Anda di halaman 1dari 24

PROSES WAYFINDING PADA THE PARK MALL SOLO BARU

(STUDI KASUS PADA AREA PARKIR MALL MENUJU BIOSKOP CINEMA XXI)

TUGAS MATA KULIAH


PSIKOLOGI DAN PERILAKU ARSITEKTUR

Disusun Oleh :
Adnan Zuhdi Nur Rahman (I0214003)
Erpan Nur Saputro (I0214035)
Naura Afia Nabilah (I0214068)
Reza Fahmi Irawan (I0214080)
Wahyu Setiaji (I0214091)

Dosen pembimbing:
Tri Joko Daryanto, S.T., M.T.

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab ini akan membahas tentang latar belakang masalah, permasalahan, persoalan
serta tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dari penelitian yang telah di lakukan.

A. Latar Belakang Masalah


Proses berpindahnya manusia dari satu tempat ke tempat lain yang
dituju bergantung pada kemampuan manusia dalam berorientasi dan
bernavigasi. Dalam bernavigasi seorang manusia cenderung mengandalkan
indra penglihatannya dengan mengenali karakter visual yang khas pada
lingkungan sekitar yang dilaluinya, sehingga mereka bisa berorientasi dan
mengingat rute yang harus dilewati dengan mengandalkan ingatan visual.
Proses bernavigasi dan berorientasi dari satu lokasi menuju lokasi tujuan disebut
juga dengan proses wayfinding.
Menurut Passini (1984) wayfinding dapat didefinisikan sebagai
kemampuan manusia untuk menemukan jalan menuju lokasi yang dituju. Proses
wayfinding ini juga berkaitan dengan spatial orientation, yakni kemampuan
manusia untuk memahami ruang di sekitarnya dan memposisikan diri di
dalamnya. Seringkali seorang manusia tidak mengetahui posisinya dalam
lingkungan tetapi dapat menemukan jalan menuju sebuah lokasi, sehingga
manusia terap berorientasi pada lingkungannya. Passini (1984) juga
menjelaskan bahwa proses wayfinding untuk memecahkan masalah mempunyai
tiga tahapan, yakni pemrosesan informasi, pengambilan keputusan, dan tindakan
aksi, sehingga diperlukan kemampuan kognitif untuk mencapai tujuan ini,
apabila terjadi kesalahan dalam proses wayfinding manusia dapat tersesat di
lingkungan yang tidak mereka dikenali.
Namun ketika manusia memasuki bangunan publik yang seperti mall
untuk yang pertama kali, seringkali mengalami kesulitan dalam berorientasi dan
bernavigasi. Untuk itulah keberadaan petunjuk dan penunjuk (signage) perlu
diperhatikan baik dari penataan maupun bentuk visual, sehingga dapat
memudahkan proses wayfinding pada manusia. Hal ini dikarenakan mall
merupakan tempat yang mempunyai aktivitas yang kompleks, selain itu
pengunjung mall juga memiliki karakter yang berbeda-beda. Oleh karena itu
penerapan sistem wayfinding harus bisa dimengerti dan dipahami oleh
pengunjung secara umum.
Untuk dapat mengetahui bagaimana sistem pada proses wayfinding
bekerja, penulis melakukan sebuah penelitian pada The Park Mall Solobaru
dengan studi kasus proses wayfinding dari area parkir menuju bioskop Cinema
XXI.

B. Permasalahan dan Persoalan


1. Permasalahan
Bagaimana proses wayfinding bekerja dari area parkir mall menuju bioskop
Cinema XXI pada The Park Mall Solo Baru sehingga memudahkan seseorang dalam
berorientasi dan bernavigasi untuk mencapai lokasi tujuan dengan mudah.
2. Persoalan
Persoalan dalam tugas yang harus diselesaikan adalah:
a. Bagaimana proses wayfinding seseorang dari area parkir mall menuju bioskop
Cinema XXI pada The Park Mall Solo Baru?
b. Apa saja bentuk wayfinding yang terdapat pada area mall khususnya area paerkir
mall menuju bioskop Cinema XXI selain signage?
c. Apa kelebihan dan kekurangan sistem wayfinding yang terdapat pada bangunan
The Park Mall Solo Baru?

C. Tujuan dan Sasaran


1. Tujuan
Mengetahui proses wayfinding bekerja dari area parkir mall menuju bioskop
Cinema XXI pada The Park Mall Solo Baru yang dapat memudahkan seseorang
dalam berorientasi dan bernavigasi untuk mencapai lokasi tujuan dengan mudah.
2. Sasaran
a. Mengetahui proses wayfinding seseorang dari area parkir mall menuju bioskop
Cinema XXI pada The Park Mall Solo Baru.
b. Mengetahui bentuk-bentuk wayfinding yang terdapat pada area mall khususnya
area paerkir mall menuju bioskop Cinema XXI selain signage.
c. Mengetahui kelebihan dan kekurangan sistem wayfinding yang terdapat pada
bangunan The Park Mall Solo Baru.
BAB II
TINJAUAN TEORI
Pada bab ini akan membahas tentang teori-teori mengenai wayfinding yang
selanjutnya akan digunakan sebagai bahan untuk membuat analisa guna memecahkan
permasalahan.

A. Pengertian Wayfinding
Menurut Passini (1984) wayfinding dapat didefinisikan sebagai kemampuan
manusia untuk menemukan jalan menuju lokasi yang dituju. Proses wayfinding ini juga
berkaitan dengan spatial orientation, yakni kemampuan manusia untuk memahami ruang
di sekitarnya dan memposisikan diri di dalamnya. Seringkali seorang manusia tidak
mengetahui posisinya dalam lingkungan tetapi dapat menemukan jalan menuju sebuah
lokasi, sehingga manusia terap berorientasi pada lingkungannya.
Passini (1984) menjelaskan tentang proses Wayfinding untuk memecahkan
masalah dengan 3 bagian penting di antaranya ialah pemrosesan informasi, pengambilan
keputusan dan tindakan aksi. Sehingga diperlukan kemampuan kognitif untuk mencapai
tujuan ini. Sehingga dapat dirangkum komponen – komponen dari Wayfinding Process
sebagai berikut:
1. Wayfinding Task (Tujuan Wayfinding)
Tujuan wayfinding yakni untuk mencapai suatu lokasi pada waktu yang diperkirakan
atau diinginkan menurut Passini (1984). Keberhasilan proses wayfinding ialah ketika
tujuan ini tercapai pada kerangka waktu yang direncanakan.
2. Environmental Information (Informasi dari Lingkungan).
Informasi ini dapat berupa tanda-tanda (signs), direktori, peta, penanda-penanda
lainnya dari lingkungan alami maupun lingkungan buatan manusia atau arsitektural
(Passini, 1984). Informasi ini dapat berupa rangsangan – rangsangan yang bersifat
non-arsitektural.
3. Information Processing atau Cognitive Process
Merupakan elemen penting dari proses Wayfinding ini (Passini 1984). Proses ini jelas
membantu individu untuk mengenal lingkungannya dan membandingkan dengan
pemikirannya serta mengambil keputusan aksi menemukan jalan. Penjelasan Downs
dan Stea (1977) mengenai proses ini akan dibahas dengan lebih jelas pada sub-bab
berikutnya.
4. Cognitive Memory (Ingatan Kognitif)
Hal-hal yang terkait dengan Information Processing, juga mempengaruhi kecepatan
wayfinding. Kecepatan ini akan bertambah seiring dengan semakin banyaknya
pengalaman individu berorientasi di lingkungan tersebut (Lynch,1960).
5. Wayfinding Decision dan Behavioural Action
Keputusan ini biasanya berjenjang dan memperhatikan konteks
proses Wayfinding. Passini mengambil contoh misalnya untuk mencapai Turtle Atoll
(di Australia) diperlukan beberapa keputusan yang mengikuti hirarki, seperti:
mengikuti gugusan karang ke daerah Big Dip, mengarahkan perahu (kanoe) ke arah
lain, mengganti posisi layar. Skema ini juga bisa dapat menjadi Rencana Pengambilan
Keputusan (Decision Plans) yang berisi detail setiap metode bagaimana kegiatan itu
dilakukan.

