Oleh:
Peranan dan fungsi karantina dalam era globalisasi dan perdagangan bebas
semakin dirasakan sangat penting dan strategis dalam perdagangan dunia
(International Trade), yang tidak lagi mengenal batas-batas wilayah antar negara.
Hal ini dapat menimbulkan mudahnya penyebaran hama penyakit hewan menular
dari suatu negara ke negara lain. Untuk itu Karantina Hewan dituntut harus
mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara professional, mandiri dan lebih
modern. Oleh sebab itu Karantina dalam menerapkan Sanitary and Pythosanitary
Agreement (SPS) - WTO terhadap lalu lintas komoditas pertanian khususnya
hewan dan produk hewan ditujukan untuk melindungi kehidupan dari ancaman
bahaya masuknya penyakit zoonosa atau bahan pangan yang tercemar mikroba
dan residu (antibiotika, logam berat, pertisida, dan bahan kimia lainnya) yang
dapat berakibat pada kematian atau gangguan kesehatan manusia atau kesehatan
hewan serta kelestarian sumber daya alam hayati dan lingkungan hidup.
Perjanjian SPS diadopsi saat perundingan negara-negara WTO di Putaran
Uruguay tentang Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (General Agreement
on Tariff and Trade) tahun 1994. Ditekankan tentang perlunya harmonisasi antara
para anggota WTO dalam menerapkan tindakan-tindakan kesehatan manusia,
hewan, dan tanaman berdasarkan standar internasional, pedoman, dan
rekomendasi yang dikembangkan oleh organisasi-organisasi internasional yang
relevan. Sejak 1995, SPS menetapkan tiga organisasi untuk acuan standar
internasional, yaitu Codex Alimentarius Commissions (CAC) untuk keamanan
pangan (food safety), Office International des Epizooties (OIE) untuk kesehatan
hewan (animal health) termasuk zoonosis, dan International Plant Protection
Convention (IPPC) untuk kesehatan tanaman (plant health).Indonesia secara
resmi telah menjadi anggota WTO, sehingga terikat dengan adanya hak dan
kewajiban dan semua persetujuan yang ada didalamnya telah sah menjadi bagian
dari legislasi nasional. Tahun 2002 pemerintah Indonesia melalui Kementerian
Pertanian telah menetapkan Badan Karantina Pertanian sebagai ‘Enquiry Point’
dan Pusat Standardisasi dan Akreditasi sebagai ‘Notification Body’ untuk
melaksanakan kewajibannya dalam kaitan dengan perjanjian SPS.
Kekarantinaan pada hewan baik pada UU Nomor 16 Tahun 1992 dan
berdasarkan OIE bertujuan agar kesehatan hewan terjaga. Struktur organisasi dari
karantina hewan harus diketahui oleh mahasiswa. Keterkaitan antara OIE dan
karantina perlu diketahui karena OIE merupakan standar internasional mengenai
kesehatan hewan. Adanya makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca
dalam memahami kekarantinaan, khusunya karantina hewan yang berkaitan
dengan OIE maupun organisasinya di Negara Indonesia.
Sejarah Organisasi
Organisasi Kesehatan Hewan Dunia terbentuk setelah penyakit
rinderpestyang berasal dari India mewabah di Belgia pada tahun 1920. Istilah
‘rinderpest’ berasal dari bahasa Jerman yang berarti ‘cattle plague’ (penyakit pes
pada sapi) atau ‘steppe murrain’ (penyakit padang rumput). Penyakit ini
disebabkan oleh virus yang menyerang kerbau domestik dan beberapa spesies
satwa liar dengan gejala klinis khas berupa demam, erosi pada mukosa bibir,
diare, dan nekrosis limfoid dengan tingkat kematian yang tinggi. Penyebaran
penyakit rinderpest yang sangat luas menimbulkan pemikiran untuk membentuk
suatu badan kesehatan hewan dunia pada konferensi internasional di Paris bulan
Maret 1921. Office International des Epizooties (OIE) kemudian dibentuk melalui
perjanjian internasional dan ditandatangani pada tanggal 25 Januari 1924 di Paris
oleh 28 negara anggotauntuk memerangi penyakit hewan pada tataran global.
Lembaga ini berubah nama menjadi The World Organization for Animal Health
pada bulan Mei 2003, namun tidak disingkat menjadi WOAH, melainkan tetap
OIE karena nilai historisnya.
PEMBAHASAN
Tujuan Organisasi
Jenis laporan yang harus disampaikan ke OIE dalam notifikasi segera dan
tindak lanjut, terdiri atas: notifikasi segera (immediate notification) kejadian
wabah penyakit, infeksi ataupun kejadian epidemiologis yang tidak biasa; laporan
mingguan (weekly report) sebagai tindak lanjut dari notifikasi segera; dan laporan
akhir (final report) apabila wabah telah berakhir dan situasi sudah menjadi
endemik. Sesuai dengan Artikel 1.1.3 dari Bab 1.1 Terrestrial Code, dinyatakan
ada enam alasan yang dapat digunakan untuk melaporkan wabah ke OIE, yaitu:
1. kejadian pertama kali dari penyakit dalam daftar OIE dan/atau infeksi di
suatu negara, zona, atau kompartemen
2. kejadian berulang dari penyakit dalam daftar OIE dan/atau infeksi di suatu
negara, zona, atau kompartemen
3. kejadian pertama kali strain baru suatu patogen dari penyakit dalam daftar
OIE di suatu negara, zona, atau kompartemen
4. kenaikan secara mendadak dan tidak diharapkan dari penyebaran,
insidensi, morbiditas, atau mortalitas dari penyakit dalam daftar OIE yang
umum didapatkan di suatu negara, zona, atau kompartemen
5. suatu penyakit baru muncul (emerging disease) dengan
morbiditas/mortalitas yang signifikan atau berpotensi zoonosis
6. perubahan epidemiologi dari suatu penyakit dalam daftar OIE (termasuk
cakupan inang, patogenisitas, strain) terutama jika memiliki dampak
zoonosis.
DAFTAR PUSTAKA