Arqowi Pribadi1
1
Program Studi Teknik Lingkungan, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Jl. Jend. A. Yani 117 Surabaya
Email: arqowi.pribadi@uinsby.ac.id
ABSTRAK
Limbah adalah bahan sisa yang dihasilkan dari suatu proses produksi, baik skala rumah tangga,
industri maupun pertambangan. Kertas memiliki kandungan kimia dan alami yang bagus sehingga
limbah kertas bisa didaur ulang menjadi berbagai macam bentuk. Kertas koran bekas diolah dahulu
menjadi bubur kertas agar pengadukan campurannya lebih mudah. Papercrete adalah suatu material
bangunan terbuat dari campuran kertas yang didaur ulang, semen portland, pasir dan air. Pengujian
absorpsi dan permeabilitas pada papercrete menggunakan metode eksperimental di laboratorium
setelah benda uji berumur 28 hari. Variasi campuran menggunakan perbandingan berat semen, kertas,
pasir (SKP) 1:1:1; SKP 1:2:1; SKP 1:3:1; SKP 1:1:2; SKP 1:2:2; SKP 1:3:2 dengan perbandingan
faktor air semen (FAS) adalah 1. Benda uji berbentuk silinder berdiameter 7,5cm dan tinggi 27,5cm
sebanyak 18 buah untuk uji absorpsi dan 18 buah untuk uji permeabilitas dengan tiga buah benda uji
tiap variasi campurannya. Hasil pengujian absorpsi menunjukkan benda uji SKP 112 memiliki nilai
absorpsi terkecil yaitu 35,64%, sedangkan benda uji SKP 131 memiliki nilai absorpsi terbesar yaitu
85,73% dengan lama perendaman 10,5 menit. Pada pengujian permeabilitas benda uji SKP 111
memiliki nilai koefisien permeabilitas terkecil yaitu 2,13505x10-7m/dt, sedangkan benda uji SKP 132
memiliki nilai koefisien permeabilitas terbesar yaitu 5,17191x10-6m/dt selama 1 menit. Kondisi ini
menunjukkan bahwa nilai absorpsi dan nilai koefisien permeabilitas pada papercrete akan semakin
besar bersamaan dengan penambahan prosentase bubur kertas ke dalam campuran. Pemanfaatan
limbah kertas koran untuk pembuatan papercrete ini diharapkan mampu mengurangi permasalahan
sampah kertas dan memberi keuntungan perawatan kondisi lingkungan dan sumber daya alam melalui
produk material papercrete yang ramah lingkungan pada elemen struktur ringan dan non struktur
seperti pembuatan dinding partisi, pengganti paving block dan rabat beton lantai.
Kata kunci: pemanfaatan limbah, kertas koran, absorpsi, permeabilitas, papercrete dan aplikasinya
1. PENDAHULUAN
Jenis limbah dapat berupa padat, cair, gas dan debu. Salah satu jenis limbah padat yang sering banyak dijumpai dalam
masyarakat saat ini adalah kertas koran. Tingkat konsumsi kertas di Indonesia dan seluruh dunia mengalami
peningkatan yang drastis. Konsumsi kertas pada tahun 2003 mencapai 5,31 juta ton, untuk tahun 2004 kebutuhan
konsumsi kertas menjadi 5,40 juta ton, untuk tahun 2005 kebutuhan konsumsi kertas meningkat lagi menjadi 5,61 juta
ton dan pada tahun 2009 konsumsi kertas dapat mencapai 6,45 juta ton (Pusgrafin, 2009). Dalam lingkup secara
nasional (dengan asumsi jumlah penduduk 180 juta jiwa, laju produksi sampah 2 liter/orang/hari dan komposisi
6,17%) jumlah timbunan sampah kertas di Indonesia bisa mencapai 1.599.000 ton/tahun. Total kebutuhan kertas
koran untuk para penerbit pers di dalam negeri saja pada tahun 2015 diperkirakan rata-rata mencapai 17 ribu ton per
bulan dan dalam waktu setahun bisa mencapai 204 ribu ton. Sementara itu, sejalan dengan meningkatnya jumlah dan
aktivitas penduduk, jumlah timbunan sampah kertas juga akan terus meningkat bersamaan dengan meningkatnya
jumlah sampah pada jenis lainnya.
Penanganan sampah khususnya kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya masih
menggunakan paradigma 3P yaitu Pengumpulan, Pengangkutan dan Pembuangan. Sampah dikumpulkan di dalam
suatu wadah dan diangkut ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS) serta selanjutnya dibawa ke Tempat Pembuangan
Akhir Sampah (TPA) hanya sekedar untuk dibuang saja. Dalam paradigma tersebut sampah masih belum dilihat
sebagai sumber daya sehingga diperlukan cara pandang baru untuk melihat sampah sebagai sumber daya yang dapat
dimanfaatkan secara optimal dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari khususnya bidang material bangunan.
Paradigma ini telah terkonsep dalam 3R yaitu mengurangi jumlah sampah (reduce), memanfaatkan kembali sampah
(reuse) dan mendaur ulang kembali sampah (recycle). Salah satu jenis sampah yang belum dapat terkelola secara baik
adalah jenis sampah kertas. Sampah kertas sebagai salah satu bahan baku industri daur ulang pada saat ini masih
belum termanfaatkan secara maksimal sehingga hanya sekitar 70% saja yang bisa dimanfaatkan kembali ataupun
didaur ulang, sedangkan jumlah timbunan sampah kertas dapat mencapai sekitar 10% dari jumlah keseluruhan limbah
sampah.
Sampah kertas memang merupakan sumber daya yang belum dimanfaatkan secara optimal, padahal jumlah dan
potensinya cukup besar. Konsekuensi peningkatan konsumsi kertas akan membawa dampak tingginya limbah kertas
yang dihasilkan. Besarnya jumlah limbah kertas yang ada memberikan peluang terhadap upaya pemanfaatan limbah
kertas tersebut. Pemanfaatan sampah kertas baik itu untuk digunakan kembali (reuse) maupun didaur ulang (recycle)
mutlak dilakukan supaya jumlah sampah kertas bisa dikurangi dan sumber daya alam pepohonan (bahan baku dalam
pembuatan kertas) dapat terselamatkan secara baik dan tepat. Dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan limbah
kertas diperlukan sekali suatu sistem pengelolaan yang baik dengan melibatkan berbagai pihak seperti kalangan
masyarakat, industri maupun pemerintah. Permasalahan limbah kertas tidak lepas dari permasalahan sampah secara
keseluruhan sehingga strategi pengelolaannya juga terkait dengan pengelolaan sampah kota secara keseluruhan.
Dengan adanya dukungan sistem yang baik serta keterlibatan berbagai pihak, maka sampah kertas dan sampah kota
lainnya dapat segera tertanggulangi secara tuntas dan juga menyeluruh.
Dari beberapa pertimbangan diatas, usaha mendaur ulang limbah kertas merupakan salah satu tindakan nyata yang
harus dilakukan untuk mengurangi dampak buruk terhadap alam lingkungan. Keberadaan kertas koran memang
sangat berlimpah dan tekstur yang dimiliki selalu memunculkan suatu ide tidak hanya berfungsi secara estetika,
namun juga secara teknis yaitu bangunan akan menjadi lebih ringan, ekonomis dan nyaman. Salah satu jenis
campuran yang biasanya menggunakan bahan dasar dari kertas sering dikenal dengan nama papercrete. Penggunaan
bahan pencampur dari kertas ini untuk memperoleh beton ringan yang memenuhi persyaratan baik secara ekonomis
maupun non-struktural. Pertimbangan secara ekonomis didasarkan atas biaya produksi untuk menghasilkan agregat
ringan dan pengerjaan struktur betonnya sendiri. Secara non-struktural papercrete biasa digunakan sebagai bahan
pengganti bata pada dinding, bahan pada lantai dan bermacam-macam ornamen lainnya. Penggunaan beton ringan
pada proyek konstruksi sipil memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah beratnya lebih ringan dibandingkan
dengan material lain. Hal ini bisa dilihat pada penggunaan beton ringan untuk dinding partisi yang akan mengurangi
beban konstruksi dibanding jika menggunakan dinding bata. Dalam hal ini, tentunya papercrete memiliki kelebihan
atau keistimewaan dan juga kekurangan.
2. METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian adalah langkah-langkah atau metode yang dilakukan dalam penelitian suatu masalah, kasus,
gejala, fenomena atau lainnya dengan jalan ilmiah untuk menghasilkan suatu jawaban yang rasional. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini ialah metode eksperimental yaitu metode yang dilakukan dengan mengadakan suatu
percobaan secara langsung di laboratorium untuk mendapatkan data (hasil) dan menghubungkannya dengan variabel
yang diselidiki. Dalam penelitian ini terdapat beberapa variabel yaitu variabel bebas dan variabel tak bebas. Variabel
bebas dalam penelitian adalah papercrete pada variasi campuran, sedangkan variabel tak bebas adalah absorpsi dan
permeabilitas pada papercrete.
Pelapisan adukan campuran dengan semen akan memperkuat jaringannya, sedangkan penggunaan kaolinite akan
membuat material lebih halus dan menimbulkan efek semi glossy. Bahan ini juga diuji dengan dipendam dalam tanah
dan hasilnya bahwa material ini tahan terhadap bakteri dan tetap utuh. Perlakuan dan campuran apapun yang akan
digunakan perlu diperhatikan adalah bagaimana papercrete ini menjebak udara di dalamnya. Ketika air sudah
menguap dengan sempurna, maka akan terbentuk ribuan rongga-rongga kecil berisi udara. Inilah yang menyebabkan
papercrete sangat ringan dan sebagai insulator terbaik. Papercrete juga memiliki respons yang jauh lebih lembut,
lebih tinggi redaman dan penyerapan energinya daripada material lainnya (beton, baja, kayu). Penambahan pasir dan
material lainnya hanya berakibat menjadi lebih berat walaupun tetap memiliki efek insulator yang baik sehingga
material tambahan lain yang akan digunakan dapat disesuaikan dengan kebutuhannya.
Tabel 2. Jumlah dan kode benda uji untuk pengujian absorpsi pada papercrete
Perbandingan campuran Umur
No. Kode benda uji Jumlah
Semen : Kertas : Pasir (hari)
1. SKP-A 111 1:1:1 3
2. SKP-A 121 1:2:1 3
3. SKP-A 131 1:3:1 3
28
4. SKP-A 112 1:1:2 3
5. SKP-A 122 1:2:2 3
6. SKP-A 132 1:3:2 3
Jumlah benda uji untuk pengujian absorpsi 18
(Sumber: Pribadi, 2010)
Tabel 3. Jumlah dan kode benda uji untuk pengujian permeabilitas pada papercrete
Perbandingan campuran Umur
No. Kode benda uji Jumlah
Semen : Kertas : Pasir (hari)
1. SKP-A 111 1:1:1 3
2. SKP-A 121 1:2:1 3
3. SKP-A 131 1:3:1 3
28
4. SKP-A 112 1:1:2 3
5. SKP-A 122 1:2:2 3
6. SKP-A 132 1:3:2 3
Jumlah benda uji untuk pengujian permeabilitas 18
(Sumber: Pribadi, 2010)
7,5cm
27,5cm
Gambar 3. Benda uji untuk pengujian absorpsi dan permeabilitas pada papercrete
terakhir adalah membuka cetakan secara pelan-pelan agar benda uji papercrete tidak rusak dan kemudian melakukan
perawatan dengan cara mengangin-anginkan benda uji papercrete dalam suhu ruangan sampai berumur kira-kira 28
hari (batas waktu pengujian).
Tabel 4. Tekanan air dan waktu penekanan pada pengujian permeabilitas papercrete
No. Tekanan air Waktu
(kg/cm2) (jam)
1. 1 48
2. 3 24
3. 7 24
(Sumber: Suwandojo siddiq, makalah seminar ITB, 1987)
W Wk
R = x 100% (1)
Wk
dengan R = nilai absorpsi (serapan air) pada papercrete, W = berat papercrete dalam kondisi SSD dan Wk = berat
papercrete dalam keadaan kering oven.
Permeabilitas adalah sifat dapat dilewati/dimasuki zat atau gas. Jadi permeabilitas beton adalah kemudahan cairan
atau gas untuk melewati beton. Beton yang baik adalah beton yang relatif tidak bisa dilewati air/gas atau mempunyai
permeabilitas yang rendah dan beton juga mempunyai sifat tidak bisa kedap air secara sempurna. Baik dalam ASTM
maupun BS tidak ada yang mendeskripsikan secara rinci tentang pengujian permeabilitas beton, namun berdasarkan
A. M. Neville dan J. J. Brooks (1987) pengujian permeabilitas beton dapat diukur dari percobaan sampel beton yang
di-sealed dan diberi air yang bertekanan pada sisi atas saja dan meliputi aspek banyaknya air yang mengalir lewat
pada ketebalan beton pada waktu tertentu (seperti disyaratkan pada SK SNI S-36-1990-03 ayat 2.2.1). Permeabilitas
beton biasanya dinyatakan sebagai nilai koefisien permeabilitas yang dievaluasikan dalam persamaan NISS (2001) :
A' l ho
k = ln (2)
At hi
dengan k = nilai koefisien permeabilitas papercrete, A’ = luas penampang pipa, l = kedalaman penetrasi air, A = luas
penampang sebaran sampel benda uji, t = waktu yang diperlukan, ho = tinggi air mula-mula sampel benda uji dan hi =
tinggi air akhir sampel benda uji.
120
Nilai Absorpsi Tiap Variasi
100
SKP-A 111
Campuran (%)
80 SKP-A 121
SKP-A 131
60
SKP-A 112
40 SKP-A 122
SKP-A 132
20
0
0.18 0.5 1 24 48 72
Waktu Perendaman (jam)
Gambar 4. Perbandingan nilai absorpsi pada papercrete tiap variasi campuran dengan waktu perendaman
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa besarnya nilai absorpsi pada papercrete mulai dari variasi campuran 111, 121,
131, 112, 122 dan 132 selama perendaman 10,5 menit berturut-turut adalah 44,28 %; 60,74 %; 85,73 %; 35,64 %;
49,57 % dan 62,23 %. Pada benda uji papercrete SKP-A 112 (campuran 1 semen : 1 kertas : 2 pasir) adalah benda uji
papercrete yang memiliki nilai absorpsi (serapan air) terkecil, sedangkan benda uji papercrete SKP-A 131 (campuran
1 semen : 3 kertas : 1 pasir) memiliki nilai absorpsi (serapan air) terbesar. Nilai absorpsi pada papercrete sangat
dipengaruhi sekali oleh besarnya prosentase penambahan bubur kertas pada tiap-tiap variasi campuran. Pada
campuran dengan prosentase bubur kertas paling banyak memiliki nilai absorpsi (serapan air) yang paling tinggi atau
bisa dikatakan bahwa semakin banyak prosentase penambahan bubur kertas pada campuran, maka akan semakin
besar pula nilai absorpsi pada beton kertas. Kondisi ini disebabkan oleh banyaknya pori-pori yang terjadi pada
papercrete sehingga membuat bahan kertas lebih leluasa dalam menyerap air.
