Anda di halaman 1dari 16

PROGRAM STUDI S1 ARSITEKTUR

TUGAS KELOMPOK MATA KULIAH METODOLOGI RISET & STATISTIK


KELAS A - SEMESTER V

Judul Tugas:
EVALUASI GEDUNG PARKIR BERSAMA UNIVERSITAS
DIPONEGORO BERDASARKAN KAIDAH KEAMANAN DAN
KELAYAKAN

Disusun oleh:

1. Maura Gracia Anggarawati 21020120120024


2. Trie Ulfa Ramadhani 21020120120030
3. Ali Fatkhul Rahman Ely 21020120120039
4. Fayyadh Arkaan 21020120130081
5. Ananta Sadina Rahma Yudhistira 21020120130134

DEPARTEMEN ARSITEKTUR FT UNDIP


2022

0
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara
sedang berhenti dengan pengemudi tidak meninggalkan kendaraannya (Direktorat Jenderal
Perhubungan Darat, 1998). Perparkiran menjadi fenomena yang mempengaruhi pergerakan
kendaraan (Muharani, 2018). Maka dari itu, dibutuhkan pembinaan dan pengelolaan
perparkiran agar berhasil mewujudkan sirkulasi dan tatanan lingkungan yang ideal. Salah
satu upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pembinaan dan pengelolaan
perparkiran adalah dengan penyediaan fasilitas lahan dan/atau gedung parkir.
Di lingkungan kampus Universitas Diponegoro, terdapat fasilitas gedung parkir
bersama untuk memenuhi kebutuhan pembinaan dan pengelolaan perparkiran di lingkungan
kampus. Gedung parkir bersama Universitas Diponegoro sudah dibangun sejak tahun
(sekian) dan berhenti dioperasikan pada tahun (sekian). Pemberhentian operasional gedung
parkir bersama ternyata menyebabkan kepadatan pada beberapa jalan lingkungan di
Universitas Diponegoro. Selain itu, terdapat beberapa kasus penyalahgunaan lahan yang
seharusnya tidak digunakan sebagai tempat parkir.
Berdasarkan klasifikasi gedung parkir menurut Barks (1993), gedung parkir bersama
Universitas Diponegoro adalah Multi Sorey Car Parks yaitu gedung parkir yang terdiri dari
sebaris platform yang didukung dengan kolom dengan jarak yang diijinkan untuk pengaturan
layout parkir yang efisien dan jalur untuk sirkulasi kendaraan. Dalam proses desain dan
pembangunan Multi Sorey Car Parks terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu;
jenis kemiringan ramp, ketinggian antar lantai (floor to floor), tinggi bebas (vertical
clearance), jarak antar kolom, dan macam bahan konstruksi yang digunakan (O’Flaherty
1997).
Oleh karena itu, diperlukan evaluasi terhadap kelayakan dan keamanan gedung
parkir Universitas Diponegoro sebagai bentuk peninjauan ulang dalam pembinaan dan
pengelolaan perparkiran di Universitas Diponegoro serta bahan pembelajaran bagi civitas
akademika.

1.2. Rumusan Masalah


Penelitian untuk mengevaluasi gedung parkir bersama Universitas Diponegoro
menjadi sangat krusial untuk mengetahui apakah gedung parkir bersama tersebut sudah
memenuhi kaidah keamanan dan kelayakan sehingga dapat berfungsi dengan seharusnya.
Oleh karena itu, dibutuhkan peninjauan ulang terhadap eksistensi dari gedung parkir
bersama Universitas Diponegoro.

1
1.3. Tujuan dan Sasaran
Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah mengevaluasi keamanan dan
kelayakan gedung parkir bersama Universitas Diponegoro sesuai dengan standar-standar
teori yang dikaji.
Sasaran penelitian adalah melakukan identifikasi dan analisis terstruktur alasan
gedung parkir undip tidak digunakan oleh mahasiswa, walaupun secara visual terlihat
sanggup menampung sebagian besar kendaraan mahasiswa Universitas Diponegoro.

1.4. Manfaat Penelitian


Penelitian ini memberikan manfaat praktis berupa masukan untuk melakukan kajian
ulang kepada Birokrat Universitas Diponegoro agar dilakukan evaluasi sehingga tempat
parkir bersama dapat difungsikan secara maksimal dan aman bagi seluruh warga
Universitas Diponegoro.

1.5. Lingkup Penelitian


Lingkup penelitian terdiri dari dua bagian yaitu lingkup substansial dan lingkup
spasial. Lingkup substansial yaitu terkait dengan pembahasan tentang keamanan dan
kelayakan sebagai instrumen evaluasi apakah rancangan bangunan tersebut sudah
memenuhi harapan penggunanya. Lingkup spasial penelitian ini adalah gedung parkir
bersama di kampus Universitas Diponegoro.

2
BAB II
KAJIAN TEORI

Dalam sebuah penelitian, kajian pustaka menjadi komponen yang sangat penting
karena akan menjadi intrumen analisis bagi peneliti. Penelitian ini membutuhkan teori-teori
yang relevan untuk dikaji, terutama yang terkait dengan: [i] teori ruang dan tempat untuk
memahami objek penelitian, [ii] teori citra kota/kawasan untuk memahami substansi yaitu
mengapa sebuah kota/kawasan harus mampu menjadi tempat mudah untuk berorientasi
dan mampu mendatangkan kesan, [iii] teori tentang hakekat hubungan manusia dengan
lingkungan fisik melalui mekanisme persepsi dan kognisi yang akan digunakan dalam
memahami citra kawasan, [iv] teori tentang cara/metode mengukur kemampuan peta mental
pengamat dalam memahami sebuah citra kawasan.

(lampirkan diagram struktur kajian pustaka)

2.1. Definisi Gedung Parkir Bersama


Perkembangan pada suatu kota tidak akan pernah lepas dari citra kotanya. Teori
mengenai citra kota/kawasan sering disebut sebagai milestone, suatu teori penting dalam
perancangan kota, karena sejak tahun 1960-an, teori ‘citra kota’ mengarahkan pandangan
pada perancangan kota kearah yang memperhatikan pikiran terhadap kota dari orang yang
hidup di dalamnya (Mulyandari, 2011). Lynch (1960), seorang peneliti kota pada tahun
1960an melakukan riset yang kemudian pada bukunya ia beri judul The Image of The City.
Lynch melakukan penelitiannya di tiga kota yakni Boston, New Jersey, dan Los Angeles
yang didasari pada peta kognitif/mental penduduk kota tersebut.
Pada awalnya Lynch tertarik dengan legibility yakni bagaimana orang beorientasi
dan bernavigasi pada sebuah kota. Ia mengungkapkan bahwa lebih mudah jika kita dapat
mengorganisir lingkungan secara mental ke dalam pola yang koheran. Meskipun kejelasan
atau keterbacaan sama sekali bukan satu-satunya ciri penting dari kota yang indah, hal ini
sangat penting ketika mempertimbangkan lingkungan pada skala ukuran, waktu, dan
kompleksitas perkotaan. Untuk memahami hal ini, kita harus mempertimbangkan bukan saja
kota itu sendiri, tetapi kota yang dirasakan oleh penduduknya.
Citra kota sangat mengutamakan unsur pengelihatan tampilan yang menarik dan
unsur pemaknaan kawasan terhadap warga kotanya atau lingkungannya. Menurut Lynch
(1960), dalam menandai lingkungannya, faktor imageability menjadi sangat dominan.
Semakin kuat imageability pada suatu kota, maka semakin kuat pula elemen tersebut
diingat/ dipahami oleh si pengamat.
Citra kota adalah gambaran mental yang terbentuk dari ritme biologis tempat dan
ruang tertentu yang mencerminkan waktu (sense of time), yang ditumbuhkan dari dalam

3
secara mengakar oleh aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat kota itu sendiri
(Lynch dalam Purwanto, 2011). Menurut Lynch, image/citra lingkungan adalah proses dua
arah antara pengamat dengan benda yang diamati, atau disebut juga sebagai kesan atau
persepsi antara pengamat terhadap lingkungannya.

“The creation of the environmental image is a two-way process between observer


and observed”. (Lynch, 1960).

Kesan pengamat terhadap lingkungannya tergantung dari kemampuan beradaptasi


pengamat dalam menyeleksi, mengorganisir sehingga lingkungan yang diamatinya akan
memberikan perbedaan dan keterhubungan. Kesan setiap orang berbeda-beda, hal ini
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pengalaman yang dialami, sudut pengamatan, dan lain-
lain.
Citra sangat bergantung pada persepsi atau cara pandang orang masing-masing.
Citra juga berkaitan dengan hal-hal fisik. Citra kota sendiri menurut Zahnd (1999) dapat
diartikan sebagai gambaran mental dari sebuah kota sesuai dengan rata-rata padangan
masayarakatnya yang diterjemahkan melalui gambaran mental.
Menurut Pocock (dalam Purwanto, 2001) citra kota merupakan hasil dari proses
adaptasi kognitif dalam kondisi yang potensial mengenai stimulus pada kawasan kota yang
telah dikenal dan dapat dipahami melalui suatu proses berupa reduksi dan implikasi.
Menurut Sudrajat (dalam Purwanto, 2001), dikatakan bahwa citra kota sangat erat kaitannya
dengan makna pengelihatan, meskipun tidak semua dihasilkan dari indera pengelihatan.
Citra sendiri merupakan dibentuk dari kota dan warganya sebagai unsur pembentuknya dari
proses adaptasi kognitif dengan didukung indera pengelihatan.

2.2. Standar kelayakan gedung parkir


Pemahaman terhadap teori space, place, dan figure ground akan memberikan
pemahaman terhadap objek kota/kawasan secara fisik, dan sangat terkait dengan aspek
bentuk, penghubung (lingkage), dan solid/void sebuah ruang (space) dan tempat (place)
Menurut Tracik (1986) dalam suatu lingkungan fisik ada rangkaian antara figure
ground, linkage dan place. Figure ground menekankan adanya open space pada
kota/kawasan sebagai figure. Melalui figure ground plan dapat diketahui antara lain pola
atau tipologi, dan konfigurasi solid void. Kualitas ruang luar sangat dipengaruhi oleh figure
bangunan-bangunan yang melingkupinya, dimana tampak bangunan merupakan dinding
ruang luar (enclosure), oleh karena itu tata letak, bentuk dan fasade sistem bangunan harus
berada dalam sistem ruang luar yang membentuknya.
Dalam konteks urban area, linkage menunjukkan hubungan pergerakan yang terjadi
pada beberapa bagian/zona satu dengan lainnya, dengan atau tanpa aspek keragaman

4
fungsi yang berkaitan dengan fisik, historis, ekonomi, sosial, budaya dan politik (Purwanto,
2001). Menurut Shirvani (1985), linkage menggambarkan keterkaitan elemen bentuk dan
tatanan masa bangunan, dimana pengertian bentuk dan tatanan massa bangunan tersebut
akan meningkatkan fungsi kehidupan dan makna dari tempat tersebut. Karena konfigurasi
dan penampilan massa bangunan dapat membentuk, mengarahkan, menjadi orientasi yang
mendukung elemen linkage tersebut.
Menurut Trancik (1986), figure ground theory dan linkage theory ditekankan pada
konfigurasi massa fisik , dalam place theory ditekankan bahwa integrasi kota tidak hanya
terletak pada konfigurasi fisik morfologi, tetapi integrasi antara aspek fisik morfologi ruang
dengan masyarakat atau manusia yang merupakan tujuan utama dari teori ini, melalui
pandangan bahwa urban design pada dasarnya bertujuan untuk memberikan wadah
kehidupan yang baik untuk penggunaan ruang kota baik publik maupun privat. Pentingnya
place theory dalam spasial design yaitu pemahaman tentang budaya dan karakteristik suatu
daerah yang ada menjadi ciri khas untuk digunakan sebagai salah satu pertimbangan agar
penghuni (masyarakat) tidak merasa asing di dalam lingkungannya. Sebagaimana tempat
mempunyai masa lalu (linkage history), tempat juga terus berkembang pada masa
berikutnya. Artinya, nilai sejarah sangat penting dalam suatu kawasan kota. Aspek spesifik
lingkungan menjadi indikator yang sangat penting dalam menggali potensi, mengatur tingkat
perubahan serta kemungkinan pengembangan di masa datang, teori ini memberikan
pengertian bahwa semakin penting nilai-nilai sosial dan budaya, dengan kaitan sejarah di
dalam suatu ruang kota.
Bertitik tolak dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sebuah kota/kawasan akan
mudah dikenali jika antar zona/bagian dihubungkan dengan lingkage system yang
membentuk sebuah ruang (space) dan tempat (place), dipengaruhi oleh penutup (enclosure)
berupa fasad-fasad bangunan.

2.3. Perbandingan kapasistas gedung parkir bersama dan jumlah kendaraan


mahasiswa
Memahami teori citra kota akan memberikan penjelasan yang lengkap tentang definisi,
contoh, dan kriteria sebuat tempat jika disebut mempunyai citra. Sebuah citra lingkungan
diciptakan dan dinilai secara berbeda oleh setiap individu. Citra (image) adalah hasil dari
proses dimana pengalaman dan tata nilai (values) individu akan menyaring stimuli
lingkungan. Bagi Lynch (1960) citra lingkungan merupakan hasil dari proses dua arah di
mana lingkungan memberikan relasi yang membuat individu pengamat menyeleksi,
mengorganisasi, dan memberi tanggapan terhadap makna (meaning) apa yang mereka
lihat. Menurut Arif (2006), citra lingkungan tidak hanya abstraksi selektif dan realitas

5
obyektif, tetapi merupakan interprestasi yang disengaja terhadap apa yang dipercayai
terjadi. Bukan hanya sekedar proses biologis, persepsi juga dipelajari secara sosial dan
budaya. Sensasi mungkin sama untuk setiap orang, tetapi bagaimana individu memfilter,
bereaksi, mengorganisir, dan menilai sensasi tersebut berbeda pada tiap individu.
Perbedaan pada persepsi lingkungan terletak pada faktor seperti usia, gender, etnis , gaya
hidu, lamanya tinggal disana, dan pada lingkungan fisik, sosial, dan budaya di mana orang
tersebut tinggal dan dibesarkan (Bahrehdara et.al, 2020).
Penelitian utama dari citra kota pernah dilakukan oleh Lynch (1960) yang didasarkan
oleh teknik pemetaan kognitif (mental) dan wawancara dengan penduduk kota Boston, New
Jersey, dan Los Angeles. Awalnya Lynch tertarik dengan legibility (bagaimana orang
berorientasi dan bernavigasi pada sebuah kota), ia mengungkapkan bahwa lebih mudah jika
kita dapat mengorganisir lingkungan secara mental ke dalam pola koheran. Dengan kata
lain citra berhubungan dengan kemampuan kita dalam bernavigasi ketika melewatinya. Citra
yang jelas memungkinkan seseorang untuk bergerak cepat dan mudah dan lingkungan yang
teratur dapat menjadi suatu kerangka acuan yang dapat mengorganisir aktivitas,
kepercayaan, atau pengetahuan.
Lynch (1960) menyarankan bahwa kota yang citra lingkungannya baik harus
memperhatikan tiga atribut yaitu:
 Identitas, yaitu perbedaan suatu objek dengan bjek yang lain sebagai entitas yang
terpisah (contoh: sebuah tugu/monumen)
 Struktur, yaitu hubungan spasial sebuah obyek terhadap pengamat dan obyek lain
(contoh : posisi tugu/ monumen tersebut dalam konteks lingkungan)
 Makna, yaitu arti dari sebuah objek (praktis atau emosional) bagi pengamat (contoh :
tugu /monumen sebagai penanda orientasi atau identitas lingkungan).

Gambar 1. Lima Elemen Pembentuk Citra Kota


Sumber: Lynch, 1960

Inti dari penelitian Lynch berkaitan dengan pengidentifikasian berbagai elemen


struktur fisik sejumlah kota yang menjadikan kota-kota tersebut menjadi dapat digambarkan

6
dan dibayangkan citranya. Lynch (1960) menyimpulkan bahwa ada lima kategori elemen
yang dipergunakan orang untuk menstrukturkan gambar kognisi dari sejumlah tempat.
Elemen-elemen dasar tersebut adalah (gambar 1):
1. Landmarks (tanda-tanda yang mencolok yaitu bangunan atau benda-benda alam
yang berbeda dari sekelilingnya dan terlihat dan jauh).
2. Paths (jalur-jalur jalan yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya).
3. Nodes (simpul atau titik temu antar jalur jalan, misalnya perempatan dan pertigaan).
4. Edges (batas-batas wilayah yang membedakan antara wilayah satu dengan wilayah
lainnya)
5. District (wilayah-wilayah homogeny yang berbeda dan wilayah-wilayah lain).
Makin nyata unsur-unsur tersebut dalam suatu lingkungan kota, makin mudah orang
menyusun peta mental (legibilitas semakin baik).

2.4. Standar keamanan gedung parkir


Gumpf (dalam Purwanto, 2001), mengajukan konsep synomorphousfit atau
hubungan antara manusia dengan lingkungan kota yang menurutnya bersifat saling
menyesuaikan dan dengan kemampuan kognisi yang dipunyainya, manusia selalu berikhtiar
untuk memperoleh keselarasan dengan lingkungannya.
Rapoport (1982) berpendapat bahwa para perancang kota/kawasan cenderung
bereaksi terhadap lingkungan dengan istilah persepsual, sedangkan publik menikmati dan
para pemakai bereaksi terhadap lingkungan dengan istilah assosiasional. Aspek persepsual
adalah isyarat yang mula-mula diperhatikan dan diperbedakan. Aspek assosiasional
mengambil persamaan diantara isyarat-isyarat dan memakainya dengan hubungan yang
bermanfaat atau penggabungan bermanfaat.
Proses dasar yang menyangkut interaksi manusia dengan lingkungannya adalah
informasi tentang lingkungan yang diperoleh melalui proses persepsi (Lang, 1987).
Purwanto (2010) berpendapat bahwa persepsi terhadap lingkungan penting sekali dalam
kehidupan sehari-hari manusia. Sarwono (1992), mengemukakan bahwa persepsi
seseorang ditentukan oleh pengalaman, dan pengalaman itu dipengaruhi oleh kebudayaan.
Pengaruh kebudayaan yang dimaksud termasuk kebiasaan hidup. Proses psikologis dalam
hubungan antara manusia dengan lingkungan dapat disederhanakan menurut gambar 2.

2.4.1. Persepsi
Persepsi dapat diartikan sebagai pengamatan yang secara langsung dikaitkan dengan suatu
makna tertentu. Proses yang melandasi persepsi berawal dari adanya informasi dari
lingkungan. Laurens (2004) berpendapat bahwa persepsi menggambarkan pengalaman
langsung indera manusia terhadap lingkungan bagi mereka yang ada didalamnya dalam

7
waktu tertentu. Tidak semua rangsang (informasi) diterima dan disadari oleh individu,
melainkan diseleksi berdasarkan orientasi nilai yang dimilikinya dan juga pengalaman
pribadi.

