Anda di halaman 1dari 6

Nama : Eflysa Aprilia

NPM : 230110160160
Kelas : Perikanan C 2016
Mata Kuiah : Biotoksikologi Perikanan
Materi : Review Artikel Biotoksikoogi Perikanan

PRINSIP UMUM TOKSIKOLOGI PERAIRAN


Toksikologi perairan (aquatic toxicology) adalah studi kualitatif dan kuantitatif untuk mengetahui
dampak buruk (adverse effect) atau efek toksik dari bahan kimia dan bahan-bahan lain sebagai
hasil aktifitas manusia terhadap organisme perairan. Selain itu, toksikologi perairan juga menelaah
konsentrasi atau kuantitas bahan kimia yang diperkirakan terdapat dalam lingkungan perairan,
baik dalam badan perairan, sedimen atau makanan.

Sifat-sifat fisika dan kimia dari ekosistem perairan dapat secara signifikan mempengaruhi dampak
aktifitas biologis dan skala/besaran dampak toksik dari bahan kimia atau xenobitics lainnya.
Tingkat kerentanan lingkungan perairan terhadap gangguan bahan kimia bergantung pada
beberapa faktor, meliputi : (i) sifat fisika-kimia dari bahan kimia dan produk-produk
transformasinya, (ii) konsentrasi bahan kimia yang memasuki ekosistem, (iii) durasi dan jenis
input (akut atau kronik, tumpahan terputus-putus atau berkesinambungan), (iv) kemampuan
ekosistem untuk mempertahankan diri (kapasitas buffering pH, dinamika pergerakan massa air)
dan (v) lokasi ekosistem terhadap tempat pembuangan limbah kimia.

Transformasi Biokimia Aspek kimia toksikologi terikat erat dengan reaksi-reaksi metabolik dan
nasib senyawa kimia dalam tubuh organisme. Di dalam tubuh organisme, bahan-bahan toksik
sistemik mengalami (1) reaksi-reaksi biokimia yang membuat mereka memiliki efek toksik, dan
(2) proses biokimiawi yang meningkatkan atau menurunkan toksisitas mereka, atau merubah
toksikan menjadi bentuk-bentuk senyawa yang siap untuk dikeluarkan dari dalam tubuh.

Dalam menghadapi senyawa xenobiotics, tubuh organisme melakukan metabolisme yang


umumnya dalam bentuk penurunan tingkat toksisitas dan fasilitasi pelepasan senyawa dari tubuh
organisme. Serangan awal terhadap senyawa xenobiotics (umumnya lipofilik) umumnya
melibatkan reaksi-reaksi hydrolysis, oksidasi dan sedikit reduksi, yang umum dikenal sebagai
reaksi fase I. Reaksi fase I ini dimulai dengan mengeluarkan polar reaktif pada molekul toksikan
yang menjadikannya lebih mudah larut dalam air sehingga lebih mudah mengalami reaksi-reaksi
berikutnya. Senyawa induk atau metabolik produk reaksi fase I akan mengalami reaksi konjugasi
dengan substansi asli dari tubuh organisme. Proses konjugasi ini disebut reaksi Fase II yang akan
menghasilkan produk konjugasi yang umumnya kurang toksik dibandingkan dengan senyawa
induk atau metabolit fase I, dan menjadi lebih mudah untuk diekskresikan dari tubuh.

Dampak (Efek) : terdapat 2 jenis efek, yaitu: efek akut yang terjadi secara cepat sebagai hasil
pemaparan jangka pendek, dan efek kronik atau sub-kronik yang terjadi secara perlahan (latency)
sebagai akibat dari pemaparan tunggal atau berulang dalam jangka waktu yang lama. Pada
beberapa jenis ikan dan organisme akuatik, efek yang timbul dalam hitungan jam, hari atau minggu
dianggap akut. Efek akut biasanya berdampak parah dan mematikan (severe) yang umumnya
diukur melalui dalam bentuk kematian (mortalitas atau lethalitas). Suatu bahan kimia dianggap
bersifat akut toksisitasnya jika aksi langsungnya mampu membunuh paling sedikit 50% dari
populasi uji dalam jangka waktu singkat, yaitu 96 jam hingga 14 hari. Efek kronik dapat bersifat
lethal atau sub-lethal. Efek kronik yang bersifat lethal misalnya kegagalan organisme yang
mengalami pemaparan kronik untuk menghasilkan telur atau keturunan. Adapun efek kronik yang
bersifat sub-lethal yang paling umum adalah perubahan tingkah laku (misal: berenang, menghindar
dari ancaman dan hubungan mangsapredator), perubahan fisiologis (misal: pertumbuhan,
reproduksi dan perkembangan), perubahan biokimiawi (misal: konsentrasi enzim dan ion dalam
darah) serta perubahan histologis. Beberapa efek sub-lethal dapat secara tidak langsung
menyebabkan kematian (lethalitas), misalnya: perubahan dalam beberapa pola tingkah laku (misal:
renang dan penciuman/olfactory) dapat menurunkan kemampuan ikan atau organisme perairan
lainnya untuk menemukan makanan atau tidak mampu menghindari predator yang berakhir pada
kematian.

PENYAKIT YANG DISEBABKAN TOKSIN LAUT (berasosiasi dengan Fitoplankton)

Penyakit manusia yang disebabkan oleh mengkonsumsi hasil laut (ikan, kerang, lobster dsbnya)
yang tercemar/terkontaminasi oleh toksin fitoplankton atau melalui menghirup udara/aerosol yang
mengandung brevetoksin saat terjadi kondisi red-tide (peledakan populasi mikro algae tertentu).
Fitoplankton membentuk bagian dasar jejaring makanan di laut (marine food web), dan toksin
yang dihasilkannya dapat terakumulasi dan terkonsentrasi pada organisme-organisme lain yang
letaknya lebih tinggi pada jejaring makanan. Jalur lain adalah disaat fitoplankton terhempas
gelombang dan tertiup angin ke arah pantai membentuk aerosol yang membawa serta fragmen-
fragmen fitoplankton yang mengandung toksin yang kemudian terhirup oleh manusia, seperti yang
pernah terjadi di pantai Florida (1973) dan dilaporkan menyebabkan iritasi kulit dan gangguan
pernafasan (respiratory distress) pada saat terjadinya blooming alga Gymnodinium breve (atau
nama barunya Karenia brevis).

Penyakit-penyakit utama yang terkait dengan fitoplankton umumnya karena mengkonsumsi hasil
laut (umumnya jenis-jenis kerang dan krustase). Termasuk diantaranya adalah: amnesic shellfish
poisoning (ASP), diarrheic shellfish poisoning (DSP), neurotoxic shellfish poisoning (NSP) dan
paralytic shellfish poisoning (PSP). Selain itu terdapat jenis-jenis penyakit lain yang tidak terkait
dengan blooming algae (harmful algal toxins/HABs), misalnya: akibat mengkonsumsi ikan yang
terkontaminasi oleh ciguatoxins yang dihasilkan oleh fitoplankton (Gamerdiscus toxicus) yang
umumnya dijumpai/hidup pada hamparan terumbu karang. Sedang penyakit yang lain adalah
keracunan ikan fugu (buntal) akibat tetrodotoksin yang dampak fisiologisnya mirip dengan
paralytic shellfish poisonings (PSP) walaupun struktur kimianya berbeda..

