Anda di halaman 1dari 26

BAB I Pendahuluan

Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup. Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per 1000 kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi Indonesia Sehat 2010, maka salah satu tolok ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8.

Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan, hal ini disebut ikterus fisiologis. Namun sebagian lagi memerlukan pengobatan karena berbahaya dan dikenal dengan ikterus patologis.

BAB II Laporan Kasus


Seorang bayi usia 5 hari dibawa berobat ke poli anak dengan keluhan utama kulit berwarna kuning. Bayi lahir spontan dengan berat lahir 2100 g dan nilai apgar 5/7 tidak langsung menangis dan ketuban pecah 48 jam berwarna hijau. Gejala kuning terlihat sejak usia 2 hari, tanpa demam dan minum masih normal.

Pemeriksaan fisik : Bayi sadar, tidak sesak, dan ikterus pada sclera dan seluruh tubuh. Jantung dan patu dalam batas normal. Abdomen tidak membuncit dan ekstremitas normal.

BAB III Pembahasan Kasus


1. Status Pasien a. Nama b. Usia :: 5 hari

c. Jenis kelamin : d. Alamat e. Agama ::-

2. Masalah dan Hipotesis a. Keluhan utama : i. Kulit berwarna kuning

b. Hipotesis : i. ii. Ikterik fisiologis Ikterik patologis

3. Anamnesis a. Riwayat penyakit sekarang b. Riwayat penyakit dahulu i. Pre natal Apakah selama masa kehamilan mengkonsumsi obat-obatan tertentu? (kecurigaan G6PD) ?

Apakah selama masa kehamilan pernah menderita penyakit yang disebabkan virus?

Apakah golongan darah ibu ?

ii. Intra natal Usia kehamilan berapa bulan ?

iii. Post nasal Obat-obatan apa yang telah dikonsumsi oleh bayi sebelum datang ke klinik ? Bagaimana pemberian ASI pada bayi selama 5 hari ini?

c. Riwayat keluarga i. Apakah ada anggota keluarga lain yang memiliki riwayat jaundice atau anemia?

4. Pemeriksaan Fisik Status generalis Kesadaran Kesan sakit Tanda vital Status gizi Jantung Paru Abdomen : compos mentis : tidak sesak : normal :: dalam batas normal : dalam batas normal : tidak membuncit

Ekstremitas Status lokalis

: normal

Kulit : tampak kuning sejak usia 2 hari (sudah 3 hari)

Interpretasi a) Keadaan umum bayi baik. Ini berguna untuk menyingkirkan beberapa hipotesis berkaitan dengan gejala yang tampak pada fisik bayi, antara jantung dan paru dalam batas normal dan tidak sesak dapat menyingkirkan hipotesis defisiensi G6PD, serta abdomen tidak membuncit dapat menyingkirkan hipotesis Rh incompatibility ataupun adanya anemia hemolitik yang masif. b) Kulit tampak kuning sejak bayi berusia 2 hari dan sudah berlangsung selama 3 hari. Keadaan ini umumnya terjadi pada ikterus fisiologis di mana kuning mulai timbul pada usia 2 atau 3 hari setelah kelahiran dan berlangsung selama 8 hari (pada bayi matur) atau 14 hari (pada bayi prematur). c) Keadaan umum baik serta riwayat kuning yang timbul saat usia 2 hari mengarahkan hipotesis ikterus fisiologis.

5. Pemeriksaan Penunjang Kami membutuhkan pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan hipotesis lain sehingga dapat menegakkan diagnosis. Laboratorium darah Lab darah yang diajukan adalah pemeriksaan darah rutin dan kadar bilirubin darah. Pemeriksaan darah rutin berguna untuk mencari etiologi yang menyebabkan ikterus seperti apakah ada infeksi atau anemia yang terjadi karena lisis berlebihan, serta dapat mengetahui golongan darah dan Rh pasien untuk mengecek apakah terdapat Rh incompatibility. Kadar bilirubin darah dapat menentukan apakah ikterus fisiologis atau patologis. Pemeriksaan ikterus Pemeriksaan antara lain dengan ikterometer dari metode kremeter yang dapat mengetahui kadar bilirubin . Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara menekan jari telunjuk di tempat/bagian yang memiliki tulang yang menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, tulang lutut, dan lain-lain. (1) Pembagian dari pemeriksaan ini antara lain : a. Kremer 1 : kepala sampai leher b. Kremer 2 : kepala, badan sampai umbilikus c. Kremer 3 : kepala, badan, paha, sampai lutut d. Kremer 4 : kepala, badan, ekstremitas sampaidengan tangan dan kaki

