Anda di halaman 1dari 12

NAMA : YOGA RAKASIWI PRATAMA

NIM : 1704111302
JURUSAN : TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
MATKUL : BIOTOKSIKOLOGI

PENYAKIT YANG DISEBABKAN


TOKSIN LAUT

Penyakit manusia yang disebabkan oleh mengkonsumsi hasil laut (ikan,


kerang, lobster dsbnya) yang tercemar/terkontaminasi oleh toksin fitoplankton atau
melalui menghirup udara/aerosol yang mengandung brevetoksin saat terjadi kondisi
red-tide (peledakan populasi mikro algae tertentu). Fitoplankton membentuk
bagian dasar jejaring makanan di laut (marine food web), dan toksin yang
dihasilkannya dapat terakumulasi dan terkonsentrasi pada organisme-organisme
lain yang letaknya lebih tinggi pada jejaring makanan. Jalur lain adalah disaat
fitoplankton terhempas gelombang dan tertiup angin ke arah pantai membentuk
aerosol yang membawa serta fragmen-fragmen fitoplankton yang mengandung
toksin yang kemudian terhirup oleh manusia, seperti yang pernah terjadi di pantai
Florida (1973) dan dilaporkan menyebabkan iritasi kulit dan gangguan pernafasan
(respiratory distress) pada saat terjadinya blooming alga Gymnodinium breve (atau
nama barunya Karenia brevis).

Penyakit-penyakit utama yang terkait dengan fitoplankton umumnya karena


mengkonsumsi hasil laut (umumnya jenis-jenis kerang dan krustase). Termasuk
diantaranya adalah: amnesic shellfish poisoning (ASP), diarrheic shellfish
poisoning (DSP), neurotoxic shellfish poisoning (NSP) dan paralytic shellfish
poisoning (PSP). Selain itu terdapat jenis-jenis penyakit lain yang tidak terkait
dengan blooming algae (harmful algal toxins/HABs), misalnya: akibat

1
mengkonsumsi ikan yang terkontaminasi oleh ciguatoxins yang dihasilkan oleh
fitoplankton (Gamerdiscus toxicus) yang umumnya dijumpai/hidup pada hamparan
terumbu karang. Sedang penyakit yang lain adalah keracunan ikan fugu (buntal)
akibat tetrodotoksin yang dampak fisiologisnya mirip dengan paralytic shellfish
poisonings (PSP) walaupun struktur kimianya berbeda..

Tingkat kejadian dan prevalensi penyakit-penyakit ini umumnya dijumpai


tinggi pada daerah-daerah dimana seafood menjadi komponen makanan utama dan
penyakit- penyakit ini umumnya bersifat endemik. Misalnya, frekuensi kejadian
sebesar 10% pertahun untuk ciguatera dijumpai di Pulau Niutao, Pasifik Selatan,
sedang di St. Thomas, Virgin Islands, dilaporkan 3 kasus per 10.000 penduduk di
tahun-tahun 1971, 1977 dan 1979 (Laporan WHO). Pemaparan pada toksin ini
selain disebabkan oleh

2
faktor kebiasaan makanan (food habits), juga banyak disebabkan oleh faktor
profesi seperti nelayan, pengolahan, pekerja-pekerja lingkungan, pengepakan dan
pengiriman (shipping), atau masyarakat yang berdomisili dekat pantai (coastal
communities).

Amnesic Shellfish Poisoning (ASP)

Pada tahun 1987, suatu jenis penyakit baru pada manusia yang terkait dengan
fitoplankton ditemukan di Kanada, disaat 107 orang menjadi sakit setelah
mengkonsumsi kerang. Kemudian dari hasil penelusuran, kerang-kerang tersebut
berasal dari hasil pembudidayaan di beberapa wilayah estuarin Pulau Prince
Edward. Asam Domoat (Domoic acid) yang dapat memicu timbulnya aksi
neurotransmitter pada syaraf manusia, teridentifikasi pada kerang-kerang yang
tersisa tidak termakan oleh para korban dan yang dikoleksi dari hamparan budidaya
di wilayah-wilayah estuarin tadi. Asam domoat kemudian diketahui diproduksi
oleh sejenis diatom Nitzchia pungens yang terdapat melimpah dalam gastrointestin
kerang-kerang yang dikonsumsi para korban.
Para korban diketahui menderita gejala-gejala yang terkait dengan
gastrointestin (muntah, kram pada perut dan diarrhea) dan gejala-gejala neurologis
(sakit kepala yang dahsyat dan kehilangan memori jangka pendek). Sekitar 90
korban yang diopname, ada yang mengalami koma, tekanan darah yang tidak
stabil, lendir yang yang terus mengucur pada hidung dan hilang daya ingat
sementara.
Asam domoat ditemukan pada burung-burung laut Pelicant dan Cormorant
yang memakan ikan teri yang terkontaminasi, demikian juga pafa singa laut,
kepting dan kerang pecten di Florida, Washington, Oregon dan Kanada. Di Oregon
dan Washington, ditemukan kasus keracunan pada 25 orang yang mengkonsumsi
kerang pecten pada tahun 1993 (Washington Department of Health, 1994).

Diarrheic shellfish poisoning (DSP)

Kasus pertama penyakit gastroinstestinal manusia yang terkait dengan


masalah konsumsi kerang hijau dan tiram (Mytillus, scallops, dsbnya) yang
terkontaminasi dinoflagellata pertama kali dijumpai di Netherland lalu di Jepang
(akhir 1979). Penyakit
ini kemudian disebut diarrheic shellfish poisoning/DSP (diare akibat keracunan
kerang- kerangan).
Kasus DSP terutama sering terjadi di Eropa dan Jepang, walaupun secara
sporadic juga dijumpai di negara-negara Nova Scotia (Kanada) and Chile,
Australia, New Zealand dan Indonesia (Sundstrom et al., 1990). Demikian pula di
India, bekas Soviet Union, Uruguay dan Long Island, New York, USA, dalam
skala kecil. Beberapa jenis toksin terkait dengan DSP, yaitu: asam okadait (okadaic
acid) dan dinophysiotoxins (DTX) (khususnya DTX-1 and DXT-3). Toksin-toksin
ini dihasilkan oleh organisme yang menyebabkan red-tide (mis. Dinophysis spp.,
Prorocentrum lima). Kerang dan tiram yang memakan alga mengakumulasi toksin
dalam organ hepatopancreas, dan manusia terpapar akibat mengkonsumsinya.
Dosis minimum untuk dapat menyebabkan diare adalah 40 g untuk asam okadait
dan 36 g untuk DTX-1 (Aune and Yndestad, 1993).
Gejala DSP adalah gastrointestinal (diarrhea, nausea, muntah-muntah, sakit
pada bagian abdomen) yang terjadi setelah 30 menit hingga 3 jam setelah memakan
seafood yang terkontaminasi. Walaupun pasien DSP merasa sangat sakit, namun
mereka akan pulih setelah beberapa hari perawatan.
Walaupun penyakit akut ini tidak mematikan, namun Dinophysis spp.,
Prorocentrum spp juga menghasilkan toksin lain yang memiliki dampak
hepatotoxic, immunosuppressive dan memicu tumor pada hewan vertebrata. Oleh
karena itu diduga bahwa pemaparan pada toksin DSP memiliki potensi
menimbulkan kanker (carcinogen) yang merupakan dampak kesmas penting.

Neurotoxic shellfish poisoning

Neurotoxic shellfish poisoning (NSP) telah dikenal sejak tahun 1990-an yang
berasal dari laporan kejadian di bagian Tenggara USA (Gold Coast) dan sebelah
Timur Meksiko. Peledakan penyakit NSP terkait dengan konsumsi kerang hijau dan
Oyster dan beberapa jenis ‘filter feeders’ lainnya. Penyakit ini muncul selalu
bersamaan dengan terjadinya red-tides. Jenis toksin ini terutama terakumulasi pada
bagian otot kaki kerang (adductor muscles) yang disenangi dan enak dimakan.
Karena pihak pemerintah AS secara rutin melakukan pemantauan terhadap
Gonyaulax breve dan
kandungan brevetoxins dalam seafood, maka respon darurat dalam bentuk
pelarangan pengumpulan kerang sering dilakukan, sehingga insiden NSP sangat
rendah.
Brevetoksin dan ciguatoksin adalah polyethers yang mengikatkan diri pada reseptor
yang sama yang mengandung ion Na+, dan menyebabkan sakit pada bagian
abdomen, nausea, diarrhea, rasa terbakar pada rectum, sakit kepala, vertigo dan
gangguan pada pupil mata/iritasi mata.

Paralytic shellfish poisoning (PSP)

PSP diketahui telah menyerang suku Indian di sisi Barat-daya Pasifik sejak
beberapa abad lalu. Intoksikasi PSP terkonsentrasi di Amerika bagian Utara dan
Eropa. Serangan PSP juga diketahui terjadi di Malaysia, the Philippines, Indonesia,
Venezuela, Guatemala (Kao, 1993), China (Anderson et al., 1996) dan Afrika
Selatan (Popkiss et al., 1979).
PSP pada manusia terjadi setelah mengkonsumsi bivalvia yang
terkontaminasi senyawa saxitoxin, yang umumnya terakumulasi pada organ
hypatopancreas (kelenjar pencernaan). PSP disebabkan oleh mengkonsumsi
kepiting dan gastropoda (jenis siput) dari terumbu karang telah dilaporkan terjadi di
Jepang dan Fiji (Noguchi et al., 1969), dan di Indonesia PSP melibatkan ikan
sebagai transvektor (Adnan, 1984)
Saxitoxin dihasilkan oleh dinoflagellata dari genera Gymnodinium,
Alexandrium (Anderson et al, 1996), Gonyaulax dan Pyrodinimum (Halstead and
Shantz, 1984.). Organisme-organisme ini merupakan penyebab terjadinya
blooming fitoplankton yang biasanya menyebabkan air terlihat berwarna coklat
(brown-tide) atau merah (red-tide) yang bersifat toksik. Aksi biologis saxitoxin
adalah memblok akson syaraf dan serabut otot. Dosis fatal melalui oral pada
manusia adalah 1-4 mg (tergantung berat badan dan usia manusia) (Baden et al.,
1995).
Gejala PSP muncul antara 30 menit hingga 3 jam, bergantung pada jumlah
toksin yang teringesti. Gejala awal adalah parasthesias dan kejang pada bibir dan
mulut yang secara menyebar ke seluruh bagian muka dan leher (Kao, 1993).
Korban juga segera mual dan muntah-muntah. Jika tingkat keracunan parah, maka
korban akan segera merasakan kelumpuhan pada kaki, meracau, kesulitan bernafas
akhirnya terjadi paralisis muscular. Korban dapat segera pulih bila segera
mendapatkan perawatan
karena waktu paruh aktifitas toksin ini sekitar 90 menit. Tingkat kematian akibat
PSP tergolong sangat rendah, namun di Eropa dan Amerika pernah mencatat angka
2 dan 14% pada serangan puncak PSP (Kao, 1993).

Racun Ikan Ciguatera

Keracunan ikan Ciguatera terjadi pada lingkaran area (circumglobal belt)


antara 35°N to 34°S (Hessel et al., 1960), meliputi Hawaii, Pasifik Selatan, Karibia,
Indo-Pasifik dan Virgin Islands, USA. Diperkirakan sekitar 50.000 hingga 500.000
kasus terjadi setiap tahun di Karibia dan Pasifik Selatan, (Ragelis, 1984).
Sumber ciguatoxin, yang merupakan kelompok polyethers yang larut dalam
lemak adalah Gambierdiscus toxicus, dinoflagellata laut uniseluler yang terutama
dijumpai melimpah di sekitar terumbu karangs (Legrand et al., 1992). Toksin ini
terakumulasi pada jaringan tubuh ikan-ikan besar (herbivore dan karnivora) yang
hidup di daerah terumbu karang (Lange, 1987). Jenis ikan yang paling banyak
mengakumulasi ciguatoksin adalah jenis-jenis ikan kerapu (Plectropoma spp.),
barracudas (Sphyraena spp.), ikan cepa/snappers (e.g., Lutjanus bohar), ikan
lencam/carrang (Caranx ruber), ikan kakatua/parrotfish dan ikan kupu-kupu kecil
(Dalzell, 1994; Escalona de Motta et al., 1986; Morris et al. 1982). ikan-ikan ini
Nampak sehat saat tertangkap.
Gejala klinis keracunan ikan Ciguatera adalah dampak pada sistem
pencernaan/gastrointestinal yang segera Nampak beberapa jam setelah
memakannya yang segera diikuti oleh gejala-gejala neurologis dan cardiovascular.
Juga terjadi gangguan pada organ sensor (mulut dan lidah kaku). Dampak
gastrointestinal bertahan hingga beberapa hari, sedangkan dampak neurologis
hingga beberapa bulan, bahkan pada satu kasus di Pasifik Selatan dilaporkan
dampak kronik neurologis bertahan hingga 25 tahun setlah terkena toksin. Satu ciri
khas penyakit ciguatera ini adalah lebih dominan menyerang laki-laki, sehingga
nelayan di Polynesia, biasanya mencoba ikannya dahulu untuk memastikan apakah
mengandung ciguatoksin atau tidak, sebelum diberikan kepada segenap anggota
keluarganya. Diagnosa dan Penanganan cepat telah mampu menekan timbulnya
peledakan kasus keracunan ikan ciguatera.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, D.A., Kulis, D. M., Qi, Y-Z., Zheng, L., Lu, S., Lin, Y.-T. (1996)
Paralytic shellfish poisoning in southern China. Toxicon 34: 579-590.

