Imunisasi Dan KIPI
Imunisasi Dan KIPI
2 IMUNISASI
II.2.1. DEFINISI
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap
suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit.
Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitu kekebalan pasif dan
kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan
dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari
ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin. Kekebalan
pasif tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh. Waktu paruh IgG 28
hari, sedangkan waktu paruh imunoglobulin lainnya lebih pendek. Kekebalan aktif adalah
kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi,
atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif berlangsung lebih lama daripada kekebalan
pasif karena adanya memori imunologik.
Perlu diketahui bahwa istilah imunisasi dan vaksinasi seringkali diartikan sama. Imunisasi
adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif, sedangkan istilah vaksinasi
dimaksudkan sebagai pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang pembentukan
imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh.
Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam bentuk, yaitu
imunoglobulin yang non-spesifik atau gamaglobulin dan imunoglobulin yang spesifik
yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh dari penyakit tertentu atau baru
saja mendapatkan vaksinasi penyakit tertentu.
Imunoglobulin yang non-spesifik digunakan pada anak dengan defisiensi
imunoglobulin sehingga memberikan perlindungan dengan segera dan cepat yang
seringkali dapat terhindar dari kematian. Hanya saja perlindungan tersebut tidaklah
berlangsung permanen melainkan hanya untuk beberapa minggu saja. Demikian pula
imunoglobulin yang non-spesifik selain mahal, memungkinkan anak menjadi sakit
karena secara kebetulan atau karena suatu kecelakaan serum yang diberikan tidak
bersih dan masih mengandung kuman yang aktif. Sedangkan imunoglobulin yang
spesifik diberikan kepada anak yang belum terlindung karena belum pernah
mendapatkan vaksinasi dan kemudian terserang misalnya penyakit difteria, tetanus,
hepatitis A dan B.
Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan
dengan antigen yang berasal dari mikroorganisme patogen. Antigen yang diberikan
telah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun mampu
mengaktivasi limfosit menghasilkan antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan
infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan kekebalan.
Tujuannya adalah memberikan ”infeksi ringan” yang tidak berbahaya namun cukup
untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit yang
sesungguhnya di kemudian hari anak tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat
membentuk antibodi dan mematikan antigen/penyakit yang masuk tersebut. Demikian
pula vaksinasi mempunyai berbagai keuntungan, yaitu
Apakah persyaratan ini seluruhnya atau sebagian saja, tergantung dari ada atau
tidaknya variasi respons genetik yang nyata dan respons imun yang dibutuhkan. Vaksin yang
dapat memenuhi keempat persyaratan tersebut adalah vaksin virus hidup. Pada umumnya
antibodi yang terbentuk akibat vaksinasi sudah cukup untuk mencegah terjadinya infeksi,
sehingga pembentukan sel Tc terhadap berbagai epitop antigen tidak merupakan keharusan.
Pada penyakit difteria dan tetanus misalnya yang dibutuhkan adalah antibodi untuk netralisasi
toksin.
Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DTP dan campak.
1. BCG
Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. Namun untuk mencapai
cakupan yang lebih luas, Departemen Kesehatan menganjurkan pemberian imunisasi
BCG pada umur antara 0-12 bulan.
Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1ml untuk anak (>1 tahun).
VaksinBCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas pada insersio
M.deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak di tempat lain (bokong, paha). Hal ini
mengingat penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih mudah dilakukan
(jaringan lemak subkutis tipis), ulkus yang terbentuk tidak menganggu struktur otot
setempat (dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral atau paha anterior), dan
sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis apabila diperlukan.
Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan.
Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi tuberkulosis, namun dapat mencegah
komplikasinya. Para pakar menyatakan bahwa (1) efektivitas vaksin untuk
perlindungan penyakit hanya 40%, (2) sekitar 70% kasus TB berat (meningitis)
ternyata mempunyai parut BCG, dan (3) kasus dewasa dengan BTA (bakteri tahan
asam) positif di Indonesia cukup tinggi (25%-36%) walaupun mereka telah
mendapat BCG pada masa kanak-kanak. Oleh karena itu, saat ini WHOsedang
mengembangkan vaksin BCG baru yang lebih efektif.
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien
imunokompromais (leukemia, anak yang sedang mendapat pengobatan steroid
jangka panjang, atau menderita infeksi HIV).
Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.
2. Hepatitis B
Vaksin hepatitis B (HepB) harus segera diberikan setelah lahir, mengingat vaksinasi
HepB merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan rantai
penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.