Pada adukan campuran dengan prosentase penambahan bubur kertas yang sama seperti kondisi diatas, namun ada
penambahan agregat halus (pasir) pada setiap variasi campuran diperoleh hasil yang lebih baik. Hal ini disebabkan
oleh pasir akan menutupi pori-pori yang terjadi pada papercrete sehingga bahan kertas lebih sulit untuk menyerap air
dan kondisi ini akan berimbas dengan menurunnya nilai serapan air pada papercrete. Hal ini juga berarti bahwa
kualitas papercrete akan meningkat dan semakin baik untuk digunakan bila dilihat dari parameter nilai absorpsinya.
Nilai absorpsi (serapan air) papercrete pada masing-masing variasi campuran akan semakin besar seiring dengan
bertambahnya waktu perendaman dan kondisi ini akan terus terjadi sampai papercrete dalam keadaan jenuh air. Hal
ini sudah terlihat jelas mulai dari perendaman 48 jam ke perendaman 72 jam sudah sangat kecil nilai prosentase
penambahan serapan airnya. Hal ini sudah dapat disimpulkan bahwa papercrete dalam waktu 1 hari telah mencapai
kondisi jenuh air.
0.000006
Nilai Koefisien Permeabilitas
0.000005
0.000004
(m/dt)
0.000003
0.000002
0.000001
0
Variasi Campuran
S KP-P 111 S KP-P 121 S KP-P 131
S KP-P 112 S KP-P 122 S KP-P 132
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa besarnya nilai koefisien permeabilitas pada papercrete mulai dari variasi
campuran 111, 121, 131, 112, 122 dan 132 selama 1 menit berturut-turut adalah 2,13505 x 10-7 m/dt; 1,21904 x 10-6
m/dt; 2,29956 x 10-6 m/dt; 1,18858 x 10-6 m/dt; 3,30194 x 10-6 m/dt; 5,17191 x 10-6 m/dt. Pada benda uji papercrete
SKP-A 111 (campuran 1 semen : 1 kertas : 1 pasir) adalah benda uji papercrete yang memiliki nilai koefisien
permeabilitas terkecil, sedangkan benda uji papercrete SKP-A 132 (campuran 1 semen : 3 kertas : 2 pasir) memiliki
nilai koefisien permeabilitas terbesar. Nilai koefisien permeabilitas pada papercrete dipengaruhi oleh besarnya
prosentase penambahan bubur kertas pada masing-masing variasi campuran. Pada campuran dengan prosentase bubur
kertas paling banyak memiliki nilai koefisien permeabilitas terbesar sehingga bisa dikatakan bahwa semakin banyak
prosentase penambahan bubur kertas pada adukan campuran, maka akan semakin besar pula nilai koefisien
permeabilitas pada papercrete. Kondisi ini juga berarti kualitas papercrete akan menurun dan memiliki kekedapan
yang sangat kecil serta bersifat permeabel.
Pada adukan campuran dengan prosentase penambahan bubur kertas yang sama seperti kondisi diatas, namun ada
penambahan agregat halus (pasir) pada setiap variasi campurannya diperoleh hasil yang buruk. Adanya penambahan
pasir pada campuran masih belum bisa menurunkan nilai koefisien permeabilitasnya. Bahkan hasil yang didapatkan
malah lebih besar dibandingkan dengan tanpa menambahkan variasi pasirnya. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh
penambahan pasir ke dalam adukan campuran kurang dapat menyatu secara homogen dengan pasta semen sehingga
terbentuk rongga-rongga udara yang semakin besar dan mengakibatkan kepadatannya semakin berkurang. Kondisi ini
berarti kualitas papercrete akan menurun dan bersifat porous serta mudah dilalui oleh air (permeabel).
100
90
80 1440 menit
Nilai Absorpsi (%)
Gambar 6. Hubungan antara nilai absorpsi dengan koefisien permeabilitas selama 10,5 menit dan 1440 menit
Aplikasi penggunaan papercrete pada elemen struktur ringan dan non struktur ramah lingkungan
4. KESIMPULAN
Berdasarkan pada hasil pengujian dan pembahasan yang telah dilakukan terhadap material kertas koran, maka
pemanfaatan limbah kertas koran sebagai alternatif untuk pembuatan adukan campuran papercrete dapat ditarik
beberapa kesimpulan, antara lain :
1. Limbah kertas koran dapat dijadikan sebagai salah satu material alternatif untuk pembuatan adukan campuran
papercrete dan sekaligus mampu mengurangi segala permasalahan sampah kertas khususnya di kota-kota besar
Indonesia.
2. Survey lapangan juga menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah kertas koran memiliki nilai ekonomis yang
cukup tinggi dan beratnya sangat ringan jika dibandingkan dengan adukan campuran material lain seperti serat,
kerikil, kayu dan bambu.
3. Sifat material kertas yang sangat cepat menyerap air dalam proses hidrasi semen menyebabkan papercrete
memiliki kekedapan yang sangat kecil, bersifat porous dan mudah dilalui oleh air (permeabel) sehingga material
kertas kurang cocok dan tepat apabila akan digunakan sebagai material yang disyaratkan dalam pembuatan
beton kedap air.
4. Nilai absorpsi dan nilai permeabilitas pada papercrete akan mengalami kenaikan seiring dengan prosentase
penambahan bubur kertas ke dalam masing-masing variasi campurannya. Kondisi ini disebabkan oleh material
kertas yang ada di dalam adukan campuran papercrete hanya berfungsi sebagai filler atau pengisi saja tanpa
memberikan daya dukung yang baik terhadap sifat absorpsi dan permeabilitasnya.
5. Hasil penelitian merekomendasikan bahwa variasi campuran yang paling baik untuk menghasilkan adukan
campuran papercrete berkinerja terbaik jika dilihat dari parameter nilai absorpsi dan permeabilitasnya adalah
adukan campuran dengan menggunakan perbandingan prosentase penambahan bubur kertas sangat kecil dalam
tiap variasi campurannya.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, G. Satyarno, I. dan Tjokrodimuljo, K. (2008). Kajian Pemanfaatan Limbah Kertas Koran Untuk Pembuatan
Panel Papercrete. Tugas Akhir, Program Studi S1 Teknik Sipil Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas
Teknik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Tersedia di :
http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/cef/article/view/17405.pdf.
Ditjen Cipta Karya. (1999). Kajian Teknis Pengelolaan Sampah Kertas Kawasan Perkotaan. Departemen Pekerjaan
Umum, Jakarta.
Gloria, P. and Indrani, H. C. (2014). “Potensi Kertas Koran dan Gabus sebagai Alternatif Material Akustik”. Jurnal
INTRA, Vol. 2, No. 2, 146-153.
Pribadi, A. (2010). Tinjauan Absorpsi Dan Permeabilitas Beton Kertas Pada Variasi Campuran. Tugas Akhir,
Program Studi S1 Teknik Sipil Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Sari, TI. Maryadi dan Haviz, M. (2012). Pembuatan Bioetanol Dari Koran Bekas Dengan Hidrolisis Asam Encer
(Studi Pengaruh Konsentrasi, Waktu Dan Temperatur Hidrolisis). Prosiding SNTK TOPI 2012, ISSN. 1907-
0500. Pekanbaru.
Wahyono, S. (2014). “Pengelolaan Sampah Kertas Di Indonesia”. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol. 2, No. 3, 276-
280.
Yusrianti
Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Jl. Jend. A. Yani 117 Surabaya
Email: yusrianti_sabang@uinsby.ac.id
ABSTRAK
Surabaya merupakan kota kedua terbesar di Indonesia. Permasalahan transportasi di kota ini hampir
sama dengan di DKI Jakarta, Bandung dan Medan. Kota Surabaya, sebagai sebuah kota
metropolitan, mempunyai volume lalu lintas yang sangat tinggi. Volume lalu lintas yang tinggi akan
menimbulkan konsekuensi terhadap peningkatan polusi udara akibat gas buang dari kendaraan
bermotor (Abubakar, 2006). Sejalan dengan itu pertumbuhan pada sektor transportasi, yang
diproyeksikan sekitar 6% sampai 8% per tahun, pada kenyataannya tahun 1999 pertumbuhan jumlah
kendaraan di kota besar hampir mencapai 15% per tahun. Dengan menggunakan proyeksi 6-8%
maka penggunaan bahan bakar di Indonesia diperkirakan sebesar 2,1 kali konsumsi tahun 1990 pada
tahun 1998, sebesar 4,6 kali pada tahun 2008 dan 9,0 kali pada tahun 2018 (World Bank, 1993 cit
KLH, 1997).Berbagai studi yang dilaksanakan menunjukkan bahwa transportasi merupakan sumber
utama pencemaran udara. Pencemaran udara dan sektor transportasi rata – rata berkisar 70% dari
total pencemaran udara. Di dalam laporan WHO (1992) dinyatakan paling tidak 90% dari CO di
udara perkotaan berasal dari emisi kendaraan bermotor. Menggunakan bahan bakar alternatif
merupakan salah satu bentuk upaya perbaikan kualitas udara di Kota Surabaya.Bahan bakar
alternatif, selain BBM, yang dapat digunakan diantaranya : CNG (compressed natural gas), LPG
(Liquid Petroleum Gas) dan bensin super TT sudah mulai digunakan di Indonesia walaupun masih
dalam skala terbatas. Untuk masyarakat yang mempunyai kendaraan bermotor agar memeriksakan
kendaraannya jangan sampai kadar emisi gas buang melebihi ambang batas, terutama dengan
pemeliharaan kendaraan yang baik dan benar.
Kata kunci: pencemaran udara, kendaraan bermotor, transportasi, emisi
1. PENDAHULUAN
Surabaya merupakan kota kedua terbesar di Indonesia. Permasalahan transportasi di kota ini hampir sama dengan di
DKI Jakarta, Bandung dan Medan. Kota Surabaya, sebagai sebuah kota metropolitan, mempunyai volume lalu lintas
yang sangat tinggi. Volume lalu lintas yang tinggi akan menimbulkan konsekuensi terhadap peningkatan polusi
udara akibat gas buang dari kendaraan bermotor (Abubakar, 2006). Apalagi sebagian besar kendaraan bermotor
yang beroperasi di Kota Surabaya masih menggunakan bahan bakar minyak (BBM) berupa Premix, Premium atau
Solar.Penggunaan BBM menjadi penyumbang besar terhadap polusi udara karena di dalam bahan bakar tersebut
terkandung bahan – bahan yang membahayakan terhadap kesehatan manusia dan merusak lingkungan. Bahan –
bahan yang terkandung dalam BBM diantaranya: CO, HC, NOx, SOx, timbal dalam bentuk senyawa TEL (Tetra
Ethil Lead) dan sejenisnya (Abubakar, 2006).
Kendaraan bermotor akan menyebabkan pencemaran udara. Semakin meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di
daerah perkotaan akan mengakibatkan penurunan kualitas udara bersih akibat emisi dari hasil pembakaran bahan
bakar kendaraan tersebut. Asap dari kendaraan bermotor akan mengeluarkan gas – gas yang beracun. Data Badan
Pusat Statistik (BPS) tahun 2004, di beberapa propinsi terutama di kota-kota besar seperti Medan, Surabaya dan
Jakarta, emisi kendaraan bermotor merupakan kontribusi terbesar terhadap konsentrasi NO 2 dan CO di udara yang
jumlahnya lebih dari 50% (Simanjuntak, 2007).
Di dalam udara terkandung gas yang terdiri dari 78% nitrogen, 20% oksigen, 0,93% argon, 0,03% karbon dioksida,
dan sisanya terdiri dari neon, helium, metan dan hidrogen. Komposisi tersebut dikatakan sebagai udara normal dan
dapat mendukung kehidupan manusia. Namun, akibat aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan, udara sering
kali menurun kualitasnya. Perubahan ini dapat berupa sifat-sifat fisis maupun kimiawi. Perubahan kimiawi dapat
berupa pengurangan maupun penambahan salah satu komponen kimia yang terkandung dalam udara. Kondisi seperti
itu lazimdisebut dengan pencemaran (polusi) udara Permasalahan polusi udara akibat emisi kendaraan bermotor
sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan terutama di kota-kota besar, salah satunya adalah di kota Surabaya
(Wardhana, 1995).
Pencemaran udara adalah masuknya atau tercampurnya unsur-unsur berbahaya ke dalam atmosfir yang dapat
mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan sehingga menurunkan kualitas lingkungan. Dengan demikian akan
terjadi gangguan pada kesehatan manusia. Terdapat dua jenis sumber pencemaran udara, yang pertama adalah
pencemaran akibat sumber alamiah (natural sources) seperti letusan gunung berapi dan yang kedua berasal dari
kegiatan manusia (anthropogenic sources) seperti yang berasal dari transportasi, emisi pabrik, dan lain-lain.
Pencemaran udara dapat terjadi dimana-mana, seperti di dalam rumah, sekolah, dan kantor. Pencemaran seperti ini
sering disebut dengan pencemaran dalam ruangan (indoor pollution). Sedangkan pencemaran di luar ruangan
(outdoor pollution) berasal dari emisi kendaraan bermotor, industri, perkapalan, dan proses alami oleh makhluk
hidup. Sumber pencemar udara dapat diklasifikasikan menjadi sumber diam dan sumber bergerak. Sumber diam
terdiri dari pembangkit listrik, industri dan rumah tangga. Sedangkan sumber bergerak adalah aktifitas lalu lintas
kendaraan bermotor di darat dan tranportasi laut (Simanjuntak, 2007).
Dengan kemajuan ekonomi yang sangat pesat mendorong semakin bertambahnya kebutuhan akan transportasi, di
lain sisi lingkungan alam yang mendukung hajat hidup manusia semakin terancam kualitasnya, sehingga efek
negatif polusi udara terhadap kehidupan manusia semakin hari semakin bertambah. Tingkat pencemaran udara di
Surabaya sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan dan sektor transportasi merupakan kontributor utama bagi
pencemaran udara ini.
Menurut data Kasatlantas Polrestabes Surabaya pada tahun 2014, setiap bulan pertambahan kendaraan di Surabaya
selalu di atas 17 ribu. Rata-rata, setiap bulan sepeda motor di Surabaya bertambah 13.441. Sementara itu, kendaraan
roda empat atau lebih tiap bulan rata-rata bertambah 4.042. Jika ditotal, setiap bulan rata-rata kendaraan di Surabaya
bertambah 17.483. Data kepolisian menyebutkan, saat ini jumlah kendaraan di Surabaya mencapai angka 4,5 juta (
4.521.629). Jumlah kendaraan roda dua di Surabaya mencapai 3.625.999, sisanya merupakan kendaraan roda empat
atau lebih. Total keseluruhan ada 915.630 kendaraan (http://www.jawapos.com/baca/artikel/9796/kendaraan-di-
surabaya-tambah-17-ribu-lebih-sebulan). Dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor akan menyebabkan
penurunan kualitas udara akibat emisi polutan dari hasil pembakaran bahan bakar sehingga beberapa penelitian telah
membahas pencemaran udara akibat emisi polutan pada kendaraan bermotor.
2. STUDI LITERATUR
Menurut Simanjuntak (2007), pencemaran udara dapat disebabkan oleh sumber bergerak dan sumber tidak bergerak
yang meliputi sektor transportasi, industri, dan domestik. Pencemaran udara merupakan salah satu permasalahan
lingkungan yang serius di Indonesia saat ini, sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dan
peningkatan ekonomi transportasi.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara :
1. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara
ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang
Menurut Anna, dkk (2011) emisi kendaraan bermotor di jalan disebabkan oleh tiga faktor yaitu volume total
kendaraan bermotor, karakteristik kendaraan bermotor dan kondisi umum lalu lintas saat itu. Menurut Soedomo,dkk
(1990) transportasi darat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap setengah dari total emisi SPM10, untuk
sebagian besar timbal, CO, HC dan NOx di daerah perkotaan, dengan konsentrasi utama terdapat di daerah lalu
lintas yang padat, dimana tingkat pencemaran udara sudah dan/atau hampir melampaui standar kualitas udara
ambient. Sejalan dengan itu pertumbuhan pada sektor transportasi, yang diproyeksikan sekitar 6% sampai 8% per
tahun, pada kenyataannya tahun 1999 pertumbuhan jumlah kendaraan di kota besar hampir mencapai 15% per
tahun. Dengan menggunakan proyeksi 6-8%, maka penggunaan bahan bakar di Indonesia diperkirakan sebesar 2,1
kali konsumsi tahun 1990 dan pada tahun 1998; sebesar 4,6 kali pada tahun 2008 dan 9,0 kali pada tahun 2018
(World Bank, 1993 cit KLH, 1997). Pada tahun 2020 setengah dari jumlah penduduk Indonesia akan menghadapi
permasalahan pencemaran udara perkotaan yang didominasi oleh emisi dari kendaraan bermotor.
Ismiyati, dkk (2014) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor penting yang menyebabkan dominannya pengaruh
sektor transportasi terhadap pencemaran udara perkotaan di Indonesia, antara lain :
a. Perkembangan jumlah kendaraan yang cepat (eksponensial);
b. Tidak seimbangnya antara prasarana transportasi dengan jumlah kendaraan yang ada;
c. Pola lalu lintas perkotaan berorientasi memusat akibat terpusatnya kegiatan perekonomian dan perkantoran;
d. Masalah turunan akibat pelaksanaan kebijakan pengembangan kota yang ada, misalnya daerah pemukiman
penduduk yang semakin menjauhi pusat kota;
e. Kesamaan waktu aliran lalu lintas;
f. Jenis, umur dan karakteristik kendaraan bermotor;
g. Faktor perawatan kendaraan;
h. Jenis bahan bakar yang digunakan;
i. Jenis permukaan jalan;
j. Siklus dan pola mengemudi (driving pattern).
Menurut Yanismai bahwa kendaraan baru umumnya pembakaran dalam mesinnya bagus sehingga kadar CO yang
dikeluarkan sedikit. Mobil atau kendaraan tua banyak mengeluarkan gas CO karena proses pembakaran dalam
mesin jelek. Pembakaran yang tidak sempurna dari proses pembakaran bahan bakar akan menimbulkan gas CO yang
tinggi dan hal ini sering terjadi pada proses pembakaran dari kendaraan bermotor terutama kendaraan yang kurang
pemeliharaannya. Selain itu karburator atau injector, saringan udara atau bensin yang kotor, serta kualitas bensin
yang rendah juga bisa jadi penyebab meningkatnya CO.
Menurut Suksmeri (2003) menyatakan bahwa banyak faktor lain yang menyebabkan tinggi rendahnya konsentrasi
CO diudara, misalnya kecepatan angin dapat mendistribusikan polutan ke lokasi lain, faktor kelembaban udara yang
mampu mengikat polutan sehingga konsentrasinya relatif tinggi dan juga dari tanaman itu sendiri karena setiap jenis
tanaman memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menyerap polutan. Dilihat dari jenis bahan bakar yang
digunakan oleh kendaraan, besarnya kontribusi emisi gas buang dapat ditunjukkan pada tabel 4 dibawah ini.
Kendaraan bermotor yang menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) mengandung timah hitam (leaded) berperan
sebagai penyumbang polusi cukup besar terhadap kualitas udara dan kesehatan. Kondisi tersebut semakin diperparah
lagi oleh terjadinya krisis ekonomi yang melanda negara kita sejak tahun 1997, dimana kondisi kendaraan bermotor
dan angkutan sangat buruk akibat mahalnya beberapa suku cadang dan perawatan yang kurang baik sehingga proses
pembakaran menjadi kurang sempurna.
Menurut Widyawati (2011) solusi untuk pengendalian pencemaran polusi udara di Kota Surabaya, antara lain :
a. Dengan Hukum Kesehatan Lingkungan pencemaran udara bisa dikendalikan dalam upaya pencegahan dan/atau
penanggulangan dampak dari pencemaran udara;
b. Pemerintah melakukan sosialisasi Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang yang mengatur lingkungan hidup
agar dapat menimbulkan kesadaran pada masyarakat terhadap pentingnya pelestarian lingkungan hidup untuk
masa kini dan juga mendatang.
Menurut Irawan (2009) yaitu dengan menggunakan pemanfaatan teknologi pengontrolan gas emisi, antara lain :
a. Modifikasi mesin;
b. Modifikasi pada saluran gas buang;
c. Modifikasi penggunaan bahan bakar atau sistem bahan bakarnya.
Menurut Machsus (2008) menyatakan bahwa dengan menggunakan bahan bakar alternatif merupakan salah satu
bentuk upaya perbaikan kualitas udara di Kota Surabaya. Bahan bakar alternatif, selain BBM yang dapat digunakan
diantaranya : CNG (Compressed Natural Gas), LPG (Liquid Petroleum Gas) dan juga bensin super TT sudah mulai
digunakan di Indonesia walaupun masih dalam skala terbatas.
Menurut Nanny (2008) menyatakan bahwa dampak-dampak pencemaran udara kendaraan bermotor dapat juga
dicegah dengan cara pemilihan rute lalu lintas yang cukup jauh dari areal berpenduduk dan mengurangi kemacetan
lalu lintas, misalnya dengan pembuatan jalan bypass tidak memasuki areal permukiman, mempertahankan integritas
komersial dan sosial jalan, tapi masih membolehkan akses ke jalan raya. Selain itu juga, dapat dilakukan mitigasi
perbaikan desain untuk meminimalkan pencemaran udara akibat kendaraan bermotor yang meliputi :
a. Pemilihan alinyemen jalan tidak melalui daerah dekat permukiman, sekolah dan perkantoran;
b. Menyediakan kapasitas jalan yang cukup memadai untuk menghindari kemacetan lalu lintas dengan proyeksi
peningkatan arus lalu lintas di masa yang akan datang;
c. Menghindari penempatan perpotongan jalan yang sibuk;
d. Memperhitungkan pengaruh arah angin dalam penentuan lokasi jalan dan bangunan pelengkapnya, seperti
penempatan pompa bensin di dekat permukiman;
e. Sebisa mungkin harus menghindari lereng curam dan belokan tajam yang akan mendorong penurunan atau
peningkatan kecepatan serta shifting;
f. Laburi jalan-jalan yang berdebu terutama di daerah-daerah padat penduduk;
g. Penanaman vegetasi yang tinggi, berdaun lebat dan juga rapat diantara jalan dan pemukiman untuk menyaring
pencemaran udara.
Selanjutnya berbagai upaya yang dapat juga dilakukan dengan cara, antara lain :
a. Mengupayakan reboisasi sebab menghasilkan oksigen yang sangat kita perlukan, sementara karbondioksida
yang dihasilkan oleh mesin-mesin kendaraan bermotor maupun industri pabrik akan diserap oleh tumbuhan
tersebut. Selain itu, tumbuh-tumbuhan yang rindang dapat mengatasi panasnya suhu yang diakibatkan oleh
pembakaran pada mesin kendaraan bermotor terutama pada saat lalu lintas macet;
b. Beberapa negara maju telah mencoba membuat sistem pengendali mesin mobil yang dapat menurunkan kadar
karbon monoksida dan nitrogen sebagai akibat dari pembakaran mesin mobil;
c. Dengan pembatasan izin bagi angkutan umum kecil dan memperbanyak kendaraan angkutan massal seperti bus
atau kereta api semakin diperbanyak. Kemudian, kontrol terhadap jumlah kendaraan pribadi juga harus sering
dilakukan seiring dengan perbaikan pada sejumlah angkutan umum.
4. KESIMPULAN
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa orang dapat kita simpulkan :
1. Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah
perkotaan.Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kondisi atmosfer yang terdiri atas senyawa-senyawa
dengan konsentrasi tinggi diatas kondisi udara ambien normal, sehingga menimbulkan dampak negatif bagi
manusia, hewan vegetasi, maupun benda lainnya.
2. Seringkali peraturan sudah dikeluarkan tetapi seiring berjalannya waktu, aturan kadang pelan-pelan terkikis
seolah dilupakan. Tindakan yang pernah dilakukan dengan melibatkan pihak berwajib, misalnya SAMSAT dan
POLANTAS. Setiap kendaraan diwajibkan menjalani uji emisi untuk persyaratan kir. Namun kenyataannya
banyak kendaraan yang tak layak jalan masih tetap beroperasi di jalan. Hal ini karena di Indonesia yang
kesadaran masyarakatnya masih rendah tentang arti pentingnya kesehatan dan keamanan berkendara masih
rendah. Kebijakan yang mengatur masalah emisi kendaraan sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun
2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan dan juga Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5
Tahun 2006 tentang Ambang Batas Emisi Kendaraan Bermotor Lama.
3. Selanjutnya, pembatasan usia kendaraan terutama bagi angkutan umum juga perlu mendapatkan pertimbangan
secara khusus, mengingat, semakin tua kendaraan, apalagi yang kurang terawat, sangat berpotensi besar
sebagai penyumbang polutan udara. Selaras dengan itu, pembangunan MRT dan Electronic Road Pricing
(ERP), juga mendesak untuk direalisasikan. Di samping itu, pengaturan lalu lintas, rambu-rambu dan tindakan
tegas terhadap pelanggaran berkendara benar-benar dapat diwujudkan, begitu juga uji emisi yang dilakukan
secara berkala, serta penanaman pohon berdaun lebar di pinggir jalan, terutama yang lalu lintasnya padat, dapat
juga mengurangi polusi udara.
4. Masalah lingkungan adalah tanggung jawab masyarakat dan pemerintah yang tentunya pemerintah sendiri
harus melaksanakan program untuk masyarakat dalam hal menangani sekaligus mengantisipasi pencemaran
udara. Dalam hal ini pemerintah harus membuat sarana untuk meminimalisir pencemaran udara tersebut
misalnya dengan pembuatan paru-paru kota berupa taman di tengah kota, penyuluhan kepada masyarakat agar
mau menanam tumbuh-tumbuhan disekitar pekarangan rumah. Selain upaya pemerintah terhadap industri yang
mengeluarkan asap yang berbahaya bagi pencemaran udara janganlah diberikan ijin untuk mendirikannya di
tengah kota atau disekitar kota. Untuk masyarakat yang mempunyai kendaraan bermotor agar memeriksakan
kendaraannya jangan sampai kadar emisi gas buang melebihi ambang batas, terutama dengan pemeliharaan
kendaraan yang baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar Iskandar, 2006. Perkiraan Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk Transportasi Darat, Badan
Litbang Perhubungan Departemen Perhubungan RI Jakarta.
Anna, dkk, 2011. Pengaruh Keberadaan Parkir dan Pedagang Kaki Lima Terhadap Biaya Kemacetan dan Polusi
Udara di Jalan Kolonel Sugiono Malang, Jurnal Rekayasa Sipil Volume 5, No.3 – 2011 ISSN 1978 – 5658.
Bovi, Naniek, ____. Tingkat Kemampuan Penyerapan Tanaman Hias Dalam Menurunkan Polutan Karbon
Monoksida, Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.4 No.1. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa
Timur.
Department of Environment & Conservation (NSW), 2005, Clean Car for NSW, ISBN 1 74137 1074.
Hickman A J. 1999. Methodology for Calculating Transport Emissions and Energy Consumption.Transport
Research Laboratory.
Kementerian Menteri Lingkungan Hidup RI, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup N0. 45 Tahun 1997 tentang
Indeks Standar Pencemar Udara.
Nanny K, G. Gunawan, 2008. Polusi Udara Akibat Aktivitas Kendaraan Bermotor di Jalan Perkotaan Pulau Jawa
dan Bali, Puslitbang Jalan dan Jembatan.
Ismiyati, Marlita D, Saidah D. 2014. Pencemaran Udara Akibat Emisi Gas Buang Kendaraan Motor. Jurnal
Manajemen Transportasi & Logistik (JM TransLog)-Vol.01 No.03.
Widyawati.B . 2011. Dampak Kepadatan Lalu Lintas Terhadap Polusi Udara Kota Surabaya. Jurnal Fakultas
Hukum Universitas Narotama Volume XX, No.20, April.
Machsus, Basuki R. 2008. Penggunaan BBG pada Kendaraan Bermotor di Kota Surabaya. Jurnal Aplikasi: Media
Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini, Volume 4, Nomor 1, Februari.
Irawan RM Bagus. 2009. Efektivitas Pemasangan Catalytic Converter Kuningan Terhadap Penurunan Emisi Gas
Carbon Monoksida pada Kendaraan Motor Bensin.Traksi. Vol. 9. No. 1, Juni, http://jurnal.unismus.ac.id.
Simanjuntak A.G. 2007. Pencemaran Udara.Buletin Limbah Vol. 11 No.1. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif.
Sudrajad, A. 2006. Pencemaran Udara, Suatu Pendahuluan. http://kamase_ugm@yahoo.co.id [3 Januari 2013].
Soedomo, dkk. 1990. Model Pendekatan dalam Analisis Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara. Studi Kasus
di Jakarta, bandung dan Surabaya, Penelitian KLH-Jurusan Teknik Lingkungan ITB Bandung.
Suskmeri, 2003. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kadar Karbonmonoksida di Beberapa Ruas Jalan di Kota
Padang. Tesis.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41, 1999. Tentang Standar Kualitas Udara Ambien. Jakarta.
Yanismai, ___. Hubungan Antara Kepadatan Lalu Lintas dengan Kualitas Udara di Kota Padang,
http://repository.unand.ac.id/412/1/yanismai_01209040.rtf.
Wardhana, A.W, 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Edisi Revisi, Penerbit Andi, Yogyakarta.
1
Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Ampel Surabaya
2
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta
3
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRAK
1. PENDAHULUAN
Begitu juga dengan kawasan pertokoan Coyudan yang merupakan kawasan strategis sebagai pusat kegiatan
perdagangan atau bisnis utama (Central Bussiness Distric) di Kota Surakarta, sehingga mengakibatkan tingginya
volume lalu lintas pada kawasan tersebut. (Wahyudi, 2002). Tingginya volume lalu lintas menyebabkan dampak
negatif seperti kebisingan lalu lintas yang pada akhirnya dapat mengganggu kegiatan jual beli, disamping itu juga
dapat mengganggu kesehatan. Kondisi lalu lintas pada kawasan pertokoan Coyudan dapat dilihat pada Gambar 1. di
bawah ini.
Dengan adanya uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, penulis menganggap perlu diadakannya penelitian
mengenai tingkat kebisingan yang disebabkan oleh arus lalu lintas yang melewati kawasan tersebut. Hasil dari
penelitian diharapkan bisa meminimalisir permasalahan tersebut, sekaligus mencari alternatif solusinya.
2. METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini dimulai dari studi pustaka, metode survey awal untuk
penentuan lokasi dan waktu penelitian, survey lanjutan untuk perolehan data, kemudian metode analisa dengan
menggunakan alat dan metode analisa pendekatan (dengan menggunakan rumus empiris). Hasil analisa kemudian di
bandingkan dengan Tabel 1. Baku Tingkat Kebisingan, apakah memenuhi baku mutu kebisingan yang ditetapkan
atau tidak.
Analisa :
a. Basic Noise Level (BNL)
L10 = 42,2 + 10 log Q dB(A)
= 42,2 + 10 log 4919 dB(A)
L10 = 79,12 dB(A)
b. Koreksi terhadap kecepatan rata-rata kendaraan berat
500 5p
C1 33 logV 40 10 log1 68,8dB( A)
V V
500 5.0,53
C1 33 log 32,99 40 10 log1 68,8dB( A)
32,99 32,99
C1 = -4,27 dB(A)
c. Koreksi terhadap gradien
C2 = 0,3 . G dB(A)
= 0,3 . 2 dB(A)
C2 = 0,6 dB(A)
d. Koreksi terhadap kondisi antara sumber bunyi dengan penerima (termasuk dalam lebih besar 50%
diperkeras atau tidak menyerap bunyi)
h d’
dengan h = ketinggian titik penerima dari muka tanah, d’ = panjang garis pandangan dari sumber bunyi ke
penerima, d = jarak sumber bunyi dengan penerima
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN
VOLUME 1, NOMOR 1
23
DYAH RATRI NURMANINGSIH
Menggunakan langkah yang sama dengan perhitungan di atas untuk mencari nilai Predicted Noise Level (PNL)
semua titik kajian penelitian dan hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. berikut ini.
Tabel 2. Analisa tingkat kebisingan kawasan pertokoan Coyudan hari Senin, 25 Januari 2010
BNL (L10) C1 C2 C3 PNL
Waktu dB(A) dB(A) dB(A) dB(A) dB(A)
(5) (6) (7) (8) (5)+(6)+(7)+(8)
11:00 – 12:00 74,74 -5,07 0,6 3,39 73,66
11:15 – 12:15 74,73 -5,07 0,6 3,39 73,65
11:30 – 12:30 74,70 -5,02 0,6 3,39 73,67
11:45 – 12:45 74,92 -4,98 0,6 3,39 73,93
12:00 – 13:00 75,10 -4,98 0,6 3,39 74,10
12:15 – 13:15 75,36 -4,95 0,6 3,39 74,40
12:30 – 13:30 75,44 -4,91 0,6 3,39 74,52
12:45 – 13:45 75,33 -4,95 0,6 3,39 74,37
13:00 – 14:00 75,05 -4,98 0,6 3,39 74,06
Rata-rata PNL 74,04
Berdasarkan baku tingkat kebisingan (Tabel 1) > 70
Kriteria tidak aman
(Sumber: hasil penelitian Nurmaningsih, 2011)
Tabel 3. Analisa tingkat kebisingan kawasan pendidikan pertokoan Coyudan hari Rabu, 27 Januari 2010
BNL (L10) C1 C2 C3 PNL
Waktu dB(A) dB(A) dB(A) dB(A) dB(A)
(5) (6) (7) (8) (5)+(6)+(7)+(8)
11:00 – 12:00 74,56 -4,90 0,6 3,39 73,65
11:15 – 12:15 74,66 -4,96 0,6 3,39 73,70
11:30 – 12:30 74,66 -5,01 0,6 3,39 73,64
11:45 – 12:45 74,97 -4,98 0,6 3,39 73,98
12:00 – 13:00 75,01 -5,02 0,6 3,39 73,98
12:15 – 13:15 75,09 -4,93 0,6 3,39 74,14
12:30 – 13:30 75,26 -4,90 0,6 3,39 74,35
12:45 – 13:45 75,00 -4,93 0,6 3,39 74,06
13:00 – 14:00 74,96 -4,93 0,6 3,39 74,02
Rata-rata PNL 73,95
Berdasarkan baku tingkat kebisingan (Tabel 1) > 70
Kriteria tidak aman
(Sumber: hasil penelitian Nurmaningsih, 2011)
Nilai kebisingan tertinggi pada ruas jalan kawasan pertokoan Coyudan terjadi pada hari Senin, 25 Januari 2010
pukul 12:30-13:30 yaitu sebesar 74,52 dB(A). Hal ini dikarenakan pada jam tersebut banyak masyarakat yang
datang ataupun pulang untuk/ setelah melakukan kegiatan ekonomi, disamping itu karena ruas jalan Secoyudan
merupakan akses jalan yang selalu padat lalu lintas. Dari gambar di atas juga dapat dilihat bahwa hasil penelitian
baik dengan menggunakan metode empiris menghasilkan nilai yang tidak terlampau jauh jika dibandingkan dengan
metode non empiris, sehingga perhitungan intensitas kebisingan rumus empiris masih bisa dipertanggungjawabkan.
4. KESIMPULAN
Besar nilai tingkat kebisingan tertinggi di kawasan pertokoan Coyudan Surakarta terjadi pada pukul 12:30-13:30.
Dari hasil penelitian dengan menggunakan metode empiris menghasilkan nilai yang tidak terlampau jauh jika
dibandingkan dengan metode non empiris, sehingga perhitungan dengan menggunakan metode empiris masih dapat
dipertanggungjawabkan.
1. Besar nilai tingkat kebisingan tertinggi akibat arus lalu lintas berdasarkan pendekatan empiris untuk kawasan
Pertokoan Coyudan Surakarta adalah 74,52 dB(A), batas besar tingkat kebisingan menurut Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Kep-48/MENLH/1996 25 November 1996 untuk kawasan perdagangan dan jasa
adalah sebesar 70 dB(A), sehingga tingkat kebisingan sudah melebihi baku mutu yang ditetapkan.
2. Besar nilai tingkat kebisingan tertinggi akibat arus lalu lintas berdasarkan data di lapangan (pengukuran
dengan menggunakan alat) untuk kawasan pertokoan Coyudan Surakarta adalah 73,37 dB(A), batas besar
tingkat kebisingan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Kep-48/MENLH/1996 25
November 1996 untuk kawasan perdagangan dan jasa adalah sebesar 70 dB(A), sehingga tingkat kebisingan
sudah melebihi baku mutu yang ditetapkan.
Pengurangan kebisingan dapat dilakukan dengan pelarangan pemakaian mobil atau motor dengan knalpot terbuka,
perbaikan kualitas sarana transportasi umum sehingga pemilihan transportasi umum akan menjadi pilihan utama
dalam melakukan aktifitas sehari-hari, mensosialisasikan budaya berjalan dan bersepeda untuk tujuan perjalanan
yang dekat. Adapun penanganan yang dilakukan dengan melihat keadaan lingkungan disekitar lokasi penelitian,
yaitu: dipertanggungjawabkan.
1. Penanaman pohon-pohon kecil di pinggir ruas jalan dengan menggunakan media pot hal ini karena pada daerah
ini sudah tertutup paving. Pohon-pohon yang dapat dimanfaatkan antara lain: palem botol, lidah mertua,
bambu-bambuan, kemuning dan lain-lainnya.
2. Penggunaan bahan penyerap suara (seperti permadani) pada dinding dan lantai.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1996, Baku Tingkat Kebisingan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nomor : Kep-
48/MENLH/II/1996/25/Nopember1996, Jakarta.
Anonim, 1997, Manual Kapasitas Jalan Indonesia, Directorat Jenderal Bina Marga.
Anonim, 1997, Perencanaan Transportasi, Universitas Guna Dharma Jakarta, Jakarta.
Anonim, 2004, Panduan Membaca Peta Rupabumi Indonesia, Pusat Pelayanan Jasa dan Informasi, Bakosurtanal,
Cibinong. Didownload : http://eksan.komite-sman2bjb.web.id/wp-content/uploads/2008/04/panduan-
membaca-peta.pdf
Astaleni, Siti Nuryanti, 2002, Studi Analisa Tingkat Kebisingan Akibat Lalulintas Serta Dampaknya Terhadap
Lingkungan, Universitas Gunadharma.
Buchari, 2007, Kebisingan Industri dan Hearing Conservation Program, Universitas Sumatera Utara, Medan. usu
repository Didownload: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1435/1/07002749.pdf
Handoko, Sungging, 2010, Kebisingan dan Pengaruhnya pada Lingkungan Hidup. EDUCARE: Jurnal Pendidikan
dan Budaya. Didownload: http://educare.e-fkipunla.net/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=56
Hidayati, N., 2007, Pengaruh Arus Lalu Lintas terhadap Kebisingan (Studi Kasus Beberapa Zona Pendidikan di
Surakarta), Staf pengajar jurusan Teknik Sipil - Universitas Muhammadiyah SurakartaJurnal Dinamika Teknik
Sipil Vol 7, Januari 2007 45:54.
Hobbs, F. D., 1995, Perencanaan dan Teknik Lalulintas I, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Ikron, Djaja, I. M., & Wulandari, R. A., 2005, Pengaruh Kebisingan Lalulintas Jalan Terhadap Gangguan
Kesehatan Psikologis Anak SDN Cipinang Muara Kecamatan Jatinegara, Kota Jakarta Timur, Propinsi DKI
Jakarta, Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Masnur, S. I., 2008, Evaluasi Peruntukan Lahan Setelah Pelebaran Jalan (Studi Kasus Kecamatan Medan
Sunggal), Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumarta Utara, Medan.
Miro, F., 2005, Perencanaan Transportasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Mulyono, S. G., 2005, Analisa Kebisingan Akibat Arus Lalulintas Di Beberapa Rumah Sakit Di Kota Surakarta,
Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Nurmaningsih, D. R., 2011, Analisis Tingkat Kebisingan Dan Emisi Gas Buang Secara Empiris Dan Non Empiris
Serta Alternatif Solusinya (Studi Kasus Kawasan Pendidikan Sekolah Menengah Pertama Pangudi Luhur
Bintang Laut Surakarta Dan Kawasan Pertokoan Coyudan), Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Pariyanto, A., 2005, Prediksi Tingkat Kebisingan dan Emisi Gas Buang Kendaraan pada Jalan Jenderal Sudirman
– Sukoharjo, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Pudjowati, U. R., 2008, Efiktivitas Peredaman Kebisingan Kendaraan Bermotor Dengan Menggunakan Vegetasi Di
Jalan Tol Waru – Sidoarjo, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya.
Poernomosidhi, P.I.F. (1995). “Review on Road Environment Condition and Research on Traffic Noise and Air
Pollution in Indonesia”, Paper for the Technical Visit to Public Work Research Institute, Tsukuba, Japan, 25th
Sept.– 6th Oct. 1995.
Purwandi, J., 2006, Analisis Tingkat Kebisingan Dan Emisi Gas Buang Di Jalan Slamet Riyadi Dan Alternatif
Solusinya (Kajian Empirikal Dan Non Empirikal), Tesis Magister Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Puspita, R. D., 2005, Pengaruh Tingkat Kebisingan Akibat Lalulintas Terhadap Konsentrasi Belajar Mengajar Di
Sekolah Serta Dampak Emisi Gas Buang Yang Ditimbulkan Bagi Kesehatan ( Studi Kasus SDN Kleco II dan
SMP Muhammadiyah 5 Surakarta), Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Santoso, G. D., 2006, Analisis Tingkat Kebisingan Dan Emisi Gas Buang Akibat Lalulintas Serta implikasinya
Terhadap Karakteristik Tata Guna Lahan (Studi Kasus Ruas Jalan Raya Sukowati Km. 0+ 000 – Km. 5+000
DenganTitik Tinjauan Km. 0+000 Dari Pusat Kota Sragen), Tesis Magister Teknik Sipil Program Pasca
Sarjana, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Setiawan, R., Arief, T. D., Handayani, N., & Sawitri, P., 2002, Analisa Tingkat Kebisingan Laulintas Pada Jalan
Tol Ruas Waru – Sidoarjo, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan, Universitas Kristen
Petra, Surabaya.
Soehodho, S., & Taufick, E. S., 2005, Study On Correlation Between motor Vichle Emmision And Public Health,
Professor of Center for Transport Studies Department of Environmental Science, University of Indonesia,
University of Indonesia.
Sugiarta, A. A. G., 2008, Dampak Bising Dan Kualitas Udara Pada Lingkungan Kota Den Pasar, Jurusan Argo
Sains Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, Den Pasar.
Sukarto, H., 2006, Transportasi Perkotaan dan Lingkungan, Jurusan Teknik Sipil - Universitas Pelita Harapan,
Banten.
Sukirman, S., 1994, Dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jala, Nova, Bandung.
Wahyudi, E., 2002, Penanganan Persoalan Lalulintas Di Kawasan Perdagangan Secoyudan Surakarta,
Departemen Teknik Planologi, Institut Teknologi Bandung.
Wardhana, Wisnu Arya, 2001, Dampak Pencemaran Lingkungan, Andi Offset, Yogyakarta.
Werdiningsih, Hermin, 2007, Kajian Penggunaan Tanaman sebagai Alternatif Pagar Rumah. ENCLOSURE :
Volume 6 No. 1 Maret 2007, Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Pemukiman. Didownload:
http://eprints.undip.ac.id/18508/1/4.pdf.
Prodi Teknik Lingkungan, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Jl. Jenderal A. Yani 117 Surabaya, Email:
abdulhakim.hakim48@gmail.com
ABSTRAK
Beton yang baik adalah beton yang mempunyai sifat-sifat yang baik, yaitu beton memiliki kuat tekan yang baik,
mudah dalam pengerjaannya, berdurabilitas dan ekonomis yaitu penggunaan material yang tepat dan ukuran yang
sesuai. Dari sifat-sifat beton di atas salah satu yang mempengaruhi adalah ukuran agregat kasar. Maksud ukuran
agregat kasar di sini tidak hanya pada besar diameter agregat tetapi juga gradasi dari agregat tesebut, oleh karena
itu penelitian ini untuk menguji dari pengaruh tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan eksperimen di
Laboratorium dengan pembuatan benda uji silinder beton. Target kuat tekan beton pada umur 28 (dua puluh
delapan) hari adalah 20 MPa dan 40 MPa. Selain itu diuji pada besaran mekanis lainnya seperti Kekuatan tarik,
modulus kelenturan dan modulus elastisitas sehingga berdasarkan hasil pengujian beton yang dilakukan di
Laboratorium ini akan diperoleh hubungan diameter agregat terhadap sifat-sifat beton. Hasil penelitian ini
diperoleh bahwa beton dengan menggunakan campuran agregat ukuran diameter 40 mm memeliki kuat tekan yang
lebih besar hingga 5 % dari kuat tekan beton dengan diameter agregat 20mm, demikian pula pada besaran mekanik
lainnya yang menunjukkan bahwa beton dengan agregat diameter maksimum 40 mm lebih besar daripada beton
dengan ukuran agregat maksimum 20 mm.
1. PENDAHULUAN
Beton merupakan salah satu bagian konstruksi yang penting dalam bangunan infrastuktur baik di perkotaan
maupun di pedesaan seperti : Bangunan gedung, perumahan, jalan raya, drainase, saluran irigasi, jembatan,
bendungan, saluran pengelak dan bangunan pelimpah (spillway) pada waduk dan bangunan-bangunan lainnya.
Beton merupakan salah satu material yang paling banyak digunakan dalam dunia konstruksi. Di Indonesia, hampir
60% meterial yang digunakan dalam pekerjaan konstruksi adalah beton (concrete), yang pada umumnya dipadu
dengan baja (composite) atau jenis lainnya (Mulyono, 2004: 135). Perpaduan ini biasa disebut sebagai beton
bertulang. Berbeda dengan baja yang harus dibuat di pabrik, pembuatan beton untuk keperluan praktis misalnya
rumah tinggal tidak memerlukan sumber daya berkeahlian khusus dalam pembuatannya. Hal ini membuat material
beton semakin populer dan semakin banyak digunakan dalam dunia konstruksi.
Beton banyak digunakan karena sifat-sifatnya yang baik seperti pengerjaan yang mudah, memiliki kuat tekan
sesuai yang diperlukan sehingga mampu memikul beban yang berat, tahan terhadap temperatur yang tinggi dan
dibentuk dari material-material lokal yang mudah didapat.
Beton mempunyai jenis yang bermacam-macam sesuai dengan tingkat kualitasnya, beton mutu normal menurut
SNI-2002, yaitu beton yang mempunyai kuat tekan antara 21- 41 MPa, Sedangkan kriteria beton mutu tinggi
selalu berubah sesuai dengan kemajuan tingkat mutu yang berhasil dicapai. Pada tahun 1950-an, beton dengan
kuat tekan 30 MPa sudah dikategorikan sebagai beton mutu tinggi. Pada tahun 1960an hingga awal 1970-an,
kriterianya lebih lazim menjadi 41 MPa. Saat ini, disebut mutu tinggi untuk kuat tekan diatas 50 MPa, dan diatas
80 MPa sebagai beton mutu sangat tinggi, sedangkan untuk diatas 120 MPa bisa dikategorikan sebagai beton
bermutu ultra tinggi (Supartono, 1998). ACI Committae 2002 tentang High Strength Concrete merevisi definisinya
menjadi memperoleh campuran dengan kuat tekan desain spesifikasi 55 MPa atau lebih..
Campuran beton yang baik adalah beton yang mempunyai sifat-sifat yang baik, yaitu beton memiliki kuat tekan
terhadap beban yang sudah direncanakan pada saat umur beton telah mencapai umur 28 hari, mudah dalam
pengerjaannya yaitu dalam proses pengangkutan dan pada saat penuangan di lokasi pengecoran, berdurabilitas
yaitu beton memiliki umur yang panjang atau tahan lama dan ekonomis yaitu penggunaan material yang tepat dan
ukuran yang sesuai.
Dari sifat-sifat beton di atas salah satu yang mempengaruhi adalah ukuran agregat. Maksud ukuran agregat di sini
tidak hanya pada besar diameter agregat tetapi juga gradasi dari agregat tesebut, oleh karena itu penelitian tesis ini
untuk menguji dari pengaruh tersebut.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan eksperimen di Laboratorium Teknologi Bahan Konstruksi Universitas Islam
Sultan Agung Semarang . Dengan pembuatan benda uji silinder, beton ditarget mencapai kuat tekan mutu normal
20 MPa dan 40 MPa.
Alat penelitian
Dalam penelitian ini alat yang akan digunakan antara lain: Portable Mixer, centong, timbangan, scope, ember,
mould dan perlengkapannya, alat tes slump , meteran, termometer.
Langkah penelitian
Langkah-langkah pelaksanaan penelitian ini terangkum dalam bagan alir sebagai berikut:
Laporan Penelitian
Variabel Data
Data dalam penelitian ini berupa kumpulan sampel beton dengan keterangan sebagai berikut:
a. Sampel berupa silinder dengan diameter 15 cm dan tinggi 30 cm
b. Tes Kuat tekan dan kuat lentur beton: 7 hari, 14 hari, dan 28 hari
c. Tes Kekuatan tarik sampel beton pada umur 28 hari
d. Tes Modulus kelenturan pada umur 28 hari
e. Tes Modulus Elastisitas pada umur 28 hari
f. Jumlah sampel 72 benda uji dengan keterangan sebagai berikut:
Gambar 5 Grafik perbandingan hasil tes kuat tekan beton f’c 20 MPa dengan agregat kasar
berdiameter 20 mm dan 40 mm
7 1 2
Gambar 6 Grafik perbandingan hasil tes kuat tekan beton f’c 40 MPa dengan agregat kasar
berdiameter 20 mm dan 40 mm
Dari tabel 6 dan grafik 5 dan 6 di atas dapat diketahui bahwa beton dengan menggunakan agregat berukuran
diameter 40 mm lebih besar kuat tekannya pada umur 7 (tujuh) hari, 14 (empat belas) hari dan 28 (dua puluh
delapan) hari daripada beton yang menggunakan agregat berukuran diameter 20 mm.
Pada grafik terlihat untuk umur beton 28 (dua puluh delapan) hari, mutu beton f’c 20 MPa dengan agregat
berukuran 40 mm memeliki kuat tekan 10,52 Kg/cm² lebih besar daripada beton dengan agregat ukuran 20 mm.
Kemudian untuk mutu beton f’c 40 MPa dengan agregat berukuran 40 mm memeliki kuat tekan 11,46 Kg/cm²
lebih besar daripada beton dengan agregat berukuran 20 mm.
Standar Nasional Indonesia telah memberikan langkah-langkah untuk melakukan evaluasi beton keras dengan
memperhatikan hasil uji kekuatan tekan silinder beton. Dalam konsep tata cara perancangan dan pelaksanaan
konstruksi beton -1989 5.6.2.3 atau dalam Pedoman Beton 1989 pasal 4.7 tercantum bahwa pelaksanaan beton
dapat diterima jika hasil kekuatan beton memenuhi dua syarat yang ditentukan yaitu: (1). Nilai rata-rata dari semua
pasangan hasil uji (terdiri dari empat pasangan benda uji) tidak kurang dari (f’c+0,82S) dengan S adalah standar
deviasi. (2). Tidak satupun dari benda uji yang nilainya kurang dari 0,85 f’c.
Menurut PBI 71, bahwa beton tanpa menggunakan aditif, prosentase pencapaian kuat tekan untuk tiap tiap
umurnya adalah sebagai berikut:
a. Beton dengan umur 7 (tujuh) hari pencapaian kuat tekannya adalah 65%
b. Beton dengan umur 14 (empat belas) hari pencapaian kuat tekannya adalah 88%
c. Beton dengan umur 28 (dua puluh delapan) hari pencapaian kuat tekannya adalah 100%.
Dari keterangan di atas dapat ditabelkan sebagai berikut:
Gambar 7 Grafik perbandingan hasil tes kuat tekan beton f’c 20 MPa antara eksperimen dengan PBI
71 dan SNI
Gambar 8 Grafik perbandingan hasil tes kuat tekan beton f’c 40 MPa antara PBI 71 dan SNI.
Dari grafik di atas diketahui pencapaian kuat tekan antara eksperimen dengan standar PBI 71 dan SNI dan dari
grafik diperoleh bahwa pada mutu f’c 20 MPa, kuat tekan eksperimen hampir sama dengan pencapaian PBI,
sedangkan mutu f’c 40 Mpa hanya umur 28 (dua puluh delapan) hari yang sama dengan PBI71. Hal ini berarti
bahwa uji kuat tekan beton f’c 20 MPa dan f’c 40 MPa masih sesuai dengan standar PBI 71.
Dari hasil pengujian kuat tarik diperoleh bahwa untuk mutu beton f’c 20 maupun mutu beton f’c 40 MPa, nilai
kuat tarik tertinggi dihasilkan oleh beton dengan menggunakan agregat kasar berdiameter 40 mm dengan selisi
antara 4 sampai 5%
0,5 0,4
Gambar 9 Grafik perbandingan tegangan belah beton dengan faktor air semen
Pada beton dengan fas 0,54 tegangan belah tertinggi dihasilkan oleh beton dengan agregat kasar berdiameter 40
mm yaitu 17,4 Kg/cm², sedangkan beton dengan fas 0,43 tegangan belah tertinggi dihasilkan oleh beton dengan
agregat kasar berdiameter 40 mm yaitu 20,22 Kg/cm²
f’c 20 D20 6 ,4 2 3 ,1 4 2 ,0 5
f’c 20 D40 6 ,6 2 3 ,2 2 2 ,0 6
f’c 40 D20 8 ,5 3 4 ,3 5 1 ,9 6
f’c 40 D40 8 ,9 4 4 ,4 2 2 ,0 2
54 43
Gambar 10. Kuat lentur Beton Rata - Rata dengan Water Cement Ratio
Pada gambar 10 terlihat bahwa semakin semakin kuat tekan maka kuat lentur beton semakin tinggi. Besar kuat
lentur untuk beton dengan agregat ukuran diameter 20 mm lebih kecil daripada ukuran diameter maksimal 40 mm.
Dari gambar 4.12 dapat disimpulkan kuat lentur beton hasil penelitian untuk semua komposisi lebih tinggi
dibandingkan dengan kuat lentur menurut formasi yang ditetapkan SNI-03-2847 (2002) pasal 11.5 yaitu sebeasar
Fr =0,7 (tabel IV.14).
Hasil penelitian dengan percobaan di Laboratorium diperoleh hasil modulus elastisitas beton disajikan pada tabel
11 berikut ini:
Tabel 11. Modulus Elastisitas (E) perbandingan beton dengan agregat berdiameter 20 mm dan 40 mm
54 43
Gambar 11. Perbandingan Modulus Elastisitas Beton dengan agregat berdiameter 20 mm dan agregat dengan
ukuran diameter 40 mm
Dari gambar 11 ditunjukan bahwa semakin kecil nilai fas beton modulus elastisitas beton makin tinggi. Pada beton
dengan fas 0,54 modulus elastisitas tertinggi dihasilkan oleh beton dengan agregat ukuran 20 mm yaitu 93495
Kg/cm², untuk beton dengan dengan fas 0,43 modulus elastisitas tertinggi dihasilkan oleh beton dengan ukuran
agregat 40 mm yaitu 91682 Kg/cm².
Saran
Dalam percobaan ini disarankan kepada peneliti berikutnya sebagai berikut:
a. Perlu penelitian lebih lanjut, dengan variasi perbandingan ukuran split dan kuat tekan rencana yang lebih
beragam, untuk mengetahui perilaku kekuatan tekan pada berbagai usia (variasi lanjutan).
b. Memperbanyak benda uji per variasi pada penelitian selanjutnya agar data yang didapat lebih akurat
DAFTAR PUSTAKA:
1. Antonius, (2011); Teknologi Bahan, Bahan Kuliah, Program Pasca Sarjana Magister Teknik Sipil, fakultas
Teknik Unissula, Semarang.
2. Aprizon A, Pramudiyanto (2008); High Strength Concrete; www.pramudiyanto.wordpress.com
3. Civil Engineering Portal, http://www.engineeringcivil.com/, portal khusus untuk teknik sipil.
4. Mulyono, T., (2004); Teknologi Beton, Andi, Yogyakarta
5. F.X Supartono; Beton berkinerja tinggi, keunggulan dan permasalahannya; Jakarta : Seminar HAKI tanggal
25 Agustus 1998
6. Novica (1994); Pengaruh ukuran Maksimum Agregat dan Faktor Air Semen terhadap Sifat Mekanis Beton;
Tesis Magister, ITB, 14 Oktober 1994.
7. Simamora (2008); Pengaruh komposisi agregat kasar beton terhadap kuat tekannya; Jurnal–2005
8. Syamsi Nur (2005); Pengaruh Perawatan terhadap Daya Tahan Beton; Jurnal Simetrika Vol.4 no.2 –
Agustus 2005: 317-322.
9. Triasmoko (2005); Studi Komparasi Mutu dan Biaya untuk Kolom Beton Mutu Normal sampai Mutu Tinggi;
Tesis Magister, Unissula, September 2005.
10. Waddel. J.J,(1974) Concrete Construction Handbook, Mc Graw-Hill.
11. Wahyudi L., Rahim A.Syahril (1997); Struktur Beton Bertulang, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Teknik Lingkungan, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Jl. Jend. A. Yani 117 Surabaya
Email: diahnugraheni@uinsby.ac.id
ABSTRAK
Kualitas air merupakan salah satu komponen lingkungan yang sangat penting dan sebagai indikator sehatnya suatu
daerah aliran sungai. Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan masyarakat dan
industri mengakibatkan perubahan fungsi lingkungan. Hal ini berdampak negatif terhadap kelestarian sumberdaya air
yang diindikasikan dengan semakin meningkatnya daya rusak air. Degradasi yang terjadi di daerah aliran sungai
berdampak pada perubahan aktifitas tata guna lahan dan ekosistem yang termasuk di dalamnya. Pemanfaatan fungsi
sungai yang tercemar setara dengan kondisi kelangkaan air. Tingkat penurunan kualitas air akan mempengaruhi
kelestarian sumberdaya air yang tersedia untuk penggunaan yang bermanfaat, dan pada gilirannya akan membatasi
tata guna lahan produktif. DAS (daerah aliran sungai) Cisanggarung termasuk dalam wilayah Provinsi Jawa Barat dan
Jawa Tengah, kabupaten yang termasuk dalam DAS Cisanggarung yaitu Kabupaten Cirebon dan Kuningan berada di
Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten Brebes berada di Provinsi Jawa Tengah. Curah hujan yang terjadi di DAS
Cisanggarung rata-rata sebesar 2.032 mm. Potensi aliran rata-rata mencapai kapasitas sebesar 2,0 milyar meter kubik
per tahun. Vegetasi yang ada sebagian besar berupa hutan, lahan pertanian, lahan perkebunan, lahan belukar dan
lahan permukiman. Penelitian dilaksanakan di 6 Stasiun Pemantauan Kualitas Air Daerah Aliran Sungai
Cisanggarung, yang secara administrasi masuk ke dalam wilayah kabupaten kuningan dan kabupaten Cirebon dengan
tujuan untuk mengidentifikasi kualitas air sungai di DAS Cisanggarung, kemudian dapat diketahui status kualitas air
di DAS Cisanggarung tersebut. Berdasarkan peruntukan air dan baku mutu air, maka diperoleh hasil bahwa Sungai
Cisanggarung termasuk golongan B, C, D yaitu air yang memenuhi syarat untuk peruntukan golongan B (air baku air
minum), golongan C (air untuk keperluan perikanan dan peternakan), golongan D (air yang digunakan untuk
pertanian dan dapat digunakan untuk usaha perkotaan, industri dan pembangkit listrik tenaga air. Dari hasil dari
analisa diperoleh faktor pembatas, adalah BOD, COD, kekeruhan, nitrat, ortho phospat, ammonium, amoniak, dan
fecal coliform adalah melebihi baku mutu B, C, D sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa
Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air. Dan dari penelitian telah didapatkan hasil
bahwa kadar BOD, COD, kekeruhan, amoniak, ammonium, nitrat, ortho phospat, dan kadar fecal coliform, telah
melebihi baku mutu B, C, D yang diperbolehkan. Hal ini disebabkan karena pada daerah aliran sungai Cisanggarung
banyak sekali kegiatan pertanian, perkebunan dan limbah rumah tangga dari pemukiman sehingga kualitas air sungai
menjadi tidak baik.
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Masalah utama sumber daya air meliputi kuantitas air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan manusia yang
terus meningkat dan kualitas air untuk keperluan domestik terus menurun khususnya untuk air minum. Sebagai
sumber air minum masyarakat, maka harus memenuhi beberapa aspek yang meliputi kuantitas, kualitas dan
kontinuitas (WHO, 2004). Kualitas air adalah istilah yang menggambarkan kesesuaian atau kecocokan air untuk
penggunaan tertentu, misalnya: air minum, perikanan, pengairan/ irigasi, industri, rekreasi dan sebagainya. Peduli
kualitas air adalah mengetahui kondisi air untuk menjamin keamanan dan kelestarian dalam penggunaannya. Kualitas
air dapat diketahui dengan melakukan pengujian tertentu terhadap air tersebut. Pengujian yang biasa dilakukan adalah
uji kimia, fisik, biologi, atau uji kenampakan (I-CLEAN, 2007).
AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN
VOLUME 1, NOMOR 1
37
Rr Diah Nugraheni Setyowati
Kualitas air merupakan salah satu komponen lingkungan yang sangat penting dan sebagai indikator sehatnya suatu
daerah aliran sungai. Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan masyarakat dan
industri mengakibatkan perubahan fungsi lingkungan. Hal ini berdampak negatif terhadap kelestarian sumberdaya air
yang diindikasikan dengan semakin meningkatnya daya rusak air. Degradasi yang terjadi di daerah aliran sungai
berdampak pada perubahan aktifitas tata guna lahan dan ekosistem yang termasuk di dalamnya. Pemanfaatan fungsi
sungai yang tercemar setara dengan kondisi kelangkaan air. Tingkat penurunan kualitas air akan mempengaruhi
kelestarian sumberdaya air yang tersedia untuk penggunaan yang bermanfaat, dan pada gilirannya akan membatasi
tata guna lahan produktif.
Menurut Effendi (2003), kualitas air yaitu sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat energi atau komponen lain di
dalam air. Kualitas air dinyatakan dengan beberapa parameter yaitu parameter fisika seperti: Total Padatan Terlarut
(TDS), Total Padatan Tersuspensi (TSS), dan sebagainya), parameter kimia (pH, Oksigen Terlarut (DO), BOD, kadar
logam dan sebagainya), dan parameter biologi (Kandungan Bakteri Coliform, E-coli, keberadaan plankton, dan
sebagainya). Pengukuran kualitas air dapat dilakukan dengan dua cara, yang pertama adalah pengukuran kualitas air
dengan parameter fisika dan kimia, sedangkan yang kedua adalah pengukuran kualitas air dengan parameter biologi
(Sihotang, 2006).
Daerah aliran sungai merupakan penghubung antara kawasan hulu dengan kawasan hilir, sehingga pencemaran di
kawasan hulu akan berdampak pada kawasan hilir. DAS meliputi semua komponen lahan, air dan sumberdaya biotik
yang merupakan suatu unit ekologi dan mempunyai keterkaitan antar komponen. Dalam suatu ekosistem DAS terjadi
berbagai proses interaksi antar berbagai komponen yaitu tanah, air, vegetasi dan manusia. Sungai sebagai komponen
utama DAS mempunyai potensi seimbang yang ditunjukkan oleh daya guna sungai tersebut, antara lain untuk
pertanian dan energi. Namun demikian sungai juga dapat memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan, antara
lain meluapnya air sungai dapat menyebabkan banjir, pembawa sedimentasi, pembawa limbah (Endiriyanti, 2011).
DAS Cisanggarung termasuk dalam wilayah Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah, kabupaten yang termasuk dalam
DAS Cisanggarung yaitu Kabupaten Cirebon dan Kuningan berada di Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten Brebes
berada di Provinsi Jawa Tengah. Curah hujan yang terjadi di DAS Cisanggarung rata-rata sebesar 2.032 mm. Potensi
aliran rata-rata mencapai kapasitas sebesar 2,0 milyar meter kubik per tahun. Vegetasi yang ada sebagian besar
berupa hutan, lahan pertanian, lahan perkebunan, lahan belukar dan lahan permukiman (Balai PSDA WS Cimanuk-
Cisanggarung, 2008).
Kualitas air permukaan bergantung pada lingkungan sekitarnya sehingga diharapkan dapat mendukung ekosistem
perairan dan memiliki nilai estetis. Kualitas air yang menurun disebabkan sumber pencemar sebagai akibat dari
perubahan faktor-faktor lingkungan (Asdak, 2007). Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai
ketingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Beban pencemar adalah
istilah yang dikaitkan dengan jumlah total bahan pencemar yang masuk ke dalam lingkungan baik secara langsung
maupun tidak langsung sebagai hasil dari aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada areal tertentu
dalam kurun waktu tertentu. Besarnya beban pencemar yang masuk ke perairan tergantung aktivitas manusia di
sekitar daerah aliran sungai yang masuk perairan tersebut.Sumber pencemar terdiri atas 2 bentuk, yaitu:
1. Point sources, sumber pencemar yang membuang limbah cair ke dalam badan air pada lokasi tertentu.
2. Nonpoint sources, terdiri atas banyak sumber yang tersebar, baik ke badan airmaupun ke air tanah pada suatu
daerah yang luas.
Pencemaran air dapat menjadi makin luas, tergantung dari kemampuan badan air penerima polutan untuk mengurangi
kadar polutan secara alami. Apabila kemampuan badan air tersebut rendah dalam mereduksi kadar polutan, maka
akan terjadi akumulasi polutan dalam air sehingga badan air akan menjadi trofik. Kategorisasi dari polutan air dengan
melihat dampaknya terhadap sistem sungai sehingga dapat dibedakan menjadi tiga jenis polutan utama (Davie, 2008)
yaitu:
Senyawa beracun, yang menyebabkan gangguan pada aktivitas biologis lingkungan akuatik.
Oksigen mempengaruhi keseimbangan senyawa, baik konsumsi oksigen atau menghambat transfer oksigen
antara udara dan air. Hal ini juga termasuk polusi termal pada kondisi kelarutan oksigen dalam air akan
berkurang dengan semakin meningkatnya temperatur.
Padatan tersuspensi, partikel padat tersuspensi dalam air.
Kecepatan tiga kategori tersebut mengalami proses bergantung pada beban polutan yang telah ada di sungai,
temperatur dan pH air, jumlah air yang mengalir di sungai dan potensi pencampuran sungai. Karakteristik aliran
sungai yang pada gilirannya dipengaruhi oleh waktu, sifat aliran di sungai (misalnya bentuk dari kurva durasi aliran),
serta kecepatan dan turbulensi aliran. Hal ini menunjukkan keterkaitan yang kuat antara kualitas air dan kuantitas air
dalam sistem sungai (Davie, 2008).
Penelitian ini dilaksanakan sekitar 6 bulan, dengan lokasi penentuan pemantauan air permukaan yang berasal dari
daerah aliran sungai dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Sumber alamiah, yaitu lokasi pada tempat yang belum terjadi atau masih sedikit pencemaran,
b. Sumber air tercemar, yaitu lokasi pada tempat yang telah mengalami perubahan (di hilir sumber pencemar),
c. Sumber air yang dimanfaatkan, yaitu lokasi pada tempat penyadapan pemanfaatan sumber air tersebut.
2. METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian merupakan langkah-langkah atau metode yang dilakukan dalam penelitian suatu masalah,
kasus, gejala, fenomena atau lainnya dengan jalan ilmiah untuk menghasilkan suatu jawaban yang rasional. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif eksplanatif yaitu metode yang dilakukan dengan
pendekatan studi kasus. Studi kasus dilaksanakan untuk memperoleh data-data dari fenomena yang berlangsung dan
mencari keterangan-keterangan secara faktual dari suatu kelompok, sehingga kesimpulan yang diperoleh dapat
dipergunakan untuk menggambarkan kasus-kasus lain yang sama tipenya (Arikunto, 2006).
Menurut Haslam (1995), kualitas air secara umum mengacu pada kandungan pollutan yang terkandung dalam air dan
kaitannya untuk menunjang kehidupan ekosistem yang ada di dalamnya. Parameter fisika, kimia, biologi yang
digunakan pada penelitian ini dalam menentukan kualitas air sungai DAS Cisanggarung adalah sebagai berikut :
a. Temperatur/ Suhu Air
Kenaikan suhu menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen, namun di lain pihak juga mengakibatkan
turunnya oksigen dalam air (Effendi, 2003). Kenaikan suhu mengakibatkan: turunnya oksigen terlarut, kecepatan
reaksi kimia meningkat, sehingga mahluk hidup di dalamnya akan mati.
b. Daya Hantar Listrik (DHL)
Merupakan taraf kegaraman air. Perairan alami memiliki DHL 0,02 – 1,50 µmhos/cm.
c. Derajat Keasaman (pH)
Merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Perairan yang baik mempunyai nilai pH
= 7 (netral).
d. Padatan Terlarut Total (Total Dissolved Solid/ TDS)
TDS cenderung mengalami peningkatan dari hulu ke hilir, karena terdapat pemukiman penduduk di sekitar
bagian tengah dan hilir. Baku mutu air menurut PP No 82 tahun 2001, kadar maksimum TDS yang diperbolehkan
dalam penggunaan air golongan I, II, III adalah 1000 mg/l, sedangkan untuk golongan IV sebesar 2000 mg/l.
e. Dissolved Oxygen (DO)
Jeffries dan Mills (1996) membagi status kualitas air berdasarkan kadar oksigen terlarut, sebagaimana dapat
dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Status Kualitas Air berdasarkan Kadar Oksigen Terlarut
No Kadar oksigen terlarut Status kualitas air
1 > 6,5 mg/l Tidak tercemar – tercemar sangat ringan
2 4,5 – 6,4 mg/l Tercemar ringan
3 2,0 – 4,4 mg/l Tercemar sedang
4 < 2,0 mg/l Tercemar berat
i. Nitrat
Merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air. Konsentrasi nitrat yang tinggi menyebabkan
pencemaran. Schmidt (1978) dalam Wardoyo (1989) membagi status kualitas air berdasarkan nilai nitrat,
sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Status Kualitas Air berdasarkan Kandungan Nitrat
No Kadar Nitrat Status Kualitas Air
1 < 0,003 mg/l Tidak tercemar – tercemar sangat ringan
2 0,003 – 0,014 mg/l Tercemar sedang
3 >0,014 mg/l Tercemar berat
j. Orto Phospat
Merupakan bentuk fosfat yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, kandungan fosfat
yang terdapat di perairan umum tidak lebih dari 0,2 mg/l.
k. Kekeruhan (Turbidity)
Merupakan suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh cahaya dapat menembus air, dimana cahaya yang
menembus air akan mengalami pemantulan oleh bahan-bahan tersuspensi dan bahan koloid (Jeffries dan Mills,
1996). Turbiditas penting bagi kualitas air, terutama berkenaan dengan estetika, daya filter dan disinfeksi.
l. Bakteri Coliform
BMFT Project 02 WT 8851 (1993) menerangkan adanya organisme coliform dalam air dianggap sebagai bukti
kontaminasi karena organisme ini asal usulnya dari dalam pencernaan manusia atau hewan berdarah panas
lainnya.
daerah tersebut masih memenuhi syarat sebagai air minum dari batas yang diperbolehkan yaitu 6-9 (Berdasarkan
Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air).
d. Padatan Terlarut Total (Total Dissolved Solid/ TDS)
TDS cenderung mengalami peningkatan dari hulu ke hilir, karena terdapat pemukiman penduduk di sekitar
bagian tengah dan hilir. Baku mutu air menurut PP No 82 tahun 2001, kadar maksimum TDS yang diperbolehkan
dalam penggunaan air golongan I, II, III adalah 1000 mg/l, sedangkan untuk golongan IV sebesar 2000 mg/l.
Berdasarkan pemantauan air dari 6 stasiun pemantauan kualitas air DAS Cisanggarung menunjukkan bahwa
daerah hulu DAS Cisanggarung (CG-1) lebih rendah dibandingkan temperatur di daerah hilir (CG-6). Pada
stasiun tersebut diperoleh nilai tds maksimal 942 mg/l, artinyamasih di bawah ambang batas nilai total padatan
terlarut (TDS) yaitu sebesar 1000 mg/l (Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998
tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa air DAS
Cisanggarung dapat digunakan sebagai air baku untuk air minum, pertanian maupun perikanan.
e. Dissolved Oxygen (DO)
Berdasarkan hasil analisis kualitas air dari 6 stasiun pemantauan kualitas air DAS Cisanggarung, menunjukkan
bahwa DO berkisar antara 3,63 mg/l – 13,11 mg/l. Parameter kualitas air tersebut masih di bawah ambang batas
minimal yang dipersyaratkan oksigen terlarut (DO) yaitu sebesar > 3 mg/l (Berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). Dari hasil penelitian
tersebut, dapat disimpulkan bahwa air DAS Cisanggarung dapat digunakan sebagai air baku untuk air minum,
pertanian maupun perikanan.
f. Biological Oxygen Demand (BOD)
Berdasarkan hasil analisis kualitas air dari 6 stasiun pemantauan kualitas air DAS Cisanggarung, menunjukkan
bahwa BOD berkisar antara 1,28 mg/l – 46,00 mg/l. Dilihat dari parameter kualitas air nilai BOD sebesar 6 mg/l
(Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu
Air). Hal ini menunjukkan bahwa bila dilihat dari parameter BOD air DAS Cisanggarung tidak memenuhi baku
mutu golongan B, C, D.
g. Chemycal Oxygen Demand (COD)
Merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia. Berdasarkan hasil analisis kualitas air
dari 6 stasiun pemantauan kualitas air DAS Cisanggarung, menunjukkan bahwa COD berkisar antara 2,23 mg/l –
115,17 mg/l. Dilihat dari parameter kualitas air nilai COD sudah diatas ambang batas minimal yang
dipersyaratkan COD, sebesar 10 mg/l (Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998
tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). Hal ini menunjukkan bahwa dilihat dari parameter COD air DAS
Cisanggarung kurang baik digunakan sebagai air baku untuk air minum, air pertanian maupun perikanan.
h. Amoniak dan Amonium
Berdasarkan hasil analisis kualitas air dari 6 stasiun pemantauan kualitas air DAS Cisanggarung, menunjukkan
bahwa kadar Amoniak berkisar antara 0,02 mg/l – 1,25 mg/l. Dilihat dari parameter kualitas air nilai amoniak
sudah diatas ambang batas minimal yang dipersyaratkan yaitu sebesar 0,50 mg/l (Berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). Hal ini menunjukkan
bahwa dilihat dari parameter kadar amoniak air DAS Cisanggarung kurang baik digunakan sebagai air baku
untuk air minum, air pertanian maupun perikanan.
