Anda di halaman 1dari 21

CODEX ALIMENTARIUS

OLEH
JESICA A. PRATAMA UDIN
(1909010022)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Pengertian Codex
Codex Alimentarius Commission (CAC), biasanya cukup disebut Codex, merupakan
badan antar pemerintah yang bertugas melaksanakan Joint FAO/WHO Food Standards
Programme(program standar pangan FAO/WHO).Codex dibentuk dengan tujuan antara lain
untuk melindungi kesehatan konsumen, menjamin praktek yang jujur (fair) dalam perdagangan
pangan internasional serta mempromosikan koordinasi pekerjaan standardisasi pangan yang
dilakukan oleh organisasi internasional lain.Codex menetapkan teks-teks yang terdiridari standar,
pedoman, code of practicedan rekomendasi lainnya yang mencakup bidang komoditi pangan,
ketentuan bahan tambahan dan kontaminan pangan, batas maksimum residu pestisida dan residu
obat hewan, prosedur sertifikasi dan inspeksi serta metoda analisa dan sampling.Beberapa
komoditi pangan yang saat ini dicakup oleh Codex adalah minyak dan lemak, ikan dan produk
perikanan, buah dan sayuran segar, buah dan sayuran olahan, jus buah dan sayuran, susu dan
produk susu, gula, produk kakao dan coklat, produk turunan dari sereal, dan lain-lain.Untuk
dapat berpartisipasi aktif di forum Codex Alimentarius Commission, suatu negara perlu
menangani dengan baik kegiatannya di tingkat nasional. Karena keanggotaan Codex adalah
pemerintah, maka perwakilan suatu negara di forum Codex diwakili oleh instansi
pemerintah.Indonesia memiliki beberapa instansi yang lingkup tugas dan kewenangannya terkait
dengan pangan, mulai dari budidaya, pangan segar, pangan olahan, pangan khusus, pangan siap
saji, distribusi pangan, ritel pangan, ekspor/impor pangan dan standardisasi pangan.Oleh karena
itu ada beberapa Kementerian/Lembagayang terkait dengan kegiatan Codex seperti Kementerian
Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Kesehatan,Kementerian Luar Negeri,Badan Pengawasan Obat dan
Makanan serta Badan Standardisasi Nasional.Dalam rangka memfasilitasi keterlibatan seluruh
pihak yang terkait,serta untuk meningkatkan partisipasi aktif Indonesia di forum Codex.
1.2 Sejarah Codex
Pada awal tahun 1961, setelah melaksanakan konferensi regional Eropa, FAO mengadakan
pertemuan dengan sejumlah organisasi internasional lain seperti WHO, United Nation Economic
Commission for Europe (UNECE), Organization for Economic Cooperation and
Development(OECD) dan Council of the Codex Alimentarius Europaeusuntuk mendiskusikan
usulan pembentukan program standar pangan internasional. Pada bulan November 1961,
Konferensi FAOke-11 mengeluarkan resolusi mengenai pembentukan Codex Alimentarius
Commission.Pada tahun 1962, Joint FAO/WHO Food Standards Conferencemengesahkan
kerangka kerja sama antara FAO dan WHO sertaCAC menjadi badan yang bertanggung jawab
menerapkan Joint FAO/WHO Food Standards Programme. Semua kegiatan FAO dan WHO serta
organisasi internasional lainnya yang terkait standar pangan akan ditangani melalui program ini.
Selanjutnya pada bulan Mei 1963, pertemuan World Health Assemblyke-16 menyetujui
pembentukan Joint FAO/WHO Food Standards Programmedan mengadopsi statuta CAC yang
menjadi dasar hukum bagi pekerjaannya. Statuta CAC, bersama dengan berbagai ketentuan lain
yang bersifat umum, saat ini terdapat dalam buku Procedural Manual CAC. Manual ini menjadi
panduan yang sangat bermanfaat bagi negara untuk berpartisipasi aktif dalam pekerjaan Codex
atau bagi organisasi internasional yang ingin berpartisipasi sebagai pengamat (observer).
1.3 Oragnisasi
OrganisasiCACterdiri dari komite dan task force, yang mempunyai tugas dan tanggung
jawab tertentu serta dibantu oleh Sekretariat. Gambar 1menunjukkanstrukturorganisasi CAC
yang terdiri dari:
Codex Alimentarius Commission atau disebut juga Komisi;
1.Komite Eksekutif (Executive Committee);
2.Sekretariat Codex;
3.Badan subsider (subsidiary bodies) Codex, yang terdiri dari Komite subjek umum (general
subbject committees), atau disebut juga komite horizontal,Komite komoditi (commodity
committees), atau disebut juga komite vertical,FAO/WHO Coordinating Committee atau biasa
disebut komite regional; Ad hoc intergovernmental task force atau biasanya hanya disebut task
force