6. Diagnosis Berdasarkan dari anamnesis yang didapat yaitu keluhan tubuh bayi yang berwarna kuning pada hari ke 2 dan pemeriksaan fisik yang menunjukkan dalam batas normal kecuali ditemukan sclera dan tubuh bayi yang berwarna kuning, maka diagnosis untuk kasus ini yaitu Ikterus Fisiologis. Ikterus fisiologis mempunyai ciri-ciri, antara lain bayi akan menguning 8 hari dengan keadaan selebihnya dalam batas normal.

7. Patofisiologi Bilirubin dibuat dari heme yang merupakan gabungan heme dirubah menjadi

protoporfirin dengan besi. Oleh enzim hemoksigenase,

biliverdin. Kemudian dengan enzim bilirubin reduktase, biliverdin dirubah menjadi bilirubin indirek atau bilirubin unconjugated. Proses tersebut terjadi di system retikuloendotelial. Bilirubin indirek masuk ke dalam darah dan diikat oleh albumin kemudian dibawa ke hati. Bilirubin indirek mempunyai daya larut yang tinggi terhadap lemak dan kecil sekali terhadap air. Dalam kasus ini, bayi BBLR dengan keadaan tubuh yang kuning (jaundice) kemungkinan karena hati yang belum matang sehingga belum kompeten untuk mengubah bilirubin indirek menjadi direk. Keadaan tersebut menyebabkan kadar bilirubin indirek dalam darah meningkat dan menyebabkan badan bayi tersebut berwarna kuning.(2)

8. Tatalaksana Kadar Bilirubin Darah <5mg% 5-9mg% Tatalaksana Pemberian makanan dini Fenobarbital cukup 10-19mg% >20mg% Terapi sinar Transfusi tukar dan kalori

Terapi dengan fenobarbital: a. Tujuan Menurunkan bilirubin dengan induksi glukoronil agar lebih cepat dikonjugasi b. Teknik terapi: 1. Fenobarbital diberikan sebanyak 5-10 mg/kgbb/hari 2. Fenobarbital diberikan sampai kadar bilirubin darah kurang atau sama dengan 7,5 mg% Terapi sinar a. Tujuan Memecah bilirubin menjadi senyawaan dipirol yang nontoksik dan dikeluarkan melalui urin dan feses

b. Indikasi 1. Bilirubin 1 lebih dari 10 mg % 2. Sebelum dan sesudah transfuse tukar c. Alat yang diperlukan 1. Lampu Floresensi 10 buah yang tiap-tiap lampunya 20 watt dengan gelombang sinar 425-475 mm, misalnya cool white, daylight, vita kite, blue, special blue. 2. Jarak sumber cahaya ke bayi kurang lebih 45cm, diantaranya diberi kaca pleksi setebal 0,5 inci untuk menahan sinar ultraviolet 3. Lampu diganti tiap 200-400 jam. d. Teknik Terapi 1. Bayi dalam keadaan tidak berpakaian (telanjang) kedua matanya dan gonad ditutup dengan penutup yang bahannya memantulkan cahaya. 2. Posisinya diubah-ubah tiap 6 jam 3. Suhu tubuh bayi dipertahankan sekitar 36,5 derajat celcius hingga 37 derajat celcius 4. Perhatikan keseimbangan cairan dan elektrolit 5. Pemeriksaan Hb teratur tiap hari 6. Bilirubin dikontrol tiap 4-6 jam 7. Mungkin timbul skin rash yang sementara dan tidak berbahaya 8. Lama terapi 100 jam atau bila kadar bilirubin darah telah mencapai kurang dari atau sama dengan 7,5 mg %

Transfusi tukar a. Tujuan Untuk mengganti kadar bilirubin b. Indikasi 1. Kadar bilirubin indirek darah lebih dari atau sama dengan 20 mg% 2. Kenaikan kadar bilirubin indirek darah yang cepat (0,3-1 mg%/jam) 3. Anemi berat disertai tanda payah jantung c. Alat yang diperlukan 1. Semprit tiga cabang 2. 2 semprit 5/10ml, satu diisi Ca-glukonat 10%, yang lain larutan heparin encer (2ml @ 1000 U dalam 250 ml NaCl 0,9%) 3. Kateter polietilen kecil 15-20 cm atau pipa lambung F5-F8 4. Nier-bekken dan botol kosong 5. Alat pembuka vena (venaseksi). 6. Alat resusitasi (oksigen, laringoskop, ventilator, airway) d. Teknik Terapi 1. Lambung bayi harus kosong (3-4 jam sebelumnya jangan diberi minum) bila mungkin 4 jam sebelumnya diberi infuse albumin 1 gram/kgbb atau plasma manusia 20 ml/kgbb 2. A dan antisepsis daerah tindakan 3. Awasi selalu tanda-tanda vital dan jaga jangan sampai kedinginan

4. Bila talipusat masih segar, potong kurang lebih 3-5 cm dari dinding perut. Bila telah kering, potong rata dengan dinding perut. Untuk mencegah bahaya perdarahan buat jahitan laso di pangkal rambut 5. Kateter polietilen diisi dengan larutan heparin, lalu salah satu ujungnya dihubungkan dengan semprit tiga cabang, ujung lain dimasukkan ke dalam vena umbilikalis sedalam 4-5 cm 6. Periksa tekanan vena umbilikalis dengan mencabut ujung luar dan mengangkat kateter. Biasanya darah dalam kateter akan naik kurang lebih 6cm 7. Dengan mengubah-ubah keran pada semprit tiga cabang, lakukan penukaran. Mulamula keluarkan 20ml, lalu masukkan 20ml dengan perlahan-lahan, demikian diulangulang sampai total keluar 190ml/kgbb dan masuk 170 ml/kgbb, selama proses semprit sering-sering dibilas dengan heparin 8. Setelah kira-kira masuk 150 ml, masukkan Ca-glukoronat 10% sebanyak 1,5 ml. perhatikan denyut jantung bayi, bila kurang dari 100x/menit waspada terhadap henti jantung 9. Bila vena umbilikalis tidak dapat dipakai, gunakan vena saphena magna. Kira-kira 1 cm di bawah ligamentum inguinal dan medial dari arteri femoralis e. Pasca Tindakan 1. Vena umbilikalis dikompres, kateter dapat ditinggalkan lalu tutup dengan steril 2. Berikan antibiotic spectrum luas, missal kombinasi penisilin 50.000 U/kgbb/hari dengan kanamisin 15 mg/kgbb/hari selama 5-7 hari 3. Pemeriksaan Hb dan bilirubin darah dilakukan tiap 12 jam 4. Berikan terapi sinar. (3)

9. Prognosis Ad vitam: bonam Ad fungsionam: bonam Ad sanationam: bonam Kelompok kami menyimpulkan bahwa secara keseluruhan prognosis pasien ini bonam karena keluhan yang dialami pasien merupakan proses fisiologis.

10. Komplikasi Akibat terapi sinar: 1. Buang Air Besar menjadi lunak 2. Dehidrasi 3. Hipotermia 4. Bronze Baby Akibat transfusi tukar: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Emboli udara Transient Vasospasme Transient Bradikardi Trombositopenia Koagulasi Intravaskular Hipoglikemi

7. 8. 9. 10. 11. 12.

Hiperkalsemi Hipernatremi Hipokalemi Metabolik asidosis Sepsis Blod borne pathogen a. b. c. Cytomegalovirus Infeksi HIV Hepatitis

Pada pasien ini dapat juga terjadi komplikasi sindrom klinis ensefalopati bilirubin (kernikterus)

BAB IV Tinjauan Pustaka

Katabolisme Heme Dalam keadaan fisiologis, masa hidup erytrosit manusia sekitar 120 hari, eritrosit mengalami lisis 1-210 setiap jamnya pada seorang dewasa dengan berat badan 70 kg, dimana diperhitungkan hemoglobin yang turut lisis sekitar 6 gr per hari. Sel-sel eritrosit tua dikeluarkan dari sirkulasi dan dihancurkan oleh limpa. Apoprotein dari hemoglobin dihidrolisis menjadi komponen asam-asam aminonya. Katabolisme heme dari semua hemeprotein terjadi dalam fraksi mikrosom sel retikuloendotel oleh sistem enzym yang kompleks yaitu heme oksigenase yang merupakan enzym dari keluarga besar sitokrom P450. Langkah awal pemecahan gugus heme ialah pemutusan jembatan metena membentuk biliverdin, suatu tetrapirol linier. Besi mengalami beberapa kali reaksi reduksi dan oksidasi, reaksi-reaksi ini memerlukan oksigen dan NADPH. Pada akhir reaksi dibebaskan Fe
3+ 8

yang dapat digunakan kembali, karbon monoksida yang berasal dari atom karbon jembatan metena dan biliverdin. Biliverdin, suatu pigmen berwarna hijau akan direduksi oleh biliverdin reduktase yang menggunakan NADPH sehingga rantai metenil menjadi rantai metilen antara cincin pirol III IV dan membentuk pigmen berwarna kuning yaitu bilirubin. Perubahan warna pada memar merupakan petunjuk reaksi degradasi ini. Bilirubin bersifat lebih sukar larut dalam air dibandingkan dengan biliverdin. Pada reptil, amfibi dan unggas hasil akhir metabolisme heme ialah biliverdin dan bukan bilirubin seperti pada

mamalia. Keuntungannya adalah ternyata bilirubin merupakan suatu anti oksidan yang sangat efektif, sedangkan biliverdin tidak. Efektivitas bilirubin yang terikat pada albumin kira-kira 1/10 kali dibandingkan asam askorbat dalam perlindungan terhadap peroksida yang larut dalam air. Lebih bermakna lagi, bilirubin merupakan anti oksidan yang kuat dalam membran, bersaing dengan vitamin E. Dalam setiap 1 gr hemoglobin yang lisis akan membentuk 35 mg bilirubin. Perhari bilirubin dibentuk sekitar 250350 mg pada seorang dewasa, berasal dari pemecahan hemoglobin, proses erytropoetik yang tidak efekif dan pemecahan hemprotein lainnya. Bilirubin dari jaringan retikuloendotel adalah bentuk yang sedikit larut dalam plasma dan air. Bilirubin ini akan diikat nonkovalen dan diangkut oleh albumin ke hepar. Dalam 100 ml plasma hanya lebih kurang 25 mg bilirubin yang dapat diikat kuat pada albumin. Bilirubin yang melebihi jumlah ini hanya terikat longgar hingga mudah lepas dan berdiffusi kejaringan. Bilirubin yang sampai dihati akan dilepas dari albumin dan diambil pada permukaan sinusoid hepatosit oleh suatu protein pembawa yaitu ligandin. Sistem transport difasilitasi ini mempunyai kapasitas yang sangat besar tetapi penggambilan bilirubin akan tergantung pada kelancaran proses yang akan dilewati bilirubin berikutnya. Bilirubin nonpolar akan menetap dalam sel jika tidak diubah menjadi bentuk larut. Hepatosit akan mengubah bilirubin menjadi bentuk larut yang dapat diekskresikan dengan mudah kedalam kandung empedu. Proses perubahan tersebut melibatkan asam glukoronat yang dikonjugasikan dengan bilirubin, dikatalisis oleh enzym bilirubin glukoronosiltransferase. Hati mengandung sedikitnya dua isoform enzym glukoronosiltransferase yang terdapat terutama pada retikulum endoplasma. Reaksi konjugasi ini berlangsung dua tahap, memerlukan UDP asam glukoronat sebagai donor glukoronat. Tahap pertama akan membentuk bilirubin monoglukoronida sebagai

senyawa antara yang kemudian dikonversi menjadi bilirubin diglukoronida yang larut pada tahap kedua. Ekskresi bilirubin larut kedalam saluran dan kandung empedu berlangsung dengan mekanisme transport aktif yang melawan gradien konsentrasi. Dalam keadaan fisiologis, seluruh bilirubin yang diekskresikan ke kandung empedu berada dalam bentuk terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi yang mencapai ileum terminal dan kolon dihidrolisa oleh enzym bakteri glukoronidase dan pigmen yang bebas dari glukoronida direduksi oleh bakteri usus menjadi urobilinogen, suatu senyawa tetrapirol tak berwarna. Sejumlah urobilinogen diabsorbsi kembali dari usus ke perdarahan portal dan dibawa keginjal kemudian dioksidasi menjadi urobilin yang memberi warna kuning pada urine. Sebagian besar urobilinogen berada pada feces akan dioksidasi oleh bakteri usus membentuk sterkobilin yang berwarna kuning kecoklatan. (4)

Ikterus Neonatorum 1. Definisi Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada lingkungan normal, kadar bilirubin dalam serum talipusat yang reaksi indirek adalah 1-3 mg/dL dan naik dengan keccepatan kurang dari 5 mg/dL /24 jam; dengan demikian, ikterus dapat dilihat pada hari ke-2 sampai ke-3, biasanya berpuncak antara hari ke-2 dan ke-4 dengan kadar 5-6 mg/dL dan menurun sampai dibawah 2 mg/dL antara umur hari ke-5 dan ke-7. Ikterus yang dosertai dengan perubahan-perubahan ini disebut fisiologis dan diduga akibat kenaikkan produksi bilirubin pasca pemecahan sel darah merah janin dikombinasi dengan keterbatasan sementara konjugasi bilirubin oleh hati. Secara keseluruhan 6-7% bayi cukup bulan mempunyai kadar bilirubin indirek lebih besar dari 12.9 mg/dL dan kurang dari 3% mempunyai kadar yang lebih besar dari 15 mg/dL . Faktor risiko untuk mengalami hiperbilirubinemia indirek meliputi diabetes pada ibu, ras (Cina,Jepang,Korea dan Amerika Asli),prematuritas,obat-obatan (vitamin K3,novobiosin),temoat yang tinggi,polisitemia,jenis kelamin laki-laki,trisomi-21,memar kulit,sefalhematom,induksi oksitosin,pemberian ASI,kehilangan berat badan (dehidrasi atau kehabisan kalori),pembentukkan tinja lambat dan ada saudara yang mengalami ikterus fisiologis. Bayi-bayi tanpa variabel ini jarang mempunyai kadar bilirubin indirek diatas 12 mg/dL , sedangkan bayi yang mempunyai banyak risiko lebih mungkin mempunyai kadar bilirubin yang lebih tinggi. Kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan menurun sampai menjadi kadar orang dewasa (1 mg/dL ) pada umur 10-14 hari. Hiperbilirubinemia indirek persisten sesudah 2 minggu memberi kesan

ASI,hipotiroidisme atau obstruksi usus. Ikterus yang disertai dengan stenosis pilorus mungkin karena kehabisan kalori, defisiensi UDP-glukoronil transferasi hati, atau kenaikkan sirkulasi bilirubin enterohepatik akibat ileus. Pada bayi prematur kenaikkan bilirubin serum cenderung sama atau sedikit lebih lambat daripada kenaikkan bilirubin pada bayi cukup bulan tetapi jangka waktunya lebih lama, yang biasanya mengakibatkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai antara hari ke-4 dan ke-7; gambarannya bergantung pada waktu yang diperlukan bayi preterm untuk mencapai mekanisme matur dalam metabolisme dan ekskresi bilirubin. Biasanya kadar puncak 8-12 mg/dL tidak dicapai sebelum hari ke-5 sampai ke-7, dan ikterus jarang diamatai sesudah hari ke-10. (5) 2. Etiologi dan Faktor Risiko a. Etiologi Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena: - Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan lebih pendek. - Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi. - Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim b glukuronidase di usus dan belum ada nutrien. b. Faktor Risiko Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:

Faktor Maternal - Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani) - Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh) - Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik. - ASI

Faktor Perinatal - Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis) - Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

Faktor Neonatus - Prematuritas - Faktor genetic - Polisitemia - Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol) - Rendahnya asupan ASI - Hipoglikemia - Hipoalbuminemia (6)

3. Diagnosis Diagnosis ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan atau preterm dapat ditegakkan hanya dengan mengesampingkan sebab-sebab ikterus yang diketahui berdasarkan riwayat dan tandatanda klinis serta laboratorium. Pada umumnya, penelitian untuk menemukan penyebab ikterus dibuat jika: (1). Ikterus muncul pada usia 24 jam pertama (2). Bilirubin serum naik dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dL / 24 jam (3). Bilirubin serum lebih besar dari 12 mg/dL pada bayi cukup bulan (terutama bila tidak ada faktor risiko) atau 10-14 mg/dL /24 jam pada bayi preterm (4). Ikterus menetap sesudah usia 2 minggu (5). Bilirubin yang bereaksi direk lebih besar dari 1 mg/dL pada setiap saat. Diantara faktor-faktor yang memberi kesan penyebab ikterus non fisiologis adalah adanya riwayat keluarga yang menderita penyakit

hemolitik,pucat,hepatomegli,splenomegali,kegagalan fototerapi untuk menurunkan kadar bilirubin,muntah,lesu,pemberian makan jelek,kehilangan berat badan

berlebihan,apnea,bradikardia,kelainan tanda-tanda vital termasuk hipothermia,tinja berwarna pucat,urin berwarna gelap positif untuk bilirubin dan tanda-tanda kernikterus.(5)

4. Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia Tanpa memandang etiologi, tujuan terapi adalah mencegah kadar bilirubin indirek dalam darah mencapai kadar yang memungkinkan terjadinya neurotoksisitas ;dianjurkan agar fototerapi dan jika tidak berhasil, transfusi tukar dilakukan untuk mempertahankan kadar maksimum bilirubin total dalam serum. Fototerapi Ikterus klinis dan hiperbilirubinemia indirek berkurang pada pajanan cahaya berintensitas-tinggi pada spektrum yang dapat dilihat. Biliubin menyerap cahaya secara maksimal pada kisaran biru (420 sampai 470 nm). Meskipun demikian, cahaya putih berspektrum luas dan biru, biru (super) berspektrum sempit, dan hijau efektif menurunkan kadar bilirubin. Walaupun cahaya biru memberikan panjang gelombang yang tepat untuk fotoaktivasi bilirubin bebas,cahaya hijau dapat memepengaruhi fotoreaksi bilirubin yang terikat albumin. Bilirubin dalam kulit menyerap energi cahaya, yang dengan fotoisomerisasi mengubah bilirubin4Z,-15Z tak terkonjugasi alamiah yang bersifat toksik menjadi isomer konfigurasi terkonjugasi yaitu bilirubin-4Z,-15E yang terakhir ini adalah produk reaksi reversible dan di ekskresi kedalam empedu tanpa perlu konjugasi. Fototerapi juga mengubah bilirubin alamiah, melalui suatu rekasi yang irreversible, pada isomer lumirubin struktural, yang di ekskresi oleh ginjal pada keadaan tak terkonjugasi. Penggunaan fototerapi dengan bola lampu fluoresence telah menurunkan perlunya transfusi tukar pada bayi-bayi BBLR yang tanpa penyakit hemolitik dan pada bayi BBLR dengan hemolisis, juga transfusi tukar ulangan pada bayi-bayi yang menderita penyakit hemolitik.

namun

bila ada indikasi untuk transfusi tukar, fototerapi tidak boleh digunakan sebagai

pengganti. Fototerapi hanya merupakan indikasi sesudah hiperbilirubinemia yang patologis ditegakkan. Penyebab dasar ikterus harus diobati bersama-sama. Fototerapi profilaksis pada bayi BBLSR dapat mencegah hiperbilirubinemia dan mengurangi insiden transfusi tukar. Bayi normal yang mendapat foto terapi selama 1-3 hari mempunyai kadar puncak bilirubin serum sekitar setengah dari bayi yang tidak diobati. Bayi premetur yang tanpa hemolisis berarti biasanya bilirubin serumnya turun 1-3 mg/dL sesudah 12-24 jam menjalani fototrapi konvensional dan kadar puncak yang dicapai dapat diturunkan 3-6 mg/dL. Pengaruh terapeutik bergantung pada energi cahaya yang dipancarkan pada kisaran panjang gelombang yang efektif,jarak anatara cahaya dan bayi dan jumlah kulit yang terpajan seperti juga kecepatan hemolisis dan metabolisme in vivo serta ekskresi bilirubin. Tidak diketahui apakah fototerapi mencegah kernikterus atau meringankan batuk-batuk jejas otak akibat toksisitas biliru-bin. Unit fototerapi yang tersedia di pasaran sangat bervariasi dalam curah spektrum dan intensitas radiasi yang dipancarkan; sehingga dosisnya hanya dapat diukur secara tepat pada permukaan kulit. Kulit berwarna gelap (hitam) tidak mengurangi kemanjuran fototerapi. Transfusi Tukar Munculnya tanda-tanda klinis yang memberi kesan kernikterus merupakan indikasi untuk melakukan tranfusi tukar pada kadar bilirubin serum berapapun. Bayi cukup bulan yang sehat dengan ikterus fisiologis,atau akibat ASI,dapat mentoleransi kadar bilirubin sekitar lebih tinggi dari 25 mg/dL tanpa tampak sakit,sedangkan bayi prematur yang sakit dapat mengalami ikterus pada keadaan kadar bilirubin yang sangat rendah. Kadar yang mendekati perkiraan kritis pada

setiap bayi dapat merupakan indikasi untuk transfusi tukar semasa usia 1 atau 2 hari ketika kenaikkan yang lebih lanjut diantisipasi,tetapi bukan pada hari ke-4 pada bayi cukup bulan atau pada hari ke-7. Pada Bayi prematur,ketika penurunan yang terjadi segera bisa diantisipasi saat mekanisme konjugasi hati menjadi lebih efektif. Fenobarbital Fenobarbital memperbesar konjugasi dan ekskresi bilirubin. Pemberiannya akan membatasi perkembangan ikterus fisiologis pada bayi baru lahir bila diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/dL/24 jam sebelum persalinan atau bayi saat lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam. Meskipun demikian, fenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk mengobati ikterus pada bayi neonatus, (1) karena pengaruhnya pada metabolisme bilirubin biasanya tidak terlihat sebelum mencapai beberapa hari pemberian, (2) karena efektifitas obat ini lebih kecil daripada fototerapi dalam menurunkan kadar bilirubin, dan (3) karena dapat mempunyai pengaruh sedatif yang tidak menguntungkan (4) tidak menambah respon terhadap fototerapi. 5. KOMPLIKASI Komplikasi fototerapi pada bayi meliputi tinja lembek,ruam makular

eritematosa,kepanasan dan dehidrasi (peningkatan kehilangan air yang tidak terasa {insensible water loss},diare), menggigil karena pemajanan dan sindrom bayi perunggu. Fototerapi merupakan kontraindikasi bila ada porfiria. Jejas mata atau oklusi hidung karena pembalut tidak lazim terjadi. Komplikasi lainnya pada transfusi tukar adalah timbulnya emboli udara, trombositopenia, reaksi transfusi, gangguan elektrolit seperti ( hipoglikemia, hiperkalsemia, hipokalemia,asidosis metabolik), sepsis,dll.(5) hipernatremia,

BAB V Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada kasus kelompok kami menyimpulkan bahwa bayi ini mengalami ikterus fisiologis. Namun, pada pasien ini perlu pemeriksaan penunjang untuk mengetahui kadar bilirubin guna memberikan tatalaksana yang tepat pada pasien ini.

Daftar Pustaka

1. Lidya

N.

Neonatus

Beresiko

Tinggi.

Available

at

www.docstoc.com/docs/80489494/neonatus-oke . Accessed at : November 16th 2011. 2. Alatas H, Hassan R. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI; 1991. P.520. 3. Purwadianto A, Sampurna B. Kegawatdaruratan Bayi Baru Lahir. Kegawatdaruratan Medik. Jakarta : Binarupa Aksara ; 2000. P. 228-233. 4. Mardiani T H. Metabolisme Heme. Available at :

http://library.usu.ac.id/download/fk/biokimia-helvi2.pdf. Accessed at : 16th 2011.

November

5. Behrman RE, Vaughan VC. Ilmu Kesehatan Anak. 16th ed. Jakarta : EGC; 2006. 6. Tjipta G D. Kuning pada Bayi Baru Lahir: Kapan Harus ke Dokter?. Available at : usupress.usu.ac.id/.../Ragam%20Pediatrik%20Praktis_Final_BAB%20.pdf. Accessed at : November 16th 2011.

Anda mungkin juga menyukai