperti yang
telah ditetapkan dalam undang-undang PDRD dengan mempertimbangkan potensi.

Terhadap jenis pajak ternyata potensinya kurang memadai, maka kebijakan daerah dapat
tidak memungut. Kewenanga emungutan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 91 tahun
2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak mengatur

1. Pajak Kendaraan bermotor, Pajak Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan,
Pajak reklame, Pajak Air Tanah, dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
pungutannya berdasarkan penetapan Kepala Daerah.
2. Pajak Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Rokok, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
Hiburan , Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral bukan Logam dan Batuan,Pajak Parkir,
Pajak Sarang Burung Walet, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak.
3. Pelaksanaan pungutan pajak seperti pada butir 1 dan butir 2 dilarang diborongkan. Hal
tersebut diartikan bahwa seluruh proses kegiatan pemungutan pajak tidak dapat dikerjakan
dengan pihak ketiga yang meliputi kegiatan penghitungan besarnya pajak terutang,
pengawasan penyetoran pajak, dan penagihan pajak. Hal tersebut memungkinkan kerja
sama dengan pihak ketiga dalam rangka mendukung kegiatan pemungutan pajak, antara lain
dalam rangka pencetakan formulir perpajakan, pengirinian surat kepada Wajib Pajak, atau
penghimpunan data objek pajak dan subjek pajak.
4. Kewajiban membayar pajak yang dilakukan oleh setiap Wajib Pajak atas pajak yang
terutang didasarkan pada Surat Ketetapan Pajak atau dibayar sendiri oleh Wajib-Pajak
berdasarkan ketentuan perundang-udangan perpajakan.
5. Besarnya pajak terutang ditetapkan berdasarkan penetapan kepala daerah dengan
menggunakan
a. Suirat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan; atau
b. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang.
Penggunaan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) digunakanan hanya dalM
pemungutan PBB, sedangkan dokumen lain yang dipersamakan adalah karcis atau nota
perhitungan

6. Besarnya pajak terutang dengan cara dibayar sendiri oleh Waib Pajak berdasakan peraturan
perundang-udangan perpajakan menggunakan:
a. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah;
b. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB); dan/atau
c. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPD KBT)..

Terhadap wajib pajak yang pemenuhan kewajiban perpajakannya dengan membayar sendiri
diwajibkan melaporkan pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak
Daerah. Bila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya dapat diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPD KBT) yang berfungsi sebagai sarana
penagihan

PAJAK KENDARAAN BERMOTOR

Pasal 1 angka 12 Undang – Undang PDRD menyatakan bahwa Pajak KEndaraan bermotor
adalah pajak atas kepemilikan dan / atau penguasaan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor
dimaksudkan yaitu semua kendaraan beroda, beserta gandengannya yang digunakan disemua
jenis jalan darat dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang
berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan
bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya
menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang
dioperasikan di air.

Pokok Pengaturan sesuai undang – undang PDRD yaitu:

1. Objek Pajak
Objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan
Bermotor.nTermasuk dalam pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di
semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran isi
kotor GT 5 (lima Gross Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage).
2. Pengecualian sebagai objek pajak
a. kereta api;
b. Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan
keamanan negara;
c. kendaraan bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan
negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang
memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan
d. objek Pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
3. Subjek Pajak
Sebagai subjek pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki
dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor. Dalam hal subjek pajak Kendaraan Bermotor
adalah Badan, kewajiban perpajakannya diwakili oleh pengurus atau kuasa Badan tersebut
4. Dasar pengenaan Pajak
Sebagai dasar pengenaan pajak untuk pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil perkalian dari
2 (dua) unsur pokok:
a. Nilai Jual Kendaraan Bermotor;
Besarnya nilai jual kendaraan bermotor ditentukan harga pasaran umum, yaitu harga rata
– rata yang diperoleh dari berbagai sumber yang akurat. Harga pasaran umum dimaksud
pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember tahun Pajak sebelumnya. Khusus
untuk Kendaraan Bermotor yang digunakan di luar jalan umum, termasuk alat-alat berat
dan alat-alat besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor
adalah niali jual kendaraan bermotor. Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan
Bermotor dinyatakan ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah
mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan. Penghitungan dasar pengenaan Pajak
Kendaraan Bermotor ditinjau kembali setiap tahun.
b. bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/aytu pencemaran
lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.

Tarif

Besarnya tariff pajak kendaraan bermotor pribadi ditetapkan dengan peraturan daerah yaitu:

a) untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama paling rendah sebesar 1% dan paling
tinggi sebesar 2%;
b) untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara
progresif paling rendah sebesar 2% dan paling tinggi sebesar 10%.
c) Tarif Pajak Kendaraan Bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial
keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah/TNI/Polri, Pemerintah Daerah, dan
kendaraan lain yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, ditetapkan paling rendah sebesar
0,5% dan paling tinggi sebesar 1% (satu persen).
d) Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah
sebesar 0,1% dan paling tinggi sebesar 0,2%.

Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

Pengertian Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sesuai pasal 1 angka 14 Undang – Undang
PDRD adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua
pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah,
warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.