1.4 Keanggotaan
Keanggotaan Codex terbuka untuk seluruh negara anggota FAO dan/atau WHO, namun
negara tersebut harusmengajukan ke Direktur Jenderal FAO atau WHO mengenai keinginannya
untuk menjadi anggota Codex.Oleh karena itu keanggotaan Codex diwakili oleh instansi
pemerintah yang ditunjuk.Selain negara, organisasi integrasi ekonomi regional juga dapat
menjadi anggota Codex.Saat ini European Union(EU) merupakan organisasi integrasi ekonomi
regional yang telah menjadi anggota Codex.Tahun 2017, jumlah anggota Codex yang terdaftar
adalah 188, yang terdiri dari 187negaradansatu anggota organisasi yaitu European
Union(EU).Indonesia telah menjadi anggota Codex sejak tahun 1971.Negara yang merupakan
anggota FAO dan/atau WHO namun bukan anggota Codexdapat menghadiri sidang-sidang
Codex sebagai pengamat (observer).Status pengamat juga dapat diberikan kepada organisasi
internasional yang berminat berpartisipasi dalam pekerjaan Codex.Sebagaimana keanggotaan
suatu negara, 11organisasi internasional juga harus mengajukan diri ke Direktur Jenderal FAO
atauWHO untuk mendapat persetujuan sebagai pengamat. Sekretariat Codex mengkaji aplikasi
yang diajukan oleh organisasi internasional dan meminta pertimbangan Executive
Committeesebelum mengajukannya ke Direktur Jenderal FAO atauWHO. Jumlah organisasi
internasional yang mempunyai status pengamat yang terdaftar di Codex hingga tahun
2017adalah219 Pengamat Codexyang terdiri dari 56 organisasi pemerintah internasional, 147
organisasi non pemerintah, dan 16 organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB).Pengamat tidak mempunyai hak suara dalam pengambilan keputusan Codex yang
dilakukan melalui pemungutan suara (voting). Meskipun demikian, pengamat mempunyai hak
bicara di setiap sidang Codex dan dapat berkontribusi dalam pengembangan standar Codex
melalui penyampaian komentar, baik tertulis maupun lisan, terlibat dalam working group,
maupun dalam menyusun rancangan awal suatu standar.
BAB II
ISI
2.1 Organisasi dan Manajemen Codex alimentarius di Indonesia
1) Legalitas
Codex Indonesia adalah suatu wadah yang dibentuk untuk mengkoordinasikan kegiatan
Codex di Indonesia dan mempunyai tugas pokok mengidentifikasi, membahas dan menetapkan
kebijakan serta posisi Indonesiadi forum CodexAlimentarius Commission(CAC). Organisasi
CodexIndonesia dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama antara instansi pemerintah yang
mempunyai otoritas dalam bidang keamanan pangan dan perdagangan pangan, yaitu
KementerianPertanian, KementerianKesehatan, KementerianPerindustrian,
KementerianPerdagangan, KementerianKelautan dan Perikanan, KementerianLuar Negeri,
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Badan Standardisasi Nasional (BSN).
Manajemen tertinggi CodexIndonesia adalah Panitia Nasional Codex Indonesia yang
keanggotaannya terdiri dari pejabat pemerintah, perwakilan dari asosiasi pengusaha makanan
minuman, lembaga perlindungan konsumen, lembaga ilmu pengetahuan/penelitian serta ahli di
bidang terkait, yang sekretariatnya berkedudukan di BSN, Gedung Manggala Wanabakti Blok
IV, Lt. 4, Jl. Jenderal Gatot Subroto, Senayan, Jakarta.
2) Struktur Organisasi
Struktur Organisasi Codex Indonesia terdiri dari Panitia Nasional Codex Indonesia,
Kelompok Kerja Codex Indonesia, Mirror Committee, dan Sekretariat Codex,Contact
Point.Struktur Organisasi dan tata kerjaCodexIndonesia ditetapkan dengan Keputusan Kepala
BSN selaku Ketua Panitia NasionalCodex Indonesia.
3) Sumber Daya Manusiaa
Codex Indonesia mempunyai sumber daya manusia yang kompeten sesuai dengan fungsi
yang dilaksanakannya.Keanggotaan
Panitia Nasional Codex Indonesia:
 Ketua, dijabat oleh Kepala Badan Standardisasi Nasional
 Sekretaris, dijabat oleh Deputi Bidang Penerapan Standar dan Akreditasi, Badan
StandardisasiNasional
 Anggota, terdiri dari Pejabat Eselon I dari instansi pemerintah terkait
(KementerianPertanian,KementerianKesehatan,Kementerian Perindustrian,Kementerian
Perdagangan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Luar Negeri, Badan
POM, Badan Standardisasi Nasional), perwakilan dari asosiasi pengusaha makanan
minuman, lembaga perlindungan konsumen,lembaga ilmu pengetahuan/penelitian serta
ahli di bidang terkait di tingkat nasional.

Kelompok Kerja Codex Indonesia:


