Anda di halaman 1dari 23

Definisi dan Pengertian Fiqh

Secara bahasa, fiqh bermakna faham. Menurut istilah, Imam Syafii memberikan
definisi yang komprehensif, “Al ‘ilmu bi al ahkaam al syar’iyyah al ‘amaliyyah al
muktasabah min adillatiha al tafshiliyyah” Yakni mengetahui hukum-hukum syara’
yang bersifat amaliyah yang didapatkan dari dalil-dalil yang terperinci. ‘al ilm’
pada definisi ini bermakna pengetahuan secara mutlak yang didapatkan secara
yakin atau dzanni. Karena hukum yang terkait dengan amaliyah ditetapkan dengan
dalil yang bersifat qath’I atau pun dzanni.

Pengertian Fiqih Ibadah


Secara bahasa kata fiqih dapat diartikan al-Ilm, artinya ilmu, dan al-fahm, artinya
pemahaman. Jadi fiqih dapat diartikan ilmu yang mendalam.
Secara istilah fiqih adalah ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syar’i
yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf yang dikeluarkan dari
dalil-dalilnya yang terperinci. Mukalaf adalah orang yang layak dibebani dengan
kewajiban. Seorang dianggap mukalaf setidaknya ada dua ukuran; pertama, aqil,
maksudnya berakal. Cirinya adalah seseorang sudah dapat membedakan antara
baik dan buruk, dan antara benar dan salah. Kedua, baligh, maksudnya sudah
sampai pada ukuran-ukuran biologis. Untuk laki-laki sudah pernah ikhtilam
(mimpi basah), sedangkan perempuan sudah haid.
Sementara itu ibadah secara bahasa ada tiga makna; (1) ta’at (‫( ;)الطاعة‬2) tunduk
(‫( ;)الخضوع‬3) hina (ّ‫ ;)الذل‬dan (‫ )التنسك‬pengabdian. Jadi ibadah itu merupakan bentuk
ketaatan, ketundukan, dan pengabdian kepada Allah.
Adapun pendapat lain mengenai ibadah adalah:
‫التقربّألىّهللاّبامتثالّأوامرهّواجتناّبّنواهيهّوالعملّبماّأذنّبهّالشاّرعّوهيّعامةّوخاصة‬
Ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan perintah-
perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Juga yang dikatakan ibadah
adalah beramal dengan yang diizinkan oleh Syari’ Allah Swt.; karena itu ibadah
itu mengandung arti umum dan arti khusus.
Ibadah dalam arti umum adalah segala perbuatan orang Islam yang halal yang
dilaksanakan dengan niat ibadah. Sedangkan ibadah dalam arti yang khusus adalah
perbuatan ibadah yang dilaksanakan dengan tata cara yang telah ditetapkan oleh
Rasulullah Saw. Ibadah dalam arti yang khusus ini meliputi Thaharah, Shalat,
Zakat, Shaum, Hajji, Kurban, Aqiqah Nadzar dan Kifarat.
Dari dua pengertian tersebut jika digabungkan, maka Fiqih Ibadah adalah ilmu
yang menerangkan tentang dasar-dasar hukum-hukum syar’i khususnya dalam
ibadah khas seperti meliputi thaharah, shalat, zakat, shaum, hajji, kurban, aqiqah
dan sebagainya yang kesemuanya itu ditujukan sebagai rasa bentuk ketundukan
dan harapan untuk mecapai ridla Allah.

Perbedaan Fiqh Ibadah dan Muamalah 2

Dalam tulisan sebelumnya telah disebutkan satu perbedaan antara fiqh Ibadah dan
muamalah,yaitu perbedaan dalam hukum asal, perbedaan lain diantar ke 2 fiqh
tersebut :

1. fiqh Ibadah mempunyai karakter yang tetap, tidak berubah dan bersifat stagnan
dalam pengertian bahwa tidak ada sesuatu yang baru dalam aspek ibadah,
shalatdari zaman nabi hingga saat ini dan masa yang akan datang pasti sama,
rakaatnya , macam-macamnya dan segala yang berhubungan dengannya, berbeda
dengan fiqh muamalah yang bercirikan dinamis dan progresif, bayak didapatkan
bentuk usaha saat ini yang belum pernah ataupun tidak sekomplex pada saat nabi
Muhammad alaihissalam hidup, seperti perbankan, asuransi dll

2. Fiqh Ibadah tidak dituntut sikap kritis dan rasional, karena substansinay adlah
keatatan kepada Allah, kita tidak perlu mengetahui rahasia shalat 5 waktu dalam
sehari, haji harus dengan wukuf dll, tapi bentuk ketatan dan kepatuhan adalh yang
paling utama (with no reserve), berbedad dengan Fiqh Muamalah yang bercirikan
rasionalitas dan logis, buktinya adlah yang terlarang dalam praktek muamlah adlah
segala bentuk transkasi yang merugikan dan mendatangkan mudharat kepada
manusia, riba diharamkan karena bertentangan dengan nilai keadilan dan
kemanusiaan.
3. fatwa dalam fiqh ibadah berdasrkan kehati-hatian, sedangkan fatwa dalam fiqh
Muamalah berdasrkan aspek kemudahan, karena lingkup fiqh muamalah yang
lebih luas dan berkembang

