Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PARASITOLOGi

Diphylobothrium sp., Simulium sp., Cardiocola sp

Disusun oleh :

R. Ahmad Sholahudin. F 230110160153


Eflysa Aprilia 230110160160
Annisa Aulia Rahma 230110160191
Hanifah Nurul Amran 230110160192
Fitri Nuraini 230110160204
Ridhlo Nur M Lintang 230110160207

Kelas :
Perikanan C/Kelompok 9

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang telah
memberikan banyak nikmat, taufik dan hidayah. Sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Diphylobothrium sp, Simulium sp dan
Cardicola sp. Makalah ini kami selesaikan berkat kerjasama dari rekan-rekan dan
berbagai pihak sehingga kami berterimakasih kepada yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini, mungkin penulis banyak kekurangan baik dari materi
maupun tata bahasa. Oleh karena itu, kritik yang membangun dapat disampaikan
untuk kesempurnaan makalah ini. Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat baik untuk penulis dan juga pembaca.

Jatinangor, Maret 2018


Penulis

i
DAFTAR ISI

BAB Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................ i

DAFTAR ISI ....................................................................... ii

I PENDAHULUAN ............................................................. 1

1.1. Latar Belakang .............................................................. 1

II ISI ....................................................................................... 2

2.1 Diphylobothrium sp. ...................................................... 2


2.2 Simulium sp. .................................................................. 6
2.3 Cardiocola sp ................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ......................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Penyakit yang disebabkan oleh parasit merupakan penyakit yang sering
menyerang ikan terutama pada usaha pembenihan. Parasit bisa menyerang lebih
dari satu inang yang dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan bahkan
kematian masal yang mengakibatkan penurunan produksi ikan. Berbagai organisme
yang menyebabkan parasit mulai dari arthropoda, Cestoda dan protozoa.

Diphylobothrium sp disebut juga cacing pita yang biasanya hidup berparasit


pada ikan, hewan carnivora pemakan ikan serta manusia. Cacing ini menginfeksi di
daerah daerah tertentu biasanya banyak ditemukan di daerah Amerika Selatan dan
Eropa Utara. Cacing ini penyebab penyakit diphylobothriasis dengan ukuran
panjang cacing dewasa bisa mencapai 3-10 m.

Simulium sp merupakan salah satu parasit yang menyerang ikan saat


simulium menjadi larva. Simulium ini dapat menularkan penyakit dari ikan yang
satu ke ikan yang lainnya sehingga ketika ikan yang terkena parasit tersebut akan
menular ke ikan yang lainnya melalui perantara simulium sp.

Cardicola sp. merupakan spesies parasit sejenis cacing isap yang ditemukan
pada insang ikan tuna. Penelitian dilakukan pada tuna sirip biru di Australia selatan.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diphylobothrium sp

Diphylobothrium merupakan cacing pita yang biasanya hidup berparasit


pada ikan, hewan carnivora pemakan ikan serta manusia. Cacing ini menginfeksi di
daerah daerah tertentu biasanya banyak ditemukan di daerah Amerika Selatan dan
Eropa Utara. Cacing ini penyebab penyakit diphylobothriasis dengan ukuran
panjang cacing dewasa bisa mencapai 3-10 m.

Gambar 1. Diphylobothrium latum


Sumber : https://www.cdc.gov/parasites/diphyllobothrium/

A. Klasifikasi

Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Cestoda
Subclass : Eucestoda
Order : Pseudophyllidea
Family : Diphyllobothriidae
Genus : Diphyllobothrium
Species : Diphylobothrium sp

2
3

B. Ciri Morfologi

 Pada telur, diphylothrium memiliki operculum yang memenets pada air


yang kemudian disebut korasidium, ukuran telurnya 45 – 75 μ,
berbentuk oval teratur, kulit tipis dan halus, serta berisi suatu masa dari
sel sel kecil yang mengelilingi sel besar yang ada ditengah. Karena
diphylobothrium ini memerluka dua hopes, maka ketika menjadi
korasidium dia akan menuju ke hospes perantara I dalam hal ini yaitu
Cyclops dan Diaptomus.

Gambar 2. Telur Diphylobothrium.