 Ketua, dijabat oleh salah satu anggota Kelompok Kerja Codex Indonesia yang berasal
dari regulator di bidang pangan secara bergantian dengan periode dua tahun dan tidak
dapat diperpanjang kembali untuk periode berikutnya
 Wakil ketua, dijabat oleh Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar, Badan Standardisasi
Nasional selaku Sekretariat Codex Contact PointIndonesia
 Sekretaris, dijabat oleh Kepala Bidang Sistem Pemberlakuan Standar dan Penanganan
Pengaduan, Badan Standardisasi Nasional
 Anggota, terdiri dari Koordinator Mirror Committee, pejabat setingkat Eselon II atau
yang ditunjuk dari instansi pemerintah yang terkait, perwakilan dari dunia usaha,
lembaga perlindungan konsumen, lembaga ilmu pengetahuan/penelitian serta ahli di
bidang terkaitKelompok Kerja ditetapkan oleh Ketua Panitia Nasional Codex Indonesia.
Mirror Committee
 Koordinator Mirror Committee dijabat oleh pejabat setingkat Eselon II yang ditunjuk
oleh instansi pemerintah yang terkait, yaitu dari Kementerian Pertanian, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Badan
POM dan Badan Standardisasi Nasional dan ditetapkan oleh Panitia Nasional Codex
Indonesia.
 Anggota, terdiri dari perwakilan instansi pemerintah, lembaga penelitian, industri,
asosiasi industri, lembaga perlindungan konsumen, ilmuwan yang ditetapkan oleh
Koordinator Mirror Committeeatau pejabat yang ditunjuk oleh instansinya dengan
komposisi yang memberikan keseimbangan tanpa ada satu pihak yang mendominasi.
4) Tugas dan Fungsi
 Panitia Nasional Codex Indonesia
Tugas dan fungsi Panitia Nasional Codex Indonesia adalah menetapkan kebijakan dalam
organisasi CodexIndonesia yang meliputi:
 kebijakan makro penanganan CodexIndonesia;
 kebijakan dalam penetapan posisi Indonesia;
 kebijakan dalam penetapan program kerja;
 kebijakan dalam penetapan atauperubahan koordinator Mirror Committee.
 Kelompok Kerja Codex Indonesia
Tugas dan fungsi Kelompok Kerja Codex Indonesia adalah:
 membuat rencana makro penanganan Codex Indonesia;
 menyusun rencana kerja tahunandan mengevaluasi hasilnya;
 membahas hal-hal teknis penting dalam kaitannya dengan Codex;
 melakukan verifikasi rancanganposisi Indonesia untuk sidangCodex, bila diperlukan;
 melakukan kaji ulang pelaksanaan Pedoman PenangananCodex Indonesia dan hasilnya
dilaporkan kepada Panitia Nasional Codex Indonesia untuk tindak lanjutnya.
 Koordinator Mirror Committee
Tugas dan fungsi Koordinator Mirror Committee adalah:
 mengkoordinasikan dan menyelenggarakan pembahasan teknis substansi yang akan,
sedang dan telah dibahas dalam sidang Codex untuk menyusunrancanganposisi
Indonesia maupun mempersiapkan bahan dan/atau data dalam rangka pembahasan
posisi, termasuk data pendukung yang digunakan pada sidang Codex;
 membuat program atau prioritastopik pembahasan dalam rapat Mirror Committee;
 mensosialisasikan hasil sidang sesuai bidang Mirror Committee-nya;
 mengelola dokumentasi kesekretariatan Mirror Committee yang mencakup antara lain
surat masuk dan surat keluar yang berkaitan dengan kegiatan Codex, dokumen sidang
Codex dan publikasi lain yang diterbitkan Codex, risalah rapat Panitia Nasional
Codex Indonesia, Kelompok Kerja Codex Indonesia dan posisi Indonesia yang
disampaikan kepada Sekretariat Codex.
2.2 Tata Kerja
1. Panitia Nasional Codex Indonesiaa
 Panitia Nasional CodexIndonesia mengambilkeputusan berdasarkan kesepakatan
anggota, yang dapat diambil melalui rapat atau persetujuan tertulis yang
dikoordinasikan oleh Ketua/Sekretaris Panitia Nasional Codex Indonesia.
 Kesepakatan tersebut didasarkan pada kajian dari data ilmiah, regulasi, kesehatan dan
pertimbangan ekonomi (industri dan perdagangan).
 Dalam hal sangat mendesak dan spesifik, keputusan dapat diambil melalui
kesepakatan antara anggota yang berasal dari regulator yang membidangi suatu
komite dengan Ketua/Sekretaris Panitia Nasional Codex Indonesia dan dilaporkan
kepada seluruh anggota Panitia NasionalCodex Indonesia.
 Panitia Nasional CodexIndonesia, melalui Sekretariat CodexContact Point,
bertanggung jawab memberikan pembekalan kepada anggota Mirror Committeedi
dalam melaksanakan tugasnya, mengenai pengetahuan tentang organisasi
CodexIndonesia dan Codex Alimentarius Commission(CAC).
 Panitia Nasional CodexIndonesia bersidang sekurang-kurangnya dua kali dalam satu
tahun.
2. Kelompok Kerja Codex Indonesiaa
 Kelompok Kerja Codex Indonesia mengambil keputusan melaluikesepakatan dan
tidak melalui voting melalui forum rapat yang dapat diusulkan oleh ketua Kelompok
kerja atau Sekretariat Codex Contact Point, atau dilakukan dengan komentar tertulis.
 Apabila keadaan sangat mendesak dan penting, maka keputusan dapat diambil
dengan kesepakatan antara koordinator yang membidangi suatu Mirror
Committeeterkait dengan Sekretariat CodexContact Pointdan segera dilaporkan pada
seluruh anggotaKelompok KerjaCodex Indonesia.
 Apabila dijumpai suatu masalah yang sulit dipecahkan termasuk masalah posisi
Indonesia, maka hal tersebut harus diajukan kepada Panitia Nasional Codex Indonesia
untuk diambil keputusan.
 Secara berkala Kelompok Kerja Codex Indonesia akan mengevaluasi kinerjanya yang
meliputi pelaksanaan program, efektivitas posisi Indonesia dan perkembangan yang
dicapai dalam sidang-sidang Codex, dan selanjutnya dilaporkan kepada Panitia
Nasional CodexIndonesia
3. Mirror Committee
 Mirror Committee dibentuk sebanding/sesuai dengan Komiteyang ada dalam Codex
dan dikoordinasikanoleh Koordinator Mirror Committeeseperti pada bagan struktur
organisasi .Informasi tentang daftar Term of Reference (TOR) komite/Task Force
Codextercantum pada Lampiran.
 Mirror Committee dapat melakukan diskusi melalui rapat atau forum komunikasi
tertulis/elektroniksesuai dengan situasi dan kondisi, yang efektivitasnya selalu
diupayakan oleh Koordinator Mirror Committe.

2.3 Pengawasan Pangan di Indonesia


Industri pangan di Indonesia berkembang dengan sangat cepat. Penggunaan bahan-bahan
tambahan pangan semakin marak, terutama pada industri kecil. Penggunaan bahan tambahan dan
proses produksi yang tidak sesuai aturan akan mengancam konsumen. Bahan-bahan yang
digunakan tidak pada tempatnya dikhawatirkan akan meracuni konsumen, terutama masyarakat
kelas bawah yang awam akan keamanan pangan. Seperti pada penggunaan bahan pengawet
formalin dan pewarna tekstil pada makanan dan minuman seperti sirup. Demikian juga dengan
penggunaan gelatin, yang bagi kaum muslim ada batasan-batasan tertentu.Masalah terbesar lain
yang selalu menjadi sumber permasalahan pangan dari sisi keamanan kesehatan adalah
kebersihan. Tingkat sanitasi yang masih rendah menyulitkan penyediaan produk pangan secara
higienis. Pemahaman produsen akan pentingnya kebersihan dalam penyiapan yang aman bebas
kontaminasi menjadi kendala yang serius bagi dunia pangan Indonesia. Pada tahun 1996
Indonesia telah memiliki undang-undang yang mengatur masalah pangan. Undang-undang yang
dimiliki Indonesia lebih bersifat modern karena mengacu pada kondisi yang terjadi di Indonesia,
dengan beberapa penambahan dari undang-undang pangan internasional. Undang-undang pangan
Indonesia tidak hanya mencantumkan definisi pangan atau sekedar larangan, melainkan
mencakup tatacara serta isu-isubaru yang semakin marak seperti isu penggunaan bioteknologi
untuk pengembangan produk.Undang-undang pangan ini dalam implementasinya harus
dilengkapi dengan peraturan-peraturan pemerintah tentang pangan. Peraturan pemerintah
mencakup hal-hal baru yang lebih spesifik, sebagai contoh aturan penggunaan food additiveserta
aturan GMP serta HAACP selama proses produksi. Peraturan pemerintah sebagian besar diambil
dari peraturan dunia internasional yang telah banyak digunakan oleh negara-negara lain.Undang-
undang pangan dan setumpuk peraturanyang menyertainya nampaknya tidakpernah cukup untuk
melindungi dan memuaskan semua pihak. Hal ini nampak dengan seringnya dilaporkan berbagai
kasus keracunan pangan di Indonesia. Pemerintah sebagai pihak yang menjembatani kepentingan
konsumen dan produsen memiliki tanggung jawabbesar untuk meningkatkan
mutudanpelaksanaan undang-undang yang berlaku. Seperti telah dikemukakan di muka
peningkatan mutu dan pelaksanaan undang-undangsebenarnya tidak hanya terpikul oleh
pemerintah, melainkan untuk mencapai iklim yang kondusif, seharusnya ikut terbebanipada
konsumen dan produsen.Menurut Winarno (1997), pengawasan mutu pangan di Indonesia saat
ini dilaksanakan oleh empat departemen, yaitu:
1.Departemen Kesehatan
Departemen Kesehatan merupakan unsur pelaksana Pemerintah di bidang kesehatan,
dipimpin oleh Menteri Kesehatan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden. Departemen Kesehatan mempunyai tugas membantu Presiden dalam
menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang kesehatan. Sejak melepas status
direktorat pengawas obat dan pangan (POM) pada tahun 2001 sebagai lembaga negara
nondepartemen yang mandiri dan langsung bertanggung jawab kepada presiden, peran
departemen kesehatan pada pengawasan mutu pangan tidak lagi bersifat strategis teknis tetapi
lebih kepada kebijakan. Ketua badan berkoordinasi dengan menteri kesehatan dalam pelaksanaan
kegiatan. Sebelumnya pengawasan mutu pangan di Departemen Kesehatan dilakukan oleh
Direktorat Jenderal POM, khususnya Direktorat Pengawasan Makanan dengan kegiatan-kegiatan
sebagai berikut:Legislasi(hukum), Perizinan(licencing), pengawasan, standarisasi dan regulasi.
Keaktifan utama adalah pemberian izin untuk menjual makanan jenis tertentu, dan registrasi bagi
makanan terkemas atau terolah di Indonesia (Winarno, 1997). Juhaniarti (2005) menyebutkan,
Badan POM dibawah naungan Departemen Kesehatan mempunyai tugas pokok melaksanakan
tugas pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugasnyaBadan POM menjalankan
fungsi:a.Pengaturan, regulasi dan standarisasi.b.Lisensi dan sertifikasi industri bidang farmasi
berdasarkan cara-cara produksi yang baik.c.Evaluasi produk sebelum diizinkan beredar.d.Post
marketing vigilancetermasuk sampling dan pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produksi
dan distribusi, penyidikan, dan penegakan hukum.e.Pre-auditdan post-auditiklan dan promosi
produk.f.Riset terhadap pelaksanaan kebijakan pengawas obat dan makanan.g.Komunikasi,
informasi, dan edukasi publik termasuk peringatan publik.
2.Departemen Pertanian
Pengawasan mutu pangan oleh Departemen Pertanian terutama dilaksanakan oleh Ditjen
Tanaman Pangan, Peternakan dan Perikanan. Ditjen Tanaman Pangan bertugas memantau hama
penyakit, registrasi pestisida, pest and weed control. Termasuk didalamnya pengawasan
penggunaan pestisida dan herbisida. Ditjen Peternakan bertanggung jawab untuk mengawasi
inspeksi rumah potong hewan dan produk-produk yang berasal dari hewani (Winarno, 1997).
3.Departemen Perindustrian dan Perdagangan
Departemen Perdagangan mempunyai tugas membantu Presiden dalam
menyelenggarakan sebagian tugas pemerintah di bidang perdaganganPengawasan mutu pangan
oleh Departemen Perdagangan ditangani oleh Direktorat Standarisasidan Pengendalian Mutu,
termasuk didalamnya produk pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan hasil hutan.
Direktorat tersebut bertugas mengendalikan mutu dari komoditi yang akan diekspor, diimpor,
maupun yang akan beredar di dalam negeri (Winarno, 1997 )

