Terapi Inhalasi Pada Anak
Terapi Inhalasi Pada Anak
PENDAHULUAN
Terapi inhalasi merupakan salah satu bentuk lain pemberian obat yang sudah banyak
digunakan saat ini. Terapi ini sudah lama dikenal pemakaiannya ± 4000 tahun SM pada
masyarakat Mesir, India, Yunani maupun Roma. Di Indonesia, penggunaan inhalasi telah
danyak digunakan sejak jaman dahulu sebagai terapi pada salesma dengan menggunakan uap
panas. Penggunaan aerosol sebagai terapi inhalasi diperkenalkan pertama kali oleh Schneider
dan Waltz pada tahun 1829.
Sebenarnya prinsip terapi inhalasi telah digunakan sejak dahulu misalnya penggunaan
asap untuk pengobatan batuk. Pada awal penggunaannya sebagai pengobatan, terapi ini hanya
mengubah obat cair menjadi bentuk aerosol, namun dalam perkembangannya bentuk lainpun
dapat digunakan sebagai terapi inhalasi, yaitu bentuk powder (bubuk). Serta bahan yang
digunakan tidak turut dipertimbangkan pengaruhnya terhadap lingkungan pada awalnya,
tetapi akhir-akhir ini mulai dikembangkan penggunaan propelan yang bersahabat dengan
lingkungan yaitu yang tidak merusak lapisan ozon.
Salah satu penyakit yang sering menggunakan bentuk ini sebagai terapi adalah
penyakit asma. Asma merupakan salah satu gangguan pernafasan yang sering di dapatkan
pada anak anak, dimana terjadi suatu proses inflamasi yang berakibat timbulnya gejala
penyempitan jalan nafas berupa sesak nafas dan episode mengi berulang. Pengobatan asma
bertujuan untuk menghentikan serangan asma secepat mungkin serta mencegah serangan
berikutnya ataupun bila timbul serangan kembali diusahakan agar serangannya tidak berat.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diberi obat bronkodilator pada saat serangan dan atau
obat antiinflamasi sebagai obat pengendali untuk menekan reaksi inflamasi yang terjadi.
Pemberian obat pada asma dapat dengan berbagai macam cara yaitu parenteral, oral, atau
inhalasi. Namun penggunaannya pada anak masih belum banyak atau apabila diberikan
seringkali cara dan jenis obat inhalasi tidak tepat atau bahkan anak atau orang tua tidak cukup
mengerti kapan dan bagaimana penggunaannya untuk pengobatan asma anaknya.
Untuk itu, sebagai menunjang keberhasilan penggunaan pada anak diperlukan
pengetahuan mengenai perbedaan antara dewasa dan anak dalam hal fisiologi dan sistem
koordinasi serta tentang teknik inhalasi yang optimal sehingga penggunaan terapi inhalasi
dapat lebih dipahami.
BAB II
TERAPI INHALASI
Definisi
Terapi inhalasi adalah pemberian obat yang secara langsung ke dalam saluran napas
melalui hirupan. Terapi pemberian ini, saat ini makin berkembang luas dan banyak dipakai
pada pengobatan penyakit-penyakit saluran napas. Berbagai macam obat seperti antibiotik,
mukolitik, anti inflamasi dan bronkodilator sering digunakan pada terapi inhalasi. Obat asma
inhalasi yang memungkinkan penghantaran obat langsung ke paru-paru, dimana saja dan
kapan saja akan memudahkan pasien mengatasi keluhan sesak napas. Untuk mencapai
sasaran di paru-pari, partikel obat asma inhalasi yang berbentuk aerosol ini harus berukuran
sangat kecil (2-5 mikron).
Banyak definisi mengenai aerosol ini. Aerosol merupakan istilah yang digunakan
untuk sediaan semprotan kabut tipis dari sistem bertekanan tinggi. Sering disalah artikan pada
semua jenis sediaan bertekanan, sebagian diantaranya melepaskan busa atau cairan setengah
padat. Aerosol adalah sediaan yang mengandung satu atau lebih zat berkhasiat dalam wadah
yang diberi tekanan, berisi propelan atau campuran propelan yang cukup untuk memancarkan
isinya hingga habis, dapat digunakan untuk obat luar atau obat dalam dengan menggunakan
propelan yang cukup. Sedangkan definisi terbaru mengenai aerosol farmasetik adalah sediaan
yang dikemas dibawah tekanan, mengandung zat aktif terapeutik yang dilepas pada saat
sistem katup yang sesuai ditekan. Sediaan ini digunakan untuk pemakaiaan topical pada kulit
dan juga pemakaiaan local pada hidung ( aerosol nasal ), mulut ( aerosol lingual ) atau paru-
paru ( aerosol inhalasi ) ukuran partikel untuk aerosol inhalasi harus lebih kecil dari 10 m,
sering disebut juga “ inhaler dosis turukur “.
Aerosol Busa adalah emulsi yang mengandung satu atau lebih zat aktif, surfaktan,
cairan mengandung air atau tidak, dan propelan. Sedangkan propelan sendiri berfungsi
memberikan tekanan yang dibutuhkan untuk mengeluarkan bahan dari wadah dan dalam
kombinasi dengan komponen lain mengubah bahan ke bentuk fisik yang diinginkan. Sebagai
propelan digunakan gas yang dicairkan atau gas yang dimampatkan misalnya hidrokarbon,
khususnya turunan fluoroklorometana, etana, butana dan pentana (gas yang dicairkan), CO2,
N2, dan Nitrosa (gas yang dimampatkan).Sistem propelan yang baik harus mempunyai
tekanan uap yang tepat sesuai dengan komponen aerosol lainnya.
Dalam literatur lain, aerosol adalah suatu sistem koloid lipofob (hidrofil), dimana fase
eksternalnya berupa gas atau campuran gas dan fase internalnya berupa partikel zat cair yang
terbagi sangat halus atau partikel-partikelnya tidak padat, ukuran partikel tersebut lebih kecil
dari 50 m. jika partikel internal terdiri dari partikel zat cair, system koloid itu berupa awan
atau embun. Jika partikel internal terdiri dari partikel zat padat, system koloid itu berupa asap
atau debu.
1. Nebuliser
Nebuliser merupakan suatu alat yang dapat mengubah obat yang bentuk awalnya
berupa larutan lalu diubah menjadi bentuk aerosol yang dikeluarkan secara terus menerus
dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau gelombang ultrasonik. Dalam
prakteknya dikenal 2 jenis alat nebuliser yaitu ultrasonic nebuliser dan jet nebuliser. Hasil
pengobatan dengan nebuliser lebih banyak bergantung pada jenis nebuliser yang digunakan.
Terdapat nebuliser yang dapat menghasilkan partikel aerosol terus menerus ada juga yang
dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul pada saat penderita melakukan inhalasi sehingga
obat tidak banyak terbuang.
Keuntungan terapi inhalasi menggunakan nebuliser adalah tidak atau sedikit
memerlukan koordinasi pasien, hanya memerlukan pernafasan tidal, beberapa jenis obat
dapat dicampur (misalnya salbutamol dan natrium kromoglikat). Sedangkan kekurangan dari
nebuliser adalah alat ini cukup besar, sehingga memerlukan sumber tenaga listrik dan harga
yang relatif lebih mahal.
Perhatian dan Kontraindikasi:
- Pasien yang tidak sadar/confusion tidak kooperatif dengan prosedur ini, membutuhkan
mask/sungkup, tetapi mask efektifnya berkurang secara spesifik.
- Medikasi nebulizer kontraindikasi pada keadaan dimana suara napas tidak ada/berkurang,
kecuali jika medikasi nebulizer diberikan melalui endotracheal tube yang menggunakan
tekanan positif. Pasien dengan penurunan pertukaran gas juga tidak dapat
menggerakkan/memasukkan medikasi secara adekuat ke dalam saluran napas.
