PEMETAAN LAPANGAN
Oleh :
NIKO TUBAN
1501454
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu senantiasa
memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga segala
aktivitas yang kita lakukan dapat terlaksanakan dengan baik.
Pada kesempatan ini pengusul mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
3. Ayah dan Ibu tercinta yang tak pernah lelah memberikan segalanya kepada
pengusul.
5. Seluruh staf dan karyawan di lingkungan Teknik Perminyakn pada umumnya dan
Program Studi Teknik Geologi pada khususnya, atas pelayanan administrasi yang
diberikan kepada pengusul selama ini.
6. Kakak – kakak dan adikku tersayang yang tak pernah lelah dalam memberikan
dukungan baik moril maupun materil.
i
Pengusul menyadari betul bahwa dalam usulan tugas akhir ini masih kurang baik
dari kondisi kesempurnaan. Maka dari itu besar harapan saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat pengusul harapkan. Semoga usulan tugas akhir ini
dapat memberikan manfaat bagi pengusul dan pihak lain serta berguna sesuai yang
diharapkan.
NIKO TUBAN
1501454
ii
DAFTAR ISI
1.2 MaksuddanTujuan.................................................................................................... 1
2.2 Stratigrafi................................................................................................................ 12
iii
2.3.1 Struktur Geologi Regional .............................................................................. 15
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Berdasarkan variasi batuan tersebut, serta rasa ingin tahu pengusul untuk
mengetahui kondisi geologi, terutama dikhususkan padastudi endapan turbidit di
Daerah Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas, Propinsi
Jawa Tengah, maka pengusul ingin membuktikan kebenaran dari kondisi geologi
regional daerah penelitian dengan mengajukan proposal pemetaan geologi daerah
penelitian. Harapannya, hasil dari penelitian dapat berguna dalam bidang yang
berkaitan dengan ilmu kegeologian.Aspek-aspek yang diamati selama kegiatan
pemetaan meliputi: geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi,
serta proses-proses geologi yang masih berkembang sampai saat ini yang hasil
akhirnya dapat digambarkan pada peta lintasan dan pengamatan, peta
geomorfologi, dan peta geologi daerah penelitian. Maka dari itu, pengusul
mengajukan penelitian pemetaan geologi penganjuan judul“Geologi dan Studi
Endapan Turbidit Daerah Karangsalam dan Sekitarnya, Kecamatan
Kemranjen, Kabupaten Banyumas, JawaTengah”.
Maksud dari penelitian ini adalah sebagai materi dalam pembuatan laporan ilmiah
untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan tuagas.
1
Tujuan penelitian secara umum adalah untuk memberikan gambaran tentang
gejala dan proses geologi yang terjadi pada daerah penelitian, memberikan tafsiran
kondisi dan proses geologi apa saja yang pernah terjadi di daerah penelitian sejak
awal terbentuknya batuan yang tertua hingga saat pemetaan berlangsung, serta
memberikan evaluasi potensi geologi yang bersifat positif dan negatif yang ada,
sehingga daerah penelitian dapat dikembangkan secara bijaksana berdasarkan
sudut pandang geologi.
Secara geografis daerah penelitian terletak pada 109° 16'25”BT - 109° 20'13” BT
dan 07° 32'00” LS 07° 35'48” LS dengan luas daerah penelitian kurang lebih 7 km
x 7 km atau sekitar 49 km2 .
2
Gambar 1.1. Peta Lokasi Penelitian
Pada penelitian ini waktu yang diperlukan kurang lebih 6 (Enam) bulan dimulai
sejak Maret 2017 hingga Oktober 2017, dengan meliputi beberapa pekerjaan
persiapan, pekerjaan lapangan, laboratorium, studio, kolokium/seminar, sidang
dan diakhiri dengan penyusunan draft laporan.