2.4 Manfaat Codex Alimentarius


Codex Alimentarius merupakankumpulan standar-standar pangan dan ketentuan lain yang
bersifat saran yang telah diadopsi secara internasional oleh Codex Alimentarius Commission.
Codex Alimentarius mencakup seluruh standar pangan, baik pangan segar, pangan semi olahan
maupun pangan olahan yang didistribusikan ke konsumen. Codex Alimentariusjuga mencakup
ketentuan-ketentuan umum yang berkaitan dengan:
1.cemaran pangan
2.bahan tambahan pangan
3.higiene pangan
4.inspeksi dan sertifikasi
5.pelabelan
6.metode analisis dan pengambilan contoh
7.residu pestisida
8. obat hewan

2.5 Tantangan Keamanan Pangan serta Antisipasi Untuk Kesehatan Masyarakat


Dalam hal keamanan pangan secara jasmani (setelah ini akan dinyatakan sebagai keamanan
pangan saja), Indonesia menghadapi tantangan ganda.Tantangan pertama muncul sebagai akibat
kondisi keamanan pangan domestik; sumber pangan untuk konsumsi nasional. Tantangan ini
muncul berkaitan dengan kondisi industri kecil menengah (IKM) pangan nasional, terutama yang
berakar rendahnya akses IKM terhadap sumber daya modal, prasarana dan fasilitas keamanan
pangan/fasilitas sanitasi dan higiene, sumber daya manusia dan informasi. Kondisi demikian
memicu praktek-praktek penyiapan dan produksi pangan yang tidak memperhatikan kaidah-
kaidah Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB), yang pada gilirannya menyebabkan
pencemaran pangan oleh mikroba, dan upaya salah untuk mengatasi/menutupihal itu, yaitu
penggunaan bahan berbahaya (formalin, boraks, rhodamin B, dan metanil yellow) yang dilarang
untuk pangan (misuse) dan penggunaan bahan tambahan pangan secara berlebih-lebihan,
melampaui batas maksimum yang diijinkan (abuse). Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius
pemerintah, dengan mengembangkan pemberdayaan IKM Pangan, membuka akses IKM Pangan
terhadap prasarana dan fasilitas keamanan pangan,bahan baku, Bahan Tambahan Pangan
(BTP)dan ingredien pangan aman, dan alat bantu pengolahan (air bersih, es, listrik) yang
memadai. Akses ini esensial bagi IKM Pangan untuk menghasilkan makanan yang
aman.Pemberdayaan IKM Pangan tidak hanya akan menjamin keamanan dan mutu pangan yang
diproduksi, tetapi juga berpotensi untuk memperluas perdagangan dan meningkatkan daya saing
IKM. Hal ini, pada gilirannya bisa diharapkan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia
untuk IKM di Indonesia, mengurangi kemiskinan dan kekurangan gizi, memperluas kapasitas
IKM itu sendiri. Secara keseluruhan; program strategis ini akan meningkatkan daya saing IKM
dan berkontribusi untuk peningkatan kesehatan individu, yang bermuara pada peningkatan daya
saing bangsa.Tantangan kedua keamanan pangan muncul dari globalisasi perdagangan.
Tumbuhnya perdagangan internasional telah mendorong semakin ketatnya standar internasional
keamanan pangan, dimana batas-batas maksimum cemaran menjadi semakin kecil (Penomena
“chasing zero”).Selain itu, semakin meningkatnya perdagangan (termasuk perdagangan nasional)
juga memunculkan isu tentang pemalsuan pangan, atau kontaminasi yang disengaja (intentional
contamination) dengan berbagai motifnya. Tantangan ganda keamanan pangan ini jelas sangat
serius; khususnya bagi upaya pembangunan kesehatan masyarakat. Karena alasan itu, maka
tantangan ganda ini perlu dijawab dengan pembenahan sistem keamanan pangan nasional.
Indonesia mempunyai momentum bagus untuk hal ini; karena adanya amanat UU Pangan No
18/2012 tentang Pangan (Bab XII, pasal 126) yang menyatakan bahwa “Dalam hal mewujudkan
Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan nasional, dibentuk lembaga
Pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepadaPresiden”. Lembaga Pemerintah yang menangani bidang pangan ini hendaknya digunakan
sebagai momentum pembenahan sistem keamanan pangan nasional; termasuk kemungkinan
adanya Otoritas Nasional Keamanan Pangan. Pembenahan juga perlu diartikan sebagai
penegasan komitmen lebih baik terhadap pembangunan keamanan pangan; terutama komitmen
membenahi keamanan pangan melalui pemberdayaan IKM Pangan. Disamping itu, untuk
menghadapi tantangan global, diperlukan langkah proaktif pemerintah untuk melakukan
diplomasi keamanan pangan di forum internasional; khususnya pada perdebatan mengenai
standar keamanan pangan internasional. Diplomasi aktif Indonesia dalam membela kepentingan
nasionalnya dalam forum Codex Alimentarius Commission(CAC) akan sangat penting untuk
meminimalkan regulatory barrieryang mungkin merintangi perdagangan internasional Indonesia.
Diplomasi keamanan pangan Indonesia perlu memastikan bahwa standar internasional
dikembangkan dengan tujuan (i) melindungi kesehatan publik dan (ii) memastikan terjadinya
perdagangan internasional yang jujur, dan bukan seperti yang terjadi dengan kasus standar
aflatoksin di atas. Untuk ini diperlukan komitmen tinggi dari pemerintah Indonesia untuk
mempersiapkan SDM diplomat keamanan pangan yang tangguh; disertai dengan penyediaan dan
pengelolaan data ilmiah sebagai basis perdebatan dan negosiasi standar keamanan pangan
internasional. Selain itu, ilmu teknologi pangan dan gizi juga mempunyai peran penting untuk
memberikan solusi bagi tantangan ganda keamanan pangan ini. Secara khusus, pendidikan ilmu
dan teknologi pangan dan gizi perlu menekankan pentingnya peranan ilmu pengetahuan;
khususnya untuk untuk menjamin keamanan pangan dan sekaligus meningkatkan nilai tambah

2.6 Term of reference (TOR) Komite)Task For Codex


1. CodexCommittee on General Principles(CCGP)
Menangani materi umum dan prosedural yang dirujuk oleh CAC. Materi tersebut mencakup
penyusunan prinsip umum yang mendefinisikan tujuan dan ruang lingkup Codex Alimentarius,
sifat standar Codex dan bentuk penerimaan standar Codex oleh negara; pengembangan pedoman
komite Codex; pengembangan mekanisme untuk pemeriksaan setiap pernyataan tentang dampak
ekonomi yang disampaikan oleh pemerintah mengenai kemungkinan implikasi
terhadapekonominyadari beberapa standar individu atau beberapa ketentuan dalam standar
tersebut; penetapan kode etik untuk perdagangan pangan internasional.
2. CodexCommittee on Food Additives(CCFA)
 menetapkanatau menyetujuibatas maksimum yang diijinkan pada setiap bahan
tambahan pangan;
 menyiapkan daftar prioritas bahan tambahan pangan untuk penilaian risiko oleh Joint
FAO/WHO Expert Committee on Food Additives
 menentukan kelas fungsi pada setiap bahan tambahan pangan;
 merekomendasikan spesifikasi identitas dan kemurnian bahan tambahan pangan
untuk diadopsi oleh Komisi;
 mempertimbangkan metode analisis penetapan bahan tambahan dalam pangan;
 mempertimbangkan dan menyusun standar atau ketentuan untuk subjek terkait seperti
pelabelan bahan tambahan pangan bila dijual dalam bentuk sendiri.
3. CodexCommittee on Contaminants in Foods(CCCF)
 menetapkan atau menyetujuibatas maksimum yang diijinkan, dan bila diperlukan
merevisi batas panduan yang ada, untuk kontaminan dan bahan beracun yang
terdapat secara alami pada pangan dan pakan;
 menyiapkan daftar prioritas kontaminan dan bahan beracun yang terdapat secara
alami untuk penilaian risiko oleh Joint FAO/WHO Expert Committee on Food
Additives;
 mempertimbangkan dan menyusun metode analisis dan sampling penetapan
kontaminan dan bahan beracun yang terdapat secara alami dalam pangan dan
pakan;
 mempertimbangkan dan menyusun standar atau code of practice untuk subjek
terkait, dane.mempertimbangkan materi lain yang ditugaskan oleh Komisi terkait
kontaminan dan bahan beracun yang terdapat secara alami dalam pangan dan
pakan
4. CodexCommittee on Food Hygiene(CCFH)
 menyusun rancangan ketentuan dasar tentang higiene pangan yang berlaku untuk
semua pangan
 mempertimbangkan, mengubah jika perlu dan menyetujuiketentuan tentang
higieneyang disiapkan oleh Komite komoditi Codex dan tercantum dalam standar
komoditi Codex, dan
 mempertimbangkan, mengubah jika perlu dan mendukung ketentuan higieneyang
disiapkan Komite Komoditi Codex dan tercantum dalam cara produksi Codex
kecuali,dalam hal spesifik, Komisi menetapkan sebaliknya, atau
 menyusun rancangan ketentuan higieneyang berlaku untuk item pangan atau
kelompok pangan spesifik,apakah masuk dalam kerangka acuan komite komoditi
Codex atau tidak;
 mempertimbangkan masalah higienespesifik yang ditugaskan oleh Komisi
 menyarankan dan membuat area prioritas yang dibutuhkanuntuk penilaian risiko
mikrobiologis pada tingkat internasional dan mengembangkan pertanyaan untuk
dijawab oleh penilai risiko;
 mempertimbangkan materi manajemen risiko mikrobiologis dalam
kaitannyadengan higienepangan, termasuk iradiasi pangan, dan dalam kaitan
dengan penilaian risiko FAO dan WHO.
5. Codex Committee on Food Labelling(CCFL)
 menyusun rancangan ketentuan tentang pelabelan yang berlaku untuk semua
pangan
 mempertimbangkan, mengubah jika perlu,dan mendukung rancangan ketentuan
spesifik tentang pelabelan yang disiapkan oleh Komite Codex yang menyiapkan
standar, code of practicedan pedoman
 mempelajari masalah pelabelan spesifik yang ditugaskan oleh Komisi;
 mempelajari masalah yang berkaitan dengan periklanan pangan dengan referensi
khusus untuk pernyataan dan gambaran yang keliru.
6. Codex Committee on Methods Analysis and Sampling(CCMAS)
 mendefinisikan kriteria yang cocok untuk Metode Analisis dan Sampling Codex
 bertindak sebagai badan koordinasi untuk Codex dengan kelompok internasional
lain yang bekerja dalam metode analisis dan sampling sertasistem jaminan mutu
untuk laboratorium
 menetapkan, berdasarkan rekomendasi final yang diserahkan oleh badan lain yang