B. Unsur-unsur Wayfinding
Menurut www.graphicsystems.net, unsur-unsur penting dalam wayfinding antara
lain sebagai berikut.
1. Arrival Points atau Titik Kedatangan
Unsur ini mengidentifikasi secara jelas titik masuk ke suatu tempat, sehingga
pengunjung dapat dengan mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Dengan demikian, di arrival points diperlukan marka grafis yang informatif dan
mudah dilihat untuk membantu pengunjung.
2. Floor Numbering
Diutamakan untuk bangunan yang berlantai banyak, diperlukan informasi letak
lantai yang konsisten.
3. Destination Names atau Penamaan Lokasi Tujuan
Standarisasi dalam desain alat penanda di lokasi tujuan penting untuk mempermudah
pengunjung memperoleh informasi dengan referensi yang sama atas desain penanda.
Standarisasi desain juga dapat menyesuaikan dengan identitas tempat tersebut.
4. Sign Placement atau Lokasi Penempatan Marka Grafis
Berhasil atau tidaknya penempatan marka grafis juga ditentukan oleh tepat atau
tidaknya penempatan. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
penempatan marka grafis.
a. Alat penanda harus ditempatkan di lokasi dengan area pandang luas dan
terjangkau, tergantung pada sight lines di setiap titik penempatan.
b. Alat penanda harus ditempatkan pada jarak yang konstan dari area jalan atau
pedestrian, sekitar 3 kaki 6 inchi.
c. Untuk directional sign, ketinggian huruf tidak boleh kurang dari 2 inchi.
d. Hindari penggunaan teks pada regulatory sign kecuali memang dibutuhkan.
e. Dalam suatu alat penanda dengan lebih dari satu informasi, letakkan informasi
utama paling atas.

C. Kemampuan Individu Manusia untuk Wayfinding dan Berorientasi


Darwin dalam Romanes (1883) mengidentifikasi adanya insting manusia yang
masih tergolong primitif membantu manusia untuk menemukan arah dengan lebih baik.
Darwin mengutip Laksamana Ferdinand Wrangell (1845) yang memimpin ekspedisi ke
Kutub Utara. Wrangell menyatakan kekagumannya terhadap para pemandu lokal dari
Siberia yang mampu menunjukkan arah dengan menggunakan instingnya. Hal ini
menunjukkan terdapatnya kemampuan yang berbeda – beda untuk menemukan jalan dan
berorientasi pada setiap individu.
George Grey, Gubernur Australia Selatan (1841), juga sependapat dengan
Darwin. Ia mengamati penduduk asli yang membantu ekspedisi ke Australia Barat. Ia
menyatakan juga bahwa mereka dapat dengan mudah menemukan jalan sekalipun betapa
rumitnya perjalanan yang dibuat karena insting alami mereka untuk menemukan jalan.
Tetapi di sisi lain Wrangell (1845) menyatakan bahwa pemandu lokal di Siberia
juga karena mereka mampu membedakan berbagai elemen alam berupa bongkahan –
bongkahan es. Passini (1984) juga menambahkan bahwa berbagai landmark atau
penanda yang signifikan berupa bongkahan es yang besar, tebing – tebing yang
bergelombang, tumpukan salju dapat menjadi tanda – tanda yang baik. Hal ini yang
diduga membantu pemandu – pemandu tsb menemukan arah dengan lebih
baik.Sebaliknya berbagai ahli juga menemukan bahwa insting ini tidak selalu dimiliki
individu secara konstan. Hal ini dibuktikan oleh De Silva (1931), Howard dan Templeton
(1966), Shemyakin (1962).
Berkaitan dengan kemampuan ini ditemukan bahwa wayfinding and orientation
skill tidak selalu berkaitan dengan kemampuan menunjukkan lokasi secara geografis.
Sebagai ilustrasi Lewis (1976) menyatakan bahwa Suku Aborigin Australia memiliki
kemampuan menemukan jalan dengan baik walau mereka tidak dapat menunjukkan arah
lokasi secara geografis. Mereka rupanya menggunakan cara lain untuk mengingat lokasi
dan mencapainya.
Kesamaan proses ini mungkin juga dimiliki oleh Suku – Suku Polinesia yang
diteliti oleh Gladwin (1970) dan Lewis (1975). Mereka mengambil seorang pelaut
sebagai contoh bernama Hipour. Hipour mampu menempuh lebih dari 1,000 mil laut
perjalanan yang diujikan oleh Lewis. Ternyata Suku – Suku Polinesia tidak memerlukan
untuk mengetahui lokasi secara presisi ketika mengarungi laut. Mereka hanya
menggunakan ingatan bagaimana mencapai tujuan. Hal ini berbeda dengan sistem
navigasi pelaut Barat yang menggunakan peta dan perhitungan mengenai lokasi kapal
secara aktual. Berarti budaya sangat mempengaruhi proses dan kemampuan menemukan
jalan pada setiap individu manusia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa insting manusia untuk menemukan arah tidak
dapat dijadikan satu – satunya alat bantu untuk menemukan jalan dan berorientasi pada
lingkungannya. Karena itu perlu dipahami proses psikologi, elemen arsitektur dan sistem
penanda grafis untuk mewujudkan wayfinding and orientation process yang
berkelanjutan. Ada beberapa proses dalam wayfinding, yaitu sebagai berikut.
a. Decision Making
Dalam tahap pertama ini, pengguna marka grafis melalui proses
memikirkan/menentukan jalur mana yang akan ditempuh untuk menuju tempat yang
ia inginkan. Si pengguna membuat rencana beberapa jalur yang kemungkinan akan
dilaluinya untuk menuju lokasi tersebut.
b. Decision Execution
Setelah mengetahui jalur mana saja yang dapat dilalui, si pengguna mengambil
keputusan jalur terbaik mana yang sebaiknya ia tempuh.
c. Information Process
Proses ini melibatkan kemampuan orientasi lingkungan berdasarkan pada persepsi dan
pemahaman lokasi sehingga kedua proses sebelumnya dapat berjalan lancar.

