ISI
2.1. Preferensi
2.1.1. Definisi Preferensi
Preferensi adalah hak (untuk) didahulukan dan diutamakan, diprioritaskan, pilihan
kecenderungan atau kesukaan dalam menggunakan atau memanfaatkan suatu barang atau
jasa. Preferensi adalah suatu bentuk pernyataan yang menyatakan perasaan lebih suka dari
yang lainnnya yang bersifat individual (subyektif). Dalam kamus Bahasa Indonesia kata
preferensi memiliki arti
(1) (hak untuk) didahulukan dan diutamakan dari pada yang lain; prioritas
(2) pilihan; kecenderungan; kesukaan.
Scott (1974) mengatakan, arsitektur hendaknya mempunyai tujuan yang humanis.
Bagi Norberg Schulz (1986), tugas para perancang adalah menyediakan suatu pegangan
eksistensial bagi pemakainya agar dapat mewujudkan cita-cita dan mimpinya. Sementara itu,
Charles Jencks (1971) menambahkan bahwa dalam masyarakat pluralis, arsitek dituntut
untuk mengenali berbagai konflik dan mampu mengartikulasikan bidang sosial setiap
manusia pada setiap situasi tertentu. Atau dengan kata lain, membuat desain yang tanggap
sosial. Salah
satu cara untuk mewujudkan suatu desain yang tanggap sosial adalah
mempelajari dengan baik preferensi pengguna, karena jika dalam proses perancangan arsitek
hanya memperhitungkan ketentuan maupun standar secara fisik, akan memungkinkan
terjadinya banyak kegagalan dalam desain.
dengan
proses
membandingkan,
kondisi
ini
menyebabkan
penguna
3
membandingkan satu stimulan dengan stimulan yang lain. Dari hasil perbandingan tersebut
pengguna menetapkan mana yg lebih nyaman,indah dan lain sebagainya
Berlyne (1960) menyebutkan empat kriteria preferensi lingkungan, yaitu kompleksitas
(complexity), kebaruan (novelty), keganjilan (incongruity) dan keterkejutan (surprisingness)
a. Complexity (kompleksitas) : jenis / ragam dari komponen komponen pembentuk
lingkungan,semakin beragam semakin baik. Contoh : tanaman yang beragam
dianggap lebih indah dari pada sekelompok tanaman yang homogen
b. Novelty (kebaruan) : suatu tingkat keunikan dari sebuah objek terhadap
lingkungannya. Sejauh mana lingkungan tersebut mengandung ragam unik yang tidak
ada tempat lain. Contoh restoran mengapung di air lebih menarik dari pada restoran di
darat.
c. Incongruity (ketidaksenadaan) : ketidaksesuiaan terhadap konteks lingkungan. Contoh
: sebuah monumen tinggi menjulang di tengah ruang terbuka, pemandangan yang
menarik karena tidaksenadaannya dengan lingkungan
d. Surprisingness (keterkejutan) : komponen yang membuat pengguna merasa tertarik
karena menimbulkan keterkejutan pada suatu setting. Contoh :ketika berjalan di
ruangan sempit secara tidak disadari ruang tersebut mengarah ke ruang yang bersifat
sebaliknya sehingga menimbulkan keterkejutan
kebutuhan dasar. Begitu pula dengan cara orang memenuhi kebutuhan yang sama
sekalipun,misalnya dalam mengekspresikan status bisa berbeda dengan yang lain. Ada yang
menggunakan cara memakai barang barang bermerk, menjabat suatu posisi penting, ataupun
mengikuti keanggotaan klub tertentu.
Meskipun pola aktivitas tertentu pada umumnya dapat langsung diterapkan dalam
perancangan suatu lingkungan, mungkin saja terjadi bahwa lingkungan yang dirancang
berbeda dengan asumsi terdahulu yang pernah dibuat karena latar belakang yang berbeda
dapat pula melahirkan preferensi yang berbeda. Misalnya dalam perancangan sebuah tempat
perkemahan, akan ada berbagai preferensi orang berkemah.
Pengalaman individual
Kondisi fisik individu
Latar belakang budaya
Faktor psikologi individu
Faktor lingkungan
5
6. Waktu
Pengamatan suatu behavior setting dapat membantu arsitek untuk mengerti preferensi
pengguna karena preferensi terekspresikan dalam perilaku. Apabila kompetensi pengguna
meningkat maka penggunaan penggunaan lingkungan pun akan menjadi semakin luas.
Sebaliknya menurunnya tingkat kompetensi pengguna, misalnya karena faktor usia atau cacat
fisik, akan menyebabkan penggunaan lingkungan lebih terbatas.
Kontribusi studi perilaku-lingkungan pada desain arsitektur adalah memberi masukan
mengenai masalah masalah yang sesungguhnya harus diselesaikan. Tanpa mengetahui ini,
desain arsitektur akan membuat solusi yang tidak bermanfaat. Dengan pendekatan studi
perilaku-lingkungan yang memerlukan penelitian, pengamatan, atau teknik untuk dapat
menentukan preferensi pengguna diharapkan lingkungan fisik yang dirancang mampu
memaksimalkan kebebasan bagi penggunanya untuk memilih cara mereka hidup dan
membuka peluang perilaku dan perseptual untuk mengakomodasikan sebanyak mungkin
kebutuhan pengguna.
2.2. Kognisi
2.2.1 Pengertian Kognisi
Pengertian Kognisi secara Umum :
-
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kognisi diartikan sebagai kegiatan atau
proses memperoleh pengetahuan (termasuk kesadaran, perasaan, dsb) atau usaha
Kognisi lingkungan yang sifatnya abstrak ini, dapat diproyeksikan secara spasial.
Kognisi spasial berkaitan dengan cara kita memperoleh, mengorganisasi, menyimpan, dan
membuka kembali informasi mengenai lokasi, jarak, dan tatanan di lingkungan fisik.
Termasuk di dalamnya ada perihal penyelesaian masalah, navigasi, mengatasi kekacauan,
mencari jalan keluar atau menolak informasi tentang jalan keluar, yang semuanya berkaitan
dengan lingkungan fisik sehari-hari. Termasuk juga rambu-rambu, pictorial image, dan
semantic di dalam benak seseorang.
Selain sebagai mental setting untuk antisipasi bertindak, peta mental juga
berfungsi sebagai mediasi persepsi. Peta mental memungkinkan orang
menandai,menstrukturisasikan, dan menyimpan informasi visual dan spasial, dan
mengatur responnya terhadap objek yang dilihatnya. Melalui pengalamannya, peta
mentail ini menjadi pengukur signifikasi lingkungan bagi hidup seseorang.
c. Sebagai tujuan komunikasi dan menunjukkan identitas diri
Fungsi peta mental juga bisa untuk tujuan komunikasi, bahkan untuk
menunjukkan identitas diri. Misalnya, Jakarta dengan Tugu Monas, Surabaya
dengan Tugu Pahlawan, Bukittinggi dengan Jam Gadang, Paris dengan Menara
Eiffel, dll. Agar peta mental tersebut berguna maka ia harus mampu memprediksi
sesuatu, artinya tidak cukup hanya berupa jaringan images. Image tentang
lingkungan saat ini harus diasosiasikan dengan image mengenai objek dan
peristiwa yang mungkin akan ada. Demikian pula penelitian peta mental akan
bermanfaat bagi perencana dan arsitek apabila mampu memprediksikan perilaku
atau respons pengguna lingkungan baru di waktu mendatang.
disekitarnya. Misalnya, Wisma Kota BNI 46 atau Hotel Mulia di Jakarta yang
mudah dibedakan dari bentuk skyline-nya. Aspek lain yang kurang dominan
adalah kompleksitas fasade, seperti Wisma Dharmala di Jakarta, atau warna yang
mencolok di lingkungannya.
Apabila banyak gedung berada dalam satu kompleks dan masing-masing
mempunyai keunikan sendiri, yang muncul adalah keseragaman dalam perbedaan,
tidak ada lagi yang dominan sehingga atribut formal bangunan tertentu menjadi
lemah.
b. Visibility attributes
Atribut kedua adalah kemudahan dilihat (visibility attributes), seperti lokasi di
perempatan jalan, bersebelahan dengan lapangan terbuka atau di tikungan jalan
besar.
c. Use and significance attributes.
Atribut ketiga adalah penggunaan yang signifikan (use and significance
attributes), seperti sebuah rumah sakit, sebuah pompa bensin, sebuah kantor
polisi, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan oleh orang banyak.
Kevin Lynch dalam bukunya yang monumental, The Images of The City, secara detail
mengupas masalah ini. Ada contoh tentang peta mental seorang anak Aborigin di Australia.
12
Peta mental suatu kota dapat dikategorikan menjadi 2 yakni ; peta mental penduduk
kota tersebut, serta peta mental pengunjung. Keduanya dapat mirip tetapi cenderung berbeda,
terutama karena tingkat interaksi antara keduanya yang berbeda. Pengunjung, terutama hanya
mempunyai kesempatan untuk mengunjungi pusat kota, atau beberapa lokasi yang menarik
untuk dikunjungi, sehingga peta mentalnya cenderung terbatas pada bagian-bagian yang
mereka pernah lihat.
Proses kognisi seseorang atau proses pembentukan peta mental atau image terhadap
suatu lingkungan bukan lagi merupakan suatu proses yang independent. Dengan kata lain,
melalui kemajuan teknologi komunikasi dan media massa, proses pembentukan mental
seseorang cenderung dipengaruhi atau dimanipulasi oleh pihak lain.
Penelitian mengenai peta mental ini memberi pengertian bagaimana menciptakan
bangunan atau lingkungan yang mudah dilihat dan diingat, sekaligus membangkitkan
kekayaan pengalaman orang yang memakainya terutama pada fasilitas public. Seberapa jelas
sebuah lingkungan harus dibuat, seberapa jauh diharapkan orang mengeksplorasi lingkungan
dengan rasa ingin tahu, itu adalah desain. Pengetahuan akan peta mental inilah yang
diharapkan dapat membekali perancang lingkungan untuk berkarya.
13