Ada dua cara pencatatan untuk transaksi penukaran aktiva tetap, yakni :
a. Untuk penukaran aktiva tidak sejenis, keuntungan atau kerugian dibebankan dalam tahun berjalan
b. Untuk penukaran aktiva sejenis, keuntungan dikurangkan pada harga aktiva baru, sedangkan
kerugian dibebankan dalam tahun berjalan.
Pada kasus pertukaran yang menjadi persoalan utama adalah penentuan nilainya. Hal ini disebabkan oleh
karena adanya berbagai kondisi atas pertukaran yang terjadi. Yang menjadi patokan dasar adalah :
Untuk penukaran aktiva tidak sejenis, anggaplah bahwa tanggal 1 juli 199D suatu mesin A ditukar dengan
mesin B. Mesin A dibeli pada tanggal 2 Januari 199A dengan harga Rp. 100.000.000. Harga mesin B Rp.
150.000.000. Metode penyusutan yang digunakan adalah garis lurus dengan masa manfaat 10 tahun.
Untuk penukaran ini mesin A sepakat untuk dinilai sebesar Rp. 90.000.000. Jadi nilai tukar mesin A
adalah sejumlah ini. Penghitungan nilai buku, jumlah yag harus dibayar dan keuntungan dari petukaran
adalah sebagai berikut :
Akumulasi penyusutan :
Ayat jurnal yang harus dibuat untuk transaksi tersebut diatas adalah sebagai berikut :
(1)
(2)
Apabila dalam contoh diatas, penukaran dilakukan untuk aktiva yang sejenis (katakanlah mesin A
dengan mesin A yang baru), maka ayat jurnal yang harus dibuat sebagai berikut :
(1)
(2)
Perhatikan bahwa nilai mesin A yang baru adalah Rp 125.000.000. jumlah ini merupakan harga mesin
baru dikurangi dengan keuntungan yang ditangguhkan.
Anggaplah sekarang bahwa dalam penukaran mesin A dengan mesin B tersebuhargat di atas, nilai tukar
mesin A yang disepakati bukan Rp 90.000.000 tetapi hanya Rp 50.000.000. dalam keadaan demikian,
penukaran tadi akan mendatangkan kerugian. Perhitungan jumlah yang harus dibayar dan kerugian karena
penukaran adalah sebagai berikut (nilai buku sama dengan yang telah dihitung terdahulu) :
(1)
(2)
Ayat jurnal tersebut di atas juga berlaku apabila penukaran dilakukan untuk aktiva yang sejenis.
Keuntungan (kerugian) karena penukaran aktiva tetap dilaporkan sebagai pendapatan (biaya) lain-lain.
Harga Perolehan adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap biaya penyusutan. Mengenai "Harga
Perolehan" telah kita bahas secara rinci pada artikel sebelumnya, yang belum membaca, silahkan [-baca-
]
Merupakan taksiran nilai atau potensi arus kas masuk apabila aktiva tersebut dijual pada saat
penarikan/penghentian (retirement) aktiva. Nilai residu tidak selalu ada, ada kalanya suatu aktiva tidak
memiliki nilai residu karena aktiva tersebut tidak dijual pada masa penarikannya alias di jadikan besi tua,
hingga habis terkorosi. Tentu saja ini tidak dianjurkan, alangkah bagusnya jika di daur ulang.
Umur fisik : Umur yang dikaitkan dengan kondisi fisik suatu aktiva. Suatu aktiva dikatakan masih
memiliki umur fisik apabila secara fisik aktiva tersebut masih dalam kondisi baik (walaupun mungkin
sudah menurun fungsinya).
Umur Fungsional : Umur yang dikaitkan dengan kontribusi aktiva tersebut dalam penggunaanya. Suatu
aktiva dikatakan masih memiliki umur fungsional apabila aktiva tersebut masih memberikan kontribusi
bagi perusahaan. Walaupun secara fisik suatu aktiva masih dalam kondisi sangat baik, akan tetapi belum
tentu masih memiliki umur fungsional. Bisa saja aktiva tersebut tidak difungsikan lagi akibat perubahan
model atas produk yang dihasilkan, kondisi ini biasanya terjadi pada aktiva mesin atau peralatan yang
dipergunakan untuk membuat suatu produk. Atau aktiva tersebut sudah tidak sesuai dengan jaman (not
fashionable), kondisi ini biasanya terjadi pada jenis aktiva yang bersifat dekoratif (misalnya :
furniture/mebeler, hiasan dinding, dsb).
Dalam penentuan beban penyusutan, yang dijadikan bahan perhitungan adalah umur fungsional yang
biasa dikenal dengan umur ekonomis.
Pola penggunaan aktiva berpengaruh terhadap tingkat ke-aus-an aktiva, yang mana untuk mengakomodasi
situasi ini biasanya dipergunakan metode penyusutan yang paling sesuai.