Jadwal imunisasi hepatitis B
– Imunisasi HepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir,
mengingat paling tidak 3,9% ibu hamil mengidap hepatitis B aktif dengan risiko
penularan kepada bayinya sebesar 45%.
– Imunisasi HepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi HepB-1
yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal, interval
imunisasi HepB-2 dengan HepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka
imunisasi HepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan.
– Jadwal dan dosis HepB-1 saat bayi lahir, dibuat berdasarkan status HBsAg ibu
saat melahirkan yaitu (1) ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui, (2) ibu
HBsAg positif, atau (3) ibu HBsAg negatif.
– Departemen Kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin HepB-0
monovalen (dalam kemasan uniject) saat lahir, dilanjutkan dengan vaksin
kombinasi DTwP/HepB pada umur 2-3-4 bulan. Tujuan vaksin HepB diberikan
dalam kombinasi dengan DTwP untuk mempermudah pemberian dan
meningkatkan cakupan HepB-3 yang masih rendah.
Ulangan imunisasi hepatitis B
Saat ini telah ada vaksin DTaP (DTP dengan komponen acelluler pertussis) di
samping vaksin DTwP (DTP dengan komponen whole cell pertussis) yang telah
dipakai selama ini. Kedua vaksin DTP tersebut dapat dipergunakan secara bersamaan
dalam jadwal imunisasi.
Jadwal imunisasi
o Imunisasi DTP primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP tidak boleh
diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Interval terbaik
diberikan 8 minggu, jadi DTP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur
4 bulan dan DTP-3 pada umur 6 bulan. Ulangan booster DTP selanjutnya
diberikan satu tahun setelah DTP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan dan DTP-5
pada saat masuk sekolah umur 5 tahun.
Vaksinasi ulangan
o Pada booster umur 5 tahun harus tetap diberikan vaksin dengan komponen
pertusis (sebaiknya diberikan DTaP untuk mengurangi demam pasca imunisasi)
mengingat kejadian pertusis pada dewasa muda meningkat akibat ambang
proteksi telah sangat rendah sehingga dapat menjadi sumber penularan pada
bayi dan anak.
o Sejak tahun 1998, DT-5 diberikan pada kegiatan imunisasi di sekolah dasar
(pada bulan imunisasi anak sekolah atau BIAS). Ulangan DT-6 diberikan pada
12 tahun, mengingat masih dijumpai kasus difteria pada umur lebih dari 10
tahun.
o Sebaiknya ulangan DT-6 pada umur 12 tahun diberikan dT (adult dose), tetapi di
Indonesia dT tidak ada di pasaran.
Dosis vaksinasi DTP
o DTwP atau DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk imunisasi
dasar maupun ulangan.
Pemberian DTP kombinasi:
o Vaksin DTP dapat diberikan secara kombinasi dengan vaksin lain yaitu
DTwP/HepB, DTaP/HiB, DTwP/Hib, DTaP/IPV, DTaP/Hib/IPV sesuai jadwal.
4. Polio
Jadwal
o Polio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai pedoman PPI sebagai tambahan untuk
mendapatkan cakupan imunisasi yang tinggi. Hal ini diperlukan karena
Indonesia rentan terhadap transmisi virus polio liar dari daerah endemik polio
(India, Afganistan, Sudan). Mengingat OPV berisi virus polio hidup maka
diberikan saat bayi meninggalkan rumah sakit/rumah bersalin agar tidak
mencemari bayi lain karena virus polio vaksin dapat diekskresi melalui tinja.
Untuk keperluan ini, IPV dapat menjadi alternatif.
o Untuk imunisasi dasar (polio-2, 3, 4) diberikan pada umur 2, 4, dan 6 bulan,
interval antara dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu.
o Dalam rangka eradikasi polio (Erapo), masih diperlukan Pekan Imunisasi
Polio (PIN) yang dianjurkan oleh Departemen Kesehatan. Pada PIN semua
balita harus mendapat imunisasi OPV tanpa memandang status imunisasinya
(kecuali pasien imunokompromais diberikan IPV) untuk memperkuat
kekebalan di mukosa saluran cerna dan memutuskan transmisi virus polio liar.
Dosis
o OPV diberikan 2 tetes per-oral.
o IPV dalam kemasan 0,5 ml, intramuskular. Vaksin IPV dapat diberikan
tersendiri atau dalam kemasan kombinasi (DTaP/IPV, DTaP/Hib/IPV).
Imunisasi polio ulangan diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4, selanjutnya
saat masuk sekolah (5-6 tahun).
5. Campak
Vaksin campak rutin dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara sub-kutan
dalam, pada umur 9 bulan.
Dari hasil studi Badan Penelitian & Pengembangan dan Dirjen PPM&PL
Departemen Kesehatan mengenai campak didapatkan,
o Survei di empat provinsi, 18,6%-32,6% anak sekolah mempunyai kadar
campak di bawah batas perlindungan,
o Dijumpai kasus campak pada anak usia sekolah,
o Beberapa propinsi masih melaporkan kejadian luar biasa (KLB) campak,
Departemen Kesehatan mengubah strategi reduksi & eliminasi campak,
sebagai berikut. Disamping imunisasi umur 9 bulan, diberikan juga imunisasi
campak kesempatan kedua (second opportunity pada crash program campak)
pada umur 6-59 bulan dan SD kelas 1-6. Crash program campak ini telah
dilakukan secara bertahap (5 tahap) di semua provinsi pada tahun 2006 dan
2007.
Selanjutnya imunisasi campak dosis kedua diberikan pada program school based
catch-up campaign, yaitu secara rutin pada anak sekolah SD kelas 1 dalam
program BIAS.
Apabila telah mendapat imunisasi MMR pada usia 15-18 bulan dan ulangan umur 6
tahun; ulangan campak SD kelas 1 tidak diperlukan.
II.2.6. JADWAL IMUNISASI BERDASARKAN UMUR PEMBERIAN
Untuk kepentingan operasional maka Komnas Komnas KIPI menentukan bahwa kejadian
ikutan pasca imunisasi adalah sebagai reaksi simpang yang dikenal sebagai kejadian
ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse events following immunization (AEFI) adalah
kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek
samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, atau kesalahan program,
koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.
Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (artritis
kronik pasca vaksinasi rubela), atau bahkan sampai 6 bulan (infeksi virus campak vaccine-
strain pada pasien imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta
infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau resipien
imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).
Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang
(adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi
simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-effects),
interaksi obat, intoleransi, reaksi idiosinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara
klinis sulit dibedakan satu dengan lainnya. Efek farmakologi, efek samping, serta reaksi
idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi
merupakan kepekaan seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang genetik.
Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan
demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain yang
terkandung dalam vaksin.
Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena
kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin,
kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang
timbul secara kebetulan.
Persepsi awam dan juga kalangan petugas kesehatan biasanya menganggap semua
kelainan dan kejadian yang dihubungkan dengan imunisasi sebagai reaksi alergi terhadap
vaksin. Akan tetapi telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Comittee, Institute of
Medicine (IOM) USA menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi secara kebetulan
saja (koinsidensi). Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat
kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (programmatic errors).
Kejadian ikutan pasca imunisasi akan timbul setelah pemberian vaksin dalam jumlah
besar. Penelitian efikasi dan keamanan vaksin dihasilkan melalui fase uji klinis yang
lazim, yaitu fase 1, 2, 3, dan 4. Uji klinis fase 1 dilakukan pada binatang percobaan
sedangkan fase selanjutnya pada manusia. Uji klinis fase 2 untuk mengetahui keamanan
vaksin (reactogenicity and safety), sedangkan pada fase 3 selain keamanan juga dilakukan
uji efektivitas (imunogenisitas) vaksin.
Pada jumlah penerima vaksin yang terbatas mungkin KIPI belum tampak, maka
untuk menilai KIPI diperiukan uji klinis fase 4 dengan sampel besar yang dikenal sebagai
post-marketing surveilance (PMS), Tujuan PMS adalah untuk memonitor dan mengetahui
keamanan vaksin setelah pemakaian yang cukup luas di masyarakat (dalam hal ini
program imunisasi). Data PMS dapat memberikan keuntungan bagi program apabila
semua KIPI (terutama KIPI berat) dilaporkan, dan masalahnya segera diselesaikan.
Sebaliknya akan merugikan apabila program tidak segera tanggap terhadap masalah KIPI
yang timbul sehingga terjadi keresahan masyarakat terhadap efek samping vaksin dengan
segala akibatnya.
1. Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pasific (1999 ) untuk petugas kesehatan di
lapangan.
2. Klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991 dan 1994 untuk telaah Komnas PP KIPI.
Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik
pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan,
pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi
pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung
maupun tidak langsung dan harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan
langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan,
sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual,
sampai sinkop. Reaksi ini tidak berhubungan dengan kandungan yang terdapat
pada vaksin, sering terjadi pd vaksinasi masal yaitu :
• Syncope /fainting
– Sering pada anak > 5 tahun ,
– Terjadi beberapa menit post imunisasi ,
– Tidak perlu penanganan khusus.
