Anda di halaman 1dari 88

LAPORAN KINERJA

DIREKTORAT JENDERAL
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT

Tahun 2016
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................................. ii

DAFTAR TABEL ............................................................................................................. iii

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... iv

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

A. VISI DAN MISI ......................................................................................... 1

B. LATAR BELAKANG ................................................................................ 2

C. TUJUAN .................................................................................................. 5

D. TUGAS POKOK DAN FUNGSI ............................................................... 6

E. STRUKTUR ORGANISASI ...................................................................... 7

F. SUMBER DAYA MANUSIA ..................................................................... 7

G. SISTEMATIKA PENULISAN ................................................................... 9

BAB II. PERENCANAAN KINERJA ............................................................................. 10

A. PERENCANAAN KINERJA ...................................................................... 10

B. PERJANJIAN KINERJA .......................................................................... 13

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA ............................................................................ 15

A. CAPAIAN KINERJA ................................................................................. 15

B. REALISASI ANGGARAN ......................................................................... 78

BAB IV. PENUTUP ....................................................................................................... 82

BAB VI. LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016

ii |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

BAB I
PENDAHULUAN

A. VISI DAN MISI


Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah kesejahteraan rakyat, Midgley (2009)
mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “..a condition or state of human well-being
that exists when people needs are met, problems are managed, and opportunities are
maximized.” Kondisi sejahtera dapat dicapai manakala kehidupan manusia aman dan
bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan
pendapatan terpenuhi; serta memperoleh perlindungan dari risiko-risiko utama yang
mengancam kehidupannya. Derajat kesehatan masyarakat adalah salah satu aspek yang
sangat penting dalam kesejahteraan karena menyangkut hak-hak dasar warga negara
yang mutlak dipenuhi. Oleh karena itu usaha untuk mencapai derajat kesehatan yang
optimal dilakukan melalui perbaikan cakupan, mutu, dan akses masyarakat pada
pelayanan kesehatan, perbaikan sarana prasarana kesehatan, pemberdayaan tenaga
kesehatan, mendorong partisipasi masyarakat untuk hidup sehat, pengendalian penyakit
baik penyakit menular maupun penyakit tidak menular, serta penyehatan lingkungan.
Setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi
pembangunan nasional.

Visi dan Misi Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 mengikuti Visi dan Misi Presiden
Republik Indonesia yaitu “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan
Berkepribadian Berlandaskan Gotong-royong”. Upaya untuk mewujudkan visi ini adalah
melalui 7 misi pembangunan yaitu:
1. Terwujudnya keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah,
menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim dan
mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan.
2. Mewujudkan masyarakat maju, berkesinambungan dan demokratis berlandaskan
negara hukum.
3. Mewujudkan politik luar negeri bebas dan aktif serta memperkuat jati diri sebagai
negara maritim.
4. Mewujudkan kualitas hidup manusia lndonesia yang tinggi, maju dan sejahtera.
5. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.
6. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan
berbasiskan kepentingan nasional, serta
7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.

Selanjutnya terdapat 9 agenda prioritas yang dikenal dengan NAWA CITA yang ingin
diwujudkan yakni:

1|
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan


rasa aman pada seluruh warga Negara.
2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang
bersih, efektif, demokratis dan terpercaya.
3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa
dalam kerangka negara kesatuan.
4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum
yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.
5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
6. Meningkatkan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional.
7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis
ekonomi domestik.
8. Melakukan revolusi karakter bangsa.
9. Memperteguh ke-Bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.

Kementerian Kesehatan mempunyai peran dan berkonstribusi dalam tercapainya seluruh


Nawa Cita terutama dalam meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Terdapat dua
tujuan Kementerian Kesehatan pada tahun 2015-2019, yaitu: 1) meningkatnya status
kesehatan masyarakat dan; 2) meningkatnya daya tanggap responsiveness) dan
perlindungan masyarakat terhadap risiko sosial dan finansial di bidang kesehatan.

Peningkatan status kesehatan masyarakat dilakukan pada semua kontinum siklus


kehidupan (life cycle), yaitu bayi, balita, anak usia sekolah, remaja, kelompok usia kerja,
maternal, dan kelompok lansia. Tujuan indikator Kementerian Kesehatan bersifat dampak
(impact atau outcome). dalam peningkatan status kesehatan masyarakat, indikator yang
akan dicapai adalah:
1. Menurunnya angka kematian ibu dari 359 per 100.00 kelahiran hidup (SP 2010), 346
menjadi 306 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2012).
2. Menurunnya angka kematian bayi dari 32 menjadi 24 per 1.000 kelahiran hidup.
3. Menurunnya persentase BBLR dari 10,2% menjadi 8%.
4. Meningkatnya upaya peningkatan promosi kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat, serta pembiayaan kegiatan promotif dan preventif.
5. Meningkatnya upaya peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat.

B. LATAR BELAKANG
Tantangan pembangunan kesehatan semakin kompleks, Tantangan tersebut diantaranya
semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat pada pelayanan kesehatan yang bermutu

2|
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

; beban ganda penyakit (di satu sisi, angka kesakitan penyakit infeksi masih tinggi namun
di sisi lain penyakit tidak menular mengalami peningkatan yang cukup bermakna);
disparitas status kesehatan antar wilayah cukup besar, terutama di wilayah timur (daerah
terpencil, perbatasan dan kepulauan/DTPK); peningkatan kebutuhan distribusi obat yang
bermutu dan terjangkau; jumlah SDM Kesehatan kurang, disertai distribusi yang tidak
merata; adanya potensi masalah kesehatan akibat bencana dan perubahan iklim, serta
integrasi pembangunan infrastruktur kesehatan yang melibatkan lintas sektor di
lingkungan pemerintah, Pusat-Daerah, dan Swasta.

Dalam studi mengenai Beban Penyakit, Trauma dan Faktor Risiko di Indonesia tahun
2010 diketahui ada tiga besar penyakit penyebab kematian di Indonesia. Di urutan
pertama adalah stroke, tuberkulosis, dan kecelakaan lalu lintas. Kondisi ini menunjukkan
Indonesia sedang menuju pada masa transisi dari negara berkembang ke negara maju.
Dari pola penyakit, Indonesia pada transisi menuju negara maju dengan pendapatan per
kapita lebih tinggi. Pola penyakit negara maju adalah penyakit tidak menular seperti
stroke, hipertensi, jantung, kanker, dan sebagainya. Sementara penyakit menular seperti
tuberkulosis dan diare, lebih banyak terjadi di negara miskin. Sementara itu di wilayah
Indonesia Timur masalah sanitasi dan kebersihan masih jadi persoalan.

Disamping isu beban penyakit dan faktor risiko, isu lain yang muncul dalam pengendalian
penyakit dan penyehatan lingkungan adalah perubahan lingkungan strategis baik global,
regional maupun nasional. Beberapa yang kita hadapi kedepan antara lain :
1. Perkembangan Penduduk. Pertumbuhan penduduk Indonesia ditandai dengan
adanya window opportunity di mana rasio ketergantungannya positif, yaitu jumlah
penduduk usia produktif lebih banyak dari pada yang usia non-produktif, yang
puncaknya terjadi sekitar tahun 2030.
2. Berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) secara efektif pada tanggal 1
Januari 2016. Pemberlakukan ASEAN Community yang mencakup total populasi
lebih dari 560 juta jiwa, akan memberikan peluang (akses pasar) sekaligus tantangan
tersendiri bagi Indonesia. Implementasi ASEAN Economic Community, yang
mencakup liberalisasi perdagangan barang dan jasa serta investasi sektor
kesehatan.
3. Berakhirnya agenda Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015,
banyak negara mengakui keberhasilan dari MDGs sebagai pendorong tindakan-
tindakan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pembangunan
masyarakat. Khususnya dalam bentuk dukungan politik. Kelanjutan program ini
disebut Sustainable Development Goals (SDGs)
4. Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) merupakan respon global yang
paling kuat terhadap tembakau dan produk tembakau (rokok), yang merupakan
penyebab berbagai penyakit fatal
5. Agenda Ketahanan Kesehatan Global (Global Health Securty Agenda/GHSA)
dicanangkan di Washington DC dan Gedung PBB Genewa secara bersamaan pada
tanggal 13 Februari 2014.

3|
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Melihat tantangan, isu dan perubahan lingkungan strategis diatas serta amanat Undang-
undang nomor 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN) Kementerian Kesehatan telah menyusun Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan tahun 2015-2019 yang berisi upaya-upaya pembangunan bidang kesehatan
yang disusun dan dijabarkan dalam bentuk program, kegiatan, target, indikator termasuk
kerangka regulasi dan kerangka pendanaannya.

Pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 adalah Program Indonesia Sehat


dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui
upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan
finansial dan pemeratan pelayanan kesehatan. Sasaran yang akan dicapai dalam
Program Indonesia Sehat pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019
(RPJMN 2015-2019) adalah meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat
melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan
perlindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan melalui strategi
pembangunan nasional. Dalam Undang Undang No. 36 tahun 2009 disebutkan bahwa
untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat,
diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan
dalam bentuk kegiatan dengan strategi pendekatan pelayanan kesehatan promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Dengan telah ditetapkannya RPJMN 2015-2019 melalui Peraturan Presiden nomor 2


tahun 2015 dan Renstra Kementerian Kesehatan 2015-2019 melalui Keputusan Menteri
Kesehatan nomor HK.02.02/2015, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit (P2P) telah menyusun Rencana Aksi Program PP dan PL tahun 2015 – 2019
yang merupakan jabaran kebijakan Kementerian Kesehatan dalam Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Ditjen P2P termasuk
langkah-langkah antisipasi tantangan program selama lima tahun mendatang. Dengan
adanya SOTK baru maka telah dilakukan revisi pada Rencana Aksi Program PP dan PL
Tahun 2015-2019 menjadi Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Tahun 2015-2019. Meskipun demikian sampai dengan diterbitkannya Laporan
Kinerja ini, Revisi Rencana Aksi Program P2P Tahun 2015-2019 belum ditetapkan
sehingga sasaran dan indikator masih menggunakan Rencana Aksi Program yang lama
dengan melakukan penyesuaian pada indikator yakni menghilangkan indikator
persentase kabupaten/kota yang memenuhi syarat kualitas kesehatan lingkungan
sebesar 40%. Hal ini terjadi karena pindahnya Direktorat Penyehatan Lingkungan ke
Direktorat Kesehatan Masyarakat .
Sasaran Program P2P dalam Rencana Aksi Program ditetapkan dengan merujuk pada
sasaran yang ditetapkan dalam RPJMN dan Renstra yakni:
1. Persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap pada
bayi sebesar 95%
2. Jumlah kab/kota dengan eliminasi malaria sebesar 300 kab/kota

3. Jumlah kab/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1 persen
sebesar 75 kab/kota


4|
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

4. Jumlah provinsi dengan eliminasi kusta sebesar 34 provinsi


5. Prevalensi TB sebesar 245 per 100.000 penduduk
6. Prevalensi HIV (persen) < 0,5 %
7. Prevalensi merokok pada penduduk usia ≤ 18 tahun sebesar 5,4%
8. Persentase kabupaten/kota yang mempunyai Kebijakan kesiapsiagaan dalam
penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah
sebesar 100%.
9. Persentase respon sinyal SKD dan KLB, bencana dan kondisi matra di wilayah
layanan BTKL sebesar 90%
10. Persentase teknologi tepat guna PP dan PL yang dihasilkan BTKL meningkat 50 %
dari jumlah TTG tahun 2014.
11. Persentase Pelabuhan/Bandara/PLBD yang melaksanakan kebijakan kesiapsiagaan
dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah
sebesar 100%.

Untuk mengukur tingkat pencapaian kinerja Ditjen P2P maka setiap tahun ditetapkan
perjanjian kinerja yang berisikan sasaran kinerja, indikator kinerja dan target yang ingin
dicapai. Perjanjian kinerja yang telah ditetapkan merupakan sasaran program dalam
Rencana Aksi Program dengan merujuk pada sasaran yang ditetapkan dalam RPJMN
dan Renstra serta memperhatikan tugas pokok dan fungsi Ditjen P2P. Perjanjian kinerja
yang telah ditetapkan tersebut akan dievaluasi pada tahun berikutnya melalui Laporan
Kinerja.

C. TUJUAN
Penyusunan Laporan Kinerja merupakan wujud melaksanakan Perpres No. 29 Tahun
2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan Permenpan dan RB
Nomor 53 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja
Dan Tata Cara Reviu Atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah.
Tujuan penyusunan Laporan Kinerja Direktorat Jenderal P2P adalah untuk:
1. Memberikan informasi kinerja Ditjen P2P selama tahun 2016 yang telah ditetapkan
dalam dokumen perjanjian kinerja.
2. Sebagai bentuk pertanggung jawaban Ditjen P2P dalam mencapai sasaran/tujuan
strategis instansi.
3. Sebagai upaya perbaikan berkesinambungan bagi Ditjen P2P untuk meningkatkan
kinerjanya.
4. Sebagai salah satu upaya mewujudkan manajemen pemerintah yang efektif,
transparan dan akuntabel serta berorientasi pada hasil yang merupakan salah satu
agenda penting dalam reformasi pemerintah.

5|
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

D. TUGAS POKOK DAN FUNGSI


Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 64 tahun 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan terjadi perubahan SOTK
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menjadi
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Dalam melaksanakan tugas
pokok dan fungsinya Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
memiliki 1 Sekretariat dan 5 Direktorat yakni:

1. Sekretariat Direktorat Jenderal.


2. Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan (SKK)
3. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML)
4. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik
(P2PTVZ)
5. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM)
6. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza
(P2PMKJN)

Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit mempunyai tugas


menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan dan
pengendalian penyakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam
melaksanakan tugas, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
melaksanakan fungsi antara lain sebagai berikut:

1. Perumusan kebijakan di bidang surveilans epidemiologi dan karantina, pencegahan


dan pengendalian penyakit menular, penyakit tular vektor, penyakit zoonotik, dan
penyakit tidak menular, serta upaya kesehatan jiwa dan Narkotika, Psikotropika, dan
Zat adiktif lainnya (NAPZA);

2. Pelaksanaan kebijakan di bidang surveilans epidemiologi dan karantina, pencegahan


dan pengendalian penyakit menular, penyakit tular vektor, penyakit zoonotik, dan
penyakit tidak menular, serta upaya kesehatan jiwa dan Narkotika, Psikotropika, dan
Zat adiktif lainnya (NAPZA);

3. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang surveilans epidemiologi


dan karantina, pencegahan dan pengendalian penyakit menular, penyakit tular
vektor, penyakit zoonotik, dan penyakit tidak menular, serta upaya kesehatan jiwa
dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya (NAPZA);

4. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang surveilans epidemiologi dan


karantina, pencegahan dan pengendalian penyakit menular, penyakit tular vektor,
penyakit zoonotik, dan penyakit tidak menular, serta upaya kesehatan jiwa dan
Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya (NAPZA);

5. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang surveilans epidemiologi dan


karantina, pencegahan dan pengendalian penyakit menular, penyakit tular vektor,

6|
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

penyakit zoonotik, dan penyakit tidak menular, serta upaya kesehatan jiwa dan
Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya (NAPZA);

6. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian


Penyakit; dan

7. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

E. STRUKTUR ORGANISASI
Selain itu, terjadi juga perubahan struktur organisasi yang mengacu pada Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2015 Tentang Organisasi Dan
Tata Kerja Kementerian Kesehatan sebagai berikut:

F. SUMBER DAYA MANUSIA


Pada tahun 2016 jumlah pegawai Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit (Ditjen P2P) sebanyak 4473 orang dengan distribusi yakni jumlah pegawai pada
Balai Besar/Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit (B/BTKL–
PP) sebanyak 763 orang (17%), Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) sebanyak 3092
orang (69%), dan jumlah pegawai Ditjen P2P pada unit pusat adalah 618 orang (14%).

7|
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Grafik 1.1

DISTRIBUSI PEGAWAI DI LINGKUNGAN DITJEN


P2P
B/BTKL PP Kantor Pusat
763 618
17% 14%
Kantor Pusat
KKP
B/BTKL PP
KKP
3092
69%

Dari jumlah pegawai di kantor Pusat, Direktorat SKK sebanyak 97 pegawai (16%),
Direktorat P2PTM sebanyak 79 orang (13%), Direktorat P2PTVZ sebanyak 98 orang
(16%), Direktorat P2PML sebanyak 103 pegawai (16%), Direktorat P2MKJN sebanyak 45
orang (7%) dan Sekretariat sebanyak 196 orang (31%)

Grafik 1.2

DISTRIBUSI PEGAWAI DI LINGKUNGAN KANTOR PUSAT


DITJEN P2P
Dit SKK Dit P2MKJN
97 45
16% 7% Sekretariat
196 Sekretariat
32%
Dit P2PML
Dit P2PTVZ

Dit P2PTVZ Dit P2PML Dit P2PTM


Dit P2PTM 98 103
79 16% Dit SKK
16%
13% Dit P2MKJN

8|
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

G. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisasi Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit terdiri dari:
1. Kata Pengantar
2. Daftar Isi
3. Bab I. Pendahuluan
A. Visi dan Misi
B. Latar Belakang
C. Tugas Pokok dan Fungsi
D. Struktur Organisasi
E. Sumber Daya Manusia
F. Sistematika Penulisan

4. Bab II. Perencanaan Kinerja


Pada bab ini diuraikan ringkasan/ikhtisar perencanaan kinerja dan perjanjian kinerja
tahun yang bersangkutan.

5. Bab III Akuntabilitas Kinerja


A. Capaian Kinerja Organisasi
Pada sub bab ini disajikan capaian kinerja organisasi untuk setiap pernyataan
perjanjian kinerja sasaran strategis organisasi sesuai dengan hasil pengukuran
kinerja organisasi.

B. Realisasi Anggaran
Pada sub bab ini diuraikan realisasi anggaran yang digunakan untuk mewujudkan
kinerja organisasi sesuai dengan dokumen Perjanjian Kinerja termasuk efisiensi
penggunaan sumber daya.

6. Bab IV. Penutup


Pada bab ini diuraikan kesimpulan umum atas capaian kinerja organisasi serta tindak
lanjut di masa mendatang yang akan dilakukan organisasi untuk meningkatkan
kinerjanya.

7. Lampiran

9|
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

BAB II
PERENCANAAN KINERJA

A. PERENCANAAN KINERJA
Perencanaan Kinerja merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil yang
ingin dicapai selama kurun waktu satu sampai dengan lima tahun secara
sistematis dan berkesinambungan dengan memperhitungkan potensi, peluang
dan kendala yang ada atau yang mungkin timbul. Dalam sistem akuntabilitas
kinerja instansi pemerintah (SAKIP) perencanaan kinerja instansi pemerintah
terdiri atas tiga instrumen yaitu: Rencana Strategis (Renstra) yang merupakan
perencanaan 5 tahunan, Rencana Kinerja Tahunan (RKT) dan Perjanjian Kinerja
(PK). Perencanaan 5 tahunan Ditjen P2P mengacu kepada dokumen Rencana
Aksi Program Ditjen PP dan PL Tahun 2015-2019. Terkait dengan perubahan
SOTK baru sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
nomor 64 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan
maka telah dilakukan revisi terhadap Rencana Aksi Program Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Tahun 2015-2019.

Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun


2015-2019
Pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 adalah Program Indonesia
Sehat dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi
masyarakat melalui melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemeratan pelayanan
kesehatan. Program Indonesia dituangkan dalam sasaran pokok RPJMN 2015-
2019 yaitu: (1) meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak; (2)
meningkatnya pengendalian penyakit; (3) meningkatnya akses dan mutu
pelayanan kesehatan dasar dan rujukan terutama di daerah terpencil, tertinggal
dan perbatasan; (4) meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan universal
melalui Kartu Indonesia Sehat dan kualitas pengelolaan SJSN Kesehatan, (5)
terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan, obat dan vaksin; serta (6)
meningkatkan responsivitas sistem kesehatan.

Program Indonesia Sehat dilaksanakan dengan 3 pilar utama yaitu paradigma


sehat, penguatan pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan nasional. Pilar
paradigma sehat di lakukan dengan strategi pengarusutamaan kesehatan dalam
pembangunan, penguatan promotif preventif dan pemberdayaan masyarakat.
Pilar penguatan pelayanan kesehatan dilakukan dengan strategi peningkatan
akses pelayanan kesehatan, optimalisasi sistem rujukan dan peningkatan mutu
pelayanan kesehatan, menggunakan pendekatan continuum of care dan
intervensi berbasis risiko kesehatan. Sementara itu pilar jaminan kesehatan

10 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

nasional dilakukan dengan strategi perluasan sasaran dan benefit serta kendali
mutu dan kendali biaya.

Dengan telah ditetapkannya RPJMN 2015-2019 melalui Peraturan Presiden


nomor 2 tahun 2015 dan Renstra Kementerian Kesehatan 2015-2019 melalui
Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.02.02/2015, Direktorat Jenderal PP dan
PL menyusun Rencana Aksi Program PP dan PL tahun 2015 – 2019 yang
merupakan jabaran kebijakan Kementerian Kesehatan dalam Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi
Direktorat Jenderal PP dan PL termasuk langkah-langkah antisipasi tantangan
program selama lima tahun mendatang. Sehubungan dengan belum
ditetapkannya revisi Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit maka Rencana Aksi Program masih menggunakan Rencana Aksi
Program PP dan PL 2015 – 2019. Dalam Rencana Aksi Program PP dan PL
2015 - 2019 tidak ada visi dan misi Direktorat Jenderal tetapi telah mendukung
pelaksanaan Renstra Kemenkes yang melaksanakan visi dan misi Presiden
Republik Indonesia yaitu “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan
Berkepribadian Berlandaskan Gotong-royong”.

Sasaran Strategis Direktorat Jenderal P2P merupakan sasaran strategis dalam


Renstra Kemenkes yang disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi Ditjen P2P.
Sasaran tersebut adalah meningkatnya pengendalian penyakit yang ditandai
dengan:

a) Persentase penurunan kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan


Imunisasi (PD3I) tertentu sebesar 40%.
b) Persentase Kab/Kota yang mampu melaksanakan kesiapsiagaan dalam
penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah
sebesar 100%.
c) Menurunnya prevalensi merokok pada pada usia ≤ 18 tahun sebesar 5,4%.
d) Meningkatnya Surveilans berbasis laboratorium sebesar 50 %
e) Persentase pelabuhan/bandara/PLBD yang melakukan yang melaksanakan
kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat
yang berpotensi wabah sebesar 100%.

Sedangkan indikator kinerja sasaran sebagai berikut:

11 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

TABEL 2.1
SASARAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
TAHUN 2015 - 2019
TARGET
SASARAN INDIKATOR
2015 2016 2017 2018 2019
Menurunnya 1. Persentase kabupaten/kota
penyakit yang mencapai 80 persen
75 80 85 90 95
menular dan imunisasi dasar lengkap
tidak menular pada bayi
serta
2. Jumlah kab/kota dengan
meningkatnya 225 245 265 285 300
eliminasi malaria
kualitas
kesehatan 3. Jumlah kab/kota endemis
lingkungan filariasis berhasil
menurunkan angka 35 45 55 65 75
mikrofilaria <1 persen

4. Jumlah provinsi dengan


21 23 25 26 34
eliminasi kusta
5. Prevalensi TB per 100.000
280 271 262 254 245
penduduk
6. Prevalensi HIV (persen)
<0,5 <0,5 <0,5 <0,5 <0,5

7. Prevalensi merokok pada


6,9 6,4 5,9 5,6 5,4
penduduk usia ≤ 18 tahun
8. Persentase kab/kota yang
mempunyai kebijakan
kesiapsiagaan dalam
penanggulangan 29 46 64 82 100
kedaruratan kesehatan
masyarakat yang berpotensi
wabah sebesar 100%
9. Persentase respon sinyal
SKD dan KLB, bencana dan
50 60 70 80 90
kondisis matra di wilayah
layanan BTKL sebesar 90%
10.Persentase teknologi tepat
guna PP dan PL yang
dihasilkan BTKL meningkat 30 35 40 45 50
50% dari jumlah TTG tahun
2014
11.Pesentase 60 70 80 90 100
pelabuhan/bandara/PLBD

12 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

TARGET
SASARAN INDIKATOR
2015 2016 2017 2018 2019
yang melaksanakan
kebijakan kesiapsiagaan
dalam penanggulangan
kedaruratan kesehatan
masyarakat yang berpotensi
wabah sebesar 100%

B. PERJANJIAN KINERJA
Perjanjian kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
merupakan dokumen pernyataan kinerja/kesepakatan kinerja/perjanjian kinerja
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dengan Menteri
Kesehatan untuk mewujudkan target-target kinerja sasaran Ditjen P2P pada
akhir Tahun 2016. Perjanjian Kinerja Ditjen P2P disusun berdasar Rencana
Rencana Aksi Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Tahun 2015-2019. Perjanjian Kinerja merupakan Rencana Kinerja Tahunan
(RKT) dan telah mendapat persetujuan anggaran. Perjanjian Kinerja Ditjen P2P
Tahun 2016 telah disusun, didokumentasikan dan ditetapkan setelah turunnya
DIPA dan RKA-KL Tahun 2016. Target-target kinerja sasaran kegiatan yang ingin
dicapai Ditjen P2P dalam dokumen Perjanjian Kinerja Tahun 2016 adalah
sebagai berikut:

TABEL 2.2
PERJANJIAN KINERJA
PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TAHUN 2016
NO INDIKATOR TARGET
1 Persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen 80%
imunisasi dasar lengkap pada bayi
2 Jumlah kab/kota dengan eliminasi malaria 245 kab/kota
3 Jumlah kab/kota endemis filariasis berhasil menurunkan 45 kab/kota
angka mikrofilaria <1 persen
4 Jumlah provinsi dengan eliminasi kusta 23 provinsi
5 Prevalensi TB sebesar 280 per 100.000 penduduk 271 per 100.000
penduduk
6 Prevalensi HIV (persen) <0,5%
7 Prevalensi merokok pada penduduk usia ≤ 18 tahun 6,4%

13 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

NO INDIKATOR TARGET
8 Persentase kabupaten/kota yang mempunyai Kebijakan 46%
kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan
kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah
9 Persentase respon sinyal SKD dan KLB, bencana dan 60%
kondisi matra di wilayah layanan BTKL
10 Persentase teknologi tepat guna PP dan PL yang 35%
dihasilkan BTKL meningkat 50 % dari jumlah TTG tahun
2014
11 Persentase Pelabuhan/Bandara/PLBD yang 70%
melaksanakan kebijakan kesiapsiagaan dalam
penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat
yang berpotensi wabah

Pada Perjanjian Kinerja Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


dialokasikan anggaran sebesar Rp. 4.098.559.756.000.

14 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

BAB III
AKUNTABILITAS KINERJA

A. CAPAIAN KINERJA
Dalam mengukur kinerja program pencegahan dan pengendalian penyakit di tahun 2016
terdapat beberapa sasaran strategis yang tertuang dalam dokumen Rencana Aksi
Program P2P tahun 2016.
Berikut adalah target dan capaian indikator program pencegahan dan pengendalian
penyakit tahun 2016.

Tabel 3.1
Target Dan Capaian Indikator Program P2P Tahun 2016
NO INDIKATOR TARGET CAPAIAN KINERJA
1 Persentase kabupaten/kota yang 80% 80.7% 100.9%
mencapai 80 persen imunisasi dasar
lengkap pada bayi.
2 Jumlah kabupaten/kota dengan 245 kab/kota 247 kab/kota 100.8%
eliminasi malaria.
3 Jumlah kabupaten/kota endemis 45 kab/kota 46 kab/kota 102.2%
filariasis berhasil menurunkan angka
mikrofilaria <1 persen.
4 Jumlah Provinsi dengan eliminasi 23 Provinsi 23 Provinsi 100%
kusta.
5 Prevalensi TB per 100.000 penduduk 271 per 257 per 105,2%
100.000 100.000
penduduk penduduk

6 Prevalensi HIV (persen) <0,5% 0.37% 126%

7 Prevalensi merokok pada usia ≤ 18 6,4% 8.8% 62,5%


tahun
8 Persentase kabupaten/kota yang 46% 47.2% 102.6%
mempunyai kesiapsiagaan dalam
penanggulangan kedaruratan
kesehatan masyarakat yang
berpotensi wabah
9 Persentase respon sinyal SKD dan 60% 95% 158.3%
KLB, bencana dan kondisi matra
diwilayah layanan BBTKL sebesar
90%

15 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

NO INDIKATOR TARGET CAPAIAN KINERJA


10 Persentase teknologi tepat guna PP 35% 135% 146.9%
dan PL yang dihasilkan BTKL
(64 TTG) (94 TTG)
meningkat 50% dari jumlah TTG
tahun 2014
11 Persentase pelabuhan/bandara/ 70% 70.75% 101%
PLBD yang melaksanakan kebijakan
kesiapsiagaan dalam
penanggulangan kedaruratan
kesehatan masyarakat yang
berpotensi wabah sebesar 100%

Gambaran atas keberhasilan upaya peningkatan pengendalian penyakit sepanjang


tahun 2016 digambarkan melalui beberapa indikator yang terkait sasaran strategis di
bawah ini:

1. Persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap


pada bayi sebesar 80%
a. Penjelasan Indikator
Imunisasi menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit
tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan. Imunisasi
memberikan perlindungan baik secara individu dan komunitas di suatu daerah
dari Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Apabila suatu
daerah, dalam hal ini kabupaten/kota memiliki cakupan imunisasi dasar lengkap
minimal 80% dari sasaran bayinya, maka kabupaten/kota tersebut memiliki
sasaran yang telah terlindungi dari PD3I.

b. Definisi Operasional
Persentase kabupaten/kota dimana minimal 80% bayi 0-11 bulan di
kabupaten/kota tersebut telah mendapat satu kali imunisasi Hepatitis B, satu kali
imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB (DPT-HB-Hib), empat kali imunisasi
polio, dan satu kali imunisasi campak dalam kurun waktu satu tahun.

c. Rumus/Cara perhitungan
Jumlah kabupaten/kota yang memiliki cakupan imunisasi dasar lengkap minimal
80% dari sasaran bayinya dalam kurun waktu satu tahun dibagi jumlah seluruh
kabupaten/kota selama kurun waktu yang sama dikali 100%.

Rumus:

∑K80% IDL
%K80% IDL = X 100%
∑KK

16 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Keterangan:
%K80%IDL : Persentase kabupaten/kota yang mencapai 80% imunisasi dasar
lengkap pada bayi
∑K80%IDL : Jumlah kabupaten/kota yang memiliki cakupan imunisasi dasar
lengkap minimal 80% dari sasaran bayinya dalam kurun waktu
satu tahun
∑ KK : Jumlah seluruh kabupaten/kota selama kurun waktu yang sama

d. Capaian Indikator

Grafik 3.1
Persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen
Imunisasi Dasar Lengkap pada bayi tahun 2015-2016

Pada tahun 2015, sebanyak 339 (66%) kabupaten/kota telah memenuhi minimal
80% sasaran bayinya mendapatkan imunisasi dasar lengkap sehingga dari target
sebesar 75%, capaian pada tahun 2015 sebesar 88%. Pada tahun 2016,
sebanyak 415 (80.7%) kabupaten/kota telah mencapai target minimal 80%
sasaran bayinya mendapatkan imunisasi dasar lengkap sehingga capaian
sebesar 100.9% dari target 80%. Sehingga pada tahun 2016 target persentase
kabupaten/kota yang mencapai 80% imunisasi dasar lengkap telah tercapai.

Apabila dibandingkan dengan indikator Renstra Kementerian Kesehatan Tahun


2015-2019 untuk Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit yakni
indikator Persentase Penurunan Kasus Penyakit Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi (PD3I) tertentu, maka capaian Kab/Kota yang mencapai 80% imunisasi
dasar lengkap pada bayi telah sejalan dengan terjadinya penurunan kasus PD3I
dari tahun 2013 (baseline Renstra Kemenkes) sampai tahun 2016.

17 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Grafik 3.2
Penurunan Kasus PD3I Tahun 2013 dan 2016

e. Analisa Penyebab Keberhasilan


Pada tahun 2016, indikator ini telah berhasil mencapai target yang ditetapkan,
dan mengalami peningkatan yang sangat signifikan dibandingkan tahun 2015.
Keberhasilan ini dikarenakan adanya umpan balik secara rutin yang dilakukan
secara berjenjang dari tingkat pusat kepada provinsi untuk senantiasa
memperbarui data. Meskipun begitu, masih ada beberapa hambatan dalam
pelaksanaan program imunisasi di lapangan antara lain adanya penolakan
terhadap imunisasi baik dikarenakan efek simpang maupun kampanye negatif.
Penolakan ini belum didukung oleh pemberian informasi dan edukasi yang baik
dan optimal baik dari tenaga kesehatan maupun melalui media-media. Kurang
optimalnya komunikasi, informasi dan edukasi yang didapat masyarakat
menyebabkan masih kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat
tentang imunisasi dan manfaatnya. Selain itu, tingginya tingkat pergantian
petugas terlatih menyebabkan terhambatnya pelaksanaan program dilapangan
terutama untuk daerah-daerah yang memiliki kondisi geografi sulit yang
memerlukan upaya yang lebih keras untuk dapat melaksanakan pelayanan dan
mencapai target.

f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator


 Peningkatan kesadaran masyarakat melalui:
- Iklan Layanan Masyarakat (ILM).
- Pekan Imunisasi Dunia.
- Pemberdayaan organisasi masyarakat melalui sinergisitas dengan
organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, organisasi keagamaan

18 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

dan LS terkait (MUI, Perdhaki, Muslimat NU, Aisyiah, Fathayat NU, PKK,
TOMA, TOGA dsb) missal keluarnya fatwa MUI tentang Imunisasi,
keterlibatan dalam kegiatan PIN sehingga mencapai target.

 Peningkatan kualitas pelayanan melalui :


- Pelatihan untuk petugas supaya menjadi lebih terampil.
- Pengadaan vaksin dan cold chain yang berkualitas dan sesuai standar.
- Peningkatan koordinasi antara pengelola program dengan pengelola
vaksin

g. Kendala/masalah yang dihadapi


- Masalah geografis terutama untuk daerah-daerah yang sulit terjangkau
sehingga pelayanan imunisasi tidak bisa optimal;
- Kualitas pelayanan imunisasi belum merata, terutama dalam hal Sumber
Daya Manusia (SDM) termasuk tingginya tingkat pergantian petugas terlatih;
- Sistem Pencatatan dan pelaporan yang belum berjalan optimal;
- Penerapan One Gate Policy atau sistem satu pintu mengenai vaksin
didaerah belum berjalan optimal, terutama dalam hal koordinasi antara
pengelola program dengan pengelola vaksin sehingga menyebabkan
keterlambatan pendistribusian vaksin ke daerah;
- Belum optimalnya ketersediaan coldchain yang sesuai standar terutama
pada unit pelayanan primer;
- Masih banyak rumor negatif tentang imunisasi (black campaign).

h. Pemecahan Masalah
- Pelaksanaan kegiatan SOS di daerah sulit (Daerah Terpencil, Perbatasan,
Terluar dan Kepulauan)
- Peningkatan kapasitas petugas pengelola imunisasi di setiap jenjang
administrasi (provinsi, kabupaten/kota dan puskesmas);
- Pengembangan sistem pencatatan dan pelaporan berbasis elektronik;
- Pemanfaatan sistem Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) Imunisasi dan
berbagai perangkat pemantauan program imunisasi (Data Quality Self-
assessment, Effective Vaccine Management dan Supervisi Suportif);
- Penyediaan peralatan cold chain secara bertahap sesuai dengan kebutuhan
program imunisasi di tingkat pelayanan primer melalui pembiayaan APBN
maupun dana hibah;
- Advokasi dan sosialisasi kepada tokoh dan kelompok masyarakat serta
penyampaian informasi melalui berbagai media bekerjasama dengan lintas
program dalam Kemenkes maupun lintas sector dan berbagai organisasi
masyarakat.

19 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

2. Jumlah kab/kota dengan eliminasi malaria sebesar 245 kab/kota


a. Penjelasan Indikator
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun
2015-2019, Eliminasi malaria merupakan salah satu sasaran utama dan juga
merupakan Indikator Kinerja Program (IKP) dari pencegahan dan pengendalian
penyakit dengan target jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi malaria.
Indikator eliminasi malaria berdasarkan pada Kepmenkes No. 293 tahun 2009
yakni kabupaten/kota, provinsi, dan pulau dinyatakan sebagai daerah yang
bebas penularan malaria/mencapai eliminasi malaria bila tidak ditemukan lagi
kasus penularan setempat (indigenous) selama 3 (tiga) tahun berturut-turut serta
dijamin dengan kemampuan pelaksanaan surveilans yang baik. Dengan
memperhatikan indikator penilaian eliminasi malaria yaitu:
- Menilai pelaksanaan penemuan dan tatalaksana kasus malaria.
- Menilai pencegahan dan penanggulangan faktor risiko.
- Menilai surveilans dan penanggulangan KLB.
- Menilai peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
- Menilai peningkatan Sumber Daya Manusia.
- Menilai Komitmen Pemerintah Daerah.

b. Definisi operasional
Upaya untuk menghentikan penularan malaria setempat (indigenous) dalam satu
wilayah geografis tertentu, dan bukan berarti tidak ada kasus malaria impor serta
sudah tidak ada vektor malaria di wilayah tersebut sehingga tetap dibutuhkan
kegiatan kewaspadaan untuk mencegah penularan kembali.

c. Rumus/cara perhitungan
Akumulasi jumlah kab/kota yang mencapai eliminasi malaria.

d. Capaian indikator
Kabupaten/kota yang telah mencapai eliminasi malaria pada tahun 2016 yaitu
sebanyak 247 kabupaten/kota dari target yang ditentukan sebesar 245 kab/kota
atau pencapaian kinerja sebesar 100,8%. Terjadi peningkatan jumlah
Kabupaten/Kota yang telah mencapai eliminasi malaria dari tahun 2013
sebanyak 1 Kab/Kota, meningkat menjadi 213 Kab/Kota pada tahun 2014,
meningkat menjadi 232 Kab/Kota pada tahun 2015 dan meningkat menjadi 247
pada tahun 2016.

20 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Grafik 3.3

Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa jumlah kabupaten/kota yang telah
mencapai eliminasi Malaria semakin meningkat setiap tahunnya. Persentase
capaian eliminasi malaria per Provinsi di Indonesia dapat dilihat pada peta dan
tabel dibawah ini:

Peta 3.1
Sebaran Eliminasi Malaria Per Provinsi

21 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Tahapan eliminiasi malaria dimulai dari Kepulauan Seribu, Bali dan Batam pada
tahun 2010. Selanjutnya Jawa, Provinsi Aceh dan Provinsi Riau pada tahun
2015. Tahap ketiga adalah Sumatera kecuali Aceh dan Kepulauan Riau, NTB,
Kalimantan dan Sulawesi sampai tahun 2020. Terakhir adalah Provinsi Nusa
Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua pada tahun
2030. Pada tabel dibawah ini tersaji secara rinci jumlah Kab/Kota dengan
eliminasi malaria per Provinsi di Indonesia.
Tabel 3.2
Jumlah Kab/Kota dengan eliminasi malaria per Provinsi di Indonesia
No Provinsi Kab/ Eliminasi % No Provinsi Kab/ Eliminas %
Kota Kota i
1 Aceh 23 18 78% 18 NTB 10 3 30%
2 Sumatera Utara 33 18 55% 19 Kalimantan 13 4 31%
Selatan
3 Sumatera Barat 19 16 84% 20 Kalimantan 14 5 36%
Tengah
4 Riau 12 7 58% 21 Kalimantan Barat 14 2 14%
5 Kepulauan Riau 7 3 43% 22 Kalimantan Timur 10 3 30%
6 Jambi 11 3 27% 23 Kalimantan Utara 5 1 20%
7 Bengkulu 10 3 30% 24 Sulawesi Utara 15 3 20%
8 Sumatera Selatan 17 7 41% 25 Sulawesi 17 8 47%
Tenggara
9 Bangka Belitung 7 5 71% 26 Sulawesi Tengah 13 3 23%
10 Lampung 15 5 33% 27 Sulawesi Selatan 24 14 58%
11 DKI Jakarta 6 6 100% 28 Gorontalo 6 2 33%
12 Jawa Barat 27 23 85% 29 Sulawesi Barat 6 1 17%
13 Banten 8 6 75% 30 NTT 22 0 0%

14 Jawa Tengah 35 28 80% 31 Maluku 11 0 0%


15 DI Yogyakarta 5 4 80% 32 Maluku Utara 10 0 0%
16 Jawa Timur 38 37 97% 33 Papua Barat 13 0 0%
17 Bali 9 9 100% 34 Papua 29 0 0%
NASIONAL 514 247 48%

Sampai akhir tahun 2016 beberapa kemajuan telah dicapai, antara lain:
1) Sebanyak 247 kabupaten/kota telah menerima sertifikat eliminasi malaria dan
dalam dalam tahap pemeliharaan/ bebas penularan malaria. Sesuai dengan
RPJMN 2015-2019, tahun 2016 ditargetkan sejumlah 245 kabupaten/kota
menerima sertifikat eliminasi malaria.
2) Total kabupaten/kota dengan API < 1 per 1000 penduduk meningkat dari 379
kabupaten/kota pada tahun 2015 menjadi 400 pada tahun 2016 dan telah
mencapai target Renstra sebesar 360 pada tahun 2016.
3) Kabupaten/kota dengan tingkat endemis rendah meningkat dari 143 menjadi
153 kabupaten/kota.

22 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

4) Kabupaten/kota dengan endemis sedang menurun dari 87 menjadi 69


kabupaten/kota.
5) Jumlah kabupaten/Kota dengan tingkat endemis tinggi sama dengan tahun
sebelumnya sebesar 45.
Berikut jumlah kab/kota dengan kategori status endemisitas dari tahun 2014
sampai 2016:
Tabel 3.3
Status endemisitas malaria
PENCAPAIAN MENURUT
No. STATUS ENDEMISITAS JUMLAH KAB/KOTA
2014 2015 2016
Eliminasi Bebas Penularan
1 Setempat, tidak ada kasus 213 232 247
indigenous
Rendah (API < 1 per 1000
2 152 147 153
penduduk
Sedang (API 1-5) per 1000
3 88 87 69
penduduk
Tinggi (API > 5 per 1000
4 58 45 45
penduduk)

Selain capaian target diatas, target RPJMN dan Renstra pada tahun 2016
juga telah tercapai. Ada 2 indikator RPJMN yang merupakan indikator
pemantauan Program Prioritas Janji Presiden tahun 2016 oleh KSP (Kantor
Staf Presiden) yakni 1) persentase suspek malaria yang dilakukan konfirmasi
laboratorium baik menggunakan mikroskop maupun Rapid Diagnostik Test
(RDT) dari semua suspek yang ditemukan dan 2) Persentase pengobatan
standar malaria, seperti yang terlihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 3.4
Capaian Indikator Program Prioritas Janji Presiden/Wakil Presiden
Kriteria 2015 2016
Target
Keberhasilan Capaian Keterangan Capaian Keterangan
Jumlah suspek: Jumlah suspek:
Persentase kasus 1.599.247 921.315
suspek malaria yang jumlah sediaan jumlah sediaan
>95% 98% 97%
dikonfirmasi (dengan darah yang darah yang
mikroskop/RDT) diperiksa : diperiksa :
1.567.539 889.297

23 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Persentase kasus
Jumlah Positif Jumlah Positif
malaria positif yang
Malaria : 217,025 Malaria :
diobati dengan ACT
> 85% 91% Jumlah 94% 130.627 Jumlah
(Arthemisinin Based
Pengobatan ACT : Pengobatan
Combination
195.780 ACT : 122.892
Therapy)

Berdasarkan data pada tabel diatas ditemukan suspek yang ditemukan pada
tahun 2016 yaitu sebesar 921.315 menurun dibanding tahun sebelumnya
yaitu 1.599.247 dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa sebesar
889.297 sehingga persentase pemeriksaan sediaan darah pada tahun 2016
sebesar 97%. Capaian tersebut masih diatas target persentase pemeriksaan
sediaan darah yang diharapkan adalah di atas 95 %. Persentase tersebut
berdasarkan laporan Januari-November 2016 dengan kelengkapan laporan
sebesar 82% sehingga presentase capaian tersebut masih dapat terjadi
perubahan kembali.
Dari tahun 2012 – 2016 pemeriksaan sediaan darah (konfirmasi laboratorium)
terhadap suspek malaria mengalami fluktuatif yaitu pada tahun 2012 sebesar
93% sedangkan pada tahun 2016 meningkat menjadi 97 % yang dapat dilihat
seperti pada grafik dibawah ini :

Grafik 3.4

Pemeriksaan laboratorium malaria terdiri dari pemeriksaan secara


mikroskopis dan penggunaan rapid diagnostic test (RDT). Kualitas
pemeriksaan sediaan darah dipantau melalui mekanisma uji silang, panel
testing dan supervisi dan dilaksanakan secara berjenjang. Pada tahun
sebelumnya digunakan indikator tingkat kesalahan (error rate), saat ini telah
diganti dengan pengukuran yang lebih spesifik yaitu sensitifitas, spesifisitas
dan akurasi spesies yang masing masing harus diatas 70% pada tingkat
layanan. Pada tahun 2015 dilakukan uji kompetensi pada tingkat layanan
24 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

pada 5 provinsi didaerah KTI dengan hasil yaitu sensitivitas sebesar 80,6%,
spesifisitas sebesar 84,2% dan akurasi spesies sebesar 60,7%. Secara
umum cukup baik hanya pada pembacaan akurasi spesies yang masih
dibawah 70%.
Grafik 3.5

Persentase pasien malaria positif yang diobati dengan standar adalah


proporsi pasien positif yang diobati dengan ACT dan non ACT sesuai
pedoman dibandingkan dengan jumlah pasien positif. Angka ini digunakan
untuk melihat kualitas pengobatan kasus malaria apakah sesuai dengan
standar nasional atau tidak. ACT merupakan obat yang efektif untuk
membunuh parasit malaria, sementara obat lama yang masih beredar yaitu
Klorokuin telah resisten. Pemberian ACT harus berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium. Jumlah pasien positif yang ditemukan pada
tahun 2016 yaitu sebesar 130.627 menurun dari tahun sebelumnya sebesar
217,025 dengan jumlah yang diobati sesuai standar yaitu sebesar 122.892.
Pada grafik diatas terlihat bahwa persentase pasien malaria positif yang
diobati ACT pada tahun 2016 adalah sebesar 94%, angka ini meningkat
dibanding tahun 2015 mencapai 91%, target persentase pengobatan sesuai
standar yaitu sebesar 85%.

Pemakaian kelambu berinsektisida merupakan salah satu strategi untuk


mengurangi faktor resiko penularan malaria. Kelambu dibagikan kepada
penduduk yang tinggal di daerah endemis tinggi malaria (API > 5 per 1000),
dengan target minimal 80% penduduk di daerah tersebut mendapatkan
perlindungan kelambu berinsektisida. Setiap keluarga mendapatkan 2 buah
kelambu. Sedangkan di daerah endemis sedang (API 1-5 per 1000) kelambu
dibagikan hanya kepada kelompok risiko tinggi yang tinggal didaerah fokus
yaitu ibu hamil dan bayi. Untuk daerah endemis rendah dan eliminasi,
25 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

pembagian kelambu merupakan salah upaya penanggulangan KLB dan


pencegahan di daerah reseptif secara selektif. Sampai dengan Desember
tahun 2016, cakupan penduduk beresiko tinggi yang mendapat perlindungan
kelambu berinsektisida di daerah endemis tinggi telah mencapai 100%. Dan
diperkirakan cakupan distribusi kelambu di Kawasan Timur Indonesia
mencapai 100%. Hal ini terlihat dari jumlah kelambu yang didistribusikan dan
cakupan kelambu pada penduduk berisiko. Total nasional sejak tahun 2004-
2016 sejumlah lebih dari 23 juta kelambu telah didistribusikan untuk seluruh
Indonesia seperi yang terlihat dalam grafik dibawah ini.

Grafik 3.6
Distribusi Kelambu Tahun 2004-2016

Penduduk sasaran di daerah endemis tinggi diperkirakan lebih dari 10 juta


orang dengan kebutuhan kelambu mencapai 5 juta unit, baik di KTI dan non-
KTI pada periode 2014-2016. Pada 2014 telah dilaksanakan distribusi
kelambu massal yang mencakup 58 kabupaten/kota di Kawasan Timur
Indonesia dan melindungi kurang lebih 6,2 juta populasi melalui 3,5 juta
kelambu. Dan pada tahun 2016 distribusi kelambu total nasional mencapai 2,4
juta kelambu, dimana 1,5 juta kelambu mencakup Pekan Kelambu Massal
Fokus yang dilaksanakan di 7 Provinsi dan 40 kabupaten/kota di Sumatera
Utara, Sumatera barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, NTT, Maluku, dan
Maluku Utara. Sejumlah hampir 1 juta kelambu didistribusikan kepada
sasaran ibu hamil dan bayi di daerah endemis. Dengan demikian 100%
populasi berisiko tinggi tertular malaria telah terlindungi dengan kelambu.
Untuk tetap melindungi populasi tersebut, maka kelambu yang akan
kadaluarsa setelah 3 tahun akan diganti dengan yang baru pada 2017 dan
2019.

26 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Hasil survey KAP yang dilakukan bersama Balitbangkes di wilayah


Kalimantan dan Sulawesi tahun 2014-2015, diperoleh proporsi anggota rumah
tangga yang tidur dalam kelambu sekitar 80%. Survei penggunaan kelambu
ini sangat penting dilakukan karena memberikan gambaran intervensi
pencegahan menularan malaria dimasyarakat. Penggunaan kelambu menjadi
salah satu indikator MDG untuk pengendalian malaria adalah penggunaan
kelambu pada anak balita. Kegiatan ini dilaksanakan bersama dengan Badan
Litbangkes pada 5 provinsi dan 10 kabupaten/kota di wilayah Kalimantan dan
Sulawesi. Pengumpulan data dilakukan pada bulan November-Desember
2014 dengan jumlah rumah tangga sebanyak 4480 rumah tangga. Kegiatan
pengumpulan data selesai pada bulan Maret 2015 dengan hasil sebagai
berikut:
- Proporsi rumah tangga (RT) yang memiliki kelambu (total) sebesar
83,1%.
- Proporsi ART yang patuh tidur dalam kelambu (total) sebesar 72,9%.
- Proporsi ART yang patuh tidur dalam kelambu (pembagian) sebesar
74,7%.
- Proporsi Balita yang patuh tidur dalam kelambu (total) sebesar 80,6%.
(indikator MDGs).
- Proporsi Bumil yang patuh tidur dalam kelambu (total) sebesar 73,2%.

e. Analisa Penyebab Keberhasilan


Jumlah kabupaten/kota yang mencapai eliminasi malaria pada tahun 2016
sebanyak 247 kabupaten/kota, jumlah tersebut telah melebihi target indikator
RPJMN sebanyak 245 Kabupaten/kota. Beberapa hal yang mempengaruhi
keberhasilan tersebut seperti:
1. Kegiatan penemuan kasus malaria melalui kegiatan surveilans migrasi
Kegiatan surveilans migrasi dilaksanakan sebagai strategi penanggulangan
malaria di daerah endemis rendah yang masih memiliki daerah reseptif
(daerah yang masih ada vektor malaria dan memungkinkan adanya vektor
malaria) untuk mencegah terjadinya penularan malaria, mobilisasi penduduk
yang tinggi merupakan salah satu ancaman penularan malaria disuatu
daerah, pencegahan penularan dengan melakukan pemeriksaan sediaan
darah malaria pada pendatang dari daerah endemis malaria dilakukan dalam
surveilans migrasi, kegiatan tersebut biasanya dilaksanakan oleh JMD (Juru
Malaria Desa).

2. Penyelidikan epidemiologi setiap kasus malaria


Daerah yang telah mencapai endemis rendah harus melakukan penyelidikan
epidemiologi terhadap kasus malaria, laporan mingguan SKDR (Sistem
Kewaspadaan Dini dan Respon KLB) melaporkan kasus malaria setiap
minggu yang ditindaklanjuti dengan penyelidikan epidemiologi untuk setiap
kasus, kegiataan tersebut bertujuan untuk menentukan asal penularan
sehingga dapat melakukan upaya pencegahan yang sesuai.

27 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

3. Sosialisasi Surveilans Malaria tingkat Puskesmas di Setiap


Kabupaten/kota
Tahun 2015-2016 telah dilakukan sosialisasi surveilans malaria di sekitar
6.200 puskesmas, kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas
surveilans malaria yang merupakan salah satu strategi utama menuju
eliminasi malaria.

4. Skrining Malaria pada Ibu Hamil


Kegiatan skrining ibu hamil dilakukan di Kabupaten/Kota endemis sedang
dan endemis rendah malaria yang masih memiliki desa atau puskesmas
endemis tinggi dan sedang malaria. Ibu hamil merupakan salah satu populasi
berisiko apabila tertular malaria, kegiatan ini bertujuan untuk mengurangi
risiko penularan pada ibu hamil.

f. Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator


1) Pencegahan dan Tatalaksana Kasus
a) Kegiatan ini merupakan kegiatan utama program yang merupakan “core
bussiness”
b) Pengendalian vektor (kelambu massal, penyemprotan dinding rumah/IRS,
Larvasiding, manajemen lingkungan)
c) Pencegahan malaria (penggunaan kelambu anti nyamuk, kemoprofilaksis,
dll)
d) Penemuan dan diagnosis Malaria
e) Pengobatan Malaria dan pemantauannya
f) Tatalaksana kasus Malaria di masyarakat
2) Manajemen Program
Kegiatan ini merupakan pendukung (supporting) bagi terlaksananya kegiatan
utama “core business” maupun kelompok kegiatan program yang
komprehensif.
a) Perencanaan dan pembiayaan program
b) Pengorganisasian program
c) Pengelolaan logistik program Malaria
d) Pengembangan ketenagaan program Malaria
e) Regulasi, Advokasi dan Promosi Program
f) Informasi Strategis Program Malaria
g) Monitoring dan Evaluasi Program
3) Kegiatan penunjang program malaria komprehensif.

28 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Kegiatan ini merupakan kegiatan yang bersifat ekspansif agar kegiatan


bermutu dan berkelanjutan (sustainabilitas). Kegiatan ini dapat
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan.
a) Kemitraan Program Malaria
b) Penguatan Layanan dan jejaring laboratorium Malaria
c) Ekspansi Layanan Kesehatan (Public-Private Mix)
d) Kolaborasi Malaria – Imunisasi, Kesehatan ibu dan Anak
e) Upaya Layanan Malaria Berbasis Masyarakat (Posmaldes, Mobilisasi
sosial)
f) Monitoring mutu obat malaria antara lain uji efikasi obat, uji resistensi
obat, pharmacovigilance, dan uji mutu obat.
g) Pendekatan tatalaksana malaria terpadu (IMCI/MTBS, IMAI/MTDS, dan
lain-lain)

g. Kendala/Masalah yang Dihadapi


1) Koordinasi multi sektoral kurang optimal dalam upaya pengendalian yang
lebih komprehensif dan terpadu.
2) Pemanfaatan potensi mitra, (sektor pemerintah, swasta, masyarakat dan
pasien) belum optimal.
3) Kurangnya komitmen pemerintah daerah dan keterbatasan sumber daya
pemerintah.
4) Kecenderungan donor dependence.
5) Meningkatnya potensi faktor risiko (lingkungan, iklim), resistensi OAM,
insektisida.
6) Keterbatasan akses pelayanan kesehatan khususnya di daerah terpencil.
7) Manajemen program yang belum optimal.
- Kualitas pemeriksaan Mikroskopis, error rate tinggi.
- Sistem informasi data kasus malaria belum optimal (sistem, akurasi,
validitas)
- Masih lemahnya pengelolaan logistik malaria.
- Turn over petugas masih tinggi.
- Surveilens Vektor belum berjalan sepenuhnya.

h. Pemecahan Masalah
1) Peningkatan akses layanan malaria yang bermutu
- Penerapan sistem jejaring public-privite mix layanan malaria.
29 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

- Penerapan pemantapan mutu laboratorium


- Peningkatan kapasitas diagnosis dan tatalaksana kasus

2) Pencegahan dan Pengendalian vektor terpadu


3) Pemantauan efektifitas dan resistensi OAM.
4) Penguatan Surveilans termasuk surveilans migrasi, Sistem Kewaspadaan
Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB) dan penanggulangan KLB.
5) Penguatan kemandirian masyarakat melalui Posmaldes dan UKBM lainnya.
6) Penguatan kemitraan melalui Forum Gerakan Berantas kembali Malaria
(GebrakMalaria).
7) Penguatan manajemen fungsional program, advokasi dan promosi program
dan berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan.
8) Penguatan komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam kesinambungan
pemenuhan kebutuhan program.
9) Penguatan sistem informasi strategis dan penelitian operasional untuk
menunjang basis bukti program berbasis web base.
10) Integrasi dengan progam lain seperti surveilans dalam mengembangkan
sistem SKDR serta data rumah sakit (SIRS)

3. Jumlah kab/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1


persen sebesar 45 kab/kota
a. Penjelasan Indikator
Indikator ini digunakan untuk melihat jumlah kabupaten/kota yang berhasil
dalam menurunkan prevalensi mikrofilaria (mf Rate) menjadi <1% melalui
program Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis selama 5
tahun berturut-turut.

b. Definisi operasional
Jumlah kab/kota yang telah selesai melakukan Pemberian Obat Pengobatan
Massal (POPM) Filariasis selama 5 tahun berturut, kemudian 6 bulan setelahnya
pada pemeriksaan darah jari berhasil menurunkan angka mikrofilaria (mf rate)
menjadi < 1%.

c. Rumus/cara perhitungan
Akumulasi jumlah kab/kota endemis yang berhasil menurunkan angka
mikrofilaria menjadi < 1%.

30 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

d. Capaian indikator
Target indikator Laporan Kinerja tahun 2016 adalah 45 kabupaten/kota berhasil
menurunkan angka mikrofilaria <1%, pada realisasi kinerja 2016 telah dicapai 46
kabupaten/kota yang berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1% dengan
capaian 2016 sebesar 102.2% seperti yang terlihat dalam tabel dibawah ini.

Terjadi peningkatan jumlah kab/kota endemis filariasis yang berhasil


menurunkan angka mikrofilaria <1% dari tahun 2013-2016. Hal ini menunjukkan
semakin meningkatnya komitmen kabupaten/kota dalam melaksanakan program
pengendalian Filariasis melalui Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis
selama 5 tahun berturut-turut sehingga dapat menurunkan angka mikrofilaria
menjadi <1%

31 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Sebelum suatu kabupaten/kota dinilai penurunan mikrofilarianya, kabupaten/kota


tersebut harus melaksanakan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM)
Filariasis pada seluruh penduduk sasaran di kabupaten/kota tersebut selama 5
tahun berturut-turut dengan cakupan pengobatan minimal 65%. Berdasarkan hal
tersebut, keberhasilan penurunan angka mikrofilaria sangat bergantung pada
partisipasi masyarakat untuk minum obat filariasis. Kendala atau masalah yang
dihadapi dalam pelaksanaan POPM diantaranya kurangnya sosialisasi kepada
masyarakat untuk minum obat pencegahan filariasis yang menyebabkan
partisipasi masyarakat dalam minum obat, keterlambatan distribusi obat sampai
ke kabupaten/kota sehingga pelaksanaan POPM mundur dari waktu yang telah
ditentukan juga mempengaruhi partisipasi masyarakat. Adapun kabupaten/kota
yang dapat menurunkan angka mikrofilaria <1% adalah sebagai berikut:
Tabel 3.5
Kab/Kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria
<1 persen
NO KAB/KOTA NO KAB/KOTA
1 Bangka Barat 24 Bekasi
2 Belitung 25 Kota Depok
3 Kota Dumai 26 Merauke
4 Lima Puluh Koto 27 Jayapura
5 Kota Bogor 28 Kota Bukit Tinggi
6 Kota Waringin Barat 29 Luwu Timur
7 Kota Gorontalo 30 Agam
8 Gorontalo 31 Tidore Kepulauan
9 Gorontalo Utara 32 Kuantan Singingi
10 Pahuwoto 33 Pesisir Selatan
11 Parigi Mountong 34 Tanjung Jabung Barat
12 Bombana 35 Sigi
13 Kolaka Utara 36 Nias
14 Enrekang 37 Lebak
15 Polewali Mandar 38 Subang
16 Alor 39 Hulu Sungai Utara
17 Rote Ndao 40 Pidie
18 Pelalawan 41 Bovendigoel
19 Labuhan Batu 42 Mappi
20 Kota Serang 43 Donggala
21 Tangerang 44 Buton
22 Tangerang Selatan 45 Pasaman Barat
23 Bandung 46 Deli Serdang

32 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

e. Analisa penyebab keberhasilan


Indikator jumlah kab/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka
mikrofilaria <1 persen telah tercapai. Hal ini dipengaruhi oleh cakupan penduduk
minum obat pencegahan filariasis terutama pada tahun 2016 yang semakin
meningkat terutama dengan adanya kampaye Bulan Eliminasi Kaki Gajah
(BELKAGA). Upaya tersebut sesuai dengan hasil penelitian para ahli yang
menunjukkan bahwa cakupan minum obat yang efektif dapat menurunkan angka
mikrofilaria. Selain itu, pembangunan fisik dan perkembangan di daerah-daerah
endemis juga semakin meningkat sehingga mengurangi tempat-tempat
perindukan nyamuk vektor filariasis.

f. Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator


1. Bulan Eliminasi Kaki Gajah (Belkaga)
Salah satu upaya strategis yang dilakukan untuk meningkatkan cakupan
pemberian obat massal pencegahan (POPM) filariasis adalah dengan
menjadikan bulan Oktober sebagai “Bulan Eliminasi Kaki Gajah
(BELKAGA)”. Dengan adanya program bulan POPM Filariasis diharapkan
seluruh lapisan masyarakat dari pusat hingga daerah tergerak dengan
serempak mendukung POMP Filariasis di wilayahnya, seiring dengan
pemahaman masyarakat yang semakin tinggi terhadap pentingnya program
pengendalian filariasis di Indonesia.