D. Wayfinding dalam Arsitektur


Dalam konteks bangunan, Passini (1984) mengakui diperlukannya Architectural
Wayfinding Element yang membantu individu untuk menemukan jalannya dengan lebih
efisien, Hal ini dipengaruhi teori bahwa wayfinding process akan memerlukan dukungan
dari cues from the built environment atau penanda – penanda dari lingkungan binaan.
Penanda ini kemudian dibahas lebih lanjut oleh Boulding (1956) dan Lynch (1960) sbb.
Dua teori yang membahas teori Architectural Wayfinding Element ini ialah
Boulding (1956) dan Lynch (1960). Mereka menyampaikan bahwa kemampuan individu
untuk menggambarkan suasana bangunan atau letak bangunan yang menarik ternyata
didasari oleh ciri khas bangunan yang memiliki sifat legibility (kemudahan untuk
dimengerti) dan imageability (kemudahan untuk diingat).
Lynch (1960) mengemukakan bahwa ada 5 elemen yang dapat memperkuat dua
sifat di atas yaitu Pathway, Node, Landmark, District dan Edge pada skala urban.
Passini (1984) berdasarkan studi bangunan-bangunan komersial di Montreal menemukan
kesamaan 5 elemen ini pada bangunan-bangunan sebagai berikut:
a. Pathway
Pathway dalam skala kota dapat didefinisikan sebagai jalur pergerakan
pengamat secara biasa, sering dan potential (Lynch, 1960). Pathway dalam skala
bangunan berupa koridor, promenade, koridor di dalam galeri, tangga, eskalator,
elevator (Passini, R. 1984).

Gambar 1. Contoh Elemen Pathway


Sumber: google images
b. Landmark
Landmark dalam skala kota dapat didefinisikan sebagai sebuah titik referensi
yang dapat berupa benda fisik, seperti: bangunan, tanda, pertokoan atau gunung
(Lynch, 1960). Landmark dalam bangunan dapat berupa toko, bioskop, meja
informasi, patung, lansekap, elemen struktur dan elemen dekoratif.
Seringkali landmark dapat berupa ruangan kosong yang memiliki fungsi sebagai titik
referensi (Passini, R. 1984).
Gambar 2. Contoh Elemen Landmark
Sumber: google images
c. Node
Node dalam skala kota merupakan sebuah tempat strategis yang dapat
dimasuki oleh pengamat dan sebuah pusat intensif dimana individu tersebut pergi
menuju dan darinya (Lynch, 1960). Node dalam skala bangunan merupakan
pertemuan sirkulasi dan aula pertemuan. Sehingga hanya berbeda dalam skala
terhadap node dalam skala kota (Passini, R. 1984).

Gambar 3. Contoh Elemen Node


Sumber: google images
d. Edge
Edge dalam skala kota adalah elemen-elemen linear yang bukan merupakan
jalan oleh pengamat, mereka adalah batas-batas, tepian merupakan pembatas (Lynch,
1960). Edge dalam skala bangunan dapat berupa dinding pembatas terutama dinding
luar bangunan (Passini, R. 1984).

