Anda di halaman 1dari 5

TINJAUAN PUSTAKA

Plankton
Istilah plankton pertama kali dipergunakan oleh Hensen pada tahun 1887 dan meliputi semua
organisme hidup, baik flora maupun fauna, yang melayang di dalam air laut dan terbawa oleh
pergerakan air (Praseno, 2000). Plankton merupakan makhluk (tumbuhan dan hewan) yang hidup
mengapung, mengambang atau melayang di dalam air yang memiliki kemampuan renang yang
sangat terbatas hingga selalu terbawa hanyut oleh arus (Nontji, 2006)
Plankton terbagi menjadi dua yaitu fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton (plankton nabati)
merupakan tumbuhan yang berukuran mikrokopis yang hidup melayang di laut dan tak dapat terlihat
oleh mata telanjang, sedangkan zooplankton (plankton hewani) merupakan hewan yang hidup
mengapung, mengambang dan melayang di laut (Nontji, 2006).
Fitoplankton
Fitoplankton merupakan komponen utama dari ekosistem pelagis, yang merubah unsur-unsur hara
(nutrien) menjadi bahan organik (karbohidrat) melalui proses fotosintesis (Wiadnyana, 1992).
Fotosintesis merupakan proses pemanfaatan energi cahaya matahari dalam mengubah senyawa
anorganik menjadi senyawa organik yang diperlukan untuk pertumbuhan (Campbell, 2000).
Berikut merupakan reaksi fotosintesis secara sederhana:
12H2O + 6CO2 + cahaya C6H12O6 + 6O2 + 6H2O
Fitoplankton utama di laut dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar yaitu Diatom,
Dinoflagellata dan Coccolithophora. Selain itu terdapat Sianobacteria dan alga hijau walaupun
jumlahnya relatif kecil (Praseno, 2000). Menurut Nontji (2006), kelompok fitoplankton yang sangat
umum dijumpai di perairan tropis adalah adalah Diatom (Bacillariophyceae) dan Dinoflagelata
(Dynophyceae).
Di perairan estuari atau pantai kelompok Diatom umumnya yang mendominasi perairan, hal ini
disebabkan karena kemampuan reproduksi Diatom yang lebih besar dibandingkan fitoplankton jenis
lain. Pada saat terjadi peningkatan konsentrasi zat hara, Diatom mampu melakukan pembelahan
mitosis sebanyak tiga kali dalam 24 jam, sedangkan Dinoflagellata hanya mampu melakukan

pembelahannya satu kali dalam 24 jam pada konsentrasi yang sama. Di perairan lepas pantai
Dinoflagellata memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dari fitoplankton yang lainnya karena
Dinoflagellata mampu memanfaatkan zat hara dalam konsentrasi yang rendah (Praseno, 2000)
Pada kondisi lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan, maka sel fitoplankton akan mulai untuk
tumbuh. Fitoplankton merupakan organisme autotrof, yang hanya memerlukan cahaya dan nutrien
anorganik seperti PO4 , NO3-, CO2 dan CO3 serta sedikit logam kelumit seperti besi (Fe), seng (Zn)
3-

2-

dan silikat (SiO2) untuk pertumbuhannya.


Fitoplankton dapat melakukan reproduksi secara aseksual dan seksual, namun reproduksi secara
seksual memberikan dampak paling besar terhadap kelimpahan spesies. Ketika terjadi pengkopian
DNA dari induk ke anakan, maka anakan akan menghasilkan sel yang terus menerus dapat
menghasilkan anakan lainnya melalui pengkopian DNA .
Pertumbuhan fitoplankton terdiri dari tiga fase (www.noaa.com), seperti terlihat pada Gambar
berikut ini.

Gambar 1. Grafik pertumbuhan fitoplankton


Keterangan gambar:
1. Fase penyesuaian
Merupakan tahapan dimana pertumbuhan fitoplankton terjadi secara lambat.
2. Fase eksponensial atau logaritma
Merupakan tahapan dimana terjadi peningkatan pertumbuhan fitoplankon yang
sangat cepat.
3. Fase tetap (stasionary)