2. Sosialisasi Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis secara


Intensif
Sosialisasi POPM Filariasis secara intensif dilaksanakan ke seluruh lapisan
masyarakat serta Lintas Sektor dan Lintas Program terkait untuk
meningkatkan cakupan dalam minum obat pencegahan Filariasis baik
melalui pertemuan maupun melalui media KIE

3. Penyediaan Dana untuk kegiatan pengendalian dan Operasional POPM


Filariasis melalui Dana Dekon.

g. Kendala/Masalah yang Dihadapi


1) Kurangnya partisipasi masyarakat dalam minum obat sehingga cakupan
POPM Filariasis masih dibawah target (< 65%).
2) Keterlambatan distribusi obat ke kabupaten/kota sehingga pelaksanaan
POPM mundur dari waktu yang telah ditentukan.
3) Adanya efisiensi menyebabkan berkurangnya dukungan dana dekon dalam
membiayai sosialisasi maupun operasional POPM Filariasis di daerah

33 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

h. Pemecahan Masalah
1) Peningkatan promosi POPM Filariasis melalui media yang efektif dengan
menggunakan pendekatan kearifan lokal.
2) Mempersiapkan SDM baik di tingkat pusat maupun daerah, konsolidasi,
koordinasi serta upaya penguatan kapasitas lainnya.
3) Melaksanakan pembinaan dan asistensi teknis program eliminasi filariasis di
tingkat provinsi, kabupaten, dan puskesmas.

4. Jumlah provinsi dengan eliminasi kusta sebesar 23 provinsi


a. Penjelasan Indikator
Eliminasi merupakan upaya pengurangan terhadap penyakit secara
berkesinambungan di wilayah tertentu sehingga angka kesakitan penyakit
tersebut dapat ditekan serendah mungkin agar tidak menjadi masalah kesehatan
di wilayah yang bersangkutan. Eliminasi kusta berarti angka prevalensi < 1/
10.000 penduduk. Secara nasional, Indonesia telah mencapai eliminasi sejak
tahun 2000, sedangkan eliminasi tingkat provinsi ditargetkan dapat dicapai pada
tahun 2019.

b. Definisi operasional
Jumlah provinsi yang mempunyai angka prevalensi kusta kurang dari 1/10.000
penduduk pada tahun tertentu.

c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah kumulatif provinsi yang telah mencapai eliminasi kusta (angka prevalensi
<1/10.000 penduduk) pada tahun tertentu.
Sedangkan rumus menghitung prevalensi sebagai berikut :

Jumlah kasus kusta yang ada


X 10.000
Jumlah seluruh penduduk
Pembilang (nominator) adalah jumlah kasus / penderita kusta yang terdaftar di
suatu provinsi. Sedangkan Penyebut (denominator) adalah jumlah seluruh
penduduk yang ada di provinsi tersebut. Jika hasilnya di bawah angka 1, maka
provinsi tersebut telah berhasil mencapai eliminasi kusta.

d. Capaian indikator
Target indikator yang ingin dicapai di tahun 2016, yakni 23 provinsi dengan
realisasi pencapaian sebesar 23 provinsi sehingga pencapaian indikator ini
sebesar 100%. Apabila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2015 (21
provinsi), jumlah provinsi yang mencapai eliminasi di tahun 2016 meningkat
dengan penambahan pencapaian status eliminasi pada Provinsi Aceh dan
34 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Provinsi Kalimantan Utara. Adapun 11 provinsi yang belum mencapai eliminasi


adalah Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara,
Papua, serta Papua Barat.

Grafik 3.9

Dari hasil analisis lokal spesifik daerah, didapatkan beberapa temuan yang
mendorong teracapainya target tersebut. Di Provinsi Aceh, berbagai upaya
advokasi dan pendekatan terhadap pemegang kebijakan dilakukan. Hasilnya
program kusta berhasil masuk dalam program prioritas dan mendapat alokasi
Dana Otonomi Khusus. Melalui dukungan dana pusat dan daerah,
diselenggarakan beberapa kegiatan promosi dan penemuan kasus aktif berupa
penyebaran informasi kusta kepada masyarakat dan Rapid Village Survei (RVS)
secara intensif. Melalui kegiatan tersebut, banyak kasus-kasus tersembunyi yang
ditemukan terutama berasal dari daerah-daerah terpencil yang selama ini belum
pernah terjangkau oleh kegiatan penemuan kasus. Semakin banyak kasus yang
ditemukan, maka akan semakin banyak kasus yang mendapat pengobatan dan
tidak menjadi sumber penularan bagi masyarakat sekitar.

Selain kegiatan penemuan kasus, anggaran otonomi khusus juga dimanfaatkan


untuk menyelenggarakan berbagai pelatihan bagi bidan, dokter, hingga eselon 3
dan 4 di tingkat kabupaten/kota. Strategi lain yang dijalankan adalah dengan
melakukan pendekatan kepada tokoh agama untuk memberikan pemahaman
yang benar akan penyakit kusta sehingga dapat menurunkan stigma di
masyarakat, serta memperluas jangkauan cakupan penemuan kasus hingga ke
madrasah dan pesantren.

35 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Dari Provinsi Kalimantan Utara terlihat bahwa adanya kegiatan peningkatan


kapasitas bagi wasor provinsi dan kabupaten serta kegiatan on the job training
bagi petugas puskesmas berpengaruh besar terhadap perbaikan program
pengendalian kusta, terutama dalam peningkatan kemampuan pengelola untuk
validasi kasus dan validasi data.
Mengingat pengaruh kegiatan validasi data (cleaning register) yang cukup besar
terhadap pencapaian status eliminasi kusta, Subdit PTML bersama Provinsi
Aceh dan Kalimantan Utara melaksanakan validasi data secara terus menerus
dan berkesinambungan, karena kurang optimalnya kegiatan validasi data dapat
berakibat tetap tingginya kasus kusta yang terdaftar di suatu wilayah.

Peta 3.2

e. Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator


1. Menyelenggarakan peringatan Hari Kusta Sedunia bertempat di Kabupaten
Sampang, Provinsi Jawa Timur. Dalam kesempatan tersebut, dilakukan
pencanangan kegiatan pencarian kasus menggunakan metode Self
screening dengan pendekatan keluarga yaitu mengikutsertakan masyarakat
dalam program deteksi dini kusta dimana setiap keluarga akan melakukan
skrining terhadap anggota keluarganya sendiri. Suspek yang ditemukan
kemudian akan dikonfirmasi diagnosisnya oleh tenaga kesehatan terlatih.
2. Intensifikasi penemuan kasus kusta dan frambusia di wilayah endemis
menggunakan metode Self screening dengan pendekatan keluarga yang
dilakukan di 25 kabupaten/kota di beberapa provinsi, di antaranya Aceh,
Sumatra Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
36 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Selatan, dan Maluku Utara. Kegiatan self screening dengan pendekatan


keluarga dirasakan memiliki dampak positif dalam meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pengendalian kusta, mengurangi beban kerja petugas
kesehatan dan memperluas cakupan program.

Gambar 3.1
Wasor Kabupaten bersama-sama dengan Wasor Provinsi sedang
melakukan pemeriksaan bercak dalam kegiatan Intensifikasi Penemuan
Kasus Kusta dan Frambusia

3. Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan (pengelola program puskesmas,


kabupaten/kota, provinsi) dalam tata laksana kasus dan program yang
diselenggarakan sebanyak 2 batch.
4. Menyelenggarakan Pertemuan Regional Monitoring dan Evaluasi Program
Kusta dan Frambusia di Wilayah Sumatera; Wilayah Jawa, Bali, dan Nusa
Tenggara; serta Wilayah Kalimantan untuk memonitoring dan mengevaluasi
program dan capaian program di provinsi yang berada di wilayah tersebut
sekaligus mensosialisasi isu terkini dan kebijakan nasional baru P2 Kusta
dan Frambusia.
5. Menyelenggarakan Pertemuan Koordinasi Pokja/Komli untuk penyusunan
PNPK Kusta dengan mengundang organisasi profesi di antaranya Persatuan
Dokter Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI), Perhimpunan Dokter
Spesialis Rehabilitasi Medik Indonesia (PERDOSRI), Perhimpunan Ahli
Bedah Orthopedi Indonesia (PABOI), Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik
Indonesia (PAMKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa
Indonesia (PDSKJI), Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI),
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Dengan
adanya PNPK ini diharapkan dapat tercipta pelayanan kusta yang
komprehensif dan terstandar.

37 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

6. Melakukan upaya pembersihan data (data cleaning) dan validasi kasus di


provinsi Aceh yang ditargetkan mencapai eliminasi dengan tujuan untuk
mendapatkan data yang akurat tentang prevalensi kusta di provinsi tersebut.
7. Menyelenggarakan Pertemuan Koordinasi dan Evaluasi Studi Operasional
Kemoprofilaksis di Indonesia untuk merevisi Petunjuk Teknis Kemoprofilaksis
berdasarkan pengalaman yang dipakai pada saat studi operasional
kemoprofilaksis yang sudah dilaksanakan di beberapa kabupaten/kota.
8. Melanjutkan kegiatan pengobatan pencegahan kusta/kemoprofilaksis di
beberapa wilayah endemis di Indonesia, yaitu Kabupaten Sampang,
Sumenep, Kota Bima, Kabupaten Bima, Kabupaten Maluku Tenggara Barat,
dan Kabupaten Mumugu; serta rencana menambah daerah implementasi
kemoprofilaksis di tahun 2017.
9. Menyelenggarakan Pertemuan Drug Resistance Surveilans untuk
mengetahui situasi terkini perkembangan kasus resisten serta
pengembangan dan penguatan sistem surveilans kasus resisten.
10. Membuat Iklan layanan masyarakat berupa jingle kusta “Ayo Temukan
Bercak” yang bertujuan menciptakan atmosfir yang ceria dan bersemangat
dalam kegiatan deteksi dini kusta di masyarakat.

Gambar 3.2. Iklan Layanan Masyarakat Jingle “Ayo Temukan Bercak”

11. Menyelenggarakan Mid-Term Evaluation for Leprosy Elimination and Yaws


Eradication bekerjasama dengan WHO untuk melakukan monitoring dan
evaluasi pencapaian program eliminasi kusta dan eradikasi frambusia.

38 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

f. Kendala/Masalah yang Dihadapi


1. Sebagian besar daerah kantung kusta berada di lokasi yang sulit dijangkau
menyebabkan sulitnya pencarian kasus dan akses masyarakat menuju
pelayanan kesehatan.
2. Sebagian besar wilayah kantong kusta tidak mendapat dukungan lintas
program dan sektor dalam program pencegahan dan pengendalian kusta.
Dukungan lintas program dan sektor sangat diperlukan dalam keberhasilan
eliminasi kusta terutama dalam penentuan kebijakan pengalokasian sumber
daya dan upaya menghilangkan stigma terhadap OYPMK.
3. Angka mutasi petugas kesehatan yg cukup tinggi. Hal tersebut menyebabkan
program pencegahan dan pengendalian kusta di daerah berjalan kurang
maksimal karena perlunya melakukan pelatihan kepada tenaga yang baru.
4. Beban kerja petugas kesehatan di daerah cukup tinggi di mana jumlah
petugas terbatas berbanding terbalik dengan banyaknya pekerjaan yang
harus dilakukan, sehingga hasil yang dicapai kurang maksimal.
5. Masih adanya self stigma pada penderita kusta akibat kurangnya
pengetahuan dan pemahaman penderita terhadap penyakit yang dideritanya.
Hal tersebut dapat menghambat mereka untuk mendapatkan pengobatan
sedini mungkin.
6. Masih tingginya stigma masyarakat terhadap penderita kusta. Masyarakat
yang belum memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang kusta,
cenderung memberikan stigma kepada penderita dan keluarganya.
7. Perlunya perbaikan dalam hal manajemen logistik dimulai dari sistem
pelaporan kebutuhan MDT secara berjenjang dari kabupaten ke pusat, hingga
distribusi MDT dari pusat ke provinsi, kabupaten/ kota.
8. Adanya efisiensi anggaran tahun 2016 menyebabkan tidak terlaksananya
beberapa kegiatan sesuai peta jalan program yang telah ditentukan.

g. Pemecahan Masalah
1. Meningkatkan kegiatan advokasi dan sosialisasi program terhadap pemangku
kepentingan terkait agar dapat meningkatkan komitmen dalam pencapaian
eliminasi kusta. Dengan kegiatan tersebut diharapkan pemangku kepentingan
terkait dapat merumuskan kebijakan strategis dan meningkatkan alokasi
sumberdaya daerah dalam pelaksanaan program.
2. Menganggarkan dan melaksanakan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan
secara rutin untuk mengatasi masalah angka mutasi petugas yang tinggi, agar
pelaksanaan program pencegahan dan pengendalian kusta dapat tetap
berjalan lancar.
3. Melaksanakan intensifikasi penemuan kasus di khusus daerah remote area,
untuk meningkatkan jangkauan penemuan dan pengobatan penderita kusta.
Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk memutus dan menghilangkan
sumber penularan penyakit kusta.
4. Meningkatkan promosi dan sosialisasi kepada masyarakat untuk
menghilangkan stigma kusta di masyarakat.

39 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

5. Memperkuat jejaring kemitraan dengan lintas program, lintas sektor,


organisasi profesi, Rumah Sakit dan Dokter Swasta agar memperoleh
dukungan dalam pelaksanaan program sesuai dengan tupoksi masing-
masing.
6. Memperkuat sistem manajemen logistik MDT di semua level.

5. Prevalensi TB sebesar 271 per 100.000 penduduk


a. Penjelasan Indikator
Prevalensi TB adalah indikator yang sangat bermanfaat mengenai beban
penyakit TB dan dapat memberikan petunjuk seberapa besar penularan yang
sedang berlangsung di populasi. Angka ini menggambarkan jumlah kasus TB di
populasi, tidak hanya kasus TB yang datang ke pelayanan kesehatan dan
dilaporkan ke program.

b. Definisi operasional
Jumlah kasus TB semua kasus (berbasis mikroskopis) per seratus ribu penduduk
di wilayah tertentu dan waktu tertentu.

c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah kasus TB semua
kasus dalam suatu wilayah
tertentu pada waktu
tertentu
x 100.000 penduduk
Jumlah penduduk dalam
suatu wilayah tertentu pada
waktu tertentu

Data ini idealnya diperoleh dari Survei Prevalensi TB (SPTB). Akan tetapi, SPTB
tidak dapat dilaksanakan setiap tahun dikarenakan biaya yang sangat besar,
sehingga Sub Direktorat (Subdit) TB melakukan pemodelan estimasi prevalensi
TB (berbasis mikroskopis) yang dibantu oleh KOMLI TB yang sudah terbentuk
pada tahun 2016 oleh Menteri Kesehatan melalui Kepmenkes No
HK.02.02/Menkes/454/2016.

d. Capaian indikator
Berdasarkan Global Report TB tahun 2015, capaian indikator prevalensi TB
tahun 2015 sebesar 647 per 100.000 penduduk. Meskipun estimasi prevalensi
TB di tahun 2015 lebih tinggi dari estimasi di tahun sebelumnya, angka ini tidak
menunjukkan peningkatan prevalensi. Metode survey dari Survey Prevalensi TB
tahun 2013-2014 menggunakan metode yang lebih sensitif dan spesifik
40 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

dibandingkan metode yang dilakukan pada Survey Prevalensi TB tahun 2004.


Angka ini dianggap lebih akurat karena menggunakan metode penelitian yang
sesuai dengan strandar WHO yang terbaru.
Berdasarkan estimasi beban TB, prevalensi kasus TB (per 100.000 penduduk)
pada tahun 2016 sebesar 257 per 100.000 penduduk.
Grafik 3.10

Berdasarkan grafik di atas, capaian prevalensi kasus tahun 2014 mencapai 267
per 100.000 penduduk dengan target 272 per 100.000 penduduk, kemudian
menurun tahun 2015 menjadi 263 per 100.000 penduduk dengan target 280 per
100.000 penduduk dan tahun 2016 sebesar 257 per 100.000 penduduk dengan
target 271 per 100.000 penduduk. Indikator ini adalah indikator negatif yang
artinya jika semakin besar realisasi semakin buruk kinerjanya dan sebaliknya jika
semakin kecil realisasi maka semakin baik kinerjanya. Dengan demikian pada
tahun 2016, indikator Prevalensi TB telah mencapai target.

e. Analisa Penyebab Keberhasilan


Tercapainya target ini terjadi sejalan dengan ekspansi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course) sehingga lebih banyak kasus TB yang dapat ditemukan.
Ekspansi DOTS dimaksudkan untuk memperluas layanan DOTS di fasilitas
pelayanan kesehatan tidak hanya Puskesmas, tetapi juga sudah ada layanan
pada RS Pemerintah dan RS Swasta, Dokter Praktek Mandiri dan klinik termasuk
klinik di lapas/rutan. Selain itu, mutu pengobatan TB juga dapat dipertahankan
dengan baik. Hal ini terlihat dari angka keberhasilan pengobatan (Success
Rate/SR) BTA positif yang dapat dipertahankan minimal 85% sejak tahun 1999.

41 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

f. Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator


1. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini tercatat jumlah terduga TB yang
diperiksa sebanyak 18 juta orang, jumlah pasien TB yang ditemukan dan
diobati mencapai 3.084.000 dan 2.672.000, atau lebih dari 86% berhasil
disembuhkan di seluruh Indonesia.
2. Upaya akselerasi yang dilakukan program nasional sejak pertama kali
diputuskannya DOTS sebagai strategi penanggulangan TB di Indonesia
selama kurun waktu 8 tahun pertama (1999-2007) menunjukkan peningkatan
yang signifikan.
3. Sejak tahun 2009 hingga tahun 2015, Program TB telah berhasil
menemukan 33.453 terduga TB MDR/RR di mana 6.084 kasus terkonfirmasi
TB MDR/RR dan 4.625 kasus mendapatkan pengobatan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) lini kedua.
4. Sejak tahun 2009 hingga tahun 2015, sebanyak 78.017 kasus TB
mengetahui status HIV dan di antara mereka terdapat 14.904 kasus yang
hasil tes HIV positif. Dari kasus TB HIV posiif tersebut, 4.969 kasus
mendapatkan Anti Retroviral Therapy (ART) dan 6.559 kasus mendapatkan
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK).
5. Ekspansi laboratorium pemeriksaan TB.
6. Pada tahun 2015 terdapat 6.820 laboratorium mikroskopis TB yang terdiri
dari puskesmas, rumah sakit, dan laboratorium klinik swasta. Sampai
dengan tahun 2016, terdapat 16 laboratorium biakan yang sudah
terstandarisasi dan 13 laboratorium biakan dan uji kepekaan yang
tersertifikasi. Selain itu, pemeriksaan molekular TB juga sudah tersedia di
34 provinsi yang tersebar di 6 laboratorium dan 76 rumah sakit untuk
mendiagnosis TB RO dan TB HIV.
7. Ekspansi fasilitas pelayanan TB resistensi obat. Sampai dengan akhir
Desember 2016, terdapat 36 RS rujukan TB MDR di 32 provinsi, 30 RS sub
rujukan TB MDR di 20 provinsi, dan 1.217 fasyankes satelit TB MDR di 27
provinsi.
8. Pendanaan pemerintah pusat untuk penanggulangan TB telah meningkat
secara bermakna dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2016
berjumlah Rp. 2,026 milyar. Menjadi salah satu upaya exit strategy dari
ketergantungan terhadap dana dari donor.

g. Kendala/Masalah yang Dihadapi


 Meningkatnya epidemi kasus TB resisten obat.
 Belum semua kasus TB berhasil dijangkau.
 Pendekatan yang terlalu sentralistis dan global.
 Sebagian besar Kab/Kota belum mempunyai komitmen politis yang ditandai
dengan adanya peraturan daerah dan peningkatan anggaran untuk P2TB.
 Lemahnya aspek manajemen program.