Amnesic Shellfish Poisoning (ASP)

Asam Domoat (Domoic acid) yang dapat memicu timbulnya aksi neurotransmitter pada syaraf
manusia, teridentifikasi pada kerang-kerang yang tersisa tidak termakan oleh para korban dan yang
dikoleksi dari hamparan budidaya di wilayah-wilayah estuarin tadi. Asam domoat kemudian
diketahui diproduksi oleh sejenis diatom Nitzchia pungens yang terdapat melimpah dalam
gastrointestin kerang-kerang yang dikonsumsi para korban. Para korban diketahui menderita
gejala-gejala yang terkait dengan gastrointestin (muntah, kram pada perut dan diarrhea) dan gejala-
gejala neurologis (sakit kepala yang dahsyat dan kehilangan memori jangka pendek)

Diarrheic shellfish poisoning (DSP)

Kasus pertama penyakit gastroinstestinal manusia yang terkait dengan masalah konsumsi kerang
hijau dan tiram (Mytillus, scallops, dsbnya) yang terkontaminasi dinoflagellata pertama kali
dijumpai di Netherland lalu di Jepang (akhir 1979). Penyakit ini kemudian disebut diarrheic
shellfish poisoning/DSP (diare akibat keracunan kerangkerangan).

Neurotoxic shellfish poisoning

Neurotoxic shellfish poisoning (NSP) telah dikenal sejak tahun 1990-an yang berasal dari laporan
kejadian di bagian Tenggara USA (Gold Coast) dan sebelah Timur Meksiko. Peledakan penyakit
NSP terkait dengan konsumsi kerang hijau dan Oyster dan beberapa jenis ‘filter feeders’ lainnya.
Penyakit ini muncul selalu bersamaan dengan terjadinya red-tides. Jenis toksin ini terutama
terakumulasi pada bagian otot kaki kerang (adductor muscles) yang disenangi dan enak dimakan.

Paralytic shellfish poisoning (PSP)

PSP pada manusia terjadi setelah mengkonsumsi bivalvia yang terkontaminasi senyawa saxitoxin,
yang umumnya terakumulasi pada organ hypatopancreas (kelenjar pencernaan). PSP disebabkan
oleh mengkonsumsi kepiting dan gastropoda (jenis siput) dari terumbu karang telah dilaporkan
terjadi di Jepang dan Fiji (Noguchi et al., 1969), dan di Indonesia PSP melibatkan ikan sebagai
transvektor (Adnan, 1984).

Racun Ikan Ciguatera

Sumber ciguatoxin, yang merupakan kelompok polyethers yang larut dalam lemak adalah
Gambierdiscus toxicus, dinoflagellata laut uniseluler yang terutama dijumpai melimpah di sekitar
terumbu karangs (Legrand et al., 1992). Toksin ini terakumulasi pada jaringan tubuh ikan-ikan
besar (herbivore dan karnivora) yang hidup di daerah terumbu karang (Lange, 1987). Jenis ikan
yang paling banyak mengakumulasi ciguatoksin adalah jenis-jenis ikan kerapu (Plectropoma spp.),
barracudas (Sphyraena spp.), ikan cepa/snappers (e.g., Lutjanus bohar), ikan lencam/carrang
(Caranx ruber), ikan kakatua/parrotfish dan ikan kupu-kupu kecil (Dalzell, 1994; Escalona de
Motta et al., 1986; Morris et al. 1982).

PENYEBARAN TOKSIN PARALYTIC SHELLFISH POISONING PADA ORGAN


TUBUH HEWAN SUMBER MAKANAN DARI LAUT

Toksin PSP akan diakumulasi di dalam tubuh hewan laut yang memakan mikroalgae dan toksin
terse but akan terdistribusi pada organ tubuhnya. Dalam kadar tertentu, PSP akan menimbulkan
keracunan dan kematian pada udang, kerang dan ikan. Sedangkan bila hewan taut yang
mengandung toksin PSP tersebut dimakan manusia maka dapat menyebabkan keracunan dan
kematian. Menurut Azanza (1999), bagian tubuh hewan laut yang paling banyak mengandung
toksin PSP adalah pada saluran pencemaan dan pada bagian kepala. Sedangkan pacta bagian otot
atau dagingnya, mengandung toksin PSP yang paling rendah.. Keracunan pacta manusia akan
terjadi bila kadar PSP di dalam tubuh lebih dari 0,72 mg (2). Gejala keracunan pad a manusia an
tara lain gatal-gatal (tingling), kehilangan rasa (numbness), bibir dan ujung jari kemcrahan seperti
tcrbakar (burning of lips and fingertips), hilangnya kontrol untuk gerakan otot (loss of motor
contro!), perasaan mengantuk (drowsiness), bicaranya kacau (incoherence), demam (fever), dan
kelumpuhan pacta safar pemapasan (respiratory paralysis) (4,5). Dengan adanya batasan kadar
toksin PSP yang diijinkan dalam bahan makanan yang berasal dari laut yang akan diekspor sebesar
0,5 ppm total berat basah, maka perlu dipelajari cara penentuan kadar toksin PSP dan distribusinya
di dalam tubuh kerang, udang dan ikan. Hipotesanya adalah bahwa kadar PSP dalam organ kepala,
saluran pencemaan dan bagian daging atau otot akan menunjukkan perbedaan yang bermakna.

Makanan pokok kerang, udang dan ikan adalah mikroalgae, baik berupa phytoplankton maupun
zooplankton. Beberapa mikroalgae mengeluarkan toksin, antara lain toksin PSP (Paralytic
Shellfish Poisoning). Toksin DSP (Diarrhetic Shellfish Poisoning), Toksin NSP (Neurotoxic
Shellfish Poisoning), Toksin ASP (Amnesic Shellfish Poisoning), toksin CFP ( Ciguatera Fish
Poisoning) . Dari beberapa macam toksin tersebut, PSP adalah toksin yang dominan dan ditemukan
pada semua hewan laut. PSP dihasilkan oleh mikroalga Pyrodinium bahamense, Alexandrium
tamarense, don Gymnodinium catenatum. Sebagian besar mikroalgae yang dimakan oleh hewan
laut, masuk ke dalam tubuh melalui mulut, dicema di dalam saluran pencemaan dan diserap lewat
dinding saluran pencemaan. Pad a waktu dilakukan sampling, mikroalgae dan bahan toksisnya,
sebagian ada di dalam mulut atau kepala, sebagian ada di dalam saluran pencemaan dan sebagian
sudah diserap dari usus dan ada di dalam daging atau otot.

Dalam kaitannya dengan distribusi toksin PSP, tubuh kerang hanya dapat digolongkan menjadi
bagian sa luran pen cerna an dan bagian daging atau otot. Semen tara untuk sampel udang dan ikan
dapat digolongkan menjadi bagian kepala, bagian saluran pencernaan dan bagian daging atau otot.
bagian saluran pencemaan mengandung toksin PSP yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan
dengan bagian daging kerang. Hal ini mudah dipahami, karena mikroalgae yang ditangkap oleh
kerang langsung dicema lewat saluran pencernaan makarumnya. Scmcntara masuknya toksin PSP
ke dalam daging kerang memerlukan proses absorbsi lewat dinding saluran pencemaan. Dengan
demikian kadamya relatif akan ebih rendah. Sebagian besar makanan kerang adalah mikroalgae,
sehingga kadar toksin PSP di dalam tubuhnya cukup tinggi.

Sebagian besar makanan yang berasal dari hewan laut mengandung toksin PSP. Kadar toksin PSP
dalam organ kepala, saluran pencemaan dan daging hewan laut. Dengan demikian penyebaran
toksin PSP pada organ tubuh hewan taut, sebagian besar terdapat dalam saluran pencemaan
makanan. Kemudian disusul oleh bagian kepala dan bagian dagingnya (18-30,77%). Untuk
mengurangi keracunan PSP, sebaiknya bahan makanan dari laut hanya dikonsumsi dagingnya saja.
Sedangkan bagian kepala dan bagian saluran pencemaan hendaknya dibuang dan tidak ikut
dikonsumsi. Pada kondisi algae blooming sebaiknya mengurangi mengkonsumsi sea food, sebab
pada kondisi blooming akan terjadi peningkatan toksin PSP di lingkungan laut.

Anda mungkin juga menyukai