Sumber : http://slideplayer.info/slide/2325699/

 Setelah menjadi cacing dewasa, diphylobothrium memiliki proceroid


dengan tubuh panjang sekitar 10mm yang didalamnya terdapat proglotid
yang lebarnya lebih panjang dari lubang uterus yang bagian tengah
proglatid mempunyai lubang uterus dan uterus berkelok kelok
membentuk roset yang kemudian masuk pada hospes kedua yaitu ikan
air tawar maupun ikan air laut. Selain itu, cacing dewasa memiliki
skolek yang bentuknya seperti sendok memiliki dua lekuk isap.
4

Sumber : http://slideplayer.info/slide/2325699/release/woothee

1) Badan cacing dewasa terdiri atas


a. Skoleks, yaitu kepala yang merupakan alat untuk melekat, dilengkapi
dengan batil isap atau dengan lekuk isap
b. Leher, yaitu tempat pertumbuhan badan
c. Strobila, yaitu badan yang terdiri atas segmen segmen yang disebut
proglotoid. Tiap proglotid dewasa mempunyai susunan alat kelamin jantan
dan betina yang lengkap sehingga disebut hermafrodit

2) Telur dilepaskan bersama proglotid atau tersendiri melalui lubang uterus


3) Embrio di dalam telur disebut onkosfer berupa embrio heksakan yang tumbuh
menjadi bentuk infektif dalam hospes perantara.

C. Siklus Hidup

Telur dikeluarkan melalui lubang uterus proglotid lavid yang ditemukan


dalam tinja. Telur baru menetas setelah 9-12hari pada suhu yang sesuai. Setelah
sampai di air, embrio dalam embriophore yang bersilia keluar melalui lubang
operculum. Korasidium yang bersilia berenang bebas di air yang kemudian
5

dimakan oleh plankton jenis Cyclops dan Diaptomus. Dalam hospes perantara I ini,
larva kehilangan cilianya. Korasidium menemus dinding hospes hingga sampai ke
rongga badan. Disini larva tersebut bertamah besar yang berkembang menjadi
procercoid. Kemudian jika plankton tersebut yang mengandung diphylobothrium
dimakan oleh ikan seperti ikan salem sebagai hospes perantara II, prococercoid
tersebut menembus dinding usus ikan dan masuk ke rongga badan, organ tubuh,
jaringan lemak serta otot-otot. Ketika 7-30hari larva ini berkembang menjadi
plerocercoid atau sparganum yaitu larva yang berbentuk seperti kumparan dan
terdiri dari pseudosegmen dengan ukuran 10-20 x 2-3 mm.

Sumber : https://crocodilusdaratensis.wordpress.com/2010/10/24/336

D. Gejala dan Pengobatan.

Ikan yang terkena parasit ini tidak nafsu makan sehingga ikan tersebut
kehilangan berat badannya kemudian cacing akan terlihat di permukaan tubuh ikan
dibawah otot ikan. Bahkan ketika parasit ini banyak kerkembang dalam usus ikan,
maka akan terjadi obstruksi usus. Jika ini dibiarkan maka akan mengalami kematian
masal. Untuk pengobatannya, ikan yang terkena parasit ini harus di karantina di
6

pisahkan dengan ikan yang lainnya agar ikan yang lainnya tidak terkena parasit ini.
Ikan yang dikarantina diberi perawatan seperti dalam pakan ditambahkan obat agar
ikan nafsu makan kembali.

2.2. Simulium Sp.

A. Klasifikasi

Simulium adalah sejenis lalat kecil (3mm8mm), penghisap darah seperti


nyamuk atau agas yang termasuk ke dalam Ordo Diptera, Subordo Nematocera,
Famili Simuliidae. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah lalat punuk
karena mempunyai daerah toraks yang menonjol. Adapun klasifikasi Similium sp.
sebagai berikut:

Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Order : Diptera
Family : Simuliidae
Subfamily : Simuliinae
Tribe : Simuliini
Genus : Simulium
Spesies : Similium sp.
7

(Sumber:https://sciencesource.com/archive/Black-fly-pupae-(Simulium-sp.)--LM-
SS2729252.html)

Di Indonesia saat ini telah dilaporkan hanya ada satu genus yaitu Simulium
dengan sekitar 100 spesies tersebar di seluruh tanah air. Di pulau Jawa sendiri
monograf terkhir menunjukkan bahwa ada 22 spesies, antara lain Simulium sigiti,
S. javaense, S. parahiyangum dan S. upikae (Takaoka & Davies 1996). Nama- nama
yang mengikuti tersebut ada nama orang dan nama daerah. Sistem penamaan ini
mengikuti sistem tata nama yang berlaku di dalam taksonomi hewan secara umum.
Sebagai contoh, S. sigiti adalah bentuk penghargaan yang diberikan oleh penemu
spesies ini kepada seseorang yang berjasa di dalam proses penemuan spesies baru
tersebut yaitu Prof Dr. Singgih H. Sigit, MSc dari Bagian Parasitologi dan
Entomologi Kesehatan IPB (Takaoka & Hadi 1991).