42 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

 Meskipun pendanaan pemerintah pusat meningkat, kontribusi anggaran dari


provinsi dan kabupaten untuk pengendalian TB masih tetap minimal di
kebanyakan daerah.
 Banyak mitra pemain tetapi kurang terintegrasi menjadi kekuatan yang
sinergis.
 Masih lemahnya kemitraan yang bersifat sinergis.

h. Pemecahan Masalah
Untuk mencapai target, Program TB melaksanakan kegiatan yang berdasarkan 6
strategi yaitu:

1) Penguatan Kepemimpinan Program TB di Kabupaten/Kota


- Promosi: Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
- Regulasi dan peningkatan pembiayaan
- Koordinasi dan sinergi program

2) Peningkatan Akses Layanan “TOSS-TB” yang Bermutu


- Peningkatan jejaring layanan TB melalui PPM (public-private mix)
- Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat
- Peningkatan kolaborasi layanan melalui TB-HIV, TB-DM, MTBS, PAL,
dan lain sebagainya
- Inovasi diagnosis TB sesuai dengan alat / saran diagnostik yang baru
- Kepatuhan dan Kelangsun
- gan pengobatan pasien atau Case holding
- Bekerjasama dengan asuransi kesehatan dalam rangka Cakupan
Layanan Semesta (health universal coverage).

3) Pengendalian Faktor Risiko


- Promosi lingkungan dan hidup sehat.
- Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB.
- Pengobatan pencegahan dan imunisasi TB.
- Memaksimalkan penemuan TB secara dini, mempertahankan cakupan
dan keberhasilan pengobatan yang tinggi.

4) Peningkatan Kemitraan melalui Forum Koordinasi TB


- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di pusat
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di daerah

5) Peningkatan Kemandirian Masyarakat dalam Penanggulangan TB


- Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan masyarakat.
- Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan kasus, dan
dukungan pengobatan TB.
- Pemberdayan masyarakat melalui integrasi TB di upaya kesehatan
berbasis keluarga dan masyarakat.

43 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

6) Penguatan Sistem kesehatan


- Sumber Daya Manusia.
- Logistik.
- Regulasi dan pembiayaan.
- Sistem Informasi, termasuk mandatory notification.
- Penelitian dan pengembangan inovasi program.

6. Prevalensi HIV (persen) < 0,5 %


a. Definisi operasional
Angka pada laporan terakhir estimasi dan proyeksi prevalensi HIV penduduk
Indonesia 15-49 tahun.

b. Rumus/cara perhitungan
Mempergunakan perhitungan mathematic modelling

c. Capaian indikator
Perhitungan angka prevalensi di Indonesia tidak dilakukan melalui survey karena
membutuhkan sumber daya yang sangat besar, melainkan didapatkan dari hasil
pemodelan matematika. Dari hasil pemodelan tahun 2014 diketahui bahwa
prevalensi dalam populasi umum masih rendah. Namun demikian dari hasil sero
surveilans maupun Surveilens Terpadu Biologi dan Perilaku pada populasi
beresiko tahun 2015 diketahui bahwa prevalensi HIV diatas 5%. Hal ini
menunjukkan pola epidemi HIV AIDS di Indonesia masih terkonsentrasi.

Grafik 3.11
Target dan Realisasi Capaian Prevalensi HIV Tahun 2016

44 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Grafik 3.12
Target dan Realisasi Capaian Prevalensi HIV Tahun 2014-2016

Kegiatan perhitungan estimasi dan pemodelan matematika dilakukan setiap 2


atau 3 tahun sekali dengan bantuan software AEM (Asean Epidemiology
Modelling). Semenjak tahun 2009 sampai 2016 telah dihasilkan 3 laporan
estimasi dan pemodelan matematika yaitu laporan tahun 2009, tahun 2012, dan
tahun 2014. Capaian prevalensi pada tahun 2014-2016 menggunakan laporan
tahun 2014 yaitu masing-masing 0.35%, 0.36%, 0.37%.

Grafik 3.13. Jumlah Kasus HIV dan Kasus AIDS Tahun 2014-2016

Adanya penurunan jumlah kasus baru HIV dan AIDS pada tahun 2016
menggambarkan peningkatan dalam upaya pencegahan penularan HIV. Sejak
HIV pertama kali ditemukan di Indonesia berbagai upaya telah dilakukan untuk
menemukan ODHA, memberikan pengobatan dan perawatan ODHA, dan
mencegah penularan kepada orang yang belum terinfeksi. Berbagai kebijakan
terus dikembangkan dan diperbaharui sesuai dengan perkembangan dan
45 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

komitmen kebijakan global, tentunya dengan cara mengadaptasi kebijakan dan


pedoman penanggulangan HIV yang sesuai dengan kondisi dan sumber daya di
Indonesia.

d. Upaya yang Dilaksanakan Untuk Mencapai Target Indikator


 Meningkatkan pembiayaan pengendalian HIV AIDS melalui APBN khususnya
pengadaan reagen tes HIV, obat ARV dan IMS.
 Meningkatkan kerja sama lintas program dan lintas sektor dalam upaya
pencegahan dan pengendalian penularan HIV.
 Peningkatan pengetahuan komprehensif melalui media KIE cetak dan
elektronik serta kampanye sosialisasi ABAT.

Gambar 3.3. Media KIE HIV/AIDS

Gambar 3.4. Sosialisasi HIV/AIDS di sekolah

 Mendorong daerah untuk menyusun regulasi tentang pencegahan dan


penanggulangan HIV/AIDS.

46 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

 Meningkatkan pengembangan layanan komprehensif berkesinambungan


sehingga menjadi 113 kabupaten/kota.
 Peningkatan jumlah outlet, distribusi, dan promosi penggunaan kondom.
 Meningkatkan jumlah Puskesmas yang mampu melakukan inisiasi ART
 Peningkatan jumlah layanan Konseling dan Tes (KT) HIV dan layanan Infeksi
Menular Seksual (IMS)
 Peningkatan jumlah layanan Layanan Alat Suntik Steril (LASS) dan Program
Terapi Rumatan Metadon (PTRM)
 Akselerasi peningkatan orang yang melakukan konseling dan tes HIV antara
lain melalui mobile konseling dan tes HIV

Gambar 3.5. Mobile Konseling dan test HIV

 Akselerasi peningkatan ODHA memakai ARV melalui SUFA (strategic use of


ARV), dengan memperluas inisiasi dini ART, untuk segera mendapatkan
pengobatan ARV berapapun jumlah CD4 nya pada kelompok populasi kunci
(WPS, Penasun, Waria, LSL) dan kelompok khusus (ibu hamil, pasien ko-
infeksi TB-HIV, pasien ko-infeksi Hepatitis B-HIV, dan ODHA yang pasangan
tetapnya HIV negatif)
 Peningkatan jumlah kabupaten/kota yang mampu melaksanakan SUFA di
tahun 2016. Dilakukan dengan melakukan sosialisasi, workshop, dan
supervisi/pendampingan, terutama pada kabupate/kota dengan prevalensi
HIV tinggi.
 Peningkatan pencatatan dan pelaporan data program baik berbasis manual
maupun elektronik.
 Pelaksanaan kampanye HAS (Hari AIDS Sedunia) disertai dengan promosi
tes HIV sebagai upaya pencegahan penularan sedini mungkin.

47 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Gambar 3.6. Kampanye Hari AIDS Sedunia

e. Analisa Penyebab Keberhasilan


Peningkatan atau penurunan angka prevalensi HIV dari tahun ke tahun tidak
semata-mata menggambarkan keberhasilan atau kegagalan pengendalian HIV
AIDS di Indonesia. Peningkatan prevalensi HIV menunjukkan bahwa adanya
upaya dalam penemuan kasus HIV dan meningkatkan jumlah orang yang
mendapatkan pengobatan ARV sehingga dapat menurunkan penularan. Oleh
sebab itu peningkatan jumlah layanan HIV dari tahun ke tahun menunjukkan
upaya yang terus menerus dari Kementerian Kesehatan dalam memperluas dan
meningkatkan akses pelayanan terhadap masyarakat yang membutuhkan.
Selain itu pengembangan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) di
beberapa kabupaten/kota di Indonesia serta penerapan SUFA (Strategic Use of
ARV) dan TOP (Temukan, Obati, dan Pertahankan) dalam upaya pencegahan
dan pengobatan dapat mendukung akselerasi upaya pencegahan dan
penanggulan HIV AIDS.

Upaya pencegahan yang telah dilaksanakan antara lain dengan mengedukasi


masyarakat dengan cara memperbanyak jumlah dan memperluas jangkauan
distribusi media KIE baik cetak maupun elektronik agar meningkatkan
pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap HIV AIDS. Selain itu terus
dilakukannya distribusi kondom kepada populasi berisiko tinggi (seperti WPS,
LSL, Penasun, dll) bekerjasama dengan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS)
dan LSM di seluruh Indonesia.

Pengembangan dan pemeliharaan sistem informasi online untuk pencatatan dan


pelaporan program HIV AIDS juga merupakan suatu upaya penting sehingga
keberhasilan dari kebijakan yang telah dilaksanakan dapat terukur dengan baik.
Oleh karena itu fokus dalam monitoring dan evaluasi bukan hanya pada
terlaksananya program tetapi juga pada berjalannya pencatatan dan pelaporan di
setiap jenjang.

48 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

f. Kendala/ Masalah yang Dihadapi


1. Masih tingginya penularan HIV dan IMS
a) Penularan HIV pada subpopulasi heteroseksual masih terus terjadi
termasuk penularan pada subpopulasi homoseksual dan biseksual.
b) Penularan IMS dan HIV pada populasi WPS, Waria belum berhasil
dikendalikan. Hal ini berkorelasi kuat dengan rendahnya tingkat
pemakaian kondom secara konsisten pada setiap kontak seks berisiko
dan kesadaran untuk pemeriksaan dan pengobatan IMS yang benar.
c) Penularan IMS dan HIV pada ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak sudah
menunjukkan kecenderungan meningkat, terutama di provinsi-provinsi
berprevalensi HIV tinggi.

2. Masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang pencegahan penularan


HIV
a) Perubahan sikap dan perilaku pada masyarakat khususnya populasi
berisiko belum mencapai titik aman agar penularan HIV-AIDS dan IMS
dapat dikendalikan. Peningkatan kesadaran pada populasi berisiko untuk
menolong diri sendiri dan bertanggung jawab pada anggota keluarga
serta masyarakat dari risiko penularan HIV-AIDS dan IMS sudah mulai
terlihat namun belum maksimal.
b) Kesadaran dan keinginan masyarakat termasuk populasi berisiko untuk
mengetahui status HIV nya masih relatif rendah.
c) Masih adanya sikap stigma dan perlakuan diskriminatif masyarakat dan
petugas kesehatan kepada ODHA.

3. Terbatasnya Ketersediaan layanan kesehatan komprehensif HIV AIDS


dan IMS
a) Masih terbatasnya jumlah tenaga kesehatan yang peduli, terlatih dan
terampil dalam melaksanakan program pengendalian HIV AIDS dan IMS
serta penyakit oportunistiknya jika dibandingkan dengan luas wilayah
prioritas dan besarnya populasi berisiko.
b) Jumlah dan kualitas fasilitas layanan kesehatan yang mampu
memberikan layanan kesehatan komprehensif terkait masih perlu
ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan.

4. Hambatan dalam sistem pencatatan dan pelaporan serta monitoring dan


evaluasi
a) Pencatatan dalam dokumen primer yaitu rekam medis belum
mencerminkan Penyelenggaraan praktik kedokteran yang baik di
Indonesia.
b) Pelaporan pelayanan kesehatan promosi, pencegahan, pengobatan dan
rehabilitasi terkait HIV dan IMS belum terintegrasi dalam sistem
informasi fasilitas layanan kesehatan
c) Keterbatasan jumlah dan kapasitas SDM petugas pencatatan dan
pelaporan program HIV AIDS dan IMS

49 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

d) Monitoring dan evaluasi yang tidak kontinyu akibat ketidak seragaman


komitmen dan kemampuan pemerintah daerah dalam pembinaan,
pengawasan dan penganggaran kesehatan menyulitkan pengambilan
kebijakan yang tepat dalam pengendalian HIV AIDS dan IMS terutama
dalam era desentralisasi

g. Pemecahan Masalah
 Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan
AIDS melalui kerjasama nasional, regional, dan global dalam aspek legal,
organisasi, pembiayaan, fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya
manusia;
 Meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan kapasitas;
 Meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata,
terjangkau, bermutu, dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan
mengutamakan pada upaya preventif dan promotif;
 Meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko
tinggi, dengan berfokus pada daerah yang memiliki risiko tertinggi dan
beban tertinggi
 Meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS melalui Adinkes
(Asosiasi Dinas Kesehatan seluruh Indonesia);
 Meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia
yang merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV dan AIDS;
 Meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan
penunjang HIV dan AIDS serta menjamin keamanan, kemanfaatan, dan
mutu sediaan obat dan bahan/alat yang diperlukan dalam penanggulangan
HIV dan AIDS; dan
 Penguatan sistem logistik sebagai upaya perbaikan dalam
mendistribusikan reagen dan obat HIV AIDS dan IMS sehingga tepat guna,
serta mengurangi risiko kekosongan obat ataupun obat expired
 Revitalisasi pengendalian IMS di Puskesmas dan RS,
 Penguatan surveilans IMS dan HIV di kabupaten/kota prioritas,
 Peningkatan keterlibatan komunitas/LSM peduli AIDS, populasi kunci dan
kader masyarakat dalam upaya penjangkauan,
 Perluasan jangkauan pengobatan ARV sampai ke tingkat Puskesmas,
 Perluasan kampanye tentang HIV dan AIDS, bahaya Napza, dan seks
bebas di lingkungan pendidikan formal dan non-formal.
 Meningkatkan peranan KDS dan keluarga sebagai petugas pendamping
ODHA
 Peningkatan kemampuan layanan dan SKPD di daerah dalam melakukan
analisis situasi berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif yang telah
tersedia.

50 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

7. Prevalensi merokok pada penduduk usia ≤ 18 tahun sebesar 6,4%


a. Penjelasan Indikator
Merokok merupakan salah satu faktor risiko bersama (Common Risk Factor)
yang dapat menyebabkan PTM, dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi.
Sehingga dengan menurunkan prevalensi merokok diharapkan dapat
menurunkan angka prevalensi PTM.

Berdasarkan Riskesdas 2013 dan hasil sementara Sirkesnas 2016 di Indonesia


jumlah perokok laki-laki dewasa (usia ≥ 15 tahun) meningkat dari 66% menjadi
68.1%. Demikian juga terjadi peningkatan pada perokok pemula laki-laki usia
anak 10 – 14 tahun meningkat tajam dari 4.8% (2013) menjadi 6.4% (2016).
Namun demikian terjadi penurunan prevalensi perokok pemula pada perempuan
dari 2.5 % (2013) menjadi 0.1% (2016).

Sekitar 78% perokok mengaku mulai merokok sebelum umur 19 tahun dan
sepertiga dari siswa sekolah mengaku mencoba menghisap rokok pertama kali
sebelum umur 10 tahun. Selain itu Indonesia sebagai negara dijuluki “baby
Smoker” karena memiliki 239.000 perokok anak dibawah 10 tahun (GYTS 2014).

Oleh karena itu untuk menggambarkan pengendalian PTM dan faktor risikonya
disusun indikator ini yang dapat menggambarkan tingkat keparahan kondisi
konsumsi rokok dimasyarakat, karena anak merupakan kelompok masyarakat
yang rentan untuk mencontoh perilaku orang dewasa dan gencarnya paparan
iklan produk di sekitarnya. Selain itu, timbulnya penyakit dampak rokok akan
semakin cepat dengan semakin mudanya seseorang memulai kebiasaan
merokok dan terkena paparan asap rokok.

b. Pengertian
- Anak perokok adalah anak yang dalam 1 bulan terakhir kadang-kadang atau
setiap hari merokok.
- Penduduk usia 10 sampai dengan 18 tahun adalah penduduk yang berusia 10
tahun (> 120 bulan) sampai dengan 18 tahun (216 bulan) pada saat
pengumpulan data dilakukan.

c. Definisi operasional
Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun adalah jumlah
anak di Indonesia yang berusia 10 sampai dengan 18 tahun yang diketahui
sebagai perokok melalui pengambilan data faktor risiko baik survei atau metode
lainnya, dibandingkan dengan jumlah semua anak yang berusia 10 sampai
dengan 18 tahun di Indonesia yang terdata di tahun tersebut (data BPS).

51 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

d. Rumus/cara perhitungan

Jumlah anak di Indonesia yang berusia 10


sampai dengan 18 tahun yang diketahui
Persentase
sebagai perokok melalui pengambilan
penurunan
data faktor risiko baik survei atau metode
prevalensi merokok
lainnya x 100%
pada usia ≤ 18 =
Jumlah semua anak yang berusia 10
tahun
sampai dengan 18 tahun di Indonesia
yang terdata di tahun tersebut (data BPS).

e. Capaian indikator
Indikator ini merupakan indikator Renstra Kementerian Kesehatan Tahun 2015-
2019. Capaian indikator prevalensi merokok ini diperoleh melalui metode survei
indikator kesehatan nasional, November 2016, yang dilaksanakan oleh
Balitbangkes. Hasil survei prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun tahun 2016
adalah sebesar 8,8%. Jika dibandingkan dengan target pada tahun 2016 adalah
sebesar 6,4% yang berarti terjadi peningkatan prevalensi merokok. Sehingga
pencapaian indikator sebesar 62,5%.

Grafik 3.14
Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun
Tahun 2016

Prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun tahun diharapkan terjadi penurunan


dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015 tidak dilaksanakan survei indikator
nasional sehingga tidak dapat dilihat hasilnya. Apabila dibandingkan dengan
survei yang dilaksanakan sebelumnya pada tahun 2013 (baseline data),
prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun adalah sebesar 7,2%. Hal ini
merupakan tantangan yang sangat besar dalam menurunkan prevalensi
merokok ada usia ≤ 18 tahun.
52 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Banyak faktor yang menyebabkan indikator prevalensi merokok pada usia ≤ 18


tahun meningkat. Hasil capaian indikator komposit yang rutin dipantau dalam
mendukung upaya penurunan prevalensi merokok ada usia ≤ 18 tahun yaitu
persentase kab/kota yang memiliki peraturan tentang kawasan tanpa rokok dan
indikator persentase kabupaten/kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok (KTR) minimal 50% sekolah. Kinerja kedua indikator tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut:

Grafik 3.15
Persentase Target dan Realisasi Kab/Kota yang memiliki Peraturan
Tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Tahun 2015-2016

Jika dilihat dari persentase kab/kota yang memiliki peraturan tentang Kawasan
Tanpa Rokok (KTR) tahun 2015 dengan 2016, terjadi penambahan jumlah
kab/kota yang memiliki peraturan tentang KTR. Walaupun terjadi penambahan
dan telah mencapai target yang diharapkan, namun kab/kota yang memiliki
peraturan tentang KTR masih dibawah 50%, kemungkinan hal ini berpengaruh
terhadap lingkungan dan perilaku anak usia ≤ 18 tahun dalam perilaku
merokok.

Indikator komposit lainnya dalam mendukung upaya penurunan prevalensi


merokok usia ≤18 tahun adalah Persentase Kabupaten/Kota yang
melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) minimal 50% sekolah.
Indikator ini merupakan indikator untuk melindungi anak usia sekolah yang
menjadi target sasaran dalam perilaku merokok. Jika dibandingkan pencapaian
tahun 2015 dengan 2016 terjadi peningkatan jumlah kab/kota yang telah
mengimplementasikan kebijakan KTR di 50% sekolah. Namun baru 20%
kab/kota yang telah mengimplementasikan kebijakan KTR pada 50% sekolah,
sehingga hal ini juga berpengaruh terhadap perilaku merokok pada usia ≤ 18
tahun yang merupakan usia anak sekolah.

53 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Grafik 3.16
Persentase Target dan Realisasi Kab/Kota yang Melaksanakan
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Minimal 50% Sekolah
Tahun 2015-2016

f. Analisa Penyebab Kegagalan


Indikator Apabila dibandingkan dengan survei yang dilaksanakan sebelumnya
pada tahun 2013 (baseline data), prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun
adalah sebesar 7,2% yang seharusnya menurun menjadi 6.4 % tidak tercapai
bahkan terjadi peningkatan hingga 8.8% (2016). Peningkatan ini terutama
terjadi pada perokok laki-laki sebesar 17.2% sedangkan pada perokok
perempuan sebesar 0.2%

Berdasarkan best practice pengendalian konsumsi rokok strategi yang harus


dilakukan berupa:
1) Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok untuk memberikan perlindungan terhadap
paparan asap rokok melalui penerbitan Perda dan penerapannya di seluruh
Provinsi dan Kabupaten/Kota
2) Layanan Upaya Berhenti merokok dengan melaksanakan layanan konseling
berhenti merokok di FKTP dan FKRTL serta sekolah oleh guru terlatih
3) Peningkatan kewaspadaan masyarakat akan bahaya rokok melalui iklan
layanan masyarakat, sosialisasi dan pencantuman Pictorial Health Warning
(Peringatan Kesehatan Bergambar) di bungkus rokok
4) Pelarangan iklan, promosi dan sponsor produk tembakau di media massa
baik cetak maupun elektronik, dalam gedung maupun luar gedung terhadap
anak-anak.
5) Menurunkan akses terhadap produk tembakau dengan meningkatkan pajak
rokok (tax) dengan demikian harga rokok naik sehingga tidak mudah dibeli
oleh anak-anak dan remaja.

54 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Strategi tersebut diatas tidak dapat dilakukan hanya oleh Kementerian


Kesehatan, keterlibatan seluruh unsur Kementerian/Lembaga lain, sektor
swasta, serta masyarakat madani menjadi unsur penting dalam mendukung
upaya penurunan prevalensi perokok di Indonesia. Kementerian Kesehatan
telah berupaya untuk melaksanakan strategi tersebut diatas sesuai dengan
kewenangannya, namun keterlibatan kementerian lain dalam mendukung
strategi tersebut belum optimal.

g. Upaya Yang Dilaksanakan Untuk Mencapai Indikator


Upaya dan kegiatan yang telah dilaksanakan dalam rangka penurunan
prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun disepanjang tahun 2015 sebagai
berikut:
 Peningkatan kapasitas Tenaga Kesehatan dan Pendidikan Dalam Upaya
Implementasi KTR di Sekolah.
 Penyebaran Informasi dan edukasi kepada masyarakat melalui media cetak
dan elektronik.
 Review Implementasi KTR di daerah yang telah memiliki peraturan KTR.
 Sosialisasi dan Tindak Lanjut Hasil Review Implementasi KTR.
 Pertemuan Pemanfaatan Pajak Rokok Daerah Dalam Rangka Pengendalian
PTM.
 Peningkatan kapasitas Layanan Quitline upaya berhenti merokok.
 Penyedian Layanan Quit Line (Layanan Konsultasi Jarak Jauh Upaya
Berhenti Merokok)
 Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengendalian Dampak Rokok dan
Implementasi Kawasan Tanpa Rokok.
 Evaluasi Implementasi Kawasan Tanpa Rokok Di Daerah Yang Telah
Memiliki Peraturan KTR.
 Penyusunan Pedoman Surveilans Kawasan Tanpa Rokok.
 Penyusunan Buku Pedoman Tentang Penyakit Dampak Rokok.

h. Kendala/Masalah Yang Dihadapi


 Kegiatan advokasi dan sosialisasi di daerah dalam pengendalian konsumsi
tembakau pada Kab/Kota belum maksimal.
 Belum optimalnya koordinasi antara Lintas Program dan Lintas Sektor di
tingkat Kab/Kota dalam upaya pengendalian konsumsi rokok.
 Daerah yang memiliki kebijakan KTR di daerah masih terbatasnya
jumlahnya, dan penerapan kebijakan di daerah yang telah memiliki
kebijakan KTR belum optimal.
 Monitoring faktor risiko Penyakit Tidak Menular termasuk kebiasaan
merokok dilaksanakan melalui kegiatan Pelaksanaan Survey tahunan di
Litbangkes tiap tahunnya mulai tahun 2016, sedang Riset Kesehatan Dasar
dilaksanakan setiap 3 tahun, termasuk Global Youth Tobacco Survey .
 Sosialisasi mengenai peraturan KTR di daerah kepada masyarakat dan
pihak terkait dilakukan minimal 1 tahun setelah disahkannya aturan
55 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

tersebut, agar masyarakat dapat memahami pentingnya regulasi terkait


KTR.
 Sistem pencatatan pelaporan melalui Surveilans berbasis web PTM belum
optimal.
 Kesadaran masyarakat yang masih rendah akan bahaya konsumsi rokok

i. Pemecahan Masalah
Meningkatkan komitmen daerah dalam pengembangan dan implementasi
regulasi tentang pengendalian tembakau di berbagai level pemerintahan.
Meningkatkan dukungan oleh semua pihak terkait dan masyarakat diberbagai
tatanan melalui berbagai kegiatan:

 Mendorong penegakan hukum (law enforcement) secara konsisten sesuai


dengan peraturan yang berlaku terutama yang telah memiliki kebijakan dan
peraturan di daerah.
 Penyebarluasan informasi tentang dampak kesehatan akibat konsumsi
rokok kepada seluruh lapisan masyarakat dengan melibatkan stakeholder
termasuk masyarakat, organisasi profesi, akademisi, lembaga sosial
masyarakat (LSM).
 Pengendalian konsumsi rokok harus dilakukan secara komprehensif,
berkelanjutan, terintegrasi dalam suatu kebijakan publik dan melalui
periode pentahapan pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan
jangka panjang.
 Kuatnya komitmen pemerintah dalam penyelenggaraan pengendalian
tembakau melalui APBN, APBD dan sumber penganggaran lainnya.
 Peningkatan kapasitas sumber daya dan kelembagaan dalam
pengendalian tembakau diberbagai bidang.
 Mensinergikan kegiatan melalui strategi MPOWER yang meliputi
Monitoring konsumsi produk tembakau; Perlindungan Terhadap Paparan
Asap Rokok;
 Upaya Pelayanan Berhenti merokok ; Peningkatan kewaspadaan
masyarakat akan bahaya produk tembakau ; Eliminasi iklan, promosi dan
sponsor produk tembakau dan Menurunkan akses terhadap produk
tembakau.

56 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

8. Persentase kabupaten/kota yang mempunyai Kebijakan kesiapsiagaan dalam


penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah
sebesar 46%
a. Penjelasan Indikator
Era globalisasi tidak hanya membawa kemajuan ekonomi dan perkembangan
laju transportasi dari ke suatu tempat lain tetapi juga membawa ancaman
importasi dan eksportasi penyakit menular dari negara lain (misalnya Polio,
SARS, Flu Burung, MERS, Ebola dll). Setiap negara diharapkan mempunyai
kemampuan dalam sistem kesehatannya untuk mampu melakukan pecegahan,
pendeteksian, melakukan tindakan penanggulangan dan melaporkan suatu
kejadian yang berpotensi kedaruratan kesehatan masyarakat.
International Health Regulations (2005) yang diberlakukan Tahun 2007
merupakan Regulasi Kesehatan Internasional yang disetujui oleh 194 negara
anggota WHO dalam sidang World Health Assembly (WHA) ke-58 sebagai
bentuk komitmen, tanggung jawab dan upaya bersama dalam mencegah
penyebaran penyakit lintas negara. IHR (2005) bertujuan mencegah, melindungi
dan mengendalikan penyebaran penyakit lintas negara dengan melakukan
tindakan sesuai dengan risiko kesehatan yang dihadapi tanpa menimbulkan
gangguan yang berarti bagi lalu lintas dan perdagangan internasional. Dalam
regulasi internasional ini setiap negara berkewajiban untuk meningkatkan
kapasitas inti untuk mencapai tujuan IHR (2005).
Indonesia secara bertahap telah mengembangkan kapasitas inti tersebut dan
berdasarkan penilaian telah Implementasi penuh IHR (2005). Regulasi ini
merupakan modal utama untuk mengembangkan jejaring dan kerjasama
internasional dalam menghadapi dan menanggulangi potensi terjadinya
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKM-MD) atau
Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). Dalam upaya
mempertahankan dan meningkatkan upaya cegah tangkal dalam rangka
perlindungan Indonesia dan dunia terhadap Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
yang Meresahkan Dunia (KKM-MD) melalui koordinasi, integrasi, singkronisasi
lintas sektor yang telah dilakukan dapat tetap terjaga dan mempertahankan
kemampuan dalam hal deteksi, verifikasi, penilaian, pelaporan dan
penanggulangan potensi terjadinya KKM-MD.
Untuk menjamin bahwa negara mempunyai kemampuan tersebut maka
pendekatan surveilans, preparedness dan respon harus dibangun disetaip
wilayah. Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di pintu gerbang negara
(pelabuhan, bandara dan pos lintas batas negara) harus berjalan dengan
optimal. Sejalan dengan hal tersebut kekarantinaan kesehatan di wilayah
(provinsi dan kabupaten kota) harus dapat mengantisipasi jika diperlukan untuk
diberlakukan. Karantina di wilayah meliputi karantina rumah, karantina rumah
sakit (isolasi), karantina wilayah administratif dan pembatasan aktifitas sosial
hingga skala besar harus dapat dijalankan dengan kerjasama lintas sektor.

57 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Untuk itu dipandang sangat penting, setiap kabupaten kota memiliki kontijensi
plan dalam menghadapi kedaruratan kesehatan yang potensial terjadi di daerah
masing masing.

b. Definisi operasional
Kab/kota yang memiliki pintu masuk internasional dalam hal ini pelabuhan,
bandar udara dan PLBDN melakukan kesiapsiagaan terhadap potensi
kedaruratan kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh penyakit, bahan kimia,
radio nuklir dan keamanan pangan.
Upaya kesiapsiagaan tersebut termasuk menyusun dokumen kebijakan bersama
lintas program dan lintas sektor terkait (satuan ker ja perangkat daerah) untuk
penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah.

c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah kabupaten/kota yang mempunyai
kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan
kedaruratan kesehatan masyarakat yang
berpotensi wabah
x 100%
Jumlah kabupaten/kota yang memiliki pintu masuk
internasional

 Nominator adalah Jumlah kabupaten kota yang mempunyai kebijakan


kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat
yang berpotensi wabah.
 Denominator adalah jumlah kabupaten/kota yang memiliki pintu masuk
internasional.
 Kriteria pengukuran adalah periode prevalence kumulatif.
 Indikator diukur per tahun.

d. Capaian indikator
Indikator ini merupakan indikator Renstra Kementerian Kesehatan Tahun 2015-
2019. Pada tahun 2016, persentase kabupaten/kota dengan pintu masuk
internasional yang memiliki dokumen rencana kontinjensi penanggulangan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) telah mencapai 47,2% dari target
46% sehingga pencapaian sebesar 103.7%. Sedangkan pada tahun 2015,
persentase kab/kota yang memiliki dokumen rencana kontinjensi
penanggulangan KKM sebanyak 27.35% dari target 29%.

58 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Grafik 3.17

Peta 3.3

e. Analisa Penyebab Keberhasilan


Sampai dengan tahun 2016 tercapai 50 kab/kota yang menyusun dokumen
rencana kontinjensi. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan
pencapaian target indikator antara lain:

59 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

- Persiapan pelaksanaan kegiatan dengan melakukan komunikasi dan


koordinasi baik verbal maupun surat kepada propinsi/kabupaten/kota
sasaran penyusunan dokumen.
- Adanya sosialisasi dan advokasi dengan melibatkan Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) dan lintas sektor.
- Adanya workshop dan penyusunan dokumen rencana kontinjensi di kab/kota
dengan anggaran bersumber dari pusat dan dana dekonsentrasi.
- Adanya rambu petunjuk perencanaan sehingga Dinas Kesehatan Provinsi
dapat menganggarkan kegiatan terkait kesiapsiagaan penanggulangan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat di wilayah.

f. Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator


1. Sosialisasi dan advokasi regulasi kesehatan internasional atau International
Health Regulations (2005) termasuk kapasitas inti IHR dan paket aksi
keamanan kesehatan global.
2. Penilaian pencapaian kapasitas inti IHR di pintu masuk negara, wilayah dan
nasional dengan melibatkan lintas sektor terkait.
3. Sosialisasi dan advokasi kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap faktor
risiko kedaruratan kesehatan masyarakat dengan melibatkan Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) dan lintas sector.
4. Melaksanakan workshop penyusunan rencana kontingensi mencakup
konsep pedoman penyusunan renkon, identifikasi potensi KKM, membangun
komitmen lintas sektoral dan pengumpulan data dasar.
5. Melaksanakan kegiatan penyusunan rencana kontigensi KKM dengan
melibatkan seluruh lintas sektoral pemerintah daerah yang terkait dengan
kesiapsiagaan, respon dan koordinasi penanggulangan kedaruratan
kesehatan masyarakat.
6. Review dan update dokumen kebijakan yang telah disusun di kab/kota

g. Kendala/Masalah yang Dihadapi


1. Penyusunan dokumen kebijakan ini merupakan suatu pendekatan program
baru di kabupaten/kota sehingga memerlukan penyamaan pemahaman dan
persepsi lintas sektoral, karena Masih adanya pemahaman lintas sektor
terkait dokumen yang disusun menjadi tanggung jawab bidang kesehatan.
2. Adanya efisiensi anggaran dan kebijakan untuk tidak melaksanakan kegiatan
selama kurang lebih 3 minggu menyebabkan rangkaian kegiatan
penyusunan rencana kontinjensi tidak berjalan sesuai jadwal/rencana dan
dapat berdampak pada kualitas penyusunan dokumen renkon.
3. Pelaksanan kegiatan penyusunan dokumen rencana kontinjensi berbeda di
beberapa daerah karena adanya efisiensi anggaran. Ada beberapa
kabupaten/kota dengan komponen pembiayaan lengkap mulai dari
sosialisasi, workshop dan penyusunan dokumen, sementara dibeberapa
kabupaten lain hanya didukung dengan kegiatan sosialisasi dan
penyusunan.

60 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

h. Pemecahan Masalah
1) Mengintensifkan kegiatan sosialisasi kebijakan kesiapsiagaan terhadap
kedaruratan kesehatan masyarakat kepada pemerintah daerah sasaran
untuk menyamakan pemahaman dan rencana tindak lanjut pelaksanaan
kegiatan pembuatan dokumen rencana kontingensi. Hal ini dapat
meningkatkan komitmen daerah dalam melaksanakan program yang
disepakati.
2) Mendorong kabupaten/kota sasaran untuk menyelesaikan hambatan
administrasi agar kegiatan dapat terlaksana sesuai dengan rencana yang
telah disepakati baik melalui mekanisme pembiayaan dekonsentrasi maupun
pusat
3) Memaksimalkan potensi sumber daya manusia untuk memenuhi permintaan
narasumber dari berbagai daerah untuk memfasilitasi pembentukan dokumen
rencana kontigensi.
4) Mengoptimalisasikan potensi daerah dalam kesiapsiagaan kedaruratan
khususnya kedaruratan bencana alam untuk memperkaya dan memperkuat
substansi kedaruratan kesehatan masyarakat.
5) Menyesuaikan metode penyusunan dokumen dengan waktu yang tersedia
termasuk design kegiatan yang interaktif (diskusi, table top, simulasi) dan
penyusunan draft awal sebelum pertemuan.

9. Persentase respon sinyal SKD dan KLB, bencana dan kondisi matra di wilayah
layanan BTKL sebesar 60%
a. Penjelasan Indikator
Indikator respon Sinyal Kewaspadaan DIni (SKD) dan Kejadian Luar Biasa
(KLB), bencana dan kondisi matra di wilayah layanan B/BTKLPP dilakukan oleh
seluruh B/BTKLPP untuk kegiatan SKD KLB, kegiatan bencana dan kondisi
matra di seluruh wilayah layanan kerja B/BTKLPP.

b. Definisi operasional
Jumlah/frekuensi sinyal SKD dan KLB, bencana dan kondisi matra yang direspon
< 24 jam terhitung mulai diterimanya laporan dari stakeholders dibandingkan
dengan jumlah/frekuensi sinyal SKD dan KLB, bencana dan kondisi matra yang
dilaporkan stakeholders.

c. Pengertian
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya kejadian kesakitan/kematian dan
atau meningkatnya suatu kejadiaan kesakitan kematian yang bermakna secara
epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu (Undang Undang
Wabah, 1984).

61 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD KLB) merupakan


kewaspadaan terhadap penyakit berpotensi KLB beserta faktor-faktor yang
mempengaruhinya dengan meningkatkan sikap tanggap kesiapsiagaan, upaya-
upaya pencegahan dan tindakan penanggulangan KLB yang cepat dan tepat.

Respon sinyal SKD dan KLB adalah respon kewaspadaan dini yang dilakukan
dalam rangka mengantisipasi terhadap terjadinya penyakit potensial KLB yang
diperoleh berdasarkan deteksi dini KLB di wilayah kerja B/BTKL-PP dan atau dari
permintaan stakeholder serta respon penanggulangan KLB sesuai dengan
pedoman.

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan


menggangu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
factor alam dan/atau factor nonalam maupun factor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis.

Kondisi Matra adalah keadaan dari seluruh aspek pada matra yang serba
berubah dan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dan pelaksaan kegiatan
manusia yang hidup dalam lingkungan tersebut, seperti Ibadah Haji, arus mudik,
arus balik hari raya dan tahun baru, Jambore, dan lain lain.

Stakeholder adalah suatu masyarakat, kelompok, komunitas atau individu


manusia yang memiliki hubungan dan kepentingan terhadap suatu organisasi
seperti Dinas Kesehatan, Kantor Kesehatan Pelabuhan, Laboratorium, RS, dan
lain-lain.

d. Rumus/cara perhitungan
Jumlah/frekuensi sinyal SKD dan KLB, bencana dan
kondisi matra yang direspon < 24 jam terhitung
mulai diterimanya laporan dari stakeholders
x 100%
Jumlah/frekuensi sinyal SKD dan KLB, bencana dan
kondisi matra yang dilaporkan stakeholders

e. Capaian indikator
Jumlah kejadian SKD KLB, Bencana dan kondisi matra tahun 2016 sebesar 336
kejadian dan jumlah kejadian yang direspon < 24 jam sebesar 320 kejadian,
sehingga capaian indikator tahun ini adalah 95%. Capaian target ini menurun
dari tahun sebelumnya, namun jika melihat dari target yang ditetapkan tahun
2016 yaitu 60% maka realisasi capaian indikator telah mencapai target.

62 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Grafik 3.18
Persentase respon sinyal SKD dan KLB, bencana
dan kondisi matra diwilayah layanan BBTKLPP
Tahun 2015-2016

f. Analisa Penyebab Keberhasilan


Tercapainya target ini antara lain didukung dengan adanya jejaring kerja dan
koordinasi yang sudah berjalan baik dengan berbagai stakeholder di wilayah
kerja B/BTKL-PP, peningkatkan kemampuan SDM dalam verifikasi rumor
penyakit potensial KLB dan penyelidikan epidemiologi, kajian untuk evaluasi
kewaspadaan dini penyakit berpotensi KLB, pengembangan kapasitas
laboratorium dalam pengembangan metode pemeriksaan penyakit dan adanya
evaluasi dan monitoring kegiatan B/BTKL-PP untuk memantau keberhasilan
kegiatan dalam mendukung tercapainya indikator.

g. Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator


1. Pelaksanaan advokasi, koordinasi, sosialisasi penguatan respon dan jejaring
kerja dengan instansi terkait di wilayah layanan.
2. Melakukan penyelidikan epidemiologi, konfirmasi laboratorium, dan
pemantauan faktor risiko lingkungan dan penyakit di wilayah layanan dalam
upaya penanggulangan KLB.
3. Melakukan kajian untuk evaluasi kewaspadaan dini penyakit berpotensi KLB.
4. Melaksanakan peningkatan kualitas Penyelidikan Epidemiologi.
5. Peningkatan pertemuan forum lintas bantas terkait upaya kewaspadaan dini
SKD dan penanggulangan KLB.
6. Survei dan investigasi data epidemiologi penyakit di masyarakat dan sarana
kesehatan.
63 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

7. Pemeriksaan sampel air minum, air bersih, makanan dan sampel darah.
8. Pemantauan dan pengendalian vektor penyakit.
9. Secara periodik melihat data di website SKDR untuk wilayah layanan
B/BTKL-PP dan berita di grup media sosial SKDR Dinkes Provinsi.
10. Mengkonfirmasi wilayah bila ada peningkatan kasus penyakit/peringatan dini
dari website SKDR.
11. Melakukan pemantauan penyakit dan kejadian kecelakaan selama arus
mudik dan balik hari raya.
12. Melakukan pemeriksaan faktor risiko PTM pada pengemudi bus umum
AKAP/AKDP.
13. Pemberian bantuan logistik untuk kegiatan KLB/bencana/matra.
14. Penyuluhan kesehatan kepada masyarakat.
15. Penganggaran dana dan dukungan untuk kegiatan dalam indikator B/BTKL-
PP.
16. Penyusunan proposal kegiatan serta instrument yang diperlukan dalam
pengumpulan data kegiatan.
17. Persiapan alat dan bahan kegiatan.
18. Pembekalan pada petugas yang akan melakukan kegiatan.
19. Meningkatkan kemampuan SDM epidemiologi dalam PE KLB penyakit-
penyakit potensial KLB, PHEIC dan Emerging Infectious Disease.
20. Meningkatkan dan mengembangkan kapasitas laboratorium BBTKLPP
Jakarta dalam pengembangan metode pemeriksaan penyakit EID,
reemerging, NTD dan pengambilan spesimen KLB.
21. Evaluasi dan monitoring kegiatan B/BTKL-PP.

h. Kendala/Masalah yang Dihadapi


1. Laporan/informasi KLB yang terlambat dari daerah atau stakeholder terkait,
sehingga tidak didapatkan data yang akurat dan sampel yang tidak
memenuhi syarat untuk diperiksa.
2. Jejaring kemitraan dengan daerah belum maksimal.
3. Dalam kegiatan pementauan wilayah setempat dan pengendalian faktor risiko
kondisi matra, pemeriksaan parameter tertentu belum dapat dilakukan
secara cepat karena masih menggunakan metode konvensional.
4. Keterbatasan sumber daya untuk melakukan kegiatan respon kejadian KLB <
24 jam dan mobilisasi logistik yang tidak bisa dilakukan di seluruh wilayah
layanan, karena wilayah layanan yang luas dan kondisi geografis yang
beragam.
5. Kurangnya pengetahuan dan ketrampilan sumberdaya dalam rangka
kewaspadaan dini, pengendalian penyakit emerging, bencana, kegiatan
matra/situasi khusus dan penyelidikan epidemiologi.
6. Kurangnya jumlah personil dalam mendukung kegiatan.
7. Hambatan dalam Identifikasi Kasus, Jumlah kasus umum, karateristik
masyarakat, peguatan Surveilans SKD-KLB tingkat Kab/Kota/Provinsi.