Gambar 4. Contoh Elemen Edge


Sumber: google images
e. District
District dalam skala kota merupakan bagian kota yang berukuran sedang atau
luas yang memiliki karakter khusus yang kuat (Lynch, 1960). District dalam skala
bangunan atau Zoning dapat berupa zona yang berukuran luas yang memiliki fungsi
serupa seperti pertokoan. Atau pada pendidikan dapat berupa zona laboratorium, zona
kelas dan zona kantor (Passini, R. 1984).

Gambar 5. Contoh Elemen District


Sumber: google images
BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data
dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan suatu
metode yang relevan dengan tujuan yang ingin dicapai.
A. Metode Observasi
1. Pengertian Metode Observasi
Metode observasi (pengamatan langsung) adalah metode pengumpulan data
dengan mengamati secara langsung di lapangan. Mengamati bukan hanya melihat,
melainkan juga merekam, menghitung, mengukur, dan mencatat kejadian-kejadian
yang ada. Observasi dapat digolongkan sebagai teknik mengumpulkan data jika
mempunyai kriteria sebagai berikut:
a. Digunakana untuk meneliti dan telah direncanakan secara sistematik.
b. Harus berkaitan dengan tujuan penelitian yang telah direncanakan.
c. Dicatat secara sistematis dan dihubungkan dengan proporsi umum dan bukan
dipaparkan sebagai suatu set yang menarik perhatian saja.
d. Dapat diperiksa dan dikontrol validitas dan realibilitasnya.
2. Ciri-ciri Umum Observasi:
a. Jelas diketahui objek yang diamati.
b. Perilaku dibuat dalam kategori-kategori.
c. Unit yang digunakan dalam pengukuran perilaku harus ada.
d. Derajat inferensi yang digunakan harus jelas diketahui.
e. Jenis serta besar sampel harus ditentukan.
f. Pengamatan harus reliabel dan valid.
3. Objek-objek Penelitian dalam Metode Observasi
a. Pelaku atau partisipan, meyangkut siapa saja yang terlibat dalam kegiatan yang
diamati, status mereka, dan hubungan mereka dengan kegiatan tersebut.
b. Kegiatan, menyangkut apa yang dilakukan oleh partisipan, apa yang mendorong
mereka melakukannya, untuk siapa mereka melakukannya, bagaimana mereka
melakukannya, bagaimana bentuk kegiatan tersebut, dan apa akibat kegiatan
tersebut.
c. Tujuan, menyangkut apa yang diharapkan partisipan, baik dalam bentuk tindakan,
ucapan, ekspresi muka, dan gerak tubuh.
d. Ruang atau tempat, menyangkut lokasi peristiwa yang diamati berlangsung.
e. Waktu, menyangkut jangka waktu kegiatan yang diamati.
f. Benda atau alat, menyangkut jenis, bentuk, bahan, dan kegunaan benda atau alat-
alat yang dipakai pada saat kegiatan diamati.
4. Bentuk-bentuk Observasi
a. Berdasarkan Keterlibatan Penelitinya
 Observasi Biasa
Pengamat merupakan orang yang sepenuhnya melakukan observasi. Ia tidak
memiliki keterlibatan apapun dengan objek penelitiannya.
 Observasi Terkendali
Observasi terkendali adalah observasi yang sama dengan observasi biasa.
Namun, sasaran penelitian ditempatkan dalam suatu ruangan yang terbatas
untuk diamati dan diadakan berbagai percobaan oleh peneliti atau pengamat.
 Observasi Terlibat (Partisipasi)
Dalam observasi jenis ini, peneliti terlibat dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan
masyarakat yang dijadikan objek penelitian. Maksudnya, peneliti datang dan
tinggal di tengah masyarakat tersebut selama jangka waktu tertentu.
b. Berdasarkan Cara Observasinya
 Observasi Tidak Berstruktur
Peneliti tidak mengetahui aspek-aspek kegiatan yang diamati, yang sesuai
dengan tujuan penelitiannya. Sebelum memulai kegiatan pengumpulan data,
peneliti juga tidak memiliki rencana cara-cara mencatat hasil pengamatannya
tersebut. Pengamatan tidak berstruktur ini sering digunakan dalam penelitian
yang sifatnya eksploratif. Ada beberapa hal yang dapat diperoleh dari
pengamatan ini, diantaranya adalah:
- Partisipan.
Dalam hal ini, peneliti mengadakan observasi untuk mengetahui siapa
partisipan dan bagaimana hubungan antarpartisipan tersebut. Beberapa ciri
partisipan yang ingin dikethaui adalah jenis kelamin, umur, pekerjaan,
jabatan, dan lain sebagainya.
- Setting
Suatu keadaan atau kegiatan itu terjadi dalam situasi dan kondisi berbeda-
beda, misalnya di rumah sakit, jalan raya, pabrik, restoran, sekolah, halaman
rumah, dan lain-lain.
- Tujuan
Observasi difokuskan untuk melihat tujuan dari terjadinya suatu gejala,
komunikasi, atau terbentuknya suatu kelompok.
- Perilaku sosial.
Peneliti juga ingin mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi secara aktual,
apa yang dikerjakan oleh partisipan, dan bagaimana cara melakukannya.
- Frekuensi dan lamanya kejadian.
Dalam hal ini, observasi ditujukan untuk mengetahui kapan suatu situasi
terjadi dan berakhir, suatu fenomena yang terjadi berulang atau sesuatu yang
istimewa.
 Observasi Berstruktur
Peneliti mengetahui aspek aktivitas yang sesuai dengan masalah serta
tujuan penelitian, dengan pengungkapan yang sistematis untuk menguji
hipotesisnya. Observasi bisa saja dilakukan di lapangan atau di laboratorium,
dan bisa terhadap manusia, hewan, ataupun tumbuh-tumbuhan. Jika
menggunakan desain bukan percobaan (noneskperimen), maka si peneliti tidak
mempunyai kontrol terhadap variabel.
Tetapi dalam observasi berstruktur, si peneliti dapat sejak awal
menentukan secara umum, perilaku apa yang ingin diamatai agar masalah yang
dipilih dapat dipecahkan. Obsevasi yang berstruktur telah direncanakan secara
sistematis sehingga sudah pasti isinya lebih sempit dan terarah dibandingkan
dengan isi observasi yang tidak berstruktur.
Dalam rangka untuk menambah ketepatan dan kecepatan observasi,
biasanya peneliti juga dilengkapi dengan alat-alat seperti tape recorder, kamera,
film, video, dan lain sebagainya.
BAB IV
DATA LAPANGAN
Bab ini menjelaskan tentang hasil pengamatan data di lapangan yaitu berupa the park
mall yaitu jalur dari parkiran menuju bioskop. Data lapangan diperoleh dari survey lapangan
dengan metode pengamatan secara langsung pada objek studi kasus dari parkiran menuju
bioskop. Dalam metode pengamatan yang dilakukan dibagi menjadi 2 jalur yaitu dari
parkiran motor menuju bioskop dan dari parkiran mobil menuju bioskop.

A. Rute parkir mobil menuju bioskop

Gambar 6. Sketsa titik peletakan elemen wayfinding pada lower floor


Sumber: http://mall.theparksolo.com/floorplan

Gambar 7. Sketsa titik peletakan elemen wayfinding pada ground floor


Sumber: http://mall.theparksolo.com/floorplan
Gambar 8. Sketsa titik peletakan elemen wayfinding pada lantai 1
Sumber: http://mall.theparksolo.com/floorplan

Gambar 9. Sketsa titik peletakan elemen wayfinding pada lantai 2


Sumber: http://mall.theparksolo.com/floorplan

Dari jalur pertama ini kami menemukan beberapa penunjuk jalan yang bermacam macam
seperti gambar di atas.
B. Rute parkir motor menuju bioskop

Gambar 10. Sketsa titik peletakan elemen wayfinding pada lantai dasar
Sumber: http://mall.theparksolo.com/floorplan

Gambar 11. Sketsa titik peletakan elemen wayfinding pada lantai 1


Sumber: http://mall.theparksolo.com/floorplan

Gambar 12. Sketsa titik peletakan elemen wayfinding pada lantai 2


Sumber: http://mall.theparksolo.com/floorplan
Dari jalur kedua ini hanya menemukan satu petunjuk arah berupa peta lantai.
Karena setelah masuk dari lobi broadway, maka langsung terlihat bioskop yang terletak
di lantai 2 karena keberadaan penanda pada bioskop tersebut. Dari pengamatan tersebut
dapat terdapat beberapa jenis penunjuk arah untuk proses wayfinding, yaitu :
1. Peta lokasi setiap lantai
Petunjuk ini berada di setiap lantai dan tempatnya di sebelah tangga eskalator.
Petunjuk ini menunjukan apa saja yang ada di lantai tersebut. Tetapi tidak menyajikan
jalur atau rute dari satu tempat ke tempat lain.

Gambar 13. Foto peta lokasi pada the park mall


Sumber: Dokumentasi Kelompok
2. Petunjuk arah gantung
Petujuk ini digunakan untuk memberi petunjuk untuk fasilitas umum yang ada di mall
tersebut. Letaknya di jalur sirkulasi utama dan berada di atas. Petujuk ini sudah
mencolok dan masuk kedalam tema tetapi letaknya terlalu tinggi untuk di lihat oleh
orang yang ada di mall tersebut.
Gambar 14. Foto penunjuk arah gantung pada the park mall
Sumber: Dokumentasi Kelompok

3. Petunjuk arah di dinding


Petunjuk ini berada di setiap persimpangan sirkulasi yang akan menuju fasilitas
umum seperti toilet dan mushola. Petunjuk ini sudah bagus tetapi bila sirkulasi
menjadi ramai maka petunjuk ini akan hilang tertutup badan karena letaknya yang
tidak begitu tinggi.

Gambar 15. Foto penunjuk arah di dinding pada the park mall
Sumber: Dokumentasi Kelompok
BAB V
ANALISIS
Pada bab ini akan membahas tentang analisis data hasil pengamatan dengan
berlandaskan pada teori-teori yang telah dibahas pada bab 2.
A. Proses Wayfinding pada The Park Mall
a. Rute parkir mobil menuju bioskop
Proses wayfinding dari parkir mobil menuju bioskop dimulai dari pengunjung
turun dari mobil dan berada di pintu utama. Setelah melalui pintu utama
sebagai titik keberangkatan, pengunjung berada pada atrium yang dapat
melihat lantai dasar sampai lantai 2. Oleh karena itu, pengunjung dapat
langsung menengenali tujuan akhir perpindahannya yaitu bioskop XXI yang
dapat terlihat langsung dari atrium. Kemudian pengunjung mencari jalan untuk
dapat naik ke lantai 2, pengunjung melihat ke sebelah kanan atrium dan
menemukan escalator. Pengunjung menaiki escalator sampai lantai 2,
selanjutnya melewati selasar untuk dapat sampai di bioskop XXI.
b. Rute parkir motor menuju bioskop
Proses wayfinding dari parkir motor menuju bioskop dimulai dari pengunjung
memarkirkan motor di lower ground. Selanjutnya pengunjung diarahkan
menuju pintu masuk menggunakan tulisan yang ditempel pada kolom lower
floor. Setelah itu pengunjung diarahkan menuju koridor kecil yang lurus dan
kosong sehingga pengunjung dapat diarahkan menuju koridor distrik ritel.
Setelah itu pengunjung kehilangan arah untuk mencapai tujuannya sehingga
pengunjung mencoba mencari papan penanda atau informasi. Kemudian
pengunjung menemukan peta area lantai, sehingga pengunjung dapat
diarahkan untuk menuju lantai 2 agar dapat mencapai bioskop XXI. Kemudian
pengunjung mencari jalan untuk dapat naik ke lantai 2, pengunjung melihat ke
sebelah kanan atrium dan menemukan escalator. Pengunjung menaiki
escalator sampai lantai 2, selanjutnya melewati selasar untuk dapat sampai di
bioskop XXI.
B. Unsur Wayfinding pada The Park Mall
1. Signage
Merupakan penanda yang menginformasikan suatu tempat maupun untuk
mengarahkan seseorang menuju suatu tempat. Pada area the park mall terdapat tiga
jenis signage, diantaranya yaitu:
a. Peta Lokasi
Petunjuk ini berada di setiap lantai dan tempatnya di sebelah tangga eskalator.
Petunjuk ini menunjukan keseluruhan tempat yang ada di lantai tersebut. Tetapi
tidak menyajikan jalur atau rute dari satu tempat ke tempat lain.