3
Studi Literatur Permasalahan
Data
Lapangan
Analisis
Studio Laboratorium
Laporan Sementara
Hipotesis
Laporan
Akhir
Sesuai dengan metode penelitian yang telah diuraikan di atas, maka pengusul di
dalam melakukan penelitiannya meliputi beberapa tahapan. Tahapan-tahapan
penelitian tersebut secara garis besar yaitu terdiri dari tahapan studi literatur,
tahapan lapangan, tahapan laboratorium dan studio serta tahapan penyusunan
laporan.
4
1. Mempelajari materi-materi yang berhubungan dengan daerah penelitian dari
berbagai referensi.
Tahapan ini merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan dalam suatu pemetaan
geologi.Adapun hal yang mencakup antara lain sebagai berikut:
3. Pengambilan conto batuan yang mewakili jenis litologi yang ada di daerah
penelitian untuk analisis petrografi serta analisis mikropalentologi
C o n t o h
No Formasi L I T O L O G I
Petrografi Mikropaleontologi
Total: 7 4
5
1.5.3 Tahapan Laboratorium dan Studio
Tahapan ini merupakan kelanjutan dari penelitian lapangan yang telah dilakukan
sebelumnya. Tahapan ini pada metode penelitian dibagi menjadi 2 (dua) tahapan,
yaitu:
a) Tahapan Laboratorium
b) Tahapan Studio
6
merupakan kesimpulan dari hasil penelitian. Tahapan ini meliputi pembahasan
mengenai geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi, serta kajian
potensi pada daerah penelitian
2.1 Geomorfologi
Meurut R.W.van Bemmelen, (1949), Jawa Tengah terbagi atas enam zona
fisiografi yaitu (gambar 2. 1) :
7
Dataran Aluvial Jawa Depresi Jawa Tengah
Gambar 2.1. Zona Fisiografi Daerah Jawa Tengah van Bemmelen, ( 1949)
Serayu Utara Kendeng
Zona Dataran Aluvial Pantai Utara Jawa terletak di bagian utara Jawa, tersebar
dari barat ke timur dengan lebar sebaran maksimum mencapai 40 km di sebelah
Selatan Brebes, sedangkan lembah sungai Pemali berfungsi sebagai pemisah
antara Zona Bogor di Jawa Barat dan Zona Pegunungan Serayu Utara di Jawa
Tengah. Semakin ke Timur, Zona Dataran Aluvial mulai menyempit di Selatan
Tegal hingga mencapai 20 km lebarnya dan mulai menghilang sepenuhnya di
sebelah Timur Pekalongan dimana Tanjung dari pegunungan mencapai hingga
pantai. Dataran aluvial yang subur lainnya yang dibentuk oleh delta dari Sungai
Bodri yang mengalami pertumbuhan maju ke Laut Jawa yang terletak antara
Weleri dan Kaliwungu.
Pegunungan di Jawa Tengah dibentuk oleh dua puncak Geantiklin, yaitu oleh
rentangan Zona Serayu Utara dan Zona Serayu Selatan. Rentang Zona Serayu
Utara membentuk suatu mata rantai penghubung antara Zona Bogor di Jawa Barat
dan Pegunungan Kendeng di Jawa Timur. Rentangan Zona Serayu Selatan
merupakan elemen baru yang muncul dari longitudinal depresi Zona Bandung di
Jawa Barat.
Di Jawa Tengah gunungapi kuarter memiliki posisi yang lurus mengarah Barat-
Timur. Gunungapi yang berada pada zona ini antara lain G. Slamet, G.
Rogojembangan, G. Ungaran dan G. Dieng.Di selatan Tegal, zona Pegunungan
8
Serayu Utara tertutupi oleh produk gunungapi kwarter dari G. Slamet. Di bagian
tengah ditutupi oleh produk gunungapi kuarter dari G. Rogojembangan, G.
Ungaran dan G. Dieng.