64 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

8. Keterbatasan kemampuan/dukungan laboratorium antara kain alat (PCR),


reagen dan RDT.
9. Keterbatasan alat uji laboratorium sebagai alat konfirmasi diagnostik dan
hasil konfirmasi sampel penyakit yang belum cepat.
10. Tidak terlibatnya B/BTKL-PP dalam sistem yang terbentuk, sehingga
pendekatan dilakukan intens mandiri oleh BBTKLPP kepada stakeholder
terkait.
11. Sarana dan prasarana pengendalian vektor masih terbatas jumlahnya.
12. Dukungan dana untuk kegiatan dalam indikator B/BTKL-PP masih terbatas.
13. Indikator kegiatan tidak spesifik untuk B/BTKL-PP.
14. Daerah sering sulit memutuskan bahwa kasus suatu penyakit adalah KLB
sehingga mengurangi serapan dana PE.

i. Pemecahan Masalah
1. Peningkatan jejaring kerja dengan wilayah regional dan stakeholder terkait di
wilayah layanan B/BTKL-PP.
2. Mensosialisasikan kepada daerah untuk segera mengirimkan form W1
sesegera mungkin bila terjadi kasus KLB, minimal menginformasi terlebih
dahulu penyebab yang diduga sebagai sumber utama terjadinya KLB.
3. Meningkatkan kualitas SDM terutama dalam rangka kewaspadaan dini,
pengendalian penyakit re-emerging dan new-emerging, kegiatan
matra/situasi khusus, tanggap bencana dan respon cepat < 24 jam baik yang
diadakan melalui pendidikan dan pelatihan.
4. Mengupayakan pemberian bimtek penyelidikan epidemiologi oleh tenaga JFT
5. Pengembangan dan optimalisasi laboratorium penyakit dan penambahan
sarana dan prasarana untuk pemeriksaan laboratorium.
6. Menyusun bersama draft regulasi pedoman pemeriksaan spesimen penyakit
potensial KLB dan PHEIC.
7. Peningkatan kapasitas tenaga laboratorium dan tenaga teknis lainnya.
8. Pengadaan sarana dan prasarana pengendalian vektor seperti mobil vektor
kontrol dan penyediaan kendaraan bermotor kesehatan lingkungan.
9. mengusulkan biaya pengiriman logistik.
10. Pengembangan SKDR berbasis website di B/BTKLPP sehingga dapat
mengakses dan menginput dalam aplikasi untuk mengetahui indikasi
terjadinya KLB di suatu wilayah.
11. Pengembangan lebih lanjut SKDR berbasis laboratorium.
12. Melakukan revisi legal aspek untuk memasukkan peran B/BTKLPP sebagai
Unit Surveilans Regional dan Labkesmas.
13. Memberikan peran kepada semua B/BTKLPP dalam sistem kewaspadaan
dini yang terbentuk di pusat maupun daerah seperti Tim Gerak Cepat (TGC)
14. Menggunakan dana yang ada dengan efisien.
15. Menyusun indikator khusus untuk B/BTKL-PP.

65 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

10. Persentase teknologi tepat guna PP dan PL yang dihasilkan BTKL meningkat
35% dari jumlah TTG tahun 2014
a. Definisi operasional
Peningkatan jumlah model dan atau jenis Teknologi Tepat Guna (TTG) bidang
P2P yang dihasilkan 10 Balai dan atau Balai Besar Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (B/BBTKLPP) dalam waktu 1 tahun
dibandingkan dengan baseline jumlah model dan atau jenis TTG yang sudah
dihasilkan di tahun 2014 oleh 10 B/BBTKLPP yang kemudian dinyatakan dalam
persen. Dengan target di tahun 2019 akan meningkat sebanyak 50% dari jumlah
model dan atau jenis TTG di tahun 2014.

b. Rumus/cara perhitungan
Jumlah kumulatif TTG sampai tahun
evaluasi – Jumlah TTG pada saat
baseline
x 100%
Jumlah TTG pada saat baseline

Baseline jumlah Teknologi Tepat Guna (TTG) = 40 TTG

c. Capaian indikator
Setiap tahun B/BTKLPP menghasilkan Teknologi Tepat Guna yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat. Jumlah TTG yang dihasilkan B/BTKLPP pada
tahun 2014 sebanyak 40 TTG, bertambah 54 TTG pada tahun 2015 dan
bertambah lagi sebanyak 40 TTG sehingga total TTG yang dihasilkan tahun
2015 – 2016 sebanyak 83 TTG seperti yang terlihat dalam grafik berikut ini:

66 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Persentase peningkatan TTG yang dihasilkan BBTKLPP meningkat dari tahun


2015 meningkat sebesar 35% dan tahun 2016 meningkat sebesar 138% dari
jumlah TTG yang dihasilkan pada baseline tahun 2014 seperti terlihat dalam
tabel berikut ini:

Berikut ini Teknologi Tepat Guna yang dihasilkan oleh B/BTKLPP pada tahun
2016 antara lain:
Tabel 3.6
Teknologi Tepat Guna yang dihasilkan B/BTKLPP Tahun 2016
No BBTKLPP TTG
1 BBTKLPP Batam - Instalasi Pengolahan Air Baku menjadi Air Minum
dan Air Bersih.
- Sistem Pengolahan Tinja Daerah Pesisir
2 BBTKLPP Jakarta - Jamban pasang surut.
- Lavitrap toples bening
- Lavitrap toples hitam
3 BBTKLPP Jakarta - Lavitrap
- Breeding Trap
- Dust Lon
- Perangkap nyamuk dengan lampu LED
- Respirator sederhana
- Prototype penetralisir derajat keasaman

67 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

4 BTKLPP
- Model/Teknologi Sterilisasi Alat Makan Di Pondok
Yogyakarta
Pesantren model kapasitas kecil Teknologi 2
lampu UV.
- Model/Teknologi Sterilisasi Alat Makan Di Pondok
Pesantren model kapasitas kecil dengan ozon.
- Model/Teknologi Sterilisasi Alat Makan Di Pondok
Pesantren model kapasitas kecil air drier.
- Model/Teknologi Sterilisasi Alat Makan Di Pondok
Pesantren model kapasitas besar Teknologi 3
lampu UV.
- Model/Teknologi Sterilisasi Alat Makan Di Pondok
Pesantren model kapasitas besar Teknologi ozon
dan lampu UV.
- Model/Teknologi Sterilisasi Alat Makan Di Pondok
Pesantren model kapasitas besar Teknologi air
drier dan lampu UV.
- Prototipe Pengolahan Udara Di Daerah Padat Lalu
Lintas teknologi Zigzag dengan absorber kapas
sintetis, arang aktif, zeolite.
- Prototipe Pengolahan Udara Di Daerah Padat Lalu
Lintas teknologi Spray dengan absorber kapas
sintetis, pasir kuarsa, arang aktif.
- Prototipe Pengolahan Udara Di Daerah Padat Lalu
Lintas teknologi Vertikal dengan absorber zeolit,
arang aktif, aktivated clay.
- Prototipe Alat Penangkap Dan Pemusnah Bakteri
Tahan Asam Dan Bakteri Patogen di Udara.
5 BBTKLPP - Pembuatan clorin diffuser
Banjarbaru
- Prototype pengembangan teknologi pengolahan
air gambut
- Uji efektifitas kelambu berinsektisida
- Pembuatan alat penyaring udara sederhana
- Pembuatan alat penyaring partikel untuk ventilasi
udara ruang
- Teknologi pengendalian vektor
- Prototype pengembangan teknologi pengolahan
air payau

68 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

6 BBTKLPP - Teknologi pengendalian vektor Aedes sp. dari


Surabaya toples bekas "OVILARTRAP"
- Teknologi pengendalian vektor Aedes sp. dari ban
bekas "OVILANTA"
- Teknologi pengendalian vektor Aedes sp. dari
timba bekas "OVITRAP"
- Teknologi pengendalian pinjal dengan bambu “Bu
Dalpin”
- Teknologi pengendalian pinjal dengan pipa “Pa
Dalpin”
- Teknologi sabun berbahan ekstrak “Rosella”
- Teknologi anliseptik tisu basah "HATI
- RDT E Coli dengan metode H2S
- RDT Boraks
- RDT Formalin
- Teknologi Pembersih Udara Personal (PUP)
- Teknologi Pengolah limbah B3 Laboratorium
model evaporasi

d. Analisa Penyebab Keberhasilan


Tercapainya indikator ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
1. Adanya peningkatan kapasitas untuk SDM baik melalui pelatihan rancang
bangun ataupun pelatihan teknis lainnya sehingga meskipun dari segi
kuantitas jumlah SDM belum memadai tetapi dari segi kualitas SDM nya
telah terlatih.
2. Meningkatnya jejaring kerja dan kerjasama berbagai stakeholder di wilayah
kerja B/BTKL-PP.
3. Adanya komitmen B/BTKL-PP untuk terus menghasilkan Teknologi Tepat
Guna yang bermanfaat di masyarakat.

e. Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator


1) Mengirim SDM untuk pelatihan rancang-bangun dan pelatihan teknis lainnya.
2) Merancang dan mendesain model TTG (prototype) sesuai prioritas masalah
kesehatan yang terjadi di masyarakat.
3) Membuat model TTG dan melakukan uji coba model TTG skala laboratorium.

69 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

4) Melakukan koordinasi dan survey awal ke lokasi yang sesuai untuk


penempatann alat pengolahan TTG.
5) Uji coba model dilokasi pemasangan.
6) Sosialisasi dan deseminasi model TTG kepada masyarakat pengguna.
7) Pemantauan penggunaan TTG.

f. Kendala/Masalah yang Dihadapi


1) Jumlah SDM yang kurang, sehingga banyak yang rangkap tugas.
2) Terbatasnya inovasi-inovasi kegiatan pembuatan model dan teknologi.
3) Beberapa model dan teknologi yang dibuat biaya masih terlalu tinggi untuk
bisa diimplementasi sendiri oleh masyarakat.
4) Pada saat pembuatan model dan teknologi masih kesulitan mencari penyedia
jasa yang sesuai dengan kebutuhan
5) Hak paten dan merk yang diusulkan kepada Kementerian Hukum dan HAM
memakan waktu minimal 2 tahun.
6) Kurangnya sosialisasi TTG kepada masyarakat sehingga tidak memiliki daya
ungkit yang signifikan
7) Kurangnya supply bahan alami yang berpotensi dikembangkan menjadi TTG
8) Teknologi yang terus berkembang menuntut personil untuk lebih kreatif dan
inovatif dalam mengembangkan model teknologi tepat guna di bidang
kesehatan lingkungan.
9) Adanya efisiensi anggaran sehingga beberapa kegiatan teknologi tepat guna
tidak terlaksana.

g. Pemecahan Masalah
1) Peningkatan kompetensi dan kapasitas SDM terkait TTG Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit melalui pendidikan dan pelatihan.
2) Mengusulkan penambahan jumlah SDM sesuai keahlian yang dibutuhkan ke
eselon I.
3) Meningkatkan jejaring kerja lintas sektor untuk mencegah doubling bantuan
alat yang ditempatkan di masyarakat.
4) Memberdayakan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi penempatan alat
TTG.
5) Meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat dan advokasi kepada
pemerintah daerah maupun institusi terkait lainnya dalam penerapan TTG
P2P.

70 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

6) Meningkatkan sarana penyediaan tanaman alami TTG P2P termasuk


penyiapan lahan
7) Mengajukan usulan hak paten kepada Kementerian Hukum dan HAM

11. Persentase Pelabuhan/Bandara/PLBD yang melaksanakan kebijakan


kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat
yang berpotensi wabah sebesar 70%
a. Penjelasan Indikator
Indonesia secara bertahap telah mengembangkan kapasitas untuk to prevent, to
detect, to report dan to respond di pintu masuk negara dalam rangka
pengendalian penyakit yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan
masyarakat (KKM). Kapasitas tersebut sesuai dengan regulasi IHR (2005).
Regulasi ini merupakan modal utama untuk mengembangkan jejaring dan
kerjasama internasional dalam menghadapi dan menanggulangi potensi
terjadinya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKM-
MD) atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). Dalam
upaya mempertahankan dan meningkatkan upaya cegah tangkal dalam rangka
perlindungan Indonesia dan dunia terhadap Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
yang Meresahkan Dunia (KKM-MD), adalah melalui penguatan koordinasi,
integrasi, sinkronisasi lintas sektor dan mempertahankan kemampuan dalam hal
deteksi, verifikasi, penilaian, pelaporan dan penanggulangan potensi terjadinya
KKM-MD. Adanya rencana kontinjensi di pintu masuk dengan prioritas pintu
masuk negara dipandang sangat penting dalam menghadapi kedaruratan
kesehatan yang potensial terjadi.

b. Definisi Operasional
Jumlah pelabuhan/bandar udara/PLBDN internasional yang memiliki kebijakan
kesiapsiagaan berupa dokumen rencana kontijensi penanggulangan kedaruratan
kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah.

c. Rumus/Cara perhitungan
Jumlah pelabuhan/bandar udara/PLBDN internasional yang memiliki kebijakan
kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang
berpotensi wabah dibagi jumlah pelabuhan/bandar udara/PLBDN internasional
dikali 100 persen

d. Capaian Indikator
Pada tahun 2016, persentase pelabuhan/bandar udara/PLBDN internasional
yang memiliki dokumen rencana kontinjensi penanggulangan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat (KKM) telah mencapai 70,75% dari target 70%.
Sedangkan pada tahun 2015, persentase pelabuhan/bandar udara/PLBDN
internasional yang memiliki dokumen rencana kontinjensi penanggulangan KKM
sebanyak 64,15% dari target 60% seperti dalam grafik dan tabel dibawah ini:

71 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Grafik 3.21
Persentase pelabuhan/bandar udara/PLBDN internasional
yang memiliki dokumen rencana kontijensi

Peta 3.4

e. Analisa Penyebab Keberhasilan


Sampai dengan tahun 2016 tercapai 75 pintu masuk internasional yang
menyusun dokumen rencana kontinjensi dari target 74 kab/kota. Beberapa
faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian target indikator antara lain:

1. Persiapan pelaksanaan kegiatan dengan melakukan komunikasi dan


koordinasi kepada stakeholder di lingkungan pelabuhan/bandar
udara/PLBDN serta pemerintah daerah setempat.
2. Adanya sosialisasi dan advokasi dengan melibatkan stakeholder di
lingkungan pelabuhan/bandar udara/PLBDN dan lintas sector terkait lainnya.
3. Adanya kegiatan penyusunan dokumen rencana kontinjensi dengan
anggaran bersumber dari APBN.

72 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

4. Adanya rambu petunjuk perencanaan sehingga Kantor Kesehatan


Pelabuhan dapat menganggarkan kegiatan terkait kesiapsiagaan
penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat di pintu masuk negara

f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator


1) Sosialisasi dan advokasi regulasi kesehatan internasional atau International
Health Regulations (2005) termasuk kapasitas inti IHR dan paket aksi
keamanan kesehatan global
2) Penilaian pencapaian kapasitas inti IHR di pintu masuk negara, wilayah dan
nasional dengan melibatkan lintas sektor terkait
3) Sosialisasi dan advokasi kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap faktor
risiko kedaruratan kesehatan masyarakat dengan melibatkan stakeholder di
lingkungan pelabuhan/bandar udara/PLBDN dan lintas sektor terkait
4) Melaksanakan penyusunan rencana kontingensi mencakup konsep
pedoman penyusunan renkon, identifikasi potensi KKM, membangun
komitmen lintas sektoral dan pengumpulan data dasar dengan melibatkan
seluruh lintas sektoral pemerintah daerah yang terkait dengan
kesiapsiagaan, respon dan koordinasi penanggulangan kedaruratan
kesehatan masyarakat.
6) Review dan update dokumen kebijakan yang telah disusun di pintu masuk
negara

f. Kendala/masalah yang dihadapi


Beberapa Kantor Kesehatan Pelabuhan yang menganggarkan
penyusunan/reviu dokumen rencana kontinjensi mengalami efisiensi anggaran
sehingga tidak dapat dilakukan.

g. Pemecahan Masalah
Tetap mengintensifkan kegiatan sosialisasi dan advokasi kebijakan
kesiapsiagaan penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat kepada
stakeholder di lingkungan pelabuhan/bandar udara/PLBDN serta lintas sektor
terkait sasaran, dengan tujuan untuk meningkatkan komitmen daerah dalam
melaksanakan program yang disepakati, serta menjadikan penyusunan/reviu
rencana kontinjensi sebagai salah satu prioritas kegiatan.

Selain 11 indikator tersebut yang telah dijelaskan diatas, terdapat 3 indikator yang
merupakan indikator Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019 yakni:

1. Persentase kabupaten/kota yang mempunyai kesiapsiagaan dalam


penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah.
2. Persentase penurunan kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
(PD3I) tertentu.
3. Prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun.

73 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Dari ketiga indikator tersebut diatas yang belum digambarkan secara jelas adalah
indikator Persentase penurunan kasus penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I) tertentu seperti yang dijelaskan berikut ini:

12. Persentase penurunan kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
(PD3I) tertentu
a. Penjelasan indikator
Beberapa penyakit yang saat ini menjadi perhatian dunia dan merupakan
komitmen global wajib diikuti oleh semua negara salah satunya adalah Penyakit
yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Penyakit PD3I dapat dicegah
dengan pemeberian imunisasi. Imunisasi merupakan salah satu intervensi
kesehatan masyarakat yang terbukti sangat cost efektif. Penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi (PD3I) yang saat ini menjadi program prioritas
pemerintah adalah Tuberculosis, Hepatitis B, Polio, Difteri, Pertusis, Tetanus,
Hemophilus influenza type B serta campak, yang beberapa diantaranya sering
menyebabkan kejadian luar biasa (KLB) dibeberapa daerah.
Surveilans yang berkualitas ditujukan untuk mengukur beban penyakit,
mendeteksi wabah dan mengevaluasi dampak imunisasi untuk penyakit dapat
dicegah dengan imunisasi, termasuk polio, campak, rubella, kongenital rubella
syndrome (CRS), Difteri, Tetanus Neonatorum, Hepatitis B dan Pertusis.
PD3I merupakan komitmen global yang semua Negara mengikutinya termasuk
Indonesia yaitu eradikasi Polio (ERAPO), Eliminasi Campak, Maternal Neonatal
Tetanus Elimination (MNTE) serta kontrol Rubella/CRS. Eradikasi polio
merupakan kesepakatan internasional yang ditetapkan sebagai salah satu
resolusi dalam sidang WHA Mei 1988 untuk dicapai secara global pada tahun
2020. Sejalan dengan target global tersebut Indonesia telah melaksanakan
berbagai upaya untuk membebaskan setiap wilayahnya dari keberadaan virus
polio, melalui pemberian imunisasi polio secara rutin, pemberian imunisasi
tambahan (PIN, Sub PIN, Mopping-up) pada anak balita, surveilans AFP (Acute
Flaccid Paralysis), dan pengamanan virus polio di laboratorium (Laboratory
Containtment). Pada tanggal 27 Maret 2014 Regio Asia Tenggara telah
mendeklarasikan pernyataan bebas polio dimana Indonesia termasuk salah satu
negara yang menerima sertifikat tersebut.
Selain pencapaian dalam hal eradikasi polio, Indonesia kini juga sedang bersiap
menuju eliminasi campak pada tahun 2020 dan kontrol rubella/CRS tahun 2020.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan target untuk eliminasi campak dan
control rubella/CRS tahun 2020 sesuai dengan target global yaitu: mencapai
cakupan imunisasi campak dosis pertama lebih dari 95% di tingkat nasional dan
Kota/Kota, menurunkan angka insiden campak menjadi kurang dari 5 per
1.000.000 penduduk setiap tahun dan mempertahankannya, menurunkan angka
kematian campak minimal 95%, dan melakukan konfirmasi laboratorium campak
100% terhadap kasus-kasus klinis dari seluruh Kota/Kota.
Pada tahun 2016 Indonesia di validasi oleh Tim WHO dan Unicef dalam rangka
pencapaian Eliminasi Tetanus Maternal Neonatal. Hasil dari validasi Indonesia di
74 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

nyatakan sudah Eliminasi Tetanus Maternal Neonatal yang dibuktikan telah


terimanya sertifikat Eliminasi Tetanus Maternal Neonatal oleh Menteri Kesehatan
di Srilanka.

b. Definisi Operasional
Penurunan kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) tertentu
adalah penurunan Kasus PD3I tertentu di seluruh provinsi dalam satu tahun dari
baseline data tahun 2013, dinyatakan dalam persen. Yang dimaksud dengan
PD3I tertentu yaitu Difteri, Campak Klinis, Tetanus Neonatorum dan Pertusis.

c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah kasus PD3I tertentu pada baseline tahun
2013 - jumlah kasus PD3I tertentu pada tahun
berjalan
x 100%

Jumlah kasus PD3I tertentu pada baseline tahun


2013

d. Capaian Indikator
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) tertentu meliputi difteri,
tetanus neonatorum, campak, dan pertusis. Presentase penurunan kasus
dihitung dati baseline data jumlah kasus tahun 2013, yaitu difteri 775 kasus,
tetanus neonatorum 78 kasus, campak 11.521 kasus dan pertussis 4.681 kasus
(per Desember 2014). Tahun 2016 (per 31 Desember 2017) tercatat kejadian
difteri sebanyak 340 kasus, Tetanus neonatorum 14 kasus, campak 6.890 kasus
dan pertusis 1.240 kasus. Pada tahun 2015 tercatat kajadian Penyakit yang
Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) tertentu sebesar 8.484 kasus. Terjadi
penurunan kasus sebesar 8.571 kasus dengan presentase penurunan sebesar
50,26% dibandingkan angka kasus tahun 2013.

