CA Serviks
CA Serviks
TINJAUAN PUSTAKA
Kanker seviks uteri adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel epitel skuamosa.
Sebelum terjadinya kanker, akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi prakanker atau
neoplasia intraepitel serviks (NIS). Penyebab utama kanker leher rahim adalah infeksi Human
Papilloma Virus (HPV). Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat teridentifikasi yang
40 di antaranya dapat ditularkan lewat hubungan seksual. Beberapa tipe HPV virus risiko rendah
jarang menimbulkan kanker, sedangkan tipe yang lain bersifat virus risiko tinggi. Baik tipe
risiko tinggi maupun tipe risiko rendah dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal pada sel
tetapi pada umumnya hanya HPV tipe risiko tinggi yang dapat memicu kanker. Virus HPV
risiko tinggi yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual adalah tipe 7,16, 18, 31, 33, 35, 39,
45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, dan mungkin masih terdapat beberapa tipe yang lain. Beberapa
penelitian mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker leher rahim disebabkan oleh tipe 16 dan
18. Yang membedakan antara HPV risiko tinggi dengan HPV risiko rendah adalah satu asam
amino saja. Asam amino tersebut adalah aspartat pada HPV risiko tinggi dan glisin pada HPV
risiko rendah dan sedang (Gastout et al, 1996). Dari kedua tipe ini HPV 16 sendiri menyebabkan
Selain itu, didapatkan pula bahwa respon imun pada HPV-18 dapat meningkatkan
virulensi virus dimana mekanismenya belum jelas. HPV-16 berhubungan dengan skuamous cell
carcinoma serviks sedangkan HPV-18 berhubungan dengan adenocarcinoma serviks. Prognosis
dari adenocarcinoma kanker serviks lebih buruk dibandingkan squamous cell carcinoma. Peran
infeksi HPV sebagai faktor risiko mayor kanker serviks telah mendekati kesepakatan, tanpa
mengecilkan arti faktor risiko minor seperti umur, paritas, aktivitas seksual dini/prilaku seksual,
dan meroko, pil kontrasepsi, genetik, infeksi virus lain dan beberapa infeksi kronis lain pada
serviks seperti klamidia trakomatis dan HSV-2 (Hacker, 2000).
• Usia pertama kali menikah. Menikah pada usia kurang 20 tahun dianggap terlalu muda
untuk melakukan hubungan seksual dan berisiko terkena kanker leher rahim 10-12 kali lebih
besar daripada mereka yang menikah pada usia > 20 tahun. Hubungan seks idealnya
dilakukan setelah seorang wanita benar-benar matang. Ukuran kematangan bukan hanya
• Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi, dan sering berganti-ganti pasangan. Berganti-
ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin, salah satunya Human
Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan mengubah sel-sel di permukaan mukosa hingga
membelah menjadi lebih banyak sehingga tidak terkendali sehingga menjadi kanker.
• Wanita yang merokok. Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker
serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Penelitian menunjukkan, lendir
serviks pada wanita perokok mengandung nikotin dan zat-zat lainnya yang ada di dalam
rokok. Zat-zat tersebut akan menurunkan daya tahan serviks di samping meropakan ko-
karsinogen infeksi virus. Nikotin, mempermudah semua selaput lendir sel-sel tubuh bereaksi
atau menjadi terangsang, baik pada mukosa tenggorokan, paru-paru maupun serviks. Namun
tidak diketahui dengan pasti berapa banyak jumlah nikotin yang dikonsumsi yang bisa
menyebabkan kanker leher rahim.
• Paritas (jumlah kelahiran). Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak, apalagi
dengan jarak persalinan yang terlalu pendek. Dari berbagai literatur yang ada, seorang
perempuan yang sering melahirkan (banyak anak) termasuk golongan risiko tinggi untuk
terkena penyakit kanker leher rahim. Dengan seringnya seorang ibu melahirkan, maka akan
berdampak pada seringnya terjadi perlukaan di organ reproduksinya yang akhirnya dampak
dari luka tersebut akan memudahkan timbulnya Human Papilloma Virus (HPV) sebagai
penyebab terjadinya penyakit kanker leher rahim.
• Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama. Penggunaan kontrasepsi oral yang
dipakai dalam jangka lama yaitu lebih dari 4 tahun dapat meningkatkan risiko kanker leher
rahim 1,5-2,5 kali. Kontrasepsi oral mungkin dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim
karena jaringan leher rahim merupakan salah satu sasaran yang disukai oleh hormon steroid
perempuan. Hingga tahun 2004, telah dilakukan studi epidemiologis tentang hubungan antara
kanker leher rahim dan penggunaan kontrasepsi oral. Meskipun demikian, efek penggunaan
kontrasepsi oral terhadap risiko kanker leher rahim masih kontroversional. Sebagai contoh,
penelitian yang dilakukan oleh Khasbiyah (2004) dengan menggunakan studi kasus kontrol.
Hasil studi tidak menemukan adanya peningkatan risiko pada perempuan pengguna atau
mantan pengguna kontrasepsi oral karena hasil penelitian tidak memperlihatkan hubungan
dengan nilai p>0,05.
Tabel 2.1. Stadium kanker serviks menurut klasifikasi FIGO (Wiknyosastro (1997)
1. Skuamous carcinoma
• Keratinizing
• Verrucous
2. Adeno carcinoma
• Endocervical
• Endometroid (adenocanthoma)
• Serous
• Intestinal
3. Mixed carcinoma
• Adenosquamous
• Mucoepidermoid
• Glossy cell
• Adenoid cystic
5. Carcinoma tumor
6. Malignant melanoma
• Lymphoma
Karsinoma serviks adalah penyakit yang progresif, mulai dengan intraepitel, berubah
menjadi neoplastik, dan akhirnya menjadi kanker serviks setelah 10 tahun atau lebih. Secara
histopatologi lesi pre invasif biasanya berkembang melalui beberapa stadium displasia (ringan,
sedang dan berat) menjadi karsinoma insitu dan akhirnya invasif. Berdasarkan karsinogenesis
umum, proses perubahan menjadi kanker diakibatkan oleh adanya mutasi gen pengendali siklus
sel. Gen pengendali tersebut adalah onkogen, tumor supresor gene, dan repair genes. Onkogen
dan tumor supresor gen mempunyai efek yang berlawanan dalam karsinogenesis, dimana
onkogen memperantarai timbulnya transformasi maligna, sedangkan tumor supresor gen akan
menghambat perkembangan tumor yang diatur oleh gen yang terlibat dalam pertumbuhan sel.
Meskipun kanker invasive berkembang melalui perubahan intraepitel, tidak semua perubahan ini
progres menjadi invasif. Lesi preinvasif akan mengalami regresi secara spontan sebanyak 3 -
35%.
Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang) mempunyai angka regresi yang tinggi.
Waktu yang diperlukan dari displasia menjadi karsinoma insitu (KIS) berkisar antara 1 – 7 tahun,
sedangkan waktu yang diperlukan dari karsinoma insitu menjadi invasif adalah 3 – 20 tahun
(TIM FKUI, 1992). Proses perkembangan kanker serviks berlangsung lambat, diawali adanya
perubahan displasia yang perlahan-lahan menjadi progresif. Displasia ini dapat muncul bila ada
aktivitas regenerasi epitel yang meningkat misalnya akibat trauma mekanik atau kimiawi, infeksi
Pada infeksi fase laten, terjadi terjadi ekspresi E1 dan E2 yang menstimulus ekspresi
terutama terutama L1 selain L2 yang berfungsi pada replikasi dan perakitan virus baru. Virus
baru tersebut menginfeksi kembali sel epitel serviks. Di samping itu, pada infeksi fase laten ini
muncul reaksi imun tipe lambat dengan terbentuknya antibodi E1 dan E2 yang mengakibatkan
penurunan ekspresi E1 dan E2. Penurunan ekspresi E1 dan E2 dan jumlah HPV lebih dari ±
50.000 virion per sel dapat mendorong terjadinya integrasi antara DNA virus dengan DNA sel
penjamu untuk kemudian infeksi HPV memasuki fase aktif (Djoerban, 2000). Ekspresi E1 dan
E2 rendah hilang pada pos integrasi ini menstimulus ekspresi onkoprotein E6 dan E7. Selain itu,
dalam karsinogenesis kanker serviks terinfeksi HPV, protein 53 (p53) sebagai supresor tumor
diduga paling banyak berperan. Fungsi p53 wild type sebagai negative control cell cycle dan
guardian of genom mengalami degradasi karena membentuk kompleks p53-E6 atau mutasi p53.
Kompleks p53-E6 dan p53 mutan adalah stabil, sedangkan p53 wild type adalah labil dan hanya
bertahan 20-30 menit.
Apabila terjadi degradasi fungsi p53 maka proses karsinogenesis berjalan tanpa kontrol
oleh p53. Oleh karena itu, p53 juga dapat dipakai sebagai indikator prognosis molekuler untuk
menilai baik perkembangan lesi pre-kanker maupun keberhasilan terapi kanker serviks (Kaufman
et al, 2000). Dengan demikian dapatlah diasumsikan bahwa pada kanker serviks terinfeksi HPV
Menurut Dalimartha (2004), gejala kanker serviks pada kondisi pra-kanker ditandai
dengan Fluor albus (keputihan) merupakan gejala yang sering ditemukan getah yang keluar dari
vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal
demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif. Perdarahan yang dialami segera setelah
bersenggama (disebut sebagai perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75 -
80%). Pada tahap awal, terjadinya kanker serviks tidak ada gejala-gejala khusus. Biasanya
timbul gejala berupa ketidak teraturannya siklus haid, amenorhea, hipermenorhea, dan
penyaluran sekret vagina yang sering atau perdarahan intermenstrual, post koitus serta latihan
berat. Perdarahan yang khas terjadi pada penyakit ini yaitu darah yang keluar berbentuk mukoid.
Nyeri dirasakan dapat menjalar ke ekstermitas bagian bawah dari daerah lumbal. Pada
tahap lanjut, gejala yang mungkin dan biasa timbul lebih bervariasi, sekret dari vagina berwarna
kuning, berbau dan terjadinya iritasi vagina serta mukosa vulva. Perdarahan pervagina akan
makin sering terjadi dan nyeri makin progresif. Menurut Baird (1991) tidak ada tanda-tanda
khusus yang terjadi pada klien kanker serviks. Perdarahan setelah koitus atau pemeriksaan
dalam (vaginal toussea) merupakan gejala yang sering terjadi. Karakteristik darah yang keluar
berwarna merah terang dapat bervariasi dari yang cair sampai menggumpal. Gejala lebih lanjut
meliputi nyeri yang menjalar sampai kaki, hematuria dan gagal ginjal dapat terjadi karena
obstruksi ureter. Perdarahan rektum dapat terjadi karena penyebaran sel kanker yang juga
Stadium klinik seharusnya tidak berubah setelah beberapa kali pemeriksaan. Apabila ada
keraguan pada stadiumnya maka stadium yang lebih dini dianjurkan. Pemeriksaan berikut
dianjurkan untuk membantu penegakkan diagnosis seperti palpasi, inspeksi, kolposkopi, kuretase
endoserviks, histeroskopi, sistoskopi, proktoskopi, intravenous urography, dan pemeriksaan X-
ray untuk paru-paru dan tulang. Kecurigaan infiltrasi pada kandung kemih dan saluran
pencernaan sebaiknya dipastikan dengan biopsi. Konisasi dan amputasi serviks dapat dilakukan
untuk pemeriksaan klinis. Interpretasi dari limfangografi, arteriografi, venografi, laparoskopi,
ultrasonografi, CT scan dan MRI sampai saat ini belum dapat digunakan secara baik untuk
staging karsinoma atau deteksi penyebaran karsinoma karena hasilnya yang sangat subyektif.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan sebagai berikut (Suharto, 2007) :
