Anda di halaman 1dari 10

Strategi Pengelolaan Rasa Takut Anak pada Perawatan Gigi

Ali Taqwim

Mahasiswa Profesi Kedokteran Gigi Universitas Jember

I. Pendahuluan

Kunci keberhasilan perawatan gigi pada anak selain ditentukan oleh pengetahuan klinis dan ketrampilan
dokter gigi, sebagian juga ditentukan oleh kesanggupan anak untuk bekerjasama selama perawatan. Hal
tersebut menyebabkan dokter gigi yang merawat pasien anak harus mampu melakukan pengelolaan
perilaku agar pasien bersikap kooperatif. Pada umumnya, anak yang datang ke praktik dokter gigi
berperilaku kooperatif dan dapat menerima perawatan gigi dengan baik apabila diperlakukan dengan
benar sesuai dengan dasar-dasar pengelolaan perilaku. Namun, sebagian anak berperilaku non
kooperatif serta bersikap negatif pada perawatan gigi (Masitahapsari et al., 2009).

Dalam melakukan perawatan gigi anak, terdapat tiga komponen yang harus bekerja sama, agar
perawatan dapat berlangsung dengan lancar. Komponen tersebut digambarkan dalam bentuk segitiga
yang dikenal sebagai segitiga perawatan gigi anak. Pada segitiga tersebut, bagian sudut-sudutnya
ditempati oleh dokter gigi, keluarga (terutama ibu) dan anak sebagai pasien terletak pada puncak
segitiga. Segitiga tersebut saling berhubungan secara dinamik (Koch & Poulsen, 1991).

Masalah yang dihadapi oleh dokter gigi, pertama adalah anak dengan berbagai tingkah lakunya sesuai
dengan perkembangan yang sedang berlangsung. Masalah kedua, yang terletak disudut lain adalah
keluarga (terutama ibu) yang diharapkan memberi dukungan kepada dokter gigi dalam pelaksanaan
perawatan gigi anaknya yang terkadang memerlukan perhatian khusus sebelum perawatan anak dimulai.

Rasa takut dan cemas pada anak merupakan suatu pengalaman dental yang tidak menyenangkan.
Ketakutan dan kecemasan mempengaruhi tingkah laku anak dan lebih jauh lagi menentukan
keberhasilan perawatan gigi. Kecemasan merupakan suatu ciri kepribadian dan ketakutan terhadap
antisipasi bahaya dari sumber yang tidak dikenal, sedangkan takut merupakan respon emosional
terhadap sesuatu yang dikenal berupa ancaman eksternal (Masitahapsari et al., 2009).
Strategi pengelolaan rasa takut pada anak adalah dasar untuk memulai perawatan dengan tujuan untuk
mengembangkan sikap anak yang mau menjalankan perawatan sehingga dicapai kesehatan gigi dan
mulut tanpa menimbulkan rasa takut. Selain itu, komunikasi merupakan dasar dari setiap perawatan
yang akan dilakukan. Efektivitas komunikasi dokter gigi-pasien dapat mengurangi kecemasan dan
meningkatkan kepuasan serta kenyamanan pasien (York et al., 2007). Strategi pengelolaan perilaku
dibagi menjadi enam kategori dasar yaitu : pendidikan, dukungan, kognitif-perilaku, paksaan,
pembatasan dan farmakologi (York et al., 2007).

Walaupun rasa takut terhadap perawatan gigi yang dilakukan dokter gigi bukan masalah yang serius,
tetapi merupakan hambatan bagi para dokter gigi dalam usaha peningkatan kesehatan gigi di
masyarakat. Oleh karena itu penanggulangan adanya rasa takut terhadap perawatan gigi perlu dicarikan
jalan keluarnya. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis ingin membahas mengenai strategi
pengelolaan rasa takut anak pada perawatan gigi.

