Anda di halaman 1dari 8

Faktor-faktor yang mempengaruhi anak dalam perawatan gigi

Kecemasan merupakan hal yang sering terjadi pada anak-anak dan salah satunya
dipengaruhi oleh faktor usia anak. Kecemasan dental dapat didefinisikan sebagai rasa takut
dengan perawatan gigi yang tidak selalu berhubungan dengan rangsangan dari luar (Chadwick
dan Hosey, 2003). Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi rendah atau
berasal dari keluarga dengan lingkungan sosial yang kurang baik, umumnya akan lebih mudah
mengalami kecemasan. Contohnya anak yang berasal dari keluarga kelompok imigran. Penelitian
terbaru di Swedia melaporkan bahwa, diantara pasien yang dirujuk ke dokter gigi anak, terdapat
anak yang mengalami kesulitan dalam penerimaan perawatan (tidak kooperatif) berasal dari
keluarga dengan tingkat ekonomi rendah, lingkungan sosial yang buruk, dan keluarga dengan
perceraian orang tua (Koch dan pulsen, 2009).
Kemampuan anak dalam menjalani prosedur perawatan gigi tergantung pada tingkatan
tumbuh kembang anak tersebut. Balita menunjukan kecemasannya dengan menangis, sementara
anak-anak yang usianya lebih tua menunjukan kecemasan dengan cara lain. Kecemasan yang
umum terjadi pada anak-anak yaitu rasa tidak mengenal dan rasa khawatir terhadap pemeriksaan
dan perawatan gigi. Anak-anak dapat dikategorikan sebagai kooperatif, potensial kooperatif, atau
tidak memiliki kemampuan untuk bersikap kooperatif (pre kooperatif). Anak-anak pre kooperatif
biasanya berusia muda dan anak dengan disabilitas spesifik tertentu yang merupakan anak
dengan tingkat kerjasama rendah (Gupta dkk., 2014)
Faktor-faktor kecemasan anak terhadap perawatan gigi dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kecemasan Orang Tua
Kecemasan pada anak akan semakin menjadi buruk diakibatkan sikap dari orang
sekitarnya (umumnya orang tua, saudara, dan teman sebaya) terhadap bidang kedokteran gigi.
Orang tua yang tidak dapat mengendalikan rasa cemas tanpa disadari dapat diteruskan ke anak
mereka atau menyebabkan kondisi semakin buruk ketika sebenarnya orang tua berusaha untuk
membantu. Bailey dkk (1973) melaporkan bahwa terdapat hubungan antara kecemasan ibu dan
menajemen perawatan pada anak di seluruh kategori usia, khususnya usia ≤4 tahun (Gupta dkk.,
2014). Beberapa dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh kehadiran orang tua adalah
membingungkan komunikasi, mempengaruhi sikap anak, membicarakan aspek negatif perawatan
gigi saat anak mendengarkan dan mengancam anak dengan perawatan gigi (Chadwick dan
Hosey, 2003). Salah satu satu cara yang dapat digunakan menurunkan rasa takut orang tua dan
dapat membantu para orang tua untuk persiapan kunjungan ke dokter gigi adalah dengan
mengirimkan orang tua surat pendahuluan yang menjelaskan mengenai hal yang diperlukan
untuk kunjungan pertama kali ke dokter gigi. Surat ini sangat berguna khususnya sebagai
masukan kepada orang tua mengenai bagaimana cara menyiapkan anak untuk kunjungan
pertama kali ke dokter gigi (Gupta dkk., 2014). Cara lain yang dapat digunakan adalah:
1. Menjadikan orang tua sebagai bagian dari tim gigi
Staf perawatan gigi menjelaskan peraturan tentang kehadiran orang tua saat perawatan
gigi anak, sesuai dengan usia anak (Chadwick dan Hosey, 2003).
2. Persiapan psikologis
Dokter gigi perlu mengajarkan orangtua bagaimana menyiapkan kunjungan berikutnya
agar orangtua mengetahui apa yang akan terjadi pada saat kunjungan berikutnya dan dapat
menanyakan pertanyaan sebelumnya. Persiapan dari orangtua, dengan: penggunaan kata-kata
yang tidak mengancam seperti “geli”, untuk kata “sakit”, memberanikan orangtua untuk
membantu kesiapan anak untuk kunjungan berikutnya dengan “permainan dokter gigi” terutama
ketika perlu dilakukan pencetakan, menyarankan orangtua untuk menyembunyikan kecemasan
mereka, atau anak ditemani dengan orang dewasa yang tidak takut, penggunaan pesan positif dan
menghindari kalimat jaminan yang dapat meningkatkan kecemasan (Chadwick dan Hosey,
2003).
3. Tips Praktis
• Mengetahui siapa orang dewasa yang menemani si anak.
• Selalu menghadirkan orangtua untuk anak-anak prasekolah (mencegah rasa cemas
karena terpisah dari orangtuanya).
• Mengajarkan orangtua bagaimana menyiapkan diri dan anak-anak mereka.
• Mendiskusikan rencana perawatan anak dengan orangtua mereka.
• Memastikan orangtua paham akan perannya dalam perawatan anakanak mereka (“kita
semua berada dalam satu pihak”).
• Selalu memastikan memiliki informed consent yang sah (Chadwick dan Hosey, 2003).

