HIPERTENSI Dalam KEHAMILAN
HIPERTENSI Dalam KEHAMILAN
image
HDK - Hipertensi dalam Kehamilan adalah penyebab kematian utama ketiga pada ibu hamil setelah
perdarahan dan infeksi.
Bagaimana suatu peristiwa kehamilan dapat memicu atau memperberat hipertensi merupakan
pertanyaan yang masih belum memperoleh jawaban yang memuaskan.
Klasifikasi berdasarkan National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP) tahun 2000.
PE-Pre Eklampsia
E-Eklampsia
HK-Hipertensi Kronis
DIAGNOSIS
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah istirahat ≥ 140/90 mmHg.
Kriteria edema pada PE sudah tidak digunakan lagi oleh karena selain subjektif dan juga tidak
mempengaruhi “out-come” perinatal.
Diagnosis Hipertensi Dalam Kehamilan
1. HG-Hipertensi Gestasional
Tidak terdapat Proteinuria, Tekanan darah kembali normal dalam waktu < 12 minggu pasca persalinan.
2. PE-Preeclampsia
KRITERIA MINIMUM
PRE-EKLAMPSIA BERAT ( PE disertai dengan satu atau lebih gejala berikut dibawah ini) :
Serum Creatinine > 1.2 mg/dL (kecuali bila sebelumnya sudah abnormal )
Nyeri epigastrium
3. Eklampsia
Kejang yang tidak diakibatkan oleh sebab lain pada penderita pre eklampsia
Proteinuria “new onset” ≥ 300 mg / 24 jam pada penderita hipertensi yang tidak menunjukkan adanya
proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu.
atau
Peningkatan TD atau kadar proteinuria secara tiba tiba atau trombositopenia < 100.000/mm3 pada
penderita hipertensi dan proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu.
5. Hipertensi Kronis
TD ≥ 140 / 90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum kehamilan 20 minggu dan tidak terkait dengan
penyakit trofoblas gestasional
HT terdiagnosa pertama kali setelah kehamilan 20 minggu dan menetap sampai > 12 minggu pasca
persalinan.
1. HIPERTENSI GESTASIONAL
Proteinuria persisten yang bermakna dapat meningkatkan resiko maternal dan fetus.
2. PRE-EKLAMPSIA
Sindroma khusus dalam kehamilan yang berupa hipertensi yang disertai dengan vasospasme
generalisata (menyebabkan gangguan perfusi organ vital) dan aktivasi endotelial.
Hipertensi dan Proteinuria adalah kriteria PE. Proteinuria adalah protein dalam urine >300 mg/24 jam ;
atau 30 mg/dL (dipstick 1+)
Derajat proteinuria bervariasi selama 24 jam, sehingga hasil kadar protein sesaat tidak merefleksikan
keadaan sebenarnya.
Nyeri epigastrium diakibatkan oleh nekrosis hepatoseluler, iskemia dan edema hepar yang
meneybabkan regangan kapsule Glisson. Nyeri epigastrium sering disertai dengan kenaikan kadar serum
hepatik transaminase (indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan)
Trombositopenia adalah tanda memburuknya PE dan disebabkan oleh aktivasi dan agregasi platelet
akibat vasospasme yang merangsang hemolisis mikroangiopatik.
Gross hemolisis yang dengan adanya hemoglobinuria atau hiperbilirubinemia menunjukkan beratnya
penyakit.
Faktor lain yang menunjukkan beratnya penyakit adalah disfungsi jantung dan edema paru serta PJT
Derajat preeklampsia
Derajat beratnya PE dinilai dari frekuensi dan intensitas masing-masing abnormalitas seperti yang
terlihat pada tabel dibawah.
Penyimpangan dari nilai normal yang semakin banyak merupakan indikasi untuk melakukan terminasi
kehamilan semakin kuat.
Pemisahan PE ringan dan PE Berat secara tegas dapat menimbulkan kesulitan oleh karena penyakit
ringan dapat dengan cepat berubah menjadi penyakit yang berat.
Perlu diperhatikan bahwa tingginya tekanan darah bukan merupakan penentu utama klasifikasi berat
atau ringannya PE.
3. EKLAMPSIA
Pre-eklampsia yang disertai dengan kejang dan kejang tersebut tidak disebabkan oleh faktor-faktor
lainnya.
Kejang bersifat menyeluruh dan dapat terjadi sebelum, selama atau sesudah persalinan.
Pada nulipara, kejang kadang-kadang dapat terjadi sampai 48 jam Pasca Persalinan.
Chames dkk (2002) : dengan memperbaiki kualitas perawatan prenatal, sejumlah kasus eklampsia
intrapartum atau antepartum dapat dicegah.