Aune, T.,Yndestad, M. (1993) Diarrhetic shellfish poisoning. Falconer, I.R.


(ed.), Algal Toxins in Seafood and Drinking Water, Academic Press Ltd.,
London, pp. 87-104.

Backer,L.C., Fleming, L. E., Rowan, A. D. and Baden, D. G. (2001).


Epidemiology and Public Health of Human Illnesses Associated with
Harmful Marine Phytoplankton. In: WHO/UNESCO HAB HANDBOOK.
Chapter 26.

Baden, D., Fleming, L.E., Bean, J.A. (1995) Marine Toxins. deWolff, F.A.
(ed), Handbook of Clinical Neurology: Intoxications of the Nervous
System Part II. Natural Toxins and Drugs, Elsevier Press, Amsterdam,
Netherlands, pp. 141-175.

Dalzell, P. (1994) Management of ciguatera fish poisoning in the South Pacific.


Memoires of the Queensland Museum 34: 471-479.

Escalona de Motta, G., Feliu, J.F., Izquierdo, A. (1986) Identification and


epidemiological analysis of ciguatera cases in Puerto Rico. Marine
Fisheries Rev. 48: 14-18.

Halstead, B.W., Shantz, E.J. (1984) Paralytic shellfish poisoning. WHO Offset
Publication No. 79, World Health Organization, Geneva, pp. 1-59.

Hessel, D.W., Halstead, B.W., Peckham, N.H. (1960) Marine biotoxins. 1.


Ciguatera poisoning some biological and chemical aspects. Ann. N.Y.
Acad. Sci. 90: 788-797.

Kao, C.Y. (1993) Paralytic shellfish poisoning. Falconer, I.R. (ed.), Algal
Toxins in Seafood and Drinking Water, Academic Press Ltd., London, pp.
75-86.
Legrand A. M., Fukui, M., Cruchet, P., Ishibashi, Y., Yasumoto, T. (1992)
Characterization of ciguatoxins from different fish species and
Gambierdiscus toxicus. Graneli, E., Sundstrüm, B., Edler, L., Anderson,
D.M. (eds.), Toxic Marine Phytoplankton, Elsevier, New York, pp. 25-32.

Morris, J.G., Jr., Lewin, P., Smith, C.W., Blake, P.A., Schneider, R. (1982)
Ciguatera fish poisoning: epidemoiology of the disease on St. Thomas and
U.S. Virgin Islands. Am. J. Trop. Med. Hyg. 31: 574-578.

Popkiss, M.E.E., Horstman, D.A., Harpur, D. (1979) Paralytic shellfish


poisoning. S. Afr. Med. J. 55: 1017- 1023.

Ragelis, E.P. (1984) Ciguatera seafood poisoning. Ragelis, E.P. (ed.). Seafood
Toxins, ACS Symposium Serial 262, American Chemical Society,
Washington, D.C, pp. 25-36.

Washington Department of Health (1994) Fact Sheet on Amnesic Shellfish


Poisoning (ASP). Washington Department of Health, Environmental
Programs, Office of Shellfish Programs.

Anda mungkin juga menyukai