b. Fear of the unknown


Untuk beberapa pasien rasa ketidaktahuan dapat menyebabkan kecemasan pada saat
kunjungan pertama pasien ke dokter gigi (Chadwick dan Hosey, 2003).
c. Lack of control
Duduk di dental chair menimbulkan rasa tidak berdaya pada anak, selain itu keterbatasan
komunikasi dengan dokter gigi juga menyebabkan pasien merasa tidak berdaya, ini disebabkan
oleh rongga mulut yang terisi penuh dengan instrumen gigi menyebabkan rasa tidak berdaya
pada pasien (Chadwick dan Hosey, 2003).

d. Pengalaman Medis Umum dan Gigi


Anak yang mempunyai pengalaman buruk, terhadap kunjungan terakhir ke rumah sakit
atau perawatan medis yang diterima, atau kunjungan ke dokter gigi, akan lebih cemas terhadap
perawatan gigi dan berhati-hati membangun hubungan kepercayaan dengan dokter gigi (Gupta,
2012; Roberts, 2010). Ketika anamnesis mengenai riwayat medis, sangat penting untuk
menanyakan kepada orang tua mengenai perawatan terakhir yang diterima dan bagaimana respon
anak terhadap perawatan tersebut. Hal ini mungkin dapat mengidentifikasi timbulnya kecemasan
yang berhubungan dengan kebiasaan dan memungkinkan dokter gigi untuk menggunakan
strategi yang tepat untuk mengoreksi kebiasaan anak (Gupta, 2014). Anak yang mendapat
banyak perhatian dari orang tuanya saat anak tersebut menangis akan lebih mungkin menangis
saat kunjungan berikutnya (Robert, 2010).

e. Sikap dan Perilaku Dokter Gigi


Ekspresi wajah dokter gigi dapat menambah kesan atau bahkan dapat mengganggu
komunikasi verbal (misalnya: perasaan seperti disbelief atau ketidakpercayaan, mencela, tidak
suka, terkejut) dapat terlihat dari ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh dokter gigi. Senyum
adalah sarana yang sangat baik dan dapat menunjukkan sikap untuk memotivasi pasien. Ketika
dokter gigi memakai masker, meskipun wajahnya tidak terlihat, tetap berusaha untuk bersikap
ramah kepada pasien sehingga pasien dapat melihat ‘senyum’ dokter gigi meskipun tertutup oleh
masker (Chadwick dan Hosey, 2003).
Dokter gigi dengan kontak mata yang kurang kemungkinan akan mengurangi tingkat
kepercayaan pasien pada dokter gigi. Gerak gerik dan postur tubuh dari dokter gigi juga dapat
mempengaruhi kecemasan anak. Sikap menyilangkan lengan saat berbicara dapat menunjukkan
sikap seolah-olah mencela pasien, terutama jika dilakukan dengan mengetukkan kaki ke lantai.
Dokter gigi dapat menunjukkan tingkah lakunya untuk mengatasi atau meningkatkan kecemasan
anak. Tindakan dokter gigi dalam merespon tingkah laku anak seperti menanyakan apa yang
mereka rasakan (empati) dan menekan dengan lembut bahu atau tangan dapat mengurangi
tingkat kecemasan pada pasien usia muda dan memperbaiki tingkah laku mereka saat duduk di
dental chair. Sementara sikap dokter gigi yang memaksa atau membujuk akan memperburuk
tingkah laku anak. Sikap kontraproduktif harus dihindari, misalnya memberi penghiburan secara
verbal seperti “ini tidak akan sakit” akan memungkinkan anak untuk berpikir sebaliknya.
Mengatakan bahwa “tidak ada yang perlu dikhawatirkan” malah akan membuat anak khawatir
(Chadwick dan Hosey, 2003).

f. Lingkungan Praktek Dokter Gigi


Pemandangan yang asing, suara, dan bau dari perawatan gigi berkontribusi menimbulkan
kecemasan pada anak. Tindakan bedah dan ruang tunggu pasien harus dibuat ramah untuk anak
dan tidak membuat anak merasa terancam dengan cara mendekorasi ruangan dengan gambar
berorientasi anak-anak dan meletakkan beberapa mainan yang ditempatkan secara strategis
(misalnya, children's corner). Ventilasi yang baik dapat meminimalkan bau yang berhubungan
dengan kedokteran gigi yang ditimbulkan oleh bahan atau alat kedokteran gigi. Penggunaan
instrumen getaran yang rendah juga dapat membantu menurunkan kecemasan anak (Gupta,
2014).

g. Komunikasi dengan Pasien


Staf penerima pasien dan tim kedokteran gigi, harus ramah dan bersahabat. Komunikasi
verbal dan non-verbal memiliki peran utama dalam manajemen perilaku. Tim kedokteran gigi
harus membentuk hubungan berdasarkan kepercayaan dengan anak dan orang dewasa yang
menyertainya untuk memastikan kepatuhan terhadap pencegahan dan ijin untuk melakukan
tindakan. Komunikasi non-verbal terjadi sepanjang waktu dan kadang-kadang dapat
bertentangan dengan komunikasi verbal. Bagi pasien anak dan pasien yang pre kooperatif,
komunikasi non-verbal memiliki peran yang paling penting (Gupta, 2014).
Pasien mungkin tidak mengerti kata yang di gunakan, tetapi mereka akan mengenali
senyum dan menanggapi nada suara. Seperti tersenyum, komunikasi non verbal juga termasuk
menjaga kontak mata untuk membangun kepercayaan. Jabat tangan dapat meningkatkan
kepercayaan untuk beberapa orang tua. Sikap tenang, peduli, dan empati lebih berhasil dalam
menangani kecemasan anak. Anak-anak harus menjadi pusat perhatian, seperti menyapa nama
mereka (Gupta, 2014). Komunikasi harus disesuaikan dengan usia anak dan tim kedokteran gigi
perlu mengembangkan kosa kata spesifik untuk komunikasi dengan anak-anak. Contohnya
seperti “jus mengantuk” untuk anestesi lokal, atau “mewarnai gigi” untuk fissure sealant.
Penjelasan harus diberikan dalam bahasa sederhana dan tidak mengancam, serta hindari
penggunaan jargon. Perlu komunikasi yang baik dan melibatkan anak, dokter gigi,orang tua, dan
perawat gigi. Namun, anak mungkin hanya bisa berkonsentrasi pada satu orang dalam satu
waktu. Ketika terjadi masalah, orang tua atau pengasuh sering membuat keadaan lebih buruk
dengan komunikasi yang kurang sesuai antara anak dan orang tua atau pengasuh. Setiap anggota
dalam tim kedokteran gigi dan orang tua yang menemani harus mengerti peran mereka dalam
perawatan gigi yang dilakukan. Jika dokter gigi memperbolehkan orang tua atau wali menemani
anak saat operasi, dokter gigi harus memastikan mereka telah memberikan penjelasan kepada
orang tua atau wali apa yang harus dibantu dan apa yang dokter gigi inginkan maupun yang tidak
diinginkan dan apa yang dokter gigi ingin orang tua lakukan dan katakan (Gupta, 2014).

