E09fab PDF
E09fab PDF
FIKI ABUBAKAR
PT INCO has made a borrow and use agreement with the government to
do mining activity in forest area. This mining activity has caused severe damage
to the forest and the land. With full awareness and to fulfill obligation in borrow
and use agreement, PT INCO has done rehabilitation to severely damage forest
and lands due to its mining activity. An evaluation is needed to measure the
succession rate of rehabilitation effort that has been done by PT INCO. This
evaluation put an emphasis on vegetational and biological aspect, enabling to
see how far the revegetation activity able to fulfill restoration purpose as mention
in Permenhut Nomor 146/Kpts-II/1999 and to restore functions of a forest.
Object of this research is forest stand resulted from revegetation planted
in 1999-2007, 1985 and 1996. Some of the equipments been used in this activity
are brunton compass, measuring band, Sunto clinometer, spherical densiometer,
plastic rope. Vegetational analysis done by using 17,8 m diameter circle plot. For
each planting year make 2-3 plots with range 50 - 100 meter between each plot,
for some cases such as limited land one plot is sufficient enough. In it
observation made to plant growth factor such as plant height, plant diameter, root
development and crown covering. Another parameter that also observed are local
species existances and wildlife presence.
Growth percentage in revegetation area range from 95% to 100%. Plant
composition are pioneer species as Sengon (Paraserianthes falcataria),
Eukaliptus (Eucalytus eurograndis), Sengon Buto (Enterolobium
macrocarpum)and local species as Trema (Melochia umbellata), Sandro
(Sandoricum kacappeae) dan Uru (Elmerelia sp). This mean it is suitable with
goverment rule. Root development, growth, litter decomposition, erotion and
crown covering has shown improvement according to succession concept. Same
thing happen to wildlife, introduction has happened to revegetation lands.
Revegetation at PT INCO in some aspects has fulfill goverment´s criteria and
indicator but this revegetation has not reform original forest structure and function
as protected forest.
Fiki Abubakar
E14201072
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Gusti Yang Widi, untuk beragam anugerah yang sering
datang dengan cara yang tak terduga. Termasuk penyelesaian karya ilmiah ini.
Rangkaian kegiatan dalam revegetasi lahan bekas tambang, dimulai dari
persiapan lahan, penanaman hingga pemantauan merupakan sebuah upaya
memperbaiki kesetimbangan alam juga refleksi dalam berbagi sifat Allah yang
telah dititipkan pada seluruh makhluk-Nya. Al-Hayy. Yang Maha Hidup.
Dalam pada itu, penulis memilih judul “Evaluasi Tingkat Keberhasilan Revegetasi
Lahan Bekas Tambang Nikel di PT. INCO Tbk. Sorowako, Sulawesi Selatan”
dibawah bimbingan Dr.Ir. Yadi Setiadi M.Sc.
Untuk pihak-pihak yang telah berpartisipasi dalam terhadirnya karya ilmiah ini di
tangan anda, saya ucapkan permohonan maaf, terima kasih serta salam hangat.
RIWAYAT HIDUP
Latar Belakang
Pertambangan merupakan salah satu sektor yang dapat menghasilkan
devisa besar bagi negara. Tercatat bahwa pada tahun 2007, penerimaan negara
perpajakan umum dari sektor pertambangan mencapai Rp 24.000 miliar
(www.esdm.go.id). Tetapi selain devisa, industri pertambangan (terutama dengan
metode pertambangan terbuka) telah menghasilkan dampak ikutan berupa
kerusakan lingkungan yang sangat parah terutama pada hutan hujan tropika
yang merupakan dominasi lapisan penutup dari permukaan bentang lahan yang
ditambang.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : 146/Kpts-II/1999 mengenai
Pedoman Reklamasi Bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan menyebutkan
bahwa setiap perusahaan pertambangan dan energi memiliki kewajiban untuk
melaksanakan reklamasi lahan bekas tambang atas kawasan hutan yang
dipinjam-pakai. Hal itu bertujuan untuk memulihkan kondisi kawasan hutan yang
rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi sehingga
kawasan hutan yang dimaksud dapat berfungsi kembali sesuai dengan
peruntukannya.
PT International Nickel Indonesia Tbk. (PT INCO) adalah perusahaan
multinasional yang bergerak di bidang pertambangan nikel yang berlokasi di
Sorowako, Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Utara, Propinsi Sulawesi Selatan.
PT INCO melakukan produksi komersial pertama pada tahun 1978 dan program
rehabilitasi purna tambang mulai dilakukan enam tahun sesudahnya.
PT INCO telah melakukan perjanjian pinjam pakai atas kawasan hutan
dengan pemerintah untuk kegiatan penambangan. Kegiatan penambangan yang
dilakukan oleh PT INCO telah menimbulkan kerusakan hutan dan lahan yang
parah. Tetapi dengan penuh kesadaran disertai kewajiban untuk memenuhi
perjanjian pinjam pakai dengan pemerintah, PT INCO telah melakukan
rehabilitasi hutan pada daerah-daerah yang terkena dampak penambangan.
Pada periode awal, kegiatan revegetasi dilakukan tanpa memperhatikan
karekteristik dan manajemen lahan yang benar, tingkat adaptibilitas jenis
tanaman, dan metode penanaman yang tepat. Hal ini disebabkan kurangnya
pengetahuan para perencana dan pelaksana kegiatan revegetasi dalam hal
keilmuan ekologi restorasi. Sedangkan sejak tahun 1991 penerapan teknik
silvikultur yang tepat telah digunakan untuk merehabilitasi lahan bekas tambang
yang ada (Sirait 1997).
Untuk mengetahui status keberhasilan dari rehabilitasi yang dilakukan
oleh PT INCO, diperlukan sebuah penilaian. Penilaian ini menitikberatkan pada
aspek vegetasi dan biologis agar dapat diketahui sejauh mana kegiatan
revegetasi dapat memenuhi tujuan perbaikan sebagaimana tercantum dalam
Permenhut Nomor 146/Kpts-II/1999 dan dapat kembali memenuhi fungsi-fungsi
dari sebuah kawasan hutan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menilai tingkat keberhasilan dari revegetasi yang dilakukan oleh PT INCO di
lahan-lahan bekas pertambangan nikel.
2. Mempelajari proses revegetasi yang tengah berlangsung di areal bekas
tambang PT INCO.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan :
1. Dapat digunakan oleh pihak pengelola program revegetasi perusahaan
sebagai bahan evaluasi terhadap kegiatan revegetasi yang telah dilakukan.
2. Dapat menjadi acuan untuk memperbaiki program revegetasi yang masih
kurang memenuhi kriteria yang berlaku menurut Pedoman Reklamasi
Tambang Ditjen RLPS (1997) dan Setiadi (2006).
TINJAUAN PUSTAKA
Reklamasi
Reklamasi bekas tambang yang selanjutnya disebut reklamasi adalah
usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam
kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan
energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.
(Permenhut Nomor: 146-Kpts-II-1999). Rehabilitasi hutan dan lahan adalah
kegiatan yang dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan
meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas, dan
peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
(Anonim, 2004)
Parotta (1993) dalam Setiawan (2003) menyatakan bahwa tujuan
rehabilitasi ekosistem hutan yang mengalami degradasi ialah menyediakan,
mempercepat berlangsungnya proses suksesi alami. Selain itu juga untuk
menambah produktivitas biologis, mengurangi laju erosi tanah, menambah
kesuburan tanah dan menambah kontrol biotik terhadap aliran biogeokimia
dalam ekosistem yang ditutupi tanaman.
Kata reklamasi berasal dari kata to reclaim yang bermakna to bring back
to proper state, sedangkan arti umum reklamasi adalah the making of land fit for
cultivation. Membuat keadaan lahan menjadi lebih baik untuk dibudidayakan,
atau membuat sesuatu yang sudah bagus menjadi lebih bagus, sama sekali tidak
mengandung implikasi pemulihan ke kondisi asal tapi yang lebih diutamakan
adalah fungsi dan asas kemanfaatan lahan. Arti demikian juga dapat
diterjemahkan sebagai kegiatan-kegiatan yang bertujuan mengubah peruntukan
sebuah lahan atau mengubah kondisi sebuah lahan agar sesuai dengan
keinginan manusia (Young dan Chan, 1997 dalam Nusantara et al. 2004 ).
Kegiatan reklamasi meliputi dua tahapan, yaitu:
a. Pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang sudah
terganggu ekologinya.
b. Mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya
untuk pemanfaatan selanjutnya.
Sasaran akhir dari reklamasi adalah terciptanya lahan bekas tambang yang
kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan
kembali sesuai dengan peruntukkannya.
Revegetasi
Revegetasi adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas
tambang (Ditjen RLPS). Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi
dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain
restorasi (memiliki aksentuasi pada fungsi proteksi dan konservasi serta
bertujuan untuk kembali ke kondisi awal), reforestasi dan agroforestri. Lebih
lanjut lagi dinyatakan bahwa aktivitas dalam kegiatan revegetasi meliputi
beberapa hal yaitu (i) seleksi dari tanaman lokal yang potensial, (ii) produksi bibit,
(iii) penyiapan lahan, (iv) amandemen tanah, (v) teknik penanaman, (vi)
pemeliharaan, dan (vii) program monitoring,
Revegetasi yang sukses tergantung pada pemilihan vegetasi yang
adaptif, tumbuh sesuai dengan karakteristik tanah, iklim dan kegiatan pasca
penambangan. Vegetasi yang cocok untuk tanah berbatu termasuk klasifikasi
herba, pohon dan rumput yang cepat tumbuh, sehingga dapat mengendalikan
erosi tanah. Tumbuhan yang bersimbiosis dengan mikroorganisme tanah yang
mampu memfiksasi nitrogen adalah salah satu vegetasi revegetasi lahan pasca
tambang, seperti tanaman yang termasuk dalam famili Leguminoceaea (Vogel,
1987 dalam Setiawan, 2003).
Pada lahan bekas tambang, revegetasi merupakan sebuah usaha yang
kompleks yang meliputi banyak aspek, tetapi juga memiliki banyak keuntungan.
Beberapa keuntungan yang didapat dari revegetasi antara lain, menjaga lahan
terkena erosi dan aliran permukaan yang deras; membangun habitat bagi
satwaliar; membangun keanekaragaman jenis-jenis lokal; memperbaiki
produktivitas dan kestabilan tanah; memperbaiki kondisi lingkungan secara
biologis dan estetika; dan menyediakan tempat perlindungan bagi jenis-jenis
lokal dan plasma nutfah (Setiadi, 2006).
Kondisi Fisik
Luas dan Letak
Lokasi penambangan PT INCO terletak di daerah Sorowako, Kecamatan
Nuha, Kabupaten Luwu Utara, Propinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis,
lokasi konsesi awal PT INCO terletak pada posisi 120045' – 123030' BT (Sua-Sua
s/d Torokulu) dan 6030' - 5030' LS (Kolonedale s/d Malapulu). Sorowoako
merupakan daerah pertambangan nikel di sebelah utara Teluk Bone, tepatnya 60
km dari pantai Malili.
Secara umum, wilayah kontrak karya PT INCO dibagi dalam tiga kategori
yang meliputi lokasi :
1. Soroako Project Area (SPA), dengan luas daerah sekitar 10.010,22 ha.
2. Soroako Outer Area (SOA), dengan luas daerah sekitar 108.377,25 ha,
meliputi daerah Lingke, Lengkobale, Lasobonti, Lambatu, Tanamalia,
Lingkona, Lampenisu, Lampesue, Petea, Topemanu, Tanah Merah, Nuha,
Matano, Larona, dan Malili.
3. Sulawesi Coastal Deposite (SCD), dengan luas daerah sekitar 100.141,54
ha, meliputi daerah Bahodopi, Kolonedale (Sulawesi Tengah) dan daerah
Latao, Sua-Sua, Pao-Pao, Pomalaa, Malapulu, Torobulu, Lasolo serta
Matarape (Sultra).
Daerah Soroako Project Area (SPA) yang terdiri dari daerah Blok Timur
(East Block) dan Blok Barat (West Block), lokasinya dipisahkan oleh pabrik (Plant
Site) dan secara umum berbatasan dengan :
1. Bagian Utara dengan Desa Nuha dan Danau Matano
2. Bagian Timur dengan Danau Mahalona
3. Bagian Selatan dengan Desa Wawondula Kecamatan Towuti
4. Bagian Barat dengan Desa Wasuponda Kecamatan Nuha
Iklim
Menurut klasifikasi Schmidt & Ferguson daerah Sorowako termasuk tipe
iklim A dengan curah hujan yang cukup tinggi 3000 mm/tahun. Curah hujan
berlangsung sepanjang tahun dan curah hujan tertinggi yang tercatat yaitu pada
bulan Nopember sampai Maret. Suhu udara berkisar antara 25 - 260 C dengan
kelembaban rata-rata 80%.
Topografi dan Tanah
Daerah penambangan nikel Sorowako dibagi menjadi dua bagian yaitu
blok Barat dan blok Timur. Pembagian blok didasarkan pada kondisi geologi
daerah tersebut, dimana blok Barat mengandung lebih banyak batuan keras
yang berbanding lurus dengan kandungan nikel, sedangkan blok timur memiliki
lapisan tanah yang lebih sedikit mengandung batuan keras dengan kadar nikel
yang lebih rendah.
Rata-rata kemiringan di Sorowako yaitu 9 sampai 30% dengan ketinggian
rata-rata 600 m dpl. Perbukitan di blok Barat memiliki kemiringan 400 (83.9%)
dan blok Timur memiliki kemiringan rata-rata 250 (46%).
Daerah Sorowako didominasi oleh tanah laterit. Menurut Hardjowigeno
(1987), tanah laterit (Oksisol) adalah tanah dengan pelapukan lanjut dan
mempunyai horison oksik, yaitu horison dengan kandungan mineral rendah
(kurang dari 16 me/100 gr lempung). Banyak mengandung oksida-oksida besi
atau oksida Al. Tanah ini tidak mempunyai horison yang jelas.
Tanah laterit memiliki erodibilitas yang tinggi (peka terhadap erosi).
Berdasarkan sifat fisiknya tekstur tanah lateritik yaitu liat, liat berpasir dan liat
berdebu serta berstruktur lempeng. Ruang pori mikro dan makro porositas
tanahnya seimbang dengan drainase yang agak buruk sampai buruk. Bulk
density bersifat padat mencapai nilai 1,25 – 1,30 gr/cc, dengan permeabilitas
tanah yang rendah sampai sangat rendah (0,125 – 2,0). Apabila ditinjau dari sifat
kimia tanah, pH tanah lateritik berkisar antara 4,5 – 5,6 (sangat masam sampai
masam). Kandungan persentase C-organiknya rendah yaitu kurang dari 0,1
sampai 0,2. Hal tersebut serupa dengan nilai dari nisbah C/N yang besarnya
sangat rendah sampai rendah (kurang dari 5 sampai 10). Begitupun dengan
kandungan fosfor dalam bentuk P2O5 yang nilainya sangat rendah yaitu (0,5 -1,8
ppm). Sedangkan persentase Fe dan Al berskala tinggi yaitu (31-60), dengan
kandungan Kalium (K) rendah sampai sedang (0,1 – 0,3 me/100 gr tanah).
Kandungan Magnesium (Mg) berskala tinggi sampai sangat tinggi ( lebih dari 8
me/100 gr tanah). Untuk kandungan Kalsium (Ca), skalanya sangat rendah
sampai rendah (kurang dari 4 – 5 me/100 gr tanah). Kapasitas tukar kation (KTK)
berskala rendah (5 -16 me/100 gr tanah) dengan kejenuha basanya sangat tinggi
(lebih dari 70 me/100 gr tanah) (Mohr dan Van Baren, 1954).
Kondisi Biologis
Vegetasi
Kawasan hutan yang dipinjam pakai merupakan hutan hujan tropis
dataran rendah yang secara umum sama dengan formasi hutan hujan dataran
rendah di Indonesia. Beberapa jenis lokal yang tercatat antara lain; Belulang,
Cina-Cina, Cemara (Casuarina equisetifolia), Damar (Podocarpus spp), Nosu
(Ficus ribes Reinw. Ex Blume), Lodah (Ficus sp), dan Panopi (Eugenia sp).
Sejarah PT INCO
PT International Nickel Indonesia (PT INCO) menandatangani Kontrak
Karya dengan pemerintah Republik Indonesia pada bulan Juli 1968 setelah
sebelumnya dilakukan survei geologis besar-besaran yang memberikan data
bahwa terdapat cadangan nikel dalam jumlah besar di Sulawesi. Kontrak karya
tersebut berdasarkan UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing,
dan ditetapkan berlaku selama 30 tahun (terhitung sejak produksi komersial
1978).
Hasil penelitian sumber endapan bijih nikel dalam daerah konsesi PT
INCO, tahun 1968 – 1973, seluas 6,6 juta ha menggunakan foto udara,
pengambilan contoh dari test pit maupun trenching serta dari hasil penelitian
laboratorium di Kanada. Disimpulkan bahwa pengembangan pabrik di Sorowako
sangat layak. Sebagian besar daerah konsesi dikembalikan kepada pemerintah
RI secara bertahap, dan saat ini hanya mempertahankan hak konsesi seluas
218.000 ha (setelah penyusutan ke-9).
Sesuai dengan kontrak karya dengan Pemerintah RI dan Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 146/Kpts-II/1999, dengan penuh
kesadaran PT INCO melakukan kegiatan rehabilitasi pada lahan bekas tambang
yang dimulai pada tahun 1984. Pada periode tahun 1984 – 1990 kegiatan
revegetasi dilakukan tanpa memperhatikan karekteristik dan manajemen lahan
yang benar, tingkat adaptibilitas jenis tanaman, metode penanaman yang tepat,
dan sebagainya. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan para perencana
dan pelaksana kegiatan revegetasi dalam hal ilmu pembinaan hutan. Sejak tahun
1991 penerapan teknik silvikultur yang tepat telah digunakan untuk merehabilitasi
lahan bekas tambang yang ada.
METODE PENELITIAN
Tahap Persiapan
Setelah dilakukan sigi pada lokasi objek penelitian, maka dipersiapkan
plot untuk melakukan analisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan dengan
menggunakan petak berbentuk lingkaran seluas 0,1 Ha dengan jari-jari
sepanjang 17.8 m.
Penentuan plot dilakukan secara acak, tetapi dengan mempertimbangkan
faktor-faktor seperti aksesibilitas terhadap lokasi plot contoh, penyebaran plot
contoh, ketersediaan plot dengan umur tanam tertentu yang semuanya dapat
terlihat pada peta revegetasi. Sebelumnya dilakukan pengecekan kondisi plot
contoh, karena sering terjadi perbedaan antara kondisi aktual dengan kondisi
yang tertera pada peta revegetasi.
Jumlah plot yang dibuat untuk tiap tahun tanam adalah 2 sampai 3 buah
plot per tahun tanam dengan jarak antar plot 50-100 meter, tetapi terdapat juga
yang hanya satu plot contoh yang diambil karena keterbatasan lahan. Pada plot
itu akan dilakukan pengamatan pertumbuhan tanaman terhadap seluruh
tanaman yang berada pada plot contoh, meliputi tinggi tanaman, diameter
tanaman, perkembangan akar dan penutupan tajuk. Untuk parameter
keberadaan jenis-jenis lokal serta keberadaan satwaliar juga dilakukan pada plot
ini. Plot contoh dibuat pada areal revegetasi dengan tahun tanam yang berbeda-
beda yaitu :
Tabel 2 Lokasi Pembuatan Plot Contoh
Pengambilan data.
1. Parameter Pertumbuhan
1.1. Tinggi dan Diameter Tanaman
Pengukuran tingi tanaman dilakukan dengan menggunakan alat ukur
tinggi Sunto Clinometer. Dilakukan pembidikan dengan jarak tertentu pada
pangkal dan ujung pohon sesuai dengan kemampuan alat. Hasil yang didapat
dari alat berbentuk satuan persen (%), oleh karena itu harus dilakukan konversi
agar didapat hasil berbentuk satuan meter (m).
Pengukuran keliling dilakukan pada bagian tanaman setinggi dada atau
1,3 m dari permukaan tanah untuk tanaman yang memiliki tingi ≥ 4 m.
Sedangkan untuk tanaman yang dibawahnya dilakukan pengukuran pada
ketinggian 30 cm dari pangkal batang.
3. Keanekaragaman hayati.
3.1. Vegetasi
Pengukuran untuk keanekaragaman hayati dilakukan dengan
analisis vegetasi menggunakan petak lingkaran seluas 0,1 Ha dengan
diameter 17,8 m. Pengukuran dilakukan pada setiap tanaman yang ada,
baik yang merupakan hasil penanaman ataupun hasil rekolonisasi. Untuk
pengenalan jenis, dilakukan dengan melibatkan pengenal jenis.
Parameter yang diukur untuk vegetasi adalah tinggi dan diameter.
Untuk jenis-jenis rekolonisasi hanya dicatat keberadaannya saja dan
dilakukan pengenalan jenis secara langsung oleh pengenal jenis maupun
dengan bantuan dokumentasi.
3.1. Fauna
Pengamatan keberadaan satwa liar dilakukan pada setiap plot
contoh, dengan metode audio dan visual, selain itu dilakukan juga
wawancara pada pihak pekerja yang pernah mendatangi tempat itu.
Pencatatan dilakukan berdasarkan parameter keberadaannya, dan hanya
diidentifikasi sampai tingkatan takson kelas. Jika dimungkinkan tertangkap
jelas oleh kamera, maka dapat dilakukan identifikasi sampai tingkat jenis.
Analisis Data
1. Analisis Vegetasi
Setelah pengambilan data selesai dilakukan, dilakukan rekapitulasi
data dan hasilnya dihitung dengan menggunakan parameter kerapatan.
Kerapatan ini dibedakan menjadi dua yaitu untuk tumbuhan dengan diameter
0-10 cm dan tumbuhan dengan diameter diatas 10 cm. Berikut rumus
kerapatan (Soerianegara dan Indrawan, 1987) :
Jumlah individu
KERAPATAN =
Luas areal
2. Parameter Pertumbuhan
Analisis data dilakukan dengan membandingkan secara deskriptif
tingkat pertumbuhan sesuai dengan kondisi lahan objek pengamatan yaitu
lahan hasil revegetasi dari tahun 1985, 1996, 1999 sampai dengan 2007.
Pengamatan pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman, diameter
tanaman, perkembangan akar dan pembukaan tajuk.
Hasil
Tabel 9 Data tumbuhan penutup tanah serta persentase penutupan tanah pada tiap
plot pengamatan.
Persentase
Tahun
No Nama Plot Tumbuhan penutup tanah Penutupan
Tanam
Tanah (%)
1 Butoh 1985 - 5
2 Ponsesa 1996 Brachiaria decumbens 45
3 Ponsesa 1999 Brachiaria decumbens 90
4 Koro South 2000 Brachiaria decumbens 80
5 Watulabu 2001 Brachiaria decumbens 50
6 Debbie 2002 Brachiaria decumbens 40
7 Hasan 2003 Brachiaria decumbens 100
8 Rante 2003 Brachiaria decumbens 100
9 Koro 2004 Brachiaria decumbens 100
10 Triple A 2004 Brachiaria decumbens 100
11 Olivia 2005 Wynn cassia, burgundi, bermuda, centro, wf millet 70
12 Petea 2006 Wynn cassia, burgundi, bermuda, centro, wf millet 60
13 Koro North 2007 Wynn cassia, burgundi, bermuda, centro, wf millet 40
Pembahasan
Persentase Pertumbuhan
Jika dibandingkan dengan penelitian Sirait pada tahun 1997 di beberapa
areal revegetasi PT INCO, terlihat bahwa persentase pertumbuhan memiliki
peningkatan: pada tahun 1997 persentase pertumbuhan tertinggi hanya
mencapai 93%. Hal itu dapat menjadi takaran bahwa terdapat pembenahan yang
baik pada faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat persentase pertumbuhan
yang terutama disebabkan faktor ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan persen tumbuh di atas 80%, sesuai dengan Pedoman Reklamasi
Lahan Tambang dari Ditjen RLPS, kegiatan revegetasi telah dinilai berhasil.
Dengan kata lain, daya adaptasi tanaman serta kualitas tempat tumbuh juga
penerapan teknologi sudah baik.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat persen tumbuh ini
antara lain dimulai dari kondisi bibit, pengangkutan bibit, cara penanaman dan
pemupukan. Selain itu, kondisi tanah laterit dapat mempengaruhi persen tumbuh.
Seperti diketahui, bahwa karakteristik tanah laterit adalah memiliki kesuburan
yang rendah dengan KTK rendah dan memiliki kandungan oksida Fe dan Al
tinggi (Hadjowigeno, 1987).
Beberapa tanaman yang mencapai persen tumbuh 100% pada tahun
ketiga merupakan tanaman pionir lokal yaitu Sandro (Sandoricum kacappeae)
dan Uru (Elmerelia sp). Hal itu menandakan bahwa karakteristik lahan sudah
cukup baik bagi tumbuhnya jenis-jenis lokal. Dan juga sudah sejalan dengan
peraturan pemerintah yang mengharuskan penanaman jenis lokal di areal bekas
tambang.
Perkembangan Tanaman
Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa diameter dan tinggi dari tanaman-
tanaman yang ditanam pada areal revegetasi menunjukkan perkembangan.
Dengan kata lain dalam 10 pekan pertama, tanaman telah dapat tumbuh dan
berkembang dengan grafik yang terus menaik. Diharapkan dengan kondisi
seperti itu, maka pertumbuhan pada masa ke depannya akan terus meningkat
dan dapat bertahan dari kematian. Peningkatan tertinggi pada diameter juga
tinggi justru dicapai oleh jenis lokal yaitu Trema (Melochia umbellata).
Peningkatan tinggi yang baik juga sangat menunjang penutupan lahan yang
semakin baik.
Beberapa hal yang dapat menjadi faktor meningkatnya pertumbuhan,
antara lain persiapan lahan yang baik serta kondisi bibit yang memiliki daya
tahan yang baik juga perakaran yang menunjang.
Serasah
Pada tiap areal pengamatan, sudah terdapat akumulasi serasah,
walaupun dalam jumlah dan kondisi yang beragam. Areal yang memiliki
akumulasi serasah paling minim yaitu Rante (tahun tanam 2003) juga Koro dan
Triple A dengan tahun tanam sama yaitu 2004. Pada areal tersebut, ketebalan
serasah masih kurang dari 5 cm dengan jumlah yang sedikit, dan hanya terdiri
dari dedaunan saja dengan kondisi belum terdapat dekomposisi. Kondisi seperti
ini dapat dipengaruhi oleh keadaan lahan pada areal di atas yang memiliki
penutupan oleh tumbuhan penutup tanah yang berupa Signal Grass (Brachiaria
decumbens) sebesar 100%.
Serasah yang telah terdekomposisi, terdapat pada areal Butoh (tahun
tanam 1985), Ponsesa (tahun tanam 1996 dan 1999) serta Debbie (tahun tanam
2002). Serasah yang sudah terdekomposisi berupa daun, sedangkan jenis
lainnya seperti ranting belum terdapat dekomposisi. (Gambar 5 dan 6).
Dekomposisi berkaitan erat dengan rekolonisasi. Hal itu dapat dilihat bahwa
rekolonisasi berupa anakan dari tumbuhan pionir hanya terdapat di tempat yang
sudah terdapat dekomposisi serasah (Butoh dan Debbie). Itu menunjukkan
bahwa kondisi kedua tempat sudah cukup baik bagi tumbuhnya anakan alami
dan adanya dekomposisi serasah dapat menjadi pertanda adanya
keberlangsungan siklus unsur hara.
Gambar 5 Akumulasi serasah di Debbie.
Rekolonisasi
Pada setiap areal yang diamati, rekolonisasi sudah terjadi dalam skala
kecil. Pada umumnya, rekolonisasi yang terjadi didominasi oleh liana tak berkayu
dari jenis Mikania micrantha. Jenis ini sangatlah mudah untuk tumbuh dan
merambat melalui mekanisme fototaksis. Penyebarannya pun relatif cepat,
karena biji dari Mikania micrantha ini sangat kecil dan mudah untuk terbawa
angin (ISSG, 2005). Dengan kondisi seperti itu, maka tidak mengherankan jika
jenis ini sangat mudah ditemukan di seluruh areal revegetasi kecuali di Daerah
Butoh (tahun tanam 1985) dan Koro serta Petea dengan tahun tanam masing-
masing 2007 dan 2006.
Tumbuhnya jenis Mikania micrantha ini diduga berasal dari kompos yang
digunakan pada saat persiapan lahan dan penanaman. Akan tetapi, seiring
berjalannya waktu, penyebaran jenis ini yang sangat cepat dan invasif,
menjadikan jenis ini memiliki dampak negatif terhadap program revegetasi yaitu
dengan cara menjadi gulma dan dapat menghambat pertumbuhan tanaman
pokok (Gambar 7).
Dalam pada itu perlu dilakukan pemeliharaan pada areal yang terganggu
oleh jenis Mikania micrantha. Pemeliharaan yang dilakukan adalah pembebasan
tanaman pokok dari jenis Mikania micrantha baik dengan cara mekanis yaitu
mencabuti untuk areal yang tidak terlalu banyak terserang ataupun cara non-
mekanis seperti penyemprotan herbisida untuk areal yang terkena dampak
serangan parah seperti di Debbie dengan tahun tanam 2002. Pembebasan
tanaman pokok dari gulma mutlak diperlukan untuk memberikan ruang tumbuh
yang optimal. Selain itu, kesehatan tanaman juga menjadi salah satu kriteria
yang ditetapkan oleh Ditjen RLPS untuk keberhasilan revegetasi lahan bekas
tambang.
Anakan pionir hanya dapat ditemukan di areal Butoh (tahun tanam 1985)
dan Debbie (tahun tanam 2002) (Gambar 8). Pada dua wilayah ini dapat
ditemukan kesamaan pada variabel lain pengamatan yaitu keduanya memiliki
persentase penutupan tajuk oleh kanopi paling tinggi (Butoh : 65,93% dan
Debbie : 56,94%); memiliki persentase penutupan lahan oleh tumbuhan penutup
tanah paling rendah (Butoh : 5% dan Debbie : 40%); serta kondisi serasah di
kedua tempat sudah menunjukan adanya dekomposisi.
Gambar 8 Anakan hasil rekolonisasi di Debbie.
Jenis epifit serta lumut terdapat di Ponsesa dengan tahun tanam 1999
(Gambar 9 dan 10). Terdapatnya jenis lumut merupakan salah satu keadaan
yang baik, karena karakteristik lumut yang dapat mengeluarkan eksudat berupa
organic acid dapat membantu terjadinya pelapukan pada bagian-bagian tanah
yang keras (Setiadi 2006).
Jenis-jenis herba seperti kelakai dapat ditemukan di Ponsesa dengan
tahun tanam 1996 (Gambar 11). Jenis jamur dapat ditemukan di bukit Triple A
dengan tahun tanam 2003 (Gambar 12).
Satwa Liar
Gambar 21 Kondisi penutupan tajuk Gambar 22 Kondisi penutupan tajuk
di Olivia di Butoh
Keberadaan satwa liar merupakan salah satu indikator yang penting
dalam keberhasilan rehabilitasi. Dengan adanya satwa liar setidaknya
mencerminkan dua hal: keadaan lahan yang mulai mendukung sebagai habitat
bagi satwa liar sebagai site visit, mencari makan juga bersarang yang
menadakan bahwa telah terbentuk sebuah ekosistem; juga indikasi adanya
vektor pembawa biji dari hutan alam sebagai awal dari tahapan rekolonisasi.
Selain hal itu, mekanisme ekologis makan dan dimakan (rantai makanan)
memungkinkan satwa menjadi pemain penting dalam hal pengendalian hama
dan penyakit hutan.
Masuknya satwa liar telah terjadi pada lahan dengan tahun tanam 2007
(kurang dari 1 tahun) walaupun tidak untuk melakukan kegiatan reproduksi dan
bersarang, tetapi hanya sebagai tempat singgah saja. Sedangkan pada tahun
tanam 2004 yaitu di Hasan, ditemukan sarang burung pipit pada plot
pengamatan (Gambar 23). Hal itu menunjukan bahwa kondisi di tegakan itu
sudah kondusif untuk habitat beberapa jenis satwa.
Beberapa satwa yang ditemukan secara langsung antara lain dari jenis
herpetofauna seperti kadal; jenis-jenis burung seperti elang, alap-alap, kutilang
dan jenis lain yang belum teridentifikasi; juga jenis unggas yaitu ayam hutan.
Menurut keterangan, banyak ditemukan juga tikus hutan dan ular.
Keberadaan elang yang sempat terdeteksi hinggap di daerah
Watulabudengan tahun tanam 2001 merupakan hal yang sangat baik. Dengan
perannya dalam piramida ekologi sebagai top predator, maka dapat disimpulkan
bahwa beberapa satwa yang menjadi makanannya (terutama dari tingkatan
konsumen tingkat 2) pun berada disana.
Keragaman dari satwa pun akan memunculkan keragaman dari jenis
vegetasi. Hal itu dapat dimungkinkan karena beberapa satwa hanya dapat hidup
bila terdapat jenis-jenis tertentu saja dan begitupun sebaliknya, jenis-jenis
tumbuhan tertentu hanya dapat disebarkan melalui jenis satwa yang tertentu.
Gambar 23 Sarang burung di Hasan
Komposisi Tanaman
Dari tabel dapat dilihat bahwa areal yang memiliki kerapatan tertinggi
yaitu Butoh (tahun tanam 1985) dengan 1430 individu per hektar. Nilai itu
berbeda jauh sekali dengan Koro (tahun tanam 2004) yang memiliki nilai
terendah yaitu 350 individu per hektar.
Hal yang patut diperhatikan adalah meskipun Butoh memiliki kerapatan
individu tertinggi, tetapi komposisinya didominasi oleh tumbuhan dengan
diameter kurang dari 10 cm (1370 indivdu per hektar), sedangkan tumbuhan
dengan diameter lebih dari 10 cm hanya 60 individu per hektar yang merupakan
nilai terendah dari semua areal untuk strata tumbuhan berdiameter lebih dari 10
cm. Hal itu dapat terjadi karena meskipun areal Butoh telah ditanami sejak 1985
dan mengalami beberapa pemeliharan, tetapi pada awal penanaman dilakukan
tanpa memperhatikan karakteristik dan manajemen lahan, tingkat adaptabilitas
jenis tanaman, metode penanaman dan sebagainya.
Dapat terlihat juga bahwa setiap lahan memiliki komposisi tumbuhan
berdiameter kurang dari 10 cm lebih banyak daripada tumbuhan berdiameter
lebih dari 10 cm. Hanya pada tegakan di atas tahun 2000 saja yang memiliki
kondisi yang bernegasi. Hal itu dapat disebabkan karena tumbuhan berdiameter
kurang dari 10 cm didominasi oleh tumbuhan sisipan baru yang merupakan hasil
dari penanaman jenis-jenis lokal, sedangkan pada tegakan-tegakan tua, terlihat
belum dilakukan penanaman jenis-jenis lokal.
Mulai dari beberapa tahun ke belakang, jenis tanaman yang ditanam
pada lahan revegetasi menggunakan prinsip polikultur (beragam jenis) dalam
satu lahan. (Lihat lampiran 4) Hal itu dilakukan untuk mencegah serangan hama
penyakit yang menyerang jenis tertentu saja. Prinsip monokultur terbukti jika
diserang oleh hama dan penyakit, maka hasilnya akan tampak seperti kurang
lebih pada bukit Hasan dengan tahun tanam 2000: kerapatan per hektarnya pada
tahun 2007 tidak melebihi dari 300 individu per hektar.
Selain untuk menghindari serangan hama dan penyakit, prinsip polikultur
juga bermanfaat untuk menekan kompetisi nutrisi juga eksploitasi nutrisi berlebih
oleh satu jenis tertentu. Penyediaan habitat yang berbeda untuk pelbagai jenis
bianatang serta ketersediaan keanekaragaman penutupan lahan merupakan
manfaat lain dari polikultur. Paling terpenting, polikultur yang dilakukan telah
melibatkan jenis-jenis lokal (lihat lampiran 3) yang merupakan salah satu
indikator keberhasilan dalam melakukan reklamasi lahan bekas tambang
(Pedoman Reklamasi Lahan Tambang-Ditjen RLPS, 1997).
Analisis Tanah
Lampiran 5 menunjukkan hasil sementara analisis yanah yang dilakukan
pada areal pengamatan. Dapat terlihat bahwa secara umum bahwa tanah pada
areal revegetasi memiliki tekstur tanah yang sedang yaitu lempung dan lempung
berdebu. Hanya pada daerah Watulabu (tahun tanam 2001) saja yang memiliki
kelas tekstur lempung liat berdebu dengan tekstur yang agak halus. Jenis tanah
lempung ini merupakan jenis tanah yang umum ditemui di daarah pertanian
(Soepardi, 1983).
Tekstur memiliki hubungan erat dengan KTK. Makin halus tekstur tanah,
maka akan makin tinggi KTK (Soepardi, 1983). Hasil analisis tanah menunjukkan
hal yang kongruen (Lihat lampiran 5). Anomali terjadi pada Butoh (tahun tanam
1985), yang memiliki KTK tertingi (10.61) tetapi justru memiliki kelas tekstur
tanah berupa lempung yang lebih kasar dibandingkan Watulabu (tahun tanam
2001). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi tanah pada areal itu belum normal.
Soepardi (1983) menyatakan bahwa Fe (besi) memiliki jumlah yang lebih
banyak dibandingkan unsur mikro lainnya di dalam tanah. Tetapi, hasil analisis
tanah menunjukan keadaan yang tidak normal: Mn (Mangan) memiliki
konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan unsur lainnya di semua wilayah
pengamatan. Bahkan di daerah Petea (tahun tanam 2006) tercatat konsentrasi
Mn yang sangat ekstrim: 128 ppm berbanding 2 ppm untuk Fe. Ini menunjukkan
ketidakseimbangan dan dalam jangka panjang akan menyebabkan gejala-gejala
defisiensi Fe seperti kesulitan dalam membentuk klorofil, terganggunya
penyusunan enzim dan protein, serta distrorsi pada oksidasi-reduksi dalam
respirasi (Hadjowigeno, 1987).
pH pada daerah pengamatan berkisar antara agak masam dan netral.
Kondisi seperti itu merupakan suasana rata-rata yang baik bagi tanaman, karena
keadaan kimia maupun biologi berada pada titik optimum. Apabila pH bergerak
ke arah sangat masam dan sangat basa, maka akan terjadi ketidakseimbngan
unsur hara yang dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan.
Persentase bahan organik pada areal pengamatan menunjukkan kondisi
yang normal, dimana kadar bahan organik tidak lebih dari 5%. Bahan organik ini
sangat penting, karena sangat mempengaruhi sifat fisik tanah. Bahan organik
cenderung meningkatkan jumlah air yang dapat ditahan tanah dan jumlah air
yangtersedia bagi tanaman juga merupakan sumber energi bagi jasad mikro.
Tanpa bahan organik, semua kegiatan biokimia terhenti (Soepardi, 1983).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pada beberapa variabel yang ditetapkan oleh Ditjen RLPS, revegetasi
lahan bekas tambang di PT INCO telah memenuhi kriteria keberhasilan yaitu
persentase pertumbuhan yang telah mencapai > 80% dan penanaman jenis-jenis
lokal. Sementara kesehatan tanaman, belum memenuhi kriteria, karena masih
banyak terdapat tanaman yang terkena penyakit juga terserang hama maupum
gulma.
Status rekolonisasi belum menunjukan nilai yang semakin meningkat
untuk tiap area berdasarkan umur tanam. Hal ini membutuhkan perbaikan.
Secara keseluruhan, revegetasi di PT INCO belum membentuk struktur dan
fungsi yang semula yaitu hutan lindung.
Saran
Untuk menghasilkan rekapitulasi data yang baik dan dapat dijadikan
acuan bagi penelitian selanjutnya, perlu dibangun petak ukur permanen untuk
aspek-aspek yang menjadi takaran bagi keberhasilan revegetasi. Petak ukur
permanen haruslah mencerminkan pelbagai ragam kondisi yang ada pada lahan
revegetasi.
Penanaman tanaman sisipan diperlukan pada areal revegetasi seperti di
Hasan, Rante (2003); Koro, Triple A (2004) ; serta Ponsesa (1996 dan 1999). Hal
itu dilakukan untuk menambah kerapatan serta mempercepat penutupan tajuk.
Untuk menjamin terbebasnya tanaman dari gulma perlu dilakukan
pembebasan dari gulma yang dilakukan dengan cara mekanis di tiap areal-
terutama yang terdapat tali-tali (Mikania micrantha). Cara non-mekanis seperti
penyemprotan herbisida dapat dilakukan di Debbie (2002), karena serangan
gulma sudah relatif parah.
SENARAI PUSTAKA
.
[ISSG] Invasive Species Specialist Group. 2005. Mikania micrantha (vine,
climber). http://www.issg.org/database/species/ecology.asp?si=42. [04
Juni 2008]
Barnes BV dan Spurr SH. 1980. Forest Ecology (Wiley International Edition).
John Wiley and Sons, Inc. United States of America.
Freeman PH, Dasmann RP, Milton JP. 1977. Prinsip Ekologi untuk
Pembangunan Ekonomi. PT Gramedia, diterbitkan untuk yayasan Obor
Indonesia dan Lembaga ekologi Universitas Padjadjaran. Jakarta
Kloer W, Manfred K. 1988. Arti Humus Bagi Erosi Tanah Dan Stabilitas Lereng di
daerah Tropis-Lembab Musiman di Papua Nugini. Di dalam : Gustav
Espig, penyunting. Ekologi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Kormondy EJ. 1969. Concept of Ecology. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs,
New Jersey.
Kadal Emas
(Eutropis multifasciata)
Walkley
pH 1:1 Kjeldhal Bray 1 N NH4O!c pH 7.0
Tahun & Black
Lokasi
tanam C-org N-Total Ca Mg K Na KTK
H20 KCl P (ppm)
(%) (%) (me/100g) (me/100g) (me/100g) (me/100g) (me/100g)
1985 Butoh 1 6,90 6,00 1,20 0,13 3,40 2,45 6,42 0,04 0,05 10,61
1985 Butoh 2 6,70 5,50 0,88 0,09 3,70 2,33 10,60 0,09 0,08 16,29
1985 Butoh 3 6,10 5,00 2,72 0,25 4,10 1,96 6,40 0,04 0,08 6,74
2001 Watulabu 1 5,90 4,70 0,08 0,03 1,70 2,21 0,58 0,04 0,04 5,68
2001 Watulabu 2 5,90 4,70 0,08 0,04 1,40 2,06 0,58 0,06 0,07 4,17
2002 Debbie 1 6,60 5,80 1,12 0,12 2,50 2,58 2,90 0,08 0,12 3,03
2002 Debbie 2 6,40 5,10 1,52 0,18 2,00 4,36 1,34 0,10 0,09 2,84
2002 Debbie 3 6,70 5,90 1,20 0,14 2,30 5,27 1,86 0,08 0,10 3,79
2002 Debbie 4 6,80 5,90 0,72 0,06 1,70 5,78 1,70 0,08 0,12 4,17
2003 Rante 1 6,60 5,40 0,56 0,06 2,00 1,39 1,86 0,04 0,08 2,27
2003 Rante 2 6,70 5,50 0,32 0,05 1,70 1,71 1,39 0,09 0,10 1,89
2004 Triple A 1 6,30 5,00 1,52 0,16 2,20 1,77 1,82 0,05 0,08 1,70
2004 Triple A 2 6,50 5,20 0,96 0,08 1,70 1,44 2,36 0,06 0,11 1,14
2004 Koro South 1 6,90 5,80 2,32 0,22 2,00 3,77 0,52 0,07 0,10 1,52
2004 Koro South 2 6,50 5,70 2,08 0,20 3,90 4,60 1,98 0,08 0,11 3,79
2005 Olivia 1 6,30 5,00 1,12 0,12 2,20 2,82 1,96 0,06 0,12 1,52
2005 Olivia 2 6,40 5,30 0,88 0,08 2,00 2,50 1,75 0,09 0,13 3,22
2005 Olivia 3 6,50 5,70 0,96 0,10 1,90 3,89 2,00 0,06 0,08 4,17
2006 Petea 1 6,30 5,00 0,40 0,05 2,50 3,66 2,80 0,16 0,09 3,60
2006 Petea 2 6,50 5,70 0,24 0,03 1,70 4,00 3,10 0,19 0,14 2,27
2007 KN 1 6,60 5,80 0,80 0,09 1,70 2,92 4,16 0,06 0,08 1,89
2007 KN 2 6,50 5,30 1,28 0,12 1,40 4,66 1,56 0,09 0,08 0,76
2007 KN 3 6,40 5,30 0,64 0,05 1,90 4,08 2,26 0,40 0,21 0,76
2008 2008 1 6,70 5,80 0,16 0,02 1,90 2,29 2,90 0,12 0,24 2,27
2008 2008 2 6,30 5,10 0,72 0,09 1,70 3,41 0,36 0,13 0,13 1,52
Lembo 1 5,20 4,00 1,60 0,16 25,60 1,92 1,32 0,09 0,10 21,21
Lembo 2 5,00 4,00 2,08 0,17 28,10 1,85 0,80 0,06 0,07 7,76
Lembo 3 4,80 3,60 2,24 0,23 29,00 1,82 0,74 0,07 0,07 7,58
Purna Tambang 1 6,60 5,60 0,40 0,05 2,00 2,03 8,82 0,03 0,10 6,44
Purna Tambang 2 7,10 6,00 0,08 0,03 1,40 2,17 8,66 0,03 0,09 8,33
21
Lampiran 6 Sifat-sifat komponen pohon pada stadia sera di hutan lembab Amerika Tropika (Budowski, 1965 dalam Freeman et al. 1977)
Tinggi (meter) 5-8 12-20 20-30, beberapa mencapai 50 30-45, beberapa sampai 60
Jumlah spesies berkayu Sedikit, 1-5 sedikit, 1-10 30-60 sanpai 100 atau lebih sedikit
Komposisi flora dominan Euphorbiaceae, Cecropia, Ochroma, Cecropia, Trema, Campuran, banyak Meliaceae, Campuran kecuali pada sosiasi
Ochroma, Trema Heliocarpus paling sering Bombacaceae, Tiliaceae edafis
Distribusi alam tumbuhan Luas sekali Luas sekali Luas, termasuk daerah yang lebih kering Biasanya terbatas, sering
dominan endemik
Jumlah strata 1, sangat padat 2, diferensiasi baik 3, makin tua makin sukar dibedakan 4-5, sukar dibedakan
Kanopi atas Homogen, padat Bercabang, berlingkar, tajuk Heterogen, meliputi tajuk yang sangt lebar Banyak variasi bentuk tajuk
horison tipis
Stratum bawah Padat, kusut Padat, banyak spesies herba Relatif langka, meliputi spesies toleran Langka dengan spesies toleran
besar
Pertumbuhan Sangat cepat Sangat cepat Yang dominan cepat, lainnya perlahan Perlahan atau sangat perlahan
Umur tumbuhan dominan Sangat pendek, kurang dari Pendek, 10-25 tahun Biasanya 40-100 tahun, beberapa lebih Sangat panjang 100-1000,
10 tahun beberapa mungkin lebih
Regenerasi tumbuhan Sangat langka Praktis tidak ada Tidak ada atu banyak dengan mortalitas Cukup banyak
dominan tinggi pada tahun-tahun pertama
Penyebaran biji tumbuhan Burung, kelelawar, angin Angin, burung, kelelawar Terutama angin Gravitasi, mamalia, hewan
dominan pengerat, burung
23
Kayu dan batang, Sangat ringan, diameter kecil Sangat ringan, diameter di Ringan sampai setengah keras, beberapa Keras dan berat termasuk
tumbuhan dominan bawah 60 cm batangnya sangat besar batangnya
Ukuran biji, atau buah Kecil Kecil Kecil sampai medium Besar
yang disebarkan
Daya tumbuh biji Lama, laten dalam tanah Lama, laten dalam tanah Pendek sampai medium Pendek
Daun tumbuhan dominan Selalu hijau Selalu hijau Banyak yang meranggas Banyak spesies dan bentuk
kehidupan
Tumbuhan merambat Banyak, berbatang basah, Banyak, berbatang basah, Banyak, tetapi sedikit yang besar Banyak, termasuk spesies
tetapi spesies sedikit tetapi spesies sedikit berkayu yang sangt besar
Semak Banyak, tapi spesies sedikit Relatif banyak, tapi spesies Sedikit Jumlah sedikit tetapi spesies
sedikit banyak
Lampiran 7 Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitan Tanah,
1983 dalam Hadjowigeno, 1987)
Sangat Sangat
Sifat tanah Rendah Sedang Tinggi
Rendah Tinggi
C (%) < 1.00 1.00 - 2.00 2.01 - 3.00 3.01 - 5.00 > 5.00
N (%) < 0.10 0.10 - 0.20 0.21 - 0.50 0.51 - 0.75 > 0.75
C/N <5 5 - 10 11 -15 16 - 25 > 25
P2O5 HCl (mg/100g) < 10 10 - 20 21 - 40 41 - 60 > 60
P2O5 Bray 1 (ppm) < 10 10 - 15 16 - 25 26 - 35 > 35
P2O5 Olsen (ppm) < 10 10 - 25 26 - 45 46 - 60 > 60
K2O HCl 25% (mg/100 mg) < 10 10 - 20 21 - 40 41 - 60 > 60
KTK (me/100g) <5 5 - 16 17 - 24 25 - 40 > 40
K (me/100g) < 0.1 0.1 - 0.2 0.3 - 0.5 0.6 - 1.0 > 1.0
Na (me/100g) < 0.1 0.1 - 0.3 0.4 - 0.7 0.8 - 1.0 > 1.0
Mg (me/100g) < 0.4 0.4 - 1.0 1.1 - 2.0 2.1 - 8.0 > 8.0
Ca (me/100g) <2 2- 5 6 - 10 11 - 20 > 20
Kejenuhan Basa (%) < 20 20 - 35 36 - 50 51 - 70 > 70
Kejenuhan Alumunium (%) < 10 Okt-20 21 - 30 31 - 60 > 60
sangat agak
masam masam masam netral agak alkalis alkalis
pH H2O < 4.5 4.5 - 5.5 5.6 - 6.5 6.6 - 7.5 7.6 - 8.5 >8.5