II. Strategi Tahap Primer dalam Mengatasi Rasa Takut

Pendekatan tahap primer bertujuan untuk membentuk lingkungan yang aman dan membiarkan anak
merasakan kontrol merupakan kunci dalam bekerja dengan anak yang akan memberikan hasil baik. Hal
ini disebabkan karena mereka dibantu untuk memahami pikiran dan penatalaksanaan perawatan yang
dilakukan dokter gigi (Karolina, 2008).

Pendekatan Tell-Show-Do (TSD) sebagai metode persiapan dapat diterapkan pada anak yang pertama kali
berkunjung ke dokter gigi. Penatalaksanaan rasa takut pada tahap ini hanya sebatas pendekatanTell dan
Show saja. Teknik ini digunakan secara rutin dalam memperkenalkan anak pada perawatan profilaksis,
yang selau dipilih sebagai prosedur operatif pertama. Anak diceritakan bahwa gigi-giginya disikat,
tujukkan sikat “khusus” tersebut dan bagimana sikat berputar dalam handpiece, kemudian gigi-giginya
disikat. Penjelasan tidak perlu panjang lebar, karena hal ini akan cenderung membingungkan anak dan
mungkin membangkitkan kecemasan. Pada tahap ini diperlukan pujian karena tingkah laku yang baik
selama perawatan awal harus segera diberi penguatan dan selama perawatan selanjutnya (Andlaw &
Rock, 1992).

Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh seorang dokter gigi pada tahap ini adalah.
Memberikan pertanyaan sebelum, selama dan setelah perawatan. Hal ini dapat membangkitkan rasa
percaya dan memberikan kesempatan kepada anak untuk bekerja sama.

Saat anak memutuskan pilihan, dokter gigi harus selalu melaksanakan, oleh karena itu jangan
menanyakan anak mau atau tidak giginya dirawat.

Memberikan anak kesempatan memegang alat dan menjelaskan fungsi masing-masing alat. Hal tersebut
akan diharapkan rasa takut menjadi hilang dan meningkatkan perhatian serta memberikan kesan bahwa
mereka penting sehingga dapat bekerja sama sukarela tanpa dipaksakan.

Memperkenalkan anak dengan ruang perawatan gigi dan perawatan akan dilakukan sebaiknya tanpa
membuat rasa takut, sehingga kepercayaan diri anak dapat diperoleh dan rasa takut berubah menjadi
keingintahuan dan kooperatif.

Tingkah laku dan umur yang berbeda pada anak menyebabkan dokter gigi harus mampu untuk bersikap
berbeda dalam mengatasinya. Pada anak yang berusia 2 tahun, sebaiknya dokter gigi memberikan alat
bermain pada anak pada saat wawancara atau pemeriksaan agar anak menjadi senang, segala sesuatu
yang terkait dengan kesehatan anak lebih banyak ditanyakan kepada orang tuanya. Demikian juga
dengan konseling lebih banyak ditujukan kepada orang tua (Blisa, 2010).

Strategi tersebut akan berhasil apabila ada kerjasama yang baik antara pasien (anak), orang tua dan
dokter gigi serta lingkungan fisik yang mendukung perawatan. Untuk mendapatkan keberhasilan
perawatan pada pasien yang memiliki rasa takut adalah dengan menciptakan lingkungan yang aman
untuk anak. Hal-hal yang menarik, lingkungan fisik yang berorientasi pada anak dengan peralatan
permainan dan berkomunikasi dengan anak adalah sesuatu yang baik (Gambar 1). Hal ini dikarenakan
lingkungan psikologis yang aman dapat mempengaruhi tindakan atau perasaan anak (Finn, 1973).