dirujuk pada butir (b) di atas, Metode Analisis dan Sampling referensi yang cocok
untuk standar Codex yang biasanya dapat digunakan pada sejumlah pangan
 mempertimbangkan, mengubah bila diperlukan, dan mendukung bila cocok,
metode analisis dan sampling yang diusulkan oleh Komite (Komoditi) Codex,
kecuali bahwa metode analisis dan sampling untuk residu pestisida atau obat
hewan dalam pangan, penilaian mutu mikrobiologis dan keamanan dalam pangan
dan penilaian spesifikasi untuk bahan tambahan pangan, tidak termasuk dalam
kerangka acuan komite ini;
 menyusun rencana dan prosedur sampling, seperti yang dibutuhkan
 mempertimbangkan masalah sampling dan analisis spesifik yang diserahkan oleh
Komisi atau Komite lainnya;g.menentukanprosedur, protokol, pedoman dan teks
terkait untuk menilai profisiensi laboratorium pangan, disamping sistem jaminan
mutu untuk laboratorium.
7. Codex Committee on Pesticide Residue(CCPR)
 menetapkan batas maksimum residu pestisida dalam item pangan tertentu atau
dalam kelompok pangan
 menetapkan batas maksimum untuk residu pestisida dalam pakan ternak tertentu
yang diperdagangkan secara internasional bila dibenarkan untuk alasan
perlindungan kesehatan manusia
 menyiapkan daftar pestisida prioritas untuk dievaluasi oleh Joint FAO/WHO
Meeting on Pesticide Residues(JMPR)
 mempertimbangkan metode sampling dananalisis untuk penetapan residu
pestisida dalam pangan dan pakan
 mempertimbangkan materi lain dalam kaitan keamanan pangan dan pakan yang
mengandung residu pestisida; dan
 menetapkan limit maksimum untuk kontaminan lingkungan dan industri yang
menunjukkansifat kimia dan persamaan lain dengan pestisida, dalam item pangan
tertentu atau kelompok pangan tertentu
8. Codex Committee on Residues of Veterinary Drugs in Food(CCRVDF)
 menentukan prioritas untuk pertimbangan residu obat hewan dalam pangan
 merekomendasikan batas maksimum bahan tersebut;
 menyusun cara produksi yang baik apabila diminta;
 mempertimbangkan metode analisis dan sampling untuk penetapan residu obat
hewan dalam pangan
9. CodexCommittee on Food Import and Export Certification and Inspection
Systems(CCFICS)
 menyusun prinsip dan pedoman untuk inspeksi pangan ekspor dan impor dan sistem
sertifikasi dengan maksud untuk harmonisasi metode dan prosedur yang dapat
melindungi kesehatan konsumen, menjamin praktek yang jujur dalam perdagangan
dan memudahkan perdagangan internasional pangan
 menyusun prinsip dan pedoman untuk penerapan, tindakan oleh instansi berwenang
negara pengekspor dan pengimpor untuk memberikan jaminan biladiperlukanbahwa
pangan memenuhi persyaratan, terutama persyaratan kesehatan yang diwajibkan;
 menyusun pedoman untuk penggunaan (pemanfaatan) bila diperlukan, sistem jaminan
mutu2untuk menjamin bahwa pangan memenuhi persyaratan dan untuk
mempromosikan pengenalan sistem ini gunamempermudah perdagangan produk
pangan berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral oleh negara-negara
 menyusun pedoman dan kriteria mengenai format, pernyataan dan bahasa seperti
sertifikat resmi yang diperlukan negara dengan maksud harmonisasi internasional
 membuat rekomendasi untuk pertukaran informasi dalam kaitannyadengan
pengawasan pangan impor atau ekspor;
 berkonsultasi biladiperlukan dengan grup internasional lainnya yang berkaitan dengan
sistem inspeksi dan sertifikasi pangan;
 mempertimbangkan materi lain yang ditugaskan oleh Komisi dalam kaitannya
dengansistem inspeksi dan sertifikasi pangan.
10. Codex Committee on Nutrition and Foods for Special Dietary Uses(CCNFSDU)
 mempelajari masalah gizi spesifik yang ditugaskan oleh Komisi dan memberikan
saran pada Komisi mengenai isu gizi umum
 membuatrancangan ketentuan umum, secara tepat, mengenai aspek nutrisi semua
pangan
 menyusun standar, pedoman atau teks lain terkait pangan untuk penggunaan diet
khusus, bekerja sama dengan komite lain bila perlu;
 mempertimbangkan, mengubah jika diperlukandan mendukung ketentuan tentang
aspek gizi yang diusulkan dimasukkan dalam standar, pedoman dan teks terkait
Codex
11. Codex Committee on Processed Fruits and Vegetables(CCPFV)

