Anda di halaman 1dari 25

Laporan Kasus

Dibacakan :

Kepada Yth :

PREEKLAMPSIA DAN BAYI MAKROSOMIA

Oleh Andree Hartanto

Pembimbing dr.Abraham Maukar, Sp.OG

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO 2013

BAB I PENDAHULUAN

Hipertensi pada kehamilan adalah penyakit yang sudah umum dan merupakan salah satu dari tiga rangkaian penyakit yang mematikan, selain perdarahan dan infeksi, dan juga banyak memberikan kontribusi pada morbiditas dan mortalitas ibu hamil. Pada tahun 2001, menurut National Center for Health Statistics, hipertensi gestasional telah diidentifikasi pada 150.000 wanita, atau 3,7% kehamilan. Selain itu, Berg dan kawan-kawan (2003) melaporkan bahwa hampir 16% dari 3.201 kematian yang berhubungan dengan kehamilan di Amerika Serikat dari tahun 1991 - 1997 adalah akibat dari komplikasikomplikasi hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan.1 Meskipun telah dilakukan penelitian yang intensif selama beberapa dekade, hipertensi yang dapat menyebabkan atau memperburuk kehamilan tetap menjadi masalah yang belum terpecahkan. Secara umum, preeklamsi merupakan suatu hipertensi yang disertai dengan proteinuria yang terjadi pada kehamilan. Penyakit ini umumnya timbul setelah minggu ke-20 usia kehamilan dan paling sering terjadi pada primigravida. Jika timbul pada multigravida biasanya ada faktor predisposisi seperti kehamilan ganda, diabetes mellitus, obesitas, umur lebih dari 35 tahun dan sebab lainnya.1 Morbiditas janin dari seorang wanita penderita hipertensi dalam kehamilan berhubungan secara langsung terhadap penurunan aliran darah efektif pada sirkulasi uteroplasental, juga karena terjadi persalinan kurang bulan pada kasus-kasus berat. Kematian janin diakibatkan hipoksia akut, karena sebab sekunder terhadap solusio plasenta atau vasospasme dan diawali dengan pertumbuhan janin terhambat / intrauterine growth restriction (IUGR). Di negara berkembang, sekitar 25% mortalitas perinatal diakibatkan kelainan hipertensi dalam kehamilan. Mortalitas maternal diakibatkan adanya hipertensi berat, kejang grand mal, dan kerusakan end organ lainnya.1,2,3,4 Namun, dalam praktek sehari-sehari, sering ditemukan bahwa pada ibu hamil dengan preeklampsia, dapat melahirkan bayi makrosomia. Hal ini berlawanan dengan kenyataan bahwa pada ibu preeklampsia terjadi penurunan aliran darah pada sirkulasi uteroplasental.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hipertensi Dalam Kehamilan Yang dimaksud dengan preeklamsi adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuri akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Sedangkan yang dimaksud dengan eklamsi adalah kelainan akut pada preeklamsi dalam kehamilan, persalinan, atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dengan atau tanpa penurunan kesadaran (gangguan sistem saraf pusat). Ada pula istilah eclamsia sine eclampsia adalah eklamsi yang ditandai oleh penurunan kesadaran tanpa kejang.7 Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah ditemukan sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada umur kehamilan < 20 minggu, dan yang menetap setelah 12 minggu pascasalin. Hipertensi kronis yang diperberat oleh preeklamsi atau eklamsi adalah preeklamsi atau eklamsi yang timbul pada hipertensi kronis dan disebut juga Superimposed Preeclampsia.11 Sedangkan hipertensi gestasional adalah timbulnya hipertensi dalam kehamilan pada wanita yang tekanan darah sebelumnya normal dan tidak disertai proteinuri. Gejala ini akan menghilang dalam waktu < 12 minggu pascasalin.7

2.2 Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan Wanita hamil dengan hipertensi secara luas dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu hipertensi kronis, hipertensi non-proteinuri (kadang dikenal sebagai pregnancy-induced hypertension), dan preeklamsi. Menurut The International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy (ISSHP) klasifikasi hipertensi pada wanita hamil dibagi menjadi : 1. Hipertensi gestasional dan/atau proteinuria selama kehamilan, persalinan, atau pada wanita hamil yang sebelumnya normotensi dan non-proteinuri. - Hipertensi gestasional (tanpa proteinuria) - Proteinuria gestasional (tanpa hipertensi) - Hipertensi gestasional dengan proteinuria (pre-eklamsi) 2. Chronic hypertension (sebelum kehamilan 20 minggu) dan penyakit ginjal kronis (proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu) - Hipertensi kronis (without proteinuria) - Penyakit ginjal kronis (proteinuria dengan atau tanpa hipertensi)

- Hipertensi kronis dengn superimposed - Pre-eklamsi (proteinuria) 3. Unclassified hypertension dan/atau proteinuria 4. Eklampsia.8 Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the NHBPEP (2000) dibagi menjadi 5 tipe, yaitu : 1. Hipertensi gestasional 2. Preeklamsi 3. Eklamsi 4. Preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis 5. Hipertensi kronis.9

