Anda di halaman 1dari 10

PLANKTONOLOGI

NAMA : CHRISTIANE RONTINI


NIM : 2013 76 090

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA dan ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PATTIMURA
2016
Racun (Toxin) Yang Diproduksi Oleh Phytoplankton

Toksin adalah suatu substansi yang mempunyai gugus


fungsional spesifik yang letaknya di dalam molekul dan
menunjukkan aktifitas fisiologis yang kuat. Adapun batasan dari
toksin adalah substansi tersebut terdapat di dalam tubuh hewan,
tumbuhan bakteri dan makhluk hidup lainnya, merupakan zat
asing bagi korbannya atau bersifat anti gen dan bersifat merugikan
bagi kesehatan korbannya.
Kontaminasi toksin alami pada ikan ataupun organisme
aquatik lainnya mengakibatkan keracunan bagi yang mengkonsumsinya. Kebanyakan toksin ini
diproduksi oleh alga (fitoplankton). Toksin terakumulasi dalam tubuh ikan yang mengkonsumsi
alga tersebut atau melalui rantai makanan mengakibatkan toksin tersebut terakumulasi dalam
tubuh ikan. Yang unik dari toksin ini adalah tidak dapat dihilangkan atau tidak rusak dengan
proses pemasakan. Oleh karena itu sangat penting pengetahuan terhadap jenis-jenis racun ini
untuk menghindari timbulnya bahaya keracunan akibat mengkonsumsi ikan dan kerang-kerangan.
Selain itu pengetahuan tentang struktur toksin ini akan membuka wawasan akan kemungkinan
pemanfaatannya sebagai obat.
Racun / toxin yang dihasilkan oleh phytoplankton antara lain : Ciguatoxin, Saxitoxin /
Paralytic shellfish poison (PSP), Amnesic shellfish poison (ASP), Diarrhetic shellfish poison
(DSP) dan Neurotoxic shellfish poison (NSP).

1. CIGUATOXIN

Sekitar 300 spesies ikan dan shellfish yang hidup di perairan dangkal sekitar karang diketahui
sebagai penyebab keracunan ciguatoxin. Keracunan yang paling umum terjadi akibat
mengkonsumsi ikan karang herbivora dan karnivora yang beracun. Adanya racun pada ikan
dikaitkan dengan rantai makanan, dimana sebagai agen toksin adalah Alga blue green
(Gambierdiscus toxicus) yang hidup berkelompok pada permukaan sejumlah rumput laut. Alga
tersebut kemudian dimakan oleh ikan herbivora, ikan herbivora dimakan oleh ikan karnivora.
Penyakit atau keracunan yang disebabkan ciguatoxin disebut CIGUATERA (bukan
merupakan penyakit yang fatal). Beberapa jenis ikan yang menjadi sumber ciguatera : Lutjanus
monostigma, L. bohar (red snapper), Gymnothorax javanicus (moray eel), Epinephalus
fuscoguttatus, Variola louti (grouper) dan Sphyraena picuda (barracuda)
SCHEUER (dari Universitas Hawaii) yang memberi nama ciguatoxin, berhasil mengisolasi
dan mengidentifikasi senyawa yang menyusun ciguatoxin. Diperkirakan penyusunnya
adalah suatu lipida yang tidak umum (unusual) dan senyawa Nitrogen dengan BM sekitar
1500. Adapun rumus kimia dari cigutoxin C35H65NO8. Tingkat toksisitas ciguatoxin pada bagian
tubuh ikan dari yang tertinggi adalah hati (paling toksik), jeroan lainnya dan otot/daging.

Gejala akibat keracunan ciguatoxin adalah gangguan pada cardiovaskuler, gangguan saraf,
asthenia dan arthalgia disertai dengan gangguan saluran pencernaan.

LD50 pada tikus percobaan adalah 80 ug/kg berat badan tikus

Ciguatoxin memiliki sifat farmakologis terutama berpengaruh terhadap saraf periferal dan
sentral, meningkatkan permeabilitas membran sel otot dan saraf terhadap ion Na dan bersifat
anticholinesterase.

2. PARALYTIC SHELLFISH POISON (saxitoxin)

Senyawa toksik utama dari paralytic shellfish poison adalah saxitoxin yang bersifat
neurotoxin. Keracunan toksin ini dikenal dengan istilah Paralytic shellfish poisoning
(PSP). Keracunan ini disebabkan karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang memakan
dinoflagelata yang beracun. Dinoflagelata sebagai agen saxitoxin dimana zat terkonsentrasi di
dalamnya. Kerang-kerangan menjadi beracun disaat kondisi lingkungan sedang melimpah
dinoflagelata yang beracun yang disebut pasang merah atau red tide.