Zona Serayu Utara membentuk palung laut dalam pada saat Miosen hingga
Pliosen bersamaan dengan palung-palung yang terdapat di sebelah baratnya
(Palung Bogor) dan di sebelah timurnya (Palung Kendeng).Palung dalam
pengertian ini bukanlah palung penunjaman tempat kerak samudera menunjam di
bawah kerak samudera lainnya atau di bawah kerak benua.Palung dalam konteks
ini adalah suatu bentuk cekungan yang memanjang (trough).Palung Bogor-Serayu
Utara-Kendeng merupakan depresi laut dalam yang memanjang Barat-Timur di
tengah Pulau Jawa pada kala Mio-Pliosen.
Palung ini diisi oleh sedimen vulkanik hasil erosi dari Pegunungan Selatan atau
sedimen silisi klastik dan karbonat dari Paparan Utara Jawa yang mulai terangkat
pada sekitar Miosen Tengah.Pada Plio-Pleistosen, Palung Bogor-Serayu Utara-
Kendeng mengalami pengangkatan membentuk jalur perbukitan lipatan yang
tersesarkan kuat membentuk zona fisiografi Bogor-Serayu Utara-Kendeng (van
Bemmelen, 1949).
9
Temanggung – Magelang, yang merupakan bagian awal dari rangkaian antar
pegunungan Jawa Timur.
Zona ini lebih dikenal sebagai Lembah Serayu yang memisahkan Pegunungan
Serayu Utara dengan Pegunungan Serayu Selatan.Pada zona ini menempati bagian
tengah hingga selatan. Sebagian merupakan dataran pantai dengan lebar 10 – 25
km. Morfologi pantai ini cukup kontras dengan pantai selatan Jawa Barat dan
Jawa Timur yang relatif lebih terjal.
Pegunungan Serayu Selatan terbagi menjadi zona bagian Barat dan zona bagian
Timur yang dipisahkan oleh Lembah Jatilawang, ke arah Timur membentuk
antiklin yang dipotong oleh S. Serayu. Zona bagian Barat disebut sebagai
pengangkatan zona depresi Bandung di Jawa Barat atau struktur baru di Jawa
Tengah.Zona bagian Timur Pegunungan Serayu Selatan membentuk
antiklin.Sebelah Timur Banyumas, antiklin berkembang ke arah timur membentuk
antiklinorium dengan lebar 30 km dari sekitar Karangsambung – Banjarnegara.
Sedangkan ujung Timur dari Pegunungan Serayu Selatan membentuk sebuah
dome dari Purworejo sampai lembah Sungai Progo dan dikenal sebagai
Pegunungan Kulon Progo.
10
2.1.2 Geomorfologi Daerah Penelitian
Atas dasar pembagian satuan tersebut maka daerah penelitian memiliki pembagian
satuan morfologi sebagai berikut :
Pola aliran sungai merupakan penggabungan dari beberapa individu sungai yang
saling berhubungan membentuk suatu pola dalam satu kesatuan ruang. Istilah
yang lebih baik untuk digunakan dalam hal ini adalah “Tata Pengaliran” (drainage
arragement). Disebut tata pengaliran karena mencerminkan hubungan yang lebih
erat dari masing-masing sungai dibandingkan garis-garis sungai yang terbentuk
pada pola dasar pengaliran umum (William D. Thornbury, 1969). Sungai utama
pada daerah penelitian adalah Sungai Peterangan yang mengalir dari arah barat ke
timur daerah penelitian.
Dalam pembahasan pola aliran sungai, penulis melakukan analisa peta topografi
berskala 1 : 25.000. Pola aliran sungai mencerminkan pengaruh beberapa faktor,
antara lain; struktur, kekerasan batuan, sudut lereng, sejarah geologi serta
11
geomorfologi suatu daerah (Thornbury, 1969). Berdasarkan pernyataan tersebut di
atas, analisis terhadap pola aliran sungai dapat menginterpretasi perubahan suatu
bentang alam. Maka Pola aliran sungai yang berkembang di daerah penelitian
dapat dikelompokan menjadi 1 (satu) pola aliran, yaitu Pola Aliran Trellis.
Pola aliran trellis adalah pola aliran sungai yang berbentuk pagar (trellis) dan
dikontrol oleh struktur geologi berupa perlipatan sinklin dan antilin. Sungai trellis
dicirikan oleh saluran-saluran air yang berpola sejajar, mengalir searah
kemiringan lereng dan tegak lurus dengan saluran utamanya. Saluran utama
berarah se arah dengan sumbu lipatan.
2.2 Stratigrafi
Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Banyumas No. 1308-3 dengan skala
1:100.000 oleh (S. Asikin, dkk.., 1992), stratigrafi daerah ini tersusun oleh batuan
berumur Tersier hingga Kuarter dengan susunan formasi dari tua ke muda yaitu,
Andesit, Basal, Formasi Karangsambung, Anggota Tuf Formasi Gabon, Formasi
Gabon, Anggota Tuf Formasi Waturanda, Formasi Waturanda, Formasi
Kalipucang, Formasi Penosogan, Formasi Pamutuan, Formasi Rambatan, Anggota
Batupasir Formasi Halang, Anggota Breksi Formasi Halang, Formasi Halang,
Formasi Tapak, Endapan Undak, Endapan Pantai, Endapan Aluvial.
1. Andesit (Tma)
2. Basal (Tmb)
12
4. Anggota Tuf Formasi Gabon (Tomgt)
Dari hasil telaahan berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Banyumas No.
1308-3 dengan skala 1:100.000 (S. Asikin, dkk., 1992)serta beberapa hasil peneliti
terdahulu. Maka diperkirakan urut – urutan stratigrafi pada daerah penelitian
terbagi atas 4 satuan litostratigrafi. Satuan – satuan tersebut yaitu sebagai berikut
(Tua ke Muda):
13
1. Formasi Halang (Tmph)
Formasi ini pertama kali dikemukan oleh Sumarsono dan Namida (1947).
Sebelumnya Ter Haar (1934) menyebutnya Halang Serie. Lokasi satuan tipe ini
berada di sungai Cikabuyutan yang melewati Geger Halang-Malahayu yang
terletak lebih kurang 25 km di Tenggara Cirebon. Penyebaran singkapan Formasi
Halang ini cukup luas, mulai dari Brebes, daerah Malahayu menerus sampai
Pemalang Selatan. Ketebalan Formasi Halang di lokasi tipe Malahayu paling
sedikit 390 meter (Pertamina, 1987), tetapi menurut Akhmad Susilo (1986)
ketebalannya lebih dari 2400 meter, di daerah Bantarkawung ketebalannya 1600
meter (Telsa Ibrahim, 1986), Daerah Pemalang Selatan tebalnya 300 – 400 meter
(Pertamina, 1987).
Ciri litologi formasi ini tersusun atas dua bagian, yaitu bagian atas dan bagian
bawah. Bagian atas terdiri dari perselingan batupasir, batulempung, napal, dan tuf
dengan sisipan breksi. Bagian bawah terdiri dari breksi dan napal dengan sisipan
batupasir dan batulempung. Struktur sedimen terlihat jelas, antara lain perlapisan
bersusun, convolute lamination, flute cast. Batupasir umumnya bersifat wacke
dengan fragmen batuan andesit.
14
Endapan kuarter yang berundak-undak, terdi dari material lepas berupa pasir,
kerikil dan kerakal yang agak mampat dan menutupi secara tidak selaras batuan-
batuan yang lebih tua.
Endapan aluvial sungai dijumpai menutupi secara tidak selaras batuan-batuan dari
formasi yang lebih tua yang diicirikan oleh material lepas hasil pelapukan batuan
yang lebih tua berukuran lempung sampai bongkah.
Menurut “Pulunggono dan Martodjojo (1949)”, di Pulau Jawa dikenal ada tiga
pola struktur dominan, antara lain Pola Meratus, Pola Sunda dan Pola Jawa
(Gambar 2.4.). Ketiga pola tersebut terbentuk pada waktu yang berbeda dan
menghasilkan kondisi tektonik yang berbeda pula.