- Pemakaian katekolamin pada pasien dengan cardiac irritability harus dengan perlahan.
Ketika diinhalasi katekolamin dapat meningkatkan cardiac rate dan menimbulkan disritmia
- Medikasi nebulizer tidak dapat diberikan terlalu lama melalui IPPB/Intermittent Positive
Pressure Breathing, Sebab IPPB mengiritasi dan meningkatkan bronkhospasme
Peralatan:
- Nebulizer dan tube penghubung
- Cannula oksigen
- Tube berkerut, pendek
- Sumber kompresi gas/O2/udara/compressor udara
- Medikasi/obat yang diberikan melalui nebulizer
Persiapan:
- Tempatkan pasien pada posisi tegak/40-90 derajat yang memungkinkan anak melakukan
ventilasi dan pergerakan diafragma maksimal
- perhatikan suara napas, pulse rate, status respirasi, saturasi oksigen sebelum medikasi
diberikan
- Perhatikan heart rate selama pengobatan, jika heart rate meningkat 20x per menit, hentikan
terapi nebulizer, pada pasien hamil, heart fetus harus diperhatikan
- Instruksikan pasien untuk mengikuti prosedur dengan benar, lakukan perlahan, napas dalam
dam tahan napas saat inspirasi puncak beberapa saat.
Tahapan prosedur
- Berikan oksigen suplemen, dengan flow rate disesuaikan menurut kondisi/keadaan pasien,
pulse oxymetri/ hasil AGD. Inhalsi katekolamin dapat merubah ventilasi-perfusi paru dan
memperburuk hipoksemia untuk periode singkat
- Pasang nebulizer dan tube dan masukkan obat ke dalam nebulizer sesuai program (obatobat
bronchodilator ada yang berupa cairan untuk pengobatan hirup, cairan bronchodilator
sebanyak 0,3-0,5 ml.
- Ditambahkan /dicampur sejumlah normal saline steril sebanyak 1 ml sampai 1,5 ml ke
nebulizer sesuai program
- Hubungkan nebulizer ke sumber kompresi gas, berikan oksigen 6-8 liter/menit, sesuaikan
flow rate oksigen sampai kabut yang keluar sedikit tipis, jika terlalu kuat arusnya obat dapat
terbuang sia-sia
- Pandu pasien untuk mengikuti tehnik bernapas yang benar
- Lanjutkan pengobatan sampai kabut tidak lagi diproduksi
- Kaji ulang suara napas, pulse rate, saturasi oksigen dan respiratory rate
- Pemberian mungkin membutuhkan waktu selama 10-15 menit/30-40 menit
Komplikasi/efek samping obat berupa nausea, vomit, tremor, bronkospasme, takikardia
Dalam penggunaannya alat ini memerlukan teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis
obat mencapai saluran pernafasan. Apabila dilakukan dengan teknik inhalasi yang benar
maka 80% aerosol yang dihasilkan akan mengendap di mulut dan orofarings oleh karena
kecepatan yang tinggi dan ukurannya besar, 10% tetap berada dalam aktuator, dan hanya
sekitar 10% aerosol yang disemprotkan akan sampai ke dalam paru-paru. Pada cara inhalasi
ini diperlukan koordinasi antara penekanan kanister dengan inspirasi napas.
Untuk mendapatkan hasil optimal maka pemakaian inhaler ini hendaklah dikerjakan
sebagai berikut:
Terlebih dahulu kanister dikocok agar obat tetap homogen, lalu tutup kanister dibuka
Inhaler dipegang tegak kemudian pasien melakukan ekspirasi maksimal secara
perlahan
Mulut kanister diletakkan diantara bibir, lalu bibir dirapatkan dan dilakukan inspirasi
perlahan sampai maksimal pada pertengahan inspirasi kanister ditekan agar obat
keluar
Pasien menahan nafas 10 detik atau dengan menghitung 10 hitungan pada inspirasi
maksimal
Setelah 30 detik atau 1 menit prosedur yang sama diulang kembali
Setelah proses selesai, jangan lupa berkumur untuk mencegah efek samping.
Pada sebagian pasien langkah-langkah di atas sering tidak diikuti sehingga pengobatan
asma kurang efektif dan timbul efek samping yang tidak diinginkan. Beberapa kesalahan
yang sering dijumpai oleh para ahli mengenai kesalahan penggunaan inhalesr jenis ini adalah;
Kurangnya koordinasi pada saat menekan kanister dan saat menghisap,
Terlalu cepat inspirasi,
Tidak berhenti sesaat setelah inspirasi,
Tidak mengocok kanister sebelum digunakan,
Terbalik pemakaiannya.
Kesalahan kesalahan di atas umumnya dilakukan oleh anak yang lebih muda, manula,
wanita, dan penderita dengan sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah. Untuk
membedakan zat aktif pada MDI, digunaka 2 warna, yaitu biru dan coklat.
Contoh merek dagang untuk jenis MDI antara lain Ventolin (Salbutamol), Asthalin,
Ventolin, Proventil, Maxair, Xopenex, Alupent and ProAir, Flovent, Azmacort, Beclovent,
Vanceril, Budesonide, Qvar and Aerobid (kortikosteroid)
2.1 MDI dengan spacer
Spacer merupakan suatu benda biasanya berbentuk tabung yang digunakan sebagai
alat penyambung pada pemakaian inhaler jenis ini. Spacer ini berfungsi sebagai penambah
jarak antara aktuator dengan mulut sehingga kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi
berkurang dan akan dihasilkan partikel berukuran kecil yang berpenetrasi ke saluran
pernafasan perifer. Hal ini akan mengurangi pengendapan aerosol di dalam orofaring.
Tabung Spacer ini dapat mempunyai volume hingga 80 ml dengan panjang sekitar 10-
20 cm, atau bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Untuk bayi dianjurkan
menggunakan spacer volume kecil (babyhaler) agar aerosol yang dihasilkan lebih mampat
sehingga lebih banyak obat akan terinhalasi pada setiap inspirasi. Beberapa alat dilengkapi
dengan katup satu arah yang akan terbuka saat inhalasi dan akan menutup pada saat ekshalasi
misalnya Nebuhaler (Astra), Volumatic (A&H).
Pengendapan di orofaring akan berkurang yaitu sekitar 5% dosis yang diberikan bila
digunakan spacer dengan katup satu arah. Pada spacer tanpa katup satu arah, pengendapan di
orofaring sekitar 8-60% dosis. Dengan penggunaan spacer, deposit pada paru akan
meningkat menjadi 20% dibandingkan tanpa spacer. Penggunaan spacer ini sangat
menguntungkan pada anak karena pada anak koordinasinya belum baik. Dengan bantuan
spacer, koordinasi pada saat menekan kanister dengan saat penghisapan dapat dikurangi atau
bahkan tidak memerlukan koordinasi. Apabila spacer ini tidak tersedia maka sebagai
penggantinya bisa digunakan spacer sederhana yang murah dan mudah dibuat yaitu dari
plastic coffee cup yang dilubangi dasarnya untuk tempat aerosol. Namun alat ini sudah
terbukti bermanfaat hanya untuk bronkodilator dan belum dibuktikan berguna untuk natrium
kromoglikat dan steroid.
2.2 Easyhaler
Easyhaler merupakan suatu inhaler yang terdiri dari plastik dan cincin stainless steel
yang mengandung serbuk dengan multidosis (sekurang-kurangnya 200 dosis) yang digunakan
sebagai alternatif terapi inhalasi selain MDI. Pada inhaler ini, masing-masing dosis obat
dihitung secara akurat dengan cara menekan puncak alat (overcap) yang akan memutari
silinder (metering cylindric) pada bagian bawah alat tersebut. Cekungan dosis berisi sejumlah
obat berhubungan langsung dengan mouth piece. Saluran udara ke arah mouthpiece ini
berbentuk corong dengan tujuan agar obat di saluran napas dapat terdeposisi secara baik.