Gambar 1. Komunikasi dan lingkungan fisik yang berorientasi pada anak dengan alat permainan

Sumber : http://dental.pacific.edu/

Pasien yang menunggu perawatan pada umumnya cemas, dan kecemasan dapat ditingkatkan oleh
persepsi pasien tentang ruang praktik sebagai lingkungan yang mengancam, tentang perawat, cahaya,
bunyi, dan bahasa teknis yang asing bagi pasien (Prasetyo, 2005). Membuat ruang penerimaan yang
nyaman dan hangat sehingga anak merasa tidak asing ketika memasukinya, Oleh karena itu dekorasi
ruangan sangat memegang peranan penting dan erat kaitannya dengan kondisi psikologis mereka
(Pertiwi et al., 2005).
Pada saat anak memasuki ruang perawatan gigi dengan sejumlah perasaan takut, hal yang pertama
harus dilakukan oleh dokter gigi adalah menempatkan anak senyaman mungkin dan mengarahkannya
bahwa pengalamannya ini bukanlah hal yang tidak biasa. Jika tempat praktik tidak terbatas hanya untuk
pasien anak-anak, salah satu metode yang efektif di antaranya adalah dengan pembuatan ruang tunggu
yang dibuat sedemikian rupa sehingga anak merasa berada di lingkungan rumahnya sendiri (Gambar 2)
(Pertiwi et al., 2005).

Gambar 2. Ruang tunggu dan ruang praktik dokter gigi yang nyaman untuk anak-anak

Sumber : http://www.sunnyhillspediatricdentistry.com/; http://coolboom.net/interior-design

Musik yang lembut dapat memberikan efek baik pada orang tua maupun anak dalam memecahkan
keheningan di ruang tunggu. Bahan-bahan bacaan yang disediakan di ruang tunggu tidak saja buat anak-
anak, tetapi juga buat orang tuanya. Sediakan pula kursi dan meja kecil bagi anak untuk duduk dan
membaca. Buku-buku disediakan untuk semua usia anak. Selain buku bacaan, dapat disediakan juga
buku aktivitas, seperti buku mewarnai (Pertiwi et al., 2005; Prasetyo, 2005).

III. Strategi Tahap Sekunder dalam Mengatasi Rasa Takut

Pendekatan tahap sekunder bertujuan untuk menghilangkan rasa takut dengan membentuk pola
komunikasi yang baik dengan pasien. Tanda keberhasilan dokter gigi mengelola pasien anak adalah
kesanggupannya berkomunikasi dan memperoleh rasa percaya diri dari anak sehingga anak dapat
bersikap kooperatif. Komunikasi dengan pasien berperan penting dalam mengurangi rasa takut pasien
(Hmud & Walsh, 2009).

3.1. Komunikasi Verbal dan Non Verbal

Memberikan dukungan verbal dan meyakinkan pasien merupakan strategi yang sering dilakukan.
Pendekatan ini harus diadopsi oleh seluruh tim pada saat berinteraksi dengan pasien (Hmud & Walsh,
2009). Banyak cara untuk memulai komunikasi secara verbal, misalnya untuk anak kecil dapat ditanyakan
tentang pakaian baru, kakak adik, benda atau binatang kesayangannya, sedangkan untuk anak besar
dapat ditanyakan tentang sekolah, aktifitas, olah raga atau teman sebaya ((Finn, 1973).

Untuk menciptakan kepercayaan pada anak yang berusia 2-6 tahun, dokter gigi sebaiknya melibatkan
anak dalam dialog dan semua diskusi dengan menggunakan kata-kata sederhana. Banyak anak yang
merasa senang dengan dokter karena mereka dapat berkomunikasi dengannya. Pada saat berkunjung ke
dokter gigi mereka tidak takut, tetapi malah senang. Demikian pula dengan tindakan medis, anak harus
diberi penjelasan terlebih dahulu dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak. Berbicara pada anak
harus disesuaikan dengan tingkat pemahaman sehingga diperlukan “second language” (Budiyanti &
Heriandi, 2001; Blisa, 2010).

Beberapa “second language” yang dapat membantu dokter gigi dalam melakukan perawatan gigi pada
anak antara lain.