Pola Meratus terbentuk pada Zaman Kapur Akhir – Eosen Awal dan berarah NE –
SW. Pola tersebut terbentuk pada saat rejim kompresi yang berasosiasi dengan
subduksi pada Zaman Kapur Akhir – Eosen. Di Jawa Barat, Pola Meratus
diwakili oleh Sesar Cimandri. Di Jawa Tengah, singkapan batuan Pra – Tersier
terdapat di Kali Loh Ulo juga menunjukan arah yang sama. Sedangkan di Jawa
Timur, pola ini terlihat dominan di kawasan lepas pantai utaranya.
Pola Sunda terbentuk pada kala Eosen – Oligosen berupa struktur regangan yang
berarah N – S. Purnomo dan Purwoko (1994) menyebut periode ini sebagai
Paleogen Ekstensional Rifting, yang di awali dengan proses rifting yang
mengawali pembentukan cekungan – cekungan Tersier di Jawa. Pola ini umumnya
terdapat di bagian barat Pulau Jawa dan dapat ditelusuri hingga ke Sumatera. Arah
ini diwakili oleh sesar – sesar yang membatasi Cekungan Asri, Cekungan Sunda
dan Cekungan Arjuna.
15
Pola Jawa mulai terbentuk pada kala Oligosen Akhir – Miosen Awal yang
berkaitan dengan terbentuknya jalur penujaman baru di selatan Jawa, yang
megakibatkan Pulau Jawa mengalami kompresi. Pola ini umumnya berupa sesar
naik dan sesar mendatar.Data seismik di Jawa Utara menunjukan bahwa sesar –
sesar naik dari Pulau Jawa ini masih aktif sampai sekarang. Purnomo dan
Purwoko menyebut periode ini sebagai Neogen Compresional Wrenching hingga
Plio – Plistosen Compresional Trush Folding.
Lokasi Penelitian
16
oleh Pola Meratus, dikarenakan adanya struktur geologi berupa lipatan antiklin
yang berada di tengah daerah penelitian dengan arah Barat-Timur dan sesar-sesar
yang umumnya memiliki arah Timurlaut-Baratdaya.
Seiring dengan waktu geologi yang berjalan,daerah penelitian yang telah menjadi
daratan terjadi proses eksogen yaitu pelapukan pada zona lemah yang kemudian
membentuk sungai - sungai sehingga menghasilkan endapan undak dan endapan
aluvial sungai yang merupakan hasil rombakan dari batuan yang terbentuk
sebelumnyadan endapan aluvial sungai ini menutupi satuan batuan dibawahnya
dengan batas berupa bidang erosi.
17
3.1 Sedimen Turbidit
Meskipun semua sedimen aliran densitas dipahami sebagai sedimen yang bersifat
tidak tetap Mulder & Alexander (2001) membagi sedimen ini berdasarkan atas
lamanya arus turbulen bekerja, yaitu:
2. Perilaku aliran densitas dimana bagian kepala dari aliran densitas mengendalikan
pengendapan. (Bouma sequences atau turbidites)
3. Arus dimana kepala dari aliran densitas tidak berpengaruh bila dilihat sebagai
bagian dari badan aliran.
Istilah turbidit diperkenalkan pertama kalinya oleh Kuenen (1957) untuk mewakili
suatu endapan yang berasal dari arus turbit. Adalah Arnold Bouma yang
membantu pekerjaaan Kuenen dan mempublikasikan hasil penelitiannya dan
pertama kalinya memperkenalkan model facies turbidit vertikal (Bouma, 1962)
yang kemudian dikenal sebagai “Bouma Sekuen”.