2.3.2 Preeklamsi Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya perfusi organakibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah danproteinuria (Cunningham et al, 2003, Matthew warden, MD, 2005). Preeklampsia terjadi padaumur kehamilan diatas 20 minggu, paling banyak terlihat pada umur kehamilan 37 minggu,tetapi dapat juga timbul kapan saja pada pertengahan kehamilan. Preeklampsia dapat berkembang dari preeklampsia yang ringan sampai preeklampsia yang berat.10 Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia, dan Chesley (1985) menyimpulkan secara tepat bahwa diagnosis diragukan dengan tidak adanya proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam urin 24 jam melebihi 300mg per 24 jam, atau pada sampel urin secara acak menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick) secara persisten. Tingkat proteinuria dapat berubah-ubah secara luas selama setiap periode 24 jam, bahkan pada kasus yang berat. Oleh karena itu, satu sampel acak bisa saja tidak membuktikan adanya proteinuria yang berarti.2,5 Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklamsi adalah hipertensi dengan proteinuria yang minimal. Temuan laboratorium yang abnormal dalam pemeriksaan ginjal, hepar, dan fungsi hematologi meningkatkan kepastian diagnosis preeklamsi. Selain itu, pemantauan secara terus-menerus gejala eklampsia, seperti sakit kepala dan nyeri epigastrium, juga meningkatkan kepastian tersebut.5 Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan akibat nekrosis hepatocellular, iskemia, dan oedem yang merentangkan kapsul Glissoni. Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum hepatik transaminase yang tinggi dan biasanya merupakan tanda untuk mengakhiri kehamilan.5

Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsi yang memburuk, dan hal tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan agregasi platelet serta hemolisis mikroangiopati yang disebabkan oleh vasospasme yang berat. Bukti adanya hemolisis yang luas dengan ditemukannya hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemi dan merupakan indikasi penyakit yang berat.5 Faktor lain yang menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan fungsi jantung dengan oedem pulmonal dan juga pembatasan pertumbuhan janin yang nyata.5 Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari : Kriteria minimal, yaitu : - TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu. - Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.

Kemungkinan terjadinya preeklamsi : - TD 160/110 mmHg. - Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick. - Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah meningkat. - Trombosit <100.000/mm3. - Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH). - peningkatan ALT atau AST. - Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain. - Nyeri epigastrium persisten.1

Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas abnormalitas yang dapat dilihat pada Tabel 2.1. Semakin banyak ditemukan penyimpangan tersebut, semakin besar kemungkinan harus silakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara preeklamsi ringan dan berat dapat sulit dibedakan karena preeklamsi yang tampak ringan dapat berkembang dengan cepat menjadi berat.5 Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis preeklampsia, tetapi tekanan darah bukan merupakan penentu absolut tingkat keparahan hipertensi dalam kehamilan. Contohnya, pada wanita dewasa muda mungkin terdapat proteinuria +3 dan kejang dengan tekanan darah 135/85 mmHg, sedangkan kebanyakan wanita dengan tekanan darah mencapai 180/120 mmHg tidak mengalami kejang. Peningkatan tekanan darah yang cepat dan diikuti dengan kejang biasanya didahului nyeri kepala berat yang persisten atau gangguan visual.5

Tabel 2.1 Gejala Beratnya Hipertensi Selama Kehamilan 5 2.5 Faktor Risiko Faktor risiko pada preeklamsi dapat dibagi menjadi 3 yaitu : 1. Faktor risiko maternal : - Kehamilan pertama - Primipaternity - Usia < 18 tahun atau > 35 tahun - Riwayat preeklamsi - Riwayat preeklamsi dalam keluarga - Ras kulit hitam - Obesitas (BMI 30) - Interval antar kehamilan < 2 tahun atau > 10 tahun.5,7

2. Faktor risiko medikal maternal : Hipertensi kronis, khusunya sebab sekunder hipertensi kronis seperti hiperkortisolisme,

hiperaldosteronisme, faeokromositoma, dan stenosis arteri renalis

- Diabetes yang sedang diderita (tipe 1 atau 2), khususnya dengan komplikasi mikrovaskular - Penyakit ginjal - Systemic Lupus Erythematosus - Obesitas - Trombofilia - Riwayat migraine - Pengguna anti depresan selective serotonin uptake inhibitor > trimester I.4,5,7

3. Faktor risiko plasental atau fetal : - Kehamilan multipel - Hidrops fetalis - Penyakit trofoblastik gestasional - Triploidi.3,4,5,7

2.6 Etiologi Menurut Sibai (2003), sebab-sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab preeklamsi adalah sebagai berikut : 1. Invasi trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus. 2. Intoleransi imunologis antara jaringan plasenta ibu dan janin. 3. Maladaptasi maternal pada perubahan kardiovaskular atau inflamasi dari kehamilan normal. 4. Faktor nutrisi. 5. Pengaruh genetik.5

2.6.1 Invasi Trofoblastik Abnormal Pada implantasi normal, arteri spiralis uterus mengalami remodelling yang luas ketika diinvasi oleh trofoblas endovaskular (Gambar 2.1). Akan tetapi, pada preeklamsi terdapat invasi trofoblastik yang tidak lengkap. Pada kasus ini, pembuluh darah decidua, tetapi bukan pembuluh darah myometrial, menjadi sejajar dengan trofoblas endovaskular. Meekins dan kawan-kawan (1994) menjelaskan jumlah

arteri spiralis dengan trofoblas endovaskular pada plasenta wanita normal dan wanita dengan preeklamsi. Madazli dan kawan-kawan (2000) membuktikan bahwa besarnya defek invasi trofoblastik terhadap arteri spiralis berhubungan dengan beratnya hipertensi.5,11 Dengan menggunakan mikroskop elektron, De Wolf dan kawan-kawan (1980) meneliti pembuluh darah yang diambil dari tempat implantasi plasenta pada uterus. Mereka memperhatikan bahwa perubahan pada preeklampsia awal meliputi kerusakan endotelial, perembesan isi plasma pada dinding arteri, proliferasi sel miointimal, dan nekrosis tunika media. Mereka menemukan bahwa lipid mengumpul pertama kali pada sel-sel myointimal dan kemudian pada makrofag akan membentuk atherosis (Gambar 2.2). Obstruksi lumen arteriol spiral oleh atherosis dapat mengganggu aliran darah plasenta. Perubahanperubahan ini dianggap menyebabkan perfusi plasenta menjadi berkurang secara patologis, yang pada akhirnya menyebabkan sindrom preeklamsia.5