Berdasarkan hasil analisis kualitas air dari 6 stasiun pemantauan kualitas air DAS Cisanggarung, menunjukkan
bahwa kadar Ammonium berkisar antara 0,02 mg/l – 1,11 mg/l. Dilihat dari parameter kualitas air nilai
Ammonium sudah diatas ambang batas minimal yang dipersyaratkan yaitu sebesar 0,50 mg/l (Berdasarkan Surat
Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). Hal ini
menunjukkan bahwa dilihat dari parameter kadar Ammonium air DAS Cisanggarung kurang baik digunakan
sebagai air baku untuk air minum, air pertanian maupun perikanan.
i. Nitrat
Merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air. Konsentrasi nitrat yang tinggi menyebabkan
pencemaran. Berdasarkan hasil analisis kualitas air dari 6 stasiun pemantauan kualitas air DAS Cisanggarung,
menunjukkan bahwa Nitrat berkisar antara 0,03 – 6,99. Dilihat dari parameter kualitas air nilai nitrat masih
dibawah ambang batas minimal yang dipersyaratkan nitrat, sebesar 10 mg/l (Berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). Hal ini menunjukkan
bahwa dilihat dari parameter nitrat air DAS Cisanggarung masih dapat digunakan sebagai air baku untuk air
minum, air pertanian maupun perikanan.
42 AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN
VOLUME 1, NOMOR 1
STATUS KUALITAS AIR DAS CISANGGARUNG, JAWA BARAT
j. Orto Phospat
Merupakan bentuk fosfat yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, kandungan fosfat
yang terdapat di perairan umum tidak lebih dari 0,2 mg/l. Berdasarkan hasil analisis kualitas air dari 6 stasiun
pemantauan kualitas air DAS Cisanggarung, menunjukkan bahwa ortho phospat berkisar antara 0,04 – 3,22.
Dilihat dari parameter kualitas air nilai ortho phospat sudah melebihi ambang batas minimal yang dipersyaratkan
ortho phospat sebesar 0,20 mg/l (Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang
Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). Hal ini menunjukkan bahwa dilihat dari parameter ortho phospat air DAS
Cisanggarung kurang baik untuk digunakan sebagai air baku untuk air minum, air pertanian maupun perikanan.
k. Kekeruhan (Turbidity)
Merupakan suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh cahaya dapat menembus air, dimana cahaya yang
menembus air akan mengalami pemantulan oleh bahan-bahan tersuspensi dan bahan koloid (Jeffries dan Mills,
1996). Turbiditas penting bagi kualitas air, terutama berkenaan dengan estetika, daya filter dan disinfeksi.
Berdasarkan hasil analisis kualitas air dari 6 stasiun pemantauan kualitas air DAS Cisanggarung, menunjukkan
bahwa kekeruhan air berkisar antara 1,05 NTU – 1.770 NTU. Dilihat dari parameter nilai kekeruhan air sudah
melebihi ambang batas minimal yang dipersyaratkan yaitu 5 NTU (Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa
Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). Hal ini menunjukkan perlunya ada
perlakuan khusus untuk mengurangi kadar kekeruhan tersebut.
l. Bakteri Coliform/ Fecal Coliform
BMFT Project 02 WT 8851 (1993) menerangkan adanya fecal coliform dalam air dianggap sebagai bukti
kontaminasi karena organisme ini asal usulnya dari dalam pencernaan manusia atau hewan berdarah panas
lainnya. Berdasarkan hasil analisis laboratorium kualitas air dari 6 stasiun pemantauan kualitas air DAS
Cisanggarung, menunjukkan bahwa fecal coliform berkisar antara 15.000 – 950.000 MPN/100ml. Dilihat dari
parameter kualitas air kandungan fecal coliform sudah melebihi ambang batas minimal yang dipersyaratkan
kandungan fecal coliform sebesar 2000 MPN/100ml (Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58
Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air). Hal ini menunjukkan bahwa dilihat dari parameter
kandungan fecal coliform air DAS Cisanggarung tidak memenuhi baku mutu golongan B, C, D yaitu air baku
untuk air minum, air pertanian, peternakan maupun perikanan.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air,
menentukan baku mutu air ke dalam 6 golongan :
a. Golongan A, adalah air yang dapat digunakan sebagai air minum langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu
b. Golongan B, adalah air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum
c. Golongan C, adalah air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan pertanian
d. Golongan D, adalah air yang dapat digunakan untuk pertanian dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan,
industri dan pembangkit listrik
e. Golongan B, C, D adalah air yang memenuhi peruntukkan golongan B, C, D
f. Golongan C, D adalah air yang memenuhi peruntukkan golongan C dan D
Berdasarkan peruntukan air dan baku mutu air, maka diperoleh hasil bahwa Sungai Cisanggarung termasuk golongan
B, C, D yaitu air yang memenuhi syarat untuk peruntukan golongan B (air baku air minum), golongan C (air untuk
keperluan perikanan dan peternakan), golongan D (air yang digunakan untuk pertanian dan dapat digunakan untuk
usaha perkotaan, industri dan pembangkit listrik tenaga air. Dari hasil dari analisa diperoleh faktor pembatas, adalah
BOD, COD, kekeruhan, nitrat, ortho phospat, ammonium, amoniak, dan fecal coliform adalah melebihi baku mutu B,
C, D sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 1998 tentang Peruntukan
Air Dan Baku Mutu Air.
Tentang Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air, yaitu baku mutu untuk parameter BOD sebesar 6 mg/l, COD sebesar 10
mg/l, Kekeruhan 5 NTU, nilai Amoniak yang dipersyaratkan yaitu sebesar 0,50 mg/l, nilai Ammonium yang
dipersyaratkan yaitu sebesar 0,50 mg/l, nilai Nitrat yang dipersyaratkan sebesar 10 mg/l, Ortho Phospat sebesar 0,20
mg/l, kandungan fecal coliform sebesar 2000 MPN/100ml. Untuk lebih jelasnya kualitas air daerah aliran sungai
Cisanggarung, dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini.
Tabel 6. Status Kualitas Air DAS Cisanggarung berdasarkan Peruntukan Air Dan Baku Mutu Air
Stasiun Pemantauan Kelas Faktor Pembatas
Kualitas Air Kualitas Air
Kadar BOD, COD, kekeruhan, amoniak, ammonium, nitrat, ortho phospat, dan kadar fecal coliform, telah melebihi
baku mutu B, C, D yang diperbolehkan. Hal ini disebabkan karena pada daerah aliran sungai Cisanggarung banyak
sekali kegiatan pertanian, perkebunan dan limbah rumah tangga dari pemukiman sehingga kualitas air sungai menjadi
tidak baik.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F,. N. Sinukaban. A. N. Ginting. H. Santoso dan Sutadi. 2007. Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air.
Penerbit Pengurus Pusat Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia 2004-2007. Jakarta.
Agustiningsih, D. 2012. Analisis Kualitas Air dan Beban Pencemaran Berdasarkan Penggunaan Lahan di Sungai
Blukar Kabupaten Kendal.
Arsyad, S,. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Asdak, C., 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Penerbit Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Athena, S., Hendro. M, Anwar. M, Haryono. 2004. Kandungan Bakteri Total Colidan E. Coli / fecal Coli Air Minum
dari Depot Air Minum Isi Ulang di Jakarta, Tangerang dan Bekasi.
Coskun, H.G,. C. Arganei. and G. F Usta. 2008. Analysis of Land Use Change and Urbanization in the Kaculcekmece
Water Rasin (Istanbul, Turkey) with Temporal Satelitte Data Using Remote Sensing and GIS Sensors. 8, 7213-
7223.
De la cruz, A.I,.and P.K. Barten. 2007. Land Use Effects on Streamflow an water Quality in the Northestern United
States. CRC Press. Florida-USA.
Deutsch, G.W. and Busby, L.A., 2000. Community-Basid Water Quality Monitoring.
Endiriyanti, 2011. Pengaruh Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai Cisanggarung Terhadap Kualitas Air.
Ghufrona, R.R., Diviyanti dan Nurroh, S., 2006. Analisis Tutupan Lahan Terhadap Kualitas Air Situ Burung Desa
Cikarawang Kabupaten Bogor. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Kusnaedi., 2002. Mengolah Air Gambut dan Air Kotor untuk Air Minum. Penerbit Swadaya. Jakarta.
Logan, T.J., 1990. Sustainable Agriculture and Water Quality. Sustainable Agricultural Systems. Soil and Water
Conservation Society. Ankeny, Iowa.
44 AL-ARD : JURNAL TEKNIK LINGKUNGAN
VOLUME 1, NOMOR 1
STATUS KUALITAS AIR DAS CISANGGARUNG, JAWA BARAT
Prasetyo, S. dan Padmono, J., 1993, Alternatif Pengelolaan Limbah Cair dan Padat RPH. BPPT, Jakarta.
Sofyan, I., 2004. Percentage of Total Impervious Area (PTIA) sebagai Salah Satu Faktor Penting Dalam Perencanaan
Tata Ruang DAS.
Sumarmo, LG., 2000. Konsep Usaha Tani Ramah Lingkungan. Puslitbangtan, Bogor.
Supangat, AB. 2008, Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Terhadap Kualitas Air Sungai Di Kawasan Hutan Pinus
Di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah.
Supriharyono, 2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir Dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Suriawiria., Unus. 2003. Air dalam Kehidupan dan Lingkungan yang Sehat. Penerbit Alumni. Bandung.
Sutjianto, R., 2003. Biodeversitas Plankton Sebagai Indikator Kualitas Perairan. FMIPA UNHAS. Makassar.
Sutrisno, T., dan E. Suciastuti. 2002. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Cipta Rineka. Jakarta.
Tafangenyasha, C., and T. Dzinomwa. 2005. Land-use Impact o River Water Quality in Lowveld Sand River System
in South-East Zimbabwe. Land-use and Water Resource.
Triono, R., 2007. Pengaruh Perubahan Fungsi Lingkungan Terhadap Kelestarian Mata Air Sebagai Sumber Air.
Bersih Di Kawasan Cagar Alam Pegunungan Cyclop Distrik Abepura Kota Jayapura. UGM. Yogyakarta.
WHO., 2004. Guidelines For Drinking Water Quality. Third Edition. Volume 1: Recomentadtion. Geneva.
Wiwoho., 2005. Model Identifikasi Daya Tampung Beban Cemaran Sungai dengan Model QUAL2E. Tesis.
Universitas Diponegoro. Semarang.
STUDI LITERATUR
TEKNOLOGI FITOREMEDIASI UNTUK PEMULIHAN EKOSISTEM LAUT
TERKONTAMINASI LOGAM BERAT
Widya Nilandita1
1
Program Studi Teknik Lingkungan, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Jl. Jend. A. Yani 117 Surabaya
Email: Widya.nilandita@uinsby.ac.id
ABSTRAK
Ekosistem laut disinyalir banyak terkontaminasi bahan pencemar baik organik maupun in organik.
Pencemaran inorganik berupa logam berat berasal dari berbagai aktivitas seperti industri, kapal dan
pelabuhan, tumpahan minyak, pengolahan limbah maupun kegiatan pertambangan. Letak geografis
ekosistem estuari sangat berpeluang menjadi tempat penumpukan limbah yang berasal dari kegiatan
sepanjang pantai dan kegiatan sebelah hulu. Keseimbangan ekologi lingkungan perairan pantai akan
tetap terjaga apabila keberadan mangrove dipertahankan karena mangrove dapat berfungsi sebagai
biofilter, agen pengikat dan perangkap polusi. Teknologi-teknologi konvensional ini dianggap tidak
ekonomis dan berdampak negative bagi ekosistem perairan. Studi literatur ini membahas tentang
penggunaan mangrove dan cara menghitung potensi tumbuhan mangrove untuk fitoremediasi
ekosistem laut yang terkontaminasi logam berat. Mangrove mempunyai kemampuan dalam
menyerap logam berat, sehingga bisa digunakan untuk proses fitoremediasi pada ekosistem laut
terutama ekosistem astuari.
Kata kunci: Kontaminasi logam berat, Ekosistem Laut, Fitoremediasi, Mangrove
1. PENDAHULUAN
Ekosistem laut merupakan salah satu ekosistem alamiah akuatik yang paling besar di planet bumi ini. Luas
area laut memang mencakup hampir 80% wilayah bumi. Ekosistem laut dibagi menjadi beberapa ekosistem yaitu:
ekosistem laut dalam dan ekosistem laut dangkal. Ekosistem laut disinyalir banyak terkontaminasi bahan pencemar
baik organik maupun in organik. Pencemaran inorganik berupa logam berat berasal dari berbagai aktivitas seperti
industri, kapal dan pelabuhan, tumpahan minyak, pengolahan limbah maupun kegiatan pertambangan (Peters et al.,
1999). Selain itu, aktivitas pertanian yang menggunakan insektisida dan pupuk secara berlebihan juga akan
meningkatkan konsentrasi logam berat yang berhilir di daerah pesisir (Alloway,1994; Hasim dan Hughes, 2009).
Konsentrasi logam berat yang tinggi akan menyebabkan kerusakan lingkungan dan meningkatkan daya toksisitas,
persistan dan bioakumulasi logam itu sendiri (Lindsey et al., 2004).
Secara geografis ekosistem estuari sangat berpeluang menjadi tempat penumpukan limbah yang berasal
dari kegiatan sepanjang pantai dan kegiatan sebelah hulu. Dampak pencemaran dibagian hulu yang dihubungkan
oleh aliran sungai, dapat segera dirasakan dampaknya oleh ekosistem perairan payau dan ekosistem pantai yang
berada dibagian hilir sungai tersebut. Keseimbangan ekologi lingkungan perairan pantai akan tetap terjaga apabila
keberadan mangrove dipertahankan karena mangrove dapat berfungsi sebagai biofilter, agen pengikat dan
perangkap polusi. Masukan sumber pencemar sangat banyak, mangrove memilki toleransi yang tingi terhadap
logam berat (Mac Farlane dan Burchet, 2001; Gunarto, 2014). Mangrove juga merupakan tempat hidup berbagai
jenis gastropoda, kepitng pemakan detritus, dan bivalvia pemakan plankton sehinga akan memperkuat fungsi
mangrove sebagai biofilter alami. Berbagai jenis ikan baik yang bersifat herbivora, omnivore maupun karnivora
hidup mencari makan di sekitar mangrove terutama pada waktu air pasang (Gunarto, 2014).
Limbah logam berat merupakan polutan yang berbahaya bagi makhluk hidup yang mengalami keterpaparan
oleh unsur ini. Hal ini dikarenakan unsur logam berat merupakan unsur yang tidak dapat diciptakan maupun tidak
dapat hancur (non degradable) sehinga selalu ada di alam. Selain itu unsur logam berat juga memilki kemampuan
daya racun yang tingi dan dapat terakumulasi pada jaringan tubuh makhuk hidup sehinga keberadanya di lingkungan
sangat tidak dinginkan (Kariada.N et al, 2014).
Proporsi utama penghilangan logam berat adalah melalui proses pengikatan (Kadlec dan Keoleian, 1986).
Muatan positif logam berat menyebabkan logam berat dapat segera terserap, dikomplekskan dan diikat dengan
partikel tersuspensi, yang kemudian menetap di substrat. Pengendapan logam berat sebagai garam tidak larut seperti
karbonat, bikarbonat dan hidroksida dalam proses lain yang mengarah pada penghapusan logam berat jangka
panjang. Garam-garam ini dibentuk oleh reaksi logam berat dengan bahan kimia lain yang hadir dalam kolom air
dan tidak larut sehingga garam mengendap ke bawah menjadi tetap dalam substrat lahan basah (Sheoran dan
Sheoran, 2006).
Endapan alkali, kolam pertukaran ion, penyerapan secara elektrokimia, teknologi membrane filtrasi adalah
teknologi yang tersedia untuk menghilangkan logam berat. Teknologi-teknologi konvensional ini dianggap tidak
ekonomis dan berdampak negative bagi ekosistem perairan.
Fitoremediasi adalah suatu teknologi pemanfaatn tumbuhan untuk mengurangi bahkan menghilangkan
kehadiran bahan pencemar di dalam tanah dan air. Fitoremediasi menjadi pilihan menjajikan mengingat tidak
membutuhkan biaya yang besar dan secara estetik mendukung upaya penghijauan lingkungan.
2. EKOSISTEM LAUT
Ekosistem air laut biasanya juga dinamakan sebagai ekosistem bahari. Ekosistem air laut merupakan
ekosistem paling luas di permukaan bumi. Lebih dari dua pertiga bagian bumi ini merupakan ekosistem laut.
Ekosistem air laut ditandai oleh salinitas (kadar garam) yang tinggi dengan ion Cl dapat mencapai 55% terutama di
daerah laut tropik, karena suhunya tinggi (sekitar 25 °C) dan penguapan besar. Pada daerah dingin, suhu air laut
merata sehingga air dapat bercampur, hal ini mengakibatkan daerah permukaan laut tetap subur dan banyak plankton
serta ikan. Gerakan air dari pantai ke tengah menyebabkan air bagian atas turun ke bawah dan sebaliknya, sehingga
memungkinkan terbentuknya rantai makanan yang berlangsung baik.Ekosistem air laut juga dapat dibagi lagi
menjadi ekosistem:
a. Ekosistem laut dalam
Ekosistem laut dalam terdapat di laut dalam atau palung laut yang gelap karena tidak dapat ditembus oleh
cahaya matahari. Pada ekosistem laut dalam tidak ditemukan produsen. Organisme yang dominan, yaitu
predator dan ikan yang pada penutup kulitnya mengandung fosfor sehingga dapat bercahaya di tempat yang
gelap.
b. Ekosistem terumbu karang
Ekosistem terumbu karang terdapat di laut yang dangkal dengan air yang jernih. Organisme yang hidup di
ekosistem ini, antara lain hewan terumbu karang (Coelenterata), hewan spons (Porifera), Mollusca (kerang,
siput), bintang laut, ikan, dan ganggang. Ekosistem terumbu karang di Indonesia yang cukup terkenal di
antaranya Taman Nasional Bawah Laut Bunaken.
c. Ekosistem estuari
Ekosistem estuari terdapat di daerah percampuran air laut dengan air sungai. Salinitas air di estuari lebih
rendah daripada air laut, tetapi lebih tinggi daripada air tawar, yaitu sekitar 5 – 25 ppm. Di daerah estuari
dapat ditemukan tipe ekosistem yang khas, yaitu padang lamun (seagrass) dan hutan mangrove.
Padang lamun, merupakan habitat pantai yang biasanya ditumbuhi seagrass. Tumbuhan ini memiliki
rizom dan serabut akar, batang, daun, bunga, bahkan ada yang berbuah. Seagrass berbeda dengan alga
karena mempunyai sistem reproduksi dan pertumbuhan yang khas. Seagrass tumbuh menyebar
membentuk padang rumput di dalam air dengan perpanjangan rizom. Jenis hewan di padang lamun,
antara lain duyung (Dugong dugon), bulu babi (Tripneustes gratilla), kepiting renang (Portunus
pelagicus), udang, dan penyu.
Ekosistem hutan mangrove, terdapat di daerah tropis hingga subtropis. Ekosistem ini didominasi oleh
tanaman bakau (Rhizophora sp.), kayu api (Avicennia sp.), dan bogem (Bruguiera sp.). Tumbuhan
bakau memiliki akar yang kuat dan rapat untuk bertahan di lingkungan berlumpur yang mudah goyah
oleh hempasan air laut. Akar napasnya berfungsi untuk mengambil oksigen langsung dari udara.
Tumbuhan bakau memiliki buah dengan biji vivipari yang sudah berkecambah dan berakar panjang saat
masih di dalam buah sehingga langsung tumbuh ketika jatuh ke lumpur. Hewan-hewan yang hidup di
ekosistem ini, antara lain burung, buaya, ikan, biawak, kerang, siput, kepiting, dan udang. Hutan
mangrove banyak terdapat di pesisir pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Papua, Bali, dan Sumbawa.
d. Ekosistem pantai pasir
Ekosistem pantai pasir terdiri atas hamparan pasir yang selalu terkena deburan ombak air laut. Di
tempat ini angin bertiup kencang dan cahaya matahari bersinar kuat pada siang hari. Vegetasi atau
tumbuhan yang dominan adalah formasi pes-caprae dan formasi barringtonia. Formasi pes-caprae terdiri
atas tanaman berbatang lunak dan berbiji (terna), misalnya Ipomoea pes-caprae, Vigna
marina, dan Spinifex littoreus. Formasi barringtonia terdiri atas perdu dan pohon,
misalnya Barringtonia asiatica, Terminalia catappa, Erythrina, Hibiscus tiliaceus, dan Hernandia.
Hewan yang hidup di pantai pasir, misalnya kepiting dan burung. Pantai pasir antara lain terdapat di
Bali, Lombok, Papua, Bengkulu, dan Bantul (Yogyakarta).
e. Ekosistem pantai batu Sesuai dengan namanya, ekosistem Sesuai dengan namanya, ekosistem pantai batu
memiliki banyak bongkahan batu besar maupun batu kecil. Organisme dominan di smi, yaitu ganggang
cokelat, ganggang merah, siput, kerang, kepiting, dan burung. Ekosistem ini banyak terdapat di pantai
selatan Jawa, pantai barat Sumatra, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hamzah (2013), di Hutan Lindung Muara Angke Kapuk dan Taman
Margasatwa Muara Angke, menunjukkan bahwa organ akar dan daun tumbuhan Rhizophora mucronata, Rhizopora
apiculata, Sonneratia caseolaris dan Avicennia marina memiliki kemampuan menyerap logam berat Pb, Cu dan Zn
(Tabel 1)
Tabel 1. Kandungan logam Cu, Zn, dan PB pada Akar dan Daun
Kr´bek dk (201) dalam penelitanya menyampaikan, bahwa mangrove merupakan hyperacumulators yang baik,
mangrove bukan saja mampu tumbuh di tanah dengan konsentrasi unsur beracun yang tingi, tetapi mereka juga
mengumpulkan/ mengakumulasi unsur tersebut di dalam batang dan daun dengan jumlah yang mungkin lebih tingi
dan mematikan bagi organisme hidup lainya. Beberapa tanaman (metalophytes) dapat tumbuh dalam substrat
dengan kondisi konsentrasi logam yang sangat tinggi (salt dk, 195; broks 198; boyd 207 dalam kr´bek dk, 201).
Clark dk (198) dalam kumar dk (201), ekosistem mangrove memainkan peran penting sebagai filter dan
pengendalian polusi alami karena kekhasan system akarnya yang berhasil mengendalikan kualitas air dan
merupakan perangkap sedimen serta partikel yang diangkut oleh arus ke lautan dari muara.
Hamzah dkk (2013) juga meneliti besar konsentrasi logam berat seberapa besar konsentrasi kandungan logam berat
dari lingkungan yang diserap oleh jaringan akar, kemudian disebar dan diakumulasikan kejaringan lainnya (daun
dan kulit batang) dengan menghitung BAC, BCF dan BTC (tabel 2)
MacFarlane et al. (2007); dan Khan et al. (2013) menyatakan bahwa untuk mengetahui seberapa besar
perpindahan logam dari satu jaringan ke jaringan yang lain, bisa diketahui dari faktor bioakumulasi/enrichment
(BAC/EC), biokonsentrasi (bioconcentration factor/BCF) dan biotranslokasi (BTC/TF). Dalam hal ini, BAC/EC
merupakan rasio kandungan logam berat dalam daun dengan kandungan logam berat pada sedimen, BCF merupakan
rasio kandungan logam berat dalam akar dengan kandungan logam berat di sedimen, sedangkan BTC/TF merupakan
rasio konsentrasi logam berat dalam daun dan akar. Selain itu, BCF dan BTC bisa digunakan untuk mengetahui
potensi tumbuhan untuk tujuan fitoremidiasi (Yoon et al., 2006).
Untuk tujuan fitoremidiasi, Hamzah dkk (2013) melakukan pendekatan BAC, BCF dan BTC dengan
kriteria spesies tumbuhan yang memiliki nilai BAC dan BCF tinggi, namun nilai BTC-nya rendah (Yoon et
al.,2006). Untuk mempermudah perhitungan fitoremidiasi dilakukan pengurangan antara nilai BAC/BCF dengan
BTC dan hasilnya adalah FTD daun dan akar (Tabel 3)
Berdasarkan hasil perhitungan FTD akar dan daun dapat disimpulkan bahwa Sonneratia caseolaris 3 diduga dapat
digunakan untuk tujuan fitoremidiasi khususnya fitostabilisasi. Penelitian Nazli,dkk (2010) juga berkesimpulan
bahwa Sonneratia caseolaris potensial untuk digunakan dalam fitoremediasi. Proses akumulasi dan mobilisasi
logam dengan menggunakan jaringan akar dikenal dengan istilah fitostabilisasi. Fitostabilisasi mampu
meminimalisir pergerakan polutan (logam berat) dalam sedimen (Susarla et al., 2002).
4. KESIMPULAN
Mangrove memiliki kemampuan menyerap logam berat dari lingkungan, sehingga bisa digunakan sebagai agen
fitoremediasi pada ekosistem laut terutama ekosistem estuari. Diperlukan penelitian untuk menggali potensi
tumbuhan mangrove lainnya yang biasa digunakan dalam proses fitoremediasi.
DAFTAR PUSTAKA
Alloway, B.J. 1994. Toxic Metals in Soil–Plant Systems, Chichester, Uk: John Wiley and Sons.
Gunarto. 2014. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumberhayati Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian
23 (1): 15-21.
Cui, S., Q. Zhou & L. Chao. 2007. Potential Hyperaccumulator of Pb, Zn, Cu and Cd in Endurant Plants Distributed
in an Old Smeltery, Northeast China. Environ. Geol. 51:1043-1048.
Hamzah, F. & Pancawati,Y. 2013. Fitoremidiasi Logam Berat dengan Menggunakan Mangrove. Ilmu Kelautan.
Vol. 18(4):203-212
Hashim, N.R. & F. Hughes. 2009. The Responses of Secondary Forest tree Seedlings to Soil enrichment in
Peninsular Malaysia: An Experimental Approach. Trop. Ecol. 3(1):50-55.
Kadlec, P.H & Keoleian,G.A. 1986. Metal Ion Exchange on Peat. In Peat and water, PP 61-93 (Fuchsman, C. H.,
Ed) Amsterdam Elsevier.
Khan, M.U., M. Ahmed, S.S. Shaukat, K. Nazim & Q.M. Ali. 2013. Effect of Industrial Waste on Early Growth and
Phytoremidation Potential. Avicennia Marina (Forsk.) Vierh. Pak. J. Bot, 45(1):17-27.
Kr´bek, B., Mihaljevic, M., Sracek, O., Kne´sl, I., Etler, V. dan Nyambe, I. 201. The Extent of Arsenic and of Metal
Uptake by Aboveground Tisues of Pteris vitata and Cyperus involucratus Growing in Coper- and Cobalt- Rich
Tailngs of the Zambian Coperbelt. Arch Environ Contam Toxicol 61:28–242.
MacFarlane, G.R. & M.D. Burchett. 2001. Photosynthetic Pigments and Peroxides Activity as Indicators of Heavy
Metal Stress in the Grey Mangrove Avicennia marina (Forsk.) Veirh. Mar. Poll. Bull. 42: 233-240.
MacFarlane, G.R., C.E. Koller & S.P. Blomberg. 2007. Accumulation and Partitioning of Heavy Metals in
Mangroves: A Synthesis of Field Based Studies. Chemosphere. 69:1454-1464.
Nazli, M.F & Hashim, N.R. 2010. Heavy metal concentration in an Important Mangrove Species, Sonneratia
caseolaris,in Peninsular Malaysia. EnvironmentAsia 3(special issue) (2010) 50-55. on line www.tshe.org/EA.
(Akses tanggal 1 Agustus 2015).
Peters, E.C., N.J. Gassman, J.C. Firman, R.H. Richmond & E.A. Power. 1997. Ecotoxicology of Tropical Marine
Ecosystems. Environ. Toxicol. Chem. 16:12–40.
Sheoran, A.S & Sheoran, V. 2006. Heavy metal removal mechanism of acid mine drainage in wet land: a critical
review. Mineral Eng, 19:105-116
Susarla, S., V.F. Medina & S.C. McCutcheon. 2002. Phytoremediation, an Ecological Solution to Organic
Contamination. Ecol. Eng. 18:647–658.
Yoon, J., C. Xinde, Z. Qixing & L.Q. Ma. 2006. Accumulation of Pb, Cu, and Zn in Native Plants Growing on a
Contaminated Florida Site. Sci. Total Environ. 368(2–3):456-464.
Zu, Y.Q., Y. Li, J.J. Chen, H.Y. Chen, L. Qin & C. Schvartz. 2005. Hyperaccumulation of Pb, Zn and Cd in
herbaceous grown on lead-zinc mining area in Yunnan, China. Environ. Internat. 31:755-762.