Gambar 16. Foto peta lokasi pada the park mall


Sumber: Dokumentasi Kelompok

b. Penunjuk di Plafond
Petujuk ini digunakan untuk memberi petunjuk untuk fasilitas umum yang ada di
mall tersebut. Letaknya di jalur sirkulasi utama dan berada di atas. Petujuk ini
sudah mencolok dan masuk kedalam tema tetapi letaknya terlalu tinggi untuk di
lihat oleh orang yang ada di mall tersebut.

Gambar 17. Foto penunjuk arah gantung pada the park mall
Sumber: Dokumentasi Kelompok

c. Penunjuk di Dinding
Petunjuk ini berada di setiap persimpangan sirkulasi yang akan menuju fasilitas
umum seperti toilet dan mushola. Petunjuk ini sudah bagus tetapi bila sirkulasi
menjadi ramai maka petunjuk ini akan hilang tertutup badan karena letaknya yang
tidak begitu tinggi.

Gambar 18. Foto penunjuk arah di dinding pada the park mall
Sumber: Dokumentasi Kelompok

2. Pathway
Pada area bangunan the park mall pathway terwujud dalam bentuk koridor
mall yang lurus menghubungkan dua buah atrium.

Gambar 19. Foto selasar pada the park mall


Sumber: Dokumentasi Kelompok

3. Landmark
Pada area bangunan the park mall landmark terwujud dalam bentuk atrium,
dimana terdapat dua atrium yang menjadi acuan bagi para pengunjung.
Gambar 20. Foto atrium pada the park mall
Sumber: Dokumentasi Kelompok

4. District
Pada area bangunan the park mall district terwujud dalam bentuk pembagian
beberapa zona fungsi ruang, seperti: zona foodcourt, zona permainan, zona ritel
pakaian dan aksesoris, serta zona super market.

Kelebihan Sistem Wayfinding pada The Park Mall

a. Signage dan penunjuk arah dapat ditemukan di tempat-tempat strategis dan


menjadi penghubung antar lantai seperti di dekat eskalator.
b. Signage dan penunjuk arah memiliki desain visual yang dapat dengan mudah
diidentifikasi melalui bentuk dan warna.
c. Eskalator yang menghubungkan antar lantai dapat ditemukan dengan mudah
sehingga memudahkan pengunjung.

C. Kekurangan Sistem Wayfinding pada The Park Mall


a. Signage dan penunjuk arah hanya untuk tempat-tempat service (toilet,
mushola, pintu keluar, lift, jalur evakuasi). Tidak terdapat signage yang
menujukkan distrik (ritel, market, hiburan, dan tempat makan).
b. Signage dan penunjuk arah gantung terletak terlalu tinggi dan kecil ukuran
tulisan, sehingga harus mendekati jika ingin membacanya.
c. Tidak semua distrik memiliki desain yang berbeda, yang dapat memudahkan
identifikasi.
BAB VI
KESIMPULAN

Wayfinding pada The Park mall menggunakan sistem spatial, dimana informasi
mengenai tempat-tempat tertentu disajikan menjadi satu, yakni dalam bentuk peta. Sementara
untuk penanda-penanda yang mengarahkan tempat terbilang minim, hanya tempat-tempat
seperti tempat servis dan entrance yang terdapat penanda, sementara tempat-tempat seperti
toko-toko di dalam mall tidak terdapat petunjuk arah.
Hal ini dikarenakan mall merupakan tempat yang didesain untuk membuat
pengunjungnya bisa berkeliling di area sekitar mall untuk menambah daya tarik terhadap
toko-toko. Sehingga penanda yang terdapat di mall tidak dikhususkan untuk satu tempat saja.
DAFTAR PUSTAKA

Follins, John & Hammer, Dave. 1979. Architectural Signing & Graphics.
New York: Whitney Library of Design.
Haryadi & B. Setiawan, Agustus 2010. Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku.
Pengantar ke Teori,Metodologi dan Aplikasi. Penerbit Gadjah Mada
University Press. Indonesia.
Arthur, Paul; Passini, Romedi. 1992. Wayfinding: People, Sign, and Architecture,
Ontario: McGraw-Hill Ryerson.
https://tourism.binus.ac.id/2017/08/11/elemen-arsitektur-dalam-pengembangan-
wisata-perkotaan/ - diakses pada 13 Desember 2017
http://mall.theparksolo.com/floorplan - diakses pada 13 Desember 2017

Anda mungkin juga menyukai