Anda di halaman 1dari 34

BAGIAN ILMU OBSTETRI & GINEKOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2018

UNIVERSITAS HALU OLEO

PENATALAKSANAAN PENYAKIT SISTEMIK PADA


KEHAMILAN

Oleh :

Elsa Ansari

K1A1 12 003

Pembimbing :

dr. Hj. Juminten Saimin, Sp.OG (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIANILMU OBSTETRI & GINEKOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018

1
Penatalaksanaan Penyakit Sistemik Pada Kehamilan
Elsa Ansari, Juminten Saimin

A. Pendahuluan
Kehamilan bukan semata-mata proses biologis, melainkan jauh dari ittu,
adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa. Masalah terkait kehamilan tidak hanya
sampai pada trimester kehamilan tetapi hingga sepanjang hidup. Hal ini tidak
hanya mempengaruhi ibu tetapi juga bayi. Beberapa kasus yang berat bahkan
dapat menyebabkan kematian. Wanita selama kehamilan menderita banyak
masalah seperti diabetes melitus gestasional, masalah tiroid kehamilan,
hipertensi gestasional, gangguan ginjal, kanker, penyakit menular seksual,
penyakit autoimun, gangguan pernafasan, defisiensi, dan lain sebagainya.1
Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa penyakit yang didapat saat
kehamilan dapat menjadi penjadi penyakit seumur hidup bagi wanita. Penyakit
sistemik sangat berbahaya jika perawatan yang tepat tidak dilakukan sehingga
pencegahan lebih baik dari pada mengobati. Untuk mencegah hal ini, tes
skrining yang tepat harus dilakukan, kesadaran di antara para wanita dan
pasangan mereka seharusnya meningkat. Dokter juga harus mengambil inisiatif
untuk mendidik para wanita dengan pola diet yang tepat, olahraga; dan
konsumsi tablet besi selama kehamilan. Jenis penyakit ini bukan hanya
mempengaruhi ibu tetapi juga anak pada tahap yang berbeda. Tanda-tanda dan
gejala penyakit tertentu harus diidentifikasi dan dikelola dengan tepat.1

B. Penyakit Sistemik Pada Kehamilan


1. Hipertensi dalam kehamilan
Hipertensi masih tetap merupakan masalah besar dalam kehamilan
oleh karena di negara berkembang hipertensi merupakan penyebab
kematian maternal dan perinatal yang cukup tinggi.2 Terminologi
hipertensi dalam kehamilan (HDK) digunakan untuk menggambarkan
spektrum yang luas dari ibu hamil yang mengalami peningkatan tekanan

2
darah yang ringan atau berat dengan berbagai disfungsi organ. Sampai
sekarang penyakit HDK masih merupakan masalah kebidanan yang belum
dapat dipecahkan.3
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit kehamilan
dan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan
morbiditas ibu bersalin.4 Di Indonesia preeklamsia dan eklamsia
merupakan penyebab dari 30-40% kematian perinatal, sementara di
beberapa rumah sakit di Indonesia telah menggeser perdarahan sebagai
penyebab utama kematian maternal.3
a. Klasifikasi
Untuk lebih menyederhanakan dan memudahkan The Working
Group Report and High Blood Pressure in Pregnancy (2000)
menyarankan klasifikasi hipertensi dalam kehamilan sebagai berikut:3
1. Hipertensi gestasional
2. Hipertensi kronis
3. Superimposed preeklamsia
4. Preeklamsia ringan, preeklamsia berat dan eklamsia
Sebagai batasan yang disebut sebagai hipertensi dalam kehamilan
adalah kenaikan tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dan tekanan darah
sistolik ≥140 mmHg pada dua kali pemeriksaan dengan jarak 4 jam atau
lebih dan proteinuria, jika dijumpai protein dalam urine melebihi 0,3
gram/24 jam atau dengan pemeriksaan kualitatif minimal positive (+)
satu.3
b. Definisi
1. Hipertensi gestasional adalah kenaikan tekanan darah yang hanya
dijumpai dalam kehamilan sampai 12 minggu pasca persalinan,
tidak dijumpai keluhan dan tanda-tanda preeklamsia lainnya.
Diagnosa akhir ditegakkan pasca persalinan.
2. Hipertensi kronis adalah hipertensi yang sudah dijumpai sebelum
kehamilan, selama kehamilan sampai sesudah masa nifas. Tidak
ditemukan keluhan dan tanda-tanda preeklamsia lainnya.

3
3. Superimposed preeklamsia adalah gejala dan tanda-tanda
preeklamsia muncul sesudah kehamilan 20 minggu pada wanita
yang sebelumnya menderita hipertensi kronis.
4. Preeklamsia ringan, preeklamsia berat, eklamsia: Dahulu, disebut
preeklamsia (PE) jika dijumpai trias tanda klinis yaitu: tekanan
darah ≥140/90 mmHg, proteinuria dan edema. Tapi sekarang edema
tidak lagi dimasukkan dalam kriteria diagnostik, karena edema juga
dijumpai pada kehamilan normal. Pengukuran tekanan darah harus
diulang berselang 4 jam, tekanan darah diastol ≥ 90 mmHg
digunakan sebagai pedoman.
a) Preeklamsia ringan adalah jika tekanan darah ≥140/90 mmHg,
tapi < 160/110 mmHg dan proteinuria +1
b) Preeklamsia berat adalah jika tekanan darah > 160/110 mmHg,
proteinuria ≥ +2, dapat disertai keluhan subjektif seperti nyeri
epigastrium, sakit kepala, gangguan penglihatan dan oligouria.
c) Eklamsia adalah kelainan akut pada wanita hamil dalam
persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dan
atau koma. Sebelumnya wanita ini menunjukkan gejala-gejala
preeklamsia berat. Kejang timbul bukan karena kelainan
neurologik.3
c. Preeklamsia dan eklamsia
1) Insidens
Preeklampsia merupakan penyakit spesifik pada kehamilan yang
didefinisikan sebagai terjadinya hipertensi dan proteinuria yang
signifikan pada wanita yang sebelumnya sehat pada atau setelah
minggu ke-20 kehamilan, terjadi pada sekitar 2-8% kehamilan.5
Insidens preeklamsia dan eklamsia berkisar antara 4-9% pada wanita
hamil, 3-7% terjadi pada nulipara dan 0,8-5% pada multipara. Angka
kejadian PE di Indonesia berkisar antara 3-10%.3

4
2) Etiologi dan patogenesis
Etiologi dan patogenesis preeklamsia dampai saat ini masih belum
sepenuhnya dipahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah
sebabnya penyakit ini sering disebut “the disease of theories”. Pada
saat ini hipotesis yang dapat diterima untuk dapat menerangkan
terjadinya preeklamsia adalah: faktor imunologi, genetik, penyakit
pembuluh darah, dan keadaan dimana jumlah trofoblast yang
berlebihan dan dapat mengakibatkan ketidakmampuan invasi
trofoblast terhadap arteri spiralis pada awal trimester satu dan
trimester dua. Hal ini akan menyebabkan arteri spiralis tidak dapat
berdilatasi dengan sempurna dan mengakibatkan turunnya aliran
darah di plasenta. Berikutnya akan terjadi oksidasi , peningkatan
radikal bebas, disfungsi endotel, agregasi dan penumpukkan
trombosit yang dapat terjadi di berbagai organ.3
3) Faktor predisposisi terjadinya preeklamsia
Faktor predisposisi terjadinya preeklamsia diantaranya primigravida,
kehamilan ganda, diabetes melitus, hipertensi essensial kronik,
molahidatidosa, hidpops fetalis, bayi besar, obesitas, riwayat pernah
menderita preeklamsia atau eklamsia, riwayat keluarga pernah
menderita preeklamsia atau eklamsia.3
4) Penanganan
Pada dasarnya penanganan yang terbaik pada preeklamsia adalah
segera melahirkan janin, tetapi disamping itu usia kehamilan,
keadaan ibu dan keadaan janin harus diawasi dengan baik, dan
menjadi pertimbangan untuk melakukan terminasi kehamilan.5

