Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia terdapat tiga jenis belut, yaitu belut sawah

(Monoptherus albus Zuieuw), belut rawa (Synbranchus bengalensis Mc.

Clell), dan belut bermata sangat kecil (Macrotema caligans Cant). Belut

sawah merupakan jenis belut yang paling dikenal orang Indonesia karena

seringnya belut ini terdapat di sawah-sawah, sedangkan belut rawa

jumlahnya terbatas sehingga kurang begitu dikenal (Sarwono, 2003 dalam

Rahmawati, 2013).

Belut sawah (Monopterus albus) merupakan ikan dari family

Synbranchidae yang dapat ditemukan di Cina, India, Malaysia dan

Indonesia (Tan and He, 2007). Belut merupakan salah satu jenis ikan

tawar yang memiliki tubuh seperti ular. Hidupnya di sungai, sawah, danau

atau kolam yang dangkal serta berlumpur. Meskipun belut mempunyai cita

rasa yang khas, masih jarang orang mau mengkonsumsi belut. Hal itu

disebabkan karena bentuknya yang tidak menarik, mengandung banyak

lendir dan mirip seperti ular serta memiliki bau anyir yang kuat

(Sarwono,1983).

Tingkat konsumsi belut di Indonesia masih sangat rendah

dibandingkan negara-negara Asia lainnya seperti Cina, Taiwan dan

Jepang. Dalam forum international belut merupakan sumber protein


2

hewani yang sangat di anjurkan untuk dikonsumsi untuk memenuhi nutrisi

yang diperlukan oleh tubuh (Sarwono, 1983). Belut selama ini diolah

dalam bentuk asap yaitu dengan kombinasi penggaraman dan

pengeringan yang berujuan untuk mengurangi kadar air yang ada pada

belut.

Menurut Sajiwo et al (2016), ikan asap merupakan produk olahan

yang siap untuk dikonsumsi, artinya tanpa dilakukan pengolahan atau

pemasakan lagi, ikan asap sudah siap untuk disantap karena selama

proses pengasapan, ikan telah dapat perlakuan panas yang cukup untuk

memasak daging ikan, sekaligus membunuh sebagian bakteri yang

terdapat pada ikan.

Pengolahan ikan secara pengasapan merupakan pengolahan

tradisional, pengasapan dikenal sejak manusia mengenal api. Hasil dari

pengasapan selain membuat ikan lebih tahan lama, juga memberi rasa

yang khas (Arisman et al., 1981). Melalui pembakaran akan terbentuk

senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran butiran tar serta panas.

Senyawa asap tersebut menempel pada ikan dan terlarut dalam lapisan

air yang ada pada permukaaan tubuh ikan, sehingga terbentuk aroma dan

rasa yang khas pada produk dan warnanya menjadi keemasan atau

kecoklatan ( Adawyah, 2007).

Menurut hasil penelitian Susanto (2014), proses pengasapan ikan

dengan perlakuan dibelah, memerlukan waktu pengasapan yang lebih

pendek dibanding ikan yang diasap dalam kondisi utuh. Untuk


3

mendapatkan produk ikan asap yang memenuhi kadar air < 60% dapat

diperoleh dengan pengasapan 80 ºC minimal 4 jam. Semakin lama proses

pengasapan semakin rendah kadar air ikan asap. Proses pengasapan

ikan dengan suhu 80 ºC selama 8 jam menghasilkan ikan asap yang

mampu disimpan lebih lama.

Pengasapan dapat membunuh bakteri dan daya bunuh dari asap

tersebut tergantung pada suhu pengasapan dan lama pengasapan selain

itu pengasapan juga berfungsu untuk mengawetkan. Makin lama ikan

diasapi maka semakin banyak senyawa kimia yang terbentuk selama

pembakaran. Demikian pula makin banyak zat-zat pengawet yang

mengendap pada ikan asap, dengan demikian akan lebih lama daya awet

ikan asap tersebut. Hal yang dapat meningkatkan daya awet selama

pengasapan bukan asap melaikan unsur-unsur kimia yang ada didalam

asap yang berperan sebagai desinfektan, pemberi warna, memberi

citarasa, dan aroma ikan. Kondesat asap dapat bersifat antioksidan

walaupun pada konsentrasi rendah, sementara pengaruh utama dari

degradasi lipida adalah meningkatnya estetik rasa dan bau yang tidak

disenangi (Sanger, 2010).

Kecamatan Sinjai Barat tepatnya di Desa Barania belut sudah

dikenal, namun masih kurangnya masyarakat yang mengkonsumsi belut

dikarenakan pengetahuan masyarakat tentang manfaat mengkonsumsi

belut masih sangat kurang, selain itu penyebab kurangnya masyarakat

mengkonsumsi belut yaitu bentuknya yang kurang menarik, sehingga


4

adanya upaya metode pengolahan belut yang berbeda yaitu pengasapan

panas, pengasapan dingin, dan pengasapan cair diharapkan dapat

meningkatkan pendayagunaan dan tingkat penerimaan konsumen

terhadap belut.

Berdasarkan uraian diatas perlu dilakukan penelitian tentang

pengaruh metode pengolahan terhadap nutrisi belut (Monopterus albus)

asap.

B. Rumusan masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana nutrisi belut (Monopterus albus) asap dengan metode

pengolahan yang berbeda?

2. Bagaimana nilai organoleptik serta tingkat kesukaan konsumen

terhadap belut (Monopterus albus) asap dengan metode

pengolahan berbeda?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini

adalah:

1. Untuk mengetahui nutrisi belut (Monopterus albus) asap dengan

metode pengolahan yang berbeda.


5

2. Menganalisa nilai organoleptik serta tingkat kesukaan terhadap

belut (Monopterus albus) asap dengan metode pengolahan

berbeda.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat tentang pengaruh metode pengolahan terhadap nutrisi belut

asap (Monopterus albus) serta menambah pengetahuan peneliti.


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Belut (Monopterus albus)

Belut pada habitat aslinya hidup di dalam lumpur dan membuat

sebuah lubang pada pematang sawah atau pinggir sungai, belut bersifat

karnivora dan memakan jasad renik berupa zooplankton dan zoobenthos

pada saat masih berukuran benih, sedangkan bila berukuran dewasa

belut akan memakan larva serangga, siput, sumpil, bivalvia, cacing,

capung, katak kecil, belut kecil, dan gastropoda. Ini menunjukkan bahwa

belut sawah mempunyai rentangan jenis dan ukuran hewan yang dimakan

sangat besar. Oleh karena itu, belut sawah dapat bertahan hidup di area

yang sangat luas (Suryani, 2007).

Belut sawah betina memiliki ukuran kurang dari 25 cm dan untuk

belut jantan lebih dari 30 cm. Belut sawah dengan ukuran 25 - 30 cm

biasanya adalah belut yang sedang kosong kelamin. Belut rawa betina

memiliki ukuran kurang dari 30 cm dan untuk belut jantan lebih dari 40 cm.

Belut rawa yang berukuran 30 - 40 cm sedang dalam masa transisi, tidak

memiliki jenis kelamin. Ukuran kepala sesuai dengan ukuran badannya.

Belut jantan biasanya memiliki ukuran kepala yang lebih besar dari belut

betina. Kulit punggung belut sawah berwarna coklat kekuningan (agak

cerah) menurut (Warisno, 2010 dalam Santoso, 2014).


7

Menurut (Saanin, 1968 dalam Santoso, 2014), klasifikasi belut

adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Aetinopterygi

Ordo : Synbranchiodae

Family : Synbranchidae

Genus : Monopterus

Spesies: Monopterus albus

B. Morfologi Belut (Monopterus albus)

Secara taksonomi belut termasuk kedalam Kelas Pisces, akan

tetapi ciri fisiknya sedikit berbeda dengan Kelas Pisces lainnya. Tubuh

belut hampir menyerupai ular, yaitu gilig (silindris) memanjang, tubuh belut

tidak bersisik, hanya dilapisi kulit yang hampir mirip dengan plastik.

Umumnya warna kulit belut kuning kecoklatan ketika muda dan menjadi

agak coklat gelap ketika dewasa. Warna kulit terlihat berkilau dengan

gurat sisi yang tampak jelas untuk menjaga keseimbangan belut.


8

Ukuran kepala belut biasanya lebih besar atau sedikit lebih tinggi

daripada tubuhnya. Bentuknya agak membulat dan semakin meruncing ke

arah mulut. Kedua matanya terlihat kecil, dilindungi keriputan kulit yang

sedikit menebal pada bagian luar (Roy, 2010 dalam Firdausi, 2014).

Gambar 3.1 Belut (Monopterus albus) (Leo, 2012 dalam Rahmawati,2013)

Panjang tubuh belut bisa mencapai 90 cm. Panjang tubuh belut

selalu sebanding dengan ukuran lingkar tubuhnya. Belut yang memiliki

lingkar tubuh besar memiliki ukuran tubuh lebih panjang dibandingkan

dengan belut yang memiliki lingkar tubuh kecil. Bagian mulut dilengkapi

dengan gigi-gigi runcing kecil-kecil berbentuk kerucut dengan bibir berupa

lipatan kulit yang lebar disekitar mulut (Roy, 2009 dalam Suryani, 2012).

C. Kandungan Belut (Monopterus albus)

Sebagai bahan pangan, ikan merupakan sumber protein tinggi,

lemak, vitamin, dan mineral yang sangat baik dan prospektif. Kandungan

gizi dalam 100 gr daging belut adalah protein 14 gr, lemak 27 gr, kalori

303 kal, kalsium 20 mg, fosfor 200 mg, besi 1 gr, vitamin A 1600 SI, kadar
9

air 58 gr (Uliaty, 2002), dan omega 3 senilai 11,80 gr (Resiandini, 2013)

serta karbohidrat 10,9 gr (Irianto dan Soesilo, 2007).

D. Manfaat Belut (Monopterus albus)

Belut sawah mempunyai nilai manfaat yang besar, karena selain

biasa ditangkap untuk dimakan sebagai lauk makan nasi, juga berkhasiat

sebagai penyembuh beberapa penyakit menurut Nugroho (2005) dalam

Suryani 2007. Daging Belut sawah sangat baik dikonsumsi terutama untuk

menyembuhkan penyakit kurang gizi, orang yang baru sembuh dari

penyakit, dan terutama kurang vitamin A dan protein (Suryani, 2007).

a. Vitamin A

Keberadaan vitamin A dalam daging Belut sawah sebagai lauk

makan nasi menjadi sangat bermanfaat karena vitamin A berfungsi pada

deferensiasi sel epitel dan produksi lendir, fertilitas dan pertumbuhan

tulang. Vitamin ini tergolong dalam vitamin yang larut dalam lemak, ikut

serta di dalam proses pertumbuhan dan fungsi penglihatan. Metabolisme

di dalam tubuh sangat erat hubungannya dengan status gizi protein,

karena di dalam darah vitamin A berada dalam bentuk retinol, terikat pada

protein spesifik yang dinamakan “Retinol Binding Protein”. Jadi vitamin A

di dalam tubuh akan berfungsi optimal bila kecukupan gizi protein

seseorang juga terpenuhi (Winarno, 1984 dalam Suryani, 2007).


10

b. Protein

Stryer (1995) dalam Suryani, 2007 menjelaskan bahwa bentuk

protein bermanfaat sebagai katalis enzimatik, pengangkut oksigen,

kontrasi otot, kerja mekanik, imunitas, kerja impul syaraf, pengatur

pertumbuhan, diferensiasi dan hormon.

E. Pengasapan

Pengasapan merupakan salah satu metode pengawetan pangan,

menurut Yudono et al (2007), komponen asap mengandung berbagai

senyawa kimia penting yang akan menentukan sifat organoleptik dan

keawetan produk. Berbagai macam senyawa akan terbentuk dalam asap

selama proses pirolisis yaitu, senyawa golongan fenol, karbonil (terutama

keton dan aldehida), asam, furan, alkohol, ester, lakton, hidrokarbon

alifatik dan hidrokarbon polisiklik aromatis. Menurut Dwiari et al (2008),

fungsi-fungsi komponen asap tersebut yaitu, (1) fenol berfungsi sebagai

antioksidan, antimikroba dan membentuk citarasa, (2) alkohol memiliki

fungsi utama membentuk citarasa, selain itu sebagai anti mikroba, (3)

asam-asam organik berfungsi sebagai antimikroba dan (4) karbonil

memiliki fungsi untuk membentuk warna dan citarasa spesifik.

Asap dari kayu keras mengandung banyak senyawa kimia yang

pada awalnya merupakan bagian dari proses metabolisme pohon hidup.

Ikan yang diasapi akan menyerap senyawa-senyawa kimia ini. Proses

pengeluaran asap ini disebut distilasi destruktif yaitu ketika kayu berubah
11

menjadi arang. Senyawa-senyawa kimia alami dalam asap dari kayu

keras bermanfaat baik dalam membunuh maupun menghambat

pertumbuhan kapang, khamir dan bakteri. Senyawa-senyawa kimia ini

merupakan dasar utama akan kuatnya proses pengawetan yang terjadi

selama pengasapan (Spira, 2007 dalam Susanto,2014).

Beberapa metode pengasapan yang umum dilakukan antara lain

adalah metode pengasapan panas, metode pengasapan dingin dan

metode asap cair.

a. Metode Pengasapan Panas

Metode pengasapan panas adalah proses dimana ikan diasapi

dengan suhu paling tidak 70 ºC sehingga daging menjadi matang selain

terkena asap. Lapisan protein yang larut dalam garam yang disebut

pellicle akan terbentuk pada permukaan daging selama proses. Lapisan

ini menyerap sebagian besar antioksidan dan komponen bakteriostatik

dari asap. Penghalang terhadap serangan bakteri terbentuk pada tahap

berikutnya setelah pengerasan (Lyhs, 2002). Waktu pemasakan yang

lebih singkat akan menghasilkan produk dengan kadar air yang lebih

tinggi (Crapo, 2000 dalam Susanto, 2014).

b. Metode Pengasapan Dingin

Metode pengasapan dingin yaitu ikan yang melalui proses

pengasapan dingin didefinisikan sebagai ikan asap yang dihasilkan


12

dengan perlakuan asap pada suhu dimana produk mengalami koagulasi

protein yang tidak sempurna (Oyelese, 2006 dalam Susanto, 2014).

Pengasapan dingin adalah proses pengasapan dengan cara meletakkan

ikan yang diasap agak jauh dari sumber asap, dengan suhu penyimpanan

tidak terlalu tinggi, cukup 30 ºC – 60 ºC (Yusroni, 2009 dalam Susanto,

2014). Perhatian yang khusus perlu dilakukan untuk menjamin agar

bakteri tidak dapat tumbuh pada makanan yang diasap mengingat suhu

pada pengasapan dingin yang sangat rendah (Traeger, 2008 dalam

Susanto, 2014).

c. Metode Asap cair

Asap cair merupakan salah satu hasil pirolisis tanaman atau kayu

pada suhu sekitar 400 ºC (Soldera et al., 2008 dalam Susanto, 2014).

Kondensasi asap yang dihasilkan melalui cerobong reaktor pirolisis akan

menghasilkan asap cair. Proses kondensasi asap menjadi asap cair

sangat bermanfaat bagi perlindungan pencemaran udara yang ditimbulkan

oleh proses pirolisis (Haji et al., 2007 dalam Susanto, 2014).

Metode Asap cair, aroma asap dalam metode ini dihasilkan tanpa

melalui proses pengasapan, melainkan dengan penambahan cairan

bahan pengasap (smoking agent) ke dalam produk. Bahan baku ikan

direndam dalam cuka kayu (wood acid) yang didapat dari hasil ekstrak

penguapan kering unsur kayu atau dari hasil ekstrak yang ditambah

pewangi kayu yang hampir sama dengan aroma asap, setelah itu ikan
13

dipanaskan dan menjadi produk akhir. Metode penambahan bahan

pengasap ke dalam ikan dapat dilakukan melalui penuangan langsung,

pengolesan atau penyemprotan. (Utomo et al., 2012).

Persyaratan standar ikan asap sesuai dengan persyaratan yang

ditetapkan oleh badan Standardisasi Nasional (BSN) Standarisasi

Nasional IndonesiaI ikan (SNI 2725:2013) disajikan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Persyaratan Mutu dan Keamanan Ikan Asap Dengan Pengasapan
Panas (SNI 2725:2013)
Parameter uji Satuan Persyaratan
a. Sensori - Min. 7 (skor 1 – 9)

b. Kimia

- Kadar air % Maks. 60,0

- Kadar lemak % Maks. 20,0

- Histamin*** mg/kg Maks. 100

c. Cemaran mikroba

- ALT koloni/g Maks. 5,0 x 104

- Escherichia coli APM/g <3

- Salmonella - Negatif/25 g

-Staphylococcus aureus koloni/g Maks. 1,0 x 103

-Kapang* koloni/g Maks. 1 x 102


14

Lanjutan Tabel 3.1


d. Cemaran logam*
mg/kg Maks. 1,0
- Arsen (As)
mg/kg Maks. 0,1
- Kadmium (Cd)
mg/kg Maks. 0,5 **
- Merkuri (Hg) mg/kg Maks. 0,5
mg/kg Maks. 1,0 **
- Timah (Sn)
mg/kg Maks. 40,0
-Timbal (Pb)
mg/kg Maks. 0,3
mg/kg Maks. 0,4**
e. Residu kimia*

- Kloramfenikol - Tidak boleh ada

- Jumlah malachite - Tidak boleh ada

greendan leuchomalachite
- Tidak boleh ada
green

- Metabolit nitrofuran (SEM,

AHD, AOS, AMOZ)

f. cemaran kimia

- Benzo(a)piren* µg/kg Maks. 5

CATATAN

* Bila diperlakukan

** untuk ikan predator

*** jika diperlukan untuk ikan scombroid, clupeidae, pomatomidae, coriphaenedae


15

Persyaratan standar ikan asap sesuai dengan persyaratan yang

ditetapkan oleh badan Standardisasi Nasional (BSN) dalam

Standardisasi Nasional IndonesiaI ikan asap (SNI 2725.1 :2009).

Tabel 3.2 Standardisasi Nasional IndonesiaI ikan asap


(SNI 2725.1:2009)
Jenis Uji Satuan Persyaratan
Organoleptik Angka (1 -9) Minimal 7

Cemaran mikroba

ALT (Angka Koloni/g Maksimal 1.0 x 105

Lempeng Total)

Escherchia coli APM/g Maksimal< 3

Salmonella Per 25 g Negatif

Vibrio cholerae Per 25 g Negatif

Staphylococus Koloni/g Maksimal 1,0 x 103

Aerus

Kimia *

Kadar air % fraksimassa Maksimal 60

Kadar garam mg/kg Maksimal 4

PAH (HPLC) - -
16

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini tergolong dalam penelitian percobaan (experimental

laboratories). Metode experimental laboratories merupakan metode

penelitian yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya akibat dari suatu

obyek yang diteliti, dengan menunjukkan adanya hubungan sebab akibat

yaitu membandingkan kelompok penelitian yang diberi perlakuan dengan

kelompok yang tidak diberi perlakuan sebagai pembanding (Arikunto,

2002). Adapun prosedur kerja sebagai berikut.

1. Tahapan persiapan

Tahapan persiapan penelitian meliputi persiapan alat dan bahan

dalam penelitian. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

belut (Monopterus albus) yang diambil dari persawahan di Kabupaten

Sinjai Barat, Desa Barania.

2. Pengasapan belut

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu belut

sebanyak 4 kg yang di peroleh dari kecamatan Sinjai Barat desa

Barania yaitu sebanyak 1 kg belut untuk pengasapan panas, 1 kg belut

untuk pengasapan dingin dan 1 kg untuk pengasapan cair dan 1 kg

untuk kontrol. Sedangkan bahan bahan yang digunakan dalam


17

pembuatan belut asap adalah tempurung kelapa, garam dapur (NaCl),

dan asap cair. Proses diawali dengan mematikan terlebih dahulu belut

yang masih segar, belut yang sudah mati dibelah bagian perut dan

disiangi dengan membuang semua isi perutnya, belut dicuci kemudian

direndam dalam garam 15% selama 30 menit dan dilakukan penirisan

selama ± 15 menit (Susanto, 2014) setelah persiapan pengasapan

selesai, kemudian dilanjutkan dengan proses pengasapan yaitu belut

yang telah diberikan perlakuan disusun dalam ruang pengasapan,

pengasapan dilakukan dengan menggunakan bahan tempurung kelapa,

Selanjutnya proses pengasapan dengan menggunakan metode

pengasapan panas dengan suhu berkisar antara 60-80 ºC dengan

waktu pengasapan sekitar ± 8 jam menurut Susanto (2014). Kemudian

dilakukan pengasapan dengan metode pengasapan dingin dengan

suhu berkisar antara 30 ºC – 60 ºC selama ± 3 hari Susanto (2014).

Lalu dilanjutkan dengan metode pengasapan cair yaitu dengan cara

belut yang telah disiangi dan dibersihkan direndam dalam larutan asap

cair dengan perbandingan 60 ml dicampurkan kedalam air sebanyak

1 liter dengan lama perendaman selama 15 menit, setelah itu belut

dipanaskan menggunakan oven dengan suhu 180 ºC selama ± 1 jam.

Tahapan pengasapan belut (Monopterus albus) dapat pada skema 3.1.


18

Persiapan Alat

Tahap Persiapan Persiapan Bahan Pengambilan


Sampel

. -Mematikan Belut
-Penyiangan dan
pembuangan isi perut
-penggaraman 15 %
-Penirisan selama ± 15
menit

Susun belut dalam


ruang pengasapan
selama ± 8 jam
Pengasapan Panas dengan suhu berkisar
antara 60-100 ºC

Susun belut dalam


ruang pengasapan
Tahap pelaksanaan Pengasapan Dingin selama 3 hari dengan
suhu berkisar antara
30-60 ºC

Rendam belut dalam


asap cair selama 15
Asap cair menit lalu masukkan
ke dalam oven
dengan suhu 180 ºC

Gambar 3.2 Skema pengasapan belut (Monopterus albus)


19

Belut asap panas

Sampel
Belut asap dingin
Tahap pengujian

Belut asap cair


Kadar air, Kadar
lemak, Kadar
protein

Gambar 3.3 Skema pengujian nutrisi belut (Monopterus albus)

3. Pengujian kandungan gizi, organoleptik dan tingkat kesukaan

Kandungan nutrisi belut asap diuji di Laboratorium Balai Penerapan

Mutu Produk Perikanan (BPMPP) Makassar, dan pengujian organoleptik

serta pengujian tingkat kesukaan dilakukan di Laboratorium THP STITEK

Balik Diwa Makassar.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli - Agustus 2019.