4. Ijtihad dalam Ibadah lebih sedikit dibandingkan Ijtihad dalam aspek muamalah

5. fiqh Ibadah tidak berkembang sedangkan fiqh Muamalah berkembang sesuai


dengan perkembangan manusia dalam bermuamalah

Mawaris secara bahasa merupakan bentuk plural yang artinya "harta yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia". Fiqih mawaris seringkali disebut
ilmu faraidl, juga bentuk plural yang secara bahasa artinya"bagian tertentu", atau
"ketentuan".
Adapun definisi Fiqih mawaris secara istilah, sebagaimana disebutkan oleh Hashbi
al-Siddiqy ialah "Ilmu untuk mengetahui orang-orang yang berhak menerima
warisan, orang-orang yang tidak berhak menerimanya. Bagian masing-masing ahli
waris dan cara pembagiannya.
Rifa'y Arif mendefinisikan fiqih mawaris Istri yang menjalani masa 'iddah wajib
dengan "Prinsip-prinsip yang membahas tentang ahli waris dan bagian-bagian yang
telah ditentukan, serta tata cara pembagian harta peninggalan kepada ahli waris
yang berhak.
Dari 2 definisi diatas dapat dipahami bahwa fiqih mawaris adalah cabang ilmu
fiqih yang mempelajari hal pemindahan kepemilikn harta peninggalan dan orang
yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta yang
ditinggalkan, ketentuan orang-orang yang berhak menerima bagian, ketentuan
besaran bagian masing-masing, serta tata cara pembagian sesuai aturan syar'y.
A.Pengertian
Istilah Fiqh Mawaris (‫ )فقه المواريث‬sama pengertiannya dengan Hukum Kewarisan dalam
bahasa Indonesia, yaitu hukum yang mengatur tata cara pembagian harta peninggalan
orang yang meninggal dunia. Ada dua nama ilmu yang membahas pembagian harta
warisan, yaitu ilmu mawaris (‫ )علم المواريث‬dan ilmu fara'id (‫)علم الفرائض‬. Kedua nama ini
(mawaris dan fara'id) disebut dalam al-Qur'an maupun al-hadis. Sekalipun obyek
pembahasan kedua ilmu ini sama, tetapi istilahnya jelas berbeda. Kata‫ مواريث‬adalah
jama' dari ‫ميراث‬dan miras itu sendiri sebagai masdar dari ‫ورث‬- ‫يرث‬- ‫ارثا‬- ‫وميراثا‬.
Secara etimologi kata miras mempunyai beberapa arti, di antaranya: al-baqa' (‫ )البقاء‬,
yang kekal; al-intiqal(‫" )االنتقال‬yang berpindah", dan al-maurus (‫ )الموروث‬yang maknanya
at-tirkah (‫" )التركة‬harta peninggalan orang yang meninggal dunia". Ketiga kata ini (al-
baqa', al-intiqal, dan at- tirkah) lebih menekankan kepada obyek dari pewarisan, yaitu
harta peninggalan pewaris.

Adapun kata fara'id (‫ )الفرائض‬dalam kontek kewarisan adalah bagian para ahli waris.
Dengan demikian secara bahasa, apabila ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu
fara'id karena yang dibahas adalah bagian para ahli waris, khususnya ahli waris yang
bagiannya sudah ditentukan. Apabila dibandingkan kedua istilah di atas dalam
pengertian bahasa, kata mawaris mempunyai pengertian yang lebih luas dan lebih
menampung untuk menyebut ilmu yang membahas tata cara pembagian harta
peninggalan orang yang meninggal dunia dibandingkan istilah fara'id.

Apabila ditelusuri pemakaian kedua istilah di atas di kalangan para ulama, tampaknya
pada awalnya lebih banyak digunakan kata fara'id daripada kata mawaris. Hal ini dapat
dilihat dari fiqh-fiqh klasik yang dalam salah satu babnya memakai judul bab al-faraid
atau kitab al-fara'id, sebagai judul pembahasan kewarisan. Adapun pada masa
belakangan menunjukkan kebalikannya, yaitu lebih banyak digunakan kata mawaris,
seperti Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya "al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu", jilid VIII
dalam bab ke-6 memberi judul babnya ‫الميراث‬.

Lafad al-faraid, sebagai jamak dari kafazd faridhah, oleh para ulam faradhiyun diartikan
semakna dengan lafazd mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya.
Faraid dalam istilah mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah
ditentukan besar kecilnya oleh syara. Sedang ilmu faraidh oleh sebagian ulama
faradhiyun di ta’rifkan “ ilmu fiqhi yang berpautan dengan pembagian harta pusaka,
pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian
harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peningalan
untuk setiap pemilik harta pusaka”.
Menurut fiqih adalah apa yang ditinggalkan oleh orang mati berupa harta atau hak-hak
yang karena kematianya itu menjadi hak ahli warisnya secara syar’i.
Ilmu faraid adalah ilmu yang mempelajari pembagian warisan dan cara penghitunganya
dilihat darai kaca mata fiqih.

Istilah Fara’id adalah bahasa yang menunjukkan bentuk plural atau jamak. Adapun
bentuk mufradnya adalah “Faridah” yang berarti: suatu ketentuan atau dapat pula
diartikan bagian-bagian yang tertentu. Di dalam hukum waris islam dikenal dengan
istilah “Ilmul Fara’id” atau disebut dengan ilmul mirats, yakni ilmu yang membahas
tentang pembagian warisan dari seseorang yang meninggal dunia.

Al-Syarbiny dalam sebuah kitabnya Mughni al-Muhtaj juz 3 mengatakan bahwa: “Fiqih
Mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui
perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian bagian
yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.”
Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak
kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup.
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia misalnya
mendefinisikan “Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan
beralih kepada orang lain yang masih hidup”.

Dengan demikian, ilmu faraidh mencakup tiga unsur penting didalamnya:


1. Pengatahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris;
2. Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris; dan
3. Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan
pembagian harta waris.
Dari pengertian mawaris secara bahasa di atas dapat dipahami bahwa ilmu yang
membahas kewarisan disebut ilmu mawaris antara lain karena yang dibahasnya adalah
mengenai tata cara pemindahan harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari
kata miras yang berarti al-intiqal), atau karena yang dibahas oleh ilmu ini ialah harta
peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti tirkah).

1. A. Pengertian Fiqih Munakahat

Fiqih Munakahat terdiri dari dua kata, yaitu fiqih dan munakahat. Berikut penjelasan dari fiqih,
munakahat, dan fiqih munakahat.

1. Fiqih

Fiqih adalah satu term dalam bahasa Arab yang terpakai dalam bahasa sehari-hari orang Arab
dan ditemukan pula dalam Al-Qur’an, yang secara etimologi berarti “paham”. Dalam
mengartikan fiqih secara terminologis terdapat beberapa rumusan yang meskipun berbeda namun
saling melengkapi. Ibnu Subki dalam kitab Jam’al-Jawami’ mengartikan fiqih itu dengan:

‫العلمّباالحكامّالشرعيةّالعمليةّالمكتسبّمنّأدّلتهاّالتفصلية‬.

Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali yang diperoleh dari dalil-dalil
yang tafsili.

Dalam definisi ini “fiqih diibaratkan” dengan “ilmu” karena memang dia merupakan satu bentuk
dari ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri dengan prinsip dan metodologinya.[1]

Dalam literatur berbahasa Indonesia fiqih itu biasa disebut Hukum Islam yang secara definitif
diartikan dengan : “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Ilahi dan penjelasannya dalam
sunnah Nabi tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk
semua yang beragama Islam”.

Dengan pengertian ini fiqih itu mengikat untuk semua ummat Islam dalam arti merupakan
kewajiban umat Islam untuk mengamalkannya. Mengamalkannya merupakan suatu perbuatan
ibadah dan melanggarnya merupakan pelanggaran terhadap pedoman yang telah ditetapkan oleh
Allah.[2]

1. Munakahat

Kata “munakahat” term yang terdapat dalam bahasa Arab yang berasal dari akar kata na-ka-ha,
yang dalam bahasa Indonesia kawin atau perkawinan.[3] Kata kawin adalah terjemahan dari kata
nikah dalam bahasa Indonesia. Kata menikahi berarti mengawini, dan menikahkan sama dengan
mengawinkan yang berarti menjadikan bersuami. Dengan demikian istilah pernikahan
mempunyai arti yang sama dengan perkawinan.[4] Dalam fiqih Islam perkataan yang sering
dipakai adalah nikah atau zawaj. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti
kawin, seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 3:

ِ ‫ّخ ْفت ُ ْمّأَ االّتَ ْع ِدلُواّفَ َو‬


ّ‫احدَة‬ ِ ‫عّفَإ ِ ْن‬
َ ‫ّو ُربَا‬
َ ‫ث‬ َ ‫اءّ َمثْن‬
َ ‫َىّوّث ُ ََل‬ ِ ‫س‬ ِ ‫ابّلَ ُك ْم‬
َ ِ‫ّمنَ ّالن‬ َ ‫ط‬ ْ ِ‫طواّف‬
َ ّ‫يّاليَت َا َمىّفَا ْن ِك ُحواّ َما‬ ُ ‫ّخ ْفت ُ ْمّأ َ االّت ُ ْق ِس‬
ِ ‫َو ِإ ْن‬

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: Dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja”

Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Qur’an dalam arti kawin, seperti pada
surat al-Ahzab ayat 37:

ْ َ‫طراّزَّ اوجْ نَا َك َهاّ ِل َك ْي َّالّيَ ُكونَ ّ َعل‬


ّ‫ىّال ُمؤْ ِمنِينَ ّ َح َرجٌّفِيّأ َ ْز َواجِّأَدْ ِعيَائِ ِه ْم‬ َ ‫اّو‬ َ َ‫فَلَ اماّق‬
َ ‫ضىّزَ ْيد ٌِّم ْن َه‬

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami
kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini)
isteri-isteri anak-anak angkat mereka”

Pengertian nikah atau zawaj secara bahasa syari’iah mempunyai pengertian secara hakiki dan
pengertian secara majazi. Pengertian nikah atau ziwaj secara hakiki adalah bersenggama (wathi’)
sedang pengertian majazinya adalah akad. Kedua pengertian tersebut diperselisihkan oleh
kalangan ulama’ fiqih karena hal tersebut berimplikasi pada penetapan hukum peristiwa yang
lain, misalnya tentang anak hasil perzinaan. Namun pengertian yang lebih umum dipergunakan
adalah pengertian bahasa secara majazi, yaitu akad.

2.1 Pengertian Munakahat (Pernikahan)


Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu,
berkumpul. Menurut istilah nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan
perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan
menurut hukum syariat Islam. Menurut U U No : 1 tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga
(keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Allah SWT. Keinginan untuk
menikah adalah fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk Allah
SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani rokhaninya pasti membutuhkan
teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis yang
dapat dicintai dan mencintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama
untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga.
Rasulullah SAW bersabda :

َ ‫ص ِر َوأ َ ْح‬
‫ص ُن‬ َ َ‫ض ِل ْلب‬ َ ُ‫ع ِم ْن ُك ُم ا ْلبَا َءةَ فَ ْليَت َ َز َّوجْ فَ ِإنَّه‬
ُّ ‫غ‬ َ ‫ست َ َطا‬
ْ ‫ب َم ِن ا‬
ِ ‫شبَا‬
َّ ‫يَا َم ْعش ََر ال‬
‫ص ْو ِم فَ ِإنَّهُ لَهُ ِو َجا ٌء‬
َّ ‫ست َ ِط ْع فَ َعلَ ْي ِه ِبال‬
ْ ‫)رواه البخارى و مسلم( ِل ْلفَ ْرجِ َو َم ْن لَ ْم َي‬
Artinya :”Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka nikahlah.
Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara faraj (kelamin) dan barang siapa
tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat”. (HR.
Bukhori Muslim).
Sebelum pernikahan berlangsung dalam agama Islam tidak mengenal istilah pacaran akan
tetapi dikenal dengan nama “khitbah”. Khitbah atau peminangan adalah penyampaian maksud
atau permintaan dari seorang pria terhadap seorang wanita untuk dijadikan istrinya baik secara
langsung oleh si peminang atau oleh orang lain yang mewakilinya. Yang diperbolehkan selama
khitbah, seorang pria hanya boleh melihat muka dan telapak tangan. Wanita yang dipinang
berhak menerima pinangan itu dan berhak pula menolaknya. Apabila pinangan diterima, berarti
antara yang dipinang dengan yang meminang telah terjadi ikatan janji untuk melakukan
pernikahan. Semenjak diterimanya pinangan sampai dengan berlangsungnya pernikahan disebut
dengan masa pertunangan. Pada masa pertungan ini biasanya seorang peminang atau calon suami
memberikan suatu barang kepada yang dipinang (calon istri) sebagai tanda ikatan cinta yang
dalam adat istilah Jawa disebut dengan peningset.
Hal yang perlu disadari oleh pihak-pihak yang bertunangan adalah selama masa
pertunangan, mereka tidak boleh bergaul sebagaimana suami istri karena mereka belum syah dan
belum terikat oleh tali pernikahan. Larangan-larang agama yang berlaku dalam hubungan pria
dan wanita yang bukan muhrim berlaku pula bagi mereka yang berada dalam masa pertunangan.
Adapun wanita-wanita yang haram dipinang dibagi menjadi 2 kelolmpok yaitu :
1. Yang haram dipinang dengan cara sindiran dan terus terang adalah wanita yang termasuk
muhrim, wanita yang masih bersuami, wanita yang berada dalam masa iddah talak roj’i dan
wanita yang sudah bertunangan.
2. Yang haram dipinang dengan cara terus terang, tetapi dengan cara sindiran adalah wanita yang
berada dalam iddah wafat dan wanita yang dalam iddah talak bain (talak tiga).
2.2 Hukum Munakahat
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan
dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian ditinjau dari segi kondisi orang yang akan
melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi wajib, sunat, makruh dan
haram. Adapun penjelasannya adalah sebagi berikut:
1. Jaiz, artinya dibolehkan dan inilah yang menjadi dasar hukum nikah.
2. Wajib, yaitu orang yang telah mampu/sanggup menikah sedangkan bila tidak menikah khawatir
akan terjerumus ke dalam perzinaan.
3. Sunat, yaitu orang yang sudah mampu menikah namun masih sanggup mengendalikan dirinya
dari godaan yang menjurus kepada perzinaan.
4. Makruh, yaitu orang yang akan melakukan pernikahan dan telah memiliki keinginan atau hasrat
tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberikan nafkah tanggungan-nya.
5. Haram, yaitu orang yang akan melakukan perkawinan tetapi ia mempunyai niat yang buruk,
seperti niat menyakiti perempuan atau niat buruk lainnya.