5
5) Klasifikasi PE berdasarkan tingkat keparahan penyakit3
Kelainan PE Ringan PE Berat
TD diastolik < 100 mmHg ≥ 110 mmHg
Proteinuri +1 persisten ≥+2
Sakit kepala - +
Gangguan penglihatan - +
Nyeri perut epigastrium - +
Oligouri - +
Kejang (eklamsia) - +
Kreatinin serum - Meningkat
Trombositopeni - +
Peningkatan enzim hati Minimal Nyata
Restriksi pertumbuhan janin - +
Edema pulmonum - +

d. Preeklamsia Ringan4
1) Definisi
Preeklamsia ringan adalah suatu sindroma spesifik kehamilan
dengan menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya
vasopasme pembuluh darah dan aktivasi endotel.
2) Diagnosis
Diagnosis preeklamsia ringan ditegakkan berdasar atas timbulnya
hipertensi disertai proteinuria dan atau edema setelah kehamilan 20
minggu. 30 mmHg
a) Hipertensi: sistolik/diastolik ≥140/90 mmHg. Kenaikkan sistolik
≥ 30 mmHg dan kenaikan diastolik ≥ 15 mmHg tidak dipakai
lagi sebagai kriteria preeklamsia
b) Proteinuria: ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1+ dipstik
c) Edema: edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria
preeklamsia, kecuali edema padda lengan, muka dan perut,
edema generalisata

6
3) Tujuan utama perawatan preeklamsia
Mencegah kejang, perdarahan intrakranial, mencegah gangguan
fungsi organ vital, dan melahirkan bayi sehat
4) Rawat jalan (ambulatoir)
Ibu hamil dengan preekalmsia ringan dapat dirawat secara rawat
jalan. Dianjurkan ibu hamil banyak istirahat (berbaring/tidur
miring), tetapi tidak harus mutlak selalu tirah baring.
Pada umur kehamilan diatas 20 minggu, tirah baring dengan posisi
miring menghilangkan tekanan rahim pada vena kava inferior,
sehingga meningkatkan aliran darah balik dan akan meningkatkan
curah jantung. Hal ini berarti pula meningkatkan aliran darah ke
organ-organ vital. Penambahan aliran darah ke ginjal akan
meningkatkan filtrasi glomeruli dan meningkatkan diuresis.
Diuresis dengan sendirinya akan meningkatkan ekskresi natrium,
menurunkan reaktifitas kardiovaskular, sehingga mengurangi
vasopasme. Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula
aliran darah rahim, menambah oksigenasi plasenta, dan
memperbaiki kondisi janin dalam rahim.
Pada preeklamsia tidak perlu dilakukan retriksi garam sepanjang
perfusi ginjal masih normal. Pada preeklamsia ibu hamil umumnya
masih muda, berarti fungsi ginjal masih bagus, sehingga tidak perlu
retriksi garam.
Tidak diberikan obat-obat diuretik, antihipertensi dan sedatif.
Dilakukan pemeriksaan laboratorium Hb, hematokrit, fungsi hati,
urin lengkap dan fungsi ginjal.
5) Rawat inap (dirawat dirumah sakit)
Pada keadaan tertentu ibu hamil dengan preeklamsia ringan perlu
dirawat di rumah sakit. Kriteria preeklamsia ringan dirawat di
rumah sakit adalah:
a) Bila tidak ada perbaikan: tekanan darah, kadar proteinuria
selama 2 minggu

7
b) Adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklamsia berat
atau impending eklamsia yakni: sakit kepala, gangguan
penglihatan, atau nyeri epigastrium.

Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin berupa pemeriksaan
USG dan Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin,
berupa jumlah cairan amnion. Pemeriksaan nonstress test dilakukan
2 kali seminggu dan konsultasi dengan bagian mata dan jantung.

6) Perawatan obsetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya


Menurut Williams, kehamilan preterm adalah kehamilan antara 22
minggu sampai ≤ 37 minggu.
Pada kehamilan preterm (<37 minggu), bila tekanan darah
mencapai normotensif, selama perawatan, persalinanya ditunggu
sampai aterm.
e. Preeklamsia Berat3
Pengobatan Medis:
1) Tirah baring
2) Oksigen
3) Kateter menetap
4) IVFD : Ringer Asetat, Ringer Laktat, Koloid
Jumlah input cairan: 2000 ml/24 jam, berpedoman pada diuresis,
insisible water loss dan CVP. Awasi balas cairan.
5) Magnesium Sulfat
Initial dose:
- Loading dose : 4 gr Magnesium sulfat 20% IV (4-5 menit)
- 8 gr MS 40% IM, 4 gr bokong kanan, 4 gr bokong kiri

Maintenance dose: 4 gr magnesium sulfat 40% IM setiap 4 jam.


Magnesium sulgat maintenance juga dapat diberikan secara
intravenous. Syarat pemberian Magnesium Sulfat:

8
1. Harus tersedia antidotum Magnesium Sulfat, yaitu: Kalsium
Glukonas 10% diberikan IV secara perlahan
2. Refleks patella (+)
3. Frekuensi pernapasan >16 kali per menit
4. Produksi urin >100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5
cc/kgBB/jam)
6) Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastol >110 mmHg.
Dapat diberikan Nifedipine sublingual 10 mg. Setelah 1 jam, jika
tekanan darah masih tinggi dapat diberikan nifedipine ulangan 5-10
mg sublingual atau oral dengan interval 1 jam, 2 jam, atau 3 jam
sesuai kebutuhan.penanganan tekanan darah tidak boleh terlalu
agresif. Tekanan darah diastol jangan kurang dari 90 mmHg,
penurunan tekanan darah maksimal 30%.
7) Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada :
- Edema paru
- Gagal jantung kongestif
- Edema anasarka
8) N-Acetyl Cystein 3x600 mg
9) Jika pasien koma, diberikan perawatan koma di ICU

Pengobatan obsetrik preeklamsia berat

Penanganan konservatif bisa dilakukan pada keadaan:


- Tekanan darah terkontrol <160/110 mmHg
- Oligouri respon dengan pemberian cairan
- Tidak dijumpai nyeri epigastrik
- Usia kehamilan <34 minggu
- Kalau penyakit penyakit berkembang menjadi sindrom HELLP
murni cenderung dilakukan tindangan penanganan aktif
- Jika serviks sudah matang dan tidak ada kontra indikasi obsetrik,
dilakukan induksi persalinan dengan oksitosin drips dan amniotomi.
Kala II dipercepat dengan EV / EF

9
Seksio Caesarea dilakukan pada:

- Skor pelvik dibawah 5


- Dengan drips oksitosin, setelah 12 jam belum ada tanda-tanda janin
akan lahir pervaginam
- Indikasi obsetrik
- Bayi ditangani oleh subbagian perinatologi dan jika perlu dirawat di
Neonatal Intesive Care Unit
f. Eklamsia
Obat pilihan utama untuk mencegah terjadinya eklamsia adalah
magnesium sulfat.6
Pengobatan medis dalam tatalaksana eklamsia adalah sebagai berikut:
1. MgSO4:
- Cara pemberian sama dengan pasien preeklamsia berat
- Bila kejang berulang diberikan MgSO4 20% 2 gr IV, diberikan
sekurang-kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Bila
setelah diberikan dosis tambahan masih tetap kejang dapat
diberikan amobarbital 3-5 mg/kgBB IV perlahan-lahan.3
2. Resusitasi.6 Infus Ringer Laktat atau Ringer Asetat. Jumlah cairan
dalam 24 jam sekitar 2000 ml, berpedoman pada diuresis, insisible
water loss dan CVP.3
3. Perawatan pada serangan kejang:3
- Dirawat di kamar isolasi yang cukup tenang
- Masukkan tong spatel ke dalam mulut penderita
- Kepala direndahkan, lendir disuction dari daerah oropharynx
- Fiksasi badan pada tempat tidur guna menghindari fraktur
- Pemberian oksigen
- Dipasang kateter menetap(foley kateter)
4. Perawatan pada penderita koma:3
- Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai “Glasgow-
Pittsburg Coma Scale”

10
- Perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan
penderita
- Pada koma yang lama (>24 jam), makanan diberikan melalui
NGT (Naso Gastric Tube)
- Diuretikum dan anti hipertensi sama seperti pada pre eklamsia
berat
- Kardiotonikum jika ada indikasi
- Tidak ada respon terhadap penanganan konservatif
pertimbangkan seksio caesarea.

