Secara bahasa, fiqh bermakna faham. Menurut istilah, Imam Syafii memberikan
definisi yang komprehensif, “Al ