Anda di halaman 1dari 6

Lampiran 8

LEMBAR KERJA SISWA (LKS)


SIKLUS II
Petunjuk :
1. Tulislah Nama Kelompok dan anggota pada sudut kanan jawaban kalian masing-
masing!
2. Diskusikanlah dengan anggota kelompok kalian masing-masing untuk
menyelesaikan soal berikut!

Soal :
Bacalah teks cerita pendek berikut, kemudian tentukan struktur teks dengan
melengkapi tabel yang ada di bawah teks tersebut.

SUMBANGAN
Cerpen Karya I Putu Supartika

Pagi-pagi sekali di balai desa sudah ramai oleh orang yang akan ikut rapat, mereka semua
mengenakan pakaian adat sederhana. Diantara peserta rapat, juga terlihat Pak Komang
yang mengenakan baju batik ditambah menggunakan kamben berwarna coklat tua dengan
motif bunga. Dan ada juga seorang peserta yang berpakaian kumal dengan kamben
berwarna hitam yang lusuh dan warnanya sudah hampir pudar serta menggunakan baju
berwarna putih agak kecoklatan karena kotor, yang ikut berpartisipasi dalam rapat.

Rapat kali ini katanya akan membahas agenda tentang perbaikan gedung Sekolah Dasar di
desa itu yang sudah bocor dan hampir ambruk. Semua peserta kelihatannya sudah
mempersiapkan mental mereka masing-masing untuk berdebat di rapat nanti. Dan mereka
semua tampak sudah siap dengan jawaban yang jitu. Sekitar sepuluh menit kemudian,
datang seorang yang mengenakan pakaian dinas. Dan tentunya orang itu bukan warga
biasa yang jadi peserta rapat. Ya memang benar orang itu adalah Pak Kades, kepala desa di
sana.

Bergegas Pak Kades turun dari motornya, dan segera menempati tempat yang telah di
sediakan. Langsung saja tanpa basa-basi, Pak Kades membuka rapat, dan semua peserta
rapat terlihat serius mengikuti rapat itu.

“Selamat pagi saudara-saudara semua!” Pak Kades menyapa peserta rapat dengan
beerwibawa.

“Selamat pagi Pak!” semua warga desa menjawab dengan kompak.

“Baiklah, para peserta rapat sekalian. Agenda rapat kita hari ini tiada lain, tiada bukan
adalah mengenai satu-satunya Sekolah Dasar di desa kita yang sudah bocor dan hampir
roboh. Di sini saya harapkan, semua yang hadir ikut berpartisipasi untuk menyumbangkan
pemikirannya, demi kebaikan generasi penerus bangsa di desa kita. Apabila saudara
memiliki pendapat yang sifatnya membangun, langsung acungkan tangan saja dan silakan
paparkan apa pendapat saudara. Tapi ingat, kita berhadapan di sini bukan untuk saling
menatap penuh emosi, melainkan untuk saling mengadu argumen guna menyelesaikan
masalah yang kita bahas, karena Negara kita menganut azas musyawarah mufakat. Bukan
begitu saudara-saudara sekalian?”
“Ya, benar!”
Baru saja Pak Kades selesai berkata dan di jawab oleh peserta rapat secara kompak,
langsung saja Pak Komang menyambar seperti tak ingin didahului oleh yang lainnya.
“Ya, benar apa yang dikatakan oleh pemimpin rapat tadi. Kita di sini berkumpul bukan
untuk saling bermusuhan, namun untuk memecahkan sebuah masalah. Dan di sini kita
hanya perlu menjawab setuju atau tidak dan menanggapi apa yang kurang dan mengayomi
yang benar. Desa kita punya satu sekolah yang bisa membawa anak-anak kita kelak
menjadi orang yang hebat, tapi sayang keadaannya memprihatinkan. Atap bocor ditambah
gedungnya mau ambruk, dan anak-anak kita jadi was-was saat belajar. Begitupula saat
hujan mereka terpaksa harus dipulangkan. Itu akan mempengaruhi sekali tingkat
kecerdasan anak-anak kita yang sekolah di sana. Mereka akan sulit konsentrasi dan
hasilnya pun kurang memuaskan. Apa kata tetangga nanti bila generasi bangsa kita tak bisa
apa-apa? Sehingga ini mesti kita tanggulangi secepatnya dan kita harus merehab gedung
sekolah itu saudara-saudara. Bagaimana caranya? Ya kita pikirkan sama-sama hari ini.”
“Tentunya kita harus mengumpulkan uang dulu untuk memperbaikinya. Kita tak mungkin
hanya mengandalkan otot untuk memperbaikinya,” kata seorang warga yang bernama Pak
Tunas.

“Ya, kita harus menyumbangkan uang kita untuk itu!” seorang warga berseru melanjutkan
kata Pak Tunas.

Salah seorang warga yang terbilang miskin di desa itu merasa kurang setuju apabila harus
menyumbangkan uangnya untuk perbaikan sekolah. Dan ia pun berpendapat.
“Maaf saudara-saudara kalau saya menyela sedikit. Saya kurang setuju apabila kita harus
menyumbangkan uang. Ya mereka yang kaya, tentu saja bisa menyumbangkan uangnya
berapapun yang mereka mau, tapi kalau orang seperti saya yang serba kekurangan, di mana
saya harus mencari uang? Sementara untuk makan saja saya masih kurang, apalagi untuk
sumbangan. Kalau saya pinjem uang, masak untuk sumbangan saya berani meminjam
uang, sementara untuk makan saya harus bekerja keras!”
Pak Komang berkata pada orang itu, “kita kan bisa menyumbang seikhlasnya, tak perlu
ada paksaan!”

“Tetap saja saya tidak setuju, karena zaman sekarang sulit mencari uang. Apalagi dengan
maraknya korupsi di negri kita belakangan ini,” katanya dengan nada kesal.
“Apa yang saudara katakana itu merusak penerus bangsa. Karena ego saudara sendiri anak-
anak di desa kita bisa putus sekolah! Saudara seharusnya berfikir ke depan. Bukannya
langsung berkata tak setuju,” sahut seorang warga kepada warga miskin itu.
“Saudara jangan berkata seenaknya kepada saya. Saya tau saudara orang mampu, dan
saudara bisa menyumbangkan uang saudara berapapun yang saudara mau untuk merehab
sekolah itu. Kalau saudara merasa mampu untuk merehab sekolah itu sendir silakan saja
saudara sendiri yang melakukannya. Toh saya juga tidak perlu sekolah itu. Buktinya anak-
anak saya tidak ada yang sekolah. Makan saja susah apalagi menyekolahkan anak saya.”
Ketegangan pun terjadi di antara peserta rapat. Sementara orang miskin itu tetap
mempertahankan pendapatnya tidak setuju apabila harus menyumbangkan uang untuk
merehab sekolah di desanya. Segala cara ia lakukan untuk membatalkan rencana itu. Akan
tetapi peserta rapat yang lainnya tetap bersikukuh dengan pendapat mereka masing-masing
untuk menyumbang uang guna merehab sekolah itu. Dan tetap saja warga miskin itu
menjawab tidak setuju. Bahkan kini ia mulai emosi dengan warga yang ingin memberikan
masukan padanya. Melihat hal itu Pak Kades tidak tinggal diam. Ia segera menenangkan
peserta rapat agar tidak sampai terjadi keributan.
“Saudara-saudara sekalian mohon tenang! Ini rapat bukan pasar malam, dan bukan juga
pasar hewan.

Mohon dijaga etikanya. Kalau memang beliau tidak setuju mohon jangan dipaksa. Tidak
baik jika memaksakan kehendak pada orang lain. Lebih baik kita cari jalan lain untuk
menyelesaikan masalah ini!”

“Maaf pak, kalau saya sedikit lancang. Saya sudah tidak setuju dengan pendapat warga
semua apabila harus menyumbangkan uang untuk merehab sekolah yang ada di desa kita.
Saya tidak punya uang, dan mencari sekeping uang bagi saya itu sangat sulit pak. Mohon
bapak bisa membantu saya dengan keadaan ekonomi saya yang seperti sekarang ini,”
warga miskin itu berkata pada Pak Kades.

“Ya saya mengerti pak! Sadara-saudara yang lain mohon hargai orang yang memiliki
pendapat berbeda. Apabila beliau tidak setuju untuk menyumbangkan uangnya, mungkin
beliau bisa menyumbangkan yang lain untuk merehab sekolah itu.”
Pak Komang yang memang peduli dengan desanya langsung saja mengacungkan
tangannya untuk berpendapat.

“Pak, saya punya usul untuk menanggulangi masalah ini. Bagaimana kalau bapak ini kita
minta untuk menyumbangkan apa saja yang beliau mampu. Karena dalam merehab sekolah
ini, bukan uang saja yang dibutuhkan, melainkan ada hal lainnya yang juga dapat
mendukung perehaban sekolah ini”.

“Bagaimana kalau beliau menyumbangkan makanan, kalau beliau punya. Misalnya pisang,
apabila beliau punya pisang yang matang, atau kacang rebus juga boleh,” seorang warga
menambahkan saran dari Pak Komang.

“Ya kalau saya boleh-boleh saja, tetapi kita harus bertanya dulu pada yang bersangkutan,
apakah beliau mau atau tidak”, Pak Kades menjawab dengan bijaksana.

“Sudah saya bilang dari tadi saya tidak bisa menyumbangkan uang untuk merehab sekolah
itu!” warga misikin menjawab dengan suara keras.

“Siapa yang mengatakan bapak harus menyumbangkan uang? Kan tadi dikatakan
bagaimana kalau bapak menyumbangkan makanan seperti pisang atau kacang rebus,” Pak
Komang menegaskan lagi pada warga miskin itu.

“Saudara semua ini tidak tau ya? Kalu saya menyumbangkan makanan sama saja dengan
menyumbangkan uang. Pisang itu bisa dijual dan nanti dapat uang, dan uangnya saya
gunakan untuk makan dengan keluarga saya. Begitu juga dengan kacang yang saya
hasilkan dari kebun. Kalau pisang atau kacangnya saya sumbangkan, nanti anak istri saya
makan apa?”

“Kan tidak harus semua yang bapak sumbangkan. Mungkin bapak bisa
menyumbangkannya sedikit saja. Dan sisanya dijual untuk keperluan bapak makan
bersama keluarga,” sambung Pak Komang.
“Saudara ini terlalu cerewet! Saya itu kalau penen pisang tidak bisa banyak-banyak. Dan
tak mungkin juga saya memanen kacang setiap hari. Itu artinya saya harus menunggu
lama, dan itu juga butuh biaya perawatan. Selain itu, hasilnya harus dibagi dua dengan
pemilik tanah. Kalau saya sumbangkan sedikit saja saya akan kekurangan biaya
penghidupan untuk keluarga saya. Tolong saudara bisa mengerti!”
Mendengar kata dari warga miskin itu, semua peserta rapat terdiam. Sejenak suasana
menjadi sepi. Sambil menghela nafas, Pak Kades memberikan sebuah jalan tengah untuk
pemecahan masalah ini.

“Saudara-saudara semua, saya punya sebuah solusi yang saya anggap sangat baik untuk
memecahkan masalah ini. Bagaimana kalau bapak ini kita jangan paksa untuk
menyumbangkan uang ataupun makanan, melainkan hanya cukup menyumbangkan tenaga
untuk perehaban sekolah itu. Bagaimana pak, apakah bapak setuju?”

“Wah, itu ide bagus pak!” Pak Komang segera menyambar pertanyaan yang ditujukan
kepada warga miskin.

“Pak Komang, jangan seenaknya saudara bicara! Yang ditanya saudara atau saya? Kalau
memang saudara yang ditanya, maka saudara berhak untuk menjawab. Akan tetapi saat ini
saya yang harus menjawab pertanyaan itu, bukan saudara,”warga miskin berkata dengan
nada marah.

“Mohon tenang pak, jangan terpancing emosi. Kita di sini bukan untuk mencari musuh,
mohon bapak tenang,” Pak Kades mencoba menenangkan suasana.

“Pak, saya tetap saja tidak bisa menyumbang apa-apa. Baik itu uang, makanan, tenaga,
ataupun yang lainnya.”

“Mengapa bisa begitu pak?” Pak Kades mencoba mencari tau yang sebenarnya.

“Ya! Kalau saya sumbangkan tenaga saya untuk merehab sekolah, saya tidak akan bisa
menggarap tanah yang saya kontrak. Kalau saya tidak bisa mengolah tanah, ya sudah
barang tentu saya tidak bisa panen pisang atau kacang.”

Semua warga tak bisa berkata apa-apa, termasuk Pak Kades mendengar kata warga miskin
itu. Namun dalam hatinya, Pak Komang berbisik kecil.

“Sungguh ironis orang-orang di negeri kita ini. Ia akan melakukan segala daya upaya untuk
dapat memenuhi hasrat pribadinya.”

** SELESAI **

No Struktur Teks Kalimat dalam Teks


1. Abstrak
2. Orientasi

3. Komplikasi

4. Evaluasi

5. Resolusi

6. Koda

Anda mungkin juga menyukai