Semua penyakit HK apapun penyebabnya memiliki predisposisi untuk berkembang menjadi PE atau E
selama kehamilan.
Faktor anamnesa tambahan yang dapat membantu menegakkan diagnosis hipertensi kronis adalah :
Multipara
Riwayat HT pada kehamilan sebelumnya. Keadaan ini sering pula disertai dengan kecenderungan
Diagnosa HK menjadi sulit ditegakkan bila kunjungan antenatal pertama kali dilakukan setelah lewat dari
pertengahan kehamilan.
Tergantung lamanya penyakit, komplikasi hipertensi kronis dapat berupa hipertrofi ventrikular,
dekompensasi jantung, CVA-cerebro vascular accident atau kerusakan ginjal.
Pada hipertensi kronis superimposed PE sering kali disertai dengan solusio plasenta.
Pada penderita HK, terjadi peningkatan tekanan darah pada kehamilan > 24 minggu. Bila disertai dengan
proteinuria maka disebut hipertensi kronis superimposed PE.
Superimposed PE muncul lebih dini dibandingkan jenis PE “murni” dan cenderung lebih parah serta
seringkali disertai dengan PJT.
Faktor resiko :
Usia
HG sering terjadi pada pasien nullipara dan usia “tua” (> 35 tahun)
Kehamilan kembar
Paritas
Predisposisi genetik
ETIOLOGI
Teori yang dianggap dapat menjelaskan etiologi dan patofisiologi PE harus dapat menjelaskan kenyataan
bahwa HDK seringkali terjadi pada :
Mereka yang terpapar pada villi chorialis untuk pertama kalinya ( pada nulipara )
Mereka yang terpapar dengan villi chorialis yang berlimpah ( pada kehamilan kembar atau mola )
Pengaruh genetik.
clip_image002
Terlihat proliferasi trofoblas ekstravillous membentuk kolom sel didekat “anchoring villous”
Trofoblas ekstravilous melakukan invasi desidua dan kearah bawah kedalam arteri spiralis.
Akibatnya, terjadi penggantian endotel dan dinding otot dari pembuluh darah serta pembesaran dari
pembuluh darah
Pada proses implantasi normal : arteri spiralis mengalami “remodeling” secara ekstensif akibat invasi
oleh trofoblast endovaskular (gambar atas)
Pada PE : invasi trofoblastik berlangsung secara tak sempurna. Pembuluh darah desidua ( bukan
pembuluh darah miometrium ) terbungkus dengan trofoblas endovaskular.
Besarnya gangguan invasi trofoblas pada arteri spiralis berhubungan dengan beratnya HT yang terjadi.
Kerusakan endothelium.
Terdapat akumulasi lipid pada sel miointima dan makrofag, sel yang mengandung lipid tersebut disebut
artherosis (gambar bawah)
clip_image002[6] clip_image002[8]
Artherosis dalam pembuluh darah
Obstruksi lumen arteri spiralis akibat artherosis menyebabkan terganggunya aliran darah.
Redman dan Sargent (2003) : gangguan perfusi plasenta akibat artherosis arteri spiralis adalah awal
kejadian sindroma PE.
2. FAKTOR IMUNOLOGI
Terdapat sejumlah bukti yang menyatakan bahwa PE adalah penyakit dengan mediasi imunologi.
Resiko PE meningkat pada keadaan dimana pembentukan “blocking antibody” terhadap “placental site”
terganggu.
Dekker dan Sibai (1998) meneliti peranan maladaptasi imunologis dalam patofisiologi PE. Dimulai sejak
trimester kedua, pasien yang akan menderita PE mempunyai helper T cell (Th1) yang rendah
dibandingkan mereka yang tidak akan menderita PE.
Ketidak seimbangan Th1/Th2 ( Th2 yang lebih dominan) tersebut dipengaruhi oleh adenosin.
Yoneyama dkk (2002) kadar adenosin pada penderita PE lebih besar dibandingkan yang normotensif.
Helper cell T lympocyte menghasilkan cytokine spesifik yang memudahkan implantasi dan disfungsi dari
helper cell lymphocyte dan keadaan ini akan menyebabkan terjadinya PE.
Pada penderita dengan antibodi anticardiolipin, lebih sering terjadi kelainan plasenta dan PE.
Melalui berbagai macam cara, perubahan inflamasi merupakan kelanjutan dari perubahan yang terjadi
plasenta. Sebagai respon terhadap faktor plasenta yang dilepaskan akibat adanya reaksi iskemik terjadi
sebuah rangkaian proses seperti yang terlihat pada gambar skematik dibawah.