Melakukan anastesi sebelum pencabutan gigi dapat digunakan istilah “menidurkan gigi”.

Melakukan pembersihan dengan brush dan pumice dapat digunakan istilah “memandikan dan
mengkeramasi gigi”, kemudian mengeringkan dengan tampon dapat digunakan istilah “menghanduki
gigi”.

Mengebor untuk menghilangkan jaringan karies gigi dapat digunakan istilah “membersihkan rumah
kuman” dan lain-lain.

Untuk menciptakan kepercayaan anak pada usia 7-10 tahun, dokter gigi sebaiknya menanyakan
kegiatannya dan beri komentar yang positif, tanyakan pada anak tentang hal-hal yang sederhana dan
konkret, beri tanggungjawab pada anak terhadap tugas yang kita berikan, dan jangan lupa untuk
menjelaskan tentang pemeriksaan yang dijalani sesuai dengan daya piker anak. Sedangkan untuk anak
yang berusia 11-17 tahun, dokter gigi harus menghargai pendapat, kebutuhan dan keterbatasan anak
sebelum merekomendasikan sesuatu (Tabel 1) (Blisa, 2010).

Tabel 1. Tingkah laku anak di praktik dokter gigi berdasarkan umur

Komunikasi non verbal dapat dilakukan misalnya dengan menjabat tangan anak, tersenyum dengan
penuh kehangatan, menggandeng anak sebelum mendudukkannya ke kursi gigi dan lain-lain (Budiyanti &
Heriandi, 2001).
3.2 Bimbingan Kerjasama

Model komunikasi bimbingan kerjasama antara dokter gigi dan pasien merupakan strategi yang terbaik.
Pada perawatan ini diharapkan pasien dapat mematuhi dokter gigi dan anak dapat besikap kooperatif
selama perawatan. Perubahan nada dan volume suara dapat digunakan untuk mengubah perilaku dan
mengkomunikasikan perasaan kepada anak (Karolina, 2008).

Contoh komunikasi dengan bimbingan kerjasama yang dapat dilakukann oleh dokter gigi antara lain:

1) “buka sedikit lebih lebar mulutnya, anak manis”

2) “apakah engkau siap untuk dimulai sekarang, maukah manis?”

3) “sayang, saya suka caramu membuat mulutmu tetap terbuka lebar”

3.3 Strategi Perilaku Efektif

Selain strategi komunikasi di atas, komunikasi efektif yang dapat dilakukan oleh dokter gigi adalah
dengan strategi perilaku. Strategi ini dapat digunakan dengan cepat dan mengurangi rasa takut. Strategi
perilaku efektif tersebut antara lain sebagai berikut (Finn, 1973; Karolina, 2008).

1. Waktu dan lamanya perawatan

Dokter gigi harus mengetahui waktu perawatan yang dibutuhkan karena pada beberapa anak lamanya
perawatan akan mempengaruhi tingkah lakunya. Terdapat hubungan yang terbalik antara kooperatif
dengan lamanya waktu perawatan. Menepati janji untuk datang maupun lamanya perawatan adalah
sangat penting (Finn, 1973).
Seorang resepsionis yang mencatat pasien dengan rasa takut dapat menjadwalkan waktu yang cukup,
sehingga memungkinkan dokter gigi memiliki waktu lebih dalam menjelaskan prosedur secara hati-hati,
dan kemudian melanjutkan perlahan pengobatannya. Waktu yang paling baik dalam merawat anak
adalah di pagi hari saat anak tidak lelah. Anak sebaiknya tidak dibawa ke dokter gigi setelah mengalami
trauma emosi, misalnya ia baru saja kehilangan boneka kesayangannya, karena penjanjian dengan dokter
gigi akan membuat anak menjadi tidak kooperatif (Finn, 1973; Hmud & Walsh, 2009).

2. Mengalihkan perhatian

Mengalihkan perhatian adalah suatu metode yang berguna untuk mengurangi rasa takut, tidak nyaman,
stress dan menghilangkan rasa bosan selama periode perawatan. Semakin bnayak mengetahui tentang
anak, lebih besar taktik yang dapat dilakukan untuk mengalihkan anak, untuk memberikan kesempatan
melakukan prosedur perawatan yang diperlukan. Bahan pengalih yang terbukti membantu mengurangi
rasa takut anak misalnya radio, program anak di televisi dan lain-lain.

3. Hipnotis

Hipnotis dilakukan dengan mempengaruhu pikiran orang lain sehingga anjuran-anjuran yang diberikan
akan diterima dengan baik. Teknik ini hanya dapat dilakukan pada pasien yang dapat bekerja sama.
Hipnotis sering digunakan dalam kedokteran gigi sebagai suatu metode untuk membantu pasien yang
cemas agar rileks dan meningkatkan kooperatif pasien.

4. Modifikasi tingkah laku (penguatan)

Penguatan dapat diartikan sebagai pengukuhan pola tingkah laku yang akan meningkatkan kemungkinan
tingkah laku tersebut terjadi lagi dikemudian hari. Penguatan (reinforcement) terbukti mengurangi
tingkah laku tidak kooperatif pada anak dalam menjalani perawatan gigi (Finn, 1973; Andlaw & Rock,
1992).

Hampir semua benda menjadi penguat dokter gigi sehingga dapat meningkatkan hubungan sosial
dengan cara memberikan perhatian, doa, senyum dan pelukan. Benda penguat yang dapat diberikan
misalnya stiker, pensil dan lain-lain. Bentuk penghargaan lain adalah hadiah dan ini dapat diberikan pada
tahap akhir perawatan sebagai penghargaan atas tingkah laku yang baik (Andlaw & Rock, 1992). Namun,
upaya yang terpenting dalam memperkuat tingkah laku adalah kasih sayang dan perhatian.

5. Kehadiran orang tua di dalam ruangan

Kehadiran orang tua di ruang praktik memepunyai pengaruh positif dalam meningkatkan keamanan pada
anak yang kurang berani. Sedangkan pendapat agar orang tua sebaiknya berada di luar karena kehadiran
orang tua dapat mengganggu prosedur perawatan dan rasa takut yang dimiliki orang tua akan
mempengaruhi anak. Sebaiknya orang tua tidak ikut ke ruang praktik tanpa diminta oleh dokter gigi
(Finn, 1973).

IV. Strategi Tahap Tertier dalam Mengatasi Rasa Takut

Pendekatan tahap tertier ditujukan kepada anak dengan rasa takut yang berat dengan maksud
menghilangkan rasa tkut dan menyelesaikan perawatan gigi. Teknik yang menjadi pilihan utama adalah
desensitisasi sistemik dan modeling ataupun kombinasi.

4.1 Desensitisasi

Desentisasi adalah suatu cara untuk mengurangi rasa takut atau cemas seorang anak dengan jalan
memberikan rangsangan yang membuatnya takut atau cemas sedikit demi sedikit rangsangan tersebut
diberikan terus, sampai anak tidak takut atau cemas lagi. Prosedur ini dilandasi oleh prinsip
belajarcounterconditioning, yaitu respon yang tidak diinginkan digantikan dengan tingkah laku yang
diinginkan sebagai hasil latihan yang berulang-ulang. Teknis desentisisasi ini sangat efektif untuk
menghilangkan rasa takut atau fobia (Tampubolon, 2010).