Secara umum turbidit didefinisikan sebagai sedimen yang diendapkan oleh suatu
mekanisme arus turbit. Friedman dan Sanders (1978) beranggapan bahwa arus
turbiditadalah aliran arus pekat yang dihasilkan oleh masa dari butiran (padatan)
sedimen yang berada didalam media aliran tersebut. Middelton dan Hampton
(1973) menyebut endapan turbidit sebagai sedimen aliran gravitasi yang
menyebabkan terjadinya arus kenyang (turbidity current) karena adanya longsoran
pada lereng benua yang disebabkan oleh getaran, baik itu gempa bumi maupun
tsunami. Mekanisme pengendapannya berasal dari onggokan-onggokan sedimen
yang berada pada lereng suatu cekungan, karena suatu getaran kemudian sedimen
tersebut meluncur kebawah. Luncuran-luncuran ini menghasilkan lengseran yang
kemudian berkembang menjadi suatu arus turbid dimana sedimennya lepas-lepas
dan butir-butirnya bergerak sendiri-sendiri yang pada awalnya masih terikat dan
menyatu karena kohesi antar butirnya. Butiran-butiran ini kemudian pada akhirnya
mengendap pada dasar cekungan.
18
Berdasarkan gerak relatif antara butir dan jarak dari sumber, Middelton dan
Hampton (1973) membagi 4 jenis arus densitas:
1. Aliran Arus Kenyang (Turbidity current): butir-butir telah lepas sama sekali dan
masing-masing butir didukung oleh fluida/media (telah terinduksi menjadi
turbulen)
2. Aliran Sedimen Yang Difluidakan (Fluidizes sediment flow) : butiran yang lepas
didukung oleh cairan yang diperas keatas antar butir. Butir-butir masih
bersentuhan.
3. Aliran Butiran (Grain flow): dimana butir-butir belum lepas dan dalam mengalir
saling berentuhan.
4. Aliran Rombakan (Debris flow) : dimana butir-butir kasar masih didukung oleh
matrik (masa dasar) campuran sedimen yang lebih halus dan media (air) dan
masih mempunyai kekuatan
19
kadang krakalan atau krikilan. Struktur perlapisan bersusun ini akan menjadi tidak
jelas atau hilang sama sekali apabila batupasir yang menyusun interval ini trpilah
dengan baik. Tanda struktur lainnya tidak tampak.
2. Interval Laminasi Sejajar Bagian Bawah (Tb): Interval laminasi sejajar bagian
bawah (lower of paralel laminate). Interval laminasi sejajar bagian bawah (lower
of paralel lamination) tersusun dari perselingan antara batupasir dengan serpih
atau batulempung. Bidang sentuh (kontak) dengan interval di bawahnya mungkin
berlangsung.
3. Interval Riak Arus (Tc): Interval riak arus (interval of current lamination)
dicirikan dengan adanya struktur riak arus yang tingginya maksimal 5 cm dan
panjang maksimal 20 cm, kadang nampak foreset lamination dan struktur riak arus
yang berbentuk konvolut.
4. Interval Laminasi Sejajar Bagian Atas (Td): Interval laminasi sejajar bagian atas
(upper interval of parallel lamination) tersusun dari perselingan antara batupasir
halus dengan batulempung, struktur laminasi sejajarnya tidak begitu jelas, apabila
terkena proses pelapukan atau gangguan tektonik, kadang-kadang lempung
pasirannya berkurang kearah vertikal, bidang sentuhnya dengan interval di
bawahnnya sangat jelas.
5. Interval Pelitik (Te): Interval pelitik tersusun dari batuan yang bersifat lempungan
dan tidak menunjukan adanya struktur yang jelas, kearah tegak pada interval ini
material pasirannya berkurang dan ukuran besar butirnya makin menghalus.
Cangkang foraminifera mungkin ditemukan. Bidang sentuh dengan interval
dibawahnya berangsur, diatas interval ini sering ditemukan lapisan yang bersifat
napalan.
Bouma (1962) menyatakan turbidit dengan fasies yang lengkap (dari interval Ta
hingga interval Te) hanya dijumpai pada lapisan yang tebal saja, umumnya fasies
yang dijumpai telah hilang pada bagian atas, bawah atau keduanya. Selanjutnya ia
menjelaskan bahwa baik kecepatan maupun ukuran besar butir berkurang kearah
hilir. Hal ini menyebabkan urut-urutan turbidit menjadi T1 (Ta-e), T2 (Tb-e), T3
(Tc-e), T4 (Tc-e), T5(Te) yang terbentuk. Urutan - urutan yang umum ditemukan;
20
1. Base cut out sequence. Merupakan urutan turbidit yang tidak utuh, yaitu interval
bagian bawahnya hilang. Bagian interval yang hilang bisa berupa Ta, Ta-b, Ta-c
dan Ta-d.