Pengobatan obsetrik:3

1. Semua kehamilan dengan eklamsia harus diakhiri tanpa


memandang umur kehamilan
2. Terminasi kehamilan:
Sikap dasar: bila sudah stabilisasi (pemulihan) hemodinamika dan
metabolisme ibu, yaitu 4-8 jam setelah dalah satu atau lebih dari
keadaan:
- Setelah pemberian obat anti kejang terakhir
- Setelah kejang terakhir
- Setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir
- Penderita mulai sadar (responsif dan orientasi)
3. Bila anak hidup, SC dapat dipertimbangkan
2. Penyakit Diabetes Mellitus dalam Kehamilan (Diabetes Mellitus
Gestasional)
Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik dengan penyebab
yang beragam, ditandai adanya hiperglikemi kronis serta perubahan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein akibat defek sekresi atau kerja
insulin, atau keduanya.4
Terdapat 4 macam klasifikasi diabetes yaitu:4
1. Diabetes tipe 1 (disebabkan oleh destruksi sel yang akan menyebabkan
defisiensi absolut insulin)

11
2. Diabetes tipe 2 (disebabkan oleh defek sekresi insulin yang progresif
karena adanya insulin yang resisten)
3. Tipe spesifik diabetes lainnya (disebabkan oleh faktor genetik, pakean
eksokrin pankreas, atau obat-obatan)
4. Diabetes Mellitus Gestasional (DMG)
Diabetes merupakan komplikasi medis yang sering terjadi pada
kehamilan. Ada dua macam perempuan hamil dengan diabetes:7
1. Perempuan hamil dengan diabetes yang sudah diketahui sejak sebelum
perempuan tersebut hamil (pregestasional).
2. Perempuan hamil dengan diabetes yang baru diketahui setelah
perempuan tersebut hamil (diabetes mellitus gestasional).
a. Definisi dan Komplikasi
Diabetes mellitus gestasional (DMG) adalah intoleransi glukosa
yang dimulai atau baru ditemukan pada waktu hamil. Tidak dapat
dikesampingkan kemungkinan adanya intoleransi glukosa yang tidak
diketahui yang muncul seiring kehamilan. Setelah ibu melahirkan,
keadaan DMG sering akan kembali ke regulasi glukosa normal.4
Komplikasi yang mungkin akan terjadi pada kehamilan dengan
diabetes sangat bervariasi. Pada ibu akan meningkatkan risiko
terjadinya preeklamsia, seksio caesarea, dan terjadinya diabetes
mellitus tipe 2 di kemudian hari, sedangkan pada janin akan
meningkatkan risiko terjadinya makrosomia,trauma persalinan,
hiperbilirubinemia, hipoglikemi, hipokalsemia, polisitemia,
hiperbilirubinemia neonatal, sindroma distress respirasi (RDS), serta
meningkatnya mortalitas atau kematian janin. 4
b. Insidensi
Prevalensi global diabetes mellitus diperkirakan akan mencapai
380 juta pada tahun 2025. Pada tahun 2002 di Amerika terdapat lebih
dari 131.000 perempuan hamil yang menderita komplikasi diabtes
mellitus. Jumlah ini merupakan 3,3% dari seluruh kelahiran hidup dan
lebih dari 90%-nya menderita diabetes mellitus gestasional.

12
Meningkatnya prevalensi diabetes tipe 2, khususnya pada penduduk
yang lebih muda, menyebabkan kehamilan dengan diabetes meningkat
pula.4
c. Patofisiologi
Sebagian kehamilan ditandai dengan adanya resistensi insulin dan
hiperinsulinemia, yang pada beberapa perempuan akan menjadi faktor
predisposisi untuk terjadinya DM selama kehamilan. Resistensi ini
berasal dari hormon diabetogenik hasil sekresi plasenta yang terdiri
atas hormon pertumbuhan (growth hormon), corticotropin releasing
hormon, placental lactogen, dan progesteron. Hormon ini dan
perubahan endokrinologik dan metabolik akan menyebabkan
perubahan dan menjamin pasokan bahan bakar dan nutrisi ke janin
sepanjang waktu. Akan terjadi diabetes mellitus gestasional apabila
fungsi pankreas tidak cukup untuk mengatasi keadaan resistensi insulin
yang diakibatkan oleh perubahan hormon diabetogenik selama
kehamilan. 4
Kadar glukosa yang meningkat pada ibu hamil sering
menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap bayi yang
dikandungnya. Bayi yang lahir dari ibu dengan DM biasanya lebih
besar, dan bisa terjadi juga pembesaran dari organ-organnya (hepar,
kelenjar adrenal, jantung). Segera setelah lahir, bayi dapat mengalami
hipoglikemi karena produksi insulin janin yang meningkat, sebagai
reaksi terhadap kadar glukosa ibu yang tinggi. Oleh karena itu, setelah
bayi dilahirkan, kadar glukosanya dipantau dengan ketat. 4
Ibu hamil penderita diabetes mellitus yang tidak terkontrol dengan
baik akanmeningkatkan risiko terjadinya keguguran atau bayi lahir
mati. Bila diagnosis diabetes mellitus sudah dapat ditegakkan sebelum
kehamilan, tetapi tidak terkontrol dengan baik, maka janin berisiko
mempunyai kelainan kongenital. 4

13
d. Diagnosis dan Skrining Diabetes Mellitus Gestasional
Skrining awal diabetes mellitus gestasional adalah dengan cara
melakukan pemeriksaan beban 50 g glukosa pada kehamilan 24-28
minggu. Untuk tes ini pasien tidak perlu puasa. 4
Kadar glukosa serum atau plasma yang normal harus kurang dari
130 mg per dl (7,2 mmol l). Dengan memakai nilai 130 mmol per dl
atau lebih akan meningkatkan sensitivitas tes sekitar 80-90%, tetapi
menurunkan spesifitasnya dibanding bila dipakai nilai 140 mg per dl
atau lebih. 4
Apabila yang dipakai hany nilai 130 mg per dl,hal ini akan
meningkatkan terdeteksinya kasus diabetes mellitus gestasional yang
berarti akan meningkatkan hasil positif palsu. Oleh karena itu, untuk
mendeteksi adanya diabetes mellitus gestasional sebaiknya tidak
dipakai hanya satu nilai, tetapi keduanya yaitu 130 mg per dl dan 140
mg per dl. 4
Hasil tes satu jam yang abnormal harus dilanjutkan dengan
pemeriksaan beban 100 g glukosa. Selama 3 hari pasien disuruh diet
yang tidak ketat, kemudian dilakukan pemeriksaan gula darah puasa
yang diambil dari pembuluh darah vena, serta setelah 1,2 dan 3 jam
pemberian 100 g glukosa. Selama periode pemeriksaan pasien harus
tetap duduk dan tidak boleh merokok. 4
Untuk kriteria diagnostik sering dipakai kriteria dari the National
Diabetes Data Group (NDDG), tetapi beberapa memakai kriteria dari
Carpenter dan Coustan. Diagnosis Diabetes Mellitus Gestasional
ditegakkan apabila didapatkan dua atau lebih nilai yang abnormal. 4

14
Kriteria hasil abnormal setelah pemberian 100 gram glukosa
Three Hour Oral Glucose Tolerance Test (OGTT) pada perempuan
hamil4
National Diabetes Data
Darah Carpenter dan Coustan
Group
105 mg per dl (5,8 95 mg per dl (5,3 mmol
Puasa
mmol per l) per l)
190 mg per dl (10,5 180 mg per dl (10,0
1-jam
mmol per l) mmol per l)
165 mg per dl (9,2 155 mg per dl (8,6
2-jam
mmol per l) mmol per l)
145 mg per dl (8,0 140 mg per dl (7,8
3-jam
mmol per l) mmol per l)

Diagnosis yang praktis ialah menggunakan beban 75 g glukosa dan


apabila ditemukan nilai >140 mg/dl dianggap DMG dan nilai >200
mg/dl merupakan DM yang jelas (berat). 4
e. Implikasi Antepartum
Morbiditas antepartum pada perempuandengan Diabetes Mellitus
Gestasional (DMG), adalah kemungkinan terjadinya peningkatan
gangguan hipertensi. Oleh karena itu perlu pemantauan tekanan darah,
kenaikan berat badan, dan eksresi proteinuria, khususnya pada paruh
kedua kehamilan secara baik. Kriteria diagnostik standar dan
penatalaksanaan gangguan hipertensi dapat diterapkan pada perempuan
dengan DMG. 4
Risiko klinik antepartum yang paling dominan dari DMG adalah
terhadap janinnya. Risiko terjandinya kelainan kongenital pada janin
akan meningkat, terutama pada bayi yang ibunya mengalami
hiperglikemi berat (misalnya konsentrasi darah puasa segera berada di
atas 120mg/dl [6,7 mmol/l]). Dalam keadaan seperti ini sebaiknya
dilakukan konseling dan pemeriksaan USG yang terarah untuk
mendeteksi kelainan janin. 4

15
Kematian janin intrauterin merupakan salah satu komplikasi yang
bisa terjadi pada kehamilan dengan diabetes, termasuk pula perempuan
diabetes mellitus gestasional yang tidak dikelola dengan baik. Pasien
semacam ini hendaknya dirujuk ke pusat pelayananan kesehatan yang
lebih baik agar dapat dilakukan pemantauan gerakan janin dan
pemeriksaan kardiotokografi. 4
Makrosomia (bayi dengan berat lebih dari 4000 gram) merupakan
morbiditas yang paling sering dijumpai dan merupakan masalah serius
karena bisa menyebabkan kesulitan dan trauma persalinan.
Makrosomia diduga disebabkan oleh adanya glukosa janin yang
berlebihan akibat hiperglikemia pada ibu, selain faktor lainnya seperti
ibu yang gemuk (obesitas), ras dan etnis.
Perempuan hamil dengan diabetes dan obes atau dengan kenaikan
berat badan waktu hamil berlebihan, merupakan faktor risiko utama
terjadinya preeklamsia, seksio sesarea, kelahiran prematur,
makrosomia janin dan kematian janin. 4
f. Pengelolaan
Manajemen diabetes pada kehamilan seharusnya
diimplementasikan sebagai pendekatan terintegrasi oleh seorang
spesialis di penyakit dalam, kebidanan, ginekologi, dan ahli gizi dokter
anak. Tujuan manajemen adalah untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas ibu dan perinatal.7
Penanganan yang paling umum dan sering digunakan secara klinis
adalah pemeriksaan konsentrasi gula darah ibu agar konsetrasi gula
darah dapat dipertahankan seperti kehamilan normal. Pada perempuan
dengan DMG harus dilakukan pengamatan gula darah perprandial dan
postprandial. Fourth International Workshop Conference on
Gestasional Diabetes Mellitus menganjurkan untuk mempertahankan
konsentrasi gula darah kurang dari 95 mg/dl (5,3 mmol/l) sebelum
makan dan kurang dari 140 dan 120 mg/dl (7,8 dan 6,7 mmol/l),satu
atau dua jam setelah makan. 4

16
Pendekatan dengan pengaturan pola makan bertujuan menurunkan
konsetrasi glukosa serum maternal, dengan cara membatasi asupan
karbohidrat hingga 40%-50% dari keseluruhan kalori, protein 20%,
lemak 30-40% (saturated kurang dari 10%), makan tinggi serat.
Kenaikan berat badan selama kehamilan (weight gain) diusahakan
hanya sekitar 11-12,5 kg saja. Program pengaturan gizi dan makanan
yang dianjurkan oleh Ikatan Diabetes Amerika (American Daibetes
Association) adalah pemberian gizi dan kalori yang adekuat untuk
memenuhi kebutuhan kehamilan dan mengurangi hiperglikemi ibu.
Kalori harian yang dibutuhkan bagi perempuan dengan berat badan
normal pada paruh kedua kehamilan adalah 30 kcal per kg berat badan
normal. 4
Bila indeks massa tubuh (body masss index) lebih dari 30 kg per
m2, maka dianjurkan asupan rendah kalori sampai 30-33% (sekitar 25
kcal per kg). Diet ini akan mencegah terjadinya ketonemia. Olah raga
yang teratur akan meperbaiki kontrol kadar gula darah pada perempuan
hamil dengan diabetes mellitus gestasional walaupun pengaruhnya
terhadap hasil perinatal masih belum jelas. 4
g. Pemberian Insulin
Perempuan yang memiliki gejala morbiditas janin (berdasarkan
pemeriksaan glukosa atau adanya janin yang besar) atau perempuan
yang mempunyai konsetrasi gula darah yang tinggi harus dirawat lebih
saksama dan biasanya diberi insulin. Terapi insulin dapat menurunkan
kejadian makrosomia janin dan morbiditas perinatal.4
Dosis insulin yang diberikan sangat individual. Pemberian insulin
ditujukan untuk mencapai konsentasi gula darah pasca prandial kurang
dari 140 mg/dl sampai mencapai kadar glikemi dibawah rata-rata dan
hasil perinatal yang lebih baik, ketimbang dilakukannya upaya
mempertahankan konsentasi gula darah praprandial kurang dari 105
mg/dl, tetapi keadaan janin tidak diperhatikan. 4

17
Kejadian makrosomia dapat diturunkan dengan cara pemberian
insulin untuk mencapai konsentrasi gula darah praprandial kurang
lebih 80 mg/dl (4,4 mmol/l). Oleh karena itu, dalam merancang
penalaksanaan pemberian insulin harus dipertimbangkan ketepatan
waktu pengukuran gula darah, konsentasi target glukosa dan
karakteristik pertumbuhan janin. Sebagai alternatif pemberian obat
antidiabetik seperti metformin dan sulfonylurea dapat dipakai untuk
mengendalikan gula darah. 4
h. Penatalaksanaan Antepartum
Penatalaksanaan antepartum pada perempuan dengan DMG
bertujuan untuk: 4
1. Melakukan penatalaksanaan kehamilan trimester ketiga dalam
upaya mencegah bayi lahir mati atau asfiksia, serta menekan
sekecil mungkin kejadian morbiditas ibu dan janin akibat
persalinan
2. Memantau pertumbuhan janin secara berkala dan terus-menerus
(misalnya dengan USG) untuk mengetahui perkembangan dan
pertumbuhan ukuran janin sehingga dapat ditentukan dan cara
persalinan yang tepat
3. Memperkirakan maturitas atau kematangan paru-paru janin
(misalnya dengan amniosintesis) apabila ada rencana terminasi
(seksio sesarea) pada kehamilan 39 minggu)
4. Pemeriksaan antenatal dianjurkan dilakukan sejak umur kehamilan
32 sampai 40 minggu. Pemeriksaan antenatal dilakukan terhadap
ibu hamil yang kadar gula darahnya tidak terkontrol, yang
mendapat pengobatan insulin, atau menderita hipertensi.
Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan nonstress test, profil
biofisik, atau modifikasi pemeriksaan profil biofisik seperti
nonstress test dan indeks cairan amnion.