Selain itu kita juga dapat menemukan takaran dosis pada alat ini yang berguna untuk
memberi informasi kepada pasien mengenai sisa dosis obat. Pelindung penutup berguna
untuk mencegah kelembaban. Partikel obat yang halus (<10 φ) sulit untuk melayang jauh dan
cenderung untuk menggumpal, oleh karena itu zat aktif tersebut dicampur dengan sejumlah
kecil laktosa yang berperan sebagai pembawa. Pada easyhaler ukuran partikel laktosa cukup
besar untuk deposit di saluran napas bawah sehingga diharapkan akan jatuh di orofaring.
Keadaan ini mempunyai keuntungan untuk memberitahukan pada penderita bahwa obatnya
benar terhisap dengan rasa manis di mulut. Contoh merek dagang jenis inhalasi ini antara lain
Buventol easyhaler (Salbutamol)
2.3 Turbuhaler
Digunakan dengan cara menghisap, dosis obat ke dalam mulut, kemudian diteruskan
ke paruparu. Pasien tidak akan mendapat kesulitan dengan menggunakan turbuhaler karena
tidak perlu menyemprotkan obat terlebih dahulu. Satu produk turbuhaler mengandung 60-200
dosis. Ada indicator dosis yang akan memberitahu anda jika obat hampir habis. Contoh
produk: Bricasma, Pulmicort, Symbicort
2.4 Rotahaler
Digunakan dengan cara yang mirip dengan turbuhaler. Perbedaan setiap kali akan menghisap
obat, rotahaler harus didiisi dulu dengan obat yang berbentuk kapsul/rotacap. Jadi rotahaler
hanya berisi satu dosis, rotahaler sangat cocok untuk anak-anak dan usia lanjut. Contoh
produk: Ventolin Rotacap
Penggunaan obat serbuk kering pada DPI memerlukan inspirasi yang cukup kuat.
Pada anak yang kecil hal ini sulit dilakukan mengingat inspirasi kuat belum dapat dilakukan,
sehingga deposisi obat pada saluran pernafasan berkurang. Pada anak yang lebih besar,
penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi
dibandingkan dengan MDI. Dengan cara ini deposisi obat di dalam paru lebih tinggi dan
lebih konstan dibandingkan MDI sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun.
Cara DPI ini tidak memerlukan spacer sebagai alat bantu sehingga mudah dibawa dan
dimasukkan ke dalam saku. Hal ini yang juga memudahkan pasien dan lebih praktis.
Gambar 5. Dischaler
Dalam praktek sehari hari, penggunaan terapi inhalasi ini banyak kita jumpai pada beberapa
kasus, terutama pada kasus:
Asma
Bronkiolitis
Croup
Prematuritas dan Chronic Lung Disease
Asma dapat terjadi karena meningkatnya kepekaan otot polos di sekitar saluran nafas
seseorang dibandingkan saluran nafas normal terhadap stimuli tidak spesifik yang dihirup
dari udara, yang pada orang sehat tidak memberikan reaksi pada saluran pernafasan seperti
perubahan suhu, dingin, polusi udara (asap rokok), dll. Selain itu dapat pula terjadi karena
reaksi alergi, atau karena infeksi saluran pernafasan yang dapat menyebabkan radang/
inflamasi sehingga saluran nafas pada pasien asma lebih menyempit lagi
Beberapa gejala asma yang paling umum adalah: Batuk. Batuk umumnya terjadi di
malam hari, dini hari, saat cuaca dingin, dan saat beraktivitas fisik. Napas yang terdengar
seperti bunyi peluit juga kesulitan bernapas. Gejala asma akan berlangsung selama 2-3 hari,
atau bahkan lebih. Setelah serangan asma membaik, anak akan membutuhkan pereda
serangan (reliever) 3-4 kali per hari hingga batuk dan mengi menghilang.
Pada tata laksana asma harus dibedakan dua hal penting yaitu tata laksana serangan
dan tata laksana jangka panjang. Seorang anak yang telah didiagnosis asma harus ditentukan
klasifikasinya. Berdasarkan Konsensus Nasional Penanganan Asma (KNAA) klasifikasi asma
di luar serangan adalah asma episodik jarang, episodik sering, dan asma persisten.23 Pada
asma episodik jarang, tidak diperlukan obat pengendali (controller) untuk tata laksana jangka
panjangnya sedangkan pada asma episodik sering dan asma persisten harus diberikan obat
pengendali.
Obat pengendali dari golongan antiinflamasi yang sering digunakan adalah budesonid,
beklometason dipropionat, flutikason, dan golongan natrium kromoglikat.23 Bila terjadi
serangan maka digunakan obat pereda (reliever). Obat yang sering digunakan yaitu golongan
bronkodilator seperti metilsantin (teofilin), β2 agonis, dan ipratropium bromida. Obat-obat ini
dapat digunakan secara oral, parenteral, dan inhalasi, tetapi untuk metilsantin pemberian
secara oral dan intravena lebih dipilih daripada inhalasi karena obat ini menyebabkan iritasi
saluran napas. Telah diketahui secara luas bahwa obat antiinflamasi yang sering digunakan
adalah golongan steroid.
Mekanisme dasar asma adalah terjadinya reaksi inflamasi sehingga pengendalian
dengan obat antiinflamasi sangat dianjurkan pada asma episodik sering dan persisten. Namun
harus disadari penggunaan kortikosteroid jangka panjang peroral atau parenteral dapat
mengganggu tumbuh kembang anak secara keseluruhan selain efek samping lain yang
mungkin timbul seperti hipertensi dan moon-face. Untuk itu pemberian inhalasi sangat
dianjurkan. Jenis terapi inhalasi yang diberikan dapat disesuaikan dengan usia pasien dan
patokan ini tidak berlaku secara kaku. Patokan yang diajukan oleh Dolovich dan Everard9 di
bawah ini dapat dipakai sebagai acuan. Bagaimana sebenarnya penggunaan obat inhalasi
pada asma anak dapat diterangkan sebagai berikut:
Tata laksana saat serangan
Pada saat serangan obat yang digunakan adalah obat golongan bronkodilator dan yang
sering digunakan yaitu β2 agonis yang dapat diberikan sendiri atau bersama-sama
dengar´ipratropium bromid. Pada serangan asma yang ringan obat inhalasi yang diberikan
hanya β2 agonis saja meskipun ada juga yang menambahkan dengan ipratropium bromida.
Schuch dkk dalam penelitiannya mendapatkan bahwa dengan menggunakan β2 agonis saja
dapat meningkatkan FEV1 dan menghilangkan gejala serangannya, sedangkan penambahan
ipratropium bromida akan meningkatkan FEV1 yang lebih tinggi lagi.
Pada serangan asma yang berat, KNAA menganjurkan pemberian β2 agonis bersama-
sama dengan ipratropium bromid.23 Pemberian cara nebuliser untuk usia 18 bulan- 4 tahun
dianjurkan menggunakan mouthpiece daripada masker muka untuk menghindarkan deposisi
obat di muka dan mata. Apabila dengan pemberian inhalasi obat tersebut serangan asma tidak
teratasi/sedikit perbaikan maka dapat diberikan steroid sistemik. Pemberian steroid sistemik
perlu diperhatikan pada anak dengan serangan asma yang sering karena anak ini berisiko
mengalami efek samping akibat pemberian steroid sistemik berulang kali seperti supresi
adrenal, gangguan pertumbuhan tulang, dan osteoporosis. Untuk mengurangi pemberian
steroid oral berulang, maka sebagai alternatifnya dapat diberikan inhalasi budesonid dosis
tinggi (1600 mg perhari) pada anak yang serangan asmanya tidak teratasi dengan penanganan
inhalasi β2 agonis di rumah dan mereka belum/tidak perlu perawatan di rumah sakit.