2.3 Tujuan Munakahat


Secara umum tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat
manusia (pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga
yang bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam. Secara umum
tujuan pernikahan dalam Islam dalam diuraikan sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh kebahagiaan dan ketenangan hidup (sakinah). Ketentraman dan kebahagiaan
adalah idaman setiap orang. Nikah merupakan salah satu cara supaya hidup menjadi bahagia dan
tentram. Allah SWT berfirman :
Artinya: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya“. (Ar-
Rum : 21).
2. Membina rasa cinta dan kasih sayang. Nikah merupakan salah satu cara untuk membina kasih
sayang antara suami, istri dan anak. ( lihat QS. Ar- Rum : 21)
Artinya :”Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang “. (Ar- Rum : 21).
3. Untuk memenuhi kebutuhan seksual yang syah dan diridhai Allah SWT.
4. Melaksanakan Perintah Allah swt. Karena melaksanakan perintah Allah swt maka menikah akan
dicatat sebagai ibadah. Allah swt., berfirman :
Artinya :” Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai”. (An-Nisa’ : 3)
5. Mengikuti Sunah Rasulullah saw. Rasulullah saw., mencela orang yang hidup membujang dan
beliau menganjurkan umatnya untuk menikah. Sebagaimana sabda beliau dalam haditsnya:

َ ‫سنَّتِى فَلَ ْي‬


‫س ِمنِِّى‬ َ ‫سنَّتِى فَ َم ْن َر ِغ‬
ُ ‫ب ع َْن‬ ُ ‫أَلنِِّكَا‬
ُ ‫ح‬
(‫)رواه البخارى و مسلم‬
Artinya: “Nikah itu adalah sunnahku, barang siapa tidak senang dengan sunahku, maka
bukan golonganku” (HR. Bukhori dan Muslim).
6. Untuk memperoleh keturunan yang syah. Allah SWT berfirman:
Artinya :” Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia “. (Al-Kahfi : 46)

2.4 Rukun dan Syarat nikah


a. Calon Suami, syaratnya:
a) Beragama Islam,
b) Bukan mahram calon istri,
c) Tidak dipaksa dan dipaksa.
b. Calon Istri, syaratnya:
a) Beragama islam atau ahli kitab,
b) Bukan mahram calon suami,
c) Sedang tidak mempunyai suami,
d) Tidak dalam masa iddah.
c. Sigat aqad, yang terdiri dari ijab dan qobul
 Ijab adalah ucapan wali mempelai perempuan yang berisi pernyataan menikahkan anaknya.
 Qobul adalah ucapan calon suami yang berisi penerimaan nikah dirinya dengan calon istrinya.
 Contoh Ijab : Wali perempuan berkata kepada pengantin laki-laki : “Aku nikahkan anak
perempuan saya bernama si Fulan binti …… dengan ……. dengan mas kawin seperangkat
sholat dan 30 juz dari mushaf Al-Qur’an”.

ْ ‫صالَ ِة َوثَالَثِ ْي َن ُج ْزأ ً ِم ْن ُم‬


ً‫ص َحافِا ْلقُ ْرا َ ِن َحال‬ َّ ‫ت ال‬ َ ‫أ َ ْنك َْحت ُكَ َو َز َّو ْجت ُ ِك فُالَنَة ِب ْنتِ َم ْه ِر‬
ِ ‫عد ََوا‬
 Contoh Qobul : Calon suami menjawab: “Saya terima nikah dan perjodohannya dengan diri saya
dengan mas kawin tersebut di depan”. Bila dilafalkan dengan bahasa arab sebagai berikut :

‫قَ ِب ْلتُ ِن َك َح َها َوت َ ْز ِو َج َها ِلنَ ْفسِى ِبا ْل َم ْه ِر ا ْل َم ْذك ُْو ِر‬
Perempuan yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya tidak syah. Rasulullah saw,
bersabda : Artinya :”Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya maka pernikahan
itu batal (tidak syah)”. (HR. Empat Ahli Hadits kecuali Nasai).
d. Wali mempelai perempuan, artinya orang yang berhak menikahkan dengan syarat:
a) Laki-laki,
b) Beragama islam,
c) Balig,
d) Berakal sehat,
e) Merdeka,
f) Adil,
g) Tidak sedang ihram, haji, dan umrah.

Wali nikah di bagi menjadi 2 macam, yaitu:


1. Wali nasab: yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan
dinikahkan. Adapun Susunan urutan wali nasab adalah sebagai berikut :
a) Ayah kandung, ayah tiri tidak syah jadi wali,
b) Kakek (ayah dari ayah mempelai perempuan) dan seterusnya ke atas,
c) Saudara laki-laki sekandung
d) Saudara laki-laki seayah
e) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
f) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
g) saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah
h) Anak laki-laki dari sdr laki-laki ayah yang sekandung dengan ayah
i) Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah.
2. Wali hakim: yaitu seorang kepala Negara yang beragama Islam. Di Indonesia, wewenang
presiden sebagai wali hakim di limpahkan kepada pembantunya yaitu Menteri Agama.
Kemudian menteri agama mengangkat pembantunya untuk bertindak sebagai wali hakim, yaitu
Kepala Kantor Urusan Agama Islam yang berada di setiap kecamatan. Wali hakim bertindak
sebagai wali nikah apabila memenuhi kondisi sebagai berikut:
a) Wali nasab benar-benar tidak ada
b) Wali yang lebih dekat (aqrob) tidak memenuhi syarat dan wali yang lebih jauh (ab’ad) tidak ada.
c) Wali aqrob bepergian jauh dan tidak memberi kuasa kepada wali nasab urutan berikutnya untuk
berindak sebagai wali nikah.
d) Wali nasab sedang berikhram haji atau umroh
e) Wali nasab menolak bertindak sebagi wali nikah
f) Wali yang lebih dekat masuk penjara sehingga tidak dapat berintak sebagai wali nikah
g) Wali yang lebih dekat hilang sehingga tidak diketahui tempat tinggalnya.
h) Wali hakim berhak untuk bertindak sebagai wali nikah, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW
yang artinnya :”Dari Aisyah r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda : Tidak sah nikah
seseorang kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil, jika wali-wali itu menolak jadi
wali nikah maka sulthan (wali hakim) bertindak sebagi wali bagi orang yang tidak mempunyai
wali”.(HR. Darulquthni)

e. Dua orang saksi, syaratnya:


a) Beragama Islam,
b) Balig,
c) Berakal sehat,
d) Merdeka,
e) Laki-laki,
f) Adil,
g) Tidak sedang ihram, haji, atau umrah.