75 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Grafik 3.22
Indikator Dan Realisasi Persentase Penurunan Kasus PD3I Tertentu
Tahun 2016

e. Analisa Keberhasilan
Tercapainya target ini antara lain didukung dengan adanya penguatan imunisasi
rutin, penguatan surveilans PD3I, penguatan jejaring dan koordinasi mekanisme
kerja antar lintas program dan sektor, peningkatan kapasitas petugas surveilans
PD3I dan evaluasi pelaksanaan program surveilans PD3I di daerah dengan
melakukan monitoring, pertemuan evaluasi dan melakukan feedback kinerja.

f. Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator


1) Menyelenggarakan peningkatan kapasitas petugas surveilans PD3I
2) Mempertahankan kinerja Surveilans AFP dan PD3I lainnya
3) Melakukan penguatan jejaring kerja surveilans PD3I dengan klinisi dan
laboratorium
4) Melakukan pertemuan dengan Komite ahli Eradikasi Polio, Komite Surveilans
AFP dan Komite Ahli Campak dan Rubela/CRS untuk mendapatkan
rekomendasi untuk pencapaian indikator.
5) Mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan kasus PD3I berbasis
website
6) Monitoring dan Evaluasi surveilans PD3I
7) Melakukan feedback ke provinsi yang ditujukan ke gubernur cc kepala dinas
kesehatan provinsi

76 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

g. Kendala/Masalah yang Dihadapi

1) Cakupan Imunisasi yang belum tinggi dan merata di semua wilayah


2) Penggantian petugas yang tinggi sehingga belum terlatih.
3) Sebagian besar petugas surveilans PD3I memiliki tugas rangkap sehingga
tidak fokus pada fungsinya.
4) Kondisi geografis yang sulit di jangkau sehingga petugas mengalami
kesulitan saat melakukan PE.
5) Kurangnya komitmen dan dukungan pemerintah daerah baik provinsi dan
kab/kota untuk program surveilans PD3I, dnegan penganggaran tidak
berkelanjutan.
6) Penanggulangan KLB tidak tuntas dan efektif baik di tingkat provinsi maupun
kab/kota sehingga kasus PD3I tetap ada.
7) Sistem pelaporan kasus fasyankes swasta belum terlibat.

h. Rencana Pemecahan Masalah


1) Penguatan / revitalisasi KOMITMEN pemerintah daerah
2) Mendorong Kepala Dinas dan jajarannya ikut memperkuat dan memantau
kemajuan Erapo di wilayahnya
3) Advokasi pada pemerintah daerah tentang dukungan anggaran dan
operasional surveilans PD3I.
4) Memberikan umpan balik rutin secara berjenjang
5) Mengusulkan kegiatan surveilans PD3I untuk daerah melalui dana dekon dan
DAK/BOK
6) Melibatkan praktek swasta dalam penemuan kasus secara bertahap sereta
mengaktifkan Surveilans Aktif RS (SARS) dan Hospital Record Review
(HRR).
7) Meningkatkan peran jejaring organisasi profesi dalam case finding
8) Mengadakan pertemuan validasi data di setiap tingkat
9) Melakukan pelatihan penanggulangan KLB dan analisa data kepada Petugas
Surveilans PD3I.
10) Melakukan pengkajian efektifitas penanggulangan KLB

77 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

B. REALISASI ANGGARAN
1. Realiasi Anggaran
Pagu Awal Anggaran Ditjen P2P Tahun Anggaran 2016 adalah Rp.
4.098.559.756.000 dan pada akhir Tahun Anggaran menjadi Rp. 4.580.562.750.000
yang terdiri dari:

Sesuai dengan Inpres 8 Tahun 2016 dilakukan self blocking sebesar Rp.
964.343.791.000. Adapun pagu dan realisasi terlihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 3.7
Pagu Dan Realisasi Anggaran Program Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit
Tahun 2016

No Sumber Dana Pagu Realisasi % Self Blocking (Inpres 8 Th 2016) % Setelah Self Blocking
1 RUPIAH MURNI 3.849.427.184.000 2.778.022.280.837 72,17 954.822.786.000 95,97
2 PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK 122.148.572.000 100.267.093.013 82,09 9.521.005.000 89,03
3 HIBAH LANGSUNG LUAR NEGERI 608.986.994.000 598.171.862.791 98,22 - 98,22
Jumlah 4.580.562.750.000 3.476.461.236.641 75,90 964.343.791.000 96,14

Realisasi anggaran Ditjen P2P sebelum self blocking sebesar 75.9% tetapi setelah
self blocking menjadi 96.14%

78 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Sesuai dengan kewenangan, pagu anggaran terbagi antara Kantor Pusat sebesar
Rp. 3.086.277.739.000, KKP sebesar Rp. 831.461.823.000, B/BTKL-PP sebesar
Rp. 300.332.565.000 dan Dekonsentrasi sebesar Rp. 362.490.623.000.

Tabel 3.8
Pagu Dan Realisasi Anggaran Program Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit
Berdasarkan Kewenangan
Tahun 2015-2016

TA 2015 TA 2016
NO KEWENANGAN
PAGU BELANJA % PAGU BELANJA %
1 KANTOR PUSAT 1.667.006.919.000 1.400.459.123.650 84,01 3.086.277.739.000 2.368.333.020.051 76,74
2 KANTOR DAERAH 693.090.694.000 588.147.970.257 84,86 1.131.794.388.000 893.477.381.294 78,94
1). KKP 529.142.550.000 460.558.542.328 87,04 831.461.823.000 668.379.212.858 80,39
2). B/BTKL-PP 163.948.144.000 127.589.427.929 77,82 300.332.565.000 225.098.168.436 74,95
3 DEKONSENTRASI 221.063.331.000 157.009.384.277 71,02 362.490.623.000 214.650.835.296 59,22
4 TUGAS PEMBANTUAN 116.165.495.000 99.836.393.306 85,94 - - 0,00
JUMLAH 2.697.326.439.000 2.245.452.871.490 83,25 4.580.562.750.000 3.476.461.236.641 75,90

Pagu Ditjen P2P mengalami peningkatan dari tahun 2015 sebesar Rp.
2.697.326.439.000 menjadi Rp. 4.580.562.750.000 pada tahun 2016. Meskipun
demikian realisasi tahun 2015 lebih besar pada tahun 2015 (83.25%)
dibandingkan dengan tahun 2016 (75.9%).

Tabel 3.9
Pagu Dan Realisasi Anggaran Program Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit
Berdasarkan Satuan Kerja
Tahun 2016

BELANJA PEGAWAI BELANJA BARANG BELANJA MODAL TOTAL


NO KD_SATKER SATKER KW
PAGU BELANJA % PAGU BELANJA % PAGU BELANJA % PAGU BELANJA %
1 465827 SEKRETARIAT DITJEN P2P KP 236.480.491.000 215.460.184.218 91,11 132.833.396.000 89.272.819.856 67,21 13.526.167.000 7.773.190.840 57,47 382.840.054.000 312.506.194.914 81,63
2 465833 DIREKTORAT P2PML KP - - - 1.386.464.892.000 1.113.444.589.505 80,31 1.896.309.000 1.850.786.820 97,60 1.388.361.201.000 1.115.295.376.325 80,33
3 465858 DIREKTORAT SKK KP - - - 703.670.309.000 523.886.438.209 74,45 21.920.312.000 20.462.358.283 93,35 725.590.621.000 544.348.796.492 75,02
4 465842 DIREKTORAT P2PTVZ KP - - - 319.346.325.000 235.110.165.798 73,62 23.288.000.000 18.893.145.790 81,13 342.634.325.000 254.003.311.588 74,13
5 401733 DIREKTORAT P2MKJN KP - - - 33.451.000.000 21.270.294.135 63,59 100.000.000 98.505.000 98,51 33.551.000.000 21.368.799.135 63,69
6 465889 DIREKTORAT P2PTM KP - - - 165.697.472.000 76.667.306.440 46,27 47.603.066.000 44.143.235.157 92,73 213.300.538.000 120.810.541.597 56,64
JUMLAH 236.480.491.000 215.460.184.218 91,11 2.741.463.394.000 2.059.651.613.943 75,13 108.333.854.000 93.221.221.890 86,05 3.086.277.739.000 2.368.333.020.051 76,74

Realisasi tahun 2016 masih rendah dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai
berikut:

79 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

1. Pengadaan barang/jasa di Direktorat Surveilans Karantina Kesehatan


sebesar Rp. 9.000.000.000 tidak dapat dilaksanakan karena gagal lelang
yang terdiri dari:
 Logistik surveilans Congenital Rubella Syndrom sebesar Rp.
793.000.000
 Paket penanggulangan KLB Campak sebesar Rp. 3.400.000.000
 KIE imunisasi lanjutan sebesar Rp. 5.700.000.000

2. Pengadaan barang/jasa di Direktorat Pencegahan dan Pengendalian


Penyakit Menular Langsung sebesar Rp. 109.800.000.000 tidak dapat
dilaksanakan yang terdiri dari:
 Pengadaan reagen IMS dan Bahan Habis Pakai (BHP) sebesar Rp.
52.600.000.000
 Pengadaan rapid HIV dan IMS sebesar Rp. 22.400.000.000
 Pengadaan reagen hepatitis dan BHP bahan deteksi dini ibu hamil dan
kelompok beresiko sebesar Rp. 18.100.000.000
 Pengadaan reagen dan BHP Bahan Layanan Pengawasan Pelaksanaan
Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis sebesar Rp. 16.800.000.000

Pengadaan barang/jasa ini tidak terlaksana karena sumber dana refocusing,


keterbatasan waktu dan penyedia tidak sanggup menyediakan garansi.

2. Efisiensi Sumber Daya


Pada tahun 2016, dilakukan pemotongan efisiensi anggaran di Ditjen P2P sebesar
Rp.218.984.000.000 (efisiensi tahap I) dan Rp.964.343.791.000 (efisensi tahap II).
Untuk menjamin semua indikator dalam perjanjian kinerja tetap mencapai target
beberapa upaya dibawah ini telah dilakukan yakni:
1. Menggabungkan beberapa pertemuan/pelatihan menjadi satu
pertemuan/pelatihan.
2. Mengurangi tahapan kegiatan tetapi tetap mempertahankan materi dan esensi
kegiatan.
3. Melakukan monitoring evaluasi terintegrasi dengan program lain seperti
monitoring program malaria dilakukan terintegrasi dengan program filariasis.
4. Melakukan kegiatan dengan menggunakan sumber dana lain selain APBN yakni
Hibah Luar Negeri (HLN).

Dari hasil pemantauan e Monev Bappenas tahun 2016 dapat dibandingkan antara
realisasi kinerja dengan realisasi anggaran sebagaimana tabel berikut ini:

80 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Tabel 3.10
Realisasi Anggaran dan Realisasi Kinerja Ditjen P2P Tahun 2016

Dari tabel tersebut diatas dapat dilihat beberapa hal antara lain:
1. Realisasi anggaran Ditjen P2P tahun 2016 sebesar 81.04% sedangkan realisasi
kinerja sebesar 105.92% dengan efisiensi sebesar 25%
2. Efisiensi tertinggi berada di Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak
Menular sebesar 94%. Hal ini disebabkan perhitungan capaian kinerja diukur dari 2
indikator RKP yaitu Persentase puskesmas yang melaksanakan Pengendalian PTM
terpadu dan persentase kab/kota yang melaksanakan kebijakan kawasan tanpa rokok
(KTR) minimal 50% sekolah. Pencapaian kinerja Persentase puskesmas yang
melaksanakan Pengendalian PTM terpadu sebesar 247% dan pencapaian persentase
kab/kota yang melaksanakan kebijakan kawasan tanpa rokok (KTR) minimal 50%
sekolah sebesar 106%.
3. Realisasi kinerja terendah berada di Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Tidak Menular dimana anggaran yang direalisasikan lebih besar (71.07%)
dari pada kinerja yang dihasilkan (65.77%)

81 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Pencapaian kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit telah
berjalan baik sesuai dengan Perjanjian Kinerja yang telah ditetapkan.
2. Berdasarkan pengukuran indikator kinerja dalam Perjanjian Kinerja Tahun 2016,
dari 11 Indikator kinerja sasaran Program Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Tahun 2016, sebanyak 10 indikator telah mencapai target yang
ditetapkan, sedangkan 1 indikator tidak mencapai target dengan pencapaian
diatas 60%.
3. Berdasarkan penyerapan dan pengukuran kinerja anggaran tahun 2016 diketahui
bahwa kinerja anggaran Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
sebesar 75,9%.
4. Mengingat penyakit tidak mengenal batas wilayah administrasi, pemerintahan,
maupun negara, maka penyelenggaraan penanggulangan penyakit secara
nasional dilakukan dengan prinsip konkuren, yaitu dilakukan bersama-sama
antara unsur pemerintahan di pusat dan pemerintah daerah. Dengan demikian,
setiap permasalahan penyakit dan faktor risikonya yang timbul di suatu wilayah
perlu ditangani secara bersama antara unsur pusat dan daerah, sedangkan untuk
pintu masuk negara dilakukan upaya khusus melalui upaya kekarantinaan
kesehatan dalam rangka cegah tangkal penyakit antar negara sebagai bentuk
komitmen kesehatan dalam menjaga kedaulatan negara.
5. Pada laporan kinerja ini belum bisa dihitung realisasi anggaran untuk masing-
masing indikator karena belum adanya instrumen untuk mempermudah
perhitungan realisasi.

B. TINDAK LANJUT
1. Perlu dilakukan review terhadap Rencana Aksi Program Tahun 2015-2019 dalam
rangka memastikan semua indikator dapat dicapai pada akhir tahun evaluasi.
2. Perlu dikembangkan teknologi dalam memantau pencapaian kinerja secara
berkala.
3. Kementerian Kesehatan perlu mengembangkan suatu instrumen berbasis
teknologi untuk memantau realisasi anggaran setiap sasaran indikator.
4. Penetapan penanggungjawab laporan kinerja disusun dari awal tahun setelah
Perjanjian Kinerja ditandatangani.

82 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Direktorat Jenderal P2P selalu berupaya untuk memberikan alternatif solusi terhadap
seluruh masalah penyakit guna mencegah, mengendalikan berbagai penyakit menular
dan penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik yang
bersifat endemis, potensial menimbulkan wabah, maupun antisipasi terhadap munculnya
penyakit baru.

83 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

GRAFIK

Grafik 1.1 Distribusi Pegawai di lingkungan Ditjen P2P .................................... 8

Grafik 1.2 Distribusi Pegawai di lingkungan Kantor Pusat Ditjen P2P ............... 8

Grafik 3.1 Persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen Imunisasi


Dasar Lengkap pada bayi tahun 2015-2016 ..................................... 17

Grafik 3.2 Penurunan kasus PD3I Tahun 2013 dan 2015 ................................. 18

Grafik 3.3 Jumlah kabupaten/kota eliminasi malaria tahun 2013-2016 ............. 21

Grafik 3.4 Persentase pemeriksaan sediaan darah .......................................... 24

Grafik 3.5 Persentase pengobatan sesuai standar ........................................... 25

Grafik 3.6 Distribusi Kelambu Tahun 2004-2016 .............................................. 26

Grafik 3.7 Jumlah kabupaten/kota endemis filaria berhasil menurunkan


mikrofilaria <1% Tahun 2016 ............................................................ 31

Grafik 3.8 Jumlah kabupaten/kota endemis filaria berhasil menurunkan


mikrofilaria <1% Tahun 2013-2016................................................... 31

Grafik 3.9 Target dan capaian indikator Provinsi dengan eliminiasi kusta
tahun 2014-2016 .............................................................................. 35

Grafik 3.10 Prevalensi TB per 100.000 penduduk tahun 2012-2016 ................... 41

Grafik 3.11 Target dan realisasi capaian prevalensi HIV Tahun 2016 ................. 44

Grafik 3.12 Target dan realisasi capaian prevalensi HIV Tahun 2014-2016........ 45

Grafik 3.13 Jumlah Kasus HIV dan Kasus AIDS Tahun 2014-2016 .................... 45

Grafik 3.14 Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun.... 52

Grafik 3.15 Persentase target dan realisasi Kab/Kota yang memiliki peraturan
tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Tahun 2015-2016 ................ 53

Grafik 3.16 Persentase target dan realisasi Kab/Kota yang melaksanakan


kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) minimal 50% sekolah
Tahun 2015-2016 ............................................................................. 54

Grafik 3.17 Persentase kabupaten/kota yang mempunyai Kebijakan


kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan
masyarakat yang berpotensi wabah ................................................. 59

iv |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

Grafik 3.18 Persentase Persentase respon sinyal SKD dan KLB, bencana dan
kondisi matra di wilayah layanan BBTKLPP ..................................... 63

Grafik 3.19 Jumlah TTG yang dihasilkan BBTKLPP Tahun 2014-2016 .............. 66

Grafik 3.20 Persentase peningkatan TTG yang dihasilkan BBTKLPP ................ 67

Grafik 3.21 Persentase pelabuhan/bandar udara/PLBDN Internasional yang


memiliki dokumen rencana kontijensi ............................................. 72

Grafik 3.22 Indikator Dan Realisasi Persentase Penurunan Kasus PD3I


Tertentu Tahun 2016 ....................................................................... 76

Grafik 3.23 Distribusi Anggaran Berdasarkan Sumber Dana Tahun 2016 ......... 78

v|
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016

TABEL

Tabel 2.1 Sasaran Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2015
– 2019 ...................................................................................................... 12

Tabel 2.2 Perjanjian Kinerja Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


tahun 2016 ............................................................................................... 13

Tabel 3.1 Target dan Capaian Indikator Program P2P Tahun 2016 ......................... 15

Tabel 3.2 Jumlah Kab/Kota dengan eliminasi malaria per Provinsi di Indonesia ...... 22

Tabel 3.3 Status endemisitas malaria ...................................................................... 23

Tabel 3.4 Capaian Indikator Program Prioritas Janji Presiden/Wakil Presiden ......... 23

Tabel 3.5 Kab/Kota endemis filariasi berhasil menurunkan angka mikrofilaria ......... 32

Tabel 3.6 Teknologi Tepat Guna yang dihasilkan B/BTKL-PP Tahun 2016 .............. 67

Tabel 3.7 Pagu dan realisasi anggaran Program Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit ................................................................................................... 78

Tabel 3.8 Pagu dan realisasi anggaran Program Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Berdasarkan Kewenangan ......................................................... 79

Tabel 3.9 Pagu dan realisasi anggaran Program Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Berdasarkan Satuan Kerja ......................................................... 79

iii |

Anda mungkin juga menyukai