B. Morfologi

Lalat dewasa memiliki ukuran sangat kecil yaitu dengan panjang tubuh 1.5
- 4 mm serta mempunyai bentuk tubuh bulat dan berpunuk pada bagian thorax.
Umumnya berwarna hitam, tetapi ada beberapa spesies yang berwarna kontras
dengan putih, perak atau kuning terutamaa pada bagian tubuh yang mempunyai
rambut serta bagian kaki dan ada juga yang didominasi denganwarna oramye atau
kuning terang ( Service 1980). Bagian kepala terdapat sepasang maat yang
berukuran besar hampir menempati sebagian besar kepala. Pada lalat jantan
mempunyai tipe mata holoptic yaitu kedua mata saling bertemu di atas antena
sehingga bagian frons tidak ada. Sedangkan pada lalat betina kedua mata
dipisahkan oleh frons di atas antena, bentuk seperti ini dinamakan dichoptic.

Bentuk antena pada lalat, terdiri dari beebrapa segmen bulat kecil mebentuk
untaian rapi yang mirip dengan manik-manik. Famili simuliidae mempunyai
segmen berjumlah 9-12 dengan masing-masing segmen mebentuk uniform tetapi
yang paling banyak bejumlah 11 hanya kadang-kadang pada austrosimulium
berjumlah 11, tetapi jarang yang mempunyai jumlah 9 atau 12 (Kettle 1981).
8

Mulut berukuran kecil, maxilla palp mempunyai 5 segmen yang timbul dari
bagian dasar mulut serta menggantung kebawah sehingga mudah terlihat. Pada
mulut betina terdapat lambrum befungsi untuk menghisap darah, dengan gigi yang
digunakan untuk merobek dan beberapa lalat betina yang tidak menggigit, gigi ini
mengalami atropi (Chrosskey 1973).

Simulium sp disebut lalat punuk karena throax pada bagian dorsal


membentuk konvek sehingga mirip dengan punuk terutama pada lalat jantan. Pada
bagian scutum lalat betina terdapat pola warna rambut yang menciri untuk masing-
masing spesies sedangan pada lalat jantan pola ini sulit ditemukan (Datta 1973).

Sayap pada umumnya pendek tetapi lebar dengan anal lobe yang besar.
Bagian radial sepanjang garis tepi anterior berkembang sangat baik sedangkan pada
bagian medial dan cubital posterior mempunyai struktur yang lemah. Pola sayap
seperti ini meskipun kelihatannya lemah, tetapi sangat efisien. Lipatan sayap bag
ian sub-medianterdapat diantara percabangan yang khas yakni median 2 (M,) dan
cubital 1 (Cu,), percabangan ini disebut "sub-median fold", sedangkan vena cubital
2 (Cu,) mempunyai lekukan yangberbetuk sigmoid, kecuali di Amerika Selatan
terdapat genus Gigantodax yang mempunyai (Cu,) langsung (Kettle, 1981).Pada
sisi thorax terdapat membran yang menciri, dan membranini disebut sebagai
"pleural membran " yang terletak tepat didepan pangkal sayap (gambar 4).

Kaki terbagi atas coxa, trochanter femur, tibia dan tarsus. Pada bagian tarsus
terdapat 5 segmen tarsomer, dimana pada segmen terakhir berhubungan dengan
kuku yang sering didapatkan gerigi terutama pada lalat bet ina.Menurut Sasaki et.
al., (1985), kuku ini dibedakan menjadi tiga tipe , yaitu tipe S, tipe P, dan tipe T.
Crosskey (1973), membagi bentuk kuku ini menjadi dua, yaitutipe kuku yang
bergigi dan tipe kuku yang sederhana.