– Hindari stress saat anak menunggu,
– Hindari trauma akibat jatuh/ posisi sebaiknya duduk.
• Hiperventilasi akibat ketakutan
– Beberapa anak kecil terjadi muntah, breath holding spell, pingsan.
– Kadang menjerit, lari bahkan reaksi seperti kejang (penderita ini perlu
diperiksa)
• Beberapa anak takut jarum, gemetar, histeria.
• Penting penjelasan dan penenangan
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi
terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya
ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi
anafilaktik sistemik dengan risiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi
dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai
indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai tindakan dan perhatian
spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain.
Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.
1. Reaksi lokal :
Rasa sakit di tempat suntikan.
Bengkak-kemerahan ditempat suntikan sekitar 10 %
Bengkak pada suntikan DPT dan tetanus sekitar 50%
BCG scar terjadi minimal setelah 2 minggu kemudian ulserasi dan sembuh setelah
beberapa bulan.
2. Reaksi Sistemik :
o Panas pada sekitar 10%, kecuali DPT hampir 50%, juga reaksi lain seperti iritabel,
malaise, gejala sistemik.
o MMR dan campak, reaksi sistemik disebabkan infeksi virus vaksin. Terjadi panas
dan atau rash dan konjungtivitis pada 5-15% dan lebih ringan dibandingkan infeksi
campak tetapi berat pada penderita imunodefisiensi.
o Pada mumps terjadi reaksi vaksin pembengkaan kelenjar parotis, rubela terjadi rasa
sakit sendi 15 % dan pembengkaan limfonodi.
o OPV kurang dari 1% diare, pusing dan sakit otot.
Vaccine Safety Committee 1994 membuat klasifikasi KIPI yang sedikit berbeda dengan
laporan Comittee Institute of Medicine (1991) dan menjadi dasar klasifikasi saat ini, yaitu:
Tabel 1: KIPI pada vaksin DT/Td/TT, campak, OPV/IPV, DPT. Hepatitis B dan HiB
berdasarkan hubungan kausalitas
Keterangan :
Polio=vaksin polio TT=vaksin tetanus untuk anak dan wanita usia subur
Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi
menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya .Pada
umumnya makin cepat terjadi KIPI makin berat gejalanya.
Baku keamanan suatu vaksin dituntut lebih tinggi daripada obat. Hal ini
disebabkan oleh karena pada umumnya produk farmasi diperuntukkan orang sakit
sedangkan vaksin untuk orang sehat terutama bayi. Karena itu toleransi terhadap efek
samping vaksin harus lebih kecil daripada obat obatan untuk orang sakit. Mengingat tidak
ada satu pun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila seorang anak telah
mendapat imunisasi perlu diobservasi beberapa saat, sehingga dipastikan bahwa tidak
terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada
umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi selama 15
menit.
Tabel 2: Gejala Klinis menurut jenis vaksin dan saat timbulnya KIPI Dikutip dengan
modifikasi dari RT Chen, 1999.
Angka Kejadian
KIPI yang paling serius pada anak adalah reaksi anaflaktoid. Angka kejadian
reaksi anafilaktoid pada DPT diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis , tetapi yang
benar-benar reaksi anafilaktik hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang
lebih besar dan orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat.
Episode hipotonik-hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat
terjadi 4-24 jam setelah imunisasi. Kasus KIPI polio berat dapat terjadi pada 1 per
2,4 juta dosis vaksin (CDC Vaccine Information Statement 2000), sedangkan kasus
KIPI hepatitis B pada anak dapat berupa demam ringan sampai sedang terjadi 1/14
dosis vaksin, dan pada dewasa 1/100 dosis (CDC Vaccine Information Statement
2000). Kasus KIPI campak berupa demam terjadi pada 1/6 dosis, ruam kulit ringan
1/20 dosis, kejang yang disebabkan demam 1/3000 dosis, dan reaksi alergi serius
1/1.000.000 dosis.
Tabel berikut dapat digunakan:
Keterangan :
(a) Reaksi (kecuali syok anafilaktik) tidak terjadi bila anak sudah kebal (± 90 % anak yang
menerima dosis kedua); anak umur diatas 6 tahun jarang mengalami kejang demam.
(b) Risiko VAPP lebih tinggi pada penerima dosis pertama (1 per 1,4 - 3,4 juta dosis),
sedangkan risiko pada penerima dosis-dosis selanjutnya 1 per 6,7 juta dosis.
(c) Kejang umumnya diawali dengan demam, frekuensinya tergantung pada riwayat kejang
sebelumnya, riwayat dalam keluarga serta umur.