Patofisiologi Preeklampsia
Pada desidua terdapat banyak sel yang bila diaktivasi akan mengeluarkan bahan – bahan tertentu yang
dapat merusak sel endotel. Disfungsi sel endotel berhubungan dengan PE melalui proses adaptasi
inflamasi intravaskular.
PE dianggap sebagai keadaan ekstrem dari aktivasi leukosit dalam sirkulasi maternal.
Manten dkk (2005) : Cytokine ( tumor necrosis factor α ) dan interleukin berperan sebagai stressor
oksidatif yang berkaitan dengan PE.
Stresor oksidatif memiliki karakter bagi spesies tertentu dan adanya radikal bebas penting bagi
pembentukan peroksidase lipid yang dapat berlipat ganda dengan sendirinya (“self propagation” ).
Pengetahuan mengenai peran stresor oksidatif dalam kejadian PE meningkatkan perhatian pada
keuntungan pemberian antioksidan dalam pencegahan PE .
Antioksidan penting antara lain : Vitamin E atau α-tocopherol, Vitamin C dan Vitamin A β-carotene
4. FAKTOR NUTRISI
Banyak saran yang diberikan untuk menghindarkan hipertensi misalnya dengan menghindari konsumsi
daging berlebihan, protein, purine, lemak, hidangan siap saji (snack), dan produk-produk makanan
instan lain.
John dkk (2002) : diet buah dan sayur banyak mengandung aktivitas non-oksidan yang dapat
menurunkan tekanan darah.
Zhang dkk (2002) : kejadian PE pada pasien dengan asupan vitamin C harian kurang dari 85 mg dapat
meningkat menjadi 2 kali lipat.
Obesitas adalah faktor resiko yang berpotensi untuk menyebabkan terjadinya PE. Obesitas pada ibu
tidak hamil dapat menyebabkan aktivasi endotel dan respon inflamasi sistemik yang berhubungan
dengan arterosklerosis.
Kadar C-reactive protein (“inlamatory marker”) meningkat pada obesitas yang seringkali berkaitan
dengan PE.
5. FAKTOR GENETIK
Ness Dkk (2003) : predisposisi hipertensi secara herediter sangat berkait dengan kejadian PE dan E.
Chesley dan Cooper (1986) : menyimpulkan bahwa PE dan E menurun diantara saudara sekandung
perempuan, anak perempuan, cucu perempuan.
PATOGENESIS
Perubahan utama yang terjadi pada HDK adalah VASOSPASME dan AKTIVASI SEL ENDOTHELIUM
1. VASOSPASME
Konsep vasospame didasarkan pada pengamatan langsung terhadap pembuluh darah kecil pada kuku,
fundus oculi dan konjuntiva.
Konstriksi vaskular menyebabkan peningkatan tahanan perifer dan TD. Pada saat yang sama, kerusakan
sel endotel menyebabkan kebocoran interstitisial yang meliputi bahan dalam darah a.l trombosit,
fibrinogen dan deposit subendotelial lain.
Berdasarkan pemeriksaan USG, terlihat adanya perubahan tahanan arterial pada penderita PE.
Penurunan aliran darah akibat gangguan distribusi, iskemia dan perdarahan jaringan menyebabkan
terjadinya serangkaian gejala PE
Fischer dkk (2000) : vasospasme pada penderita PE jauh lebih berat dibandingkan dengan yang terjadi
pada pasien dengan sindroma HELLP.
Pada gambar diagram faktor plasenta yang tak dapat di identifikasi dengan jelas masuk kedalam sirkulasi
ibu dan merangsang aktivasi dan disfungsi sel endotel. Sindroma klinis PE adalah manifestasi umum dari
terjadinya perubahan sel endotel tersebut.
Endotel yang utuh memiliki sifat antikogulan dan dapat menurunkan respon otot polos terhadap agonis
melalui pengeluaran nitric oxide. Sedangkan kerusakan atau aktivasi sel endotel akan menyebabkan
keluarnya bahan-bahan yang merangsang koagulasi dan meningkatkan sensitivitas terhadap vasopresor.
Pada awal kejadian PE, terdapat peningkatan reaktivitas vaskular terhadap pemberian nor-epinephrine
dan angisotensin II.
Prostaglandin
Beberapa prostanoid berperan penting dalam patofisiologi sindroma PE. Secara spesifik, respon
terhadap pressor yang menurun pada kehamilan normal adalah berupa penurunan respon vaskular yang
terjadi melalui sintesa prostaglandin endotelial vaskular.
Pada penderita PE, produksi prostacyclin endotelial [PGI2] lebih rendah dibandingkan kehamilan normal
; tetapi sekresi thromboxane A2 dari trombosit meningkat. Perbandingan antara PGI2 : TXA2 yang
menurun tersebut akan meningkatkan sensitivitas terhadap angiostension II sehingga terjadi
vasokonstriksi.
Nitric oxide
Vasodilator sangat kuat ini dibentuk dari L-arginine oleh sel endotel. Bila nitric oxide ini diambil maka
timbul gejala-gejala yang menyerupai PE .
Pada PE, terjadi penurunan synthase nitric oxide endotel sehingga permeabilitas sel meningkat.
Kenaikan kadar Nitric Oxide dalam serum pada penderita PE tersebut adalah sebuah akibat bukan
sebuah sebab.
Endothelin
Endothelin adalah 21–amino acid peptide yang merupakan vasokonstriktor kuat, dan endothelin-1 (ET-
1) adalah isoform primer yang dihasilkan oleh endotel manusia.
Kadar endothelin dalam plasma wanita hamil normal memang meningkat, tetapi pada penderita PE
kadar endothelin jauh lebih meningkat.
PATOFISIOLOGI
1. SISTEM KARDIOVASKULAR
Gangguan fungsi kardiovaskular yang normal pada PE dan E Peningkatan after-load jantung akibat HT.
Gangguan pre-load jantung akibat akibat terganggunya proses hipervolemia dalam kehamilan.
Aktivasi endotelial dengan akibat ekstravasasi kedalam ruang ekstraseluler terutama kedalam paru.
Perubahan hemodinamika
Derajat HT
Pemberian cairan yang berlebihan pada penderita PE Berat akan menyebabkan tekanan pengisian
jantung kiri ( “ventricular filling pressure” ) akan sangat meningkat dan meningkatkan curah jantung
yang normal ke tingkatan diatas normal.
Volume Darah
Pada Eklampsia terjadi peristiwa hemokonsentrasi ; hipervolemia yang lazim dalam kehamilan normal
tidak terjadi atau sangat minimal sehingga penderita eklampsia disebut sebagai pasien yang berada
dalam keadaan “normotensive shock”.
Hemokonsentrasi pada PE dan E terjadi akibat adanya :
Vaskonstriksi generalisata.
Penurunan kadar hematokrit pada penderita dengan hemokosentrasi hebat merupakan pertanda
perbaikan keadaan.
Bila tidak terjadi perdarahan, ruang intravaskular penderita PE dan E biasanya tidak terlalu kosong.
Terjadinya vasospasme dan kebocoran plasma endothel menyebabkan ruang vaskular tetap terisi.
Perubahan ini menetap sampai beberapa saat pasca persalinan bersamaan dengan perbaikan endotel.
Vasodilatasi dan peningkatan volume darah menyebabkan penurunan hematokrit.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa penderita PE dan E sangat peka terhadap:
Pemberian cairan dalam upaya untuk mengembalikan volume darah ke tingkatan sebelum kehamilan.
Trombositopenia yang terjadi dapat mengancam jiwa penderita. Trombositopenia terjadi oleh karena :
Aktivasi platelet
Agregasi platelet
Konsumsi meningkat
SINDROMA HELLP
Arti klinik trombositopenia selain gangguan koagulasi adalah juga menggambarkan derajat proses
patologi yang terjadi.
Pada umumnya semakin rendah trombosit semakin tinggi morbiditas dan mortalitas ibu dan anak.
Pritchard dkk (1976) : mengharapkan adanya perhatian terhadap kejadian trombositopenia pada
penderita PE yang disertai dengan sejumlah gejala (sindroma HELLP).
Sindroma HELLP:
Hemolysis
Low Platelets
PE Berat sering disertai dengan hemolisis yang terlihat dari kenaikan kadar serum LDH - lactate-
dehydrogenase dan perubahan gambaran dari darah perifer (schizocytosis, spherocytosis dan
reticulocytosis)
Hemolisis terjadi akibat hemolisis mikrosangiopatik yang diakibatkan oleh kerusakan endotel yang
disertai dengan deposisi trombosit dan fibrin.
3. VOLUME HOMEOSTASIS
Perubahan endokrin
Pada PE kadar bahan tersebut sama dengan kadar wanita yang tidak hamil.
Alibat retensi natrium dan atau HT, sekresi renin oleh ginjal menurun. Renin berperan sebagai
katalisator dalam proses konversi angiostensin menjadi angiostensin I dan perubahan angiostensin I
menjadi angiostensi II dengan katalisator ACE – angiostensin converting enzyme.
Manifestasi peningkatan volume cairan ekstraseluler adalah edema. Pada penderita PEBerat biasanya
lebih menonjol dibandingkan kehamilan normal.
Selain edema generalisata dan proteinuria, penderita juga mengalami penurunan tekanan onkotik yang
menyebabkan gangguan keseimbangan proses filtrasi.
4. GINJAL
Selama kehamilan normal, terjadi peningkatan GFR – glomerular filtration rate dan RBF – renal blood
flow.
Pada PE terjadi perubahan anatomi dan patofisiologi, sehingga terjadi penurunan perfusi renal dan
filtrasi glomerulos..
PE berkaitan dengan penurunan produksi urine dan eksresi kalsium akibat peningkatan resorbsi tubuler.
Pemberian cairan i.v pada penderita PE dengan oliguria tidak perlu dikerjakan.
Proteinuria
Pemeriksaan kuantitatif dengan dipstick tidak akurat dan memerlukan pemeriksaan selama 24 jam.
Albuminuria adalah istilah untuk menggambarkan proteinuria pada PE yang salah oleh karena
sebagaimana pada keadaan glomerulopati lain terjadi peningkatan permeabilitas terhadap sebagian
besar protein ber-BM tinggi sehingga albuminuria sering disertai dengan keluarnya hemoglobin, globulin
dan transferin.
Gagal ginjal akibat nekrosis tubuler akut sering terjadi dengan gejala oliguria sampai anuria (
peningkatan kadar serum creatinine 1 mg/dL ).
Haddad dkk (2000) melaporkan bahwa 5% dari 183 penderita sindroma HELLP mengalami ARF dan
setengah diantaranya adalah penderita solusio plasenta dan perdarahan pasca persalinan.
5. HEPAR
Perdarahan periportal pada tepi hepar
Ruptura hepar
Perdarahan subkapsular
6. OTAK
Gangguan visus
Edema, hiperemia , iskemia, trombosis dan hemoragia yang kecil dan kadang-kadang meliputi daerah
yang luas
Pada eklampsia, mungkin akibat hilangnya autoregulasi dari CBF-cerebral blood flow terjadi hipoperfusi
sebagaimana yang terjadi pada hipertensif encephalopathi yang tak berkaitan dengan kehamilan.
Kebutaan :
Gangguan visus sering terjadi pada PEBerat, namun kebutaan permanen jarang terjadi pada PE dan
terjadi pada 10% penderita E.
Kebutaan atau amaurosis ( bahasa Greek = dimming) dapat mengenai wanita yang menderita edema
vasogenik pada lobus occipitalis yang luas. Umumnya kebutaan berlangsung antara 4 jam sampai satu
minggu.
Lara-Torre dkk (2002) : gangguan visual permanen akibat PEBerat atau E adalah akibat gangguan pada
cerebri atau iskemia arteri retina.
Ablasio retina dapat mengganggu visus dan umumnya mengenai salah satu sisi dan prognosis nya baik.
7. PERFUSI UTERO PLASENTA
Pada wanita normal diameter arteri spiralis 500 μ ; pada penderita PE 200 μ
Doppler velosimetri
Pengukuran velositi aliran darah dalam arteri uterina dapat digunakan untuk memperhitungkan besaran
resistensi dalam aliran uteroplasenta.
Resistensi vaskular ditentukan berdasarkan perbandingan antara bentuk gelombang arterial sistolik dan
diastolik.
Ganguan aliran darah uteroplasenta tidak selalu terjadi pada semua penderita PE dan E.
Matijevic dan Johnson ( 1999) dengan velosimetri Doppler mengukur besarnya tahanan dalam arteri
spiralis. Hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa Impedansi pembuluh perifer ternyata lebih
besar dari pada pembuluh sentral.
PREDIKSI
Sampai saat ini tidak ada tes skrining yang realistis, valid dan ekonomis untuk meramalkan kejadian PE.
Salah satu tujuan dari jaringan Unit Feto-Maternal Medis adalah melakukan identifikasi faktor-faktor
prediktor berikut ini :
Adanya respon hipertensif yang terjadi pada perubahan posisi ibu hamil 28 – 32 minggu dari posisi
miring menjadi telentang merupakan prediktor terjadinya HG.
Pasien dengan test positif juga menunjukkan kepekaan yang tidak normal terhadap pemberian
angiostensin II.
clip_image002[10]
Reproduksi dari : Brosen IA: Morphological Changes in the uteroplacental bed in pregnancy
hypertension Clin Obstet Gynecol; 4:573, 1977
ASAM URAT
Weerasekera dan Peiris (2003) : kadar serum asam urat tidak berbeda secara bermakna sebelum
terjadinya HT.
Kadar asam urat tidak bermanfaat dalam membedakan antara hipertensi gestasional dengan PE.
FIBRONEKTIN
Aktivasi sel endothel menyebabkan kenaikan kadar serum fibronectin pada penderita PE.
Chavaria dkk (2003a) : menyatakan bahwa nilai prediktif positif dari Fibronectine adalah 29% dan nilai
prediktif negatif kira-kira 98%.
Peningkatan destruksi menyebabkan ukuran platelet membesar oleh karena relatif lebih muda dan hal
ini dapat digunakan untuk meramalkan terjadinya PE.
Pada kehamilan, aktivitas fibrinolitik menurun akibat peningkatan palsminogen activator inhibitor-PAI 1
dan 2. Pada PE, PA1 secara relatif lebih tinggi daripada PAI 2 akibat disfungsi sel endotel.
Chappel dkk (2002) : menyatakan bahwa perbandingan PA 1 dan PA2 dapat digunakan untuk prediksi PE
UTERINE ARTERY DOPPLER VEOLIMETRI
Penentuan resistensi vaskular uteroplasenta dengan mengamati impendansi pada arteri uterina
trimester II dapat digunakan sebagai prediksi PE
Audibert dkk (2005) : kombinasi pemeriksaan hCG – AFP (alfa fetoprotein ) dan pencatatan aliran darah
dalam arteri uterina dapat digunakan untuk meramalkan terjadinya PE dengan sensitivitas berkisar
antara 2 – 40%.
PENCEGAHAN
Modifikasi diet
Awal keberhasilan penggunaan 60 mg aspirin untuk menurunkan kejadian PE berawal dari kemampuan
untuk menekan produksi tromboksan secara selektif dengan hasil akhir peningkatan produksi
prostacyclin endothelial.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa aspirin dosis rendah tidak efektif dalam pencegahan PE.
Antioksidan
Konsumsi vitamin E tidak berhubungan kejadian PE. Kadar Vit E dalam plasma yang tinggi pada
penderita PE adalah merupakan respon terhadap stressor oksidatif yang ada.
Chappel dkk (1999) : membuktikan adanya penurunan aktivasi sel endothel pada pemberian vit C atau E
pada kehamilan 18 – 22 dan pemberian vitamin C dan E dapat menurunkan secara bermakna kejadian
PE.
PENATALAKSANAAN
Pada penderita preeklampsia, khsususnya saat atau menjelang aterm, 3 prinsip tujuan diatas dapat
tercapai dengan melakukan induksi persalinan. Informasi terpenting bagi obstetrician untuk melakukan
penatalakasanaan PE adalah dengan mengetahui secara tepat usia kehamilan.
Penderita dengan penyakit yang berat dan persisten harus dirawat di RS dan bila perlu dilakukan
terminasi kehamilan.
Pasien dengan TD diastolik 81 – 89 mmHg dan disertai dengan kenaikan berat badan secara mendadak
perlu diperiksa ulang 3 hari kemudian, dan bila keadaan masih menetap maka harus dirawat di RS untuk
pengamatan selanjutnya.
Pemeriksaan teliti : nyeri kepala - gangguan visus - nyeri epigastrium dan kenaikan BB cepat
Pemeriksaan plasma atau serum creatinine dan hematokrit, trombosit, enzym hepar
Bila hasil observasi mengarah pada diagnosa PE Berat ( lihat tabel ) maka penatalaksanaan sama dengan
terhadap kasus eklampsia.
Istirahat merupakan bagian terapi yang sangat penting tanpa harus disertai dengan pemberian
tranquilizer atau sedatif.
Keadaan servik.
Terminasi kehamilan
Kehamilan 40 minggu yang disertai dengan PE Ringan harus diterminasi. Bila servik sudah matang, dapat
dilakukan induksi dengan oksitosin drip.
Nyeri kepala, gangguan visual dan nyeri epigastrium adalah pertanda akan terjadinya kejang ( gejala
impending eclampsia). Oliguria adalah merupakan tanda memburuknya PE BERAT.
Pada PE Berat dan Ringan, bila terapi konservatif tak memberikan hasil maka kehamilan harus segera
diakhiri demi untuk kesehatan ibu dan anak.
Terminasi kehamilan yang dipilih sebaiknya adalah pervaginam. Sectio caesar dilakukan hanya atas
indikasi obstetri secara umum dan atau bila induksi persalinan diperkirakan tidak akan berhasil.
Indikasi terminasi kehamilan pada penderita Preklampsia (salah satu atau beberapa dari gejala dibawah
ini )
Nyeri epigastrium
Gangguan visus
Trombositopenia
Sindroma HELLP
Eklampsia
Edema paru
SGA – small for gestational age dengan IUGR – intra uterine growth retardation pada pemeriksaan serial
USG.
PREEKLAMPSIA BERAT
PE Berat memerlukan antikonvulsi dan antihipertensi serta dilanjutkan dengan terminasi kehamilan.