Tabel 2.2. Kategorisasi diagnosis deskriptif Pap smear berdasarkan sistem Bethesda
Pemeriksaan ini dimasukkan pada skrining bersama-sama dengan Pap’s smear untuk
wanita dengan usia di atas 30 tahun. Penelitian dalam skala besar mendapatkan bahwa Pap’s
smear negatif disertai DNA HPV yang negatif mengindikasikan tidak akan ada CIN 3 sebanyak
hampir 100%. Kombinasi pemeriksaan ini dianjurkan untuk wanita dengan umur diatas 30 tahun
3. Biopsi
Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan atau luka
pada serviks, atau jika hasil pemeriksaan pap smear menunjukkan suatu abnormalitas atau
kanker. Biopsi ini dilakukan untuk melengkapi hasil pap smear. Teknik yang biasa dilakukan
adalah punch biopsy yang tidak memerlukan anestesi dan teknik cone biopsy yang
menggunakan anestesi. Biopsi dilakukan untuk mengetahui kelainan yang ada pada serviks.
Jaringan yang diambil dari daerah bawah kanal servikal. Hasil biopsi akan memperjelas apakah
yang terjadi itu kanker invasif atau hanya tumor saja (Prayetni, 1997).
5. Tes Schiller
Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan yodium. Pada serviks normal akan
membentuk bayangan yang terjadi pada sel epitel serviks karena adanya glikogen. Sedangkan
pada sel epitel serviks yang mengandung kanker akan menunjukkan warna yang tidak berubah
karena tidak ada glikogen ( Prayetni, 1997).
6. Radiologi
a) Pelvik limphangiografi, yang dapat menunjukkan adanya gangguan pada saluran pelvik atau
peroartik limfe.
Sebagian besar kanker dapat dicegah dengan kebiasaan hidup sehat dan menghindari faktor-
faktor penyebab kanker meliputi (Dalimartha, 2004) :
1. Menghindari berbagai faktor risiko, yaitu hubungan seks pada usia muda, pernikahan pada
usia muda, dan berganti-ganti pasangan seks. Wanita yang berhubungan seksual dibawah usia
20 tahun serta sering berganti pasangan beresiko tinggi terkena infeksi. Namun hal ini tak
menutup kemungkinan akan terjadi pada wanita yang telah setia pada satu pasangan saja.
2. Wanita usia di atas 25 tahun, telah menikah, dan sudah mempunyai anak perlu melakukan
pemeriksaan pap smear setahun sekali atau menurut petunjuk dokter. Pemeriksaan Pap smear
adalah cara untuk mendeteksi dini kanker serviks. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cepat, tidak
sakit dengan biaya yang relatif terjangkau dan hasilnya akurat. Disarankan untuk melakukan tes
Pap setelah usia 25 tahun atau setelah aktif berhubungan seksual dengan frekuensi dua kali
dalam setahun. Bila dua kali tes Pap berturut-turut menghasilkan negatif, maka tes Pap dapat
dilakukan sekali setahun. Jika menginginkan hasil yang lebih akurat, kini ada teknik
pemeriksaan terbaru untuk deteksi dini kanker leher rahim, yang dinamakan teknologi Hybrid
Capture II System (HCII).
3. Pilih kontrasepsi dengan metode barrier, seperti diafragma dan kondom, karena dapat
memberi perlindungan terhadap kanker leher rahim.
5. Pada pertengahan tahun 2006 telah beredar vaksin pencegah infeksi HPV tipe 16 dan 18
yang menjadi penyebab kanker serviks. Vaksin ini bekerja dengan cara meningkatkan
kekebalan tubuh dan menangkap virus sebelum memasuki sel-sel serviks. Selain
membentengi dari penyakit kanker serviks, vaksin ini juga bekerja ganda melindungi
perempuan dari ancaman HPV tipe 6 dan 11 yang menyebabkan kutil kelamin.Yang perlu
ditekankan adalah, vaksinasi ini baru efektif apabila diberikan pada perempuan yang berusia 9
sampai 26 tahun yang belum aktif secara seksual. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dalam
jangka waktu tertentu. Dengan vaksinasi, risiko terkena kanker serviks bisa menurun hingga
75%.
Terapi karsinoma serviks dilakukan bila mana diagnosis telah dipastikan secara
histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang sanggup melakukan
rehabilitasi dan pengamatan la njutan (tim kanker / tim onkologi). Pemilihan pengobatan kanker
leher rahim tergantung pada lokasi dan ukuran tumor, stadium penyakit, usia, keadaan umum
penderita, dan rencana penderita untuk hamil lagi. Lesi tingkat rendah biasanya tidak
memerlukan pengobatan lebih lanjut, terutama jika daerah yang abnormal seluruhnya telah
diangkat pada waktu pemeriksaan biopsi. Pengobatan pada lesi prekanker bisa berupa kriosurgeri
(pembekuan), kauterisasi (pembakaran, juga disebut diatermi), pembedahan laser untuk
menghancurkan sel-sel yang abnormal tanpa melukai jaringan yang sehat di sekitarnya dan
LEEP (loop electrosurgical excision procedure) atau konisasi (Wiknjosastro, 1997).
3. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat melalui infus, tablet,
atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan utamanya untuk membunuh sel kanker dan
menghambat perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi tegantung pada jenis kanker
dan fasenya saat didiag nosis. Beberapa kanker mempunyai penyembuhan yang dapat
diperkirakan atau dapat sembuh dengan pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain, pengobatan
mungkin hanya diberikan untuk mencegah kanker yang kambuh, ini disebut pengobatan
adjuvant. Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan untuk mengontrol penyakit dalam
periode waktu yang lama walaupun tidak mungkin sembuh. Jika kanker menyebar luas dan
dalam fase akhir, kemoterapi digunakan sebagai paliatif untuk memberikan kualitas hidup yang
lebih baik. Kemoterapi secara kombinasi telah digunakan untuk penyakit metastase karena
terapi dengan agen-agen dosis tunggal belum memberikan keuntungan yang memuaskan.
Contoh obat yang digunakan pada kasus kanker serviks antara lain CAP (Cyclophopamide
Adrem ycin Platamin), PVB (Platamin Veble Bleomycin) dan lain –lain (Prayetni, 1997).
Prognosis kanker serviks adalah buruk. Prognosis yang buruk tersebut dihubungkan
dengan 85-90 % kanker serviks terdiagnosis pada stadium invasif, stadium lanjut, bahkan
stadium terminal (Suwiyoga, 2000; Nugroho, 2000). Selama ini, beberapa cara dipakai
menentukan faktor prognosis adalah berdasarkan klinis dan histopatologis seperti keadaan
umum, stadium, besar tumor primer, jenis sel, derajat diferensiasi Broders. Prognosis kanker
serviks tergantung dari stadium penyakit. Umumnya, 5-years survival rate untuk stadium I lebih
1. Stadium 0
2. Stadium 1
Kanker serviks stadium I sering dibagi menjadi IA dan IB. Dari semua wanita yang
terdiagnosis pada stadium IA memiliki 5-years survival rate sebesar 95%. Untuk stadium IB
5-years survival rate sebesar 70 sampai 90%. Ini tidak termasuk wanita dengan kanker pada
limfonodi mereka.
3. Stadium 2
Kanker serviks stadium 2 dibagi menjadi 2, 2A dan 2B. Dari semua wanita yang terdiagnosis
pada stadium 2A memiliki 5-years survival rate sebesar 70-90%. Untuk stadium 2B 5-years
survival rate sebesar 60 sampai 65%.
4. Stadium 3
5. Stadium 4
6. Stadium 5