Gambar 2. Mekanisme Hubungan Persepsi, Kognisi, Motivasi dan Sikap


Sumber : Purwanto, 2001

Keseluruhan informasi yang telah menyatu menjadi sesuatu yang utuh, kemudian
diberi tafsiran (interpretasi makna), antara lain atas dasar orientasi nilai dan pengalaman
pribadi individu. keluaran keseluruhan proses ini adalah pengangkapan / penghayatan.
Antara seleksi, pembualatan dan tafsiran menjadi hubungan ketergantungan
(interdependen), namun ciri khas individualnya diperoleh dari orientasi nilai dan pengalaman
pribadi.

2.4.2. Kognisi
Menurut Laurens (2004) dan Purwanto (2010), kognisi adalah cara yang digunakan
manusia untuk menjelaskan bagaimana manusia memahami, menyusun dan mempelajari
lingkungan dan menggunakan peta-peta mental untuk menegosiasikannya. Berdasarkan
definisi tersebut, yang ada pada individu manusia sebenamya satu sistem kognisi. Sistem
tersebut merupakan hasil proses kognitif yang terdiri dari kegiatan-kegiatan (gambar 3):
1). Persepsi;
2). Imajinasi;
3). Berfikir (thinking);
4). Bemalar (reasoning); dan
5). Pengambilan keputusan.

8
Sistem kognisi pada individu tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor luar
(eksternal) dan dalam (internal) yaitu:
1). Lingkungan fisik;
2). Lingkungan sosial;
3). Struktur faal pada individu;
4). Kebutuhan dan keinginan; dan
5). Pengalaman lampau.

Gambar 3. Alur hasil proses kognitif


Sumber : Purwanto, 2001
Menurut Purwanto (2001), hubungan antara manusia dengan lingkungan adalah
merupakan hubungan antara kognisi manusia dan struktur lingkungannya (lihat gambar 4):
1). Struktur faktual
Struktur faktual adalah lingkungan nyata seperti adanya atau seadanya (murni) sebelum
diberikan persepsi oleh manusia.
2). Struktur lingkungan
Struktur lingkungan atau lingkungan yang telah distruktur adalah berada di dalam benak
manusia yang berpersepsi. Struktur lingkungan menciptakan representasi mental dalam
diri manusia.
3). Representasi mental
Representasi mental adalah struktur yang dicitrakan, dan representasi mental ini sudah
menjadi milik manusia yang berpersepsi, dihimpun sebagai pengalaman.
4). Ruang aksi (action space)
Setelah manusia memiliki representasi mental dalam benaknya, maka manusia
bertindak ke dalam lingkungan, maka lingkungan tersebut dinamakan lingkungan
sebagai ruang aksi.

9
Gambar 4. Mekanisme Hubungan Manusia dan Lingkungan
Sumber : Purwanto, 2001

2.5. Teori Kognisi Spasial atau Peta Mental


Kognisi spasial atau peta mental mempunyai pengertian yaitu upaya memahami
suatu tempat khususnya terhadap kota. Istilah diatas berpegang kepada definisi dan teori
yang dirintis oleh David Stea dan Roger Down (dalam Holahan, 1982). Mereka
mendefinisikan satu pengertian : “Proses yang memungkinkan kita untuk mengumpulkan,
mengorganisasikan, menyimpan dalam ingatan, memanggil, serta menguraikan kembali
informasi tentang lokasi relatif dan tanda-tanda tentang lingkungan geografis kita”.
Kognisi spasial pada dasarnya merupakan proses aktif yang dilakukan oleh
pengamat, oleh karena itu penghayatan pengamat terhadap lingkungan perkotaan terjadi
secara spontan dan langsung. Spontanitas tersebut terjadi karena pengamat selalu
menjajaki (explorasi) lingkungannya dan dalam penjajakan itu pengamat melibatkan setiap
obyek yang ada di lingkungannya dan setiap obyek menonjolkan sifat-sifatnya yang khas
untuk pengamat bersangkutan (Bell et.al, 2001).
Holahan (1982), menyebutkan bahwa kognisi spasial sebagai komponen dasar
dalam manusia beradaptasi dengan lingkungan kotanya. Disamping itu peta mental
dipandang sebagai persyaratan baik untuk kelangsungan hidup manusia maupun untuk
perilaku spasial setiap harinya, dinayatakan pula bahwa peta mental adalah representasi
individu yang tertata dari beberapa bagian lingkungan geografisnya. Lang (1987),
menyatakan bahwa perilaku seseorang yang berkenaan dengan ruang dan tempat tidak
dapat dipahami tanpa memahami gambaran kognisi spasial yang diperoleh dan
digunakannya.
Daya cipta akibat proses penghayatan, pengamatan dan pengenalan lingkungan
kota terbentuk atas unsur-unsur yang diperoleh dari pengalaman langsung, apakah
seseorang telah mendengar mengenai suatu tempat, dan dari informasi yang dia bayangkan
(Neiser dalam Lang, 1987). Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pengamat tidak hanya
seorang yang tinggal dan berada di dalam kota tertentu, dapat juga seorang pengamat yang
tidak tinggal di kota tersebut tetapi mengetahui cukup banyak tentang kota tersebut apakah
dari pengalaman langsung atau mendengar berdasarkan informasi tertentu sehingga ia
mencoba untuk membayangkan. Informasi yang diperoleh melalui pengalaman langsung
disebut dengan informasi pertama (primer), menyajikan pengetahuan lingkungan perkotaan
secara teraga kepada pengamat. Sedangkan informasi yang diperoleh melalui komunikasi
disebut sebagai informasi kedua (sekunder), meyajikan pengetahuan lingkungan perkotaan
secara simbolik kepada pengamat, yang isinya merupakan pelaporan atau penilaian
pengalaman orang lain tentang suatu tempat atau suatu ruang. Milgram, Evans, Lee,
Michelson, Orleans dan Appleyard (dalam Holahan, 1982) mencoba untuk mengadakan

