Anda di halaman 1dari 62

1

EVALUASI TINGKAT KEBERHASILAN REVEGETASI


LAHAN BEKAS TAMBANG NIKEL DI PT INCO Tbk.
SOROWAKO, SULAWESI SELATAN

FIKI ABUBAKAR

PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
RINGKASAN

FIKI ABUBAKAR. Evaluasi Tingkat Keberhasilan Revegetasi Lahan Bekas


Tambang Nikel di PT. INCO Tbk. Sorowako, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh
YADI SETIADI.

PT INCO telah melakukan perjanjian pinjam pakai atas kawasan hutan


dengan pemerintah untuk kegiatan penambangan. Kegiatan penambangan yang
dilakukan oleh PT INCO telah menimbulkan kerusakan hutan dan lahan yang
parah. Tetapi dengan penuh kesadaran disertai kewajiban untuk memenuhi
perjanjian pinjam pakai dengan pemerintah, maka PT INCO telah melakukan
rehabilitasi hutan pada daerah-daerah yang terkena dampak penambangan.
Untuk mengetahui status keberhasilan dari rehabilitasi yang dilakukan oleh PT
INCO, diperlukan sebuah penilaian. Penilaian ini menitikberatkan pada aspek
vegetasi dan biologis agar dapat diketahui sejauh mana kegiatan revegetasi
dapat memenuhi tujuan perbaikan sebagaimana tercantum dalam Permenhut
Nomor 146/Kpts-II/1999 dan dapat kembali memenuhi fungsi-fungsi dari sebuah
kawasan hutan.
Objek penelitian ini adalah tegakan hutan hasil revegetasi tahun tanam
1999-2007 serta tahun tanam 1985 dan 1996. Peralatan yang dibutuhkan antara
lain : kompas brunton, pita ukur, Sunto clinometer, spherical densiometer, tali
tambang plastik. Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan petak
berbentuk lingkaran berdiameter 17,8 m. Jumlah plot yang dibuat untuk tiap
tahun tanam adalah 2 sampai 3 buah dengan jarak antar plot 50-100 meter,
tetapi terdapat juga yang hanya satu plot contoh yang diambil karena
keterbatasan lahan. Pada plot itu akan dilakukan pengamatan pertumbuhan
tanaman terhadap seluruh tanaman yang berada pada plot contoh, meliputi tinggi
tanaman, diameter tanaman, perkembangan akar dan penutupan tajuk. Untuk
parameter keberadaan jenis-jenis lokal serta keberadaan satwaliar juga
dilakukan pada plot ini.
Persentase pertumbuhan pada areal revegetasi berkisar antara 95-100%.
Komposisi tumbuhan yang ditanam adalah jenis pioner seperti Sengon
(Paraserianthes falcataria), Eukaliptus (Eucalytus eurograndis), Sengon Buto
(Enterolobium macrocarpum) serta jenis lokal seperti Trema (Melochia
umbellata), Sandro (Sandoricum kacappeae) dan Uru (Elmerelia sp). Itu berarti
telah sesuai dengan peraturan pemerintah. Perkembangan akar, pertumbuhan,
dekomposisi serasah, erosi serta penutupan tajuk telah menunjukkan
perkembangan dalam tataran konsep suksesi. Begitupun dengan satwa liar, telah
terjadi introduksi pada lahan-lahan revegetasi. Revegetasi di PT INCO pada
beberapa aspek telah memenuhi kriteria dan indikator yang ditetapkan
pemerintah, tetapi belum membentuk kembali struktur dan fungsi semula yaitu
hutan lindung.

Kata Kunci : Lahan bekas tambang, evaluasi, kriteria dan indikator.


SUMMARY

FIKI ABUBAKAR. Succession Evaluation of Nickel Post-mining Land


Revegetation at PT. INCO Tbk. Sorowako, South Sulawesi. Under Supervision of
YADI SETIADI.

PT INCO has made a borrow and use agreement with the government to
do mining activity in forest area. This mining activity has caused severe damage
to the forest and the land. With full awareness and to fulfill obligation in borrow
and use agreement, PT INCO has done rehabilitation to severely damage forest
and lands due to its mining activity. An evaluation is needed to measure the
succession rate of rehabilitation effort that has been done by PT INCO. This
evaluation put an emphasis on vegetational and biological aspect, enabling to
see how far the revegetation activity able to fulfill restoration purpose as mention
in Permenhut Nomor 146/Kpts-II/1999 and to restore functions of a forest.
Object of this research is forest stand resulted from revegetation planted
in 1999-2007, 1985 and 1996. Some of the equipments been used in this activity
are brunton compass, measuring band, Sunto clinometer, spherical densiometer,
plastic rope. Vegetational analysis done by using 17,8 m diameter circle plot. For
each planting year make 2-3 plots with range 50 - 100 meter between each plot,
for some cases such as limited land one plot is sufficient enough. In it
observation made to plant growth factor such as plant height, plant diameter, root
development and crown covering. Another parameter that also observed are local
species existances and wildlife presence.
Growth percentage in revegetation area range from 95% to 100%. Plant
composition are pioneer species as Sengon (Paraserianthes falcataria),
Eukaliptus (Eucalytus eurograndis), Sengon Buto (Enterolobium
macrocarpum)and local species as Trema (Melochia umbellata), Sandro
(Sandoricum kacappeae) dan Uru (Elmerelia sp). This mean it is suitable with
goverment rule. Root development, growth, litter decomposition, erotion and
crown covering has shown improvement according to succession concept. Same
thing happen to wildlife, introduction has happened to revegetation lands.
Revegetation at PT INCO in some aspects has fulfill goverment´s criteria and
indicator but this revegetation has not reform original forest structure and function
as protected forest.

Key words : Post mining land, evaluation, criteria and indicator.


PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Tingkat


Keberhasilan Revegetasi Lahan Bekas Tambang Nikel di PT INCO, Sorowako
Sulawesi Selatan adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan
dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada
perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.

Bogor, November 2008

Fiki Abubakar
E14201072
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Gusti Yang Widi, untuk beragam anugerah yang sering
datang dengan cara yang tak terduga. Termasuk penyelesaian karya ilmiah ini.
Rangkaian kegiatan dalam revegetasi lahan bekas tambang, dimulai dari
persiapan lahan, penanaman hingga pemantauan merupakan sebuah upaya
memperbaiki kesetimbangan alam juga refleksi dalam berbagi sifat Allah yang
telah dititipkan pada seluruh makhluk-Nya. Al-Hayy. Yang Maha Hidup.

Dalam pada itu, penulis memilih judul “Evaluasi Tingkat Keberhasilan Revegetasi
Lahan Bekas Tambang Nikel di PT. INCO Tbk. Sorowako, Sulawesi Selatan”
dibawah bimbingan Dr.Ir. Yadi Setiadi M.Sc.

Untuk pihak-pihak yang telah berpartisipasi dalam terhadirnya karya ilmiah ini di
tangan anda, saya ucapkan permohonan maaf, terima kasih serta salam hangat.
RIWAYAT HIDUP

Bercita-cita menjadi wartawan, selepas menamatkan jenjang pendidikan di SMU


Negeri 4 Bandung pada tahun 2001, penulis melanjutkan ke Program Studi
Budidaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Pemilihan ini didasarkan pada
beberapa faktor: pemetaan kemandirian hidup, kecintaan terhadap alam
(terutama hutan) serta usaha pengayaan pengetahuan.

Penulis yang dilahirkan di Cimahi, 19 Februari 1984, putra pertama dari


pasangan Kiki Umar dan Noerhayati, mengisi masa perkuliahan dengan
berusaha banyak membaca, mempublikasi tulisan di dinding kampus serta
kegiatan lain yang berhubungan dengan bidang yang penulis tekuni, yaitu
ekologi hutan -dengan daya minat lebih terhadap ekologi restorasi, seperti
Assistensi mata kuliah Ekologi Hutan 2005-2008, tenaga lapangan pada Garuda
Project YPAL-BICONS di Subang (2003), tenaga penunjang di Pusat Informasi
Lingkungan Indonesia (2003) program Internship serta Consultancy Services for
Exclosure Research di Wanariset Malinau-CIFOR (2006) serta tenaga lapangan
pada AMDAL untuk uji-seismik Serica-Energy di Kalimantan Timur (2007). Selain
itu, semenjak tahun 2004, penulis tercatat sebagai anggota BICONS (Bird
Conservation Society).

Dalam ranah akademis, penulis melakukan praktek Umum Kehutanan di KPH


Banyumas Barat serta KPH Banyumas Timur dan Praktek Umum Pengelolaan
Hutan di KPH Ngawi. Keduanya pada pertengahan 2004. Pada tahun 2006
penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang di Wanariset Malinau-CIFOR
Kalimantan Timur. Setahun berikutnya tahap pengambilan data untuk
penyelesaian skripsi yang berjudul “Evaluasi Tingkat Revegtasi Lahan bekas
Tambang Nikel di PT.INCO, Sorowako Sulawesi Selatan, dimulai. Penyusunan
skipsi ini dibimbing oleh Dr. Ir. Yadi Setiadi, MSc.

Hobi membaca, menulis serta berbagi mulai dicurahkan dalam website-blog


kangfiki.wordpress.com.
[ucapan terima kasih]
• Ibu, Ibu, Ibu dan papap, Ené (almh) serta adik-adik tercinta juga Rifkiyanti Haqqi untuk kasih sayang
yang terus berlimpah serta doa yang tak hendak putus.
• Dr. Ir. Yadi Setiadi M.Sc untuk seluruh dukungan, teladan serta kesabaran dalam melakukan
bimbingan.
• Bu Nining Puspaningsih untuk beragam bantuan selama rangkaian penelitian.
• Pak Aris Prio Ambodo, Pak Boorliant, Pak Yohan, Erwin, Edy Tangke beserta seluruh staf di Divisi Mine
Revegetation PT.INCO untuk segala fasilitas yang telah diberikan di Sorowako.
• Pak DR. Ahmad M Thohari serta Pak Prof. Imam Wahyudi sebagai dosen penguji.
• Mas Imam, Mas Irman, Dedi serta seluruh staf di PT Green Planet Indonesia untuk beberapa data
sekunder serta bantuan tenaga lapangan.
• Bu Yani, Pak Edi Permana, Bu Nunung serta seluruh keluarga Laboratorium Ekologi Hutan: Beni, Welly,
Danu, Dania, Eko dkk.
• Mbak Faiq, Mas Ari, Kang Fatah, Kang Jefri, Teh Susan dan kawan-kawan di PAU.
• Pak Ismail, Bu Aliyah, Bu Kokom, Bu Layya, Bu Ria, Bu Rusnani, Bu Fifi serta seluruh staf KPAP.
• Rekan-rekan “Residu Peradaban”: Among, Berry, Derry, Dika , Muklish, Syuhada dan Tezar untuk
beragam bantuan.
• Kawan-kawan di kampus abu-abu: Ajay, Wempy, Ewink, Jack, Ace, Bayu, John, Irwan dkk yang masih
tetap melestarikan tradisi ke-Fahutan-an dalam tafsir yang positif.
• Rekan seperjuangan : Dasep, Berry, Lisna dan Irin, untuk setiap dukungan di “ruang tunggu”.
• Rekan di lapangan: Istafiana Candarini dan Ari Prasetiyo untuk setiap bantuan.
• Mas Agus di PILI; Kang Bayu, Kang Jack serta semua di kost-kostan Manggala untuk fondasi perenialist
serta semangat berdikari.
• Rekan-rekan Fahutan khususnya angkatan 38, lebih khusus lagi Budidaya Hutan.
Beragam pihak yang medukung baik satu-dua tetes tinta printer, bensin, tumpangan, pinjaman uang, buku
serta helaan nafas, saya haturkan terima kasih.
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pertambangan merupakan salah satu sektor yang dapat menghasilkan
devisa besar bagi negara. Tercatat bahwa pada tahun 2007, penerimaan negara
perpajakan umum dari sektor pertambangan mencapai Rp 24.000 miliar
(www.esdm.go.id). Tetapi selain devisa, industri pertambangan (terutama dengan
metode pertambangan terbuka) telah menghasilkan dampak ikutan berupa
kerusakan lingkungan yang sangat parah terutama pada hutan hujan tropika
yang merupakan dominasi lapisan penutup dari permukaan bentang lahan yang
ditambang.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : 146/Kpts-II/1999 mengenai
Pedoman Reklamasi Bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan menyebutkan
bahwa setiap perusahaan pertambangan dan energi memiliki kewajiban untuk
melaksanakan reklamasi lahan bekas tambang atas kawasan hutan yang
dipinjam-pakai. Hal itu bertujuan untuk memulihkan kondisi kawasan hutan yang
rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi sehingga
kawasan hutan yang dimaksud dapat berfungsi kembali sesuai dengan
peruntukannya.
PT International Nickel Indonesia Tbk. (PT INCO) adalah perusahaan
multinasional yang bergerak di bidang pertambangan nikel yang berlokasi di
Sorowako, Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Utara, Propinsi Sulawesi Selatan.
PT INCO melakukan produksi komersial pertama pada tahun 1978 dan program
rehabilitasi purna tambang mulai dilakukan enam tahun sesudahnya.
PT INCO telah melakukan perjanjian pinjam pakai atas kawasan hutan
dengan pemerintah untuk kegiatan penambangan. Kegiatan penambangan yang
dilakukan oleh PT INCO telah menimbulkan kerusakan hutan dan lahan yang
parah. Tetapi dengan penuh kesadaran disertai kewajiban untuk memenuhi
perjanjian pinjam pakai dengan pemerintah, PT INCO telah melakukan
rehabilitasi hutan pada daerah-daerah yang terkena dampak penambangan.
Pada periode awal, kegiatan revegetasi dilakukan tanpa memperhatikan
karekteristik dan manajemen lahan yang benar, tingkat adaptibilitas jenis
tanaman, dan metode penanaman yang tepat. Hal ini disebabkan kurangnya
pengetahuan para perencana dan pelaksana kegiatan revegetasi dalam hal
keilmuan ekologi restorasi. Sedangkan sejak tahun 1991 penerapan teknik
silvikultur yang tepat telah digunakan untuk merehabilitasi lahan bekas tambang
yang ada (Sirait 1997).
Untuk mengetahui status keberhasilan dari rehabilitasi yang dilakukan
oleh PT INCO, diperlukan sebuah penilaian. Penilaian ini menitikberatkan pada
aspek vegetasi dan biologis agar dapat diketahui sejauh mana kegiatan
revegetasi dapat memenuhi tujuan perbaikan sebagaimana tercantum dalam
Permenhut Nomor 146/Kpts-II/1999 dan dapat kembali memenuhi fungsi-fungsi
dari sebuah kawasan hutan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menilai tingkat keberhasilan dari revegetasi yang dilakukan oleh PT INCO di
lahan-lahan bekas pertambangan nikel.
2. Mempelajari proses revegetasi yang tengah berlangsung di areal bekas
tambang PT INCO.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan :
1. Dapat digunakan oleh pihak pengelola program revegetasi perusahaan
sebagai bahan evaluasi terhadap kegiatan revegetasi yang telah dilakukan.
2. Dapat menjadi acuan untuk memperbaiki program revegetasi yang masih
kurang memenuhi kriteria yang berlaku menurut Pedoman Reklamasi
Tambang Ditjen RLPS (1997) dan Setiadi (2006).
TINJAUAN PUSTAKA

Reklamasi
Reklamasi bekas tambang yang selanjutnya disebut reklamasi adalah
usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam
kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan
energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.
(Permenhut Nomor: 146-Kpts-II-1999). Rehabilitasi hutan dan lahan adalah
kegiatan yang dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan
meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas, dan
peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
(Anonim, 2004)
Parotta (1993) dalam Setiawan (2003) menyatakan bahwa tujuan
rehabilitasi ekosistem hutan yang mengalami degradasi ialah menyediakan,
mempercepat berlangsungnya proses suksesi alami. Selain itu juga untuk
menambah produktivitas biologis, mengurangi laju erosi tanah, menambah
kesuburan tanah dan menambah kontrol biotik terhadap aliran biogeokimia
dalam ekosistem yang ditutupi tanaman.
Kata reklamasi berasal dari kata to reclaim yang bermakna to bring back
to proper state, sedangkan arti umum reklamasi adalah the making of land fit for
cultivation. Membuat keadaan lahan menjadi lebih baik untuk dibudidayakan,
atau membuat sesuatu yang sudah bagus menjadi lebih bagus, sama sekali tidak
mengandung implikasi pemulihan ke kondisi asal tapi yang lebih diutamakan
adalah fungsi dan asas kemanfaatan lahan. Arti demikian juga dapat
diterjemahkan sebagai kegiatan-kegiatan yang bertujuan mengubah peruntukan
sebuah lahan atau mengubah kondisi sebuah lahan agar sesuai dengan
keinginan manusia (Young dan Chan, 1997 dalam Nusantara et al. 2004 ).
Kegiatan reklamasi meliputi dua tahapan, yaitu:
a. Pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang sudah
terganggu ekologinya.
b. Mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya
untuk pemanfaatan selanjutnya.
Sasaran akhir dari reklamasi adalah terciptanya lahan bekas tambang yang
kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan
kembali sesuai dengan peruntukkannya.
Revegetasi
Revegetasi adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas
tambang (Ditjen RLPS). Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi
dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain
restorasi (memiliki aksentuasi pada fungsi proteksi dan konservasi serta
bertujuan untuk kembali ke kondisi awal), reforestasi dan agroforestri. Lebih
lanjut lagi dinyatakan bahwa aktivitas dalam kegiatan revegetasi meliputi
beberapa hal yaitu (i) seleksi dari tanaman lokal yang potensial, (ii) produksi bibit,
(iii) penyiapan lahan, (iv) amandemen tanah, (v) teknik penanaman, (vi)
pemeliharaan, dan (vii) program monitoring,
Revegetasi yang sukses tergantung pada pemilihan vegetasi yang
adaptif, tumbuh sesuai dengan karakteristik tanah, iklim dan kegiatan pasca
penambangan. Vegetasi yang cocok untuk tanah berbatu termasuk klasifikasi
herba, pohon dan rumput yang cepat tumbuh, sehingga dapat mengendalikan
erosi tanah. Tumbuhan yang bersimbiosis dengan mikroorganisme tanah yang
mampu memfiksasi nitrogen adalah salah satu vegetasi revegetasi lahan pasca
tambang, seperti tanaman yang termasuk dalam famili Leguminoceaea (Vogel,
1987 dalam Setiawan, 2003).
Pada lahan bekas tambang, revegetasi merupakan sebuah usaha yang
kompleks yang meliputi banyak aspek, tetapi juga memiliki banyak keuntungan.
Beberapa keuntungan yang didapat dari revegetasi antara lain, menjaga lahan
terkena erosi dan aliran permukaan yang deras; membangun habitat bagi
satwaliar; membangun keanekaragaman jenis-jenis lokal; memperbaiki
produktivitas dan kestabilan tanah; memperbaiki kondisi lingkungan secara
biologis dan estetika; dan menyediakan tempat perlindungan bagi jenis-jenis
lokal dan plasma nutfah (Setiadi, 2006).

Evaluasi Keberhasilan Revegetasi


Lahan disebut berhasil direstorasi dan bersifat swalanjut manakala
dapat memenuhi kriteria-kriteria berikut (i) persen daya hidup bibit yang
ditanam adalah tinggi, (ii) pertumbuhan vegetasinya normal dan swalanjut, (iii)
perkembangan akar dapat menembus tanah asli (yang berkepadatan tinggi)
dan menjangkau bagian lain, (v) penutupan tajuknya cepat, terstratifikasi dan
melebar, (v) lahan menghasilkan serasah yang melimpah dan terdekomposisi
dengan cepat yang ditunjukkan dengan nisbah C:N yang cepat turun dan
konstan, (vi) terjadi rekolonisasi spesies-spesies spesifik lokasi, dan (vii)
tercipta habitat bagi beraneka jenis satwa liar. Setidak-tidaknya ada lima hal
penting yang harus diingat sehubungan dengan restorasi yaitu (i) rekolonisasi,
(ii) retensi hara dan air, (iii) salingtindak biotik, (iv) produktivitas, dan (v)
keswalanjutan (Setiadi, 2004 dalam Nusantara et al. 2004).
Daniel, Helms dan Baker (1987) menyatakan bahwa perhatian pertama
dari keberhasilan penghutanan kembali adalah kondisi dari tanaman itu yang
harus sehat, berbentuk baik, dan bebas dari persaingan hama dan gulma.
Tanaman itu hendaknya mempunyai potensi dominasi tinggi dan karakteristik
vigor yang diinginkan.
Departemen Perindustrian, Pariwisata dan Sumber Daya Pemerintah
Australia (2006) menyatakan bahwa umumnya, pemantauan rehabilitasi
mencakup:
1. Penilaian kestabilan permukaan (dan lereng)
2. Kinerja lapisan penutup yang dibuat (jika ditaruh di atas limbah tambang
atau limbah pemrosesan mineral)
3. Sifat-sifat pada tanah atau medium zona akar (seperti sifat kimia,
kesuburan dan hubungan airnya)
4. Atribut-atribut struktural pada komunitas tumbuhan (misalnya sebagai
lapisan penutup, kepadatan dan tinggi spesies kayu)
5. Komposisi komunitas tumbuhan (seperti hadirnya spesies yang
diinginkan, gulma)
6. Beberapa indikator terhadap ekosistem yang berjalan (seperti biomassa
mikroba tanah).
Setiadi (2006) menyebutkan beberapa faktor sebagai bahan evaluasi
revegetasi antara lain, performa pertumbuhan dan kesesuaian jenis;
kesinambungan dan tingkat pemenuhan kebutuhan diri oleh tanaman;
peningkatan lingkungan mikro-habitat; pengurangan dampak terhadap
lingkungan serta keuntungan bagi mayarakat sekitar. Sedangkan beberapa
kriteria mengenai lahan revegetasi yang swalanjut antara lain: daya hidup
anakan yang tinggi; pertumbuhan tanaman yang normal dan
berkesinambungan; perkembngan akar yang telah mampu menembus lubang
tanam; penutupan tajuk yang cepat, beragam dan berstratifikasi; produksi
serasah yang banyak dan mudah terdekomposisi; dapat menghasilkan
kolonisasi spesies lokal dan dapat menciptakan suasana yang cocok bagi
kehidupan satwaliar. Secara singkat, faktor-faktor yang menjadi parameter bagi
evaluasi keberhasilan revegetasi dapat dilihat pada Tabel 1.
Evaluasi keberhasilan revegetasi adalah sebuah upaya untuk menjamin
bahwa revegetasi tengah berjalan menuju arah yang diharapkan yaitu kondisi
asli sebelum terjadinya gangguan. Selain itu, hal ini juga merupakan sebuah
mekanisme untuk menentukan keberhasilan revegetasi yang telah dilakukan,
berdasarkan parameter silvikultur dan ekologis juga sesuai dengan peraturan
pemerintah yang mengikat bagi pelaksana kegiatan revegetasi, dalam hal ini
perusahaan pertambangan.

Tabel 1 Evaluasi Keberhasilan Revegetasi (Setiadi, 2006)


No Kriteria Indikator
1 Adaptabilitas 1.1. Persentase Pertumbuhan
(≤ 4 tahun)
1.2. Perkembangan Pertumbuhan
1.3. Perkembangan Perakaran
1.4. Fase Produksi
2 Kekanjangan 2.1. Keanekaragaman
2.2. Rekolonisasi
2.3. Penyimpanan nutrisi
2.4. Status Hidupan-liar
3 Strukutur dan 3.1 Kerapatan
Komposisi Tegakan
(≥ 5 tahun) 3.2. Komposisi
3.3. Stratifikasi Tajuk
3.4. Penutupan Tajuk
4 Bentang Lahan 4.1. Erosi
4.2. Stabilitas Lahan

Suksesi dan Klimaks


Suksesi adalah perubahan-perubahan langsung yang berkaitan dengan
waktu dalam komposisi komunitas dan sifat-sifat ekosistem lainnya. Suksesi
disebabkan dinamikan individu-individu di dalam ekosistem karena mereka
berinteraksi satu sama lain dan dengan lingkungan fisik. Perubahan langsung
dalam komposisi spesies timbul ketika individu-individu dari beberapa spesies
digantikan oleh individu-individu dari spesies lain pada waktu individu pertama
mati (McNaughton & Wolf 1990). Manan (1998) menyatakan bahwa suatu
rangkaian perubahan masyarakat tumbuhan (jenis dan struktur) bersamaan
dengan perubahan habitat tempat tumbuhnya. Perubahan ini tidaklah
sembarangan, tetapi dapat diramalkan pola dan arahnya.
Suksesi sebagai suatu studi orientasi yang memperhatikan semua
perubahan dalam vegetasi yang terjadi pada habitat sama dalam suatu
perjalanan waktu (Mueller-Dombois and Ellenberg, 1974). Selanjutnya dikatakan
bahwa suksesi ada dua tipe, yaitu suksesi primer dan suksesi sekunder.
Perbedaaan dua tipe suksesi ini terletak pada kondisi habitat awal proses
suksesi terjadi. Suksesi primer terjadi bila komunitas asal terganggu. Gangguan
ini mengakibatkan hilangnya komunitas asal tersebut secara total sehingga di
tempat komunitas asal, terbentuk habitat baru. Suksesi sekunder terjadi bila
suatu komunitas atau ekosistem alami terganggu baik secara alami atau buatan
dan gangguan tersebut tidak merusak total tempat tumbuh organisme sehingga
dalam komunitas tersebut substrat lama dan kehidupan masih ada.
Mekanisme perubahan dalam suksesi dapat dibedakan menjadi tiga
tahap utama, yaitu (1) kolonisasi, (2) perubahan fisik lahan, dan (3) pergeseran
spesies oleh kompetisi dan antibiosis. Sedangkan Clements dalam Mueller-
Dombois and Ellenberg (1974) membedakan enam sub komponen dalam
suksesi (a) nudasi, yaitu terbukanya areal baru; (b) migrasi, yaitu sampai dan
tersebarnya biji di areal; (c) ecesis, yaitu proses perkecambahan, pertumbuhan
dan perkembangbiakan tumbuhan baru; (d) kompetisi, yaitu proses yang
mengakibatkan pergantian jenis-jenis tumbuhan; (e) reaksi, yaitu adanya proses
perubahan habitat karena aktivitas jenis-jenis baru; dan (f) klimaks yang
merupakan tingkat kestabilan komunitas. Pendapat lain menyatakan bahwa
suksesi dimulai dari pioneer stage; menuju consolidation stage; lalu pada
tingkatan sub klimaks dan berakhir pada klimaks. (Dansereau, 1957 dalam
Barnes dan Spurr, 1980).
Freeman et al (1977) menyatakan bahwa kemampuan suatu ekosistem
untuk mentoleransi penggunaan oleh manusia dan untuk pulih kembali setalah
pemakaian sewenang-wenang, sangat bervariasi bergantung pada faktor-faktor
iklim dan biologi. Dan meskipun vegetasi masuk dengan cepat menempati
kembali daerah yang terbuka, dan suksesi biasanya berjalan cepat, namun
pemulihan hutan primer setelah gangguan hebat biasanya berjalan lambat. Hal
ini sebagian karena kerumitan hutan hujan klimkas dan jaringan hubungan
tumbuhan dan hewan yang rumit memperhambat pemulihan setelah mengalami
gangguan.
Merupakan sebuah istilah dari bahasa Yunani, klimaks sebenarnya berarti
sebuah jenjang. Namun pada akhirnya selalu diinterpretasikan sebagai titik akhir
dari sebuah jenjang (Mueller-Dombois and Ellenberg, 1974). Klimaks adalah
sebuah tahap akhir proses suksesi yang bersifat teguh. Perubahan-perubahan
komposisi spesies dan banyak sifat ekosistem terjadi dengan sangat cepat pada
awal suksesi dan laju perubahan menurun dengan berlangsungnya suksesi.
(McNaughton & Wolf 1990).
Proses suksesi merupakan sebuah mekanisme alami yang dimiliki oleh
suatu lahan untuk kembali pada keadaan semula, tetapi untuk mencapai itu,
memerlukan waktu yang sangat lama. Oleh karenanya, pengetahuan mengenai
suksesi mutlak diperlukan dalam melakukan revegetasi agar campur tangan
yang dilakukan (revegetasi) dapat berdampak dalam mempercepat proses
suksesi alami.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kegiatan revegetasi
haruslah berjalan menuju arah yang seharusnya melalui prinsip regenerasi dan
suksesi, sehingga evaluasi keberhasilan penting untuk dilakukan.
KEADAAN UMUM LOKASI

Kondisi Fisik
Luas dan Letak
Lokasi penambangan PT INCO terletak di daerah Sorowako, Kecamatan
Nuha, Kabupaten Luwu Utara, Propinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis,
lokasi konsesi awal PT INCO terletak pada posisi 120045' – 123030' BT (Sua-Sua
s/d Torokulu) dan 6030' - 5030' LS (Kolonedale s/d Malapulu). Sorowoako
merupakan daerah pertambangan nikel di sebelah utara Teluk Bone, tepatnya 60
km dari pantai Malili.
Secara umum, wilayah kontrak karya PT INCO dibagi dalam tiga kategori
yang meliputi lokasi :
1. Soroako Project Area (SPA), dengan luas daerah sekitar 10.010,22 ha.
2. Soroako Outer Area (SOA), dengan luas daerah sekitar 108.377,25 ha,
meliputi daerah Lingke, Lengkobale, Lasobonti, Lambatu, Tanamalia,
Lingkona, Lampenisu, Lampesue, Petea, Topemanu, Tanah Merah, Nuha,
Matano, Larona, dan Malili.
3. Sulawesi Coastal Deposite (SCD), dengan luas daerah sekitar 100.141,54
ha, meliputi daerah Bahodopi, Kolonedale (Sulawesi Tengah) dan daerah
Latao, Sua-Sua, Pao-Pao, Pomalaa, Malapulu, Torobulu, Lasolo serta
Matarape (Sultra).
Daerah Soroako Project Area (SPA) yang terdiri dari daerah Blok Timur
(East Block) dan Blok Barat (West Block), lokasinya dipisahkan oleh pabrik (Plant
Site) dan secara umum berbatasan dengan :
1. Bagian Utara dengan Desa Nuha dan Danau Matano
2. Bagian Timur dengan Danau Mahalona
3. Bagian Selatan dengan Desa Wawondula Kecamatan Towuti
4. Bagian Barat dengan Desa Wasuponda Kecamatan Nuha

Iklim
Menurut klasifikasi Schmidt & Ferguson daerah Sorowako termasuk tipe
iklim A dengan curah hujan yang cukup tinggi 3000 mm/tahun. Curah hujan
berlangsung sepanjang tahun dan curah hujan tertinggi yang tercatat yaitu pada
bulan Nopember sampai Maret. Suhu udara berkisar antara 25 - 260 C dengan
kelembaban rata-rata 80%.
Topografi dan Tanah
Daerah penambangan nikel Sorowako dibagi menjadi dua bagian yaitu
blok Barat dan blok Timur. Pembagian blok didasarkan pada kondisi geologi
daerah tersebut, dimana blok Barat mengandung lebih banyak batuan keras
yang berbanding lurus dengan kandungan nikel, sedangkan blok timur memiliki
lapisan tanah yang lebih sedikit mengandung batuan keras dengan kadar nikel
yang lebih rendah.
Rata-rata kemiringan di Sorowako yaitu 9 sampai 30% dengan ketinggian
rata-rata 600 m dpl. Perbukitan di blok Barat memiliki kemiringan 400 (83.9%)
dan blok Timur memiliki kemiringan rata-rata 250 (46%).
Daerah Sorowako didominasi oleh tanah laterit. Menurut Hardjowigeno
(1987), tanah laterit (Oksisol) adalah tanah dengan pelapukan lanjut dan
mempunyai horison oksik, yaitu horison dengan kandungan mineral rendah
(kurang dari 16 me/100 gr lempung). Banyak mengandung oksida-oksida besi
atau oksida Al. Tanah ini tidak mempunyai horison yang jelas.
Tanah laterit memiliki erodibilitas yang tinggi (peka terhadap erosi).
Berdasarkan sifat fisiknya tekstur tanah lateritik yaitu liat, liat berpasir dan liat
berdebu serta berstruktur lempeng. Ruang pori mikro dan makro porositas
tanahnya seimbang dengan drainase yang agak buruk sampai buruk. Bulk
density bersifat padat mencapai nilai 1,25 – 1,30 gr/cc, dengan permeabilitas
tanah yang rendah sampai sangat rendah (0,125 – 2,0). Apabila ditinjau dari sifat
kimia tanah, pH tanah lateritik berkisar antara 4,5 – 5,6 (sangat masam sampai
masam). Kandungan persentase C-organiknya rendah yaitu kurang dari 0,1
sampai 0,2. Hal tersebut serupa dengan nilai dari nisbah C/N yang besarnya
sangat rendah sampai rendah (kurang dari 5 sampai 10). Begitupun dengan
kandungan fosfor dalam bentuk P2O5 yang nilainya sangat rendah yaitu (0,5 -1,8
ppm). Sedangkan persentase Fe dan Al berskala tinggi yaitu (31-60), dengan
kandungan Kalium (K) rendah sampai sedang (0,1 – 0,3 me/100 gr tanah).
Kandungan Magnesium (Mg) berskala tinggi sampai sangat tinggi ( lebih dari 8
me/100 gr tanah). Untuk kandungan Kalsium (Ca), skalanya sangat rendah
sampai rendah (kurang dari 4 – 5 me/100 gr tanah). Kapasitas tukar kation (KTK)
berskala rendah (5 -16 me/100 gr tanah) dengan kejenuha basanya sangat tinggi
(lebih dari 70 me/100 gr tanah) (Mohr dan Van Baren, 1954).
Kondisi Biologis
Vegetasi
Kawasan hutan yang dipinjam pakai merupakan hutan hujan tropis
dataran rendah yang secara umum sama dengan formasi hutan hujan dataran
rendah di Indonesia. Beberapa jenis lokal yang tercatat antara lain; Belulang,
Cina-Cina, Cemara (Casuarina equisetifolia), Damar (Podocarpus spp), Nosu
(Ficus ribes Reinw. Ex Blume), Lodah (Ficus sp), dan Panopi (Eugenia sp).

Sejarah PT INCO
PT International Nickel Indonesia (PT INCO) menandatangani Kontrak
Karya dengan pemerintah Republik Indonesia pada bulan Juli 1968 setelah
sebelumnya dilakukan survei geologis besar-besaran yang memberikan data
bahwa terdapat cadangan nikel dalam jumlah besar di Sulawesi. Kontrak karya
tersebut berdasarkan UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing,
dan ditetapkan berlaku selama 30 tahun (terhitung sejak produksi komersial
1978).
Hasil penelitian sumber endapan bijih nikel dalam daerah konsesi PT
INCO, tahun 1968 – 1973, seluas 6,6 juta ha menggunakan foto udara,
pengambilan contoh dari test pit maupun trenching serta dari hasil penelitian
laboratorium di Kanada. Disimpulkan bahwa pengembangan pabrik di Sorowako
sangat layak. Sebagian besar daerah konsesi dikembalikan kepada pemerintah
RI secara bertahap, dan saat ini hanya mempertahankan hak konsesi seluas
218.000 ha (setelah penyusutan ke-9).
Sesuai dengan kontrak karya dengan Pemerintah RI dan Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 146/Kpts-II/1999, dengan penuh
kesadaran PT INCO melakukan kegiatan rehabilitasi pada lahan bekas tambang
yang dimulai pada tahun 1984. Pada periode tahun 1984 – 1990 kegiatan
revegetasi dilakukan tanpa memperhatikan karekteristik dan manajemen lahan
yang benar, tingkat adaptibilitas jenis tanaman, metode penanaman yang tepat,
dan sebagainya. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan para perencana
dan pelaksana kegiatan revegetasi dalam hal ilmu pembinaan hutan. Sejak tahun
1991 penerapan teknik silvikultur yang tepat telah digunakan untuk merehabilitasi
lahan bekas tambang yang ada.
METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 2 bulan, dimulai dari awal
Januari 2008 sampai dengan awal Maret 2008. Penelitian dilakukan pada lokasi
lahan-lahan bekas pertambangan nikel yang telah direvegetasi PT INCO Tbk.

Bahan dan Alat


Objek penelitian ini adalah tegakan hutan hasil revegetasi tahun tanam
1999-2007 serta tahun tanam 1985 dan 1996. Sedangkan peralatan yang
dibutuhkan antara lain : kompas brunton, pita ukur, Sunto clinometer, spherical
densiometer, tali tambang plastik.

Prosedur Pengumpulan Data


Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data
primer yang diambil adalah data mengenai kondisi tegakan terkini yaitu
komposisi dan struktur tegakan (jenis, jumlah jenis, jumlah individu, tinggi dan
diameter), kondisi tempat tumbuh (serasah dan jenis erosi yang terjadi) serta
keberadaan satwa liar. Data mengenai persentase pertumbuhan tanaman
diambil dari data sekunder yang merupakan rekapitulasi dari beberapa petak
contoh untuk tahun tanam 2004-2007 yang didapatkan dari pihak kontraktor
perusahaan.

Tahap Persiapan
Setelah dilakukan sigi pada lokasi objek penelitian, maka dipersiapkan
plot untuk melakukan analisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan dengan
menggunakan petak berbentuk lingkaran seluas 0,1 Ha dengan jari-jari
sepanjang 17.8 m.
Penentuan plot dilakukan secara acak, tetapi dengan mempertimbangkan
faktor-faktor seperti aksesibilitas terhadap lokasi plot contoh, penyebaran plot
contoh, ketersediaan plot dengan umur tanam tertentu yang semuanya dapat
terlihat pada peta revegetasi. Sebelumnya dilakukan pengecekan kondisi plot
contoh, karena sering terjadi perbedaan antara kondisi aktual dengan kondisi
yang tertera pada peta revegetasi.
Jumlah plot yang dibuat untuk tiap tahun tanam adalah 2 sampai 3 buah
plot per tahun tanam dengan jarak antar plot 50-100 meter, tetapi terdapat juga
yang hanya satu plot contoh yang diambil karena keterbatasan lahan. Pada plot
itu akan dilakukan pengamatan pertumbuhan tanaman terhadap seluruh
tanaman yang berada pada plot contoh, meliputi tinggi tanaman, diameter
tanaman, perkembangan akar dan penutupan tajuk. Untuk parameter
keberadaan jenis-jenis lokal serta keberadaan satwaliar juga dilakukan pada plot
ini. Plot contoh dibuat pada areal revegetasi dengan tahun tanam yang berbeda-
beda yaitu :
Tabel 2 Lokasi Pembuatan Plot Contoh

Tahun Tanam Nama


1985 Butoh
1996 Ponsesa
1999 Ponsesa
2000 Koro South
2001 Watulabu
2002 Debbie
2003 Hasan, Rante
2004 Koro, Triple A
2005 Olivia
2006 Petea
2007 Koro North

Pengambilan data.
1. Parameter Pertumbuhan
1.1. Tinggi dan Diameter Tanaman
Pengukuran tingi tanaman dilakukan dengan menggunakan alat ukur
tinggi Sunto Clinometer. Dilakukan pembidikan dengan jarak tertentu pada
pangkal dan ujung pohon sesuai dengan kemampuan alat. Hasil yang didapat
dari alat berbentuk satuan persen (%), oleh karena itu harus dilakukan konversi
agar didapat hasil berbentuk satuan meter (m).
Pengukuran keliling dilakukan pada bagian tanaman setinggi dada atau
1,3 m dari permukaan tanah untuk tanaman yang memiliki tingi ≥ 4 m.
Sedangkan untuk tanaman yang dibawahnya dilakukan pengukuran pada
ketinggian 30 cm dari pangkal batang.

1.2. Penutupan tajuk


Pengukuran penutupan tajuk dilakukan pada lima titik yaitu titik
tengah plot, serta empat titik lainnya yang simetris pada titik tengah plot itu
dengan menggunakan alat ukur spherical densiometer. Alat ini
menggunakan asumsi bahwa tiap kotak yang ditampilkan pada alat
ekuivalen dengan dengan luasan penutupan tajuk. Tetapi untuk dapat
menghasilkan dalam bentuk persentase, maka perlu dilakukan konversi
dengan menggunakan rumus :
Jumlah kotak yang tertutupi
Luasan penutupan tajuk = x100%
Jumlah seluruh kotak

1.3. Perkembangan akar


Pengukuran perkembangan akar diukur dengan menggali tanah di
sekitar tanaman dengan jarak lebih dari lubang tanam di setiap sisi dari
tanaman. Pengukuran dilakukan pada lahan hasil revegetasi yang berumur
dua dan empat tahun. Jumlah yang diambil sebagai sampel adalah 5
tanaman pada masing-masing plot.

1.4. Komposisi tegakan


Pengukuran komposisi tegakan dilakukan dengan mengamati
jenis dan jumlah tanaman yang ada pada plot contoh. Setelah itu dilakukan
rekapitulasi jumlah jenis antara jenis pioner, jenis primer serta jenis-jenis
lokal yang ada pada plot contoh.

2. Kondisi Tempat Tumbuh


2.1.Kondisi Serasah
Pengamatan serasah dilakukan dengan cara mengamati kondisi
serasah yang ada pada lokasi pengamatan. Parameter dari kondisi serasah
yang diamati adalah keberadaan serasah serta keadaan serasah.
2.2.Tanah

Pengamblan sampel tanah dilakukan dengan mengambil tanah


secara komposit. Pengambilan dilakukan pada plot contoh analisis vegetasi
dengan masing-masing plot mengambil lima titik yaitu titik tengah plot, serta
empat titik lainnya yang simetris pada titik tengah plot itu dengan kedalaman
0-20 cm. Sampel tanah dari kelima titik tadi lalu kemudian dicampur dan
disishkan sebanyak 50 gram untuk dibungkus dengan kertas alumunium
untuk kemudian dilakukan analisis laboratorium.

3. Keanekaragaman hayati.
3.1. Vegetasi
Pengukuran untuk keanekaragaman hayati dilakukan dengan
analisis vegetasi menggunakan petak lingkaran seluas 0,1 Ha dengan
diameter 17,8 m. Pengukuran dilakukan pada setiap tanaman yang ada,
baik yang merupakan hasil penanaman ataupun hasil rekolonisasi. Untuk
pengenalan jenis, dilakukan dengan melibatkan pengenal jenis.
Parameter yang diukur untuk vegetasi adalah tinggi dan diameter.
Untuk jenis-jenis rekolonisasi hanya dicatat keberadaannya saja dan
dilakukan pengenalan jenis secara langsung oleh pengenal jenis maupun
dengan bantuan dokumentasi.
3.1. Fauna
Pengamatan keberadaan satwa liar dilakukan pada setiap plot
contoh, dengan metode audio dan visual, selain itu dilakukan juga
wawancara pada pihak pekerja yang pernah mendatangi tempat itu.
Pencatatan dilakukan berdasarkan parameter keberadaannya, dan hanya
diidentifikasi sampai tingkatan takson kelas. Jika dimungkinkan tertangkap
jelas oleh kamera, maka dapat dilakukan identifikasi sampai tingkat jenis.

Analisis Data
1. Analisis Vegetasi
Setelah pengambilan data selesai dilakukan, dilakukan rekapitulasi
data dan hasilnya dihitung dengan menggunakan parameter kerapatan.
Kerapatan ini dibedakan menjadi dua yaitu untuk tumbuhan dengan diameter
0-10 cm dan tumbuhan dengan diameter diatas 10 cm. Berikut rumus
kerapatan (Soerianegara dan Indrawan, 1987) :
Jumlah individu
KERAPATAN =
Luas areal

2. Parameter Pertumbuhan
Analisis data dilakukan dengan membandingkan secara deskriptif
tingkat pertumbuhan sesuai dengan kondisi lahan objek pengamatan yaitu
lahan hasil revegetasi dari tahun 1985, 1996, 1999 sampai dengan 2007.
Pengamatan pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman, diameter
tanaman, perkembangan akar dan pembukaan tajuk.

3. Persentase Pertumbuhan Tanaman


Data persentase pertumbuhan tanaman diambil dari data sekunder.
Data ini merupakan rekapitulasi dari beberapa petak contoh untuk tahun
tanam 2004-2007 yang didapatkan dari pihak kontraktor perusahaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Setelah melakukan pengamatan disertai pengolahan data pada


beberapa blok vegetasi, maka didapatkan hasil seperti tabel-tabel di bawah ini:
Tabel 3 Persen tumbuh untuk beberapa jenis tanaman di beberapa areal
revegetasi umur 3 tahun
Persen Tumbuh (%)
No Species Rerata
Himalaya Kathryn Layla
1 Sengon (Paraserianthes falcataria) 97.0 97.8 100.0 98.2
2 Kapuk (Ceiba pentandra) 100.0 100.0 100.0 100.0
3 Akasia (Acacia mangium) 97.1 * 99.5 98.3
4 Mangga (Mangifera indica) 80.0 * * 80.0
5 Saga (Adenanthera speciosa) 100.0 81.3 * 90.6
6 Uru (Elmerelia sp) 96.6 100.0 100.0 98.9
7 Sandro (Sandoricum kacappeae) 100.0 * * 100.0
8 Eukaliptus (Eucalyptus urograndis) 90.2 * 100.0 95.1
Rerata 95.1 94.8 99.9 96.6
Keterangan :* = tidak ada data, jenis tersebut tidak ditanam pada plot.

Tabel 4 Persen tumbuh untuk beberapa jenis tanaman di beberapa areal


revegetasi umur 2 tahun
Persen Tumbuh (%)
No Species Rerata
Desy Solia
1 Sengon (Paraserianthes falcataria) 98.3 97.5 97.9
2 Kemiri (Aleuritus molluccana) 97.6 95.1 96.4
3 Eukaliptus (Eucalyptus urograndis) 97.4 98.1 97.8
4 (Mimosops eminii) 88.8 * 88.8
Rerata 95.5 96.9 96.2
Keterangan :* = tidak ada data, jenis tersebut tidak ditanam pada plot..

Tabel 5 Persen tumbuh untuk beberapa jenis tanaman di beberapa areal


revegetasi umur 1 tahun
Persen Tumbuh (%)
No Species Rerata
Fiona Lorraine Hasan
1 Sengon (Paraserianthes falcataria) 93.9 100.0 100.0 98.0
2 Saga (Adenanthera speciosa) 100.0 100.0 * 100.0
3 Sengon Buto (Enterolobium cyclocarpum) 98.2 100.0 * 99.1
4 Johar (Cassia siamea) 96.2 100.0 98.9 98.4
5 Eukaliptus (Eucalyptus urograndis) 94.1 83.3 100.0 92.5
6 Kayu Angin (Casuarina sp) * 100.0 100.0 100.0
Rerata 96.5 97.2 99.7 97.80
Keterangan :* = tidak ada data, jenis tersebut tidak ditanam pada plot.
Tabel 6 Data rekolonisasi serta kondisi serasah pada tiap plot pengamatan
No Nama Plot Tahun Tanam Rekolonisasi Serasah
1 Butoh 1985 Pionir ****
2 Ponsesa 1996 Kelakai, tali-tali, teduhu ****
3 Ponsesa 1999 Rudu, teduhu, liana, Lumut ****
4 Koro South 2000 Tali-tali ***
5 Watulabu 2001 Liana tak berkayu, rudu ***
6 Debbie 2002 epifit, tali-tali, teduhu, pionir, anakan ****
7 Hasan 2003 liana tak berkayu, epifit **
8 Rante 2003 Tali-tali *
9 Koro 2004 liana tak berkayu *
10 Triple A 2004 Tali-tali *
11 Olivia 2005 Liana tak berkayu, teduhu, rudu ***
12 Petea 2006 tidak diketemukan ***
13 Koro North 2007 tidak diketemukan **
Keterangan :
* ketebalan kurang dari 5 cm dengan jumlah sedikit.
** ketebalan lebih dari 5 cm dan tersebar relatif merata.
*** ketebalan lebih dari 5 cm, terdiri dari berbagai jenis serasah.
**** sudah terdapat dekomposisi.

Tabel 7 Data tipe erosi pada tiap plot pengamatan


No Nama Tahun Tanam Tipe Erosi

1 Butoh 1985 Percik, Lembar


2 Ponsesa 1996 Percik
3 Ponsesa 1999 Percik, Alur
4 Koro South 2000 Percik
5 Watulabu 2001 Percik, Lembar, Alur
6 Debbie 2002 Percik
7 Hasan 2003 Percik, Lembar
8 Rante 2003 Percik
9 Koro 2004 Percik
10 Triple A 2004 Percik
11 Olivia 2005 Percik, Lembar
12 Petea 2006 Percik, Lembar
13 Koro North 2007 Percik
Tabel 8 Data kerapatan tanaman, penutupan tajuk serta stratifikasi tajuk pada tiap plot
pengamatan
Tahun Kerapatan (individu/ha) Penutupan Stratifikasi
No Nama Plot
Tanam Diameter 0-10 cm Diameter >10 cm Tajuk (%) Tajuk
1 Butoh 1985 1370 60 65.83 E-D-C
2 Ponsesa 1996 150 280 52.5 E-D-C
3 Ponsesa 1999 150 270 42.71 E-D-C
4 Koro South 2000 110 470 50 E-D-C
5 Watulabu 2001 640 170 48.61 E-D-C
6 Debbie 2002 530 290 56.94 E-D-C
7 Hasan 2003 390 290 41.67 E-D-C
8 Rante 2003 290 140 32.29 E-D-C
9 Koro 2004 230 120 35.83 E-D-C
10 Triple A 2004 320 70 36.98 E-D-C
11 Olivia 2005 330 110 40.63 E-D-C
12 Petea 2006 530 70 53.67 E-D
13 Koro North 2007 420 - 15.17 E-D
Keterangan :
E : Lapisan tumbuhan penutup tanah
D : Lapisan tumbuhan dengan ketinggian 1-2 meter
C : Lapisan tumbuhan dengan ketinggian > 2 meter

Tabel 9 Data tumbuhan penutup tanah serta persentase penutupan tanah pada tiap
plot pengamatan.
Persentase
Tahun
No Nama Plot Tumbuhan penutup tanah Penutupan
Tanam
Tanah (%)
1 Butoh 1985 - 5
2 Ponsesa 1996 Brachiaria decumbens 45
3 Ponsesa 1999 Brachiaria decumbens 90
4 Koro South 2000 Brachiaria decumbens 80
5 Watulabu 2001 Brachiaria decumbens 50
6 Debbie 2002 Brachiaria decumbens 40
7 Hasan 2003 Brachiaria decumbens 100
8 Rante 2003 Brachiaria decumbens 100
9 Koro 2004 Brachiaria decumbens 100
10 Triple A 2004 Brachiaria decumbens 100
11 Olivia 2005 Wynn cassia, burgundi, bermuda, centro, wf millet 70
12 Petea 2006 Wynn cassia, burgundi, bermuda, centro, wf millet 60
13 Koro North 2007 Wynn cassia, burgundi, bermuda, centro, wf millet 40
Pembahasan
Persentase Pertumbuhan
Jika dibandingkan dengan penelitian Sirait pada tahun 1997 di beberapa
areal revegetasi PT INCO, terlihat bahwa persentase pertumbuhan memiliki
peningkatan: pada tahun 1997 persentase pertumbuhan tertinggi hanya
mencapai 93%. Hal itu dapat menjadi takaran bahwa terdapat pembenahan yang
baik pada faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat persentase pertumbuhan
yang terutama disebabkan faktor ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan persen tumbuh di atas 80%, sesuai dengan Pedoman Reklamasi
Lahan Tambang dari Ditjen RLPS, kegiatan revegetasi telah dinilai berhasil.
Dengan kata lain, daya adaptasi tanaman serta kualitas tempat tumbuh juga
penerapan teknologi sudah baik.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat persen tumbuh ini
antara lain dimulai dari kondisi bibit, pengangkutan bibit, cara penanaman dan
pemupukan. Selain itu, kondisi tanah laterit dapat mempengaruhi persen tumbuh.
Seperti diketahui, bahwa karakteristik tanah laterit adalah memiliki kesuburan
yang rendah dengan KTK rendah dan memiliki kandungan oksida Fe dan Al
tinggi (Hadjowigeno, 1987).
Beberapa tanaman yang mencapai persen tumbuh 100% pada tahun
ketiga merupakan tanaman pionir lokal yaitu Sandro (Sandoricum kacappeae)
dan Uru (Elmerelia sp). Hal itu menandakan bahwa karakteristik lahan sudah
cukup baik bagi tumbuhnya jenis-jenis lokal. Dan juga sudah sejalan dengan
peraturan pemerintah yang mengharuskan penanaman jenis lokal di areal bekas
tambang.

Perkembangan Tanaman
Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa diameter dan tinggi dari tanaman-
tanaman yang ditanam pada areal revegetasi menunjukkan perkembangan.
Dengan kata lain dalam 10 pekan pertama, tanaman telah dapat tumbuh dan
berkembang dengan grafik yang terus menaik. Diharapkan dengan kondisi
seperti itu, maka pertumbuhan pada masa ke depannya akan terus meningkat
dan dapat bertahan dari kematian. Peningkatan tertinggi pada diameter juga
tinggi justru dicapai oleh jenis lokal yaitu Trema (Melochia umbellata).
Peningkatan tinggi yang baik juga sangat menunjang penutupan lahan yang
semakin baik.
Beberapa hal yang dapat menjadi faktor meningkatnya pertumbuhan,
antara lain persiapan lahan yang baik serta kondisi bibit yang memiliki daya
tahan yang baik juga perakaran yang menunjang.

Gambar 1 Pertumbuhan diameter beberapa jenis tanaman.

Gambar 2 Pertumbuhan tinggi beberapa jenis tanaman.


Perakaran
Sistem perakaran yang berada pada areal revegetasi telah cukup
berkembang, dalam artian akar tanaman telah menembus tanah asli. Hal itu
terjadi pada setiap tahun tanam yang diamati dan pada jenis-jenis yang beragam
seperti Sengon (Paraserianthes falcataria), Eukaliptus (Eucalyptus sp), Trema
(Melochia umbellata), Johar (Senna siamea), Kayu Angin (Casuarina sp) juga
Dengen (Dillenia serrata).
Pada areal Petea dengan tahun tanam 2005, ditemukan akar Sengon
(Paraserianthes falcataria) yang telah berkembang baik, yaitu mencapai 3 meter
untuk akar horizontal dan 1.74 meter untuk akar vertikal (Gambar 3). Sedangkan
di daerah Watulabu dengan tahun tanam 2001, akar Sengon yang teramati
mencapai 3 meter untuk akar horizontal sedangkan disitu tidak terdapat akar
vertikal. Hal itu dapat terjadi disebabkan karena kondisi tanah bagian bawah
yang cukup keras juga belum kuatnya akar pada saat penanaman dilakukan
(Gambar 4).

Gambar 3 Perakaran Sengon (Paraserianthes falcataria) di Petea.

Perakaran menjadi penting, karena untuk menunjang pertumbuhan dan


perkembangan tanaman yang berkelanjutan diperlukan akar yang baik dalam
upaya menyerap unsur hara juga untuk menopang tubuh tumbuhan. Selain
perkembangan akar, keberlanjutan pertumbuhan haruslah didukung dengan
kondisi tempat tumbuh yang baik, salah satunya dicirikan adanya serasah
sebagai wahana keberlangsungan siklus hara.
Gambar 4 Perakaran Sengon (Paraserianthes falcataria) di Watulabu.

Serasah
Pada tiap areal pengamatan, sudah terdapat akumulasi serasah,
walaupun dalam jumlah dan kondisi yang beragam. Areal yang memiliki
akumulasi serasah paling minim yaitu Rante (tahun tanam 2003) juga Koro dan
Triple A dengan tahun tanam sama yaitu 2004. Pada areal tersebut, ketebalan
serasah masih kurang dari 5 cm dengan jumlah yang sedikit, dan hanya terdiri
dari dedaunan saja dengan kondisi belum terdapat dekomposisi. Kondisi seperti
ini dapat dipengaruhi oleh keadaan lahan pada areal di atas yang memiliki
penutupan oleh tumbuhan penutup tanah yang berupa Signal Grass (Brachiaria
decumbens) sebesar 100%.
Serasah yang telah terdekomposisi, terdapat pada areal Butoh (tahun
tanam 1985), Ponsesa (tahun tanam 1996 dan 1999) serta Debbie (tahun tanam
2002). Serasah yang sudah terdekomposisi berupa daun, sedangkan jenis
lainnya seperti ranting belum terdapat dekomposisi. (Gambar 5 dan 6).
Dekomposisi berkaitan erat dengan rekolonisasi. Hal itu dapat dilihat bahwa
rekolonisasi berupa anakan dari tumbuhan pionir hanya terdapat di tempat yang
sudah terdapat dekomposisi serasah (Butoh dan Debbie). Itu menunjukkan
bahwa kondisi kedua tempat sudah cukup baik bagi tumbuhnya anakan alami
dan adanya dekomposisi serasah dapat menjadi pertanda adanya
keberlangsungan siklus unsur hara.
Gambar 5 Akumulasi serasah di Debbie.

Gambar 6 Akumulasi serasah di Ponsesa.

Rekolonisasi
Pada setiap areal yang diamati, rekolonisasi sudah terjadi dalam skala
kecil. Pada umumnya, rekolonisasi yang terjadi didominasi oleh liana tak berkayu
dari jenis Mikania micrantha. Jenis ini sangatlah mudah untuk tumbuh dan
merambat melalui mekanisme fototaksis. Penyebarannya pun relatif cepat,
karena biji dari Mikania micrantha ini sangat kecil dan mudah untuk terbawa
angin (ISSG, 2005). Dengan kondisi seperti itu, maka tidak mengherankan jika
jenis ini sangat mudah ditemukan di seluruh areal revegetasi kecuali di Daerah
Butoh (tahun tanam 1985) dan Koro serta Petea dengan tahun tanam masing-
masing 2007 dan 2006.
Tumbuhnya jenis Mikania micrantha ini diduga berasal dari kompos yang
digunakan pada saat persiapan lahan dan penanaman. Akan tetapi, seiring
berjalannya waktu, penyebaran jenis ini yang sangat cepat dan invasif,
menjadikan jenis ini memiliki dampak negatif terhadap program revegetasi yaitu
dengan cara menjadi gulma dan dapat menghambat pertumbuhan tanaman
pokok (Gambar 7).

Gambar 7 Tanaman pokok yang terinvasi jenis Mikania micrantha di Debbie.

Dalam pada itu perlu dilakukan pemeliharaan pada areal yang terganggu
oleh jenis Mikania micrantha. Pemeliharaan yang dilakukan adalah pembebasan
tanaman pokok dari jenis Mikania micrantha baik dengan cara mekanis yaitu
mencabuti untuk areal yang tidak terlalu banyak terserang ataupun cara non-
mekanis seperti penyemprotan herbisida untuk areal yang terkena dampak
serangan parah seperti di Debbie dengan tahun tanam 2002. Pembebasan
tanaman pokok dari gulma mutlak diperlukan untuk memberikan ruang tumbuh
yang optimal. Selain itu, kesehatan tanaman juga menjadi salah satu kriteria
yang ditetapkan oleh Ditjen RLPS untuk keberhasilan revegetasi lahan bekas
tambang.
Anakan pionir hanya dapat ditemukan di areal Butoh (tahun tanam 1985)
dan Debbie (tahun tanam 2002) (Gambar 8). Pada dua wilayah ini dapat
ditemukan kesamaan pada variabel lain pengamatan yaitu keduanya memiliki
persentase penutupan tajuk oleh kanopi paling tinggi (Butoh : 65,93% dan
Debbie : 56,94%); memiliki persentase penutupan lahan oleh tumbuhan penutup
tanah paling rendah (Butoh : 5% dan Debbie : 40%); serta kondisi serasah di
kedua tempat sudah menunjukan adanya dekomposisi.
Gambar 8 Anakan hasil rekolonisasi di Debbie.

Jenis epifit serta lumut terdapat di Ponsesa dengan tahun tanam 1999
(Gambar 9 dan 10). Terdapatnya jenis lumut merupakan salah satu keadaan
yang baik, karena karakteristik lumut yang dapat mengeluarkan eksudat berupa
organic acid dapat membantu terjadinya pelapukan pada bagian-bagian tanah
yang keras (Setiadi 2006).
Jenis-jenis herba seperti kelakai dapat ditemukan di Ponsesa dengan
tahun tanam 1996 (Gambar 11). Jenis jamur dapat ditemukan di bukit Triple A
dengan tahun tanam 2003 (Gambar 12).

Gambar 10 Lumut di Ponsesa.


Gambar 9 Epifit di Ponsesa.

Gambar 11 Kelakai di Ponsesa.


Gambar 12 Jenis jamur di Triple A.
Mengacu pada Budowski (1965) dalam Freeman, Dasmann dan Milton
(1977), maka terlihat bahwa suksesi tengah berjalan pada peralihan antara strata
pionir menuju sekunder awal. Beberapa cirinya antara lain: memiliki tumbuhan
merambat yang bayak dengan batang basah tetapi memiliki spesies yang sedikit;
dengan penyebaran biji tumbuhan dominan oleh burung, kelelawar dan angin;
serta regenerasi tumbuhan dominan yang sangat langka atau bahkan praktis
tidak ada.

Tumbuhan Penutup Tanah


Dengan sudah masuknya beberapa jenis hewan yang dapat membantu
penyebaran biji ke lahan revegetasi, sebenarnya merupakan simptom terjadinya
rekolonisasi, tetapi kondisi tumbuhan penutup tanah yang sangat padat
(terutama jenis seperti uraso dan signal grass) memungkinkan biji tidak
mencapai lantai hutan untuk kemudian berkecambah. Jika pun ada biji yang
mencapai lahan hutan, akan terjadi kesulitan dalam persaingan hara, kerasnya
lahan sehingga sulit bagi akar yang baru untuk memembus tanah dan faktor-
faktor pendukung perkecambahan lainnya. Hal sebaliknya terjadi pada lahan
dengan tumbuhan penutup tanah jenis dari famili Leguminaceae; penutupan
tidak terlalu rapat, sehingga kesempatan bagi biji-biji untuk berkecambah terbuka
lebih lebar.
Beragam jenis digunakan sebagai tumbuhan penutup tanah. Pada
awalnya, yang digunakan adalah uraso (Sacharum sp), tetapi mulai tahun 2003,
penggunaan uraso telah diganti oleh signal grass (Brachiaria decumbens).
Bersamaan dengan itu, dilakukan juga secara bertahap penggantian uraso
(Sacharum sp) di lapangan dengan signal grass (Brachiaria decumbens) untuk
tegakan tahun 2003 ke atas.

Tabel 10 Komposisi tumbuhan penutup tanah pada areal penanaman 2005-2007


Nama umum Nama latin Komposisi (%)
Bermuda Cynodon dactylon 30 %
Burgundy Macroptilium bracteatum 20 %
WF millet Panicum miliaceum 25 %
Wynn cassia Chamaecrista rotundifolia 25 %
.
Gambar 13 Persentase penutupan tajuk dan penutupan tanah oleh cover crops

Signal grass (Brachiaria decumbens) digunakan karena memiliki sifat


yang dapat cepat tumbuh menutupi lahan, dapat berkembang pada daerah yang
miskin hara dan dapat mengontrol erosi (Shelton, 2007). Tetapi, seperti halnya
uraso (Sacharum sp) yang memiliki penutupan lahan sangat rapat,
keberadaannya dapat menghambat terjadinya rekolonisasi. Rekolonisasi pada
tegakan 2003 ke atas, diduga terjadi pada saat masa penggantian tanaman
penutupan tanah itu.
Dimulai tahun 2005, kombinasi dari beberapa tanaman yaitu Wynn
cassia, burgundi, jenis Leguminaceae, Crotalaria sp. mulai dipergunakan sebagai
tumbuhan penutup tanah. Leguminaceae dipilih karena dapat menambah N
tanah, tidak berkompetisi dengan tanaman pokok, juga beberapa jenisnya sangat
toleran terhadap tanah miskin (Hadjowigeno, 1987).
Gambar 13 menunjukkan bahwa penutupan lahan oleh tumbuhan
penutup tanah cenderung memiliki hubungan yang berbanding terbalik dengan
penutupan tajuk. Hal itu dapat dilihat pada tegakan tahun tanam 2003 dan 2004
yang memiliki penutupan lahan oleh signal grass (Brachiaria decumbens)
sebesar 100% (Gambar 14), justru memiliki penutupan tajuk yang rendah
(berkisar pada 30-an %), sedangkan Butoh dan Debbie yang memiliki penutupan
tajuk tertinggi (masing-masing 65,93% dan 56,94%); memiliki persentase
penutupan lahan oleh tumbuhan penutup tanah paling rendah sebesar 5% dan
40% (Gambar 15). Hal itu dapat disebabkan karena adanya reduksi cahaya
matahari oleh tajuk sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan signal
grass (Brachiaria decumbens).

Gambar 14 Kondisi penutupan lahan di Rante

Gambar 15 Kondisi lantai hutan di Butoh

Penutupan tanah oleh tumbuhan penutup tanah berkaitan erat dengan


kondisi serasah juga penutupan tajuk. Semakin rapat penutupan tajuk, maka
akan semakin rendah persentase penutupan tanah dan dapat menyebabkan
serasah langsung jatuh ke tanah yang memudahkan untuk terjadinya
dekomposisi. Oleh karena itu pada lahan-lahan yang memiliki persentase
penutupan tanah 100% seperti di Hasan (tahun tanam 2003), Rante (tahun
tanam 2003), Koro (tahun tanam 2004) dan Triple A (tahun tanam 2004) perlu
dilakukan penanaman jenis-jenis sisipan dengan jarak tanam yang lebih rapat.
Selain untuk mempercepat reduksi persentase penutupan tanah, upaya ini dapat
berguna dalam meningkatkan keanekaragaman juga pembentukan stratifikasi
tajuk. Hal seperti itu perlu juga dilakukan pada lahan di Ponsesa (tahun tanam
1999) dan Koro South (tahun tanam 2000).
Erosi
Salah satu hal yang terpenting dari tumbuhan penutup tanah adalah
dalam pengendalian erosi. Penutupan tanah yang baik akan menghasilkan
reduksi erosi, mengingat bahwa di areal PT INCO memiliki curah hujan yang
cukup tinggi yaitu 3000 mm/tahun.
Pada bebereapa areal revegetasi, penutupan lahan oleh signal grass
(Brcahiaria decumbens), telah menghasilkan reduksi erosi yang cukup baik.
Tercatat hanya di Watulabu (tahun tanam 2001) dan Hasan (tahun tanam 2003)
saja yang terjadi jenis erosi lembar. Untuk daerah Watulabu (tahun tanam 2001),
dengan persentase penutupan tanah yang tidak terlalu besar, yaitu 50%, erosi
terjadi di lahan yang tidak tertutupi oleh tumbuhan penutup tanah. Di daerah ini
juga ditemukan erosi jenis alur yang ada pada lahan yang tak tertutupi oleh
tumbuhan penutup tanah dan tidak ternaungi juga oleh tajuk. Sedangkan di
Hasan (tahun tanam 2003) dengan persentase penutupan tanah 100%, erosi
terjadi di bagian luar tegakan (Gambar 16).
Erosi lembar dapat ditemukan juga pada areal dengan tahun tanam 2005
dan 2006 (Olivia dan Petea) yang memiliki tumbuhan penutup tanah jenis
kombinasi Wynn cassia, Burgundi, Leguminaceae dan Crotalaria sp. Hal itu
dapat terjadi karena topografi areal pada kedua lahan tersebut cukup miring
(hampir 100%), juga penutupan lahan oleh tumbuhan penutup tanah belum
terlalu sempurna (masing-masing 60 dan 40%). Pada tahun areal Koro North
(tahun tanam 2007) walaupun penutupan lahannya hanya 40% dengan
tumbuhan penutup tanah yang sama, tidak terdapat erosi lembar, dikarenakan
kondisi lahannya relatif landai.
Pada areal Ponsesa tahun tanam 1999 ditemukan situs erosi alur yang
tidak aktif karena telah tertutupi oleh tumbuhan penutup tanah (Gambar 17).
Dalam artian bahwa kemungkinan erosi itu terjadi pada saat lahan belum
tertutupi dengan baik oleh tumbuhan penutup tanah dan intensitasnya lambat
laun berkurang seiring perkembangan tumbuhan penutup tanah. Water log dapat
ditemukan pada areal muda dengan tahun tanam 2006 dan 2007 yang terdapat
di luar tegakan.
Gambar 16 Erosi percik pada arel pengamatan

Gambar 17 Situs erosi alur di Ponsesa

Gambar 18 Water log di Koro (2007)

Penutupan dan Stratifikasi Tajuk


Salah satu hal yang dapat menghambat terjadinya erosi adalah
penutupan tajuk yang baik. Seperti terlihat di areal Butoh dengan tahun tanam
1985, walupun dengan persentase penutupan tanah yang sangat kecil (5%),
tetapi tidak terdapat jenis erosi alur, hal ini dapat disebabkan penutupan tajuknya
yang paling rapat dibandingkan areal lain. Selain itu jumlah individu pohon pada
areal ini yang relatif banyak walaupun didominasi oleh tumbuhan berdiameter
dibawah 10 cm dapat menyebabkan adanya mekanisme pengurangan laju
curahan tajuk (throughfall).
Seperti telah dijelaskan di atas, Gambar 13 menunjukkan bahwa
penutupan tajuk yang baik akan menghambat pertumbuhan penutup tanah yang
semakin invasif. Sehingga pada akhirnya dengan penutupan tajuk yang semakin
sempurna, maka lahan pun akan semakin bebas dari tumbuhan penutup tanah
yang akan memudahkan bagi terjadinya rekolonisasi.
Penutupan juga stratifikasi tajuk merupakan salah satu faktor yang
penting dalam keberhasilan rehabilitasi. Memiliki fungsi hidro-orologis seperti
halnya stratifikasi tajuk, penutupan tajuk juga memiliki fungsi sebagai mekanisme
penahan lantai hutan dari sinar matahari nyang dapat menyebabkan perubahan
iklim mikro dengan penurunan suhu dan peningkatan kelembaban.
Umumnya di daerah areal revegetasi telah terbentuk 3 lapisan. Lapisan
pertama yaitu lapisan penutup tanah yang didominasi oleh tumbuhan penutup
tanah; lapisan kedua yaitu lapisan yang terbentuk akibat penanaman tanaman
sisipan yang biasanya berupa tanaman lokal dengan tinggi kurang lebih 1-2
meter; dan lapisan paling atas adalah yang didominasi oleh tanaman pokok
revegetasi seperti Sengon (Paraserianthes falcataria), Sengon Buto
(Enterolobium macrocarpum) dan Eucaliptus (Eucalyptus urograndis).
Stratifikasi tajuk dapat pula memungkinkan introduksi berbagai jenis
satwa, karena jenis-jenis satwa tertentu memiliki habitat dalam strata tajuk yang
spesifik. Contohnya jenis burung-burung pemangsa lebih menyukai untuk hidup
dan membangun sarang dalam strata tajuk A atau B yang memiliki ketinggian
lebih dari 25 meter dan mencari mangsa pada strata tajuk yang lebih rendah.

Gambar 19 Kondisi penutupan tajuk di Gambar 20 Kondisi penutupan tajuk di


Ponsesa (1996) Ponsesa (1999)

Satwa Liar
Gambar 21 Kondisi penutupan tajuk Gambar 22 Kondisi penutupan tajuk
di Olivia di Butoh
Keberadaan satwa liar merupakan salah satu indikator yang penting
dalam keberhasilan rehabilitasi. Dengan adanya satwa liar setidaknya
mencerminkan dua hal: keadaan lahan yang mulai mendukung sebagai habitat
bagi satwa liar sebagai site visit, mencari makan juga bersarang yang
menadakan bahwa telah terbentuk sebuah ekosistem; juga indikasi adanya
vektor pembawa biji dari hutan alam sebagai awal dari tahapan rekolonisasi.
Selain hal itu, mekanisme ekologis makan dan dimakan (rantai makanan)
memungkinkan satwa menjadi pemain penting dalam hal pengendalian hama
dan penyakit hutan.
Masuknya satwa liar telah terjadi pada lahan dengan tahun tanam 2007
(kurang dari 1 tahun) walaupun tidak untuk melakukan kegiatan reproduksi dan
bersarang, tetapi hanya sebagai tempat singgah saja. Sedangkan pada tahun
tanam 2004 yaitu di Hasan, ditemukan sarang burung pipit pada plot
pengamatan (Gambar 23). Hal itu menunjukan bahwa kondisi di tegakan itu
sudah kondusif untuk habitat beberapa jenis satwa.
Beberapa satwa yang ditemukan secara langsung antara lain dari jenis
herpetofauna seperti kadal; jenis-jenis burung seperti elang, alap-alap, kutilang
dan jenis lain yang belum teridentifikasi; juga jenis unggas yaitu ayam hutan.
Menurut keterangan, banyak ditemukan juga tikus hutan dan ular.
Keberadaan elang yang sempat terdeteksi hinggap di daerah
Watulabudengan tahun tanam 2001 merupakan hal yang sangat baik. Dengan
perannya dalam piramida ekologi sebagai top predator, maka dapat disimpulkan
bahwa beberapa satwa yang menjadi makanannya (terutama dari tingkatan
konsumen tingkat 2) pun berada disana.
Keragaman dari satwa pun akan memunculkan keragaman dari jenis
vegetasi. Hal itu dapat dimungkinkan karena beberapa satwa hanya dapat hidup
bila terdapat jenis-jenis tertentu saja dan begitupun sebaliknya, jenis-jenis
tumbuhan tertentu hanya dapat disebarkan melalui jenis satwa yang tertentu.
Gambar 23 Sarang burung di Hasan

Komposisi Tanaman
Dari tabel dapat dilihat bahwa areal yang memiliki kerapatan tertinggi
yaitu Butoh (tahun tanam 1985) dengan 1430 individu per hektar. Nilai itu
berbeda jauh sekali dengan Koro (tahun tanam 2004) yang memiliki nilai
terendah yaitu 350 individu per hektar.
Hal yang patut diperhatikan adalah meskipun Butoh memiliki kerapatan
individu tertinggi, tetapi komposisinya didominasi oleh tumbuhan dengan
diameter kurang dari 10 cm (1370 indivdu per hektar), sedangkan tumbuhan
dengan diameter lebih dari 10 cm hanya 60 individu per hektar yang merupakan
nilai terendah dari semua areal untuk strata tumbuhan berdiameter lebih dari 10
cm. Hal itu dapat terjadi karena meskipun areal Butoh telah ditanami sejak 1985
dan mengalami beberapa pemeliharan, tetapi pada awal penanaman dilakukan
tanpa memperhatikan karakteristik dan manajemen lahan, tingkat adaptabilitas
jenis tanaman, metode penanaman dan sebagainya.
Dapat terlihat juga bahwa setiap lahan memiliki komposisi tumbuhan
berdiameter kurang dari 10 cm lebih banyak daripada tumbuhan berdiameter
lebih dari 10 cm. Hanya pada tegakan di atas tahun 2000 saja yang memiliki
kondisi yang bernegasi. Hal itu dapat disebabkan karena tumbuhan berdiameter
kurang dari 10 cm didominasi oleh tumbuhan sisipan baru yang merupakan hasil
dari penanaman jenis-jenis lokal, sedangkan pada tegakan-tegakan tua, terlihat
belum dilakukan penanaman jenis-jenis lokal.
Mulai dari beberapa tahun ke belakang, jenis tanaman yang ditanam
pada lahan revegetasi menggunakan prinsip polikultur (beragam jenis) dalam
satu lahan. (Lihat lampiran 4) Hal itu dilakukan untuk mencegah serangan hama
penyakit yang menyerang jenis tertentu saja. Prinsip monokultur terbukti jika
diserang oleh hama dan penyakit, maka hasilnya akan tampak seperti kurang
lebih pada bukit Hasan dengan tahun tanam 2000: kerapatan per hektarnya pada
tahun 2007 tidak melebihi dari 300 individu per hektar.
Selain untuk menghindari serangan hama dan penyakit, prinsip polikultur
juga bermanfaat untuk menekan kompetisi nutrisi juga eksploitasi nutrisi berlebih
oleh satu jenis tertentu. Penyediaan habitat yang berbeda untuk pelbagai jenis
bianatang serta ketersediaan keanekaragaman penutupan lahan merupakan
manfaat lain dari polikultur. Paling terpenting, polikultur yang dilakukan telah
melibatkan jenis-jenis lokal (lihat lampiran 3) yang merupakan salah satu
indikator keberhasilan dalam melakukan reklamasi lahan bekas tambang
(Pedoman Reklamasi Lahan Tambang-Ditjen RLPS, 1997).

Analisis Tanah
Lampiran 5 menunjukkan hasil sementara analisis yanah yang dilakukan
pada areal pengamatan. Dapat terlihat bahwa secara umum bahwa tanah pada
areal revegetasi memiliki tekstur tanah yang sedang yaitu lempung dan lempung
berdebu. Hanya pada daerah Watulabu (tahun tanam 2001) saja yang memiliki
kelas tekstur lempung liat berdebu dengan tekstur yang agak halus. Jenis tanah
lempung ini merupakan jenis tanah yang umum ditemui di daarah pertanian
(Soepardi, 1983).
Tekstur memiliki hubungan erat dengan KTK. Makin halus tekstur tanah,
maka akan makin tinggi KTK (Soepardi, 1983). Hasil analisis tanah menunjukkan
hal yang kongruen (Lihat lampiran 5). Anomali terjadi pada Butoh (tahun tanam
1985), yang memiliki KTK tertingi (10.61) tetapi justru memiliki kelas tekstur
tanah berupa lempung yang lebih kasar dibandingkan Watulabu (tahun tanam
2001). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi tanah pada areal itu belum normal.
Soepardi (1983) menyatakan bahwa Fe (besi) memiliki jumlah yang lebih
banyak dibandingkan unsur mikro lainnya di dalam tanah. Tetapi, hasil analisis
tanah menunjukan keadaan yang tidak normal: Mn (Mangan) memiliki
konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan unsur lainnya di semua wilayah
pengamatan. Bahkan di daerah Petea (tahun tanam 2006) tercatat konsentrasi
Mn yang sangat ekstrim: 128 ppm berbanding 2 ppm untuk Fe. Ini menunjukkan
ketidakseimbangan dan dalam jangka panjang akan menyebabkan gejala-gejala
defisiensi Fe seperti kesulitan dalam membentuk klorofil, terganggunya
penyusunan enzim dan protein, serta distrorsi pada oksidasi-reduksi dalam
respirasi (Hadjowigeno, 1987).
pH pada daerah pengamatan berkisar antara agak masam dan netral.
Kondisi seperti itu merupakan suasana rata-rata yang baik bagi tanaman, karena
keadaan kimia maupun biologi berada pada titik optimum. Apabila pH bergerak
ke arah sangat masam dan sangat basa, maka akan terjadi ketidakseimbngan
unsur hara yang dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan.
Persentase bahan organik pada areal pengamatan menunjukkan kondisi
yang normal, dimana kadar bahan organik tidak lebih dari 5%. Bahan organik ini
sangat penting, karena sangat mempengaruhi sifat fisik tanah. Bahan organik
cenderung meningkatkan jumlah air yang dapat ditahan tanah dan jumlah air
yangtersedia bagi tanaman juga merupakan sumber energi bagi jasad mikro.
Tanpa bahan organik, semua kegiatan biokimia terhenti (Soepardi, 1983).
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Pada beberapa variabel yang ditetapkan oleh Ditjen RLPS, revegetasi
lahan bekas tambang di PT INCO telah memenuhi kriteria keberhasilan yaitu
persentase pertumbuhan yang telah mencapai > 80% dan penanaman jenis-jenis
lokal. Sementara kesehatan tanaman, belum memenuhi kriteria, karena masih
banyak terdapat tanaman yang terkena penyakit juga terserang hama maupum
gulma.
Status rekolonisasi belum menunjukan nilai yang semakin meningkat
untuk tiap area berdasarkan umur tanam. Hal ini membutuhkan perbaikan.
Secara keseluruhan, revegetasi di PT INCO belum membentuk struktur dan
fungsi yang semula yaitu hutan lindung.

Saran
Untuk menghasilkan rekapitulasi data yang baik dan dapat dijadikan
acuan bagi penelitian selanjutnya, perlu dibangun petak ukur permanen untuk
aspek-aspek yang menjadi takaran bagi keberhasilan revegetasi. Petak ukur
permanen haruslah mencerminkan pelbagai ragam kondisi yang ada pada lahan
revegetasi.
Penanaman tanaman sisipan diperlukan pada areal revegetasi seperti di
Hasan, Rante (2003); Koro, Triple A (2004) ; serta Ponsesa (1996 dan 1999). Hal
itu dilakukan untuk menambah kerapatan serta mempercepat penutupan tajuk.
Untuk menjamin terbebasnya tanaman dari gulma perlu dilakukan
pembebasan dari gulma yang dilakukan dengan cara mekanis di tiap areal-
terutama yang terdapat tali-tali (Mikania micrantha). Cara non-mekanis seperti
penyemprotan herbisida dapat dilakukan di Debbie (2002), karena serangan
gulma sudah relatif parah.
SENARAI PUSTAKA
.
[ISSG] Invasive Species Specialist Group. 2005. Mikania micrantha (vine,
climber). http://www.issg.org/database/species/ecology.asp?si=42. [04
Juni 2008]

[Dephut] Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan


Perhutanan Sosial. 1997. Pedoman Reklamasi Lahan Tambang.
Jakarta : Dephut.

[Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Keputusan Menteri


Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia Nomor 146/Kpts-
II/1999 tentang Pedoman Reklamasi Bekas Tambang dalam Kawasan
Hutan. Jakarta: Dephutbun.

[DITR] Departement of Industry Tourism and Resources, Australian


Government.2006. Mine Rehabilitation: Leading Practice Sustainable
Development Program for The Mining Industry. Commonwhealth of
Australia.

[LEH IPB] Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian


Bogor. 2004. Bahan Kuliah Ekologi Hutan, Program Sarjana Fakultas
Kehutanan IPB. Tidak Diterbitkan.

Ambodo A. 2005. Mine Rehabilitation Best Practice. Sulawesi : PT INCO Tbk.


Tidak Dipublikasikan.

Barnes BV dan Spurr SH. 1980. Forest Ecology (Wiley International Edition).
John Wiley and Sons, Inc. United States of America.

Daniel TW, JA Helms dan FS Baker. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Gadjah


Mada University Press. Yogyakarta.

Freeman PH, Dasmann RP, Milton JP. 1977. Prinsip Ekologi untuk
Pembangunan Ekonomi. PT Gramedia, diterbitkan untuk yayasan Obor
Indonesia dan Lembaga ekologi Universitas Padjadjaran. Jakarta

Hardjowigeno S. 1995. Ilmu Tanah (Edisi Revisi). Akademika Pressindo. Jakarta.

Kloer W, Manfred K. 1988. Arti Humus Bagi Erosi Tanah Dan Stabilitas Lereng di
daerah Tropis-Lembab Musiman di Papua Nugini. Di dalam : Gustav
Espig, penyunting. Ekologi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Kormondy EJ. 1969. Concept of Ecology. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs,
New Jersey.

Kustiawan W. 2001. Perkembangan Vegetasi dan Kondisi Tanah serta


Revegetasi pada Lahan Bekas Galian Tambang Batubara di
Kalimantan Timur. Jurnal Ilmiah ”Rimba Kalimantan” Volume 6, No.2,
Des 2001. Hal 20-31.

Manan S. 1998. Hutan, Rimbawan dan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor


Press. Bogor.

McNaughton SJ dan LL Wolf. 1990. Ekologi Umum. Gadjah Mada University


Press. Yogyakarta.

Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Method of Vegetation Ecology


(Wiley International Edition). John Wiley and Sons, Inc. United States
of America.

Nusantara A, Enny W, Iwan S, Arief D, Untung S. 2004. Strategi Restorasi Lahan


Terdegradasi [makalah]. Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Tidak
Diterbitkan.

Setiadi Y. 2006. Bahan Kuliah Ekologi Restorasi. Program Studi Ilmu


Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Tidak
Diterbitkan.

--------------. 2006. Criteria and Indicator for Evaluation the Succesfull


Revegetation Programme. In Press.

Setiawan IE. 2003. Evaluasi Tingkat Keberhasilan Revegetasi Pada Lahan


Bekas Tambang Timah PT. KOBA TIN, Koba, Bangka- Belitung.
Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan
IPB. Tidak Diterbitkan.

Shelton M. 2007. Brachiaria descumbens, Graminae. http://www.fao.org/AG/AGP


[02 Juni 2008]

Sirait, EESA. 1997. Evaluasi Keberhasilan Revegetasi di Lahan Bekas Tambang


Nikel PT. INCO, Soroako, Sulawesi Selatan. Skripsi. Jurusan
Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Diterbitkan.

Soegianto A. 1994. Ekologi Kuantitatif, Metode Analisis Populasi dan Komunitas.


Usaha Nasional. Surabaya.
Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Diktat mata kuliah Ilmu Tanah. Institut
Pertanian Bogor.

Soerianegara I, Indrawan A. 1987. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium


Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Sutisna U, Karlina T, Purnadjaja. 1998. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan


Indonesia. Yayasan PROSEA, Bogor dan Pusdiklat Pegawai & SDM
Departemen Kehutanan. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Lokasi Areal konsesi PT INCO

(Sumber: Div. Mine Rehabilitation PT.INCO)


Lampiran 2 Lahan purna tambang yang telah direhabilitasi hingga Kuartal III tahun 2007 (Sumber: Div. Mine Rehabilitation PT.INCO)

Lampiran 3 Rekapitulasi, Jenis, Jumlah dan Rerata Diameter


Tahun Tanam 1996
No Nama Lokal Nama Latin Famili Status Jumlah Rerata Diameter (cm)
1 Eucalyptus Eucalyptus urograndis Myrtaceae Pioneer eksotik 4 9.06
2 Sengon Paraserianthes falcataria Fabaceae Pioneer eksotik 39 11.59

Tahun Tanam 1999


No Nama Lokal Nama Latin Famili Status Jumlah Rerata Diameter (cm)
1 Sengon Paraserianthes falcataria Fabaceae Pioneer eksotik 2 13.85
2 Sengon Buto Enterolobium macrocarpum Fabaceae Pioneer eksotik 33 12.33
3 Eucalyptus Eucalyptus urograndis Myrtaceae Pioneer eksotik 1 6.69
4 Lamtoro Leucaena leucochepala Fabaceae Pioneer eksotik 1 6.69
5 unidentified 4 7.32
6 Trema Melochia umbellata Sterculiaceaea Pioneer Lokal 1 < 3 cm

Tahun Tanam 2000


No Nama Lokal Nama Latin Famili Status Jumlah Rerata Diameter (cm)
1 Sengon Paraserianthes falcataria Fabaceae Pioneer eksotik 56 16.67
2 Jambu-jambuan Kjellbergiodendron celebicum Myrtaceae Pioneer Lokal 1 5.73
3 Unidentified 1 < 3 cm

Tahun Tanam 2001


No Nama Lokal Nama Latin Famili Status Jumlah Rerata Diameter (cm)
1 Sengon Paraserianthes falcataria Fabaceae Pioneer eksotik 20 22.78
2 Buri Weinmannia blumei Cunnoniaceae Pioneer Lokal 1 < 3 cm
3 Damar Agathis damara Araucariaceae Pioneer eksotik 18 < 3 cm
4 Eucalyptus Eucalyptus urograndis Myrtaceae Pioneer eksotik 3 < 3 cm
5 Jambu-jambuan Kjellbergiodendron celebicum Myrtaceae Pioneer Lokal 2 < 3 cm
6 Kayu angin Casuarina sp Casuarinaceae Pioneer Lokal 32 < 3 cm
7 Sandro Sandoricum kacappeae Podocarpaceae Pioneer Lokal 5 < 3 cm
Tahun Tanam 2002
No Nama Lokal Nama Latin Famili Status Jumlah Rerata Diameter (cm)
1 Akasia Acacia mangium Fabaceae Pioneer eksotik 6 14.75
2 Sengon Paraserianthes falcataria Fabaceae Pioneer eksotik 16 17.19
3 Betao Calophyllum solatri Guttiferae Pioneer Lokal 11 3.74
4 Eboni Diospyros sp Ebenaceae Pioneer eksotik 3 < 3 cm
5 Kemiri Aleurites moluccana Willd Euphorbiaceae Pioneer eksotik 11 15.61
6 Nyamplung Calophyllum inophyllum Guttiferae Pioneer eksotik 13 4.02
7 Sandro Sandoricum kacappeae Podocarpaceae Pioneer Lokal 17 4.84
8 Uru Elmerillia tsiampacca (L.) Dandy Magnoliaceae Pioneer Lokal 3 8.92
9 unidentified 2 9.55

Tahun Tanam 2003 (Hasan)


No Nama Lokal Nama Latin Famili Status Jumlah Rerata Diameter (cm)
1 Akasia Acacia mangium Fabaceae Pioneer eksotik 11 17.14
2 Sengon Paraserianthes falcataria Fabaceae Pioneer eksotik 13 19.19
3 Betao Calophyllum solatri Guttiferae Pioneer Lokal 2 < 3 cm
4 Blulang Gonystylus sp Thymelaeaceae Pioneer Lokal 1 < 3 cm
5 Eucaliptus Eucalyptus urograndis Myrtaceae Pioneer eksotik 16 9.74
6 Jabon Anthocephalus cadamba Miq Rubiaceae Pioneer Lokal 13 < 3 cm
7 Jambu-jambu Kjellbergiodendron celebicum Myrtaceae Pioneer Lokal 1 < 3 cm
8 Johar Senna siamea Fabaceae Pioneer eksotik 5 6.13
9 Kayu angin Casuarina sp Casuarinaceae Pioneer Lokal 3 < 3 cm
10 Kole Alpitonia incana (Roxb.)Hats. Rhamnaceae Pioneer Lokal 1 3.18
11 Trema Melochia umbellata Sterculiaceaea Pioneer Lokal 2 < 3 cm

Tahun Tanam 2003 (Rante)


No Nama Lokal Nama Latin Famili Status Jumlah Rerata Diameter (cm)
1 Akasia Acacia mangium Fabaceae Pioneer eksotik 1 12.42
2 Sengon Paraserianthes falcataria Fabaceae Pioneer eksotik 4 22.21
3 Sengon Buto Enterolobium macrocarpum Fabaceae Pioneer eksotik 14 8.29
4 Eucalyptus Eucalyptus urograndis Myrtaceae Pioneer eksotik 16 7.91
5 Johar Senna siamea Fabaceae Pioneer eksotik 2 6.37
6 Kayu Angin Casuarina sp Casuarinaceae Pioneer Lokal 1 13.91
7 Kemiri Aleurites moluccana Willd Euphorbiaceae Pioneer eksotik 4 8.28
8 Kole Alpitonia incana (Roxb.)Hats. Rhamnaceae Pioneer Lokal 1 13.91
Tahun Tanam 2004 (Koro)
No Nama Lokal Nama Latin Famili Status Jumlah Rerata Diameter (cm)
1 Akasia Acacia mangium Fabaceae Pioneer eksotik 7 8.78
2 Sengon Paraserianthes falcataria Fabaceae Pioneer eksotik 11 15.55
3 Johar Senna siamea Fabaceae Pioneer eksotik 3 3.50
4 Kapuk Ceiba pentandra Fabaceae Pioneer eksotik 4 7.64
5 unidentified1 1 < 3 cm
6 unidentified2 7 < 3 cm
7 unidentified3 1 < 3 cm
8 unidentified4 1 < 3 cm

Tahun Tanam 2004 (Triple A)


No Nama Lokal Nama Latin Famili Status Jumlah Rerata Diameter (cm)
1 Akasia Acacia mangium Fabaceae Pioneer eksotik 1 7.64
2 Sengon Paraserianthes falcataria Fabaceae Pioneer eksotik 20 11.67
3 Sengon Buto Enterolobium macrocarpum Fabaceae Pioneer eksotik 3 < 3 cm
4 Johar Senna siamea Fabaceae Pioneer eksotik 10 3.95
5 Kayu Angin Casuarina sp Casuarinaceae Pioneer Lokal 1 < 3 cm
6 Sandro Sandoricum kacappeae Podocarpaceae Pioneer Lokal 1 < 3 cm
7 Uru Ermerillia tsiampacca (L.) Dandy Magnoliaceae Pioneer Lokal 1 < 3 cm
8 unidentified 2 < 3 cm

Tahun Tanam 2005


No Nama Lokal Nama Latin Famili Status Jumlah Rerata Diameter (cm)
1 Eucalyptus Eucalyptus urograndis Myrtaceae Pioneer eksotik 16 10.33
2 Johar Senna siamea Fabaceae Pioneer eksotik 15 7.01
3 unidentified 6 < 3 cm
4 Sengon Paraserianthes falcataria Fabaceae Pioneer eksotik 14 14.27
Tahun Tanam 2006
No Nama Lokal Nama Latin Famili Status Jumlah Rerata Diameter (cm)
1 Sengon Paraserianthes falcataria Fabaceae Pioneer eksotik 17 8.97
2 Sengon Buto Enterolobium macrocarpum Fabaceae Pioneer eksotik 7 8.30
3 Eucaliptus Eucalyptus urograndis Myrtaceae Pioneer eksotik 1 < 3 cm
4 Johar Senna siamea Fabaceae Pioneer eksotik 7 5.60
5 Kayu Angin Casuarina sp Casuarinaceae Pioneer Lokal 7 5.16
6 Kole Alpitonia incana (Roxb.)Hats. Rhamnaceae Pioneer Lokal 10 < 3 cm
7 Sandro Sandoricum kacappeae Podocarpaceae Pioneer Lokal 1 < 3 cm
8 Trema Melochia umbellata Sterculiaceaea Pioneer Lokal 5 5.54
9 unidentified 5 < 3 cm

Tahun Tanam 2007


No Nama Lokal Nama Latin Famili Status Jumlah Rerata Diameter (cm)
1 unidentified1 1 < 3 cm
2 unidentified2 1 < 3 cm
3 unidentified3 3 < 3 cm
4 unidentified4 1 < 3 cm
5 Kayu Angin Casuarina sp Casuarinaceae Pioneer Lokal 3 < 3 cm
6 Sengon Paraserianthes falcataria Fabaceae Pioneer eksotik 2 < 3 cm
7 Trema Melochia umbellata Sterculiaceaea Pioneer Lokal 31 4.46
Lampiran 4 Dokumentasi di Areal Pengamatan

Kondisi tegakan pada tahun tanam 2007

Kondisi tegakan pada tahun tanam 2005


Kondisi tegakan pada tahun tanam 2004

Kondisi tegakan pada tahun tanam 2002


Penyakit pada eukaliptus
(Eucalytus sp)

Penyakit pada sengon


(Paraserianthes falcataria)

Kaki seribu di Ponsesa (1996)

Kadal Emas
(Eutropis multifasciata)

Jejak babi di Rante


20

Lampiran 5 Hasil Analisis Tanah pada tiap Lokasi Pengamatan

Walkley
pH 1:1 Kjeldhal Bray 1 N NH4O!c pH 7.0
Tahun & Black
Lokasi
tanam C-org N-Total Ca Mg K Na KTK
H20 KCl P (ppm)
(%) (%) (me/100g) (me/100g) (me/100g) (me/100g) (me/100g)
1985 Butoh 1 6,90 6,00 1,20 0,13 3,40 2,45 6,42 0,04 0,05 10,61
1985 Butoh 2 6,70 5,50 0,88 0,09 3,70 2,33 10,60 0,09 0,08 16,29
1985 Butoh 3 6,10 5,00 2,72 0,25 4,10 1,96 6,40 0,04 0,08 6,74
2001 Watulabu 1 5,90 4,70 0,08 0,03 1,70 2,21 0,58 0,04 0,04 5,68
2001 Watulabu 2 5,90 4,70 0,08 0,04 1,40 2,06 0,58 0,06 0,07 4,17
2002 Debbie 1 6,60 5,80 1,12 0,12 2,50 2,58 2,90 0,08 0,12 3,03
2002 Debbie 2 6,40 5,10 1,52 0,18 2,00 4,36 1,34 0,10 0,09 2,84
2002 Debbie 3 6,70 5,90 1,20 0,14 2,30 5,27 1,86 0,08 0,10 3,79
2002 Debbie 4 6,80 5,90 0,72 0,06 1,70 5,78 1,70 0,08 0,12 4,17
2003 Rante 1 6,60 5,40 0,56 0,06 2,00 1,39 1,86 0,04 0,08 2,27
2003 Rante 2 6,70 5,50 0,32 0,05 1,70 1,71 1,39 0,09 0,10 1,89
2004 Triple A 1 6,30 5,00 1,52 0,16 2,20 1,77 1,82 0,05 0,08 1,70
2004 Triple A 2 6,50 5,20 0,96 0,08 1,70 1,44 2,36 0,06 0,11 1,14
2004 Koro South 1 6,90 5,80 2,32 0,22 2,00 3,77 0,52 0,07 0,10 1,52
2004 Koro South 2 6,50 5,70 2,08 0,20 3,90 4,60 1,98 0,08 0,11 3,79
2005 Olivia 1 6,30 5,00 1,12 0,12 2,20 2,82 1,96 0,06 0,12 1,52
2005 Olivia 2 6,40 5,30 0,88 0,08 2,00 2,50 1,75 0,09 0,13 3,22
2005 Olivia 3 6,50 5,70 0,96 0,10 1,90 3,89 2,00 0,06 0,08 4,17
2006 Petea 1 6,30 5,00 0,40 0,05 2,50 3,66 2,80 0,16 0,09 3,60
2006 Petea 2 6,50 5,70 0,24 0,03 1,70 4,00 3,10 0,19 0,14 2,27
2007 KN 1 6,60 5,80 0,80 0,09 1,70 2,92 4,16 0,06 0,08 1,89
2007 KN 2 6,50 5,30 1,28 0,12 1,40 4,66 1,56 0,09 0,08 0,76
2007 KN 3 6,40 5,30 0,64 0,05 1,90 4,08 2,26 0,40 0,21 0,76
2008 2008 1 6,70 5,80 0,16 0,02 1,90 2,29 2,90 0,12 0,24 2,27
2008 2008 2 6,30 5,10 0,72 0,09 1,70 3,41 0,36 0,13 0,13 1,52
Lembo 1 5,20 4,00 1,60 0,16 25,60 1,92 1,32 0,09 0,10 21,21
Lembo 2 5,00 4,00 2,08 0,17 28,10 1,85 0,80 0,06 0,07 7,76
Lembo 3 4,80 3,60 2,24 0,23 29,00 1,82 0,74 0,07 0,07 7,58
Purna Tambang 1 6,60 5,60 0,40 0,05 2,00 2,03 8,82 0,03 0,10 6,44
Purna Tambang 2 7,10 6,00 0,08 0,03 1,40 2,17 8,66 0,03 0,09 8,33
21

Lampiran 5 Hasil Analisis Tanah pada tiap Lokasi Pengamatan (lanjutan)


N KCl 0.05 N KCl Tekstur
Tahun
Lokasi H Fe Cu Zn Mn
tanam Pasir Debu Liat
(me/100g) (ppm) (ppm) (ppm) (ppm)
1985 Butoh 1 0,12 2,00 1,92 3,48 43,20 51,01 38,64 10,35
1985 Butoh 2 0,08 0,96 1,72 3,68 42,32 52,69 34,35 12,96
1985 Butoh 3 0,12 1,28 2,20 2,88 56,64 42,42 40,16 17,32
2001 Watulabu 1 0,04 * * * * 8.54 56,94 34,52
2001 Watulabu 2 0,04 8,64 3,50 4,42 10,76 11.09 58,51 30,40
2002 Debbie 1 0,12 4,40 3,44 4,60 81,52 17,44 67,17 15,39
2002 Debbie 2 0,12 1,56 3,28 5,84 49,36 18,46 63,99 17,55
2002 Debbie 3 0,12 1,60 3,84 5,88 65,00 41,72 46,82 11,46
2002 Debbie 4 0,08 0,60 1,92 1,72 30,68 16,35 72,16 11,49
2003 Rante 1 0,04 * * * * 17.20 72,21 10,59
2003 Rante 2 0,04 1,28 2,64 3,36 67,68 15.87 66,86 17,27
2004 Triple A 1 0,08 1,84 5,04 8.16 14.76 38.89 46.43 14.68
2004 Triple A 2 0,08 2,76 3,28 5,44 84,23 37.29 49,72 12,99
2004 Koro South 1 0,16 1,92 4,32 4,76 89,52 32,08 51,82 16,10
2004 Koro South 2 0,16 1,68 3,56 6,36 76,36 39,25 41,12 19,63
2005 Olivia 1 0,08 46,54 4,72 6,68 87,88 23.46 54,35 22,19
2005 Olivia 2 0,08 17,88 3,48 4,68 75,28 38.11 49,07 12,82
2005 Olivia 3 0,08 3,16 3,32 15,84 67,40 33.92 48,01 18,07
2006 Petea 1 0,04 2,44 2,96 3,52 128,88 26.01 58,77 15,22
2006 Petea 2 0,04 4,12 3,12 4,04 136,80 30.33 52,24 17,43
2007 KN 1 0,08 36,00 4,88 4,88 59,72 30,62 40,79 28,59
2007 KN 2 0,12 0,60 2,48 2,48 40,20 22,52 59,32 18,16
2007 KN 3 0,08 11,60 2,00 2,08 63,88 22,42 57,55 19,93
2008 2008 1 0,12 * * * * 17,85 62,31 19,84
2008 2008 2 0,04 * * * * 27,77 50,40 21,89
Lembo 1 0,18 9,60 2,56 3,36 14,64 29,92 42,01 28,07
Lembo 2 0,22 6,64 2,60 3,24 8,44 23,18 42,35 34,47
Lembo 3 0,28 7,64 2,80 2,72 7,56 15,57 56,09 28,34
Purna Tambang 1 0,04 16,84 2,00 3,44 77,04 63,20 23,81 12,99
Purna Tambang 2 0,04 24,28 2,16 3,36 93,24 75,25 19,70 5,05
Keterangan : *= tidak ada data
22

Lampiran 6 Sifat-sifat komponen pohon pada stadia sera di hutan lembab Amerika Tropika (Budowski, 1965 dalam Freeman et al. 1977)

Pionir Sekunder awal Sekunder akhir Klimaks

Umur komunitas yang 1-3 5-15 20-50 lebih dari 100


diamati (tahun)

Tinggi (meter) 5-8 12-20 20-30, beberapa mencapai 50 30-45, beberapa sampai 60

Jumlah spesies berkayu Sedikit, 1-5 sedikit, 1-10 30-60 sanpai 100 atau lebih sedikit

Komposisi flora dominan Euphorbiaceae, Cecropia, Ochroma, Cecropia, Trema, Campuran, banyak Meliaceae, Campuran kecuali pada sosiasi
Ochroma, Trema Heliocarpus paling sering Bombacaceae, Tiliaceae edafis

Distribusi alam tumbuhan Luas sekali Luas sekali Luas, termasuk daerah yang lebih kering Biasanya terbatas, sering
dominan endemik

Jumlah strata 1, sangat padat 2, diferensiasi baik 3, makin tua makin sukar dibedakan 4-5, sukar dibedakan

Kanopi atas Homogen, padat Bercabang, berlingkar, tajuk Heterogen, meliputi tajuk yang sangt lebar Banyak variasi bentuk tajuk
horison tipis

Stratum bawah Padat, kusut Padat, banyak spesies herba Relatif langka, meliputi spesies toleran Langka dengan spesies toleran
besar

Pertumbuhan Sangat cepat Sangat cepat Yang dominan cepat, lainnya perlahan Perlahan atau sangat perlahan

Umur tumbuhan dominan Sangat pendek, kurang dari Pendek, 10-25 tahun Biasanya 40-100 tahun, beberapa lebih Sangat panjang 100-1000,
10 tahun beberapa mungkin lebih

Regenerasi tumbuhan Sangat langka Praktis tidak ada Tidak ada atu banyak dengan mortalitas Cukup banyak
dominan tinggi pada tahun-tahun pertama

Penyebaran biji tumbuhan Burung, kelelawar, angin Angin, burung, kelelawar Terutama angin Gravitasi, mamalia, hewan
dominan pengerat, burung
23

Kayu dan batang, Sangat ringan, diameter kecil Sangat ringan, diameter di Ringan sampai setengah keras, beberapa Keras dan berat termasuk
tumbuhan dominan bawah 60 cm batangnya sangat besar batangnya

Ukuran biji, atau buah Kecil Kecil Kecil sampai medium Besar
yang disebarkan

Daya tumbuh biji Lama, laten dalam tanah Lama, laten dalam tanah Pendek sampai medium Pendek

Daun tumbuhan dominan Selalu hijau Selalu hijau Banyak yang meranggas Banyak spesies dan bentuk
kehidupan

Tumbuhan merambat Banyak, berbatang basah, Banyak, berbatang basah, Banyak, tetapi sedikit yang besar Banyak, termasuk spesies
tetapi spesies sedikit tetapi spesies sedikit berkayu yang sangt besar

Semak Banyak, tapi spesies sedikit Relatif banyak, tapi spesies Sedikit Jumlah sedikit tetapi spesies
sedikit banyak

Rumput Banyak Banyak atau langka Langka Langka


20

Lampiran 7 Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitan Tanah,
1983 dalam Hadjowigeno, 1987)

Sangat Sangat
Sifat tanah Rendah Sedang Tinggi
Rendah Tinggi
C (%) < 1.00 1.00 - 2.00 2.01 - 3.00 3.01 - 5.00 > 5.00
N (%) < 0.10 0.10 - 0.20 0.21 - 0.50 0.51 - 0.75 > 0.75
C/N <5 5 - 10 11 -15 16 - 25 > 25
P2O5 HCl (mg/100g) < 10 10 - 20 21 - 40 41 - 60 > 60
P2O5 Bray 1 (ppm) < 10 10 - 15 16 - 25 26 - 35 > 35
P2O5 Olsen (ppm) < 10 10 - 25 26 - 45 46 - 60 > 60
K2O HCl 25% (mg/100 mg) < 10 10 - 20 21 - 40 41 - 60 > 60
KTK (me/100g) <5 5 - 16 17 - 24 25 - 40 > 40
K (me/100g) < 0.1 0.1 - 0.2 0.3 - 0.5 0.6 - 1.0 > 1.0
Na (me/100g) < 0.1 0.1 - 0.3 0.4 - 0.7 0.8 - 1.0 > 1.0
Mg (me/100g) < 0.4 0.4 - 1.0 1.1 - 2.0 2.1 - 8.0 > 8.0
Ca (me/100g) <2 2- 5 6 - 10 11 - 20 > 20
Kejenuhan Basa (%) < 20 20 - 35 36 - 50 51 - 70 > 70
Kejenuhan Alumunium (%) < 10 Okt-20 21 - 30 31 - 60 > 60

sangat agak
masam masam masam netral agak alkalis alkalis
pH H2O < 4.5 4.5 - 5.5 5.6 - 6.5 6.6 - 7.5 7.6 - 8.5 >8.5

Anda mungkin juga menyukai