2. Trancated sequence. Interval yang hilang pada sekuen ini adalah interval bagian
atas, yakni Tb-e, Tc-e,Td-e dan Te.
3. Truncated, base cut out sequence. Pada sekuen ini baik interval bagian atas
maupun bawahnya hilang. Interval yang muncul berkisar antara Tb – Td. Keadaan
ini disebut truncated, base cut out sequence.
Dari berbagai klasifikasi yang ada, klasifikasi yang dibuat oleh Walker (1978)
merupakan klasifikasi yang paling sederhana dalam penggunaannya untuk
menafsirkan endapan turbidit. Walker (1978) membagi fasies turbidit menjadi
lima fasies, yaitu:
1. Turbidit Klasik (Classic Turbidite). Turbidit klastik terdiri atas urutan batupasir
– batulempung yang dapat digolongkan dalam urutan Bouma (1962) yang lengkap
untuk suatu endapan turbidit. Namun demikian urutan- urutan yang lengkap
jarang dijumpai, dengan demikian juga dalam urutan terbalik, tetapi yang sering
dijumpai adalah urutan yang tidak lengkap.
21
atau struktur sedimen turbidit klasik tidak berlaku atau tidak digunakan. Struktur
sedimen perlapisan bersusun (graded bedding) dapat ditemukan dengan besar butir
mulai kerikilan dibagian dasar sampai ukuran sedang. Perlapisan yang biasanya
terjadi dari perselingan lapisan yang kaya akan kerikilan dan lapisan yang miskin
dengan kerikil dengan tebal rata-rata lapisan 5-20 cm, dengan struktur sedimen
mangkok atau planar tabular.
Perlapisan yang didukung oleh matrik (Matrix supported beds). Fasies ini disebut
sebagai “matrix suported beds” oleh Walker (1978) yang meliputi batupasir,
kerikil, kerakal dan bongkah yang didukung matrik. Endapan Debris Flow (DF)
dan Slump (SL) termasuk dalam fasies ini. Dasar perlapisan tidak teratur dan tidak
terdapat kemas tertutup, tetapi biasanya fragmen atau bongkah yang ada terletak
mengambang dalam matrik. Distribusi lateral endapan turbidit sepanjang
cekungan menurut Walker (1978) adalah bahwa semakin kearah laut yang lebih
dalam sedimen kasar semakin menghilang. Akibatnya makin kearah laut dalam
akan didapatkan struktur sedimen bagian-bagian atas dari seri Bouma (1962).
22
Progradasi endapan kipas bawah laut menimbulkan urutan-urutan stratigrafi
hipotesis seperti diperlihatkan pada gambar 3.2. Dapat dilihat adanya dua sekuen
menjadi ciri utama dari stratigrafi hipotesis tersebut. Pertama, sekuen menebal
keatas merupakan ciri fasies endapan kipas bawah sampai kipas tengah. Kedua,
sekuen menipis keatas merupakan ciri fasies endapan kipas tengah (bagian tengah)
dan kipas atas.
TURBIDIT
KLASIK (TK)
Struktur turbidit Bouma (1962) lebih berkembang pada fasies kipas bawah sampai
kipas tengah. Beberapa ciri litologi dan asosiasi struktur sedimen juga membeda
bedakan ketiga fasies tersebut diatas. Endapan kipas bawah dicirikan oleh
dominasi batulempung dan perselingan batupasir dengan struktur turbidit klasik
dari Bouma (1962). Munculnya batupasir masif dan sekuen Ta dari Bouma
23
mencirikan mulainya endapan kipas tengah bagian bawah. Batupasir yang muncul
semakin intensif dengan disertai munculnya konglomerat menandakan endapan
kipas tengah bagian tengah. Dominasi batulempung kearah kipas tengah bagian
atas semakin berkurang dan menurut stratigrafi hipotesis diatas, batulempung
menghilang pada kipas atas dimana litologinya adalah konglomerat, batupasir
endapan debris flow dan sedimen berstruktur slump.