Saksi harus benar-benar adil. Rasulullah saw., bersabda َ ‫لَنِكَا َح إِلَّ بِ َو ِل ٍِّي َوشَا ِهدَى‬
‫ع ْد ٍل‬
( ‫)روه احمد‬
Artinya:”Tidak syah nikah seseorang melainkan dengan wali dan 2 orang saksi yang adil”.
(HR. Ahmad)
Setelah selesai aqad nikah biasanya diadakan walimah, yaitu pesta pernikahan. Hukum
mengadakan walimah adalah sunat muakkad. Rasulullah SAW bersabda :”Orang yang sengaja
tidak mengabulkan undangan berarti durhaka kepada Allah dan RasulNya’. (HR. Bukhori).
2.5 Muhrim

Menurut pengertian bahasa muhrim berarti yang diharamkan. Menurut Istilah dalam
ilmu fiqh muhrim adalah wanita yang haram dinikahi. Penyebab wanita yang haram dinikahi ada
4 macam:
1. Wanita yang haram dinikahi karena keturunan
a) Ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek dari ibu dan nenek dari ayah).
b) Anak perempuan kandung dan seterusnya ke bawah (cucu dan seterusnya).
c) Saudara perempuan sekandung (sekandung, sebapak atau seibu).
d) Saudara perempuan dari bapak.
e) Saudara perempuan dari ibu.
f) Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.
g) Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.

2. Wanita yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan


a) Ibu yang menyusui.
b) Saudara perempuan sesusuan
3. Wanita yang haram dinikahi karena perkawainan
a) Ibu dari isrti (mertua)
b) Anak tiri (anak dari istri dengan suami lain), apabila suami sudah kumpul dengan ibunya.
c) Ibu tiri (istri dari ayah), baik sudah di cerai atau belum. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu,
terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”. (An-Nisa: 22)
d) Menantu (istri dari anak laki-laki), baik sudah dicerai maupun belum.
4. Wanita yang haram dinikahi karena mempunyai pertalian muhrim dengan istri. Misalnya haram
melakukan poligami (memperistri sekaligus) terhadap dua orang bersaudara, terhadap
perempuan dengan bibinya, terhadap seorang perempuan dengan kemenakannya. (lihat An-
Nisa : 23)

2.6 Kewajiban Suami Istri


Agar tujuan pernikahan tercapai, suami istri harus melakukan kewajiban-kewajiban hidup
berumah tangga dengan sebaik-baiknya dengan landasan niat ikhlas karena Allah SWT semata.
Allah SWT berfirman :
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena laki-laki telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka”. (An-Nisa : 34).
Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya: “Istri adalah penaggung jawab rumah
tangga suami istri yang bersangkutan”. (HR. Bukhori Muslim).
Secara umum kewajiban suami istri adalah sebagi berikut :
2.6.1 Kewajiban Suami
a) Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya sesuai dengan
kemampuan yang diusahakan secara maksimal.(lihat At-Thalaq:7)
b) Bergaul dengan istri secara makruf,yaitu dengan cara yang layak dan patut. Misalnya
dengan kasih sayang, menghargai, memperhatikan dan sebagainya.
c) Memimpin keluarga, dengan cara membimbing, memelihara semua anggota keluarga dengan
penuh tanggung jawab. (Lihat An-Nisa : 34).
d) Membantu istri dalam tugas sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya
agar menjadi anak yang shaleh. (At-Tahrim:6)
2.6.2 Kewajiban Istri
a) Patuh dan taat pada suami dalam batas-batas yang sesuai dengan ajaran Islam. Perintah suami
yang bertentangan dengan ajaran Islam tidak wajib di taati.
b) memelihara dan menjaga kehormatan diri dan keluarga serta harta benda suami.
c) Mengatur rumah tangga dengan baik sesuai dengan fungsi ibu sebagai kepala rumah tangga.
d) Memelihara dan mendidik anak terutama pendidikan agama. Allah swt, berfirman:
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.
(At-Tahrim : 6)
e) Bersikap hemat, cermat, ridha dan syukur serta bijaksana pada suami.
2.7 Talak
2.7.1 Pengertian Dan Hukum Talak
Menurut bahasa talak berarti melepaskan ikatan. Menurut istilah talak ialah lepasnya
ikatan pernikahan dengan lafal talak. Asal hukum talak adalah makruh, sebab merupakan
perbuatan halal tetapi sangat dibenci oleh Allah swt. Nabi Muhammad saw, bersabda :

ُ َ‫أ َ ْبغ‬
َّ ‫ض ا ْل َحالَ ِل ِع ْن َد هللاِ ال‬
‫طالَق‬
(‫)رواه ابوداود‬
Artinya :”Perbuatan halal tetapi paling dibenci oleh Allah adalah talak”. (HR. Abu Daud)
2.7.2 Rukun Talak
a) Yang menjatuhkan talak(suami), syaratnya: baligh, berakal dan kehendak sendiri.
b) Yang dijatuhi talak adalah istrinya.
c) Ucapan talak, baik dengan cara sharih (tegas) maupun dengan carakinayah (sindiran).
 Cara sharih, misalnya “saya talak engkau!” atau “saya cerai engkau!”. Ucapan talak dengan cara
sharih tidak memerlukan niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara sharih, maka
jatuhlah talaknya walupun tidak berniat mentalaknya.
 Cara kinayah, misalnya “Pulanglah engkau pada orang tuamu!”, atau “Kawinlah engkau dengan
orang lain, saya sudah tidak butuh lagi kepadamu!”, Ucapan talak cara kinayah memerlukan niat.
Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara kinayah, padahal sebenarnya tidak berniat
mentalaknya, maka talaknya tidak jatuh.

2.7.3 Lafal dan Bilangan Talak.


Lafal talak dapat diucapkan/dituliskan dengan kata-kata yang jelas atau dengan kata-
kata sindiran. Adapun bilangan talak maksimal 3 kali, talak satu dan talak dua masih boleh
rujuk (kembali) sebelum habis masa idahnya dan apabila masa idahnya telah habis maka harus
dengan akad nikah lagi. (lihat Al-Baqoroh : 229). Pada talak 3 suami tidak boleh rujuk dan
tidak boleh nikah lagi sebelum istrinya itu nikah dengan laki-laki lain dan sudah digauli serta
telah ditalak oleh suami keduanya itu”.

2.7.4 Macam-Macam Talak.


Talak dibagi menjadi 2 macam yaitu
1) Talak Raj’i yaitu talak dimana suami boleh rujuk tanpa harus dengan akad nikah lagi. Talak
raj’I ini dijatuhkan suami kepada istrinya untuk pertama kalinya atau kedua kalinya dan suami
boleh rujuk kepada istri yang telah ditalaknya selam masih dalam masa iddah.
2) Talak Bain. Talak bain dibagi menjadi 2 macam yaitu talak bain sughro dan talak bain kubra.
 Talak bain sughro yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum dicampuri dan talak
khuluk (karena permintaan istri). Suami istri boleh rujuk dengan cara akad nikah lagi baik
masih dalam masa idah atau sudah habis masa idahnya.
 Talak bain kubro yaitu talak yang dijatuhkan suami sebanyak tiga kali (talak tiga) dalam waktu
yang berbeda. Dalam talak ini suami tidak boleh rujuk atau menikah dengan bekas istri
kecuali dengan syarat:
a) Bekas istri telah menikah lagi dengan laki-laki lain.
b) Telah dicampuri dengan suami yang baru.
c) Telah dicerai dengan suami yang baru.
d) Telah selesai masa idahnya setelah dicerai suami yang baru.

2.7.5 Macam-macam Sebab Talak.


Talak bisa terjadi karena :
1) Ila’ yaitu sumpah seorang suami bahwa ia tidak akan mencampuri istrinya. Ila’ merupakan adat
arab jahiliyah. Masa tunggunya adalah 4 bulan. Jika sebelum 4 bulan sudah kembali maka suami
harus menbayar denda sumpah. Bila sampai 4 bulan/lebih hakim berhak memutuskan untuk
memilih membayar sumpah atau mentalaknya.
2) Lian, yaitu sumpah seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina. sumpah itu diucapkan 4
kali dan yang kelima dinyatakan dengan kata-kata : “Laknat Allah swt atas diriku jika tuduhanku
itu dusta”. Istri juga dapat menolak dengan sumpah 4 kali dan yang kelima dengan kata-kata:
“Murka Allah swt, atas diriku bila tuduhan itu benar”.
3) Dzihar, yaitu ucapan suami kepada istrinya yang berisi penyerupaan istrinya dengan ibunya
seperti : “Engkau seperti punggung ibuku “. Dzihar merupakan adat jahiliyah yang dilarang
Islam sebab dianggap salah satu cara menceraikan istri.
4) Khulu’ (talak tebus) yaitu talak yang diucapkan oleh suami dengan cara istri membayar kepada
suami. Talak tebus biasanya atas kemauan istri. Penyebab talak antara lain:
 Istri sangat benci kepada suami,
 Suami tidak dapat memberi nafkah.
 Suami tidak dapat membahagiakan istri.
5) Fasakh, ialah rusaknya ikatan perkawinan karena sebab-sebab tertentu yaitu :
 Karena rusaknya akad nikah seperti :
a) diketahui bahwa istri adalah mahrom suami,
b) Salah seorang suami / istri keluar dari ajaran Islam.
c) Semula suami/istri musyrik kemudian salah satunya masuk Islam.

 Karena rusaknya tujuan pernikahan, seperti :


a) Terdapat unsur penipuan, misalnya mengaku laki-laki baik ternyata penjahat.
b) Suami/istri mengidap penyakit yang dapat mengganggu hubungan rumah tangga.
c) Suami dinyatakan hilang.
d) Suami dihukum penjara 5 tahun/lebih.

2.7.6 Hadhonah.
Hadhonah artinya mengasuh dan mendidik anak yang masih kecil. Jika suami/istri
bercerai maka yang berhak mengasuh anaknya adalah:
a) Ketika masih kecil adalah ibunya dan biaya tanggungan ayahnya.
b) Jika si ibu telah menikah lagi maka hak mengasuh anak adalah ayahnya.

2.8 Iddah
Secara bahasa iddah berarti ketentuan. Menurut istilah iddah ialah masa menunggu bagi
seorang wanita yang sudah dicerai suaminya sebelum ia menikah dengan laki-laki lain. Masa
iddah dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada bekas suaminya apakah dia akan rujuk
atau tidak.
1. Lamanya Masa Iddah.
a. Wanita yang sedang hamil masa idahnya sampai melahirkan anaknya. (Lihat QS. At-Talak :4)
b. Wanita yang tidak hamil, sedang ia ditinggal mati suaminya maka masa idahnya 4 bulan 10
hari. (lihat QS. Al-Baqoroh ayat 234)
c. Wanita yang dicerai suaminya sedang ia dalam keadaan haid maka masa idahnya 3 kali quru’
(tiga kali suci). (lihat QS. Al-Baqoroh : 228)
d. Wanita yang tidak haid atau belum haid masa idahnya selama tiga bulan. (Lihat QS, At-Talaq
:4)
e. Wanita yang dicerai sebelum dicampuri suaminya maka baginya tidak ada masa iddah.
(Lihat QS. Al-Ahzab : 49)
2 Hak Perempuan Dalam Masa Iddah.
a. Perempuan yang taat dalam iddah raj’iyyah (dapat rujuk) berhak mendapat dari suami yang
mentalaknya: tempat tinggal, pakaian, uang belanja. Sedang wanita yang durhaka tidak berhak
menerima apa-apa.
b. Wanita dalam iddah bain (iddah talak 3 atau khuluk) hanya berhak atas tempat tinggal saja.
(Lihat QS. At-Talaq : 6)
c. Wanita dalam iddah wafat tidak mempunyai hak apapun, tetapi mereka dan anaknya berhak
mendapat harta warits suaminya.

2.9 Rujuk.
Rujuk artinya kembali. Maksudnya ialah kembalinya suami istri pada ikatan perkawinan
setelah terjadi talak raj’i dan masih dalam masa iddah. Dasar hukum rujuk adalah QS. Al-
Baqoroh: 229, yang artinya sebagai berikut: ”Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki rujuk”.
1. Hukum Rujuk.
a) Mubah, adalah asal hukum rujuk.
b) Haram, apabila si istri dirugikan serta lebih menderita dibanding sebelum rujuk.
c) Makruh, bila diketahui meneruskan perceraian lebih bermanfaat.
d) Sunat, bila diketahui rujuk lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian.
e) Wajib, khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu.

2. Rukun Rujuk.
a) Istri, syaratnya : pernah digauli, talaknya talak raj’i dan masih dalam masa iddah.
b) Suami, syaratnya : Islam, berakal sehat dan tidak terpaksa.
c) Sighat (lafal rujuk).
d) Saksi, yaitu 2 orang laki-laki yang adil.

 PERKAWINAN MENURUT UU No: 1 tahun 1974.