Terminasi kehamilan adalah terapi defintif pada kehamilan > 36 minggu atau bila terbukti sudah adanya
maturasi paru atau terdapat gawat janin.
Pertimbangan untuk melakukan terminasi kehamilan pada PEBerat pada kehamilan 32 – 34 minggu
setelah diberikan glukokortikoid untuk pematangan paru.
Pada PEBerat yang terjadi antara minggu ke 23 – 32 perlu pertimbangan untuk menunda persalinan
guna menurunkan angka morbiditas dan mortalitas perinatal.
MgSO4
Antihipertensi
Kortiskosteroid
Terminasi kehamilan sedapat mungkin pervaginam dengan induksi persalinan yang agresif.
Persalinan pervaginam sebaiknya berakhir sebelum 24 jam. Bila persalinan pervaginam dengan induksi
persalinan diperkirakan melebihi 24jam, kehamilan sebaiknya diakhiri dengan SC
EKLAMPSIA
Eklampsia terjadi pada 0.2 – 0.5% persalinan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian sama
dengan yang ada pada PE.
50% dari eklampsia pasca persalinan terjadi dalam waktu 48 jam pasca persalinan.
Patofisiologi
Temuan Klinik
Terjadi hiperventilasi setelah serangan kejang tonik-klonik untuk kompensasi adanya asidosis (lactic
acid) respiratorik akibat fase apnea.
Demam jarang terjadi, tetapi demam adalah pertanda prognosa yang buruk
Terapi
A. Terapi PRENATAL
Pengendalian Kejang
MgSO4 i.v dilanjutkan dengan Mg SO4 infuse atau i.m (sebagai “loading dose” ) dan diteruskan dengan
pemberian berkala secara i.m
Pemberian antihipertensi secara berkala i.v atau per-oral bila TD diastolik> 110 mmHg
Hindari pemberian diuretik dan batasi pemberian cairan intravena kecuali bila perdarahan hebat. Jangan
berikan cairan hiperosmotik
Magnesium sulfat
MgSO4.7H2O ;
Antikonvulsan yang efektif tanpa penekanan pada SSP ibu dan janin
Intoksikasi dapat dihindari dengan melakukan pemeriksaan reflek patela dan frekuensi pernafasan serta
pengamatan volume produksi urine perjam.
Bila terjadi depresi pernafasan berikan Calcium Gluconate 1 gram i.v perlahan-lahan sampai depresi
nafas menghilang.
MgSO4
Pengendalian Hipertensi
Hidralazine
Pemberian hidralazine i.v bila TD Diastolik > 110 mmHg atau TS Sistolik> 160 mmHg.
Labetalol
Dosis pertama: 20 mg , dosis kedua 40 mg dan dosis selanjutnya 80 mg dengan dosis maksimum 300 mg.
Nifedipine
Phenobarbital 120 mg/hari dapat diberikan pada pasien dengan HT persisten dimana diuresis masih
belum terjadi.
Bila 24 jam pasca persalinan TD Diastolik masih diatas 110 mmHg dapat diberikan obat anti HT lainnya
a.l diuretik, calcium channel blocker, ACE inhibitor , betta blocker dsbnya.
Kematian maternal akibat PE atau E secara langsung jarang terjadi, kematian umumnya disebabkan oleh
:
Cerebral hemorrhage.
Pneumonia aspirasi.
Hipoksik ensepalopati.
Tromboemboli.
Ruptura hepar.
Gagal ginjal.
HIPERTENSI KRONIS
HK pada kehamilan 80% idiopatik dan 20% oleh karena penyakit ginjal.
Gejala Klinik
Obesitas.
Multipara.
Diagnosa ditegakkan dengan adanya riwayat HT sebelum kehamilan atau sebelum kehamilan > 20
minggu. Dan menetap sampai 6 minggu pasca persalinan.
Laboratorium :
Proteinuria.
Pasien dengan LVH-left ventricle hypertrophy : kenaikan serum creatinine beresiko tinggi menderita
superimposed PE.
Pasien dengan kardiomegali akibat penyakit hipertensif kardiovaskular atau kardiomiopathia kongestif
memiliki resiko menderita superimposed PE, edema paru dan aritmia jantung.
KOMPLIKASI
A. Komplikasi Maternal
B. Komplikasi Janin
Prematuritas ( 25 – 30%).
IUGR (10 – 15%).
TERAPI
a. Pengendalian Hipertensi
Methyldopa
Hydralazine
Beta blockers
Pemberian Thiazide diuretic harus dihindarkan oleh karena dapat menyebabkan penurunan produksi
ASI.
Kecuali propanolol, jenis beta blocker lain terdapat dalam ASI dengan kadar tinggi.
Faal ginjal
Faal hepar
Serum elektrolit
EKG
X-ray thorax
PROGNOSA
Pada penderita HT ringan atau sedang, outcome kehamilan baik dengan perinatal survival sekitar 95 –
97%.
Komplikasi utama :
Superimposed PE,
Solusio plasenta ,
Prematuritas dan
PJT.
Kardiomiopathia kongestif.
Sumber Bacaan :
American College of Obstetrician and Gynecologists: Diagnosis dan management of preeclampsia and
eclampsia.Practice bulletin No.33, Januari 2002
Chames MC, Livingstone JC, Ivester TS et al: Late postpartum eclampsia : A preventable disease? Am J
Obstet Gyncol 186:1174,2002
Chappell LC, Seed OT,Briley A, et al : A longitudinal study of biochemical variables in women at risk of
preeclampsia. Am J Obstet Gynecol 187,127,2002
Chappell LC, Seed OT,Briley A, et al : Effect of antioxidant on the occurrence of preeclampsia in women
at increased risk : A randomized trial. Lancet 354:819, 1999
Chavarria ME, Lara Gonzalez L, Gonzalez-Gleason A, et al: Prostacyclin / thromoboxane early changes in
pregnancies that are complicated by preeclampsia. Am J Obstet Gynecol 188,986,2003b
Chesley LC, Copper DW: Genetics of hypertension in pregnancy:Possible single gene control of
preeclampsia and eclampsia in the descendants of eclamptic women. Br J Obstet Gynecol 93:898, 1986
DeCherney AH. Nathan L : Hypertensive States Of Pregnancy in Current Obstetrics and Gynecologic
Diagnosis and Treatment , McGraw Hill Companies, 2003
Dekker GA, Sibai BM : Etiology and pathogenesis of preeclampsia: Current concepts. Am J Obstet
Gynecol 179:1359, 1998
Fischer T, Schneider MP, Schobel HB, et al: Vascular reactivity in patients with preeclampsia and HELLP
syndrome Am J Obstet Gynecol 183:1489, 2000
Haddad B, Deis S, Goffinet F, et al: Maternal and pernatal outcome during expectant management of
239 severe preeclamptic women between 24 and 34 weeks gestation. Am J Obstet Gynecol
190:1590,2004
Haddad B, Barton JR, Livingstone JC, et al : Risk factors for edverse maternal outcomes among women
with HELLP (hemolysis,elevated liver enzymes, and low platelet count) syndrome. Am J Obstet Gynecol
183:444, 2000
John JH, Ziebland S, Yudkin P, et al : Effects of fruit and vegetables consumption on plasma antioxidant
concentration and blood pressure: A randomized controlled trial. Lancet 359:1969.2002
Lara-Torre E, Lee MS, Wolf MA, et al : Bilateral retinal occlusion progressing to long-lasting blindness in
severe preeclampsia. Obstet Gynecol 100:940, 2002
Manten GT, Vander Hoek YY, Marko Sikkema J et al: The role of lipoprotein (a) in pregnancies
complicated by pre eclampsia. Med Hypothesis 64:162,2005
Matijevic R, Johnston T: In vivo assesment of failed throphoblastic invasion of the spiral arteries in pre-
eclampsia. Br J Obset Gyncol 106:78,1999
National High Blood Pressure Education Program : Working Group Report on High Blood Pressure in
Pregnancy . Am J Obstet Gyncl 183:51,2000
Ness RB, Markovic N, Bass D et al: Familly history of hypertension, heart disease and stroke among
women who develop hypertension in pregnancy. Obstet Gynecol 102:1326,2003
Redman CWG, Sargent IL: Pre-eclampsia, the placenta and maternal systemic inflamatory response- a
review. Placenta 17:S21, 2003
Sibai BM : Diagnosis and Management of gestational hypertension and preeclampsia. Obstet Gynecol
102:181.2003
Sofia B. Ahmed † a; Rhonda Bentley-Lewis † b; Norman K. Hollenberg bc; Steven W. Graves d; Ellen W.
Seely b :
Weeraskera DS, Peiris H: The significance of serum uric acid, creatinine and urinary microprotein levels
in predicting preeclampsia. J Obstet Gynecol; 23:17, 2003
Yoneyama Y, Suzuki S, Sawa R,et al: Relation between adenosine and T-helper 1/ T helper 2 imbalance in
women with preeclampsia. Obstet Gynecol 99:641,2002
Zhang C, Williams MA, King IB, et al : Vitamin C and the risk of preeclampsia-result from dietary
questionnaire and plasma assay. Epidemiology 13:382,20