MENJADI CERPEN
Oleh :
Budi Tegar Nugroho (12)
Nova Indah Safitri (25)
SMA N 1 Banjarnegara
Tahun Ajaran 2017/2018
Teks Anekdot
NEGERI SAMPAH
Seorang tukang sampah berjalan menyusuri jalanan kota. Dia hendak melaksanakan
tugasnya memunguti sampah-sampah di ibu kota. Dia berpapasan dengan seorang pejalan kaki
yang membuang bekas bungkus makanannya.
Tukang sampah terus berjalan, lalu berhenti di depan sebuah cafe. Di pelataran cafe, dia
melihat beberapa siswa SMK sedang bergurau dan berbincang-bincang.
Tukang Sampah : “Nak, bisakah kalian membersihkan sampah dibawah meja kalian?”
Siswa 1 : “Pak, tanpa kami bersihkan, sampah-sampah ini juga pasti akan
dibersihkan sama pelayan.”
Siswa 2 : “Iya Pak, lagipula itu bukan kewajiban kami kan? Kalau bapak mau
membersihkannya, silahkan.”
Tukang Sampah : “Kalau membersihkan sampah itu hanya kewajiban tukang sampah
seperti saya, berapa gunung sampah yang harus saya bersihkan,
nak?”
Siswa 3 : “Iya kawan, bapak ini benar. Kalau kita hanya mengandalkan tukang
sampah, sampah-sampah di kota ini, bahkan negeri ini, tidak akan
ada habisnya.”
(Semua tertawa)
Siswa 5 : “Kalau sampah yang kayak gitu bisa dipunguti, nggak akan muat
TPA-TPA di negeri ini buat nampung!”
(tertawa lagi)
Tukang Sampah : “Wah, kalau begitu saya bisa jadi kaya raya kalau bisa munguti
sampah-sampah di gedung parlemen itu?”
Siswa 1 : “Iya, Pak. Tapi memangnya bapak mau berkumpul dan tiduran sama
tikus-tikus got dan sampah-sampah yang bapak pungut itu?”
Tukang Sampah : “Waduh jijik juga ya. Ya sudah, saya tidak mau, nak. Mending saya
mencari sampah-sampah di jalanan ini saja.”
Siswa 2 : “Kalau dipikir-pikir, negeri kita ini tidak hanya kaya alamnya saja
ya, tapi juga kaya sampahnya. Dimana-mana ada sampah, tidak
cuma di jalanan, di gedung parlemen sampai di laci pejabatnya pun
banyak sampah.”
(semua tertawa)
Tukang Sampah : “Kalian jangan berburuk sangka dulu. Tidak semua orang di negeri
ini suka menyampah. Kalian sebagai penerus bangsa jangan mau
jadi tikus got yang suka menyampah itu!”
NEGERI SAMPAH
Pagi-pagi sekali kala matahari pun masih enggan menampakkan sinar, kokok ayam
masih samar terdengar seseorang terbangun dari mimpinya. Seorang tukang sampah itu
kemudian bangun ia berjalan perlahan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, dan
membasuhkan wajahnya agar nampak cerah. Ia mengenakan setelan seragam berwarna oranye
yang selalu dipakainya setiap hari. Setelah semua rutinitas paginya di rumah terpenuhi
seluruhnya, ia mulai meraih sebuah alat yang biasa ia gunakan setiap harinya untuk bekerja
yaitu sapu. Lalu kakinya kembali berderap untuk menelusuri jalan-jalan yang masih gelap
gulita hanya lampu jalan yang menyinari. Namun, itu tidak mematahkan semangatnya untuk
terus melangkah dan melangkah menelusuri jalan. Kemudian Ia dengan cekatan mulai
memungut sampah yang tak berarti menggerakkan sapunya ke kiri lalu ke kanan untuk
menyingkirkan sampah atau daun-daun yang berserakan di jalan. Matahari mulai menyinari
jalanan, sudah mulai banyak lalu lalang kendaraan yang lewat pun tak dihiraukannya. Waktu
terus berjalan kini hangat matahari mulai menyengat, kakinya masih berjalan menyusuri
pinggiran jalan ibu kota lalu ia berpapasan dengan seorang pejalan kaki yang tengah
membuang sisa bungkus makanannya begitu saja ke jalanan. Melihat itu ia berkata dalam hati “
mudahnya orang-orang membuang sampah sembarangan, tanpa merasa berdosa ” miris
melihatnya. Lalu ia melanjutkan menyusuri jalan kemudian berhenti di sebuah restoran melihat
sekelompok anak tengah berbincang-bincang. “ Nak, bisakah kalian membersihkan sampah
dibawah meja kalian?” kata tukang sampah. Beberapa anak menjawab bahwa membersihkan
meja adalah tugas pelayan atau tukang sampah. Lalu ia berkata “ Kalau membersihkan sampah
itu hanya kewajiban tukang sampah seperti saya, berapa gunung sampah yang harus saya
bersihkan, nak?”. “Iya kawan, bapak ini benar. Kalau kita hanya mengandalkan tukang
sampah, sampah-sampah di kota ini, bahkan negeri ini, tidak akan ada habisnya Sampah seperti
ini saja, kita kewalahan menanganinya, apalagi ‘sampah’ yang ada di gedung parlemen ya,
Kalau dipikir-pikir, negeri kita ini tidak hanya kaya alamnya saja ya, tapi juga kaya
sampahnya. Dimana-mana ada sampah, tidak cuma di jalanan, di gedung parlemen sampai di
laci pejabatnya pun banyak sampah.” Sahut anak-anak itu. Maka dari itu kita sebagai penerus
bangsa jangan menjadi seperti tikus got yang suka menyampah.