1. Garis besar Isi UU No : 1 tahun 1974.


UU No : 1 tahun 1974 tentang Perkawinan terdiri dari 14 Bab dan 67 Pasal.
2. Pencatatan Perkawinan.
Dalam pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. Ketentuan tentang pelaksanaan pencatatan perkawinan ini
tercantun dalam PP No : 9 Tahun 1975 Bab II pasal 2 sampai 9.
3. Syahnya Perkawinan.
Dalam pasal 2 ayat 1 ditegaskan bahwa : “Perkawina adalah syah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu”.
4. Tujuan Pekawinan.
Dalam Bab 1 pasal 1 dijelaskan bahwa tujuan perkawina adalah untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
5. Talak.
Dalam Bab VIII pasal 29 ayat 1 dijelaskan bahwa : “Perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah fihak.
6. Batasan Dalam Berpoligami.
 Dalam pasal 3 ayat 1 diljelaskan bahwa :”Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
suami”.
 Dalam pasal 4 dan 5 ditegaskan bahwa dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari
seorang ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
 Pengadilan hanya memberi ijin berpoligami apabila :
a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
d) Dalam pengajuan berpoligami harus dipenuhi syarat-syarat :
 Adanya persetujuan dari istri.
 Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak
mereka.
 Adanya jaminan bahwa suami akan belaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa munakahat merupakan salah satu
wujud dari ibadah kepada Allah SWT, Di dalam islam tidak ada istilah pacaran, saat saling
mengenal dikenal dengan istilah khitbah nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-
laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang
dilakukan menurut hukum syariat Islam. Menikah wajib bagi seseorang yang sudah siap baik
mental maupun fisik. Untuk melepaskan pernikahan dilakukan dengan talak, di dalam islam talak
diperbolehkan, tetapi sangat di benci oleh Allah, jika sudah talak masih ada jalan yang digunakan
untuk kembali, yaitu dengan rujuk.
3.2 Saran
Sebagai salah satu umat islam sebaiknya setelah siap mental maupun fisiknya,
disegerakan menikah selain untuk menghindari zina, juga dapat menjadi suatu ibadah jika
dilakukan untuk mencadi ridho Allah SWT dan memenuhi kewajiban sebagai umat islam.
Pengertian Fiqh Muamalah
1. Fiqh
Menurut etimologi (bahasa) fiqh adalah paham, menurut terminology, fiqh pada mulanya berarti
pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama baik berupa akidah, akhlak,
maupun amaliah (ibadah)1[2]. Fiqh juga diartikan sebagai bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu
pengetahuan tentang hukum syariah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang
telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.
2. Muamalah
Menurut bahasa (lughatan), kata muamalah adalah bentuk masdar dari ‘amala yan artinya saling
bertindak, saling berbuat, dan saling beramal. Secara istilah (syar’an), muamalah merupakan
system kehidupan.2[3] Islam memberikan warna pada setiap dimensi kehidupan manusia, tak
terkecuali pada dua ekonomi, bisnis, dan masalah social. Sistem Islam ini mencoba
mendialektikan nilai-nilai ekonomi dengan nilai-nilai kaidah atau etika. Konsep dasar Islam
dalam kegiatan muamalah atau ekonomi dan bisnis juga sangat censeren dengan nilai-nilai
humanism yang bersifat Islami. Diantaranya adala kaidah-kaidah dasar fikih muamalah yang
diungkapkan oleh Jawaini yaitu sabagai berikut :
a. Hukum asal muamalah adalh diperbolehkan.
b. Konsep fiqh muamalah untuk mewujudkan kemasalahatan.
c. Menetapkan harga yang kompetitif.
d. Meninggalkan intervensi yang terlarang.
e. Menghindari eksploitasi.
f. Member kelenturan dan toleransi.
3. Fiqh Muamalah
 Pengertian Fiqh Muamalah dalam Arti Luas
Diantara definisi fiqh muamalah yang dikemukakan oleh parulama ialah sebagai berikut :
a. Menurut Zuhaily, pembahasan fiqh muamalah sangat luas, mulai dari hukum pernikahan,
transaksi jual beli, hukum pidana, hukum perdata, hukum perundang- undangan, hukum
kenegaraan, ekonomi, keuangan, hingga akhlak dan etika.
b. Ad-Dimyati mendefinisikan fikih muamalah sebagai aktivitas untuk menghasilkan duniawi yang
menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa fiqh muamlah adalah aturan-aturan (hukum) Allah
swt .yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan atau urusan
yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan.
 Pengertian Fiqh Muamalh dalam Arti Sempit
Beberapa definisi fiqh muamalah menurut ulama dan pakar, antara lain:
a. Menurut Suhendi (2008: 2), muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling
menukar manfaat.
b. Menurut Ahmad (1986: 1), muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia lainnya dalm usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya
dengan cara yang paling baik.
c. Menurut Rasyid Ridha (2000: 2), muamalah adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang
bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.
Dapat disimpulkan bahwa fiqh muamalah dalam arti sempit terkonsentrasi pada sikap patuh pada
aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan berkaitan dengan interaksi dan perilaku manusia
lainnya dalam upaya memperoleh, mengatur, mengelola, dan mengembangkan harta benda (al-
mal).