10
penelitian pemahaman citra kota/kawasan dengan menekankan kepada perbedaan
kemampuan individual pengamat. Hasilnya adalah terdapat korelasi yang sangat erat antara
sistem aktivitas individual dengan daya kognisi yang dimiliki individual tentang lingkungan
fisiknya. Kemampuan individu pengamat dalam menghayati, memahami dan mengenali kota
selalu berbeda-beda. Faktor-faktor yang membedakan antara yaitu [i] gaya hidup, [ii]
keakraban dengan kondisi lingkungan, [iii] keakraban sosial, [iv] kelas sosial, dan [v]
perbedaan seksual.

2.6. Metode Penggalian Data dan Informasi serta Analisisnya


2.6.1. Teknik Penggalian Data dan Informasi
Teknik Penggalian Informasi dalam Pemahaman Citra Kota Kemampuan pengamat
dalam memahami citra suatu kota selalu berbeda atau bersifat subyektif, karena daya
kognisi sangat tergantung kepada pengalaman, akibatnya muncul masalah tentang cara
pengukuran, dalam hal ini terdapat beberapa pendekatan, yaitu : (Susilo dalam Purwanto,
2001)
1). Pendekatan fenomenologis, yaitu mengadakan telaah deskriptip dari pengalaman
pengamat dalam menghayati suatu lingkungan kota;
2). Pendekatan Fungsional, yaitu pengukuran laboratoris terhadap pengamat yang
diberikan stimulus. Pendekatan ini bersifat kuantitatif;
3). Gabungan pendekatan fenomenologis dan fungsional disebut dengan mekanisme
persepsi kognisi.
Salah satu cara yang bermanfaat untuk melihat pada persoalan-persoalan mengenai
interaksi pengamat dan lingkungan kota adalah dengan memandang pengukuran
penghayatan citra kota sebagai suatu proses pertanda (Rieser dalam Pocock dan Hudson,
1987). Dalam hal ini mengharuskan pengukuran pemahaman citra dipandang sebagai suatu
reaksi terhadap susunan stimuli tertentu. Teknik presentasi dapat sangat bervariasi dalam
bentuk dan derajat penstrukturannya. Secara mendasar terdapat dua macam tipe pertanda
apabila berkaitan dengan stimuli, yaitu (Pocock dan Hudson, 1987) :
a. Sinyal, merupakan stimulus langsung dari lingkungan; pengamat pada dasarnya
berada di lapangan. Namun demikian terdapat kendala dan masalah yang berat yang
berasosiasi dengan pendekatan ini, baik teknis maupun finansial;
b. Simbol, merupakan pengganti untuk sinyal secara langsung, sebagai contoh simbol
dapat berupa foto, peta, sketsa atau label verbal yang berkaitan dengan suatu area
atau tempat. Simbol digunakan untuk membangkitkan respon pengamat.
Craig (dalam Pocock dan Hudson, 1987), merumuskan adanya tipologi pada
metoda-metoda presentasi stimulus yang disajikan kepada pengamat dalam pemahaman
citra kota/kawasan, yaitu :

11
a. Realitas, pengamat dibawa ke "lokasi faktual" untuk memberikan respon dan
pengenalan terhadap obyek-obyek tertentu di kawasan tersebut.
b. Ikonis, dengan cara memperlihatkan suatu seleksi dari sejumlah fotofoto area,
pengamat diminta untuk mengenali obyek-obyek yang terdapat dalam foto tersebut;
c. Grafis, dengan cara membuat sketsa-sketsa peta terhadap area kota dengan sedikit
mengendalikan interpretasi pengamat mengenai jarak dan bentuk;
d. Verbal, suatu cara penyingkapan dalam area aktual, menggunakan sejumlah
pertanyaan yang diajukan terhadap pengamat yang menyangkut pengalaman /
pengetahuan tentang area-area tertentu.
Menurut Wood dan Beck (dalam Purwanto, 2001), penggalian informasi melalui
pengungkapan grafis mempunyai banyak hambatan, diduga akibat responden tidak akrab
dengan penggunaan peta. Hambatan ini menyebabkan hasil yang diperoleh tidak dapat
diintepretasikan. Dilain pihak, perolehan informasi tentang citra kognitif melalui deskripsi
verbal memberikan hasil yang cukup kaya dan beragam. Dengan demikian sangat penting
rancangan pertanyaan untuk memperoleh representasi mental individu.