Gambar 2.1 Implantasi plasenta normal5

Gambar 2.2 Atherosis5 2.6.2 Faktor Imunologis Karena preeklamsi terjadi paling sering pada kehamilan pertama, terdapat spekulasi bahwa terjadi reaksi imun terhadap antigen paternal sehingga menyebabkan kelainan ini.5 Hanya ada sedikit data yang mendukung keberadaan teori bahwa preeklamsi adalah proses yang dimediasi sistem imun. Perubahan adaptasi pada sistem imun dalam patofisiologi preeklamsia dimulai pada awal trimester kedua. Wanita yang cenderung mengalami preeklamsi memiliki jumlah T helper cells (Th1) yang lebih sedikit.dibandingkan dengan wanita yang normotensif. Ketidakseimbangan ini terjadi karena terdapat dominasi Th2 yang dimediasi oleh adenosin. Limfosit T helper ini mengeluarkan sitokin spesifik yang memicu implantasi dan kerusakan pada proses ini dapat menyebabkan preeklamsi.3,5,16

2.6.3 Vaskulopati dan Perubahan Inflamasi Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan akibat dari respon dari plasenta karena terjadi iskemik sehingga akan menimbulkan urutan proses tertentu. Desidua juga memiliki sel-sel yang bila diaktivasi maka akan mengeluarkan agen noxious. Agen ini dapat menjadi mediator yang mengakibatkan kerusakan sel endotel. Sitokin tertentu seperti tumor necrosis factor- (TNF- ) dan interleukin memiliki kontribusi terhadap stres oksidatif yang berhubungan dengan preeklamsi. Stres oksidatif ditandai dengan adanya oksigen reaktif dan radikal bebas yang akan menyebabkan pembentukan lipid peroksida. Hal ini akan menghasilkan toksin radikal yang merusak sel-sel endotel, memodifikasi produksi Nitric Oxide, dan mengganggu keseimbangan prostaglandin. Fenomena lain yang ditimbulkan oleh stres oksidatif meliputi pembentukan sel-sel busa pada atherosis, aktivasi koagulasi intravaskular (trombositopeni), dan peningkatan permeabilitas (edema dan proteinuria).6,3

Bagan 2.1 Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi akibat kehamilan. 5 2.7 Patofisiologi Walaupun mekanisme patofisiologi yang jelas tidak dimengerti, preeklamsi merupakan suatu kelainan pada fungsi endotel yaitu vasospasme. Pada beberapa kasus, mikroskop cahaya menunjukkan bukti insufisiensi plasenta akibat kelainan tersebut, seperti trombosis plasenta difus, inflamasi vaskulopati desidua plasenta, dan invasi abnormal trofoblastik pada endometrium. Hal-hal ini menjelaskan bahwa pertumbuhan plasenta yang abnormal atau kerusakan plasenta akibat mikrotrombosis difus merupakan pusat perkembangan kelainan ini.4,5,7 Hipertensi yang terjadi pada preeklamsi adalah akibat vasospasme, dengan konstriksi arterial dan penurunan volume intravaskular relatif dibandingkan dengan kehamilan normal. Sistem vaskular pada wanita hamil menunjukkan adanya penurunan respon terhadap peptida

vasoaktif seperti angiotensin II dan epinefrin. Wanita yang mengalami preeklamsi menunjukkan hiperresponsif terhadap hormon-hormon ini dan hal ini merupakan gangguan yang dapat terlihat bahkan sebelum hipertensi tampak jelas. Pemeliharaan tekanan darah pada level normal dalam kehamilan tergantung pada interaksi antara curah jantung dan resistensi vaskular perifer, tetapi masing-masing secara signifikan terganggu dalam kehamilan. Curah jantung meningkat 30-50% karena peningkatan nadi dan volume sekuncup. Walaupun angiotensin dan renin yang bersirkulasi meningkat pada trimester II, tekanan darah cenderung untuk menurun, menunjukkan adanya reduksi resistensi vaskular sistemik. Reduksi diakibatkan karena penurunan viskositas darah dan sensivitas pembuluh darah terhadap angiotensin karena adanya prostaglandin vasodilator. 4,5,7

Gambar 4.(Atas) FLT-1 pada sel endotel dengan jumlah sFLT1 yang sedikit pada sirkulasi. Agonis VEGF dan PIGF melekat pada FLT1. (Bawah) Pembuluh darah dari pasien preeclampsia dengan jumlah sFLT1 yang sangat banyak, sehingga menangkap VEGF dan PIGF.`

Ada bukti yang menunjukkan bahwa adanya respon imun maternal yang terganggu terhadap jaringan plasenta atau janin memiliki kontribusi terhadap perkembangan preeklamsi. Disfungsi endotel

yang luas menimbulkan manifestasi klinis berupa disfungsi multi organ, meliputi susunan saraf pusat, hepar, pulmonal, renal, dan sistem hematologi. Kerusakan endotel menyebabkan kebocoran kapiler patologis yang dapat bermanifestasi pada ibu berupa kenaikan berat badan yang cepat, edema non dependen (muka atau tangan), edema pulmonal, dan hemokonsentrasi. Ketika plasenta ikut terkena kelainan, janin dapat terkena dampaknya akibat penurunan aliran darah utero-plasenta. Penurunan perfusi ini menimbulkan manifestasi klinis seperti tes laju jantung janin yang non-reassuring, skor rendah profil biofisik, oligohidramnion, dan pertumbuhan janin terhambat pada kasus-kasus yang berat.4,5,7 Selama kehamilan normal, tekanan darah sistolik hanya berubah sedikit, sedangkan tekanan darah diastolik turun sekitar 10 mmHg pada usia kehamilan muda (13-20 minggu) dan naik kembali pada trimester ke III. Pembentukkan ruangan intervillair, yang menurunkan resistensi vaskular, lebih lanjut akan menurunkan tekanan darah.4,5,7 Patogenesis pada konvulsi eklamsi masih menjadi subyek penelitian dan spekulasi. Beberapa teori dan mekanisme etiologi telah dipercaya sebagai etiologi yang paling mungkin, tetapi tidak ada satupun yang dengan jelas terbukti. Beberapa mekanisme etiologi yang dipercaya sebagai patogenesis dari konvulsi eklamsi meliputi vasokonstriksi atau vasospame serebral, hipertensi ensefalopati, infark atau edema serebral, perdarahan serebral, dan ensefalopati metabolik. Akan tetapi, tidak ada kejelasan apakah penemuan ini merupakan sebab atau efek akibat konvulsi.4,5,7,19

2.10.4 Penatalaksanaan Preeklamsi Berat Tujuan penatalaksanaan pada preeklamsi berat adalah mencegah konvulsi, mengontrol tekanan darah maternal, dan menentukan persalinan. Persalinan merupakan terapi definitif jika preeklamsi berat terjadi di atas 36 minggu atau terdapat tanda paru janin sudah matang atau terjadi bahaya terhadap janin. Jika terjadi persalinan sebelum usia kehamilan 36 minggu, ibu dikirim ke rumah sakit besar untuk mendapatkan NICU yang baik.15 Pada preeklamsi berat, perjalanan penyakit dapat memburuk dengan progresif sehingga menyebabkan pemburukan pada ibu dan janin. Oleh karena itu persalinan segera direkomendasikan tanpa memperhatikan usia kehamilan. Persalinan segera diindikasikan bila terdapat gejala impending eklamsi, disfungsi multiorgan, atau gawat janin atau ketika preeklamsi terjadi sesudah usia kehamilan 34 minggu. Pada kehamilan muda, bagaimana pun juga, penundaan terminasi kehamilan dengan pengawasan ketat dilakukan untuk meningkatkan keselamatan neonatal dan menurunkan morbiditas neonatal jangka pendek dan jangka panjang.5,15,20 Pada 3 penelitian klinis baru-baru ini, penatalaksanaan secara konservatif pada wanita dengan preeklamsi berat yang belum aterm dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas neonatal. Namun, karena hanya 116 wanita yang menjalani terapi konservatif pada penelitian ini dan karena terapi seperti itu mengundang risiko bagi ibu dan janin, penatalaksanaan konservatif hanya dikerjakan pada pusat neonatal kelas 3 dan melaksanakan observasi bagi ibu dan janin. Semua wanita dengan usia kehamilan 40 minggu

yang menderita preeklamsi ringan harus memulai persalinan. Pada usia kehamilan 38 minggu, wanita dengan preeklamsi ringan dan keadaan serviks yang sesuai harus diinduksi. Setiap wanita dengan usia kehamilan 32-34 minggu dengan preeklamsi berat harus dipertimbangkan persalinan dan janin sebaiknya diberi kortikosteroid. Pada pasien dengan usia kehamilan 23-32 minggu yang menderita preeklamsi berat, persalinan dapat ditunda dalam usaha untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Jika usia kehamilan < 23 minggu, pasien harus diinduksi persalinan untuk terminasi kehamilan.15 Tujuan obyektif utama penatalaksanaan wanita dengan preeklamsi berat adalah mencegah terjadinya komplikasi serebral seperti ensefalopati dan perdarahan. Ibu hamil harus diberikan magnesium sulfat dalam waktu 24 jam setelah diagnosis dibuat. Tekanan darah dikontrol dengan medikasi dan pemberian kortikosteroid untuk pematangan paru janin. Batasan terapi biasanya bertumpu pada tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih tinggi. Beberapa ahli menganjurkan mulai terapi pada tekanan diastolik 105 mmHg , sedangkan yang lainnya menggunakan batasan tekanan arteri rata-rata > 125 mmHg. Tujuan dari terapi adalah menjaga tekanan arteri rata-rata dibawah 126 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 105 mmHg) dan tekanan diastolik < 105 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 90 mmHg). Terapi inisial pilihan pada wanita dengan preeklamsi berat selama peripartum adalah hidralazin secara IV dosis 5 mg bolus. Dosis tersebut dapat diulangi bila perlu setiap 20 menit sampai total 20 mg. Bila dengan dosis tersebut hidralazin tidak menghasilkan perbaikan yang diinginkan, atau jika ibu mengalami efek samping seperti takikardi, sakit kepala, atau mual, labetalol (20 mg IV) atau nifedipin (10 mg oral) dapat diberikan. Akan tetapi adanya efek fetal distres terhadap terapi dengan hidralazin, beberapa peneliti merekomendasikan penggunaan obat lain dalam terapi preeklamsi berat. Pada 9 penelitian acak yang membandingkan hidralazin dengan obat lain, hanya satu penelitian yang menyebutkan efek samping dan kegagalan terapi lebih sering didapatkan pada hidralazin.20 Bila ditemukan masalah setelah persalinan dalam mengontrol hipertensi berat dan jika hidralazin intra vena telah diberikan berulang kali pada awal puerperium, maka regimen obat lain dapat digunakan. Setelah pengukuran tekanan darah mendekati normal, maka pemberian hidralazin dihentikan. Jika hipertensi kembali muncul pada wanita post partum, labetalol oral atau diuretik thiazide dapat diberikan selama masih diperlukan.5,7,15,20 Pemberian cairan infus dianjurkan ringer laktat sebanyak 60-125 ml perjam kecuali terdapat kehilangan cairan lewat muntah, diare, diaforesis, atau kehilangan darah selama persalinan. Oliguri merupakan hal yang biasa terjadi pada preeklamsi dan eklamsi dikarenakan pembuluh darah maternal mengalami konstriksi (vasospasme) sehingga pemberian cairan dapat lebih banyak. Pengontrolan perlu dilakukan secara rasional karena pada wanita eklamsi telah ada cairan ekstraselular yang banyak yang tidak terbagi dengan benar antara cairan intravaskular dan ekstravaskular. Infus dengan

cairan yang banyak dapat menambah hebat maldistribusi cairan tersebut sehingga meninggikan risiko terjadinya edema pulmonal atau edema otak.20

2.10.6 Pilihan obat anti hipertensi Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan adalah menurunkan risiko maternal, tetapi pemilihan obat anti hipertensi lebih memperhatikan keselamatan janin. Terapi lini I yang banyak disukai adalah metil dopa, berdasarkan laporan tentang stabilnya aliran darah uteroplasental dan hemodinamika janin dan ketiadaan efek samping yang buruk pada pertumbuhan anak yang terpapar metil dopa saat dalam kandungan.4,5 Preeklamsi lebih umum diderita pada wanita dengan hipertensi kronis, dengan insidensi sekitar 25%. Faktor risiko untuk superimposed preeklamsi meliputi insufisiensi ginjal, riwayat menderita hipertensi selama 4 tahun atau lebih, dan hipertensi pada kehamilan sebelumnya. Pencegahan pada preeklamsi meliputi identifikasi wanita risiko tinggi, deteksi dini secara klinis dan laboratorium, pengamatan intensif atau terminasi kehamilan jika ada indikasi. Penatalaksanaan preeklamsi meliputi perawatan di rumah sakit, kontrol tekanan darah, profilaksis konvulsi pada impending eklamsi, dan terminasi pada waktunya. Banyak wanita dengan preeklamsi mempunyai sejarah normotensi sebelumnya sehingga peningkatan tekanan darah secara akut bahkan pada tingkat terendah (150/100 mmHg) dapat menyebabkan simptomatologi yang signifikan dan memerlukan terapi. Penatalaksanaan tidak mengganggu patofisiologi penyakit, tetapi dapat memperlambat progresi penyakit dan menyediakan waktu bagi fetus untuk mencapai maturitas. Preeklamsi kadang-kadang dapat sembuh sendiri walau jarang dan pada kebanyakkan kasus adalah memburuk sejalan dengan waktu.4,5 Ketika persalinan mungkin dapat menjadi terapi yang tepat bagi ibu, haruslah memperhatikan masa gestasi fetus yang < 32 minggu. Selain memperhatikan masa gestasi, bila didapatkan tanda-tanda gawat janin intra uterin, atau IUGR atau gangguan maternal seperti hipertensi berat, hemolisis, peningkatan enzim hati, hitung trombosit yang rendah, gangguan fungsi ginjal, pandangan kabur, dan sakit kepala. Persalinan per vaginam lebih disukai daripada seksio untuk menghindari penambahan stress akibat operasi.7,20 Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal. Seleksi obat anti hipertensi dan rute pemberian tergantung pada antisipasi waktu persalinan. Jika persalinan terjadi lebih dari 48 jam kemudian, metil dopa oral lebih disukai karena keamanannya. Alternatif lain seperti labetalol oral dan beta bloker serta antagonis kalsium juga dapat dipergunakan. Jika persalinan sudah akan terjadi, pemberian parenteral adalah praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum induksi persalinan untuk tekanan darah diastol 105-110 mmHg atau lebih dengan tujuan menurunkannya sampai 95-105 mmHg.5,6,15 Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan :

1. Hidralazine Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung yang dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan cardiac output akibat hasil respon simpatis sekunder yang dimediasi oleh baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac output penting karena dapat meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin dimetabolisme oleh hepar.5,15 Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol mencapai 110 mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih dari 160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-20 menit sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan darah diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat penurunan perfusi plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan lama kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan angina. Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian perdarahan serebral dan efektif dalam menurunkan tekanan darah dalam 95% kasus preeklamsi.5,15 2. Labetalol Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan penghambat 1-adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk oral maupun intra vena.15

untuk mengobati hipertensi akut pada kehamilan. Pada sebuah penelitian yang membandingkan labetalol dengan hidralazine menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan darah lebih cepat dan efek takikardi minimal, tetapi hidralazine menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih efektif. Protokol pemberian adalah 10 mg intravena. Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg, selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai dosis maksimal kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah 5 menit, efek puncak 10-20 menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol secara intra vena tidak mempengaruhi aliran darah uteroplasenter. Pengalaman membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian labetalol tidak melebihi 220 mg tiap episode pengobatan.15 3. Obat anti hipertensi lain NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat ini menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ECS ke sitoplasma kemudian memblok eksitasi dan kontraksi coupling di jaringan otot polos dan menyebabkan vasodilatasi dan penurunan resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis 10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin merupakan vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah utama hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub lingual, menurut penelitian yang dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan, menunjukkan bahwa dapat terjadi penurunan tekanan darah yang cepat sehingga dapat menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini,

nifedipin tidak digunakan pada pasien dengan IUGR atau denyut jantung janin abnormal. Walaupun nifedipin tampak lebih potensial, obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk digunakan dalam kehamilan.5,15 Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat infus 5-10 mg per jam dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-rata sebesar 20%. Obat lain seperti nimodipin dapat digunakan baik secara oral maupun infus dan terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Hal ini dinyatakan pada penelitian yang dilakukan oleh Belforts dan kawan-kawan. Pemakaian ketanserin secara intra vena juga memberikan hasil yang baik menurut penelitian Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid tidak direkomendasikan lagi oleh NHBPEP kecuali tidak ada respon terhadap pemberian hidralazin, labetalol atau nifedipin. Sodium nitroprussid dapat menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena tanpa efek terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2 menit, puncak kerja terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja 3-5 menit. Obat ini sangat efektif dalam mengontrol tekanan darah dalam hitungan menit di ICU. Rekomendasi penggunaan obat secara intra vena tidak lebih dari 30 menit pada ibu non parturien karena efek samping toksisitas sianida dan tiosianat pada janin. Trimethaphan merupakan pemblok ganglionik yang digunakan oleh ahli anestesi dalam menurunkan tekanan darah sebelum laringoskopi dan intubasi untuk anestesi umum. Efek samping terhadap janin adalah ileus mekonium. Nitrogliserin diberikan secara intra vena sebagai vasodilator vena yang tampak aman bagi janin. Obat ini merupakan anti hipertensi potensi sedang.5,15 4. Metil dopa Merupakan agonis -adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu. Obat ini menurunkan resistensi total perifer tanpa menyebabkan perubahan pada laju jantung dan cardiac output. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi reseptor sentral -2 lewat -metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat -2 perifer lewat efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek anti hipertensi yang berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi 23 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat ini dapat menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk memberhentikan obat ini.3,5,15 5. Klonidin Merupakan agonis -adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai dengan dosis 0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara incremental 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Tekanan darah menurun

30-60 mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8 jam. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi cardiac output menurun namun tetap berespon terhadap latihan fisik. Efek samping adalah xerostomia dan sedasi. Penghentian klonidin dapat menyebabkan krisis hipertensi yang dapat diatasi dengan pemberian kembali klonidin. Sampai sekarang belum ada penelitian besar yang mempelajari klonidin seperti metil dopa.15 6. Prazosin Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor 1-adrenergik. Obat ini dapat menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas pembuluh darah sehingga menurunkan preload dan afterload. Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa menurunkan laju jantung, curah jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi glomerulus. Obat ini dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90% ekskresi obat melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan, absorbsi menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang. Dalam sebuah penelitian, kadar puncak tercapai dalam 165 menit pada wanita hamil. Prazosin dapat menyebabkan hipotensi mendadak dalam 30-90 menit setelah pemberian. Hal ini dapat dihindari dengan pemberian sebelum tidur. Percobaan binatang menunjukkan tidak ada efek teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang kuat sehingga sering dikombinasikan dengan beta bloker.15 7. Diuretik Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga curah jantung dan tekanan darah menurun, juga menurunkan resistensi vaskular akibat konsentrasi sodium interselular pada sel otot polos. Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi plasenta karena efek segera meliputi pengurangan volume intravaskular, dimana volume tersebut sudah berkurang akibat preeklamsi dibandingkan dengan keadaan normal. Oleh karena itu, diuretik tidak lagi digunakan untuk menurunkan tekanan darah karena dapat meningkatkan hemokonsentrasi darah ibu dan menyebabkan efek samping terhadap ibu dan janin. Pemakaian furosemid saat ante partum dibatasi pada kasus khusus dimana terdapat edema pulmonal. Obat diuretika seperti triamterene dihindari karena merupakan antagonis asam folat dan dapat meningkatkan risiko defek janin.9,15 8. Penghambat ACE Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim yang mengkonversi angiotensi 1 menjadi angiotensin 2 (vasokonstriktor poten), tanpa penurunan curah jantung. Sebagai tambahan, obat ini juga meningkatkan sintesis prostaglandin vasodilatasi dan menurunkan inaktivasi bradikinin (vasodilator poten). Contoh obat ini seperti captopril, enalapril, dam lisinopril.13

Tabel 2.4 Panduan Obat Anti Hipertensi 15 2.10.7 Efek Samping Obat Efek samping obat-obat anti hipertensi antara lain, yaitu : 1. ACE inhibitor Digunakan pada trimester dua dan tiga telah menyebabkan disfungsi ginjal pada fetus yang mengakibatkan oligohidramnion dan anuria. ACE inhibitor telah dihubungkan dengan hipoplasia pulmoner, pertumbuhan terhambat, kelainan ginjal dan hipoplasia lain pada tulang tengkorak.15 2. Diantara golongan penghambat beta, atenolol Terutama ketika dimulai pada awal kehamilan, berhubungan dengan pertumbuhan janin terhambat pada beberapa penelitian yang tidak terkontrol dan sebuah penelitian kecil. Pada kebanyakan penelitian, penyebab asal dari hubungan tersebut tidak jelas karena beberapa obat telah digunakan bersama-sama atau karena ketidakmampuan untuk membedakan apakah ini adalah efek dari patofisiologi ibu atau efek dari obat.15 3. Diuretika Memiliki efek samping terhadap ibu maupun janin. Efek maternal seperti hipokalemia, hiponatremia, hiperglikemi, hiperurikemi, hiperlipid, dan penurunan volume plasma sehingga dapat

menganggu pertumbuhan janin. Efek terhadap janin adalah gangguan elektrolit, trombositopeni, dan IUGR.13 Beberapa efek obat anti hipertensi terhadap pemberian ASI, yaitu : - Diuretik thiazide sebaiknya dihindari karena dapat menurunkan produksi ASI dan digunakan untuk mensupresi laktasi. - Metil dopa kemungkinan aman selama pemberian ASI, dimana tingkat plasma yang rendah ditemukan pada janin. - Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar dalam susu ibu daripada plasma ibu. - Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama terdapat pada ACE inhibitor.15

American College of Obstetricians and Gynecologists menyimpulkan bahwa kata makrosomia tepat digunakan pada janin yang, saat lahir, memiliki berat 4500 gram atau lebih.1 Sedangkan menurut Cunningham semua neonatus dengan berat badan 4000 gram atau lebih tanpa memandang usia kemilan dianggap sebagai makrosomia.2 Terdapat beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi besar: (1) ukuran orang tua besar, terutama obesitas pada ibu; (2) pertambahan berat badan ibu yang berlebihan selama kehamilan, porsi makanan yang dikonsumsi ibu hamil akan berpengaruh pada berat badan ibu. Asupan gizi yang berlebih bisa mengakibatkan bayi lahir dengan berat di atas rata-rata; (3) ibu dengan diabetes milletus, tingginya gula darah ibu bisa berpengaruh pada berat badan bayi; (4) multiparitas, ada kecendrungan berat badan lahir anak kedua dan seterusnya lebih besar daripada anak pertama; (5) ibu hamil dengan riwayat melahirkan bayi makrosomia, ibu yang sebelumnya pernah melahirkan bayi makrosomia berisiko 5-10 kali lebih tinggi untuk kembali melahirkan bayi makrosomia dibandingkan ibu yang belum pernah melahirkan bayi makrosomia; (6) janin laki-laki; (7) ras dan etnik.1-3 Persalinan janin makrosomia berhubungan dengan persalinan lama, meningkatnya kemungkinan untuk operasi sesar, distosia bahu, dan trauma pleksus brakialis yang dapat menjadi permanen. Komplikasi pada ibu hamil adalah sebagai hasil proses persalinan yaitu perdarahan postpartum, robekan

perineum atau sfingter anus, rupur uterus dan serviks dan infeksi post partum.2-5 Diagnosa pasti adanya makrosomia hanya dapat ditentukan setelah bayi dilahirkan. Identifikasi akurat adanya bayi makrosomia sangat diperlukan untuk mencegah berbagai komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat trauma persalinan. Berdasarkan American College of Obstetricians and Gynecologists Practice Bulletin on Macrosomia, ada tiga metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi bayi dengan berat badan 4000 gram atau lebih yaitu pemeriksaan ultrasonografi (diameter biparietal, panjang femur, kepala, dan lingkar perut), pemeriksaan fisik (pengukuran tinggi fundus uteri berdasarkan manuver Leopold), riwayat ibu hamil.4-7 Pengetahuan pasti tentang berat badan janin dapat menghindarkan seorang wanita dari persalinan per vaginam yang kemungkinan besar akan mengalami kemacetan akibat disproporsi fetopelvis sejati atau penyulit distosia bahu. Terdapat beberapa pendekatan kontroversial untuk mencegah penyulit persalinan pada makrosomia. Pertama, induksi persalinan profilaksis. Sebagian pihak menganjurkan induksi persalinan jika ditegakkan diagnosis makrosomia pada wanita nondiabetes sebagai suatu cara menghindari pertumbuhan janin lebih lanjut. Akan tetapi, induksi persalinan belum terbukti dapat menurunkan angka sesar atau distosia bahu. Kedua, sesar elektif. Protokol sesar rutin pada wanita pengidap diabetes dengan janin yang secara sonografis diperkirakan memiliki berat 4250 gram atau lebih dilaporkan secara bermakna dapat mengurangi distosia bahu. Ketiga pencegahan distosia bahu. Kekhawatiran utama dalam melahirkan janin makrosomia adalah distosia bahu dan risiko kelumpuhan pleksus brakialis. Distosia bahu terjadi jika panggul ibu memiliki ukuran cukup untuk melahirkan kepala janin, tetapi tidak cukup besar untuk melahirkan bahu janin yang diameternya sangat besar. American College of Obstetricians and Gynecologists Practice Bulletin on Macrosomia merekomendasikan bahwa1,8: Ketika estimasi berat badan janin lebih dari 4500 gram dengan perpanjangan kala 2 merupakan indikasi sectio cesarea. Sectio cesarea dipertimbangkan pada ibu nondiabetik dengan estimasi berat badan janin lebih dari 5000 gram dan lebih dari 4500 gram pada ibu diabetes. Suspek makrosomia bukan kontraindikasi untuk persalinan pervaginam pada ibu dengan riwayat sectio sesarea sebelumnya.