C. Fiqh Muamalah dalam Arti Luas


1. Bidang Al-Ahwal Asyakhsiyah
Bidang al-ahwal asyakhsiyah, yaitu hikum keluarga, yaitu yang mengatur hubungan antara
suami, istri, anak, dan keluarganya. Pokok kajiannya meliputi :
a) Fiqh munakahat
b) Fiqh mawaris
c) Wasiat
d) Wakaf
Tentang wakaf ini ada kemungkinan masuk bidang ibadah apabila dilihat dari maksud yang
mewakafkan, ada kemungkinan masuk al-ahwal asyakhsiyah apabila itu wakaf dzuri yaitu wakaf
keluarga.
 Pernikahan
Yaitu “aqad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan seorang perempuan serta
menetapkan hak-hak dan kewajiban diantara keduanya”. Pembahasan fiqh munakahat, meliputi
topik-topik hukum nikah, meminang, aqad nikah, wali nikah, saksi nikah, mahar (maskawin).
Wanita-wanita yang haram dinikahi baik haram maupun nasab, mushaharah (persemendaan), dan
radha’ah (persesusuan) dan hadhanah. Soal-soal yang berkaitan dengan putusnya pernikahan,
dengan iddah, ruju, hakamain, ila, dzhihar, li’an, nafakahah, dan iddah, yaitu berkabung dan
masa berkabung.
Di Indonesia, masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah pernikahan ini diatur
didalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1952 dan
No. 4 tahun 1952, kedua-duanya tentang wali hakim.
 Mawaris
Mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban ahli waris terhadap harta warisan,
menentukan siapa saja yang berhak terhadap warisan, bagaimana cara pembagiannya dan berapa
bagiannya masing-masing. Fiqh mawaris disebut juga ilmu faraidh, karena berbicara tentang
bagian-bagian tertentu yang menjadi hal ahli waris.
Pembahasan fiqh mawaris, meliputi masalah-masalah ta’hij yaitu pengurusan mayat,
pembayaran utang dan wasiat, kemudian pembagian harta. Dibahas pula tentang halangan-
halangan mendapat warisan. Kemudian dibicarakan tentang orang-orang yang mendapat bagian-
bagian tertentu dari harta waris yang disebut Ashabul Furudh, tentang ashabah, hijab pewarisan
dzawil arkam, hak anak didalam kandungan, masalah mafqud/orang yang hilang, anak hasil
zina/li’an, serta masalah-masalah khusus, seperti aul, masalah musyarakah, tsulusul baqi, dan
lain sebagainya.
 Wasiat
Adalah pesan seseorang terhadap sebagian hartanya yang diberikan kepada oranglain atau
lembaga tertentu, sedangkan pelaksanaannya ditangguhkan setelah ia meninggal dunia.
Dalam wasiat dibicarakan tentang orang yang berwasiat serta syarat-syaratnya, tentang orang-
orang yang diberi wasiat dan bagaimana hukumnya apabila yang diberi wasiat itu membunuh
pemberi wasiat. Dibicarakan pula tentang harta yang diwasiatkan dan bagaimana apabila yang
diwasiatkan itu berupa manfaat, serta hubungan antara wasiat dan harta waris. Tentang lapad
wasiat yang disyaratkan dengan kalimat yang dapat dipahamkan untuk wasiat. Tentang
penarikan wasiat dan lain sebagainya.
 Wakaf
Adalah penyisihan sebagian harta benda yang kekal zatnya dan mungkin diambil manfaatnya
untuk maksud kebaikan.
Dalam kitab-kitab fiqh dikenal dengan adanya wakaf dzuri (keluarga) dan wakaf khairi yaitu
wakaf untuk kepentingan umum. Dibahas pula tentang orang yang mewakafkan serta syarat-
syaratnya, barang yang diwakafkan dan syarat-syaratnya, orang yang menerima wakaf, dan
syarat-syaratnya, shigat atau ucapan yang mewakafkan dan syarat-syaratnya. Kemudian
dibicarakan tentang macam-macam wakaf dan siapa yang mengatur wakaf dan siapa yang
mengatur barang wakaf, serta kewajiban dan hak-haknya. Selanjutnya dibicarakan tentang
penggunaan harta wakaf dan lain sebagainya.
Di Indonesia khusus tentang wakaf tanah milik telah diatur dengan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 28 tahun 1977. Dalam peraturan pemerintah tersebut ditegaskan tentang
fungsi wakaf tanah, tatacara mewakafkan dan pendaftarannya, perubahan, penyelesaian,
perselisihan, dan pengawasan perwakafan tanah milik, ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan
ketentuan penutup.

2. Bidang Fiqh Muamalah (Dalam Arti Sempit) Al-Ahkam Al-Madaniyah


Bidang ini membahas tentang jual beli (ba’i), memberi barang yang belum jadi, dengan
disebutkan sifat-sifatnya dan jenisnya (sallam), gadai (ar-rahn), kefailitan (tafis), pengampunan
(hajru), perdamaian (al-sulh), pemindahan utang (al-hiwalah), jaminan utang (ad-dhaman al-
kafalah), perseroan dagang (syarikah), perwakilan (wikalah), titipan (al-wadhiah), pinjam-
meminjam (al-ariyah), merampas atau merusak harta oranglain (al-ghasb), hak membeli paksa
(syif’ah), memberi modal dengan bagi untung (qiradh), penggarapan tanah (al-muzaro’ah
musaqoh), sewa menyewa (al-ijaaroh), mengupah orang untuk menemukan barang yang hilang
(al-ji’alah), membuka tanah baru (ihya al-mawat) dan barang temuan (luqathah).

Apabila kita lihat sistematika pembahasan Hukum Perdata yang terdiri dari : Huku, orang pribadi
dan Hukum keluarga, Hukum benda, dan Hukum waris, Hukum perikatan, bukti dan daluwarsa,
maka materi-materi tersebut dalm hukum islam, terdapat dalam al ahwal al syakhsiyah,
muamalah dan qadla. Oleh karena itu tidak tepat mempersamakan bidang fiqh muamalah dengan
hukum perdata. Bahkan ada sebagian materi hukum perdata oleh para ulama dibahas dalam kitab
Ushul Fiqh, seperti subjek hukum atau orang mukallaf. Sistematika hukum perdata seperti juga
halnya sistematika fiqh, bukanlah suatu hal yang mutlak yang tidak bisa dirubah lagi. Sebab
sistematika itu dibuat oleh para ahli sesuai dengan perkembangan ilmu itu sendiri.

3. Bidang Fiqh Jinayah atau Al-Ahkam Al-Jinayah


Fiqh Jinayah adalah Fiqh yang mengatur cara-cara menjaga dan melindungi Hak Allah. Hak
Masyarakat dan Hak individu dari tindakan-tindakan yang tidak dibenarkan menurut hukum.
Adapun materi fiqh jinayah meliputi pembunuhan sengaja, semi sengaja dan kesalahan
disertai dengan rukun dan syaratnya. Sanksi pembunuhan, kemudian dibahas tentang
penganiayaaan sengaja dan penganiayaan tidak sengaja, pembuktiannya, pelaksanaan hukuman,
hapusnya hukuman zina.

4. Bidang Qadha atau Al-Ahkam Al-Murafaat


Fiqh Qadha ini membahas tentang proses penyelesaian perkara di pengadilan. Oleh karena
itu unsur pokok yang dibahas adalah tentang hakim, putusan yang dijatuhkan, hak yang
dilanggar, penggugat dalam kasus perdata atau penguasa dalam kasus pidana dan tergugat dalam
kasus perdata atau tersangka dalam kasus perdata atau tersangka dalam kasus pidana.

5. Bidang Fiqh Siyasah


Fiqh siyasah membahas tentang hubungan antara seseorang pemimpin dengan yang dipimpinnya
atau antara lembaga-lembaga kekuasaan di dalam masyarakat dengan rakyatnya. Oleh karena itu
pembahasan Fiqh siyasah ini luas sekali, yang meliputi antara lain soal: hak dan kewajiban
Imam, bai’ah, wuzarah ahl-halli wal-aqdi, hak dan kewajiban rakyat, kekuasaan peradilan,
pengaturan orang-orang yang pergi haji, kekuasaan yang berhubungan dengan pengaturan
ekonomi, fai, ghanimah, jizyah, kharaj, baitulmal, hubungan muslim dan non-muslim dalam
aqad, hubungan muslim dan non-muslim dalam kasus-kasus pidana, hubungan Internasional
dalam keadan perang dan damai, perjanjian internasional, penyerahan penjahat, perwakilan-
perwakilan asing serta tamu-tamu asing.

Anda mungkin juga menyukai