2.6.2. Teknik Analisis Data dan Informasi


Cara Analisis Data Dalam penelitian pemahaman citra kota, analisis data dilakukan
dengan dua cara (Purwanto, 2013), yaitu:
1. Melakukan overlay peta sketsa yang digambar oleh responden, dari hasil overlay
tersebut akan diketahui area-area mana saja yang lebih mudah dikuasai dan
dipahami oleh pengamat/responden. Biasanya area yang dipahami akan membentuk
garis lebih tebal.
2. Melakukan kategorisasi data lapangan berupa elemen-elemen indentitas yang
digambarkan oleh pengamat/responden. Elemen-elemen yang sama akan dikelompokkan
sesuai dengan karakteristiknya. Analsis kategorisasi juga digunakan untuk menganalisis
data hasil wawancara, jawaban yang mirip atau mempunyai substansi yang sama akan
dikelompokkan sesuai dengan kebutuhan.

2.7. Landasan Teoritik


Berdasarkan keseluruhan kajian teori yang sudah dilakukan pada sub bab
sebelumnya, maka dalam sub bab ini akan disusun landasan konstruksi teoritik yang akan
digunakan sebagai instrumen/alat meneliti.
Dalam memahami citra kawasan pada dasarnya terjadi hubungan timbal balik
manusia dengan lingkungan perkotaan yang disebut sebagai proses dua arah yang
konstruktif, didukung baik oleh ciri sifat yang dapat memberikan citra lingkungan, maupun

12
oleh ciri-sifat kegiatan dan kejiwaan manusia. Dalam hubungan timbal balik tersebut,
lingkungan kawasan tampil dengan ciri-sifat sebagai berikut:

1). Lingkungan kawasan selalu terbuka,


2). Lingkungan kawasan selalu beraneka ragam,
3). Lingkungan kawasan selalu memberikan informasi secara langsung maupun tidak
langsung,
4). Lingkungan kawasan selalu menyajikan informasi berlebih,
5). Lingkungan kawasan selalu menyertakan tindakan,
6) Lingkungan kawasan dapat membangkitkan tindakan,
7). Lingkungan kawasan selalu memiliki atmosfir,
8). Lingkungan kawasan selalu memiliki kualitas sistemik.
Citra kawasan pada dasarnya adalah konsep representasi internal dari informasi
karakteristik lingkungan sehari-hari yang berskala medium hingga skala besar. Informasi
lingkungan yang tercantum dalam peta, dapat dikategorikan dalam tiga kelompok besar.
Kategori pertama adalah adalah elemen lingkungan atau tempat, yang meliputi jalan,
perimpangan jalan, tengeran, bangunan dan lain-lainnya. Kedua adalah hubungan spasial
antara unit-unit tempat tersebut, dan ketiga adalah rencana perjalanan yang disimpulkan
dari sejumlah informasi yang mempunyai hubungan dengan kegiatan dan pergerakan.
Dengan demikian kognisi spasial yang diperoleh pengamat dari interaksi sehari-hari dengan
lingkungannya berisikan tiga komponen yang berinterelasi yakni “tempat”, “relasi spasial”,
dan “rencana perjalanan”. Citra kawasan dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu elemen-
elemen identitas, struktur dimana elemen-elemen identitas tersebut berada dan makna
sebagai ungkapan dari interelasi elemen-elemn identitas di dalam struktur. Hal tersebut
memberikan sebuah penggambaran bahwa ketika individu pengamat mengimajinasikan
peta kampus Undip Tembalang, dengan sketsa jalan beserta persimpangannya, pengamat
sekaligus mengingat dan mengenali elemen-elemen identitas yang berfungsi sebagai
penanda orientasi. Pengenalan elemen-elemen fisik kawasan yang telah dilakukan oleh
pengamat pada dasarnya berhasil merumuskan sebuah konsep “rekognisi”, yaitu untuk
dapat mengetahui dimana manusia berada, apa yang tengah terjadi, dan untuk mengenali
obyek umum yang ada disekitarnya, serta untuk mengevaluasi rancangan kawasan
tersebut.
Teknik penggalian data dan informasi yang sudah banyak digunakan adalah teknik
menggambar peta area yang dikenali dan dipahami oleh mahasiswa serta wawancara,
sedangkan teknik analisis data menggunakan teknik kategorisasi dan super impose peta.

13
Tingkat pemahaman mahasiswa terhadap citra kampus Undip Tembalang akan
memberikan implikasi terhadap penilaian keberhasilan rancangan kampus ini, apakah sudah
sesuai dengan yang diharapkan atau belum.