Daerah penelitian berada pada daerah transisi antara Zona Pegunungan Serayu
Selatan dan Zona Depresi Jawa Tengah, tersusun oleh batuan sedimen turbidit laut
dalam.
24
pengukuran penampang stratigrafi yaitu di beberapa sungai utama di daerah
penelitian yang secara umum dilihat dari Peta Geologi Regional Lembar
Banyumas No. 1308-3 (S. Asikin, dkk., 1992) arah alirannya relatif berarah Utara-
Selatan dan memotong jurus batuan pada Formasi Halang.
BAB 5. KESIMPULAN
25
Dari pembahasan yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya mulai dari
pembahasan mengenai geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi maupun sejarah
geologi daerah penelitian, maka dapat disimpulkan secara garis besar adalah
sebagai berikut:
26
BAB 6. PERALATAN DAN PERENCANAAN ANGGARAN BIAYA
6.1 Peralatan
Dalam pelaksanaan penelitian perlu didukung peralatan yang standar lapangan,
adapun peralatan standar lapangan yang dibutuhkan dalam penelitian
meliputiperalatan lapangan dan peralatan untuk pengolahan data.
6.1.2 PeralatanPengolahanData :
27
6.2 JadwalPenelitian
Penelitian ini dilakukan selama 6 (Enam) bulan dimulai sejak bulan Maret 2017
sampai dengan bulan Agustus 2017.Adapun rincian jadwal penelitian dapat dilihat
pada tabel 6.1.
M a r e t A p r i l M e i J u n i J u l i
NO K E G I A T A N
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Adminitrasi dan Persiapan
2 Proposal
3 Pengumpulan data Lapangan dan Sampling
4 Pengolahan data
5 Pengolahan Studio dan Laboratorium
6 Konsultasi/Bimbinga n
7 Checking Lapanga n
8 Kolokium/Seminar
9 S i d a n g
10 Pemb u atan Lap oran
1. Administrasi
a. Program Studi Geologi dan bimbingan Rp. 2.500.000
b. Perizinan Rp. 300.000
Jumlah Rp. 2.800.000
2. Studi Literatur
a. Penyediaan literatur Rp. 250.000
b. Penyediaan alat tulis dan alat gambar Rp. 300.000
c. Penyediaan peta dasar Rp. 200.000
d. Pembuatan proposal tugas akhir Rp. 50.000
Jumlah Rp. 800.000
28
3. Lapangan
a. Transportasi Bogor – Banyumas 2 x @ Rp.200.000
Banyumas – Bogor 2 x @ Rp.200.000 Rp. 400.000
b. Konsumsi
Makan @ Rp. 12.000 x 3 x 2 Orang x 21 Hari Rp. 1.512.000
4. Analisa Labolatorium
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Asikin, S., Handoyo, A., Prastistho B., dan Gafoer, S., 1992, Peta Geolgi Lembar
Banyumas, Jawa Tengah, Skala 1:100.000, Direktorat Geologi, Bandung.
2. Bemmelen, R.W. Van, 1949, The Geology of Indonesia, The Hague Martinus
Nijhoff, Vol. 1A, Netherlands.
6. Mutti, E. & Ricci Lucci, F., 1975, Turbidite facies and facies associations. In:
Examples of turbidite facies and associations from selected formations of the
northern Apennines. IX Int. Congress of Sedimentology, Field Trip A-11, p. 21-
36.
9. Walker, R.G., 1978, "Deep-water sandstone facies and ancient submarine fans:
model for exploration for stratigraphic traps", American Association of
Petroleum Geologists Bulletin, 62 (6), p. 932-966.
30