Anda di halaman 1dari 15

RESUME HASIL BELAJAR

“EKSTRAKSI GIGI DESIDUI”

DISUSUN OLEH:
ANUNG SAPTIWULAN (G1G010011)
M. FASICH BAIHAQI (G1G010042)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO
2016
A. Macam Anastesi
1. Anastesi umum
Anastesi umum memungkinkan untuk rehabilitasi dan atau mencabut gigi yang
dapat dilakukan pada satu kali kunjungan. Anastesi umum hanya dapat dilakukan untuk
perawatan gigi jika diperlukan. Strategi alternatif dan alternatif risiko anestesi umum
harus didiskusikan agar orangtua dapat membuat keputusan berdasarkan pada
pengetahuan yang tersedia. Indikasi untuk anastesi umum antara lain:
a. Anastesi lokal merupakan kontra indikasi
b. Akan dilakukan pencabutan sekaligus beberapa gigi
c. Penambalan dan perawatan saluran akar pada anak yang sangat sensitif dan pada
anak-anak cacat mental (Koch dan Poulsen, 2009).
2. Anastesi lokal
Anastesi lokal merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit untuk sementara
pada satu bagian tubuh dengan cara mengaplikasikan bahan topikal atau suntikan tanpa
menghilangkan kesadaran. Pencegahan rasa sakit selama prosedur perawatan gigi dapat
membangun hubungan baik antara dokter gigi dan pasien, membangun kepercayaan,
menghilangkan rasa takut, cemas dan menunjukkan sikap positif dari dokter gigi.
Teknik anastesi lokal merupakan pertimbangan yang sangat penting dalam perawatan
pasien anak. Ketentuan umur, anastesi topikal, teknik injeksi dan analgetik dapat
membantu pasien mendapatkan pengalaman positif selama mendapatkan anastesi lokal.
Berat badan anak harus dipertimbangkan untuk memperkecil kemungkinan terjadi reaksi
toksis dan lamanya waktu kerja anastetikum juga harus diperhatikan, karena dapat
menimbulkan trauma pada bibir atau lidah. Adapun macam anastesi lokal yaitu:
a. Anastesi Topikal
Menghilangkan rasa sakit di bagian permukaan saja karena yang dikenai hanya
ujung-ujung serabut urat syaraf.
b. Anastesi Infiltrasi
Sering dilakukan pada anak-anak untuk rahang atas ataupun rahang bawah. Mudah
dikerjakan dan efektif. Daya penetrasi anastesi infiltrasi pada anak-anak cukup
dalam karena komposisi tulang dan jaringan belum begitu kompak.
c. Anastesi Blok
Digunakan untuk pencabutan gigi molar tetap (Mitchell et al, 2014).
B. Teknik manajemen perilaku anak dengan pendekatan nonfarmakologik
Perawatan gigi dan mulut tidak dapat dilakukan sebelum anak berperilaku
kooperatif. Oleh karena itu dalam penanganan rasa takut yang merupakan
manifestasi anak menjadi tidak kooperatif, dokter gigi memerlukan suatu
pemahaman tahap perkembangan anak dan rasa takut berkaitan dengan usia,
penanganan pada kunjungan pertama, dan pendekatan selama perawatan. Pendekatan
yang dapat dilakukan oleh dokter gigi dalam pengelolaan tingkah laku anak dapat
berupa pendekatan farmakologis dan nonfamakologis. Pengelolaan tingkah laku anak
dengan pendekatan farmakologis berupa penggunaan teknik sedasi ataupun anastesi
umum. Sedangkan beberapa teknik manajemen perilaku dengan pendekatan
nonfarmakologik, antara lain:
1. Komunikasi
Tanda keberhasilan dokter gigi mengelola pasien anak adalah
kesanggupannya berkomunikasi dengan anak dan memperoleh rasa percaya dari
anak, sehingga anak berperilaku kooperatif. Komunikasi adalah suatu proses dimana
setiap orang dapat saling berbagi informasi, bertukar pikiran, berbagi rasa dan
memecahkan permasalahan yang dihadapi.
Cara komunikasi dengan anak yang paling umum digunakan adalah cara
verbal yaitu melalui bahasa lisan. Banyak cara untuk memulai komunikasi verbal,
misalnya untuk anak kecil dapat ditanyakan tentang pakaian baru, kakak, adik, benda
atau binatang kesayangannya. Berbicara pada anak harus disesuaikan dengan tingkat
pemahamannya. Kadang diperlukan second language terutama untuk anak kecil
misalnya untuk melakukan anastesi pada gigi sebelum pencabutan dapat digunakan
istilah menidurkan gigi.
Komunikasi nonverbal dapat dilakukan misalnya dengan melakukan kontak
mata dengan anak, menjabat tangan anak, tersenyum dengan penuh kehangatan