Pokok pengaturan sesuai Undang – Undangan PDRD yaitu:

1. Objek Pajak
a. Sebagai Objek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah penyerahan
kepemilikan kendaraan bermotor.
b. penguasaan kendaraan bermotor melebihi 12 (dua belas) bulan dianggap sebagai
penyerahan,
c. kecuali penguasaan kendaraan bermotor karena perjanjian sewa beli;
2. Termasuk penyerahan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada angka 1a adalah
pemasukan kendaraan bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia
3. Pengecualian objek pajak
Penyerahan kendaraan bermotor seperti pada butir 2, dikecualikan sebagai objek pajak:
a. Untuk dipakai sendiri oleh orang pribadi yang bersangkutan
b. Untuk diperdagangkan
c. untuk dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia; dan
d. objek lain yang ditetapkan peraturan daerah

PAJAK HOTEL

Pengertian Pajak Hotel sesuai Pasal angka 20 undang-undang adalah Pajak atas pelayanan
disediakan oleh hotel sedangkan hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan
termasuk jasa terkait lainya dengan dipungut bayaran yang mencakup motel, losmen, gubuk
pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos
dengan jumlah lebih dari 10 (sepuluh).

OBJEK PAJAK HOTEL

Pasal 32 undang-undang PDRD pengenaan atau pemungutan Pajak Hotel sebagai ohlek Pajaknya
yaitu pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pelayanan, termasuk jasa penunjang fasilitas
olahraga dan hiburan. Sebagai jasa penunjangnya dapat beragam sepeni telepon, facsimile,
teleks, warnet, fotokoiSi, pelayanan cuci, transpotasi, seterika, dan fasilitas sejenis lainnya yang
disediakan Hotel. Tetapi terdapat jasa yang tidak/dikecualikan sebagai objek Pajak Hotel:

a. Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

b. Jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya

c. Jasa tempat tinggal di Pusat Pendidikan atau Kegiatan keagamaan


d. Jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, Panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial
lainnya yang sejenis; dan

e. Jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh Hotel yang dapat
dimanfaatkan oleh umum.

SUBJEK DAN TARIF PAJAK HOTEL

Sebagai pihak yang dibebani Pajak Hotel yaitu orang pribadi atau badan yang melakukan
pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel. Tarif Pajak Hotel yang
ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen) yang penetapannya dengan Peraturan Daerah dan
Dasar Pengenaan Pajaknya yaitu jumlah pembayaran yang seharusnya dibayar kepada Hotel.

PAJAK RESTORAN

Pajak Restoran tersebut dikenakan atas pelayanan yang disediakan restoran, tetapi tidak termasuk
pelayanan yang disediakan restoran yang nilai jualnya tidak melebihi batas tertentu yang
ditetapkan Peraturan Daerah Besarnya tarif pajak restoran paling tinggi 10% (sepuluh persen),
sehingga Pajak restoran yang dibebankan kepada orang pribadi atau badan yang membeli
makanan dan/atau minuman dari restoran yang dasar pengenaannya yaitu jumlah pembayaran
yang diterima atau seharusnya diterima restoran.

2.3 Hubungan Pajak Daerah dengan Pajak Pusat


Kebijakan pungutan pajak daerah berdasarkan Perda, diupayakan tidak berbenturan
dengan pungutan pusat (pajak maupun bea dan cukai), karena hal tersebut akan
menimbulkan duplikasi pungutan yang pada akhirnya akan mendistorsi kegiatan
perekonomian. Hal tersebut sebetulnya sudah diantisipasi dalam UU No.18 Tahun 1997
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana diubah dengan UU No.34 Tahun
2000, dimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (4) yang antara lain menyatakan bahwa objek
pajak daerah bukan merupakan objek pajak pusat. Sementara itu, apabila kita perhatikan
sistem perpajakan yang dianut oleh banyak negara di dunia, maka prinsip-prinsip umum
perpajakan daerah yang baik pada umumnya tetap sama, yaitu harus memenuhi kriteria
umum tentang perpajakan daerah sebagai berikut:
• prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat mudah naik turun
mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat.
• adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat dan
horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok masyarakat sehingga tidak
ada yang kebal pajak.
• administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, pelayanan memuaskan bagi
si wajib pajak.
• secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran
pribadi untuk membayar pajak.
• Non-distorsi terhadap perekonomian : implikasi pajak atau pungutan yang hanya
menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian.
Pada dasarnya setiap pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik bagi
konsumen maupun produsen. Jangan sampai suatu pajak atau pungutan menimbulkan beban
tambahan (extra burden) yang berlebihan, sehingga akan merugikan masyarakat secara
menyeluruh (dead-weight loss). Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, maka
perpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri dimaksud, khususnya
yang terjadi di banyak negara sedang berkembang, adalah sebagai berikut:
• pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara penerimaan
pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.
• relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar, kadang-kadang
meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara tajam.
• tax basenya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit) dan
kemampuan untuk membayar (ability to pay).
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka pemberian kewenangan untuk
mengadakan pemungutan pajak selain mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang
berlaku secara umum, seyogyanya, juga harus mempertimbangkan ketepatan suatu pajak
sebagai pajak daerah. Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung
pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi. Untuk itu,
Pemerintah Daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap ”menempatkan” sesuai
dengan fungsinya.

Anda mungkin juga menyukai