a) Sikap Orang Tua terhadap Anak


 Overprotection
Biasanya orang tua dengan tipe ini enggan memberikan izin pada anaknya untuk
menggunakan inisiatif sendiri atau mengambil keputusan sendiri. Anak sering kali dibatasi
untuk bermain karena takut cedera, sakit, atau mengikuti kebiasaan buruk temannya. Anak
dengan orangtua seperti ini biasanya bersikap sangat pemalu, lembut, penurut, ketakutan, tidak
agresif, rendah hati, dan sering memiliki kecemasan yang mendalam. Dokter gigi harus
membangun rasa percaya diri anak karena sifat pemalunya.
 Overindulgence
Orang tua tipe ini selalu menuruti dan tidak pernah menolak keinginan anak.
Anaknya sering bersikap tidak acuh, egois, dan keras kepala. Anak sering menuntut perhatian,
kasih sayang dan cenderung manja. Anak sering membujuk agar tidak dibawa ke dokter
gigi. Dokter gigi harus bersikap disiplin pada anak tipe ini.
 Rejection
Orang tua tipe ini seperti tidak menginginkan anaknya, sehingga anak sering kekurangan
kasih sayang dan cinta dan dirawat dengan kekerasan. Anak-anak tipe ini memiliki
karakteristik sering mengritik, merengek, dan jarang terlihat senang. Anak juga cenderung
bersikap curiga, agresif, dendam, tidak patuh, gelisah, dan terlalu aktif. Di praktik dokter gigi
anak seperti ini sangat sulit di kontrol. Oleh karena itu, dokter gigi harus dapat
mengakrabkan diri dan memberi pengertiandengan baik sehingga menimbulkan rasa percaya
diri anak.
 Overanxiety
Orang tua tipe ini sering memberi perhatian yang tidak semestinya pada anak, misalnya
karena ada tragedi dalam keluarga seperti kecelakaan atau sakit yang menimpa anaknya.
Oleh karena itu anak jarang diizinkan untuk bermain sendiri. Sikap anak-anak ini biasanya
pemalu dan penakut. Biasanya mereka adalah pasien yang berperilaku baik. Namun, dokter gigi
juga memiliki beberapa kesulitan dalam mengatasi rasa ketakutan mereka. Dengan dorongan
dan jaminan anak biasanya merespon dengan cara yang menyenangkan.

 Domination
Orang tua tipe ini menuntut anaknya memiliki tanggung jawab yang tidak sesuai dengan
usia kronologisnya. Mereka menuntut anak untuk bersikap kompetitif dengan teman-temannya.
Orang tua memaksa anaknya menjadi kritis, keras, dan bahkan sering menolak. Sikap anak ini
adalah tertekan dan tegang. Dengan memberikan kebaikan dan perhatian, mereka umumnya
dapat berkembang menjadi pasien yang lebih baik.
 Underaffection
Ekonomi dan sosial menjadi masalah dalam orang tua tipe ini dimana anak menjadi tidak
dipedulikan dan kurangnya waktu untuk anak. Implikasinya anak menjadi lebih pemalu dan
pendiam, suka menyendiri, ragu-ragu dalam mengambil keputusan, dan mudah menangis.
Dokter gigi harus memberikan kasih sayang dan perhatian sehingga dapat menimbulkan rasa
percaya diri pada anak.