18
i. Cara dan Waktu Persalinan
Perempuan hamil dengan diabetes mellitus gestasional bukan
merupakan indikasi seksio sesarea. Penanganan persalinan tetap harus
berdasar kepada indikasi ibu dan janin, sama halnya dengan
pengelolaan ibu hamil tanpa diabetes. 4
Pada perempuan hamil diabetes gestasional dengan bayi
makrosomia, komplikasi utama yang mungkin terjadi pada persalinan
adalah trauma kelahiran seperti distosia bahu, fraktur tulang dan injuri
pleksus brakialis. Bayi yang dilahirkan juga berisiko mengalami
hipoglikemi dan kelainan metabolik lainnya. 4
Pemgambilan keputusan untuk melakukan persalinan lebih awal
(pada kehamilan 38 minggu) dengan cara induksi persalinan atau
seksio sesarea dilakukan atas pertimbangan risiko terjadinya kematian
perinatal atau morbiditas perinatal yang berhubungan dengan
makrosomia, distosia bahu, gawat janin dan terjadinya sindroma
distress repspirasi. Penatalaksanaan perempuan hamil dengan DMG
pada kehamilan 38 minggu dengan cara induksi persalinan yang
mendapat pengobatan insulin, dihubungkan dengan upaya menurunkan
berat badan janin diatas 4000 gram atau diatas persentil 90. Pada
perempuan hamil dengan DMG yang mendapat pengelolaan insulin,
tidak ada manfaatnya menunda persalinan sampai melampaui umur
kehamilan 38-39 minggu karena persalinan yang dilakukan pada
kehamilan 38-39 minggu, bisa menurunkan kemungkinan terjadinya
makrosomia. 4
Bila berat badan janin diduga lebih dari 4500 gram, persalinan
dianjurkan dengan cara seksio sesarea. 4
3. Penyakit Tiroid Pada Kehamilan
Pada janin iodin disuplai melalui plasenta. Saat awal gestasi, janin
bergantung sepenuhnya pada hormon tiroid (tiroksin) ibu yang melewati
plasenta karena fungsi tiroid janin belum berfungsi sebelum 12-14 minggu
kehamilan. Tiroksin dari ibu terikat pada reseptor sel-sel otak janin,

19
kemudian diubah secara intraseluler menjadi fT3 yang merupakan proses
penting bagi perkembangan otak janin bahkan setelah produksi hormon
tiroid janin, janin masih bergantung pada hormon-hormon tiroid ibu,
asalkan asupan iodin ibu adekuat.8
Empat perubahan penting selama kehamilan:8
1. Waktu paruh tiroksin yang terikat globulin bertambah dari 15 menit
menjadi 3 hari dan konsentrasinya menjadi 3 kali lipat saat usia gestasi
20 minggu akibat glikosilasi estrogen.
2. Hormon hCG dan TSH memiliki reseptor dan subunit alpha yang sama.
Pada trimester pertama, sindrom kelebihan hormon bisa muncul, hCG
menstimulasi reseptor TSH dan memberi gambaran biomekanik
hipertiroid. Hal ini sering terjadi pada kehamilan multipel, penyakit
trofoblastik dan hiperemesis gravidarum, dimana konsentrasi hCG total
dan subtipe tirotropik meningkat.
3. Peningkatan laju filtrasi glomerulus dan peningkatan uptake iodin ke
dalam kelenjar tiroid yang dikendalikan oleh peningkatan konsentrasi
tiroksin total dapat menyebabkan atau memperburuk keadaan defi
siensi iodin.
4. Tiga hormon deiodinase mengontrol metabolisme T4 menjadi fT3 yang
lebih aktif dan pemecahannya menjadi komponen inaktif. Konsentrasi
deiodinase III meningkat di plasenta dengan adanya kehamilan,
melepaskan iodin jika perlu untuk transpor ke janin, dan jika mungkin
berperan dalam penurunan transfer tiroksin.
a. Hipotiroid dan Efeknya pada Kehamilan
Hormon-hormon tiroid berperan penting dalam perkembangan
saraf selama awal kehamilan. Wanita hamil dan menyusui memerlukan
iodin tambahan. Beberapa makanan segar mengandung iodin. Dosis
yang dianjurkan adalah 250 mikrogram per hari. Defisiensi iodin berat,
jika tidak diobati dengan baik, merupakan penyebab kerusakan
neurologis di seluruh dunia. Sejak tahun 1994, WHO dan UNICEF
telah merekomendasikan Iodisasi Garam Universal sebagai strategi

20
yang aman, murah, dan efektif untuk memastikan cakupan iodin yang
diperlukan bagi semua individu. Hipotiroid, baik bermakna maupun
subklinis (kadar TSH melebihi batas atas dengan kadar fT4 yang
normal), memiliki efek selama kehamilan dan juga pada
perkembangan janin. Perbedaan sedikit saja pada konsentrasi hormon
tiroid selama kehamilan dapat menyebabkan perubahan signifi kan
kecerdasan anak. Kadar hormon tiroid yang rendah selama kehamilan
dapat menyebabkan keterlambatan fungsi kognitif verbal dan
nonverbal pada masa awal kanak-kanak, defek psikomotorik, dan
bahkan retardasi mental.8
Hipotiroid yang tidak terdiagnosis hingga trimester pertama,
berisiko tinggi penurunan fungsi intelektual dan kognitif bagi anak.
Hipotiroid berat pada ibu berhubungan dengan kerusakan
perkembangan intelektual anak diduga akibat suplai transplasenta yang
tidak adekuat selama kehamilan. Hipotiroksinemia pada ibu terbukti
dapat meningkatkan risiko keterlambatan fungsi kognitif verbal dan
nonverbal pada saat usia awal anak-anak. Kadar TSH ibu pada awal
kehamilan tidak berhubungan dengan efek keterlambatan fungsi
kognitif pada anak walaupun merupakan indikator kurangnya fungsi
tiroid ibu selama kehamilan.8
Selain itu, terdapat hubungan antara hipotiroid dengan
penurunan fertilitas. Wanita hamil yang hipotiroid memiliki risiko
lebih tinggi mengalami komplikasi obstetrik seperti abortus, lahir mati,
anemia, hipertensi dalam kehamilan, solusio plasenta, perdarahan post
partum, dan hipertensi dalam kehamilan. Penelitian menunjukkan
bahwa preeklamsia pada nulipara berhubungan dengan risiko
hipotiroid subklinis pada kehamilan dan juga wanita dengan
preeklamisa memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan fungsi
hipotiroid beberapa tahun setelah preeklamsia. Walaupun risiko
hipotiroid subklinis belum pasti, terapi pengganti dalam kondisi
tersebut tetap dianjurkan.8

21
Pengobatan
Levotiroksin adalah terapi pilihan jika status nutrisi iodin tidak
adekuat. Wanita hamil hipotiroid memerlukan dosis tiroksin lebih
besar, dan wanita yang sudah menerima terapi tiroksin sebelum hamil
memerlukan peningkatan dosis harian, biasanya 30-50% di atas dosis
sebelum konsepsi. Pengobatan sebaiknya dimulai dengan dosis 100-150
mikrogram per hari atau 1,7-2,0 mikrogram per kg berat badan saat
tidak hamil, dengan peningkatan dosis hingga 2,0-2,4 mikrogram per kg
berat badan saat hamil. Kadar serum fT4 dan TSH sebaiknya diukur 1
bulan setelah mulai terapi. Tujuan terapi adalah mencapai dan
mempertahankan kadar fT4 dan TSH normal selama kehamilan.8
b. Hipertiroid dan Efeknya pada Kehamilan
Prevalensi hipertiroid di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 1%.
Penyebab tersering adalah penyakit Grave, yang 5-10 kali lebih sering
dialami wanita dengan puncaknya pada usia reproduktif. Prevalensi
hipertiroid dalam kehamilan 0,1-0,4%, 85% dalam bentuk penyakit
Grave. Sama halnya seperti penyakit dapat berfl uktuasi saat trimester
pertama dan membaik perlahan setelahnya; dapat mengalami
eksaserbasi tidak lama setelah melahirkan. Walaupun jarang,
persalinan, seksio sesarea, dan infeksi dapat memicu hipertiroid atau
bahkan badai tiroid (thyroid storm).8
Kehamilan, begitu juga hipertiroid adalah kondisi peningkatan laju
metabolisme. Fakta ini menyulitkan mengenali tanda dan gejala tipikal
tirotoksikosis yang biasanya mudah dikenali pada pasien tidak hamil.
Misalnya, gejala seperti amenorea, lemas, labilitas emosi, intoleransi
terhadap panas, mual dan muntah dapat terlihat baik pada pasien hamil
dan juga hipertiroid. Begitu juga tanda-tanda seperti kulit terasa
hangat, takikardia, peningkatan tekanan darah, dan bahkan struma
kecil tidak bersifat pasti. Namun, ada menifestasi yang harus lebih
diperhatikan seperti kenaikan berat badan yang rendah selama hamil
dengan nafsu makan baik, adanya tremor, dan manuver Valsava tanpa