Seorang obstetrikus harus mempersiapkan diri terhadap kemungkinan distosia bahu pada bayi dengan makrosomia dan mampu menggunakan teknikteknik yang sesuai untuk melahirkan bayi dengan aman. Hindari traksi yang terlalu kuat. Bahu dapat dilakirkan dengan manuver McRobert dan atau tekanan pada suprapubik.8

LAPORAN KASUS

Nama Umur CM Alamat Pekerjaan

: Ny.Oktavina Tinungki :30 th :375129 :Manembo-nembo Atas Gg. III :IRT

G2P1A0, 30 tahun MRS tanggal 14 Juli 2013, jam 15.00 dirujuk dari RSUD Bitung dengan alasan bahan tenun operasi habis. Pasien mengeluh nyeri perut bagian bawah ingin melahirkan dirasakan teratur. Anamnesis Nyeri perut bagian bawah ingin melahirkan dirasakan teratur Pelepasan lendir campur darah (+) Pelepasan air dari jalan lahir (-) Pergerakan janin (+) dirasakan saat MRS Riwayat penyakit jantung, paru-paru, ginjal, hati, kencing manis, disangkal PAN: 4 kali di PKM Manimunempu HPHT : 20 Oktober 2012 TTP: 27 Juli 2013

Kawin : 1 kali selama 4 tahun. KB: P1, 2009, aterm, seksio sesarea a/i gagal oksitosin drip, , 3700 gr, hidup

Status praesens : Keadaan umum : Cukup Tensi Respirasi Konjungtiva C/P : 160/100 mmHg : 22 x/mt : anemis (-) : dbn Kesadaran Nadi Suhu Sklera Ekstremitas : CM : 88 x/mt : 36,5 0 C : ikterik (-) : edema (-)

Tinggi badan Status Obstetrik : TFU BJA TBBA

: 160 cm

Berat badan

: 105 kg

: 35 cm : 132-138 x/menit : Palpasi: 4000 gram

Letak janin His

: letak kepala U punggung kanan : 3-4 // 35-40

USG : Janin intrauterine tunggal letak kepala FHM (+) FM (+), EPW 3162 3267 gr Plasenta di corpus depan Gr II III Air ketuban cukup Kesan : hamil aterm Laboratorium : Hb 13,9 gr/dll, Leukosit: 20.300/mm3, Trombosit: 247.000/mm3, GDS = 85 mg/dl PD:Eff 90%, pembukaan 6-7 cm, ketuban (-) sisa slight mekonium, PP kep HI-II Diagnosis : G2P1A0, 30 tahun, hamil 38-39 minggu inpartu kala I + PEB + bekas SC + HRP Janin intra uterin tunggal hidup letak kepala Sikap : Seksio sesarea Konseling, informed consent Lab,EKG, urinalisis, EKG Konsul mata, interna Observasi T, N, R, His , BJJ

BAB III PEMBAHASAN Dalam kasus ini, akan dibahas beberapa pertanyaan, antara lain:

1. Bagaimana pada pasien dengan preeklampsia ini dapat terjadi bayi makrosomia? Banyak penelitian yang
Obesity is associated with insulin resistance [2021]. Insulin resistance predisposes to diabetes, pre-eclampsia [22], and macrosomia [23]. Macrosomia tends to make vaginal delivery very difficult because of the size of the foetus, and is associated with an increase in Caesarean section rate. Following delivery of macrosomic infant, the uterus is more likely to be atonic and hence predisposed to post partum haemorrhage. Also with a higher Caesarean section rate this also predisposes to post partum haemorrhage.

Finally, most previous studies on the etiology of preeclampsia were of a cross-sectional or case-control design in which women selected for study have already had preeclampsia. It is therefore difficult to know whether decreased uteroplacental perfusion was the cause of the disease or the result of the disease. Uteroplacental hypoperfusion may be the result of preeclampsia occurring after the clinical expression of the disease. In order to detect changes in uteroplacental perfusion before the onset of preeclampsia, prospective or longitudinal studies are warranted. Mean birth weight is influenced by both the right and left tails of the birth weight curve. Although preeclampsia significantly increases the risk of low birth weight and SGA babies (the left tail of the birth weight curve), preeclampsia also increases the risk of high birth weight and LGA babies (the right tail of the birth weight curve) (8, 12). The lower weights on the left side of the curve may be offset by higher weights on the right side of curve, resulting in a flattening out of the normal distribution, without displacement of the mean birth weight (12). The group of preeclamptic women who have LGA babies are probably mostly among those who gave birth after 37 weeks. The phenomenon of LGA and high birth weight infants born to preeclamptic patients may be the result of earlier growth-enhancing effects by an increased uteroplacental blood flow due to higher blood pressure (8, 18). Another possible explanation for these findings is that preeclampsia that is of early onset (37 weeks) may be more likely to be severe, more likely to have a detrimental effect on fetal growth, and more likely to lead to iatrogenic premature delivery. Preeclampsia that is of late onset (>37 weeks) may be more likely to be mild and less likely to lead to iatrogenic premature delivery. Uteroplacental hypoperfusion, if present, may be of too short a duration to affect

fetal size (8). Indeed, it would seem likely that preterm birth is a marker of disease severity and fetal growth restriction. Early-onset preeclampsia and late-onset preeclampsia may be different diseases

Anda mungkin juga menyukai