Menyusun standar untuk semua jenis buah dan sayuran olahan termasuk dalam
bentuk produk kering, kacang-kacangan kering yang dikalengkan, jam dan jelli, tetapi tidak
termasuk untuk buah prun kering atau jus buah dan sayur. Komisi juga telah menugaskan
komite ini untuk menangani pekerjaan revisi standar buah dan sayur yang dibekukan dengan
cepat

12. Codex Committee on Fats and Oils(CCFO)

Menyusun standar lemak dan minyak asal hewan, sayur dan laut, termasuk margarin
dan olive oil.

13. Codex Committee on Meat Hygiene(CCMH)

Menyusun standar dan/atau cara produksi yang tepatuntuk higiene daging.

14. Codex Committee on Fish and Fishery Product(CCFFP)

Menyusun standar untuk ikan segar, beku (termasuk beku cepat) atau ikan yg diolah
dengan cara lain, krustasean, dan moluska olahan.

15. CodexCommittee on Cereals, Pulses and Legumes(CCCPL)


Menyusun standar dan/atau cara produksi yang baik yang dianggap tepatuntuk serealia,
kacang-kacangan dan produknya.
16. CodexCommittee on Fresh Fruits and Vegetables(CCFFV)
 menyusun standar dan cara produksi yang baik yang dianggap tepatuntuk buah dan
sayur segar
 berkonsultasi dengan UNECE Working Party on Agricultural Quality Standards
dalam penyusunan standar dan cara produksi yang baik dengan perhatian khusus
untuk menjamin bahwa tidak ada duplikasi standar dan cara produksi, sertaagar
mengikuti format yang sama
 berkonsultasi, jika perlu dengan organisasi internasional lain yang aktif di bidang
standardisasi buah dan sayur segar.
17. CodexCommittee on Milk and Milk Products(CCMMP)
Menyusun standar, cara produksi dan teks lainnya untuk susu dan produk susu.
18. Codex Committee on Natural Mineral Waters (CCNMW) Menyusunstandaruntukair
mineral alami.
19. Ad Hoc CodexIntergovernmental Task Force on Antimicrobial Resistance
Mengembangkan panduan mengenai metodologi dan proses penilaian risiko, penerapannya
untuk antimicrobialyang digunakan pada hewan dan obat hewan sebagaimanadiberikan oleh
FAO/WHO melalui JEMRA, dan bekerjasama secara erat dengan OIE, dengan pertimbangan
berikutnya pada opsi managemen risiko. Dalam proses ini,pekerjaan di bidang ini yang
dilakukan ditingkat nasional, regional dan internasional sebaiknya dipertimbangkan.
20. Ad Hoc CodexIntergovernmental Task Force on the Processing and Handling of Quick
Frozen Foods

Menyelesaikan seluruh permasalahan yang ada,termasuk ketentuan mutu dan


keamanan,dengan tujuan untuk pengajuan Codeke Step

Keterangan:* TaskForceharus menyelesaikan pekerjaannya dalam duatahun, dengan satu kali


siding

21. Ad Hoc CodexIntergovernmental Task Force on Fruits and Vegetable Juices(TFFJ)


 merevisi dan menggabungkan standar dan pedoman Codex yang ada tentang jus buah
dan sayur dan produk berkaitan, dengan pilihan untuk standar umum
 merevisi dan update metode analisis dan sampling untuk produk ini;c.menyelesaikan
tugasnya sebelum sidang Komisi ke-28tahun 2005.
Keterangan:* telah dibubarkan oleh sidang ke-28 CAC (2005) setelah menyelesaikan
mandatnya.
22. Ad Hoc CodexIntergovernmental Task Force on Foods Derived from
Biotechnology(TFFBT)
 menyusun standar, pedoman atau prinsip lainyang sesuai,untuk pangan yang berasal
dari bioteknologi modern, dengan mempertimbangkan, khsususnya, Principles of
Risk Analysis of Foods derived from Modern Biotechnology;
 mengkoordinasikan dan bekerjasama, biladiperlukan, dengan komite Codex yang
sesuai dengan mandatnya yang berhubungan dengan pangan yang berasal dari
bioteknologi modern; dan
 mempertimbangkan pekerjaan yang sedang dilakukan oleh otoritas nasional, FAO,
WHO, organisasi internasional lainnya dan forum internasional yang relevan lainnya.
 Keterangan:* telahdibubarkanoleh sidang ke-31CAC (2008).
23. Ad Hoc CodexIntergovernmental Task Force on Animal Feeding (TFAF)
 menyelesaikan dan memperluas pekerjaan yang selama ini telah dilakukan
CodexCommitteeyang relevan denganDraftCode of Practice for Good Animal Feeding
 membahas aspek lain yang penting untuk keamanan pangan, seperti masalah yang
berhubungan dengan bahan beracun, patogen, resistensi mikroba, teknologi baru,
penyimpanan, tindakan pengawasan, traceability, dan sebagainya
 mempertimbangkan dan bekerja sama dengan, bila sesuai, pekerjaan yang dilaksanakan
Komite Codex yang relevan dan badan internasional relevan lainnya, termasuk FAO,
WHO, OIE dan IPPC.
Keterangan: * telah dibubarkan olehsidang ke-27CAC (2004) setelah menyelesaikan
mandatnya.
BAB III
PENUTUP
Codex Alimentarius Commission (CAC), merupakan organisasi yang dibentuk oleh FAO
dan WHO dengan tujuan untuk melindungi kesehatan konsumen dan menjamin perdagangan
internasional yang jujur. CAC menyediakan standar sebagai acuan bagi negara anggota dalam
menetapkan peraturan dan standar di bidang pangan. Codex standardmerupakan satu-satunya
standar internasional di bidang pangan yang menjadi acuan World Trade Organization (WTO)
untuk menangani disputedalam perdagangan internasional. Produk dari Codex Alimentarius
Commissionseperti standar, pedoman, dan kode praktis disusun untuk berperan dalam
menghasilkan perdagangan pangan internasional yang aman, bermutu dan adil. Sehingga
konsumen dapat mempercayai keamanan dan mutu pangan yang dibeli, importir dapat
mempercayai bahwa pangan yang dipesan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan.
Perhatian publik terhadap isu keamanan pangan sering kali menempatkan Codex pada posisi
sentral dalam perdebatan. Bioteknologi, pestisida, bahan tambahanpangan, dan cemaran adalah
beberapa isu yang dibicarakan dalam pertemuan Codex. Standar Codex disusun berdasarkan
kajian keilmuan yang disediakan oleh badan pengkajian risiko internasional yang independen
atau organisasi ad hocyang dibentuk oleh FAO dan WHO.Indonesia mengacu kepada standar
yang dihasilkan Codex dalam menetapkan peraturan dan standar di bidang pangan sehingga
perlu disusun “PanduanKerja Codex” sebagai bagian dari penyebaran informasi kepada berbagai
pihak mengenai Codex. Dokumen ini berisi berbagai hal, antara lain mengenai tujuan, organisasi,
keanggotaan, manfaat, pengembangan standar, dan cara memahami dokumen yang dikeluarkan
oleh Codex.

Anda mungkin juga menyukai