22
akselerasi laju jantung. Mengingat kebanyakan kasus disebabkan oleh
penyakit Grave, dicari tanda-tanda oftalmopati Grave (tatapan melotot,
kelopak tertinggal saat menutup mata, eksoftalmos) dan bengkak
tungkai bawah (pretibial myxedema). Rendahnya spesifi sitas tanda
dan gejala membuat tes laboratorium merupakan alat diagnosis yang
paling baik untuk penyakit tiroid pada ibu hamil.8
Mual dan muntah setelah kehamilan 20 minggu jarang ditemukan.
Kondisi muntah harus dibedakan dari kondisi lain yang juga dapat
menyebabkan muntah persisten, seperti hiperemesis gravidarum,
gangguan gastrointestinal (appendisitis, hepatitis, pankreatitis, dan
gangguan saluran empedu), pielonephritis, dan gangguan metabolik
lain.8
Terapi
Tirotoksikosis yang terjadi selama kehamilan hampir selalu
dapat dikotrol dengan obat-obatan jenis thiomide. Pada ibu hamil, PTU
masih merupakan obat pilihan utama yang direkomendasikan oleh
banyak penulis dan pedoman, dianggap lebih baik karena lebih sedikit
melewati plasenta dibandingkan methimazole. Tetapi telah terbukti
efektivitas kedua obat dan waktu rata-rata yang diperlukan untuk
normalisasi fungsi tiroid sebenarnya sama (sekitar 2 bulan), begitu juga
kemampuan melalui plasenta. Penggunaan methimazole pada ibu
hamil berhubungan dengan sindrom teratogenik ‘embriopati
metimazole’ yang ditandai dengan atresi esofagus atau koanal; anomali
janin yang membutuhkan pembedahan mayor lebih sering berkaitan
dengan penggunaan methimazole, sebaliknya tidak ada data hubungan
antara anomali kongenital dengan penggunaan PTU selama kehamilan.
Namun kadang methimazole tetap harus diberikan karena satu-satunya
pengobatan anti tiroid yang tersedia.8
Jika kondisi hipertiroid sudah berkurang, dosis obat anti tiroid
juga harus diturunkan untuk mencegah hipotiroid pada janin. Pada
trimester ketiga, hampir 30% ibu dapat menghentikan pengobatan anti

23
tiroid dan mempertahankan status eutiroid. Bagi ibu menyusui, kedua
jenis obat anti tiroid dinilai aman karena konsentrasinya rendah di
dalam air susu. Bayi yang menyusui ibu pengkonsumsi obat anti tiroid
memiliki perkembangan dan fungsi intelektual yang normal.8
Obat-obat golongan beta bloker untuk mengurangi gejala akut
hipertiroid dinilai aman dan efektif pada usia gestasi lanjut, pernah
dilaporkan memberikan efek buruk bagi janin bila diberikan pada awal
atau pertengahan gestasi. Propanolol pada kehamilan akhir dapat
menyebabkan hipoglikemia pada neonatus, apnea, dan bradikardia
yang biasanya bersifat transien dan tidak lebih dari 48 jam. Propanolol
sebaiknya dibatasi sesingkat mungkin dan dalam dosis rendah (10-15
mg per hari).8
Tiroidektomi subtotal dapat dilakukan saat kehamilan dan
merupakan pengobatan lini kedua penyakit Grave. Tiroidektomi
sebaiknya dihindari pada kehamilan trimester pertama dan ketiga
karena efek teratogenik zat anestesi, peningkatan risiko janin mati pada
trimester pertama serta peningkatan risiko persalinan preterm pada
trimester ketiga. Paling optimal dilakukan pada akhir trimester kedua
meskipun tetap memiliki risiko persalinan preterm sebesar 4,5%-5,5%.
Tindakan pembedahan harus didahului oleh pengobatan intensif
dengan golongan thionamide, iodida, dan beta bloker untuk
menurunkan kadar hormon tiroid agar mengurangi risiko thyroid storm
selama anestesi dan juga mengoptimalkan kondisi operasi dengan
penyusutan struma dan mengurangi perdarahan.8
Indikasi pembedahan adalah dibutuhkannya obat anti tiroid
dosis besar (PTU >450 mg atau methimazole >300 mg), timbul efek
samping serius penggunaan obat anti tiroid, struma yang menimbulkan
gejala disfagia atau obstruksi jalan napas, dan tidak dapat memenuhi
terapi medis (misalnya pada pasien gangguan jiwa).8

24
4. Penyakit Jantung dalam kehamilan
Penyakit jantung masih merupakan salah satu penyebab kesakitan
dan kematian yang tinggi pada kehamilan/persalinan. Gangguan jantung
menyulitkan sekitar 1-3% kehamilan.9 Angka kematian ibu pada wanita
dengan penyakit jantung setinggi 7%, dan tingkat morbiditas lebih tinggi
dari 30% selama kehamilan.9 Di Indonesia, angka kematian ibu akibat
penyakit jantung dalam kehamilan berkisar antara 1-2%.4
Penyakit jantung rematik merupakan jenis penyakit jantung
terbanyak, dan lebih dari 90% biasanya dengan kelainan katup mitral
(stenosis katup mitral), kelainan jantung kongenital dan penyakit otot
jantung. Pasien dengan penyakit jantung biasanya dibagi dalam 4
golongan. Klasifikasi fungsional yang diajukan oleh New York Heart
Association adalah:4
1. Kelas I : aktifitas tidak terganggu (tidak usah membatasi kegiatan
fisik)
2. Kelas II : aktifitas fisik terbatas, namun tak ada gejala saat istirahat
(bila melakukan aktifitas fisik maka terasa lelah, jantung
berdebar-debar, sesak napas atau terjadi angina perktoris)
3. Kelas III : aktifitas ringan sehari-hari terbatas (cepat lelah, sesak
napas)
4. Kelas IV : Waktu istirahat sudah menimbulkan keluhan
(memperlihatkan gejala-gejala dekompensasi walaupun
dalam istirahat)

Penyakit jantung yang berat dapat menyebabkan partus prematurus atau


kematian intrauterin karena oksigenasi janin terganggu. Dengan
kehamilan, pekerjaan jantung menjadi sangat berat sehingga kelas I dan II
dalam kehamilan dapat masuk ke dalam kelas III atau IV.4

Etiologi kelainan jantung dapat primer maupun sekunder. Kelainan


primer akibat kelainan kongenital, katup, iskemik dan kardiomiopati.