DAFTAR PUSTAKA
Arif, Kamal, 2006, Ragam Citra Kota Banda Aceh: Interpretasi terhadap sejarah, memori
kolektif dan arketipe arsitekturnya, Penelitian Disertasi, Universitas Katolik Parahyangan
Bandung (tidak dipublikasikan). Hal.12-16.
Bahrehdara, A.R., Adamsb, B., Purvesa, R.S.2020. Streets of London: Using Flickr and
Open Street Map to build an interactive image of the city. Computers, Environment and
Urban Systems. Vol. 84, November 2020: 1-11
Bell, P.A., Loomis R.J., Fisher, J.D. 2001, Environmental Psychology, Harcourt Brace
College Publisher, Forth Worth.
Holahan, 1982, Envorinmental Psychology, NY: Random House.
Lang, Jon, 1987, Creating Architectural Theory, The Role of The Behavioral Sciences in
Environmental Design, Van Nostrand Reinhold Company Inc.
Lang, Jon, 1974, Designing for Human Behavior: Architecture and the Behavioral Sciences,
Dowden, Hutchinson: Ross, Inc., Stroudsburg, Pensylvania.
Laurens, Joyce Marcella, 2004, Arsitektur dan Perilaku Manusia, Grasindo, Jakarta
Lynch, Kevin, 1960, The Image of The City, MIT Press, Cambridge.
Mulyandari, H. 2011. Pengantar Arsitektur Kota. Penerbit: Andi.
Pocock, Douglas and Hudson, Ray. 1978. Images of The Urban Environment. Department of
Geography, University of Durham.
Purwanto, Edi, 2001, Pendekatan Pemahaman Citra Lingkungan Perkotaan (Melalui
kemampuan Peta Mental Pengamat), Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 29, No. 1, Juli
2001: 85 – 92.
Purwanto, Edi, 2010, Memahami Citra Kota (Teori, Metode dan Aplikasinya), Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Purwanto, Edi dan Darmawan, Edy. 2013. Memahami Citra Kota Berdasarkan Kognisi
Spasial Pengamat Studi Kasus: Pusat Kota Semarang. Tataloka. Vol. 15 No.4,
November 2013: 248-261.
Purwanto, Edi dan Wijayanti. 2015. Gambaran Bentuk Spasial Kampus Undip Tembalang
Menurut Kemampuan Peta Mental Mahasiswa. Modul. Vol.15 No.1 Januari-Juni 2015:
23-37.
Raksajaya, Rini, 1999, Konsep Bentuk Kota dalam Kognisi Spasial Masyarakat Kota
Bandung, Penelitian Disertasi Institut Teknologi Bandung (tidak dipublikasikan).
Hal.124-126.
Rapoport, Amos, 1982, Human Aspect Urban Form, Van Nostrand Reinhold Company, New
York.
Shirvani, Hamid, 1985, The Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold. Company, NY.
Trancik, R., 1986, Finding Lost Space, Van Nostrand Reinhold Company, New York.
Wheeler, Stephen M. 2004. Planning For Sustainability, Creating Livable, Equitable, And
Ecological Communities. New York: Routledge.

14
Zahnd, M. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu. Penerbit: Yayasan Kanisius

DOKUMEN
Anonymus. 2013. Masterplan Kampus Undip Tembalang 2013-2039. Direktorat Aset dan
Pengembangan. Universitas Diponegoro.
Tabel Pembagian Tugas

Tabel Pembagian Tugas


No. Nama Mahasiswa Tugas yang Dikerjakan

1 Ananta Sadina Rahma 1. Membuat latar belakang masalah


Yudhistira 2. Mengumpulkan bahan kajian pustaka subbab
2.2
3. Menyusun kajian pustaka subbab 2.2

2 Trie Ulfa Ramadhani  1. Menyusun rumusan masalah


2. Mengumpulkan bahan kajian pustaka subbab
2.4
3. Menyusun kajian pustaka subbab 2.4

3 Ali Fatkhul Rahman Ely 1. Membuat tujuan dan sasaran


2. Mengumpulkan bahan kajian pustaka subbab
2.1
3. Menyusun kajian pustaka subbab 2.1
4. Melakukan editing tugas secara keseluruhan
5. Menyusun daftar pustaka
6. Melakukan pengecekan plagiasi menggunakan
turnitin

4 Maura Gracia Anggarawati 1. Membuat manfaat penelitian


2. Mengumpulkan bahan kajian pustaka subbab
2.3
3. Menyusun kajian pustaka subbab 2.3
4. Melakukan editing tugas secara keseluruhan

5 Fayyadh Arkaan  1. Koordinator pembuatan tugas


2. Membuat lingkup penelitian
3. Mengumpulkan bahan kajian pustaka subbab
2.3
4. Menyusun kajian pustaka subbab 2.3

15

Anda mungkin juga menyukai