Contoh Kasus :
Sebuah mesin diperoleh pada tanggal 1 Januari 2007 dengan harga Rp 8,000,000 ditaksir memiliki umur
ekonomis 8 tahun, dan apabila nanti ditarik diperkirakan besi tuanya dapat dijual seharga Rp 150,000.
Tambahan informasi : Perusahaan menggunakan metode garis lurus.
Jika aktiva tetap tersebut diperoleh pada tanggal 05 Pebruari 2007, maka dihitung dengan cara = 11/12 x
[(Rp 8,000,000 – 150,000) : 8]
Jika diperoleh pada tanggal 20 Pebruari 2007, maka dihitung 10/12 x [(Rp 8,000,000 – 150,000) : 8]
…….dan seterusnya
Jika tanpa nilai residu, maka variable nilai residu tidak diperhitungkan.
Penurunan nilai aset adalah fenomena yang sangat lazim ditemukan dalam aktifitas bisnis. Penurunan
nilai aset tersebut dapat dilihat dari dua indikasi yaitu, penurunan sebagai akibat turunnya harga pasar dan
sebagai akibat turunnya nilai output aset yang dihasilkan aset yang bersangkutan.
Pelaporan suatu aset dalam laporan posisi keuangan akan memiliki kendala manakala nilai yang
dilaporkan berdasarkan nilai historisnya tidak lagi dapat digunakan dan malah akan menyesatkan si
pembaca laporan keuangan. Untuk itu, akuntansi harus menjawab permasalahan tersebut dengan
membuat satu basis pengukuran jika suatu aset tidak dapat lagi diukur dengan nilai historis.
Di Indonesia, perlakuan akuntansi penurunan nilai aset telah diatur dalam PSAK No. 48 (revisi 2009)
tentang Penurunan Nilai Aset, yang berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 2011. Adapun indikasi yang
dikemukakan IAS No. 36 dan PSAK No. 48 (revisi 2009) dibagi dalam dua kelompok yaitu indikasi yang
merupakan informasi dari luar perusahaan dan dari dalam perusahaan dengan rincian sebagai berikut:
Contoh:
Pada tahun 2009, Kyo Industries membeli peralatan untuk memproduksi printer yang berkecepatan tinggi.
Peralatan ini berharga perolehan Rp. 1.000.000, mempunyai masa manfaat 8 tahun, dan taksiran nilai sisa
Rp. 200.000. Dua tahun kemudian, dengan munculnya printer laser sebagai printer yang lebih cepat dan
bermutu lebih tinggi daripada printer jenis chain-drive contract, menjadi jelas bagi manajemen Kyo
Industries bahwa peralatan produksinya mendadak mengalami penurunan nilai yang permanen. Pada awal
2010, ketika nilai buku dari peralatan itu sebesar 800.000 {1.000.000 – (1.000.000-200.000)/8 x 2},
manajemen menentukan bahwa (1) nilai haruslah hanya sebesar Rp. 300.000, masa manfaat 2 tahun, dan
nilai sisa sebesar Rp. 50.000. Penghapusan seperti itu tidak diklasifikasikan sebagai pos luar biasa karena
penghapusan aset operasi sering terjadi dalam kegiatan bisnis yang normal.
Jika diperkirakan tidak ada penggunaan masa depan untuk peralatan itu, suatu ayat jurnal serupa dengan
diatas harus dibuat untuk suatu jumlah yang mengurangi nilai buku sampai nilai sisa. Selain itu, peralatan
harus diklasifikasikan kembali ke aset bukan operasi (investasi) di laporan posisi keuangan.
Dengan adanya program tax amnesty yang sedang digebut oleh pemerintah, maka perusahaan-perusahaan
yang berniat mengungkap aset-aset yang sebelumnya tersembunyi memiliki kesempatan yang bagus.
Keuntungan yang banyak menarik minat para pengusaha dan perusahaan tentu antara lain:
Pada 30 September 2016 PT Blekok mengikuti program tax amnesty, perusahaan tersebut mengungkap
sebidang tanah senilai Rp30.000.000.000. Untuk memperoleh aset tersebut timbul pula utang sebesar
Rp10.000.000.000. Bagaimana jurnal atas aset tax amnesty tersebut?
Jurnal akuntansinya:
[K] Rp400.000.000
Kas/Bank
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 tentang Batasan dan Tata Cara
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri.
Perlu diinformasikan Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal diundangkan yaitu 30 hari sejak tanggal 22 Oktober 2012 dan dengan
diberlakukannya ketentuan ini maka Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010
tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun
Sendiri, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2. Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan
Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2012 tentang Penetapan Secara Jabatan atas
Jumlah Biaya Yang Dikeluarkan Dan / Atau Yang Dibayarkan Untuk Membangun Bangunan
Dalam Rangka Kegiatan Membangun Sendiri.
Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri
Kegiatan Membangun Sendiri itu terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hal tersebut diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 1 dan Pajak Pertambahan Nilai
tersebut terutang bagi badan maupun orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri.