Anda di halaman 1dari 40

DIKSI ATAU PEMILIHAN KATA

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bahasa Indonesia

Pada semester gasal Tahun 2017/2018 yang diampu oleh

Zulmy Faqihuddin Putera.

Oleh :
 Adhityo Candra Yudhawara / 2 / 1E
NIM : 1731110088
 Dinanda Agil Prakoso / 5 / 1E
NIM :1731110099
 Muhammad Elang Wicaksono / 14 / 1E
NIM :1731110070
 Rian Lintang Pratama Santoso / 21 / 1E
NIM :1731110076

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO

POLITEKNIK NEGERI MALANG

MALANG

SEPTEMBER 2017
DAFTAR ISI
Sampul......................................................................................................1
Daftar Isi...................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Masalah......................................................................... 4
b. Rumusan Masalah................................................................................... 5
c. Tujuan Penulisan..................................................................................... 6
d. Ruang Lingkup........................................................................................ 6
BAB II PEMBAHASAN
a. Pengertian Diksi...................................................................................... 7
b. Fungsi Diksi............................................................................................. 8
c. Pembagian Makna Kata.......................................................................... 8
d. Struktur Leksikal…................................................................................ 13
e. Kesalahan Pemakaian Gabungan Kata dan Kata.................................... 20
f. Syarat-syarat Ketepatan Diksi..................................................................21
g. Gaya Bahasa….........................................................................................23
BAB III PENUTUP
a. Simpulan.................................................................................................. 40
b. Saran........................................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................40

2
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar belakang masalah
Bahasa terbentuk dari beberapa tataran gramatikal, yaitu dari tataran
terendah sampai tertinggi adalah kata, frase, klausa, kalimat dan paragraf. Ketika
anda menulis dan berbicara, kata adalah kunci pokok dalam membentuk tulisan dan
ucapan. Maka dari itu kata-kata dalam bahasa Indonesia harus dipahami dengan
baik, supaya ide dan pesan seseorang dapat dimengerti dengan baik. Kata-kata yang
digunakan dalam komunikasi harus dipahami dalam konteks alinea dan wacana.
Tidak dibenarkan menggunakan kata-kata sesuka hati, tetapi yang harus mengikuti
kaidah-kaidah yang benar.
Menulis merupakan kegiatan yang menghasilkan ide secara terus menerus
dalam bentuk tulisan yang teratur yang mengungkapkan gambaran, maksud,
gagasan, perasaan ( ekspresif ). Untuk itu penulis atau pengarang membutuhkan
keterampilan dalam hal struktur bahasa dan kosakata. Yang terpenting dalam
menulis adalah penguasaan kosakata yang merupakan bagian dari diksi. Ketetapan
diksi dalam membuat suatu tulisan atau karangan tidak dapat diabaikan demi
menghasilkan tulisan yang mudah dimengerti. Diksi dapat diartikan sebagai pilihan
kata pengarang dalam menggambarkan “ cerita “ pengarang. Walaupun dapat
diartikan begitu, diksi tidak hanya pilih-memilih kata saja atau mengungkapkan.
Tidak dapat disangkal bahwa dalam penggunaan kosa kata adalah bagian
yang sangat penting dalam dunia perguruan tinggi. Prosesnya mungkin lamban dan
sukar, tapi orang akan merasa lega dan puas sebab tidak akan sia-sia semua jerih
payah yang telah diberikan. Manfaat dari kemampuan yang diperolehnya itu akan
lahir dalam bentuk penguasaan terhadap pengertian-pengertian yang tepat bukan
sekedar mempergunakan kata-kata yang hebat tanpa isi. Dengan pengertian-
pengertian yang tepat itu, kita dapat pula menyampaikan pikiran kita secara
sederhana dan langsung.
Memang harus diakui, kecenderungan orang semakin mengesampingkan
pentingnya penggunaan bahasa, terutama dalam tata cara pemilihan kata atau
diksi.

3
Terkadang kita pun tidak mengetahui pentingnya penguasaan bahasa
Indonesia yang baik dan yang benar, sehingga ketika kita berbahasa, baik lisan
maupun tulisan, sering mengalami kesalahan dalam penggunaan kata, frasa,
paragraf, dan wacana.

Diksi atau pilihan kata dalam praktik berbahasa sesungguhnya


mempersoalkan kesanggupan sebuah kata dapat juga frasa atau kelompok kata
untuk menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau
pendengarnya.

Pemilihan kata yang tepat merupakan sarana pendukung dan penentu


keberhasilan dalam berkomunikasi. Pilihan kata atau diksi bukan hanya soal pilih-
memilih kata, melainkan lebih mencakup bagaimana efek kata tersebut terhadap
makna dan informasi yang ingin disampaikan. Pemilihan kata tidak hanya
digunakan dalam berkomunikasi namun juga digunakan dalam bahasa tulis
(jurnalistik). Dalam bahasa tulis pilihan kata (diksi) mempengaruhi pembaca
mengerti atau tidak dengan kata-kata yang kita pilih.

Dalam makalah ini, penulis berusaha menjelaskan mengenai diksi yang


digunakan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam segi makna dan relasi, gaya
bahasa, ungkapan, kata kajian, kata popular, kata sapaan dan kata serapan.

1.2 Rumusan masalah


Adapun perumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan pengertian diksi ?
2. Apa fungsi diksi ?
3. Bagaimana pembagian makna kata ?
4. Apa penyebab kesalahan pemakaian gabungan kata dan kata ?
5. Apa syarat-syarat ketepatan diksi ?
6. Apa yang di maksud dengan gaya bahasa dan idiom ?

4
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa mampu mengetahui pengertian diksi.
2.Mahasiswa mampu mengetahui fungsi diksi.
3.Mahasiswa mampu mengetahui bagaimana pembagian makna kata.
4.Mahasiswa mampu mengetahui penyebab kesalahan pemakaian gabungan kata
dan kata.
5.Mahasiswa mampu mengetahui syarat-syarat ketepatan diksi.
6.Mahasiswa mampu mengetahui gaya bahasa dan idiom.

1.4 Ruang Lingkup


Adapun ruang lingkup dalam pembahasan makalah ini meliputi pengertian
diksi atau pilihan kata, fungsi diksi, pembagian makna kata, pemakaian gabungan
kata dan kata, syarat-syarat ketepatan diksi, gaya bahasa dan idiom.

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Diksi
Pilihan kata atau diksi pada dasarnya adalah hasil dari upaya memilih kata
tertentu untuk dipakai dalam kalimat, alenia, atau wacana. Pemilihan kata dapat
dilakukan bila tersedia sejumlah kata yang artinya hampir sama atau bermiripan.
Pemilihan kata bukanlah sekedar memilih kata yang tepat, melainkan juga memilih
kata yang cocok. Cocok dalam arti sesuai dengan konteks di mana kata itu berada,
dan maknanya tidak bertentangan dengan yang nilai rasa masyarakat pemakainya.
Diksi adalah ketepatan pilihan kata. Penggunaan ketepatan pilihan
kata dipengaruhi oleh kemampuan pengguna bahasa yang terkait dengan
kemampuan mengetahui, memahami, menguasai, dan menggunakan sejumlah kosa
kata secara aktif yang dapat mengungkapkan gagasan secara tepat sehingga mampu
mengomunikasikannya secara efektif kepada pembaca atau pendengarnya.
Pilihan kata merupakan satu unsur sangat penting, baik dalam dunia karang-
mengarang maupun dalam dunia tutur setiap hari. Dalam memilih kata yang
setepat-tepatnya untuk menyatakan suatu maksud, kita dapat lari dari kamus.
Kamus memberikan suatu ketetapan kepada kita tentang pemakaian kata-kata.
Dalam hal ini, makna kata yang tepatlah yang diperlukan.
Kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengan tepat apa
yang ingin disampaikannya, baik lisan maupun tulisan. Disamping itu, pemilihan
kata itu harus pula sesuai dengan situasi dengan situasi dan tempat penggunaan
kata-kata itu. Pemilihan kata akan dapat dilakukan bila tersedia sejumlah kata yang
artinya hampir sama atau bermiripan. Ketersediaan kata akan ada apabila seseorang
mempunyai bendaharaan kata yang memadai, seakan-akan ia memiliki senarai
(daftar) kata. Senarai kata itu dipilih satu kata yang paling tepat untuk
mengungkapkan suatu pengertian. Tanpa menguasai sediaan kata yang cukup
banyak, tidak mungkin seseorang dapat melakukan pemilihan atau seleksi kata.
Pemilihan kata bukanlah sekedar kegiatan memilih kata yang tepat, melainkan
juga memilih kata yang cocok. Cocok dalam hal ini berarti sesuai dengan konteks
dimana kata itu berada, dan maknanya tidak bertentangan dengan nilai rasa
masyarakat pemakainya. Untuk itu, dalam memilih kata diperlukan analisis dan

6
pertimbangan tertentu. Sebagai contoh, kata mati bersinonim dengan mampus
,wafat, tewas, gugur, berpulang, kembali ke haribaan, dan lain sebagainya. Akan
tetapi, kata-kata tersebut tidak dapat bebas digunakan. Mengapa? Ada nilai rasa dan
nuansa makna yang membedakannya.
2.2 Fungsi Diksi
Dalam karangan ilmiah, diksi dipakai untuk menyatakan sebuah konsep,
pembuktian, hasil pemikiran, atau solusi dari suatu masalah. Adapun fungsi diksi
antara lain :
a) Melambangkan gagasan yang diekspresikan secara verbal.
b) Membentuk gaya ekspresi gagasan yang tepat.
c) Menciptakan komunikasi yang baik dan benar.
d) Mencegah perbedaan penafsiran.
e) Mencagah salah pemahaman.
f) Mengefektifkan pencapaian target komunikasi.

2.3 Pembagian Makna Kata


2.3.1 Makna Denotatif
Makna denotatif adalah makna dalam alam wajar secara eksplisit. Makna wajar
ini adalah makna yang sesuai dengan apa adanya . Denotatif adalah suatu pengertian
yang dikandung dalam sebuah kata secara objektif. Makna denotatif (denotasi)
lazim disebut: 1) makna konseptual yaitu makna yang sesuai dengan hasil observasi
(pengamatan) menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, atau pengalaman
yang berhubungan dengan informasi (data) faktual dan objektif. 2) makna
sebenarnya, umpamanya, kata kursi yaitu tempat duduk yang berkaki empat (makna
sebenarnya). 3) makna lugas yaitu makna apa adanya, lugu, polos, makna
sebenarnya.
Contoh:
Wanita dan perempuan secara konseptual sama ; gadis dan perawan secara
denotatif sama makananya, kumpulan, rombongan, gerombolan, secara
konseptual sama maknanya. Istri dan bini secara konseptual sama.

7
2.3.2 Makna Konotatif
Makna konotatif adalah makna asosiatif, makna yang timbul sebagai akibat
dari sikap social, dan kriteria tambahan yang dikenakan pada sebuah makna
konseptual. Makna konotatif atau konotasi berarti makna kias, bukan makna
sebenarnya. Sebuah kata dapat berbeda dari satu masyakat ke masyarakat lain,
sesuai dengan pandangan hidup dan norma masyarakat tersebut. Makna konotasi
juga dapat berubah dari waktu ke waktu.
Contoh:
“Prabowo Hatta dan Jokowi Kalla berebut kursi presiden.” Kalimat tersebut
tidak menunjukan makna bahwa Prabowo dan Jokowi Kalla tarik-menarik
kursi. Karena kata kursi berarti jabatan presiden.
Makna konotatif dan denotatif berhubungan erat dengan kebutuhan pemakaian
bahasa. Makna denotatif ialah arti harfiah suatu kata tanpa ada suatu makna yang
menyertainya, sedangkan makna konotatif adalah makna yang mempunyai tautan
pikiran, perasaan, dan lain-lain yang menimbulkan nilai rasa tertentu. Dengan kata
lain, makna konotatif lebih bersifat pribadi dan khusus, sedangkan denotatif
maknanya umum.
Kalimat dibawah ini menunjukan hal itu:
Dia adalah wanita manis (konotatif).
Dia adalah wanita cantik (denotatif).
Kata cantik lebih umum daripada kata manis. Kata cantik akan memberikan
gambaran umum seorang wanita. Akan tetapi, dalam kata manis terkandung suatu
maksud yang bersifat memukau perasaan kita.
Nilai kata-kata itu dapat bersifat baik dan dapat pula bersifat jelek. Kata-kata
yang berkonotasi jelek dapat kita sebutkan seperti kata tolol (lebih jelek daripada
bodoh ), mampus (lebih jelek daripada mati), dan gubuk (lebih jelek daripada
rumah). Di pahak lain, kata-kata itu dapat mengandung arti kiasan yang terjadi dari
makna denotative referen lain. Makna yang dikenakan kepada kata itu dengan
sendirinya akan ganda sehingga kontekslah yang lebih banyak berperan dalam hal
ini.

8
Perhatikan contoh dibawah ini:
Sejak dua tahun yang lalu ia membanting tulang untuk memperoleh
kepercayaan masyarakat. Kata membanting tulang (yang mengambil
suatu denotatif kata pekerjaan membanting sebuah tulang) mengandung
makna “bekerja keras” yang mengandung sebuah kiasan. Kata
membanting tulang dapat kita masukan dalam golongan kata yang
bermakna konotatif.

2.3.3 Umum dan Khusus


Kata umum dibedakan dari kata khusus berdasarkan ruang lingkupnya. Makin
luas ruang lingkup suatu kata, makin umum sifatnya. Sebaliknya, mana kata
menjadi sempit ruang lingkupnya makin khusus sifatnya.
Makin umum suatu kata makin besar kemungkinan terjadi salah paham atau
perbedaan tafsiran. Sebaliknya, makin khusus, makin sempit ruang lingkupnya,
makin sedikt terjadi salah paham. Dengan kata lain, semakin khusus makna kata
yang dipakai, pilihan kata semakin cepat. Perhatikan contoh berikut:
1)Kata umum: melihat Kata khusus: melotot, melirik, mengintip, menatap,
memandang,
2)Kata umum: berjalan Kata khusus: tertatih-tatih, ngesot, terseok-seok,
langkah tegap,
3)Kata umum: jatuh Kata khusus: terpeleset, terjengkang, tergelincir,
tersungkur, terjerembab, terperosok, terjungkal.
2.3.4 Kata konkret dan Abstrak
Kata yang acuannya semakin mudah dicerap pancaindra disebut kata konkret ,
seperti meja, rumah, mobil, dan lain-lain. Jika suatu kata tidak mudah dicerap panca
indra maka kata itu disebut kata abstrak , seperti gagasan dan saran. Kata abstrak
digunakan untuk mengungkapkan gagasan rumit. Kata abstrak mampu
membedakan secara halus gagasan yang bersifat teknis dan khusus. Akan tetapi jika
dihambur-hamburkan dalam suatu karangan, karangan itu dapat menjadi samar dan
tidak cermat.

9
2.3.5 Pembentukan Kata
Ada dua cara pembentukan kata, yaitu dari dalam dan luar bahasa Indonesia.
Dari dalam bahasa Indonesia terbentuk kosa kata baru dengan dasar kata yang sudah
ada, sedangkan dari luar terbentuk kata baru melalui unsur serapan. Dari dalam
bahasa Indonesia terbentuk kata baru, misalnya: tata buku, tata bahasa, daya tahan,
dan lain-lain. Dari luar bahasa Indonesia terbentuk kata-kata melalui pungutan kata,
misalnya: bank, valuta, dan lain-lain.

2.3.6 Perubahan Makna


Bahasa berkembang sesuai dengan tuntutan masyarakat pemakainya,
pengembangan diksi tejadi pada kata. Namun, hal ini berpengaruh pada penyusunan
kalimat, paragraf, dan wacana. Pengembangan tersebut dilakukan memenuhi
kebutuhan komunikasi. Komunikasi kreatif berdampak pada perkembangan diksi,
berupa penambahan atau pengurangan kuantitas maupun kualitasnya. Selain itu,
bahasa berkembang dengan sesuai kualitas pemikiran pemakainya. Perkembangan
dapat menimbulkan perubahan yang mencakup perluasan, penyempitan,
pembatasan, pelemahan, pengaburan, dan penggeseran makna.
2.4 Konteks Linguistis dan Non-Linguistis
Telah dikemukakan bahwa kata atau bentuk Bahasa mempunyai relasi dengan
dunia nyata. Sehingga istilah Referensi dipakai untuk menyatakan relasi antara
Bahasa dengan seuatu yang bukan Bahasa. Bidanng yang mempelajari hubungan
itu biasanya disebut sematik. Dipihak lain terdapat juga relasi antara unsur-unsur
Bahasa sendiri yang dinamakan Pengertian (Sense). Dengan demikian kita
membedakan dua relasi, yaitu relasi antara Bahasa dengan dunia pengalaman, yang
disebut referensi atau makna, dan relasi antar unsur unsur Bahasa sendiri yang
disebut pengertian.

2.4.1 Konteks Linguistis


Konteks Linguistis adalah hubungan antara unsur Bahasa yang satu dengan
unsur Bahasa yang lainnya. Konteks linguistis mencakup konteks hubungan antara
kata denga kata dalam frasa atau kalimat, hubungan antar frasa dalam sebuah
kalimat atau wacana, dan juga hubungan antar kalimat dalam wacana.

10
Dalam hubungan dengan konteks ini, perlu kiranya dikemukakan suatu
pengertian yang disebut kolokasi. Yang dimaksud dengan kolokasi (collocation)
adalah lingkungan leksial dimana sebuah kata dapat muncul.misalnya kata gelap
bekolokasi kata malam, dan tidak pernah berkolokasi dengan kata baik atau jahat;
dengan demikian kita dapat memperoleh konstruksi malam gelap. Dengan dasar ini
dapat dipelajari betapa jangka kolokasional dari kata – kata dalam suatu bahasa.
Kata seorang hanya bisa dipakai bagi manusia atau malaikat atau dewa, kadang –
kadang untuk setan tetapi tidak pernah untuk binatang atau makhluk tak bernama.
Kata sudah pada umunya dapat berkolokasi dengan semua kata kerja, atau kata
sifat, tetapi tidak dapat berkolokasi dengan kata benda.
Sebaiknya, dalam konteks linguistis dapat muncul pengertian tertentu akibat
perpaduan atara dua buah kata, misalnya: rumah ayah mengandung pengertian
“milik”, rumah batu mengandung pengertian dari atau bahayanya dari;membelikan
ayah mengandung pengertian untuk atau benefaktif.

2.4.2 Konteks nonlinguistic


Relasi yang pertama erat hubungannya dengan konteks nonlinguistis. Konteks
nonlinguistic mencakup dua hal, yaitu hubungan anatara kata dan barang atau hal,
dan hubungan antara Bahasa dan masyarakat atau disebut juga konteks sosial.
Konteks sosial ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam penggunaan atau
Bahasa. Pengunaan kata kata seperti istri kawan saya dan bini kawan saya; buaya
darat itu telah melahap semua harta bendanya dan orang itu telah melahap semua
harta bendanya; kami minta maaf dan mohon ampun, semuanya dilakukan
berdasarkan konteks sosial, atau situasi yang dihadapi.
Walaupun ada ahli yang menolak konteks nonlinguistic sebagai hal yang tidak
berkaitan dengan Bahasa, namun seperti tampak dari contoh – contoh diatas,
konteks sosial ini merupakan bagian dari apparat linguistic. Menurut Firth, seorang
Linguis Inggris, konteks sosial itu mencakup :
1. Ciri ciri yang relevan dari partisipan: orang-orang atau pribadi-pribadi
yang terlibat dalam kegiatan berbicara. Ciri-ciri ini dapat berwujud:

11
2. Aksi verbal dari partisipan, yang berarti tiap orang yang terlibat akan
mempergunakan Bahasa yang sesuai dengan situasi atau kedudukan
sosialnya masing-masing.
3. Aksi non-verbal dari partisipan, yang berarti tingkah laku non-bahasa
(gerak-gerik, mimik, dan sebagainya) yang mengiringi Bahasa yang
digunakan, juga dipengaruhi oleh status sosial para partisipan.
4. Obyek-obyek yang releva: yang berarti bahwa pokok pembicaraan juga
akan mempengaruhi Bahasa para partisipan. Kalua obyek pembicaraan
adalah mengenai Tuhan, moral, keluruhan, akan dipergunakan kata-kata
yang berkonotasi mulia; kalua obyeknya adalah setan, kejahatan,
korupsi, dan sebagainya, akan dipergunakan kata-kata yang berkonotasi
jelek. Bidang ilmu akan mempergunakan kata-kata ilmiah, bidang sastra
akan mempergunakan kata-kata yang khusus untuk kesusastraan.
2
dalam penggunaan sehari-hari disebut juga makna kalimat, kna
structural, dan sebagainya. Bidang yang mempelajari hal tersebut
akhirnya disebut juga semantik structural, dipertetangkan dengan
semantik leksial yang menyangkut hal yang pertama.
5. Efek dari aksi verbal: efek yang diharapkan oleh partisipan juga akan
mempengaruhi pilihan kata. Bila seorang mengingkan suatu perlakuan
yang baik dan manis, maka kata-kata yang digunakan juga akan sesuai
dengan efek yang diinginkan itu; kalua ia menginginkan suatu perlakuan
yang kasar, maka kata-kata yang dipilih juga akan lain.
Dengan demikian, Bahasa yang digunakan bukan hanya semata-mata Karena
masalah-masalah kebahasaan, tetapi juga karena masalah kemasyarakatan, yang
bersifat nonlinguistis.

2.5 STRUKTUR LEKSIKAL


2.5.1 Sinonimi

Sinonimi adalah suatu istilah yang dapat dibatasi sebagai, (1)telaah mengenai
bermacam-macam kata yang memiliki makna yang sama, atau (2)keadaan dimana
dua kata atau lebih memiliki makna yang sama. Sebaliknya, sinonim adalah kata –
kata yang memiliki makna yang sama.

12
Dalam ilmu bahasa yang murni, sebenarnya tidak diakui adanya sinonim-
sinonim. Tiap kata mempunyai makna atau nuansa makna yang berlainan,
walaupun ada ketumpang-tindihan makna inilah yang membuat orang menerima
konsep sinonimi atau sinonim sebagai dikemukakan diatas. Disamping itu, konsep
ini juga diterima untuk tujuan praktis guna mempercepat pemahaman makna
sebuah kata yang baru, yang dikaitkan dengan kata-kata lama yang sudah dikenal.
Dengan demikian, proses perluasan kosa kata seseorang juga akan berjalan lebih
lancar.

Walupun ada penolakan mengenai adanya sinonim ini, ada juga ahli yang
berpendirian bahwa bagaimana sekalipun ada juga kata-kata yang benar-benar
bersinonim. Kesinoniman kata dapat diukur dari dua kriteria berikut:

(1) Kedua kata itu harus saling bertukar dalam semua kompleks; ini disebut
sinonim total.
(2) Kedua kata itu memiliki indentitas makna kognitif dan emotif yang sama;
hal ini disebut sinonim komplet.

Dengan kriteria ini dapat diperoleh empat macam sinonim, yaitu (1) sinonim
yang total dan komplet, yang dalam kenyataan jarang ada; dan inilah yang dijadikan
landasan untuk menolak adanya sinonim; (2) sinonim yang tidak total tetapi
komplet; (3) sinonim yang total tetapi tidak komplet; (4) sinonim yang tidak total
dan tidak komplet, semuanya tergantung dari sudut pemenuhan kedua kriteria di
atas.

Dengan kriteria itu, kita masih menerima bahwa kata manipulasi bersinonim
dengan kecurangan, penggelapan, penimbunana, spekulasi. Namun tidak ada
sinonim total dan komplet antara dua kata atau lebih dari kata-kata yang bersinonim
itu. Demikian pula bila dikatakan bahwa kata stabil bersinonim denga kata mantap,
kuat, tak goyah, tetap, kukuh, atau kata senang bersinonim dengankata puas, lega,
tidak susah, tidak kecewa, betah, berbahagia, suka, gembira, sukacita, girang,
nyaman tidak terdapat sinonim total dan komplet. Tetapi dari perangkat kata-kata
bersinonim itu, pasti ada yang termasuk dalam ketiga jenis sinonim yang lain.

13
Penyerapan kata-kata daerah ke dalam bahasa indonesia, juga menjadi
penyebab adanya sinnonim. Tempat kediaman yang berlainan mempengaruhi pula
perbedaan kosa kata yang digunakan, walupun referennya sama. Kita mengenal
kata tali dan lambang, parang dan golok,ubi kayu dan singkong dan tanah liat,
dan sebagainya.hampir sama dengan kelas sinonim ini adalah sinonim yang terjadi
karena pengambilan data dari dialek yang berlainan: tuli dan peak, sore, dan
petang, dan sebagainya.

2.5.2 Polisemi dan Homonimi

Bila dalam sinonimi kita berbicara mengenai beberkata yang memiliki


makna yang mirip, maka dalam polisemi kita mencatat kenyataan lain bahwa ada
sebuah kata dapat memiliki bermacam-macam arti(poly = banyak, semu = tanda).
Kata polisemi yang berarti “satu bentuk mempunyai beberapa makna”, sangat dekat
denga sebuah istilah lain, yaitu homonimi yaitu “dua kata atau lebihtetapi memiliki
bentuk yang sama”. Dalam polisemi kita hanya menghadapi satu kata saja,
sebaliknya dalam homonimi kita sebanarnya menghadapii dua kata atau lebih.

Kata korban dalam KUBI dijelaskan sebagai memiliki makna (1) pemberian
untuk menyatakan kebaktian, (2) orang yang menderita kecelakaan karena sesuatu
perbuatan, (3) orang yang meninggal karena tertimpa bencana.Ketiga makna ini
bberdekatan satu sama lain, dan dalam kamus biasanya ditempatkan di bawah satu
topik yang sama. Dari KUBI kita juga mencatat data yang lain, yaitu ada kata bisa
yang berarti (1) zat racun yang dapat menyebabkan luka, busuk atau mati pada
sesuatu yang hidup, (2) mengandung zat racun (berbisa), (3) sesuatu yang buruk
dapat merusak akhlak; dan bisa II yaitu berarti: dapat;boleh;mungkin. Contoh
pertama di atas (korban) adalah polisemi, dan contoh yang kedua (bisa I, bisa II)
adalah homonimo.

Untuk menetapkan apakah suatu bentuk itu merupakan polisemi atau


homonimi, kadang-kadang tidak selalu mudah. Kamus-kamus biasanya menetapkan
apakan sebuah kata itu polisemi atau homonimi berdasarkan etimologi atau
pertalian historisnya. Misalnya kata buku adalah homonim, yaitu buku I adalah kata
asli bahasa Indonesia yang berarti “tulang sendi”, dan buku II yang berati “kitab”

14
atau “pusaka” berasal dari bahasa Belanda yang berarti “kertas bertulisan yang
dijilid”; kata kopi juga adalah homonim walaupun kata kopi I berasal dari bahasa
Belanda Koffie yang berarti “nama pohon dan biji yang digoreng untuk minumam”,
dan kopi II yang berasal dari bahasa Inggris copy yang berarti “salinan (surat dan
sebagainya)”.

Selain hal di atas, cara untuk mengetahui apakah suatu bentuk itu
merupakan polisemi atau homonimi adalah dengan mengetahui prinsip
perluasanmakna dari suatu makna dasar. Salah satu daripadanya adalah metafora
yang didasarkan pada hubungan antara referen primer bagi kata-kata:
mulut,mata,kepala,kaki,tangan dan sebagainya. Hubungan itu lahir dari kesamaan
fungsi atau bentuk anatara referen-referennya.

Dalam bahasa Indonesia kadang-kadang homonimi masih dapat dibedakan


lagi atas homograf dan homofon, karena kesamaan bentuk itu dapat dilihat dari
sudut ejaan atau ucapan. Ada homonim yang homograf dan homofon artinya baik
ejaan maupun ucapannya sama, seperti tampak pada kata: bisa I dan bisa II, alat I
(perabot,perkakas) dan alat II (jamu, tamu), amat I (sangat) dan amat II
(memperhatikan), buram I (konsep) dan buram II (tak bercahya). Ada homonim
yang homograf yang tak homofon yang berarti ejaannya sama tetapi ucapannya
berbeda, seperti: sedan I (sedu, rintih) dan sedan II (mobil penumpang), seri I
(cahaya) – seri II (menghisap) – seri III (balui) dan seri IV (rangkaian). Dalam
kasus ini seri I, II,III di satu pihak dan seri IV di pihak lain merupakan homonim
yang homograf yang tak homofon. Contoh-contoh lain adalah mental I
(terpelanting) dan mental II (batin,jiwa). Dalam bahasa indonesia masih terdapat
homonim yang tidak homograf tetapi homofon, terutama yang ada kaitannya dengan
fonem /h/ yang sering tidak diucapkan: muda (remaja) dan mudah (gampang), tua
(lanjut usia) dan tuah (untung,sakti), gaji (upah) dan gajih (gemuk, lemak), basa
(bahasa) dan basah (mengandung air).

15
2.5.3 Hiponimi
Hiponimi adalah semacam relasi antar kata yang berwujud atas bawah atau
dalam suatu makna tetkandung sejumlah komponen yang lain. Karena ad akelas
atas yang mencakup sejumlah komponen yang lebih kecil, dan ada sejumlah kelas
bawah yang merupakan komponen-komponen yang tercakup dalam kelas atas,
maka kata yang berkedudukan sebagai kelas disebut superordinate dan kelas bawah
yang disebut hiponim.
Kata bunga merupakan suatu superordinate yang membawahi sejumlah
hiponim antara lain: mawar, melati, sedap malam, falmboyanm, dan gladiol. Tiap
hiponim pada gilirannya dapat menjadi superordinate bagi sejumlah hiponim yang
bernaung di bawahnya,misalnya ada mawar merah, mawar putih, mawar oranye,
dan sebagainya. Dalam keterbatasann istilah dapat juga terjadi bahwa istilah yang
sama dapat dipakai lebih dari satu kali bagi hirarki yang berbeda. Misalnya kata
binatang pertama-tama superordinate membawahi hiponim manusia dan binatang
(hewan atau binatang tak berakal budi). Kata binatang (hewan atau binatang tak
berakal budi) yang tadinya menjadi hiponim, sekarang dapat bertindak lagi sebagai
superordinat yang membawahi hiponim baru: burung, ikan, insek, dan binatang
penyusu.
Dalam komposisi, sebuah hiponim dapat digantikan oleh superordinatnya
sesudah penulis mengemukakan hiponim tadi. Tetapi sebaliknya bila penulis
berbicara mengenai sebuah superordinate ia tidak dapat menggantikan
superordinate dengan hiponimnya sebagai suatu contoh atau ilustrasi. Misalnya: “Ia
memelihara sepuluh ekor anjing herder untuk menjaga rumahnya. Binatang-
binatang itu dengan setia mengadakan pengawalan siang dan malam.” Binatang
adalah makhluk yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Anjing misalnya
membantuk manusia dalam berburu mencari jejak pencuri, menjaga keamanan
rumah, dan sebagainya.” Contoh pertam menunjungkkan bahwwa kata anjing
herder dapat diganti dengan binatang, tetapi kalimat keedua menunnjukan bahwa
kata binatang tak dapat diganti dengan anjing, kecuali kalua kata anjing berfungsi
sebagai contoh dari superordinate itu. Hal itu penting disadari dalam komposisi.

16
Istilah superordinate dan hiponim adalah istilah dalam semantik. Ilmu biologi
mempergunakan isitilah genus dan spesies, ilmu-ilmu sosial mempergunakan
istilah kategori dan sub kelas, semuanya mengacu pada hal yang sama yaitu tingkat
atas dan tingkat bawah.
2.5.4 Antonimi
Istilah antonimi dipakai untuk menyatakan “lawan makna”, sedangkan
kata yang berlawan disebut antonimi. Sering kali antonim dianggap sebagai lawan
kata dari sinonim, namun anggapan itu sangat menyesatkan. Antonimi adalah relasi
antar makna yang wujud logisnya sangat berbeda atau bertentangan: benci-cinta,
panas-dingin, timur-barat, suami-istri, dan sebagainya. Bila dibandingkan dengan
sinonimi, maka antonimi merupakan hal yang wajar dalam Bahasa.
Walaupun kita menerima konsep antonimi secara umum, sebenarnya Tedapat
perbedaan antara bermacam-macam kata yang berantonim itu. Oposisi antarkata
dapat berbentuk:
1) Oposisi kembar: oposisi yang mencakup dua anggota seperti: laki-laki-
wanita, jalanan-betina, hidup-mati. Ciri utama dari kelas antonym ini
adalah penyangkalan terhadap yang satu berarti penegasan terhadap
anggota yang lain, penegasan terhadap yang satu berarti penyangkalan
terhadap yang lain. Misalnya: Anak laki-laki=anak itu bukan wanita,
anak itu bukan laki-laki=anak itu wanita.
2) Oposisi majemuk: oposisi yang mencakup suatu perangkat yang terdiri
dari dua kata. Oposisi ini bertalian terutama dengan hiponim-hiponim
dalam sebuah kelas: logam, spesies binatang, tumbuhan tumbuhan,
buah-buahan, warna, dan sebagainya. Ciri utama kelas antonym adalah:
pemegasam terhadap suatu anggota akan mencakup penegasan
mengenai kemungkian dari semua anggota yang lain. Kalau dikatakan
baju itu merah, maka tercakup di dalamnya pengertian baju itu tidak
hijau; baju itu tidak putih; baju itu tidak hitam, dan sebagainya.
Sebaliknya, kalua diakatakan baju itu tidak merah atau baju itu putih
atau baju itu hitam, dan sebagainya.
3) Oposisi gradual: kelas ini sebenarnya suatu penyimpangan dari oposisi
kembar, yaitu antara dua istilah yang berlawanan masih terdapat

17
sejumlah tingkatan antara. Antara kaya dan miskin, besar-kecil,
panjang-pendek, dan sebagainya terdapat tingkatan (gradasi): sangat
panjang-lebih panjang-panjang-pendek-lebih pendek-sangat pendek,
dan sebagainya. Ciri utama antonim ini adalah: penyangkalan terhadap
yang satu tidak mencakup penegasan terhadap yang lain, walaupun
penegasan terhadap yang satu mencakup penyangkalan terhadap yang
lain. Misalnya: rumah kami tidak besar tidak mencakup pula pengertian
rumah kami tidak kecil.
Umumnya semua kata sifat dan adverbial termasuk kelompok ini beberapa kata
kerja (cinta, benci, setuju, dan sebagainya).
4) Oposisi relasional (kebalikan): adalah oposisi antara dua kata yang
mengandung relasi kebalikan: orang tua-anak, suami-istri, guru-murid,
penjual-pembeli, menjual-membeli, memberi-menerima, mengajar-
belajar, meminjam-meminjamkan, menghentikan-berhenti, dan
sebagainya. Termasuk dalam kelas ini adalah kata-kata yang
menyatakan arah yang berlawanan: utara-selatan, timur-barat, atas-
bawah, depan-belakang. Relasi ini biasanya dinyatakan dengan
mempergunakan kata yang berlainan dalam konstruksi kalimat yang
sama: Ali menjual seekor sapi pada Tono-Tono membeli seekor sapi
dari Ali; ayah memberi anaknya sebuah rumah-anak menerima dari
ayahnya sebuah rumah; Tono adalah orang tua dari Titi-Titi adalah
anak dari Tono; Yono adalah suami dari Titi-Titi adalah istri dari Yono,
dan sebagainya.
5) Oposisi Hirarkis: adalah oposisi yang terjadi Karena tiap istilah
menduduki derajat yang berlainan. Oposisi inin sebenarnya sama
dengan oposisi majemuk, namun disini terdapat suatu kriteria tambahan
yaitu tingkat. Termasuk dalam kelas ini adalah: perangkat ukuran,
penanggalan. Misalnya: milimeter-centimeter-desimeter-meter, dan
seterusnya, inci-kaki-yard,gram-desigram-kilogram; januari-februari-
maret-april, dan sebagainya.
6) Oposisi inversi: Oposisi yang terdapat pada pasangan kata seperti:
beberapa-semua, mungkin-wajib, boleh-harus, tetap-menjadi.

18
Pengujian utama mengenai oposisi inversi ini adalah apakah ia
mengikuti kaidah sinonim yang mencakup (a) penggantian sesuatu
istilah dengan yang lain, dan (b) mengubah posisi suatu penyangkalan
dalam kaita dengan istilah yang berlawanan.
Misalnya:
- “Beberapa negara tidak memiliki pantai” sinonim dengan “tidak
semua negara memiliki pantai”
- “semua kucing bukan kerbau” sinonim dengan: “tak ada kucing
adalah kerbau”
- Kita diharuskan untuk tidak menjadi perokok=Kita tidak
diperbolehkan merokok
- Kakak tidak menjadi perokok=Kakak tetap bukan perokok.

2.6 Kesalahan Pemakaian Gabungan Kata dan Kata


2.6.1 Kesalahan Pemakaian Gabungan Kata yang mana, di mana, daripada.
Perhatikan contoh pemakaian di mana, yang mana, daripada, yang salah dalam
kalimat ini.
• Dalam rapat yang mana dihadiri oleh para ketua RT dan Rw.
• Demikian tadi sambutan Pak Lurah di mana beliau telah menghimbau kita
untuk lebih tekun bekerja.
• Marilah kita perhatikan kebersihan kita daripada lingkungan kita.

Kalimat 1 (satu) kerap kita dengar dalam aktivitas bermasyarakat kalau kita
amati. Terdapat dua kesalahan dalam pemakaain bentuk gabungan itu, kesalahan
pertama, dalam sebagian kalimat itu terdapat kata yang berlebih atau mubazir yang
mengakibatkan terjadinya polusi bahasa. Kata mana dalam kalimat pertama tidak
diperlukan, cobalah baca kalimat pertama tanpa kata mana, jadi bunyinya berubah
seperti ini. Dalam rapat yang dihadiri oleh para ketua RT dan Rw.
Kalimat 2 (dua), pada bagian besar kalimat ini terjadi salah pakai bentuk
gabung di mana tidak boleh dipakai dalam bentuk kalimat. Fungsi di mana dan yang
mana bukan sebagai penghubung klausa-klausa, baik dalam sebuah kalimat
maupun penghubung antar kalimat. Kalimat ini harus dipecah menjadi dua.

19
 Demikian tadi sambutan pak Lurah
 Beliau telah menghimbau kita untuk lebih tekun dan bekerja
Ada pun kalimat terakhir ini sama seperti kalimat pertama.

2.6.2 Kesalahan Pemakaian Gabungan Kata dengan, di, dan ke.


Pemakaian kata dengan dalam kalimat terutama ragam lisan, sering tidak
tepat, perhatikan contoh yang salah berikut ini:
(1) Sampaikan salam saya dengan Dona
(2) Mari kita tanyakan langsung dengan dokter ahlinya.
Kata dengan pada kalimat diatas harus diganti dengan kepada, jika tidak
kepada siapa salam ditujukan. Kata dengan tidak cocok dipakai untuk kalimat diatas
karena dengan dapat berarti bersama.
Senada dengan kekeliruan pemakaian kata sambung dengan, pemakaian
yang keliru juga sering terjadi untuk kata depan di dan ke yang seharusnya di isi
oleh kata pada dan kepada. Kata depan di dan ke harus diikuti oleh tempat, waktu,
sedangkan kepada harus diikuti nama/jabatan orang atau kata ganti orang. Contoh:
(1) Buku agendaku tertinggal di rumah Andi.
(2) Jangan menoleh ke kiri.
(3) Permohonan cuti diajukan kepada direktur.

2.6.3 Kesalahan Pemakaian Kata berbahagia


Dalam pertemuan formal ditengah masyarakat, kita sering mendengar kata
berbahagia dipakai secara keliru oleh pembawa acara dan juga oleh pembicara lain.
Umumnya kata berbahagia itu dimunculkan pada bagian awal suatu acara ketika
pembicara menyapa hadirin, seperti contoh yang keliru berikut ini:
(1) Selamat malam dan selamat datang ditempat yang berbahagia ini.
(2) Pada kesempatan yang berbahagia ini, kami mengajak hadirin untuk.

Mengapa pemakaian dalam kalimat 1 dan 2 dikatakan keliru, karena


berbahagia bukan kata sifat. Jika pada kata berbahagia diganti kata sifat misalnya,
aman ,indah, bersih, tentu saja kalimatnya benar.

20
2.7 Syarat-syarat Ketepatan Diksi
Ketepatan adalah kemampuan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan
yang sama pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti yang dipikirkan atau
dirasakan oleh penulis atau pembicara, maka setiap penulis atau pembicara harus
berusaha secermat mungkin memilih kata-katanya untuk mencapai maksud
tersebut. Ketepatan tidak akan menimbulkan salah paham.
Selain pilihan kata yang tepat, efektivitas komunikasi menuntut persyaratan
yang harus di penuhi oleh pengguna bahasa, yaitu kemampuan memilih kata yang
sesuai dengan tuntutan komunikasi.
Adapun syarat-syarat ketepatan pilihan kata adalah :
1. Membedakan secara cermat denotasi dan konotasi.
Denotasi ialah kata yang bermakna lugas atau tidak bermakna ganda.
Sedangkan konotasi ialah kata yang dapat menimbulkan bermacam-macam makna.
Contoh :
 Bunga eldeweis hanya tumbuh ditempat yang tinggi. (Denotasi)
 Sinta adalah bunga desa di kampungnya. (Konotasi)
2. Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim.
 Siapa pengubah peraturan yang memberatkan pengusaha?
Pembebasan bea masuk untuk jenis barang tertentu
adalah peubahperaturan yang selama ini memberatkan pengusaha.
3. Membedakan kata-kata yang mirip ejaannya.
 Intensif – insensif
 Karton – kartun
 korporasi - koperasi

4. Tidak menafsirkan makna kata secara subjektif berdasarkan pendapat


sendiri, jika pemahaman belum dapat dipastikan.
Contoh :
 Modern : canggih (secara subjektif)
 Modern : terbaru atau muktahir (menurut kamus)
 Canggih : banyak cakap, suka menggangu, banyak mengetahui,
bergaya intelektual (menurut kamus)

21
5. Waspada terhadap penggunaan imbuhan asing.
Contoh :
 Dilegalisir seharusnya dilegalisasi.
 Koordinir seharusnya koordinasi.
6. Membedakan pemakaian kata penghubung yang berpasangan secara tepat.
Contoh :
Pasangan yang salah Pasangan yang benar
antara ..... dengan .... antara .... dan .....
tidak ..... melainkan ..... tidak ..... tetapi .....
baik ..... ataupun ..... baik ..... maupun .....
bukan ..... tetapi ..... bukan ...... melainkan .....

7. Membedakan kata umum dan kata khusus secara cermat.


Kata umum adalah sebuah kata yang mengacu kepada suatu hal atau
kelompok yang luas bidang lingkupnya. Sedangkan kata khusus adalah kata
yang mengacu kepada pengarahan-pengarahan yang khusus dan kongkret.
Contoh :
 Kata umum :melihat
 Kata khusus :melotot, membelak, melirik, mengintai,
mengamati, mengawasi, menonton, memandang,
menatap.

8. Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah


dikenal.
Contoh :
 Isu (berasal dari bahasa Inggris “issue”) berarti publikasi, perkara.
 Isu (dalam bahasa Indonesia) berarti kabar yang tidak jelas asal-
usulnya, kabar angin, desas-desus.

9. Menggunakan dengan cermat kata bersinonim, berhomofoni, dan


berhomografi.
Sinonim adalah kata-kata yang memiliki arti sama.

22
Homofoni adalah kata yang mempunyai pengertian sama bunyi, berbeda
tulisan, dan berbeda makna.
Homografi adalah kata yang memiliki kesamaan tulisan, berbeda bunyi,
dan berbeda makna.
Contoh :
 Sinonim : Hamil (manusia) – Bunting (hewan)
 Homofoni : Bank (tempat menyimpan uang) – Bang (panggilan
kakak laki-laki)
 Homografi : Apel (buah) – Apel (upacara)

10. Menggunakan kata abstrak dan kata konkret secara cermat.


Kata abstrak mempunyai referensi berupa konsep, sedangkan kata konkret
mempunyai referensi objek yang diamati.
Contoh :
 Kata abstrak
Kebaikkan seseorang kepada orang lain merupakan sifat terpuji.
 Kata konkret
APBN RI mengalami kenaikkan lima belas persen.

2.8 Gaya Bahasa


Gaya bahasa atau langgam bahasa dan sering juga disebut majas adalah cara
penutur mengungkapkan maksudnya. Banyak cara yang dapat dipakai untuk
mengungkapkan maksud. Ada cara yang memakai perlambang (majas metafora,
personifikasi) ada cara yang menekankan kehalusan (majas eufemisme, litotes) dam
masih banyak lagi majas yang lainnya. Semua itu pada prinsipnya merupakan corak
seni berbahasa untuk menimbulkan kesan tertentu bagi mitra komunikasi kita
(pembaca/pendengar).

23
2.8.1 Gaya Bahasa Berdasarkan Nada

Gaya bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti yang dipancarkan dari
rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Sering kali sugesti ini
akan lebih nyata kalau diikuti dengan sugesti suara dari pembicara, bila sajian yang
dihadapi adalah bahasa lisan.
2.8.1.1 Gaya Sederhana
Gaya ini biasanya cocok untuk memberi instruksi, perintah pelajaran,
perkuliahan, dan sejenisnya. Sebab itu untuk mempergunakan gaya ini secara
efektif, penulis harus memiliki kepandaian dan pengetahuan yang cukup.
Karena gaya ini biasanya dipakai dalam memberi instruksi, pelajaran dan
sebagainya, maka gaya ini cocok pila digunakan unutk menyampaikan fakta atau
pembuktian-pembuktian.
2.8.1.2 Gaya Mulia dan Bertenaga
Sesuai dengan namanya, gaya ini penuh dengan vitalitas dan enersi, dan
biasanya dipergunakan untuk menggerakkan sesuatu. Menggerakkan sesuatu tidak
saja dengan mempergunakan tenaga dan vitalitas pembicara, tetapi juga dapat
mempergunakan nada keagungan dan kemuliaan. Tampaknya hal ini mengandung
kontradiksi, tetapi kenyataanya memang demikian. Nada yang agung da mulia akan
sanggup pula menggerakkan emosi setiap pendengar. Dalam keagunngan,
terselubung sebuah tenaga yang halus tetapi secara aktif dan meyakinkan bekerja
untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Khotbah tentang kemanusiaan dan
keagamaan, kesusilaan dan ketuhanan biasany adisampaikan dengan nada yang
agung dan mulia. Tetapi di balik keagungan dan kemuliaan itu terdapat tenaga
penggerak yang luar biasa, tenaga yang benar-benar mampu menggetarkan emosi
para pendengar atau pembaca.
2.8.1.3 gaya menengah
Gaya menengah adalah gaya yang diarahkan kepada usaha untuk menimbulkan
suasana senang dan damai. Karena tujuannya adalah menciptakan suasana senang
dan damai, makaa nadanya juga bbersifat lemah-lembut, penuh kasih sayang, dan
mengandung humor yan sehat. Pada kesempatan-kesempatan khusus seperti pesta,
pertemuan, dan rekreasi, orang ebih menginginkan ketenangan dan kedamaian.
Akan ganjillah rasanya, atau akan timbul disharmoni, kalau dalam suatu pesta

24
pernikahan ada orang yang memberi sambutan berapi-api, menggerahkan segala
emosi dan tenaga untuk menyampaikan sepatah kata. Para hadiri yang kurang
waspada akan turut terombang-ambing dalam permainan emosi semacam itu.

Karena sifatnya yang lema lembut dan sopan santun, maka gaya ini biasanya
mempergunakana metafora bagi pilihan katanya. Ia akan lebih menarik bila
mempergunakan perambangan-perlambangan sementara itu ia memperkenalkan
pula penyimpangan-penyimpangan yang menarik hati,cermat dan sempurna
nadanya serta menyenangkan pula refleksinya. Kata-kata seolah-olah mengalir
dengan lemah-lembut bagaikan sungai yang jernih, bening airnya dalam bayangan
dedaunan yang hijau di hari cerah.

2.8.2 Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna

Gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna, yaitu
apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah
ada penyimpangan. Bila acuan yang digunakan itu masih mempertahankan makna
dasar, maka bahasa itu masih bersifat polos. Tetapi bila sudah ada perubahan
makna, entah bberupa makna konotatif atau sudah menyimpang jauh dari makna
denotatifnya, maka acuan itu dianggap sudah memiliki gaya sebagai yang
dimaksudkan di sini.

Gaya bahasa berdasarkan kertikalangsungan makni ini biasanya disebut


sebagai trope atau figure of speech. Istilah trope sebenarnya berarti “pembalikan”
atau”penyimpangan”. Kata trope lebih dulu populer sampai dengan abad XVIII.
Karena ekses yang terjadi sebelumnya, trope dianggap sebagai pengguna bahasa
yang indah dan menyesatkan. Sebab itu, pada abad XVIII istilah itu mulai diganti
dengan figure of speech.

Gaya bahasa yang disebut trope dan figure of speech dalam uraian ni dibagi
atas dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris, yang semata-mata merupakan
penyimngan dari kontruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, dan gaya bahasa
kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang
makna.

25
2.8.3 Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata

Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling
tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya
penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat.
Dengan kata lain, gaya bahasa ini mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam
menghadapi situasi-situasi tertentu.
Dalam bahasa standar (bahasa baku) dapatlah dibedakan menjadi :
2.8.3.1 Gaya Bahasa Resmi
Gaya bahasa resmi adalah gaya bahasa dalam bentuknya yang lengkap, gaya
yang dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi, gaya yang dipergunakan
oleh mereka yang diharapkan mempergunakannya dengan baik dan terpelihara.
Gaya bahasa resmi biasa kita jumpai dalam penyampaian amanat kepresidenan,
berita negara, khotbah-khotbah mimbar, tajuk rencana, pidato-pidato yang penting,
artikel-artikel yang serius atau esai yang memuat subyek-subyek yang penting,
semuanya dibawakan dengan gaya bahasa resmi.
Contoh dalam pembukaan UUD 1945:
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan ini ialah hak segala bangsa dan
oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak
sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa
mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. ...(selanjutnya)
2.8.3.2 Gaya Bahasa Tak Resmi
Gaya bahasa tak resmi juga merupakan gaya bahasa yang dipergunakan dalam
bahasa standar, khususnya dalam kesempatan-kesempatan yang tidak formal atau
kurang formal. Gaya bahasa ini biasanya dipergunakan dalam karya-karya tulis,
buku-buku pegangan, artikel-artikel mingguan atau bulanan yang baik, dalam
perkuliahan, dan sebagainya. Singkatnya gaya bahasa tak resmi adalah gaya bahasa
yang umum dan normal bagi kaum terpelajar.

26
Contoh :
Sumpah pemuda yang dicetuskan pada tanggal 28 Oktober 1928
adalah peristiwa nasional, yang mengandung benih nasionalisme. Sumpah
Pemuda dicetuskan pada zaman penjajahan. Nasionalisme pada zaman
penjajahan mempunyai watak khusus yakni anti penjajahan. Peringatan
kepada Sumpah Pemuda sewajarnya berupa usaha merealisasikan gagasan-
gagasan Sumpah Pemuda.

2.8.3.3 Gaya Bahasa Percakapan


Dalam gaya bahasa percakapan, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan
kata-kata percakapan. Kalau dibandingkan dengan gaya bahasa resmi dan tak resmi,
maka gaya bahasa percakapan ini dapat diumpamakan sebagai bahasa dalam
pakaian sport. Itu berarti bahasanya masih lengkap untuk suatu kesempatan, dan
masih dibentuk menurut kebiasaan-kebiasaan, tetapi kebiasaan ini agak longgar bila
dibandingkan dengan kebiasaan pada gaya bahasa resmi dan tak resmi.
Contoh berikut adalah hasil rekaman dari sebuah diskusi dalam seminar Bahasa
Indonesia tahun 1996 di Jakarta :
Pertanyaan yang pertama, di sini memang sengaja saya tidak
membedakan antara istilah jenis kata atau word classes atau parts of speech.
Jadi ketiganya saya artikan sama di sini. Maksud saya ialah kelas-kelas kata,
jadi penggolongan kata, dan hal itu tergantung kepada dari mana kita melihat
dan dasar apa yang kita pakai untuk menggolongkannya. .......(selanjutnya)

2.8.4 Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur dan Kalimat


Struktur sebuah kalimat dapat dijadikan landasan untuk menciptakan gaya Bahasa.
Yang dimaksud dengan struktur kalimat disini adalah kalimat bagaimana tempat
sebuah unsur kalimat yang dipetingkan dalam kalimat tersebut. Ada kalimat yang
bersifat periodik, bila bagian yang terpenting atau gagasan yang mendapat
penekanan ditempatkan pada akhir kalimat. Ada kalimat yang bersifat kendur, yaitu
bila bagian kalimat yang mendapat penekanan ditempatkan pada awal kalimat.
Bagian-bagian yang kurang penting atau semakin kurang penting dideretkan
sesudah bagian yang dipentingkan tadi. Dan jenis yang ketiga adalah kalimat

27
berimbang, yaiyu kalimat yang mengandung dua bagian kalimat atau lebih yang
kedudukannya sama tinggi atau sederajat.
Berdasarkan ketiga macam struktur kaimat sebagai yang dikemukakan
diatas, maka dapat diperoleh gaya-gaya Bahasa sebagai berikut:

2.8.4.1 Klimaks
Gaya Bahasa klimaks diturunkan dari kalimat yang bersifat periodik. Klimaks
adalah semacam gaya Bahasa yang mengandung urutan urutan pikiran yang setiap
kali semakin meiningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya.
1. Kami mendoakan agar pada suatu waktu -kapan saja waktunya-mereka
dapat berdiri sendiri, bukan supaya mereka tidak bisa tunduk di bawah
pengaruh kita, mengabdi dan berbakti kepada kita, tapi Karena justru
inilah keadilan sosial yang selama ini kita perjuangkan
2. Dalam dunia perguruan tinggi yang dicengkam rasa takut dan rasa
rendahh diri, tidak dapat diharapkan pembaharuan, kebanggaan akan
hasil-hasil pemikiran yang obyektif atau keberanian untuk mengungkapkan
pendapat secara bebas.
3. Di samping itu, sastrawan mempunyai waktu yang cukup panjang untuk
memilih, merenungkan bahkan menciptakan cara-cara baru dan bentuk-
bentuk tertentu dalam penyampaian maksudnya, mereka juga memmpunyai
kebebasan yang luas untuk menyimpang dari tulisan biasa.
4. Kesengsaraan membuahkan kesabaran, kesabaran pengalaman, dan
pengalaman harapan.
Klimaks disebut juga gradasi. Istilah ini dipakai sebagai istilah umum yang
sebenarnya merujuk kepada tingkat atau gagasan tertinggi. Bila klimaks itu
terbentuk dari beberapa gagasan yang berturut-turut semakin tinggi
kepentingannya, maka ia disebut anabasis.

2.8.4.2 Antiklimaks
Antiklimaks dihasilkan oleh kalimat yang berstruktur mengendur. Antiklimaks
sebagai gaya Bahasa merupaka suatu acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan
dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Antiklimaks

28
sering kurang efektif Karena gagasan yang penting ditempatkan pada awal kalimat,
sehingga pembaca atau pendengar tidak lagi memberi perhatian pada bagian-bagian
berikutnya dalam kalimat itu.
1. Kita hanya dapat merasakan betapa besarnya perubahan dari Bahasa
Melayu ke Bahasa Indonesia, apabila kita mengikuti pertukaran pikiran,
polemik, dan pertentangan yang berlaku sekitar Bahasa Indonesia dalam
empat puluh tahun ini antara pihak guru sekolah lama dengan angkatan
penulis baru sekitar tahun tiga puluhan, antara pihak guru dengan pihak
kaum jurnalis yang masih terdengar gemanya dalam Kongres Bahasa
Indonesia dalam tahun 1954.
2. Ketua pengadilan negeri itu adalah seorang yang kaya, pendiam, dan tidak
terkenal namnya (mengandung ironi)
3. Pembangunan lima tahun telah dilancarkan serentak di Ibu kota negara,
ibu kota propinsi, kabupaten, kecamatan, dan semua desa di seluruh
Indonesia.
Antiklimaks sebagai dinyatakan dalam kalimat terakhir masih efetif Karena
hanya mencakup soal tata tingkat. Tata tingkat ini biasa terjadi Karena
hubungan organisatoris, hubungan usia atau besar kecilnya suatu barang.
Tetapi bila yang dikemukakan adalah peroalan atau gagasan yang abstrak,
sebaiknya jangan mempergunakan gaya antiklimaks.
Seperti halnya dengan gaya klimaks, antiklimaks dapat dipakai sebagai suatu
istilah umum yang masih mengenal spesifikasi lebih lanjut. Dekrementum adalah
antiklimaks yang berwujud menambah ide yang kurang penting pada suatu ide yang
penting seperti pada contoh pertama di atas. Dan bila antiklimaks itu mengurutkan
sejumlah ide yang semakin kurang penting, maka ia disebut katabasis seperti
diperlihatkan pada contoh kedua dan ketiga. Sebaliknya, bila dari suatu ide yang
sangat penting tiba-tiba menukik ke suatu ide yang sama sekali tidak penting, maka
antiklimaks itu disebut batas, misalnya:
Engkaulah raja yang mahakuasa di daerah ini, seorang hamba yang
pengecut dari tuanmu yang pemurah.

29
2.8.4.3 Paralelisme
Paralelisme adalah semacam gaya Bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran
dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama
dalam bentuk gramatikal yang sama. Kesejajaran tersebut dapat pula terbentuk anak
kalimat yang bergantung pada sebuah induk kalimat yang sama. Gaya ini lahir dari
struktur kalimat yang berimbang. Tidak pernah dikemukakan, usahakan dirasakan:
1. bahwa Bahasa itu lain daripada alat lain dalam pergaulan, mempunyai
makna yang tak kurang, bahkan yang barangkali lebih penting pula, oleh
Karena dalam Bahasa itu manusia dapat mencurahkan suka dan dukanya,
cinta dan hasrat jiwanya.
2. Sangatlah ironis kedengaran bahwa ia menderita kelaparan dalam sebuah
daerah yang sabar dan kaya, serta mati terbunuh dalam sebuah negeri yang
sudah ratusan tahun hidup dalam ketentraman dan kedamaian.
3. Bukan saja perbuatan itu harus dikutuk, tetapi juga harus diberantas. (tidak
baik: bukan saja perbuatan itu harus dikutuk, tetapi kita juga harus
memberantasnya)
4. Baik golongan yang tinggi maupun golongan yang rendah, harus diadili
kalua bersalah. (tidak baik: baik golongan yang tinggi maupun mereka
yang rendah kedudukannya, harus diadili kalua bersalah.)
Perlu kiranya diingatkan bahwa bentuk paraelelisme adalah sebuah bentuk
yang baik untuk menonjolkan kata atau kelompok kata yang sama fungsinya.
Namun bila terlalu banyak digunakan, maka kalimat-kalimat akan menjadi kaku
dan mati.

2.8.4.4 Antitesis
Antithesis adalah gaya Bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang
bertentanga, dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang
berlawanan. Gaya ini timbul dari kalimat berimbang. Perhatikan contoh berikut:
1. Mereka sudah kehilangan banya dari harta bendanya, tetai mereka juga
telah banyak mmeperoleh keuntungan daripadanya.
2. Hingga kini kusimpan engkau mesra dalam lubuk hatiku, tetapi mulai
kini engkau kuenyahkan jauh jauh bagi musuh yang kejam.

30
Sebagai tampak dari contoh-contoh dia atas, gaya Bahasa Bahasa antithesis ini
mempergunakan juga unsur-unsur paralelisme dan kseimbangan kalimat.

2.8.4.5 Repetisi
Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang
dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.
Dalam bagian ini, hanya akan dibicarakan repetisi yang berbentuk kata atau frasa
atau klausa. Karena nilainya dianggap tinggi, maka dalam oratori timbullah
bermacam-macam variasi repetisi. Repetisi, seperti halnya dengan paralelisme dan
antithesis, lahir dari kalimat yang berimbang.
1. Anggota-anggota masyarakat dalam lingkungan suatu kebudayaan tahu
akan adat-istiadat, kebiasaan dan undang-undang, tahu bagaimana ia
mesti berkelakuan dalam lingkungan masyarakat dan kebudayaan, dan
ia tahu juga menafsirkan kelakuan sesamanya dalam masyarakat dan
kebudayaan itu, sehingga ia dapat mereaksi terhadapnya dengan cara
selayaknya
2.8.5 Gaya bahasa retoris
2.8.5.1 Aliterasi

Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan


yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk
perhiasan atau untuk penekanan.

Misalnya: Takut titik lalu tumpah.

Keras-keras kerak kena air lembut juga

2.8.5.2 Asonansi

asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal
yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang juga dalam prosa
untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Misalnya:

Ini muka penuh luka siapa punya.

Kura-Kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.

31
2.8.5.3 Anastrof

Anastrof atau inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan
pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat.

Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya.


Bersorak-sorak orang di tepi jalan memukul bermacam-macam bunyi-bunyian
melalui gerbang dihiasi bunga dan panji berkibar.

2.8.5.4 Apofasis atau Preterisio

Apofasis atau disebut juga preterisiomerupakan sebuha gaya di mana penulis


atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura
membiarkan sesuatu beralu, tetapi sebenarnya ia menemukan hhal itu. Berpura-pura
melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya.
Misalnya: Jika saya tidak menyadari reputasimu dalam kejujuran, maka sebenarnya saya
ingin mengatakan bahwa anda pasti membiarkan anda menipu diri sendiri.

Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwaa saudara telah
menggelapkan watusan juta ruiah uang negara.

2.8.5.5 Apostrof

Apostrof adalah gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada
sesuatu yang tidak hadir. Cara ini biasanya dipergunakan oleh orator klasik. Dalam pidato
yang disampaikan kepada suatu massa, sang orator secara tiba-tiba mengarahkan
pembicaraannya langsung kepada sesuatu yang tidak hadir: kepada mereka yang sudah
meninggal, atau kepada barang atau obyek khayalan atau sesuatu yang abstrak, sehingga
tampaknya ia tidak berbicara kepada para hadirin.

Hai kamu dewa-dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah


kami dari belenggu penindasan ini.

32
Hai kamu yang telah menumpakan darahmu untuk tanah air tercinta ini
berilah agar kami dapt mengenyam keadilan dan kemerdekaan seperti yang
pernah kamu perjuangkan.

2.8.6 Gaya Bahasa Kiasan

Gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau


persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba
menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut.
Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang
termasuk dalam gaya bahasa polos atau langsung, dan perbandingan ynag termasuk
dalam gaya bahasa kiasan. Kelompok pertama dalam contoh berikut termasuk gaya
bahasa langsung dan kelompok kedua termasuk gaya bahasa kiasan:

(1) Dia sama pintar dengan kakaknya


Kerbau itu sama kuat dengan sapi
(2) Matanya seperti bintang timur
Bibirnya seperti delima merekah

Perbedaan antara kedua perbandingan di atas adalah dalam hal kelasnya.


Perbandingan biasa mencakup dua anggota yang termasuk dalam kelas yang sama,
sedangkan perbandingan kedua, sebagai bahasa kiasan mencangkup dua hal yang
termasuk dalam kelas yang berlainan.

Sebab itu, untuk menetapkan apakah suatu perbandingan itu merupakan bahasa
kiasan atau tidak, hendaknya diperhatikan tiga hal berikut:

(1) Tetapkanlah terlebih dahulu kelas kedua hal yang diperbandingkan


(2) Perhatikan tingkat kesamaan atau perbedaan antara kedua hal
tersebut.
(3) Perhatikan konteks di mana ciri-ciri kedua hal itu diketemukan. Jika
tak ada kesamaan makka perbandingan itu adalah bahasa kiasan.

33
2.8.6.1 Persamaan atau Simile

Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat ekspilit. Yang dimaksud
dengan perbandingan yang bersifat ekspilitialah bahwa ia langsung menyatakan
sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara
ekspilit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai,
bagaikan, laksana, dan sebagainya.

Kikirnya seperti kepiting batu

Bibirnya seperti delimamerekah

Matanya seperti bintang timur

Kadang-kadang diperoleh persamaan tanpa menyebutkan obyek pertama yang mau


dibandingkan, seperti:

Seperti menating minyak penuh


Bagai air di daun talas
Bagai duri dalam daging

2.8.6.2 Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung,
tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera
mata, dan sebagainya.

Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata: seperti, bak,


bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan
dengan pokok kedua. Proses terjadinya sebernarnya sama dengan simile tetapi
secara berangsur-angsur keterangan mengenai persamaan dan pokok pertama
dihilangkan, misalnya:

Pemuda adalah seperti bunga bangsa. Pemuda adalah bunga


bangsa, Pemuda Bunga bangsa
Orang itu seperti buaya darat. Orang itu adala buaya darat.

34
Orang itu Buaya darat

Metafora tidak selalu harus menduduki fungdi predikat, tetapi dapat juga
menduduki fungsi lain seperti sbyek, obyek, dan sebaginya. Dengan demikian,
metafora dapat berdiri sendiri sebagai kata, lain halnya dengan simile. Konteks bagi
sebuah simile sangat penting, karena akan membantu makna persamaan itu;
sebaliknya, makna metafora justru dibatasi oleh sebuah konteks.

Bila dalam sebuah metafora, kita masih dapat menentukan makna dasar dari
konotasinya sekarang, maka metafor itu masih hidup. Tetapi kalau kita tidak dapat
menentukan konotasinya lagi, maka metafora itu sudah mati, sudah merupakan
klise.

Perahu itu menggergaji ombak

Mobilnya batuk-batuk sejak pagi tadi

Pemuda-pemudi adalah bunga bangsa

2.8.6.3 Alegori, Parabel, dan Fabel

Bila sebuah metafora mengalami perluasan makna, maka ia dapat berwujud


alegori, parabel, atau fabel. Ketiga bentuk perluasan ini biasanya mengandung
ajaran-ajaran moral dan sering sukar dibdakan satu dari yang lain.

Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Makna kiasan
ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nam
pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannyaselalu jelas tersurat.

Parabel (parabola) adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya


manusia, yang selalu mengandung tema moral. Istilah parabel dipakai untuk
menyebut cerita-cerita fiktif di dalam Kitab Suci yag bersifat alegoris, untuk
menyampaikan suatu kebenaran moral aau kebenaran spiritual.

35
Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, dimana
binatang-binatang bahkan makhluk-nakhluk yang tidak bernyawa bertindak seolah-
olah sebagai manusia. Tujuan fabel seperti parabel ialah menyampaikan ajaran
moral atau budi pekerti. Fabel menyampaikan suatuprinsip tingkah laku melalui
analogi yang transparan dari tindak-tanduk binatang, tumbuhan-tumbuhan, agar
makhluk yang tak bernyawa.

2.8.6.4 Personifikasi atau Prosopopoeia


Personifikasi atau Prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang
menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa
seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan)
merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-bendamati
bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia.
Angin yang meraung di tengah malam yang gelap itu menambah lagi
ketakutan kami.
Matahari baru saja kembali ke peradabannya, ketika kami tiba di sana.
Kulihat ada bulan di kotamu lalu turun di bawah pohon belimbing depan
rumahmu brangkali ia menyeka mimpimu.
2.8.6.5 Alusi

Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara


orang, tempat, atau peristiwa. Biasanya, alusi ini adalah suatu referensi yang
ekspilit atau implisit kepada peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, atau tempat
dalamkehidupan nyata, mitologi, atau dalam karya-karya sastra yang terkenal.
Misalnya dulu sering dikatakan bahwa Bandung adalah Paris Jawa. Demikian
dapat dikatakan: Kartini kecil itu turut memperjuangkan persamaan haknya. Kedua
contoh ini merupakan alusi.

Ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk membentuk sebuah alusi yang baik,
yaitu:

(1) Harus ada keyakinan bahwa hal yang dijadikan alusi dikenal juga oleh
pembaca;

36
(2) Penulis harus yakin bahwa alusi itu membuat tulisannya menjadi lebih
jelas;
(3) Bila alusi itu menggunakan acuan yang sudah umum, maka usahakan
untuk menghindari acuan semacam itu.
2.8.6.6 Eponim
Adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering
dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan
sifat itu. Misalnya: hercules dipakai untuk menyatakan kekuatan; Hellen dari Troya
untuk menyatakan kecantikan.
2.8.6.7 Epitet
Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang
khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Katerangan itu adalah suatu frasa
deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu
barang. Misalnya:
Lonceng pagi untuk ayam jantan
Puteri malam untuk bulan
Raja rimba untuk singa dan sebagainya
2.8.6.8 Sinekdoke

Sinekdoke adalah istilah yang diturunkan dari kata Yunani synekdechesthai


yang berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif
yang mempergunakan sebagian dari suatu hal untuk meyatakan keseluruhan (pars
pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro
parte). Misalnya:

Setiap kepala dikenakan sumbangan RP 1.000,-


Dalam pertandingan sepak bola antara indonesia melawan Malaysia di
stadion Utama Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3 - 4
2.8.6.9 Antonomasia

Antonomasia juga merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang


berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar
resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Misalnya:

37
Yang mulia tak dapat menghadri pertemuan ini.
Pangeran yang meresmikan pembukaan seminar itu.
2.8.6.10 Ironi, Sinisme, dan Sarkasme

Ironi diturunkan dari kata eironeia yang berarti penipuan atau pura-pura.
Sebagai bahasa kiasan, ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin
mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang
terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi merupakan suatu upaya literer
yang efektif karena ia menyampaikan impresi yang mengandung pengekangan yang
besar. Entah dengan sengaja atau tidak,rangkaian katak-kata yang dipergunakan itu
mengingkari maksud yang sebenarnya. Sebab itu, ironi akan berhasil kalau
pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan di balik rangkaian kata-
katanya. Misalnya:

Tdak diragukan lagi bahwa andalah orangnya, sehingga semua


kebijaksanaan terdahulu harus dibatalkan seluruhnya!
Saya tahu anda aldah seorang gadis yang paling cantik di dunia ini yang
perlu mendapat tempat terhormat!

Kadang-kadang dipergunakan juga istilah lain, yaitu sinisme yang diartikan


sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan
terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Sinisme diturunkan dari nama suatu aliran
filsafat Yunani yang mula-mula mengajarkan bahwa kebijakan adalah satu-satunya
kebebasan. Tetapi kemudian mereka menjadi kritikus yang keras atas kebiasaan-
kebiasaan sosial dan filsafat-filsafat lainnya. Walaupun sinisme dianggap lebih
keras dari ironi, namun kadang-kadang masihsukar diadakan perbedaan anatara
keduanya. Bila contoh mengenai ironi di atas diubah, maka akan dijumpai gaya
yang lebih bersifat sinis.

Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua


kebijaksanaan akan lenya bersamamu!

Memang anda adalah seorang gadis yang tercantik di seantero jagad ini
yang mampu menghancurkan seluruh isi jagad ini.

38
Sarkasme adalah suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Ia adalah
suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Sarkasme dapat
saja bersifat ironis, dapat juga tida, tetapi yang jelas adalah bahwa gaya ini selalu
akan menyakiti hati dan kurang enak didengar. Kata sarkasme diturunkan dari kata
Yunani sarkasmos, yang lebih jauh diturunkan dari kata kerja sakasein yang berarti
“merobek-robek daging seperti angjing”. “menggigit bibir karena marah”, atau “
berbicara dengan kepahitan”

--- Mulurt kau harimau kau

--- Lihat sang raksasa itu (maksudnya si Cebol)

--- Kelakuanmu memuakkan saya.

2.8.6.11 Inuendo

inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang


sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan sering
tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu. Misalnya:

setiap kali ada pesta, pasti ia akan sedikit mabuk karena terlalu kebanyakan
minum.

Ia menjadi kaya-raya karena sedikit mengadakan komersialisasi


jabatannya

2.8.6.12 Pun atau Paronomasia

pun atau paronomasia adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi.


Ia merupakan permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi
terdapat perbedaan besar dalam maknanya.

“Engkau orang kaya!” “Ya, kaya monyet!”

39
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari pembahasan yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan menjadi beberapa poin
penting yaitu :
1. Diksi atau pilhan kata adalah kemampuan membedakan secara tepat
nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk
menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki
kelompok masyarakat pendengar.
2. Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasa
sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata itu.
3. Diksi berfungsi sebagai alat agar tidak terjadi kesalahpahaman antara
pembaca atau penulis terhadap pendengar atau pembaca dalam berkomunikasi.
4. Diksi memiliki beberapa syarat-syarat ketepatan agar menimbulkan
imajinasi yang sesuai antara pembicara dan pendengar.
5. Fungsi diksi secara umum ialah agar masyarakat dapat berkomunikasi
dengan baik dan benar agar terhindar dari salah penafsiran dan kesalahpahaman
antara pembicara/penulis dengan pendengar/pembaca.
6. Gaya bahasa atau langgam bahasa dan sering juga disebut majas adalah
cara penutur mengungkapkan maksudnya.
7. Dalam bahasa standar (bahasa baku) dapatlah dibedakan menjadi : Gaya
bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan

3.2 Saran
Sebagai seorang mahasiswa, perlu sekali mempelajari dan memahami
bagaimana penggunaan diksi yang tepat dan cermat karena seorang mahasiswa itu
selalu dibebankan dan berkelut dengan karya-karya tulis dalam setiap tugas
perkuliahannya.

Daftar Pustaka

 Keraf, Gorys. 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Cetakan ke-19. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
 https://sarahfaradita.wordpress.com/2015/11/29/makalah-bahasa-indonesia-
diksi/
 http://dewijannati208.blogspot.co.id/2016/04/makalah-diksi-atau-pemilihan-
kata.html

40

Anda mungkin juga menyukai