Prinsip macam terapi ini adalah memasukan suatu respon yang bertentangan dengan kecemasan yaitu
relaksasi. Pertama-tama subyek dilatih untuk relaksasi dalam, salah satu caranya misalnya secara
progresif merelaksasi berbagai otot, mulai dari otot kaki, pergelangan kaki, kemudian keseluruhan tubuh,
leher dan wajah. Pada tahap selanjutnya ahli terapi membentuk hirarki situasi yang menimbulkan
kecemasan pada subyek dari situasi yang menghasilkan kecemasan paling kecil sampai situasi yang
paling menakutkan. Setelah itu subyek diminta relaks sambil mengalami atau membayangkan tiap situasi
dalam hirarki yang dimulai dari situasi yang paling kecil menimbulkan kecemasan (Andlaw & Rock, 1992;
Tampubolon, 2010). Pada tahap desensitisasi ini, pasien dapat diberikan paparan stimulus berupa injeksi
anestesi gigi, aplikasi rubber dam, dan suara serta melihat bor gigi dengan menjelaskan hasilnya
(Melamed et al., 1975).

4.2 Modeling

Metode modeling adalah cara pendekatan yang sangat praktis, mudah dilakukan, serta efektif
memepersingkat waktu dalam perubahan perilaku pasien anak sehingga waktu perawatan gigi menjadi
lebih optimal (Soemartono, 2003). Teori “social learning” memprediksi bahwa pola respon rasa takut
pada anak-anak dapat dihilangkan dengan mengamati model yang mendapatkan stimulus tanpa
mengalami konsekuensi yang negatif (Melamed et al., 1975).

Prinsip psikologis metode modeling yaitu belajar dari pengamatan model. Anak diajak mengamati anak
lain yang ketika dirawat giginya berperilaku kooperatif, baik secara langsung pada kursi gigi atau melalui
film. Setelah metode modeling dikerjakan maka diharapkan anak berperilaku kooperatif seperti model
yang diamati. Pendekatan tersebut efektif karena memberikan informasi yang jelas pada pasien tentang
jenis peralatan dan prosedur yang akan dihadapi (Masitahapsari et al., 2009).

Metode modeling ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui model di film/ anak sebaya (filmed/
in vivo modeling) dan melalui model yang ikut berpartisispasi dalam perawatan secara langsung
(participant modeling) dalam memperkenalkan perawatan gigi (Gambar 3). Metode ini efektif pada anak
dengan umur 4-9 tahun dan hanya beberapa efektif pada anak yang lebih muda dari umur 4 tahun
(Catherine, 2004).

1. Filmed modeling 2. Participant modeling

Gambar 3. Metode modeling (1) filmed modeling dan (2) participant modeling

Sumber : Catherine, 2004


Modeling adalah modifikasi perilaku untuk pasien anak yang masih usia muda, anak dapat belajar
tentang pengalaman ke dokter gigi dengan melihat anak-anak lain menerima perawatan. Strategi ini
tidak hanya mengajarkan anak yang belum pernah menerima perawatan tentang apa yang diharapkan
darinya, tetapi lebih penting adalah mendemonstrasikan apa yang diharapkan dari anak (Narwaty, 2008).
Strategi ini efektif dalam mengatasi rasa takut selama kunjungan pertama perawatan gigi pada pasien
anak. Metode ini dapat diterapkan dengan mudah dalam ruang praktik (Melamed et al., 1975).

4.3 Kombinasi Perawatan Perilaku

Kombinasi perawatan perilaku menunjukkan hasil yang jauh lebih baik. Penggunaan metode dengan
menggabungkan beberapa metode pada suatu paket perawatan. Pasien yang takut diajarkan rileks dan
kemudian menunjukkan film model disaat rileks. Modeling dan desensitisasi dapat diterapkan sekaligus,
dengan pengkombinasian dua cara ini akan diperoleh hasil yang memuaskan. Modeling dan desensitisasi
juga dapat mengurangi rasa cemas orang pada perawatan gigi anaknya. Merubah perilaku dengan cara
modeling dan desensitisasi dapat diterapkan baik di klinik gigi maupun praktik pribadi (Narwaty, 2008).

Anda mungkin juga menyukai