b) Hubungan Usia dengan Perawatan Gigi


Usia 2 dan 3 tahun adalah waktu yang paling tepat untuk memperkenalkan
anak ke dokter gigi. Suara atau getaran bur gigi, cahaya lampu yang terang, gerakan yang tiba-
tiba dan tak terduga, misalnya tiba-tiba kursi dental diturunkan atau ditarik ke belakang tanpa
ada keringatan dapat menimbulkan rasa takut.
Anak prasekolah, biasanya memiliki kedekatan dengan orang tua sehingga memiliki
rasa takut jika harus berpisah dari orang tuanya. Orang tua dengan anak prasekolah
disarankan untuk menemani anaknya ke ruang perawatan terutama saat kunjungan pertama.
Anak usia 4 sampai 6 tahun biasanya sudah menurun rasa ketakutannya dan sudah
mampu mengatasi situasi ketakutannya, baik dari pengalamannya sendiri maupun dari
kemampuannya untuk memastikan tingkat keparahan bahaya, dan ketakutan sebelumnya yang
telah hilang dan dilupakan. Anak laki-laki cenderung agresif dan menyukai hal-hal yang
menantang serta bersikap ramah. Sedangkan anak perempuan cenderung lebih pendiam.
Anak usia 7 tahun biasanya telah memiliki kemampuan untuk mengatasi ketakutannya
selama prosedur perawatan gigi karena dokter gigi sudah dapat memberikan alasan dan
penjelasan kepada dia mengenai hal-hal apa saja yang sedang dilakukan. Anak dapat
menyampaikan kepada dokter gigi apabila merasakan sakit seperti dengan mengangkat tangan
kiri.
Anak usia 8 sampai 14 tahun, biasanya lebih mampu mentolerir situasi yang tidak
menyenangkan dan telah menunjukkan ketaatan. Anak pada usia ini mudah menyesuaikan diri
dengan situasi. Namun, anak usia ini tidak suka dengan “bullying” dan ketidakadilan. Anak pada
usia remaja, terutama anak perempuan, menjadi sangat perhatian terhadap penampilannya.
Mereka berusaha untuk memiliki penampilan semenarik mungkin dan bersedia untuk
bekerjasama untuk meningkatkan penampilan mereka.

c) Rasa Takut
 Ketakutan Objektif
Rasa takut dihasilkan oleh stimulus dari indera penglihatan, penciuman,
perabaan, pengecapan, pendengaran. Ketakutan dapat menurunkan ambang batas rasa sakit
sehingga anak yang ketakutan dalam perawatan gigi biasanya merasakan rasa yang lebih sakit.
Rasa sangat dikaitkan dengan pengalaman terdahulu. Anak yang pernah mengalami rasa
takut saat ke dokter gigi biasanya akan sulit untuk dibawa lagi ke dokter gigi. Dokter
gigi harus menyadari situasi emosional anak ini dan merawat gigi anak dengan
perlahan serta berusaha untuk mengembalikan kepercayaan diri anak.
 Ketakutan Subjektif
Kecemasan subjektif atau kecemasan dinilai berdasarkan pada perasaan dan sikap yang
sebelumnya sudah disugestikan anak dari cerita pengalaman orang lain saat ke dokter gigi.
Biasanya anak menjadi mudah terpengaruh meskipun belum pernah mencoba.

d) Riwayat Perawatan Dental Sebelumnya


Anak yang memiliki pengalaman ke dokter umum biasanya memiliki persepsi yang sama
dengan anak yang akan dibawa ke dokter gigi. Biasanya, anak yang pada perawatan sebelumnya
bersikap kooperatif akan bersikap kooperatif pula saat perawatan gigi. Kualitas emosional dari
kunjungan sebelumnya dapat menentukan jumlah kunjungan.

e) Lingkungan Kerja Dokter Gigi


Lingkungan sekitar dan komunikasi yang efektif dan kontinu merupakan salah
satu kunci keberhasilan perawatan gigi anak. Hal ini disebabkan karena lingkungan sekitar
menjadi hal utama yang pertama kali dijumpai oleh anak. Lingkungan yang dimaksud adalah
penampilan ruang perawatan, sikap dokter gigi, waktu dan lama perawatan,
komunikasi verbal dan penggunaan kata pengganti. Sebagai contoh, ruang tunggu yang baik
untuk pasien anak adalah dengan mempersiapkan kondisi seperti “rumah” mereka,
misalnya, dengan memberikan satu tempat khusus untuk taman bacaan anak-anak, tempat
duduk, meja serta lampu dan beberapa permainan anak-anak. Pemutaran lagu anak-anak serta
adanya kreatifitas dari kartu pengunjung juga menjadi salah satu alternatif untuk menarik
perhatian anak.

Anda mungkin juga menyukai