menggandeng tangan anak sebelum mendudukkan ke kursi perawatan gigi, dan lain-
lain (Chadwik &Hosey, 2003).
2. Modelling
Modelling merupakan prinsip psikolgis yaitu belajar dari pengamatan model.
Anak diajak mengamati anak lain sebayanya yang sedang dirawat giginya yang
berperilaku kooperatif, baik secara langsung atau melalui film dan video demonstrasi
tentang perawatan gigi. Pengamatan terhadap model yang diamati dapat memberikan
pengaruh positif terhadap perilaku anak. Teknik ini sangat memberikan efek pada
anak-anak yang berumur 3-5 tahun dan sangat baik digunakan pada saat kunjungan
pertama anak ke dokter gigi (Chadwik &Hosey, 2003).
3. Tell Show Do (TSD)
Addelston memperkenalkan konsep Tell Show Do (TSD) sebagai prosedur
pengelolaan atau manajemen perilaku untuk merawat gigi anak dan cara ini sangat
sederhana dan cukup efektif.
Tell artinya mengatakan kepada anak dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh
anak tersebut. Tentang apa yang akan dilakukan. Dalam hal ini dijelaskan juga alat-
alat yang mungkin akan digunakan. Setiap kali anak akan menunjukkan hal yang
positif diberikan penghargaan.
Show artinya enunjukkan objek sesuai dengan yang diterangkan sebelumnya
tanpa menimbulkan rasa takut. Dalam hal ini dapat dipergunakan model
gigi,menunjukkan alat yang akan dipergunakan misalnya bur dan kalau perlu
dipegang pasien.
Do yaitu tahap akhir yang dilakukan jika tahap show telah dapat diterima oleh
anak. Pada tahap doanak didiberikan perlakuan sesuai dengan apa yang telah
diceritakan maupun ditunjukkan.
Pada waktu melakukan TSD harus sesuai dengan yang diceritakan atau
ditunjukkan, jadi jangan sampai anak merasa dibohongi. Pendekatan dengan cara TSD
dapat dilakukan bersama-sama dengan cara modeling. Cara pendekatan dengan TSD
dapat diterapkan untuk semua jenis perawatan pada anak kecuali melakukan suntikan
(Chadwik &Hosey, 2003).
4. Hand Over Mouth Exercise (HOME)
Hand Over Mouth Exercise (HOME) adalah suatu teknik manajemen perilaku
digunakan pada kasus yang selektif misalnya pada anak yang agresif dan histeris yang
tidak dapat ditangani secara langsung. Teknik ini juga sering digunakan bersama
teknik sedasi inhalasi. Tujuannya ialah untuk mendapatkan perhatian dari anak
sehingga komunikasi dapat dijalin dan diperoleh kerjasama dalam melakukan
perawatan yang aman. Teknik ini hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan tidak
boleh digunakan secara rutin (Welbury dkk., 2005).
5. Distraksi
Teknik distraksi adalah suatu proses pengalihan dari fokus atau perhatian pada
nyeri ke stimulus yang lain. Distraksi digunakan untuk memusatkan perhatian anak
agar menghiraukan rasa nyeri. Beberapa teknik distraksi yang dikenal dalam
pendekatan pada anak antara lain distraksi visual seperti melihat gambar di buku,
bermain video games, distraksi pendengaran dengan mendengarkan musik atau
bercerita juga sangat efektif. Dokter gigi yang berbicara selagi mengaplikan pasta
topical ataupun anastesi local juga menggunakan distraksi verbal (Chadwik &Hosey,
2003).
6. Desensitasi
Desentisasi secara tradisional digunakan untuk anak yang gelisah, takut,
ataupun fobia pada perawatan gigi. Prinsip ini dapat dengan mudah dimanfaatkan
oleh dokter gigi anak dengan semua pasien, untuk meminimalkan kemungkinan bahwa
pasien mungkin menimbulkan kecemasan. Kecemasan anak ditangani dengan
memberikan serangkaian pengalaman perawatan anak (Chadwik &Hosey, 2003).
7. Pengaturan Suara (Voice Control)
Nada suara dapat juga digunakan untuk mengubah perilaku anak. Perubahan
nada dan volume suara dapat digunakan untuk mengkomunikasikan perasaan kepada
anak. Perintah yang tiba-tiba dan tegas dapat mengejutkan dan menarik perhatian anak
dengan cepat. Dengan adanya perhatian anak yang diperoleh melalui intonasi tersebut,
dokter gigi dapat melanjutkan komunikasinya atau untuk menghentikan apa yang
sudah dilakukan oleh anak. Tujuannya untuk mengontrol perilaku mengganggu dan
untuk mendapatkan perhatian anak. Teknik ini dapat digunakan dengan semua
pasien (ADA, 2011).

8. Reinforcement
Merupakan tindakan untuk menghargai prestasi yang telah dicapai, agar
prestasi tersebut diulang. Pada umumnya anak akan senang jika prestasi yang telah
ditunjukkan dihargai dan diberi hadiah. Hal ini dapat meningkatkan keberanian anak
dan dipertahankan untuk perawatan dikemudian hari. Reinforcement mempunyai
keuntungan karena dokter gigi secara langsung dapat mengontrol pemberian hadiah
yang akan diberikan dipraktek untuk meningkatkan frekwensi tingkah laku yang
diinginkan (Chadwik &Hosey, 2003).

C. Persiapan
Sebelum melakukan prosedur ekstraksi anak, hal yang perlu diperhatikan yaitu:
1. Sebagian negara mempunyai hukum yang mengharuskan izin tertulis dari orang tua
(Informed Concent) sebelum melakukan anastesi pada pasien anak.
2. Kunjungan untuk pencabutan sebaiknya dilakukan pagi hari (saat anak masih aktif)
dan dijadwalkan, sehingga anak tidak menunggu terlalu lama karena anak
cenderung menjadi lelah menyebabkan anak tidak koperatif. Anak bertoleransi lebih
baik terhadap anastesi lokal setelah diberi makan ± 2 jam sebelum pencabutan.
3. Instrumen yang akan dipakai, sebaiknya jangan diletakkan di atas meja. Letakkan
pada tempat yang tidak terlihat oleh anak dan diambil saat akan digunakan. Jangan
mengisi jarum suntik di depan pasien, dapat menyebabkan rasa takut dan cemas.
4. Sebaiknya dikatakan kepada anak yang sebenarnya bahwa akan ditusuk dengan
jarum (disuntik) dan terasa sakit sedikit, tidak boleh dibohongi.
5. Rasa sakit ketika penyuntikan sedapat mungkin dihindarkan dengan cara sebagai
berikut :
a. Memakai jarum yang kecil dan tajam
b. Pada daerah masuknya jarum dapat dilakukan anastesi topikal lebih dahulu.
Misalnya dengan 5 % xylocaine (lidocaine oitmen)
b. Jaringan lunak yang bergerak dapat ditegangkan sebelum penusukan jarum
c. Deponir anastetikum perlahan, deponir yang cepat cenderung menambah rasa
sakit. Jika lebih dari satu gigi maksila yang akan dianastesi, operator dapat
menyuntikkan anastesi awal, kemudian merubah arah jarum menjadi posisi
yang lebih horizontal, bertahap memajukan jarum dan mendeponir anastetikum.
d. Penekanan dengan jari beberapa detik pada daerah injeksi dapat membantu
pengurangan rasa sakit.
e. Jaringan diregangkan jika longgar dan di masase jika padat (pada palatal).
Gunanya untuk membantu menghasilkan derajat anastesi yang maksimum dan
mengurangi rasa sakit ketika jarum ditusukan.
6. Aspirasi dilakukan untuk mencegah masuknya anastetikum dalam pembuluh darah,
juga mencegah reaksi toksis, alergi dan hipersensitifitas.
7. Waktu untuk menentukan anastesi berjalan ± 5 menit dan dijelaskan sebelumnya
kepada anak bahwa nantinya akan terasa gejala parastesi seperti mati rasa, bengkak,
kebas, kesemutan atau gatal dijelaskan pada anak agar anak tidak takut, tidak kaget,
tidak bingung atau merasa aneh. Pencabutan sebaiknya dilakukan setelah 5 menit.
Jika tanda parastesi tidak terjadi, anastesi kemungkinan gagal sehingga harus
diulang kembali.
8. Vasokontristor sebaiknya digunakan dengan konsentrasi kecil, misalnya xylocaine 2
% dan epinephrine 1 : 100.000.
D. Teknik anastesi lokal oral pada anak:
1. Anastesi Topikal
Anastesi lokal hanya menghilangkan rasa sakit di bagian permukaan saja karena
yang dikenai hanya ujung-ujung serabut urat syaraf. Anastesi topikal efektif pada
permukaan jaringan (dengan kedalaman 2-3 mm).
Bahan anastesi topikal yang dipakai dapat dibagi sebagai berikut :
a. Menurut bentuknya : Cairan, Salep, Gel
b. Menurut penggunaannya : Spray, Dioleskan, Ditempelkan
c. Menurut bahan obatnya : Chlor Etil, Xylestesin Ointment, Xylocain Oitment,
Xylocain Spray.
Anastesi topikal benzokain (masa kerja cepat) dibuat dengan konsentrasi
>20%, lidokain tersedia dalam bentuk cairan atau salep > 5 % dan dalam bentuk
spray dengan konsentrasi > 10 %.
Cara melakukan anastesi topikal:
a. Mukosa dikeringkan untuk mencegah terlarutnya bahan anastesi.
b. Bahan anastesi topikal dioleskan melebihi area yang akan disuntik ± 15 detik,
kurang dari waktu tersebut, obat tidak efektif (tergantung petunjuk pabrik).

c. Anastesi topikal harus dipertahankan pada membran mukosa minimal 2 menit,


agar obat bekerja efektif. Salah satu kesalahan yang dibuat pada pemakaian
anastesi topikal adalah kegagalan operator untuk memberikan waktu yang
cukup bagi bahan anastesi topikal untuk menghasilkan efek yang maksimum
(Koch dan Poulsen, 2009).
2. Anastesi Infiltrasi
Anastesi ini sering dilakukan pada anak-anak untuk rahang atas ataupun
rahang bawah, karena mudah dikerjakan dan efektif. Daya penetrasinya pada anak
cukup dalam karena komposisi tulang dan jaringan belum begitu kompak. Sejumlah
anastetikum yang ada dapat bekerja 10 menit – 6 jam, dikenal dengan bahan Long
Acting. Tetapi anastesi lokal dengan masa kerja panjang (seperti bupivakain) tidak
direkomendasikan untuk pasien anak terutama dengan gangguan mental. Hal ini
berkaitan dengan masa kerja yang panjang karena dapat menambah resiko injuri
pada jaringan lunak. Bahan yang sering digunakan sebagai anastetikum adalah
lidocaine dan epinephrine (adrenaline). Lidocaine 2 % dan epinephrine 1 : 80.000
merupakan pilihan utama (kecuali bila ada alergi). Anastetikum tanpa adrenalin
kurang efektif dibandingkan dengan adrenalin. Epinephrin dapat menurunkan
perdarahan pada regio injeksi.
Beberapa bahan anastesi suntikan :
a. Lidocaine (Xylocaine) HCl 2 % dengan epinephrine 1 : 100.000
b. Mepicaine (Carbocaine) HCl 2 % dengan levanordefrin (Neo-cobefrin)
1:20.000.
c. Prilocaine (Citanest Forte) HCl 4 % dengan epinephrine 1 : 200.000 (Koch dan
Poulsen, 2009).

Pemilihan Syringe Dan Jarum:


Pemilihan jarum harus disesuaikan dengan kedalaman anastesi yang akan
dilakukan. Jarum suntik pada kedokteran gigi tersedia dalam 3 ukuran (sesuai
standar American Dental Association = ADA) ; panjang (32 mm), pendek (20 mm,
dan superpendek (10 mm).
Petunjuk :
a. Dalam pelaksanaan anastesi lokal pada gigi, dokter gigi harus menggunakan
syringe sesuai standar ADA.
b. Jarum pendek dapat digunakan untuk beberapa injeksipada jaringan lunak yang
tipis, jarum panjang digunakan untuk injeksi yang lebih dalam.
c. Jarum cenderung tidak dipenetrasikan lebih dalam untuk mencegah patahnya
jarum.
d. Jarum yang digunakan harus tajam dan lurus dengan bevel yang relatif pendek,
dipasangkan pada syringe. Gunakan jarum sekali pakai (disposable) untuk
menjamin ketajaman dan sterilisasinya. Penggunaan jarum berulang dapat
sebagai transfer penyakit.
Cara melakukan anastesi infiltrasi:
1. Daerah bukal/labial RA/RB
a. Tegangkan area injeksi, Beri tekanan ringan menggunakan telunjuk.
b. Asepsis area suntik dan area kerja
c. injeksi jarum ke mukosa 2-3 mm
d. ujung jarum berada pada setinggi apeks gigi yang dicabut
e. Aspirasi
f. deponir dengan perlahan 0,3-0,5 ml
2. Daerah palatal/lingual
a. Tegangkan area injeksi, Beri tekanan ringan menggunakan telunjuk.
b. Asepsis area suntik dan area kerja
c. injeksi jarum sampai menyentuh tulang
d. Aspirasi
e. deponir 0,2 – 0,3 ml
f. akan terlihat mukosa putih/pucat
3. Daerah Interdental papil
a. Asepsis area suntik dan area kerja
b. injeksi jarum pada daerah interdental papil
c. deponir 0,2-0,3 ml
d. akan terlihat mukosa daerah tersebut pucat
4. Anastesi Intraligament
a. dilakukan ke dalam ligamen periodontal
b. bisa dilakukan dengan syringe konvensional ataupun dengan syringe
khusus (citoject)
5. Anastesi Blok
Teknik tidak berbeda dengan anastesi Blok pada orang dewasa, hanya harus diingat
ramus ascendes lebih pendek dan sempit/cekung dalam arah anteroposterior,
foramen mandibula lebih dangkal (belum dalam) dibanding pada orang dewasa.
Pada anak berada di bawah dataran oklusi. Foramen mentale selalu pada garis dekar
ramus, 2/3 dari permukaan anterior yang konkaf. Pemasukan jarum lebih dekat
beberapa mm pada oklusal plane dibanding dengan orang dewasa. Dalamnya,
masuk jarum ± ½ cm lebih pendek daripada orang dewasa.
Obat suntik : - ± 1 cc untuk nervus alveolaris inferior
- ± ½ cc untuk nervus lingualis
PROSEDUR :
Hampir sama dengan tehnik blok pada pasien dewasa:
1. Asepsi area insersi jarum
2. Dengan ibu jari/telunjuk rabalah trigonum retromolare, dan carilah linea
oblique interna.
3. Jarum diinsersikan dari gigi P kontralateral dengan pemasukan jarum lebih
dekat beberapa mm pada oklusal plane dibanding dengan orang dewasa
4. Arahkan jarum epsilateral lanjutkan jarum hingga tersisa 0,5 cm  kedalaman
insersi jarum ± ½ cm lebih pendek daripada orang dewasa.
5. Aspirasi
6. Deponir ±1 cc untuk n. alveolaris inferior
7. Gerakkan jarum keluar sekitar 1 cm, aspirasi dan deponir ± ½ cc untuk nervus
lingualis (Koch dan Poulsen, 2009).

E. Teknik pencabutan gigi sulung


Teknik pencabutan tidak berbeda dengan orang dewasa. Karena pada anak-anak
ukuran gigi dan mulut lebih kecil dan tidak memerlukan tenaga yang besar, maka
bentuk tang ekstraksi lebih kecil ukurannya. Harus diingat juga bentuk akar gigi sulung
yang menyebar dan kadang-kadang resorpsinya tidak beraturan dan adanya benih gigi
permanen yang ada di bawah akar gigi sulung. Seperti juga orang dewasa, pada waktu
melakukan pencabutan perlu dilakukan fiksasi rahangnya dengan tangan kiri. Jika
resorpsi akar telah banyak, maka pencabutan sangat mudah, tetapi jika resorpsi sedikit
terutama gigi molar pencabutan mungkin sulit dilakukan, apalagi bila terhalang benih
gigi permanen di bawahnya.
Untuk gigi sulung berakar tunggal :
Gerakan rotasi dengan satu jurusan diikuti dengan gerakan ekstraksi (penarikan).
Untuk gigi berakar ganda :
Gerakan untuk melakukan pencabutan adalah gerakan luksasi pelan-pelan juga.
Gerakan luksasi ini ke arah bukal dan ke arah palatal, diulang dan juga harus hati- hati
serta tidak dengan kekuatan yang besar. Gerakan luksasi diikuti dengan gerakan
ekstraksi (Pedersen 1996).

F. Indikasi dan kontra indikasi pencabutan gigi sulung


Indikasi:
1. Natal tooth/neonatal tooth
Natal tooth : gigi erupsi sebelum lahir
Neonatal tooth : gigi erupsi setelah 1 bulan lahir dan biasanya gigi:
a. Mobiliti
b. Dapat mengiritasi : menyebabkan ulserasi pada lidah
c. Mengganggu untuk menyusui
2. Gigi dengan karies luas, karies mencapai bifurkasidan tidak dapat direstorasi
sebaiknya dilakukan pencabutan. Kemudian dibuatkan space maintainer.
3. Infeksi di periapikal atau di interradikular dan tidak dapat disembuhkan
kecuali dengan pencabutan.
4. Gigi yang sudah waktunya tanggal dengan catatan bahwa penggantinya sudah
mau erupsi.
5. Gigi sulung yang persistensi
6. Gigi sulung yang mengalami impacted, karena dapat menghalangi
pertumbuhan gigi tetap.
7. Gigi yang mengalami ulkus dekubitus
8. Untuk perawatan ortodonsi
9. Supernumerary tooth.
10. Gigi penyebab abses dentoalveolar