Di Jepang bagian selatan ditemukan spesies kepiting (Zosimus aeneus) yang mengakumulasi
dalam jumlah besar saxitoxin dan telah dilaporkan menyebabkan kematian pada manusia yang
mengkonsumsinya. Jenis plankton yang memproduksi saxitoxin adalah Alexandrium catenella
dan A. tamarensis. Pyrodinium bahamense, bertanggung jawab terhadap beberapa keracunan di
Papua New Guinea, Brunei dan negara-negara Asian bagian barat lainnya. Organisme tersebut
menyebabkan red tide karena blooming, meracuni kerang-kerangan. Komponen toksin yang
utama adalah saxitoksin dan gonyautoxin. Gymnodium catenatum, dilaporkan sebagai sumber
saxitoxin di Mexico, Spanyol, Tasmania dan Jepang, juga pada perairan pesisir Thailand dengan
tingkat toksik yang rendah.

Jika dilihat dari sifat kimianya, saxitoxin bersifat larut dalam air dan methil alkohol, sedikit larut
dalam ethyl alkohol dan asam asetat tetapi tidak larut dalam pelarut organik. Saxitoxin dapat
dihidrolisis dengan asam, stabil terhadap panas dan tidak rusak dengan proses pemasakan (Wogan
& Marleta, 1985). Saxitoxin memiliki rumus kimia C10H17N7O3.2HCl.
Keracunan Saxitoxin menimbulkan gejala keracunan seperti rasa terbakar pada lidah, bibir
dan mulut yang selanjutnya merambat ke leher, lengan dan kaki. Kemudian berlanjut menjadi
mati rasa sehingga gerakan menjadi sulit. Dalam kasus yang hebat diikuti oleh perasaan
melayang-layang, mengeluarkan air liur, pusing dan muntah. Toksin memblokir susunan saraf
pusat, menurunkan fungsi pusat pengatur pernafasan dan cardiovasculer di otak, dan kematian
biasanya disebabkan karena kerusakan pada sistem pernafasan.

Saxitoxin menyebabkan kematian pada tikus percobaan dalam waktu 15 menit. Tanda dan
gejala berkembang cepat dalam waktu 1-2 jam setelah mengkonsumsinya. LD50 saxitoxin
adalah 9 ug/kg berat badan tikus, sementara dosis mematikan untuk manusia adalah sekitar 1 4
mg. Sebagai control terhadap pemasaran jenis kerang-kerang didasarkan pada acuan yang
dianjurkan oleh WHO yaitu bagian yang dapat dimakan dari kerang-kerangan mengandung 3
MU/g toksin PSP. Di Jepang jenis kerang-kerang komersial toksisitasnya selalu dimonitor secara
periodik untuk mencegah keracunan.
Beberapa cara pengolahan yang sudah dilakukan untuk mengurangi racun saxitoxin :

1. Toksin saxitoxin dapat diturun dengan pemanasan di atas 100C Jay (1978).
2. Ozon dapat menurunkan keracunan saxitoxin pada kerang-kerangan yang terkontaminasi
racun tersebut, demikian pula perlakuan panas dapat menurunkan daya racun di dalam
kerang-kerangan Stewart (1978).
3. Menurunnya toksisistas pada remis Patinopecten yessoensin terjadi selama proses
retorting dan pada toksin yang tersisa terjadi penurunan kadar nya selama proses
penyimpan.
4. Kadar toksin saxitoxin menurun dengan semakin lamanya waktu pemanasan. Semakin
tinggi suhu pemanasan maka waktu yang diperlukan untuk mengurangi kadar toksin
semakin cepat. Pemanasan pada suhu 100C selama 30 menit atau 60 menit, kandungan
toksin meningkat dari 15 MU/gr homogenate menjadi 30 MU/gr homogenate, tetapi
menurun secara linier pada waktu pemanasan selanjutnya. Pola perubahan yang sama
terhadap kadar toksin terjadi pada pemanasan 110 dan 120C. Pada pemanasan suhu 110
dan 120C terlihat pola perubahan toksisitas lebih cepat dari pada pemanasan suhu 100C.

3. AMNESIC SHELLFISH POISON

Komponen utama dari amnesic shellfish poison adalah domoic acid. Domoic acid
merupakan asam amino neurotoksik, dimana keracunannya dikenal dengan istilah Amnesic
shellfish poisoning. Keracunan ini diakibatkan karena mengkonsumsi remis (mussel). Toksin
ini diproduksi oleh alga laut Nitzhia pungens dimana melalui rantai makanan
mengakibatkan remis mengandung racun tersebut.

Domoic acid mengikat reseptor glutamat di otak mengakibatkan rangsangan yang terus-
menerus pada sel-sel saraf dan akhirnya terbentuk luka. Korban mengalami sakit kepala, hilang
keseimbangan, menurunnya system saraf pusat termasuk hilangnya ingatan dan terlihat bingung
dan gejala sakit perut seperti umumnya keracunan makanan. Telah dilaporkan toksin tersebut juga
dapat mengakibatkan kematian. Kerusakan otak yang ditimbulkan oleh racun ini bersifat tidak
dapat pulih (irreversible).

Struktur Domoic acid adalah C15H21O6N dengan berat molekul 311 (daltons).

4. NEUROTOXIC SHELLFISH POISON (brevitoxin)

Komponen utama dari neurotoxic shellfish poison adalah brevitoxin. Keracunan yang
disebabkan oleh toksin Brevitoxin disebut Neurotoxic shellfish poisoning. Keracunan ini
diakibatkan mengkonsumsi kerang-kerangan dan tiram. Toksin ini diproduksi oleh alga laut
Ptychdiscus brevis dimana melalui rantai makanan mengakibatkan kerang dan tiram mengandung
racun tersebut.

Adapun struktur Brevitoxin adalah C50H70O14 dengan berat molekul 894 (daltons).

Gejala keracunannya meliputi rasa gatal pada muka yang menyebar ke bagian tubuh yang lain,
rasa panas dingin yang bergantian, pembesaran pupil dan perasaan mabuk.
5. DIARRHETIC SHELLFISH POISON

Komponen utama Diarrhetic shellfish poison adalah okadaic acid. Komponen yang lain
adalah pectenotoxin dan yessotoxin. Keracunan yang disebabkan oleh toksin Okadaic acid ini
disebut Diarrhetic shellfish poisoning. Keracunan ini diakibatkan mengkonsumsi kepah
(mussel) dan remis (scallop). Toksin ini diproduksi oleh alga laut Dinophysis fortii dimana
melalui rantai makanan mengakibatkan remis mengandung racun tersebut.

Struktur Okadaic acid : C44H70O13 dengan berat molekul 804 (daltons). Senyawa-senyawa
dari klas okadaic acid ini mempunyai efek sebagai promotor tumor

Gejala utama keracunan DSP adalah diare yang akut, dimana serangannya lebih cepat
dibandingkan dengan keracunan makanan akibat bakteri. Selain itu, muak, muntah, sakit
perut, kram dan kedinginan.
Pemanfaatan Plankton

Terdapat beragam jenis plankton yang tersebar pada perairan, umumnya jenis plankton
yang banyak ditemukan di estuaria dan air laut umumnya adalah dinoflagellata, diatom, artemia,
naupilus dan berbagai jenis alga seperti cyanophyceae, rhodophyceae, chlorophyceae,
euglenophyceae dan pyrrhophyceae. Plankton yang merupakan produsen primer pada perairan
antara lain budidaya plankton sebagai pakan ikan, pengolahan plankton sebagai suplemen
makanan, agen bioremediasi, bahan bakar alternatif serta penentuan wilayah penangkapan
berdasarkan sebaran plankton pada perairan.

1. Rotifera sebagai pakan ikan


Besar bukaan mulut larva ikan yang kecil mengharuskan pada pembudidaya selektif dalam
memilih pakan. Saat ini berbagai jenis plankton telah banyak dibudidayakan sebagai pakan ikan.
Jenis plankton tersebut antara lain plankton kelas rotifera dan artemia. Menurut rotifer merupakan
jenis plankton yang paling sering digunakan pada panti perbenihan ikan laut karena memiliki
keuntungan disbanding zooplankton lainnya. Keuntungan rotifer sebagai pakan ikan disbanding
dengan jenis lain adalah:
Mudah dicerna oleh larva ikan,
Memiliki ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut larva ikan,
Memiliki gerakan yang sagat lambat sehingga mudah ditangkap oleh larva ikan,
Mudah untuk dibudidayakan secara missal,
Memiliki kurun waktu pertumbuhan dan perkembangan yang cepat,
Tidak menghasilkan racun atau zat yang berbahaya bagi larva ikan,
Memiliki nilai gizi yang baik bagi pertumbuhan larva ikan.
Terdapat beberpa metoda yang banyak dilakukan untuk budidaya rotifer antara lain metoda
panen harian, penambahan air dan konvensional.

a. Metoda Panen Harian


Kultur dengan sistem ini umumnya lebih mempermudah pengelola dalam memonitor
rotifer selama proses kultur berlangsung. Padat penebaran awal rotifer adalah 10 ekor/ml. Awalnya
rotifer diberi pakan ragi roti dengan dosis 0,39/1 juta rotifer/hari. Sementara itu kultur rotifer
dilakukan di tempat lain. Bila kepadatan rotifer telah mencapai kurang lebih 100 ekor/ml maka
30% volume airnya dibuang dan diganti dengan air yang berasal dari media Chlorella sp. dengan
kepadatan 20-30 juta sel/ml. Untuk selanjutnya rotifer dapat dipanen setiap hari dengan cara
menyipon 30% dari volume medium dan menyaringnya dengan plankton net ukuran 90 mikron,
kemudian rotifer tersebut dikembalikan kedalam tangki budidaya. Panen harian dapat dilakukan
selama 2-3 bulan. Bila air media telah kotor, maka 80% volume air harus diganti dengan cara
menyipon. Setelah itu tangki budidaya diisi dengan air Chlorella sp. sampai penuh. Pencucian
tangki filter harus dilakukan setiap 5-7 hari sekali. Hasil penelitian kultur rotifer dengan sistem
panen harian pada salinitas berbeda diperoleh nilai kepadatan rotifer tertinggi sebesar 162 ind/ml
pada salinitas 10 ppt. Persentasi terbesar induk rotifer yang membawa telur sebesar 275% yang
diperoleh pada salinitas 20 ppt. Ukuran panjang lorika rotifer antara 75-190 Um dengan lebar
antara 64-150 Um (REDJEKI & ISMAIL 1995a).

b. Sistem penambahan air


Hasil penelitian REDJEKI (1995a) dilaporkan bahwa kultur rotifer dengan sistem
penambahan air pada salinitas berbeda diperoleh angka kepadatan tertinggi sebanyak 470 ind/ml
pada salinitas 10-15 ppt. Persentasi terbesar induk rotifer yang membawa telur sebesar 128% yang
diperoleh pada salinitas 10- 30 ppt. Ukuran panjang lorika rotifer antara 76-143 mikron dan lebar
63-114 mikron. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa ukuran rotifer tergolong kedalam tipe "S".

c. Sistem konvensional
Sistem ini juga menggunakan metoda "daily tank transfer" dimana menggunakan tangki
kultur Chlorella dan rotifer yang berbeda. Kultur Chlorella sp. dilakukan pada tangki yang jauh
terpisah dengan kultur rotifer. Pada sistem ini tangki rotifer diisi dengan media Chlorella. Setelah
kepadatan Chlorella sp. mencapai 20-30 juta sel/ml, benih rotifer diinokulasikan dengan padat
penebaran 10 ekor/ml. Setelah kepadatan Chlorella turun antara 1-3 juta sel/ml, maka rotifer harus
dipanen dengan cara menyipon dan menyaringnya dengan plankton net ukuran 90 Um. Sistem ini
dapat diperoleh kepadatan rotifer sebesar 100-300 ind/ml

2. Chlorella sebagai suplemen makanan


Chlorella adalah ganggang hijau bersel tunggal yang hidup di air tawar, air laut, dan pada
tempat-tempat yang basah. Ganggang ini memiliki tubuh seperti bola. Berwarna hijau dan tidak
motil serta tidak memiliki flagella. Selnya berbentuk bola berukuran sedang dengan diameter 2-
10 mm, tergantung spesiesnya, dengan chloroplas berbentuk cangkir. Selnya bereproduksi dengan
membentuk dua sampai delapan sel anak didalam sel induk yang akan dilepaskan dengan melihat
kondisi lingkungan. Berikut adalah manfaat yang dapat diberikan oleh chlorella sebgai suplemen
makanan:
Membantu meningkatkan regenerasi sel
Membantu memberbaiki proses pencernaan
Chlorella dapat mengeluarkan toksin seperti timah hitam, air raksa, cadmium, arsenik,
pestisida, uranium, obat pembasmi serangga (insektisida), P.C.B. (Polychlorbiphenyl ) dan
lain lain dari tubuh.
Meningkatkan kekebaralan tubuh dan berpotensi sebagai anti kanker.
Kandungan klorofil pada chlorella membantu menstimulasi produksi sel darah merah
dalam tubuh.
Membantu menurunkan tekanan darah tinggi.
Daftar Pustaka

Jay, J. M., 1978. Modern Food Microbiology. Van Nostrand Reinhold, New York.

Redjeki, Sri. 1999. Budidaya Rotifera (Branchionus plicatilis). Oseana, Volume XXIV, Nomor 2,
1999: 27-43. ISSN 0216-1877

Stewart. 1978. Systematic Counseling. Englewood Cliffs, New jersey: Prentice-Hall

Wogan, G.N. dan M.A. Marleta. 1985. Undesirable or potentially undesirable constituents of food.
Didalam Food Chemistry (O.R. Fennema Ed.), p. 689 - 723. Marcel Dekker, Inc., New
York.

Anda mungkin juga menyukai