Penggunaan obat pereda secara inhalasi pada serangan asma sangat bermanfaat dan
justru sangat dianjurkan, namun demikian penggunaannya masih belum banyak. Hal ini
dimungkinkan karena penggunaannya yang belum banyak diketahui dan harga obat masih
mahal. Hal ini berlaku bukan hanya di Indonesia, tetapi juga berlaku di negara maju.
Penggunaannya pada orang dewasa lebih banyak dibandingkan dengan anak.
Efek samping kortikosteroid berkisar dari rendah, parah, sampai mematikan. Hal ini
tergantung dari rute, dosis, dan frekuensi pemberiannya. Efek samping pada pemberian
kortikosteroid oral lebih besar daripada pemberian inhalasi. Pada pemberian secara oral dapat
menimbulkan katarak, osteoporosis, menghambat pertumbuhan, berefek pada susunan saraf
pusat dan gangguan mental, serta meningkatkan resiko terkena infeksi. Kortikosteroid
inhalasi secara umum lebih aman, karena efek samping yang timbul seringkali bersifat lokal
seperti candidiasis (infeksi karena jamur candida) di sekitar mulut, dysphonia (kesulitan
berbicara), sakit tenggorokan, iritasi tenggorokan, dan batuk. Efek samping ini dapat
dihindari dengan berkumur setelah menggunakan sediaan inhalasi. Efek samping sistemik
dapat terjadi pada penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yaitu pertumbuhan yang
terhambat pada anak-anak, osteoporosis, dan karatak.
Bronkiolitis
Pemberian inhalasi pada kasus ini masih banyak diperdebatkan. Hampir sebagian besar
penelitian menyimpulkan bahwa pemberian budesonid sebagai terapi inhalasi belum
memberikan manfaat yang berarti terutama pada perbaikan klinis maupun masa rawat di
rumah sakit. Begitu juga pada pemberian bronkodilator sebagai terapi inhalasi masih
dirasakan kurang begitu bermanfaat mengingat pada keadaan bronkiolitis proses inflamasi
merupakan keadaan yang dominan, sehingga dengan alasan ini manfaat bronkodilator masih
dipertanyaakan. Akhir-akhir ini mulai banyak digunakan epinefrin sebagai salah satu
alternatif terapi nebulisasi pada bronkiolitis yang cukup bermanfaat terutama saat serangan
akut.4
Croup
Dalam suatu penelitian, pemberian steroid pada anak dengan croup berat ternyata
memberikan manfaat yang baik dalam hal mempercepat hilangnya gejala croup. Selain
dengan steroid, nebulisasi dengan adrenalin ternyata memberikan keuntungan dalam hal
penurunan kemungkinan rawat inap selain perbaikan klinis.
1 Supriyanto B, Nataprawira HM. Terapi Inhalasi pada Asma Anak. Sari Pediatri 2001: 4:
67-73.
2 Supriyanto B, Kaswandani N. Terapi Inhalasi pada Kelainan Respiratorik. Dalam: Rahajoe
NN, Supriyatno B, Setyanto DB, editors. Buku ajar respirologi anak. Edisi kedua. Jakarta:
BP Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008; h 366-376.
3 Nataprawira HM. Diagnosis Asma pada anak. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto
DB, editors. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta: BP Ikatan Dokter Anak
Indonesia 2008; h 105-19.
4 Wainwright C, Altamirano L, Cirujano M, Cheney M, Barber S, Price D, et al. A
Multicenter, Randomized, Double-Blind, Controlled Trial of Nebulized Epinephrine in
Infants with Acute Bronchiolitis. The New England Journal of Medicine 2003;349:27-35