Segmen abdomen bagian dorsal pertama berubah menjadisuatu tonjolan


yang dikenal sebagai 'Ibasal scale'! yang mempunyai rambut pada bagian
pinggirnya (gambar 4), sedang bagian abdomen lainnya sangat jernih khususnya
9

pada lalatbet ina karena mempunyaikemampuan untuk menggembung sebagai


penampung darah.

Bentuk alat kelamin jantan berupa hypopygium kecil dankompak yang


penting artinya untuk taksonomi. Sedang ujung alat kelamin betina berbentuk
batang mirip huruf "y" dan tunggal, disampimg itu mempunyai spermateca yang
berbentuk sub-spherical.

C. Siklus Hidup
10

Periode siklus hidup bervariasi pada setiap spesies dan kondisi lingkungan.
Pada spesies yang hidup di daerah beriklim sedang dalam setahun bisa terjadi hanya
satu generasi, sementara di daerah tropis sepanjang tahun bisa terjadi beberapa
generasi. Telur, larva dan pupa hanya ditemukan di aliran air. Setiap spesies
berbeda-beda mulai dari gelombang air dekat danau sampai aliran kecil di tengah
hutan, sungai besar atau aliran air terjun. Distribusi lalat ini di seluruh dunia, kecuali
di daerah gurun atau pulau yang terisolasi tanpa aliran air.

1. Telur

Telur umumnya diletakkan dalam kelompok-kelompok berjumlah 200-300


butir, dengan kisara 30-800 butir, pada benda-benda di dalam atau dekat aliran air
atau langsung ke dalam air atau pada permukaan air. Telur dijatuhkan langsung ke
dalam air dan tenggelam ke dasar atau diletakkan pada benda-benda yang muncul
dekat dengan garis air, tempat mereka langsung bash oleh air atau daerah cipratan
air. Kumpulan telur bisa dibuat oleh beberapa betina yang bertelur di sekitar tempat
yang berdekatan, dan terdapat bukti bahwa betina bunting tertarik meletakkannya
pada tumpukan telur dari spesies yang sama. Hal ini mungkin ditimbulkan oleh
kehadiran feromon. Lalat betina dari beberapa spesies berkerumun pada ketinggian
15 cm dari permukaan air untk meletakkan telurnya pada benda-benda yang
terendam air.

Telur berukuran pannjang 100 - 400 µm dan bentuknya segitiga ovoid.


Permukaannya halus dan tertutup oleh lapisan gelatin. Telur diletakkan dalam
gelendong seperti rangkaian manik-manik, atau dalam kelompok tidak teratur.
Telur yang baru diletakkan berwarna krem keputihan, berubah menjadi coklat gelap
atau hitam dalam waktu 24 jam. Telur lalat ini sangat sesitif terhadap kekeringan.

2. Larva

Telur menetas menjadi larva yang mempunyai kepala yang keras dan jelas,
sepasang mata sederhana, bentuk tubuh yang silinder denga toraks dan bagian
posterior abdomen lebih lebar dari pada ruas abdomen anterior. Kepala memiliki
sepasang kipas sefalik (labral), struktur homolog sikat palatal lateral nyamuk
11

(Gambar 2). Larva tidak menciptakan aliran tetapi menyaring air yang melewati
tubuhnya. Larva memiliki satu proleg anterior (tangan palsu) yang dikelilingi kait-
kait sirklet, dan ujung abdomen dikelilingi sirklet posterior. Anus terbuka dan
terdapat di dorsal sirklet posterior, dari situ muncul organ rektal, yang mungkin
fungsinya sama dengan anal papila pada larva nyamuk yaitu menyangkut penarikan
klorida dari air.

Larvanya memintal benang sutra pada substrat, yang diteruskan menjadi


benang sutra, sebagai alat yang digunakan ketika mempertahankan diri dari aliran
air deras atau saat ada gangguan. Ketika sudah stabil dengan tempat yang
dipilihnya, ia akan mencapkan sirklet posteriornya. Larva umumnya bertahan di
dekat permukaan air, dan biasanya ditemukan pada kedalaman kurang dari 300mm
(kecuali pada spesies besar yang bisa ditemukan pada kedalaman beberapa meter
dalam air jeram (turbulent water). Larva dapat berpindah tempat dengan
menghanyutkan tubuhnya ke dalam aliran air dengan bantuan benang sutra, atau
dengan melangkahkan tubuhnya dari permukaan substrat dengan sirklet posterior
dan kait anterior proleg untuk mempertahankan cairan sutra. Beberapa spesies
menyebar lebih jauh dari tempat meletakkan telurnya.

Posisi larva ketika makan adalah berdiri dengan sirklet posterior menempel
pada substrat dan mengarah ke aliran air dengan kepala menghadap ke bawah.
Tubuhnya bisa berputar 90-180 derajat sehingga rambut kipasnya menghadap
permukaan air. Aliran air terbagi oleh proleg dan mengarah ke rambut kipas. Cairan
lengket yang dikeluarkannya berasal dari kelenjar sibarial sehingga kipas mampu
menangkap partikel-partikel halus. Partikel makanan ini dibawa masuk ke sibarium
oleh sikat mandibula. Larva pada beberapa spesies mempertahankan daerah
teritorialnya, dan mampu bergerak ke daerah aliran air bagian atas milik
tetangganya, sehingga terjadi kompetisi makanan. Pertahanan daerah teritorial
menurun secara dramatis ketika makanan berlimpah. Larva famili Simuliidae
menelan makanan seperti bakteri, diatom, algae dan endapan lumpur berukuran
sampai 350 µm, tetapi umunya menelan partikel berukuran 10-100 µm.
12

Larva Simuliidae banyak terdapat di aliran air deras, tempat larva dapat
menyaring sebanyak mungkin volume air dalam waktu tertentu. Konsentrasi larva
dalam jumlah besar sering ditemukan pada aliran keluar danau, tempat air yang
kaya akan fitoplankton sebagai makan larva mengalir. Gerakan air yang melewati
permukaan tubuh larva menyediakan sumber oksigen terlarut dalam jumlah yang
cukup untuk pernafasan larva. Panjang larva Simuliidae mencapai 4 to 12 mm, dan
mudah terlihat pada benda yang terendam. Pada beberapa spesies larva menenpel
pada tubuh kepiting di sungai dan nimfa lalat sehari (mayfly). Larva instar terakhir
(mature) dapat dikenali dengan adanya bercak insang gelap ("gill spot") pada kedua
sisi toraks, dan dapat bergerak ke tempat lain sebelum proses pupasi.

3. Pupa

Umumnya pupa Simuliidae memintal kokon. Bentuk kokon bervariasi ada


yang sandal (slipper-shaped) dan sepatu (shoe-shaped). Kokon ujungnya yang
tertutup mengarah ke hulu (upstream) dan yang terbuka mengarah ke hilir (down
stream). Hal ini mencegah kokon terkoyak oleh aliran air. Pembentukan kokon
memerlukan waktu sekitar satu jam dan kemudian kulit larva dilepas.

Pada pupa, kepala dan torak punya bergabung menjadi sefalotoraks, dan
terdapat ruasruas abdomen. Ujungnya memiliki spina dan kait-kait yang mengikat
benang-benang kokon dan menenpelkan pupa pada substrat. Sefalotoraks memiliki
sepasang insang pupa (pupal gills) yang jumlahnya, panjangnya, dan
percabangannya berbeda-beda pada setiap spesies. Pupal gill ini serupa dengan
corong pernafasan pada Culicidae dan Ceratopogonidae, tetapi tidak mempunyai
spirakel terbuka.

Pupa ini tidak makan, dan berubah warna menjadi gelap saat lalat dewasa
sedang berkembang. Ketika lalat dewasa muncul, kulit pupa membelah, lalat
dewasa muncul ke permukaan dalam gelembung udara, dan segera terbang, atau
yang baru saja muncul tersebut bertengger pada benda dekat permukaan air.
13

4. Dewasa

Lalat dewasa biasanya muncul pada siang hari tergantung cahaya dan suhu.
S. damnosum 60-90% muncul menjadi lalat dewasa di siang tengah hari dan tidak
ada yang muncul pada malam hari.

D. Cara Perkembangbiakan

Kawin dapat terjadi di sekitar tempat perindukan. Beberapa spesies kawin


pada di tanah tetapi kebanyakan spesies kawin terjadi pada sayap ketika yang jantan
membentuk gerombolan kecil bersama-sama dengan tanda-tanda visual yang dapat
terjadi 100 atau 200 m dari tempat perindukannya. Simuliidae jantan mengenali
betina sejauh 50 cm dan mengejar betina dan mencoba berpasangan. Tampaknya
tidak ada kontak feromon karena jantan dapat mencoba kawin dengan jantan
lainnya dan dengan individu lain spesies. Pada beberapa spesies, jantan berkerumun
dan perkawinan terjadi di dekat tempat mencari makan lalat betina. Sebagai contoh
S. ornatum di dekat pusar sapi dan S. erythrocephalum di dekat telinga sapi. Selama
proses perkawinan terjadi perpindahan sperma ke dalam tubuh betina.

Simuliidae betina dapat diklasifikasikan secara reproduktif menjadi 3


kelompok yaitu sebagai autogeni obligat, autogeni primiparus dan anautogeni
obligat. Autogeni obligat artinya betina mematangkan telur kelompok pertamanya
tanpa perlu darah, sedangkan autogeni primiparus betina mematangkan telur
kelompok pertamanya tanpa darah, tapi perlu darah untuk setiap siklus gonotrofik
berikutnya; dan anautogeni obligat ketika betina perlu darah untuk setiap siklus
gonotrofiknya. Ketika menghisap darah, Simuliidae betina menancapkan
probosisnya pada tubuh inang dengan kait kecil pada labrum dan hipofarings.
Kedua maksila di dorong bergantian, memnembus ke dalan dan menancapkan
probosis lebih dalam. Kedua mandibula memotong kulit dengan gerakan seperti
menggunting cepat, menembus sedalam 400 um. Darah dihisap ke dalam lambung
oleh popa sibarial paringeal di kepala. Proses menghisap darah berlangsung 4-5
menit.
14

Perilaku meletakkan telur sangat bervariasi di antara spesies. S. damnosum


betina meletakkan telur secara berkelompok dalam waktu yang singkat antara
matahari terbenam dan kegelapan. Ketika lalat sangat banyak, kerumunan betina
meletakkan telurnya pada vegetasi airr, setiap malam kembali ketempat yang sama
sehingga kepadatan telur mencapai 2000-3000 telu per sentimete pesegi. Di
Guatemala S. ochraceum meletakkan telurnya langsung ke dalam air, S. callidum
meletakkan telurnya sekali pada suatu waktu pada permukaan batu yang miring,
dan S. metallicum, meletakkan telurnya pada daun di aliran deras tanpa mendarat,
dan pada alian lambat sebenarnya mendarat. Telur S. argyreatum dapat tahan kering
selama musim gugu dan dingin ketika temperatur rendah, dan lalat S. pictipes
bersama telurnya tahan tehadap salju dan es selama musim dingin dan menetas pada
saat musim semi.

Simuliidae berkembang pada air mengalir, mulai aliran kecil di pegunungan


sampai aliran sungai yang lambat di pedalaman, dan beberapa spesies hanya
dijumpai pada liran deas yang kecil Newfoundland telah ditemukan bahwa faktor-
fakto yang sangat berpengaruh terhadap sebaran larva Simuliidae adalah kecepatan
aliran, tipe substrat dan kedalaman air. Sejumlah kecil spesies berasosiasi secara
foretik dengan Dekapoda Crustacea (kepiting dan udang) atau Ephemeroptera (lalat
sehari) di daerah Afrika dan Himalaya. Larva dan pupa S. nyasalandicum dan S.
woodi terdapat menempel pada kheliped, dan ruas basal tungkai dari kepiting
sungai Potamonautes pseudoperlatus dan jenis kepiting lain. Telur tidak diletakkan
pada kepiting dan larva muda dapat menemukan sendiri patner foretiknya di sungai.
Jenis Simuliidae foretik yang terpenting adalah S. neavei, a vektor onkosersiasis.
Di Afrika, jenis foretik pada nimfa lalat sehari (mayfly phoretics) ditemukan
terutama di aliran sungai gelap di hutan, dan yang crab phoretics ditemukan di
aliran kecil di hutan dan sungai besar dan terbuka.

E. Penaggulangan

Pemberantasan secara fisik dan mekanis yaitu dengan cara menangkap dan
membunuhnya, tetapi cara ini sangat tidak efektif karena lalat ini sangat kecil
sehingga sulit untuk melakukannya. Tujuan dari pemberantasan secara fisik dan
15

mekanis ini adalah untukmemutuskan siklus hidup lalat tersebut sehingga


populasinya terhambat dan lalat dewasa dapat terusir jauh dari kelompok ternak.

Alternatif lain dapat dilakuakn dengan cara lain yaitu dengan merubah
lingkungan pradewasa lalat ini, seperti membersihkan·rumput-rumput di sungai
yangdiduga menjadi tempat berkembangbiaknya, atau dengan cara mengeringkan
sungai-sungai yang ban yak ditemukan larva di dalamnya. Adapun pada lalat
dewasanya dapat dilakukan pembakaran semak-semak atau hutan-hutan non-
produktif yangdiduga sebagai tempat peristirahatan lalat ini.

Kemudian salah satu cara ini adalah dengan memodifikasi kecepatan aliran
sungai yang diduga sebagai tempat berkembangbiaknya, sebab Simuliidae
umumnya meletakkan telurnya pada sungai yang mempunyai kecepatan tertentu,
yaitu 0.2 - 0.5 m/s. Sedang pada air yang menggenang, larva dan pupa dapat mati
dalam waktu 24 jam, dan selama 30 - 35 hari berturut-turut telah dibuktikan bahwa
bentult pra-dewasa dapat mati jika di bag ian kanal tidak diberi air selama 3 hari,
larva dan pupa tidak muncul lagi selama 25 - 30 hari, disamping itu larva dan pupa
Simuliidae dapat mati oleh sinar matahari langsung dalam waktu 2 - 3 hari.
(Kotel'nikov dan Kivako, 1986).

Simuliidae mempunyai sejumlah parasit dan predator yang dapat digunakan


untuk mengendalikan populasinya secara alami, antara lain jenis predator
inverteberata yang memangsa stadium pra-dewasa seperti hydra, crustacea,
planaria, dan beberapa serangga air lainnya. Dari jenis verteberata termasuk
beberapa jenis ikan dan beberapa spesies burung dari genus Cinclus. Sedangkan
predator yang memangsa lalat dewasa diantaranya suatu jenis tanaman yang
memakan insekta yaitu Pinguicula vulgaris. Parasit lainnya yang memangsa larva
atau lalat dewasa adalah fungi, Trypanosoma, Infusoria, Sporozoa, Spirochaeta, dan
Mermitid yaitu sejenis cacing Nematoda. Beberapa pengarang lain menyebut laba-
laba, Coleoptera, dan mungkin juga lintah sebagai musuh alami. Disamping musuh
alami yang disebutkan diatas, terdapat juga Bacillus thuringi ensis, B.spaericus,
dan Phytobacteriomycin (Colbo, 1984; Ganushkina et. ~ 1982).
16

Larva lalat punuk sangat rentan terhadap insektisida yang diberikan pada
sungai-sungai atau anak-anak sungai dimana terdapat tempat
perkembangbiakannya, aliran sungai akan memungkinkan insektisida menjadi
efektif dalam jangkauan yang panjang meskipun hanya diberikan pada beberapa
tempat saja.Menurut Seifert (1983), senyawa-senyawa kimia yang umumnya
digunakan untuk mengendalikan lalat pun meliputi organochlorine,
organophosphate,dan cyclic amidines.

Organophosphate dan organochlorine dapat diberikan dalam beberapa


tempat yang telah dipilih pada sungai yang mengalir dengan dosis rendah 0.1 - 10
ppm selama 15 – 30 menit.Dengan pemberian organophospat dapat membunuh
larva Simuliidae di sepanjang aliran sungai tersebut.Namun dalam pemberian
organophospat perlu kecepatan aliran dan kedalaman diperhatikan untuk
menghitung jumlahinsektisida yang diberikan, ada pun untuk wilayah yang tidak
terjangkau dapat dilakukan pengulangan dalam beberapa waktu(Crosskey, 1973;
Service, 1980).

Tempos juga dapat digunakan dalam pengendalian simulium. Kemampuan


temephos ini juga telah dibuktikan oleh Yasuno et. ~ (1981) yang mengadakan uji
kepekaan organisme di suatu anak sungai dengan menggunakan temephos
sebanyak 1 - 10 ppm, ternyata organisme yang paling peka adalah larva Simuliidae.
Menurut Abban dan Samman (1982), pemberian temephos pada suatu sungai tidak
membahayakan bagi organisme lain yang hidup dalam sungai.

2.3. Cardicola sp

Cardicola sp. merupakan spesies parasit sejenis cacing isap yang ditemukan
pada insang ikan tuna. Penelitian dilakukan pada tuna sirip biru di Australia selatan.
Siklus hidup Cardicola Cacing dewasa biasanya berada di arteri insang utama,
berbaring sejajar dengan kartilago insang. Satu telur yang dihasilkan pada satu
waktu dibawa oleh darah ke kapiler dari fillamen insang. Disini pengembangan dan
penetasan berlangsung. Miracidia aktif bekerja melalui epitel ke permukaan
fillaments insang dengan bentuk lobulus. Setelah pecahnya lobulus, miracidia
17

bersilia dibebaskan dan berenang menjauh. mereka berkembang di oxytrema (siput


goniobasis) circumlineata. Siput yang terinfeksi mengandung banyak sporokista
dan rediae. Sedangkan data eksperimen kurang pada bagian dari siklus hidup di
siput, itu dianggap bahwa miracidia berubah menjadi induk sporokista, diikuti oleh
anak sporokista dan serkaria. Rediae belum ditemukan pada spesies dari genus ini.
Serkaria membelah dua. seperti cacing dewasa, mereka tidak memiliki pengisap
dan faring memiliki sekum yang erat menyerupai cacing dewasa. Setelah datang di
kontak dengan fingerling trout, mereka segera menembus jaringan sirip,
menjatuhkan ekor mereka. serkaria aktif dalam pembuluh darah sirip dan
bermigrasi melalui pembuluh darah ke jantung dan dari sana ke arteri insang.

Adapun klasifikasi dari cardicola antara lain:

Kingdom : Animalia
Subkingdom : Bilateria
Phylum : Platyhelminthes
Subphylum : Neodermata
Class : Trematoda
Subclass : Digenea
Ordo : Strigeidida
Subordo : Strigeata
Family : Sanguinicolidae
Genus : Cardicola
Spesies : Cardicola sp.
18

Gambar 2. Cardicola sp.

Penyakit ikan yang disebabkan oleh plathyhelminthes ini tidak ada gejala
visual yang jelas,namun ikan yang terinfeksi akan berenang terus-menerus ke
permukaan untuk mendapatkan oksigen, dan terjadin pembelahan lamella insang,
dan hyperlasia. Wilayah yang terinfeksi apablia terserang yaitu sistem sirkulasi.
Jika parasit ini tidak cepat diatasi maka akan berdampak buruk terhadap organ
dalam pada tubuh tuna tersebut terutama bagian sistem sirkulasi ikan dan jantung.
Maka dari itu perlu penanganan khusus terhadap parasit ini agar tidak
membahayakan populasi ikan tuna pada umumnya.

Penanganan Cardicola sp.

Seperti cacing-cacing yang tidak beraktivitas biasanya mereka tinggal di


dasar laut, para peneliti menyarankan bahwa dengan memindahkan mereka ke air
yang lebih dalam, tuna-tuna akan jauh lebih sedikit terinfeksi oleh cacing darah.
Penelitian ini menunjukkan bagaimana memahami ekologi dan siklus hidup dari
suatu parasit dapat membantu kita untuk mengambil langkah-langkah sederhana
yang dapat mengurangi dampaknya.
DAFTAR PUSTAKA

Abban, E. K. and J. Samman.the effect of abate on Pollution 27(4):245-


254.1982,70(11):3358.
Datta, M. 1981. Bio-ecological concervation of Simulium(Eusimulium)
aureohirtum Brunetti (Diptera Simuliidae). Bulletin of the zoological
survey of India 4(2):125-129. Dalam Rev. Appl. Ent. Ser B,1985,
71(2):461.
Olejnicek, J. 1985. An attemp to classify the breeding sites of black-flies (Diptera
Simuliidae) in an intensively cultivated landscape. Dalam Rev. Appl. Ent.
Ser B, 1985, 73(5):1426.
Takaoka, H. & D.M. Davies. 1996. The blck flies (Diptera: Simuliidae) of Java,
Indonesia. Bishop Museum Bulletin in Entomology 6. Bishop Museum
Press. Honolulu. Hawaii, USA.
Takaoka H & U.K. Hadi. 1991. Two new black fly species of Simulium (Simulium)
from Java, Indonesia (Diptera: Simuliidae). Jpn. J. Trop. Med. Hyg. 19:
357-370.

19

Anda mungkin juga menyukai