Kontra Indikasi :
1. Anak yang sedang menderita infeksi akut di mulutnya. Misalnya akut
infektions stomatitis, herpetik stomatitis. Infeksi ini disembuhkan dahulu baru
dilakukan pencabutan.
2. Blood dyscrasia atau kelainan darah, kondisi ini mengakibatkan terjadinya
perdarahan dan infeksi setelah pencabutan. Pencabutan dilakukan setelah
konsultasi dengan dokter ahli tentang penyakit darah.
3. Pada penderita penyakit jantung. Misalnya: Congenital heart disease,
rheumatic heart disease yang akut, kronis, penyakit ginjal/kidney disease.
4. Pada penyakit sistemik yang akut pada saat tersebutresistensi tubuh lebih
rendah dan dapat menyebabkan infeksi sekunder.
5. Adanya tumor yang ganas, karena dengan pencabutan tersebut dapat
menyebabkan metastase.
6. Pada penderita Diabetes Mellitus (DM), tidaklah mutlak kontra indikasi. Jadi
ada kalanya pada penyakit DM ini boleh dilakukan pencabutan tetapi haruslah
lebih dahulu mengadakan konsultasi dengan dokter yang merawat pasien
tersebut atau konsultasi ke bagian internist. Pencabutan pada penderita DM
menyebabkan :
- Penyembuhan lukanya agak sukar.
- Kemungkinan besar terjadi sakit setelah pencabutan
- Bisa terjadi perdarahan berulang kali.
7. Irradiated bone
Pada penderita yang sedang mendapat terapi penyinaran (Inneke, 1998).
G. Medikasi
Medikasi post ekstraksi yang biasa diberikan adalah analgesik dan antibiotik.
Analgesik diberikan untuk mengatasi rasa sakit pasca tindakan pencabutan setelah efek
anestesi lokal menghilang. Analgesik biasanya dapat diresepkan selama dua hari.
Antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi maupun untuk mencegah infeksi lebih
lanjut yang mungkin terjadi. Dalam kedokteran gigi, antibiotik biasanya diberikan
untuk profilaksis sebelum dilakukan tindakan operatif. Pada beberapa indikasi,
antibiotik dapat diberikan post tindakan operatif.
Analgesik yang biasa diberikan kepada pasien anak adalah ibuprofen atau
parasetamol. Ibuprofen merupakan obat anti inflamasi non-steroid untuk mengurangi
rasa sakit dari inflamasi. Obat ini semakin dipilih sebagai penghilang rasa sakit,
terutama rasa sakit akibat injuri atau inflamasi dibanding acetaminophen. Ibuprofen
tersedia dalam bentuk tablet dan liquid untuk anak-anak. Pengaturan dosis ibuprofen
didasarkan atas umur anak.
Rekomendasi Dosis Ibuprofen Oral
Usia Dosis (mg)
6-11 bulan 50 mg setiap 6-8 jam
12-23 bulan 75 mg setiap 6-8 jam
2-3 tahun 100 mg setiap 6-8 jam
4-5 tahun 150 mg setiap 6-8 jam
6-8 tahun 200 mg setiap 6-8 jam
9-10 tahun 250 mg setiap 6-8 jam
11 tahun 300 mg setiap 6-8 jam
Dosis Ibuprofen Oral untuk anak
Parasetamol 500 mg tablet Parasetamol 120mg/5ml sirup
Usia (th) dosis Usia (th) dosis
2-5 ¼-1/2 tablet tiap 4-6 jam 0-1 ½ sendok takar (2,5 ml) 3-4 kali sehari
1-2 1 sendok takar (5 ml) 3-4 kali sehari
1-2 sendok takar (5-10 ml) 3-4 kali
2-6
6-12 ½-1 tablet tiap 4-6 jam sehari
2-3 sendok takar (10-15 ml) 3-4 kali
6-9
sehari
3-4 sendok takar (15-20 ml) 3-4 kali
9-12
sehari
Dosis parasetamol untuk anak berdasarkan usia

Antibiotik yang biasa digunakan dalam kedokteran gigi adalah amoxicillin.


Amoxicillin merupakan turunan penicillin dengan spectrum luas. Penggunaan
amoxicillin merupakan kontraindikasi terhadap pasien dengan alergi penicillin.
Pemberian antibiotic ini disesuaikan dengan jenis dan berat infeksi.
Pengaturan dosis untuk anak-anak :
 Berat badan <20 kg : 20-40 mg/kg BB per hari dibagi dalam 3 dosis
 Berat badan >20 kg : 750-1500 mg dengan dosis terbagi tiap 8 jam (Ward,
2014).

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatric Dentistry, 20 11, “Guideline on Behavior Guidance


for the Pediatric Dental Patient”, Pediatric Dental, Vol 35(6):187-75.
Chadwik B.L & Hosey M.T., 2003, Child Taming: How to Manage Child in Dental
Practice,London: Quintessence publishing.
Inneke H.P. 1998. Ilmu Pencabutan Gigi. Jakarta: DEPKES RI
Koch, G., Poulsen, S., 2009, Pediatric Dentistry, A Clinical Approach, 2nd edition, United
Kingdom: Blackwell Publishing
Mitchell, L., 2014, Kedokteran Gigi Klinik/pengarang Laura Mitchell, David A. Mitchell,
Lorna McCaul; alih bahasa Purwanto; editor edisi bahasa Indonesia, Dewi Nurul,
Lilian Juwono, Edisi 5, Jakarta
Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Alih bahasa: Purwanto, Basoeseno. Jakarta:
ECG, 1996
Ward, S.L., 2014, Pediatric Nursing Care : Best Evidence-based Practices, Philadelphia:
F.A. Davis Company
Welbury R.R., Duggal M.S., & Hosey M.T., 2005, Paediatric Dentistry 3th. New
York: Oxford University Press.

Anda mungkin juga menyukai