25
Sedangkan sekunder akibat penyakit lain seperti hipertensi dan anemia
berat.4

a. Evaluasi pasien dengan penyakit jantung


1) Anamnesis
Pada pasien dengan penyakit jantung yang telah
terdiagnosis sebelum kehamilannya, anamnesis berupa usia saat
pertama kali diagnosis ditegakkan, gejala-gejala sebelumnya dan
komplikasi yang ada, prosedur diagnostik sebelumnya termasuk
kateterisasi jantung, exercise test (treadmill) atau ekokardiografi,
riwayatpengobatan sebelumnya, riwayat operasi, derajat
kesembuhan, gejala sisa, obat-obat yang dipakai, diet, pembatasan-
pembatasan aktifitas, serta sedapat mungkin didapatkan cacatan
medis mengenai perawatan rumah sakit, prosedur diagnostik dan
pengobatan sebelumnya.4
Pada pasien tanpa riwayat penyakit jantung sebelumnya,
harus ditanyakan riwayat demam rematik, atau penyakit-penyakit
lainnya yang berhubungan dengan penyakit jantung, seperti demam
scarlet, sistemik lupus eritematous, penyakit paru-paru, penyakit
ginjal, difteri atau pneumonia, riwayat perawatan di Rumah Sakit
dan riwayat operasi besar sebelumnya.4
Perlu juga ditanyakan mengenai tanda-tanda dan gejala
penyakit jantung seperti sianosis pada waktu lahir atau waktu
aktifitas “squatting” pada masa kanak-kanak, infeksi saluran napas
berulang, gangguan irama jantung, dispnu pada saat istirahat atau
aktifitas, batuk lama, hemoptisis, asma, nyeri dada, riwayat
keluarga dengan penyakit jantung, dan kelainan-kelainan
kongenital.4
2) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu dievaluasi mengenai Berat
Badan dan Tinggi Badan, kelainan pada wajah, jari-jari dan tubuh

26
yang menunjukkan kelainan kongenital dan perubahan-perubahan
pada kulit, seperti sianosis, pucat, angioma, xantelasma dan
xanthoma. Tekanan darah harus diukur secara hati-hati dengan cuff
yang sesuai, kalau perlu pada kedua lengan dan pada beberapa
posisi. Arteri radialis harus dinilai secara cermat, pada Insufisiensi
aorta dapat dijumpai denyut yang kollaps (collapsing pulse),
denyut yang lemah pada cardiac output yang rendah, pulsus
alternans, atau pulsus paradoksus.4
Inspeksi pada kepala dan wajah untuk mencari adanya
tanda-tanda kelainan kongenital, pengukuran JVP dan penilaian
denyut karotid dan kelenjar tiroid. Inspeksi dan palpasi pada dada
untuk mencari adanya kelainan bentuk dinding thoraks seperti
pectus axcavatum, precordial bulging, denyut apeks kordis, thirill.
Pada auskultasi dinilai bunyi jantung I, II, III, IV, murmur jantung,
opening snap, dan gallop.4
3) Pemeriksaan Penunjang:4
a. Laboratorium rutin, seperti darah rutin dan kimia darah
b. EKG, bila perlu dapat dilakukan monitor 24 jam
c. Phonokardiogram, untuk menilai bunyi jantung dan murmur
d. Ekokardiografi
e. Lain-lain, seperti kultur tenggorok (throat culture), C-reactive
protein, ASTO, kultur darah
b. Diagnosis
Diagnosis biasanya dapat ditegakkan bila ditemukan adanya satu
diantara gejala-gejala berikut:4
1. Bising diastolik, presistolik, atau bising jantung terus-menerus
2. Bising jantung yang nyaring, terutama bila disertai thrill
3. Pembesaran jantung yang jelas pada gambaran foto thoraks
4. Aritmia yang berat

27
Kadang-kadang penyakit jantung dalam kehamilan baru diketahui
jika sudah terjadi dekompensasio seperti adanya sesak napas,sianosis,
edema atau ascites.4
c. Penanganan
Pada penderita penyakit jantung diusahakan untuk membatasi
penambahan berat badan yang berlebihan, anemia secepat mungkin
diatasi, infeksi saluran pernapasan atas dan preeklasia sebisa mungkin
dicegah karena dapat memperberat kerja jantung.4
Saat-saat berbahaya adalah pada kehamilan 28-32 minggu karena
merupakan puncak hemodilusi, partus kala II karena venous return
yang meningkat saat mengedan, dan masa post partum sebagai akibat
kembalinya cairan tubuh ke dalam sistem sirkulasi sehingga beban
jantung bertambah berat.4
Penanganan ibu hamil dengan penyakit jantung membutuhkan
kerjasama tim yang kompak dan terpadu dari berbagai disiplin ilmu
seperti obsetri ginekologi, kardiologi, ilmu penyakit dalam dan
anastesi.4

1) Kelas I dan II
Umumnya penderita dapat meneruskan kehamilan sampai
cukup bulan dan melahirkan pervaginam. Namun tetap harus
diwaspai terjadinya gagal jantung pada kehamilan, persalinan dan
nifas. Faktor pencetus utama terjadinya gagal jantung adalah
endokarditis, oleh karena itu semua wanita hamil dengan penyakit
jantung harus sedapat mungkin dicegah terjadinya infeksi, terutama
infeksi saluran pernapasan atas.4
Dalam penanganan penyakit jantung selama kehamilan
terdapat 4 hal yang perlu diperhatikan, yaitu:4
1. Cukup istirahat (10 jam istirahat malam, 30 menit setiap kali
setelah makan) dan hanya pekerjaan ringan yang diizinkan

28
2. Harus dilakukan pencegahan terhadap kontak dengan orang-
orang yang dapat menularkan infeksi saluran napas atas,
merokok, penggunaan obat-obat yang memberatkan penyakit
jantung.
3. Tanda-tanda dini dekompensasio harus cepat diketahui, seperti
adanya batuk, ronki basal, dispnoe, dan hemoptoe.
4. Sebaiknya pasien masuk rumah sakit 2 minggu sebelum
persalinan untuk istirahat.

Persalinan biasanya pervaginam, kecuali ada indikasi


obsetri untuk sectio caesarea. Penggunaan teknik analgesia untuk
menghilangkan nyeri persalinan sangat dianjurkan, yang umum
dipakai adalah analgesia epidural. Apabila akan dilakukan sectio
caesarea, kebanyakan klinikus menggunakan analgesia epidural,
namun penggunaan harus hati-hati pada hipertensi pulmonal.
Anastesi umum dengan tiopental, suksinil kolin, N2O dan 30% O2
juga memberikan hasil yang memuaskan.4

Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan pada


persalinan pervaginam adalah:4

1. Ibu harus dalam posisi setengah duduk (kepala dan dada


ditinggikan) dan miring ke kiri
2. Pennolong persalinan harus memberikan pendekatan psikologis
supaya ibu tetap tenang dan merasa aman
3. Untuk mencegah timbulnya dekompensasio kordis sebaiknya
dibuat daftar pengawasan khusus untuk mencatat nadi dan
pernapasan secara berkala (tanda-tanda vital harus dimonitor
diantara tiap his dalam kala I setiap 15 menit dan dalam kala II
setiap 10 menit. Apabila terdapat peningkatan denyut nadi lebih
dari 115x/menit atau peningkatan respirasi lebih dari
28x/menit, merupakan tanda-tanda dini kegagalan ventrikel,

29
dan pasien perlu diberikan morfin, digitalis, oksigen dan
diuretik).
4. Bila dibutuhkan oksitosin, berikan dalam konsetrasi tinggi (20
IU/ltr) dengan tetesan rendah dan pengawasan keseimbangan
cairan.
5. Nyeri persalinan dapat diatasi dengan pemberian obat seperti
Tramadol 100 mg supositoria, pethidin 50 mg IM, atau
morphin 10-15 mg IM.
6. Persalinan kala II biasanya diakhiri dengan ekstraksi forseps
atau ekstraksi vakum dan sedapat mungkin ibu dilarang
mengedan.
7. Penanganan kala III dilakukan secara aktif, namun pemakaian
preparat ergometrin merupakan kontraindikasim karena
kontraksi uterus yang dihasilkan bersifat tonik dengan akibat
terjadi pengembalian darah ke dalam sirkulasi sistemik kurang
lebih 1 liter.
8. Setelah kala III selesai, harus dilakukan pengawasan yang ketat
untuk mengetahui kemungkinan terjadinya gagal jantung atau
edema paru, karena saat tersebut merupakan saat yang paling
kritis selama hamil, pemasangan gurita dengan kantong pasir di
dinding perut dapat dilakukan untuk mencegah perubahan
mendadak sirkulasi (kolaps post partum).