Tahap ini merupakan tahapan terakhir dimana terjadi pertumbuhan fitoplankton


yang sangat lambat hingga tetap dan fitoplankton akan mengalami kematian.
Ledakan populasi fitoplankton dapat terjadi apabila kandungan zat hara (terutama nitrat dan fosfat) di
dalam air laut meningkat. Peningkatan tersebut dapat disebabkan oleh adanya penambahan zat hara
yang melebihi kondisi normal, yang terbawa dari daratan oleh air sungai (Praseno, 2000). Beberapa
ahli juga menyebutkan faktor-faktor yang dapat memicu ledakan populasi fitoplankton adalah adanya
pengayaan unsur hara atau eutrofikasi, perubahan hidrometorologi secara besar misalnya El Nino
(Holligan, 1985 in Widiarti, 2000), berkurangnya pemangsaan oleh herbivor (Lindahl, 1983 in
Widiarti, 2000), adanya upwelling dan adanya hujan lebat dan masuknya air tawar ke perairan laut
dalam skala besar.
Keragaman kelimpahan fitoplankton dipengaruhi oleh faktor suhu, salinitas, pH, oksigen, nitrat, dan
fosfat, atau oleh kombinasi dari faktor-faktor lingkungan tersebut, dan nutrien merupakan faktor
paling dominan dalam mempengaruhinya.
Istilah HAB kini menjadi istilah yang digunakan di dunia internasional yang merupakan singkatan
dari harmful algal bloom. HAB adalah istilah yang digunakan pada pertumbuhan mikroalga
(plankton) secara lebat, di laut atau di perairan payau yang dapat menyebabkan kematian masal ikan,
karena spesies HAB dapat mengontaminasi makanan bahari (seafood) dengan toksin yang
diproduksinya, sehingga dapat mengubah ekosistem yang dipersepsikan manusia sebagai
pengganggu (harmful) (GEOHAB, 2000 in Nontji, 2006).
Istilah redtide sebelumnya juga digunakan untuk menggambarkan ledakan populasi plankton ini
yang sampai mengubah warna air laut, namun istilah ini sering menyesatkan karena tidak selalu
ledakan populasi plankton itu berwarna merah (red), bisa juga kuning, hijau, kecoklat-coklatan,
tergantung pada pigmen yang terkandung dalam plankton penyebabnya (Nontji, 2006). Menurut
Praseno (2000), HAB merupakan istilah untuk redtide yang kini lebih umum dipakai.
Biota penyebab HAB menghasilkan toksin dalam tubuhnya yang kemudian dapat dialihkan ke
kerang-kerangan atau ikan melalui rantai makanan (food chain). Kehadiran toksik di dalam tubuh

kerang bisa saja tidak menimbulkan kematian pada kerang tersebut, tatapi bila dimakan oleh manusia
maka akan dapat menimbulkan gangguan kesehatan bahkan kematian (Nontji, 2006).

Menurut Wiadnyana (1996), terdapat tiga kelompok mikroalga berbahaya yang merupakan
fitoplankton mikroskopik terdiri dari :
1. Tipe yang membahayakan biota laut, akibat terjadinya penurunan oksigen
terlarut atau disebut spesiesanoxious.
2. Tipe yang membahayakan biota laut, karena dapat menghasilkan racun
pada umumnya bearsal dari kelompok Dinoflagellata.
3. Tipe yang membahayakan biota laut, karena merusak dan menyumbat
sistem pernafasan (rusaknya ingsang).
Terdapat tiga faktor yang menyebabkan terjadinya blooming HAB
(Wiadnyana, 1995) yaitu:
1. Eutrofikasi atau pengkayaan unsur hara fosfat dan nitrat.
2. Adanya kista di dasar perairan yang terangkat ke lapisan permukaan
melalui dua mekanisme, yaitu:
a. Mekanisme malalui naiknya massa air (upwelling)
b. Mekanisme akibat pengaruh gempa tektonik
3. Bersifat biologis, yang artinya bahwa kurang adanya predator sebagaipemangsa spesies
penyebab HAB. Sebagai contoh populasi Pyrodinium, yang kurang dimangsa dalam
waktu singkat dapat mencapai kepadatan yang sangat tinggi, yaitu lebih dari satu juta
sel/liter air laut.
Selain faktor diatas, ledakan spesies penyebab HAB juga dipengaruhi oleh musim, seperti di daerah
Teluk Kao. Pada daerah ini perubahan cuaca sangat cepat, setelah hujan lebat berhenti, kemudian
diikuti oleh terik matahari, sehingga dapat menyebabkan turunnya nilai kadar garam dan tingginya
suhu air permukaan, kondisi seperti ini yang akan mendukung untuk terjadinya blooming spesies
penyebab HAB (Wiadnyana et al., 1994).
Manurut Wiadnyana (1996) kondisi air yang tenang (arus laut lemah dan perairan tidak
bergelombang) cenderung mempercepat perkembangan populasi spesies HAB. Meningkatnya

hubungan perdagangan yang mengakibatkan meningkatkan keluar dan masuknya kapal-kapal niaga
dari dan ke wilayah Indonesia, maka dampak yang dapat ditimbulkan dari hal ini adalah
meningkatnya peluang meluasnya penyebaran spesies-spesies mikroalga berbahaya dari satu perairan
ke perairan lain melalui pembuangan air balas (Hallegraeff, 1993 in Wiadnyana, 1996).

Anda mungkin juga menyukai