Sampel belut (Monopterus albus) diambil dari persawahan di Kecamatan

Sinjai Barat Desa Barania, pengujian kandungan gizi dilakukan di

Laboratorium Laboratorium Balai Penerapan Mutu Produk Perikanan

(BPMPP) Makassar, serta penilaian organoleptik dan pengujian tingkat

kesukaan belut asap di lakukan di laboratorium THP Stitek Balik Diwa.

C. Bahan Dan Alat Penelitian

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat

pada Tabel 3.2, 3.3, 3.4 dan 3.5


20

Tabel 3.2. Bahan belut asap

Bahan Volume

Belut (Monopterus albus) 3 kg

Asap cair 60 ml

Garam dapur (NaCl) 45 gr

Tempurung Kelapa 20 kg

Tabel 3.3 Alat Pengasapaan

Alat Kegunaan
Tempurung kelapa Sebagai bahan untuk pembakaran

belut asap

Pisau Untuk memotong belut

Talenan Alas untuk memotong belut

Baskom Wadah untuk belut

Termometer Mengukur temperatur belut yang

di asap

Oven Memanggang belut yang telah

direndam dengan asap cair

Korek Menyalakan api

Rumah asap Tempat untuk mengasap belut


21

Tabel 3.4 Bahan pengujian nutrisi


Bahan Volume
Aquadest 250 ml

Selenium 1 butir

H2SO4 3 ml

NaOH 40% 0 ml

Asam borat 25 ml

H3BO3 2%

Bromeresol green 0,1%

Methyl red 0,1%

HCl 50 ml

Air 10 ml

Tabel 3.5. Alat pengujian nutrisi


Alat Kegunaan
Timbangan eletrik Menimbang bahan

Labu ukur Menampung bahan

Oven Mensterilkan

Deksikator Tempat penyimpanan sampel

Cawan petri Wadah media

Thermometer Mengukur suhu

Magnetic stirer Mengaduk bahan


22

Lanjutan Tabel 3.5


Beaker glass Sebagai wadah bahan

Mikropipet Mengukur volume bahan

Autoclave Mensterilkan bahan

Erlenmeyer Wadah bahan

Tabung soxhlet Wadah bahan

Blender Menghancurkan sampel

Refrigerator Tempat penyimpanan sampel

Kertas saring Memisahkan suspensi dan cairan

D. Unit Analisis
Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah belut yang

diolah dengan metode pengasapan yang berbeda yang bertujuan untuk

melihat kandungan nutrisi, organoleptik dan tingkat kesukaan belut asap.

Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL)

dengan perbandingan perlakuan metode pengasapan panas, pengasapan

dingin dan asap cair. Perlakuan belut asap dapat dilihat pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6. Perlakuan belut asap


Volume
Metode Metode Metode
Bahan
Pengasapan Pengasapan Pengasapan
Panas Dingin cair
Belut 1 kg 1 kg 1 kg
Garam dapur (NaCl) 15% 15% 15%
Asap cair 0 0 50 ml
Tempurung kelapa 7 kg 13 kg 0
23

E. Teknik Sampling

Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Probability sampling dengan teknik Simpel random sampling yaitu teknik

pengambilan sampel sederhana yang dilakukan secara acak tanpa

memperhatikan strata yang ada dalam populasi.

F. Objek Penelitian

Objek pada penelitian ini adalah kadar air, kadar lemak, kadar

histamin, nilai organoleptik dan uji tingkat kesukaan belut asap. Adapun

prosedur kerja pengujian sebagai berikut:

1. Kadar Air

Prosedur analisa air mengacu pada Analisa kadar Air (AOAC,

2005). Prinsip analisis kadar air adalah mengetahui kandungan

atau jumlah air yang terdapat dalam suatu bahan. Tahap pertama

yang dilakukan pada analisis kadar air adalah mengeringkan cawan

porselin dalam oven pada suhu 105 °C selama 1 jam. Cawan tersebut

kemudian diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan

dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Sampel seberat 1

gram ditimbang setelah terlebih dahulu digerus. Cawan yang telah

diisi sampel dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102 - 105 °C

selama 5 - 6 jam. Cawan kemudian dimasukkan ke dalam

desikator dan dibiarkan sampai dingin (30 menit) kemudian

ditimbang.
24

Perhitungan kadar air pada belut adalah:

𝐵−𝐶
% kadar air: 𝐵−𝐴 × 100%

Keterangan:

A = Berat cawan kosong (g)

B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (g)

C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (g)

2. Analisis Kadar Lemak

Prosedur analisa Lemak mengacu pada Analisa kadar Lemak

(AOAC, 2005). Sampel sebanyak 2 gram (W1) dimasukkan ke

dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak,

kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang

berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet.

Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung

soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi

dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40

°C dengan pemanas listrik selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada

dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap.

Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor,

pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak,

selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C,
25

setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan

(W3). Kadar lemak ditentukan dengan rumus:

𝑊3−𝑊2
% kadar lemak = × 100%
𝑊1

3. Pengujian protein

Prosedur analisa protein mengacu pada Analisa kadar protein

(AOAC, 2005). Prinsip dari analisis kadar protein yaitu untuk

mengetahui kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu

bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terbagi

atas tiga tahapan, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.

a. Tahap destruksi

Sampel ditimbang sebanyak 0,5 gram. Sampel dimasukkan ke

dalam labu kjeldahl. Satu butir selenium dimasukkan ke dalam

tabung tersebut dan ditambahkan 3 ml H2SO4. Tabung yang berisi

larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu

410 °C ditambah 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai

larutan menjadi jernih.

b. Tahap destilasi

Larutan yang telah jernih didinginkan dan kemudian ditambahkan

50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40% lalu didestilasi. Hasil destilasi

ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi 25 ml asam borat

(H3BO3) 2% yang mengandung indikator bromcresol green 0,1% dan


26

methyl red 0,1% dengan perbandingan 2 : 1 dan hasil destilat

berwarna hijau kebiruan.

c. Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl sampai warna larutan

pada erlenmeyer berubah warna menjadi merah muda. Volume

titrasi

dibaca dan dicatat. Perhitungan kadar protein pada belut dapat

dihitung dengan:

V x N x 14 x 6,25 x P
% Kadar Protein = berat sampel (mgr) X 100%

Keterangan :

V= Volume Titrasi contoh

N= Normalitas Larutan H2SO4

P= Faktor

4. Uji organoleptik

Untuk melaksanakan penilaian organoleptik diperlukan panel.

Dalam penilaian suatu mutu atau analisis sifat-sifat sensorik suatu

komoditi, panel bertindak sebagai instrumen atau alat. Panel ini terdiri

dari orang atau kelompok yang bertugas menilai sifat atau mutu

komoditi berdasarkan kesan subjektif. Orang yang menjadi anggota

panel disebut panelis. penilaian organoleptik dilakukan oleh 25


27

orang panelis semi terlatihdengan skala penilaian amat sangat suka

(9), sangat suka (8), suka (7), agak suka (6), netral (5), agak tidak suka

(4), tidak suka (3), sangat tidak suka (2), dan amat sangat tidak suka

(1).

5. Uji hedonik

Uji kesukaan juga disebut uji hedonik. Panelis dimintakan

tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya

(ketidaksukaan). Disamping panelis mengemukakan tanggapan senang,

suka atau kebalikannya, mereka juga mengemukakan tingkat

kesukaannya. Tingkat – tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik.

Misalnya dalam hal “ suka “ dapat mempunyai skala hedonik seperti

amat sangat suka, sangat suka, suka, agak suka. Sebaliknya jika

tanggapan itu “tidak suka“ dapat mempunyai skala hedonik seperti suka

dan agak suka, terdapat tanggapannya yang disebut sebagai netral,

yaitu bukan suka tetapi juga bukan tidak suka (neither like nordislike).

Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut rentangan

skala yang dikehendakinya. Skala hedonik dapat juga diubah menjadi

skala numerik dengan angka mutu menurut tingkat kesukaan. Dengan

data numerik ini dapat dilakukan analisis secara statistik. Penggunaan

skala hedonik pada prakteknya dapat digunakan untuk mengetahui

perbedaan. Sehingga uji hedonic sering digunakan untuk menilai secara

organoleptik terhadap komoditas sejenis atau produk pengembangan. Uji

hedonik banyak digunakan untuk menilai produk akhir. Penilaian tingkat


28

kesukaan dilakukan oleh 25 orang panelis semi terlatih dengan skala

penilaian amat sangat suka (9), sangat suka (8), suka (7), agak suka (6),

netral (5), agak tidak suka (4), tidak suka (3), sangat tidak suka (2), dan

amat sangat tidak suka (1).

G. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pengujian kadar air dan kadar

protein selanjutnya data akan di uji dengan “analysis of varian” (ANOVA)

yaitu untuk mengetahui ada tidaknya beda nyata diantara perlakuan

pengasapan panas, pengasapan dingin dan pengasapan cair.


29

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 2005. Official Method


of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist.
Arlington, Virginia, USA: Association of Official Analytical
Chemist, Inc.

Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara.


Jakarta. 159 hal.

Arikunto, S. 2002. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.

Arisman, Muslihati, Rusian, Suhadi dan Yumarta, 1981. Pengawetan dan


Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Badan Standarisasi Nasional. (2009). SNI 2725.1- 2009: Ikan asap.

Firdausi, R.S. 2014. Pengaruh subtitusi cacing tanah menggunakan pakan


komesial (pasta) terhadap pertumbuhan, tingkat konsumsi dan
rasio konversi pakan belut sawah (Monopterus albus) yang
dipelihara dengan sistem resirkulasi [skripsi]. Surabaya. Fakulktas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Airlangga

Irianto, H dan Soesilo, I. 2007. Dukungan Tkhnologi Penyediaan produk


perikanan. Badan riset kelautan dan perikanan. Jakarta: Badan
Standardisasi Nasional

Lyhs, U. (2002). Lactic acid bacteria associated with the spoilage of fish
products. D isertasi.Medicine University of Helsinki, Helsinki.

Rahmawati, L. A. 2013. Pemanfaatan Belut (Monoptherus albus Zuieuw)


Dalam Pembuatan Bakso [skripsi].Bogor. Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor.

Resiandini, D S., Indrawati, V. 2013. Pengaruh jumlah daging belut


(Monopterus albus) dan penambahan puree wortel (Daucus carota)
pada hasil jadi kerupuk. E-journal Boga. 2(3):95-103.

Sajiwo. A. J., Buchari D., & Leksono T. (2016). Pengaruh Sistem


Pengemasan Vakum dan Nonvakum Terhadap Mutu Belut
(Monopterus albus) Asap Dengan Penambahan Serai
(Cymboppogon citratus) Selama Penyimpanan Pada Suhu Ruang
(29± 3°C). Jurnal. Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan,
Universitas Riau. 2(3):60-100.2016
30

Santoso, R. 2014. Penambahan Atraktan Yang Berbeda Dalam Pakan


Buatan Pasta Terhadap Pertumbuhan Dan Feed Convertion Ratio
Belut (Monopterus albus) Dengan Sistem Resirkulasi [skripsi].
Surabaya. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas
Airlangga.

Sarwono, B. 1983. Budidaya Belut dan Sidat. PT. Panebar Swadaya.


Jakarta.

Standar Nasional Indonesia. SNI 2725:2013 Persyaratan Mutu dan


Keamanan Ikan Asap Dengan Pengasapan Panas

Suryani, A. A. 2012. Komposisi Asam Lemak dan Kolesterol Belut Sawah


(Monopterus albus) Akibat Penggorengan [skripsi]. Bogor. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

Suryani, Y. 2007. Peran Biokimia Sebagai Alat Pengungkap Nilai Tradisi


Belut Sawah (Monopterus albus). Jurdik Biologi FMIPA UNY

Susanto, E.(2014)Mempelajari Kinerja Alat Pengasap Ikan Tipe Cabinet


dan Pengaruhnya terhadap Mutu Ikan Asap. Warta IHP, 31(1),32-
38.hal 33-34

Tan, Q. and R. He. 2007. Effect of dietary supplementation of vitamin A,


D3, E, and C on yearling rice field eel, Monopterus albus: serum
indices, gonad development, and metabolism of calcium and
phosphorus. Journal of the World Aquaculture Society. 38 (1) : 146-
153.

Ulianty, E. N. 2002. Pemanfaatan Belut (Monopterus albus) Sebagai Abon


dengan Penambahan Keluwih (Artocarpus communis) [skripsi].
Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.

Utomo, B.S.B., Wibowo S.,&Widianti T.N. (2012).Asap Cair, Cara


membuat dan aplikasinya pada pengolahan ikan asap.
Jakarta:Penebar Swadaya.

Yudono B, Pertiwi S. E., & Munawar. (2007). Perbaikan proses produksi


asap cair pada industri kecil asap cair di Desa Sembawa
Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Di Dalam Prosiding
Seminar Pembahasan Hasil Kegiatan Pengabdian Kepada
Masyarakat Program Penerapan Ipteks dan Vucer Universitas
Sriwijaya Indralaya, 6-7 April. hlm 47-55.

Anda mungkin juga menyukai