Dalam kondisi sehari-hari, apabila ditemukan pasien


dengan kegagalan jantung, maka penanganan awal harus mencakup
langkah-langkah awal resusitasi , termasuk diantaranya:4

a) Perhatikan airway, breathing dan circulation


b) Bagi ibu hamil, posisi yang dianjurkan adalah setengah duduk
miring ke kiri, untuk mencegah efek hipotensi akibat
penekanan vena cava inferior oleh uterus gravidarum
c) Pemberian morfin/pethidin, ß bloker atau diuretik

30
d) Digitalisasi
e) Antibiotik untuk profilaksis terhadap endokarditis
2) Kelas III dan IV
Bila seorang ibu hamil dengan kelainan jantung kelas III
dan IV ada dua kemungkinan penatalakasanaan yaitu terminasi
kehamilan atau meneruskan kehamilan dengan tirah baring total
dan pengawasan ketat, serta ibu dalam posisi setengah duduk.4
Kelas III sebaiknya tidak hamil. Jika hamil, sebaiknya
dirawat di Rumah Sakit selama kehamilan, persalinan dan nifas,
dibawah pengawasan ahli penyakit jantung dan kebidanan , atau
dapat dipertimbangkan untuk dilakukan abortus terapeutik.
Persalinan hendaknya pervaginam dan dianjurkan untuk sterilisasi.4
Kelas IV tidak boleh hamil. Jika hamil juga, pimpinan yang
terbaik adalah mungusahakan persalinan pervaginam.
3) Pengawasan Nifas
Pengawasan nifas sangat penting diperhatikan, mengingat
kegagalan jantung terjadi pada saat nifas, walaupun pada saat
kehamilan dan persalinan tidak terjadi kegagalan jantung.
Komplikasi-komplikasi nifas seperti perdarahan post partum,
anemia, infeksi, tromboemboli akan lebih berbahaya pada pasien-
pasien dengan penyakit jantung.4
Sebaiknya penderita penyakit jantung dirawat di Rumah
Sakit sekurang-kurangnya 14 hari setelah melahirkan dengan
istirahat dan mobilisasi tahap demi tahap serta diberi antibiotik
untuk mencegah endokarditis. Laktasi dibolehkan bagi wanita yang
sanggup secara fisik, namun bagi penderi penyakit jantung kelas III
dan IV tetap dilarang untuk menyusui. 4
d. Konseling Prakonsepsi, Asuhan Antenatal dan Kontrasepsi
Sebagian besar wanita hamil dengan penyakit jantung sudah
mengetahui tentang kelainan jantung yang dialaminya dan biasanya
sudah mendapat pengobatan atau bahkan telah menjalani operasi

31
jantung jauh sebelum kehamilannya. Oleh karena itu, konseling
prakonsepsi memegang peranan penting dalah manajemen penyakit
jantung dalam kehamilan. 4
Dalam konseling prakonsepsi, kepada calon ibu hamil dan
partnernya harus diberikan penjelasan yang menyeluruh tentang
kondisi penyakit jantung yang dialami dan risiko-risiko yang akan
terjadi dalam kehamilannya. 4
Kepada pasien jantung kelas I dan II yang menginginkan
kehamilan, harus dilakukan optimalisasi kondisi jantung, sehingga
kondisi jantung yang dapat terjadi dapat diminimalisasi. Sedangkan
bagi pasien dengan kelas III dan IV dianjurkan untuk tidak menikah,
atau jika menikah dianjurkan untuk menghindari kehamilan. Apabila
telah terjadi kehamilan, sangat dianjurkan untuk dilakukan terminasi
kehamilan, sebaiknya sebelum minggu ke 12 dimana risikonya masih
minimal. 4
Pada umumnya pasien juga menginginkan informasi tentang risiko
bagi janin yang dikandung, terutama apakah janinnya akan mengalami
penyakit jantung kongenital atau tidak. Pada ibu hamil dengan
penyakit jantung berat, hipoksia berat dan cardiac output yang rendah
sering menyebabkan insiden abortus spontan, lahir mati, bayi berat
lahir rendah, atau bayi dengan kelainan kongenital lain. 4
Pada asuhan antenatal, penting seklain diupayakan agar ibu
mendapat istirahat yang cukup, sekurang-kurangnya 8-10 jam, istirahat
baring sekurang-kurangnya ½ jam setiap kali setengah makan dengan
diet rendah garam, tinggi protein dan pembatasan masuknya cairan.
Kenaikan berat badan yang berlebihan juga harus diwaspadai, dan total
kenaikan berat badan sebaiknya tidak melebihi 12 kg. Untuk mencegah
peningkatan volume darah yang berlebihan dapat diberikan diuretik.
Aktifitas fisik harus dibatasi oleh karena pada wanita hamil dengan
penyakit jantung biasanya tidak dapat meningkatkan cardiac output
seperti pada orang normal sehingga jaringan akan mengambil lebih

32
banyak oksigen dari daerah arteri dengan akibat aliran darah
uteroplacenta akan berpindah ke organ-organ lain. 4
Status hemodinamik juga harus dipantau secara teratur dan
peningkatan tekanan darah seperti pada preeklamsi harus dihindari.
Pada setiap kunjungan harus ditentukan kelas fungsional pasien,
apabila terjadi dekompensasio kordis maka pasien digolonhkan dalam
satu eklas lebih tinggi. 4
Pemberian suplementasi besi dan asam folat secara dini dan teratur
dapat mencegah anemia yang memperberat kerja jantung. Juga harus
dilakukan pencegahan terhadap infeksi yang dapat mencetuskan
terjadinya gagal jantung. Pemeriksaan antenatal dilakukan 2 minggu
sekali dan setelah kehamilan 28 minggu dilakukan seminggu sekali. 4
Konseling tentang kontasepsi selama konseling prakonsepsi harus
mencakup keseluruhan informasi tentang metode kontrasepsi yang
tersedia serta efek samping yang dapat ditimbulkan. Secara umum
preparat hormonal kurang disukai, oleh karena risiko tromboemboli
yang dapat terjadi. Namun pemberian preparat progestin parenteral
masih dianjurkan. 4
e. Prognosis
Data di seluruh dunia tentang tingkat kematian bervariasi dari 0%
hingga 9% di penduduk kulit putih Amerika Serikat hingga 15% di
Afrika Amerika. Studi sistematis dari negara-negara Eropa tidak
tersedia sejauh ini. Memburuknya Fungsi LV dilaporkan hingga 50%
kasus meskipun dengan perawatan medis yang optimal. Kehamilan
berikutnya membawa risiko rekurensi untuk PPCM 30–50%. Ketika
EF tidak normal, kehamilan berikutnya harus dicegah. Bahkan jika EF
dinormalisasi, masih ada harus dilakukan konseling karena risiko
kekambuhan dengan kehamilan baru masih ada.10

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Katariya C, Suresh MPB. 2016. Systemic Diseases in Pregnant Woman-A


Survey. International Journal of Science and Research (IJSR). Volume 5
Issue 8, page 68-70
2. Manuaba IBG. 2007. Pengantar Kuliah Obsetri. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta
3. Hariadi R. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi Perdana.
Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obsetri dan Ginekologi
Indonesia: Surabaya
4. Prawirohardjo S. 2008. Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo: Jakarta
5. Eiland E, Nzerue C, and Faulkner M. 2012. Review Article Preeclamsia
2012. Hindawi Publishing Corporation. Journal of Pregnancy. Volume
2012. page 1-7
6. Lowe SA, dkk. 2009. Guidelines for the Management of Hypertensive
Disorder of Pregnancy 2008. Australian and New Zeland Journal of
Obsetrics and Gynaecology 2009;49: 242-246
7. Purnamasari D, dkk. 2013. Indonesian Clinical Practice Guidelines for
Diabetes in Pregnancy. Journal of the ASEAN Federation of Endocrine
Societies. Vol.28 No.1 May 2013. page 9-13
8. Garry D. 2013. Penyakit Tiroid pada Kehamilan. Tinjauan Pustaka. CKD-
206/vol.40 no.7,th.2013. hal. 500-503
9. Priya H, dkk. 2017. Maternal Outcome of Rheumatic Heart Disease in
Pregnancy. International Journal of Reproduction, Contraception,
Obstetrics and Gynecology. March 2017. Volume 6. Issue 3. Page 802-806
10. Zagrosek VR, dkk. 2011. ESC Guidelines on the management of
cardiovascular diseases during pregnancy. European Heart Journal (2011)
32, 3147-3197

34

Anda mungkin juga menyukai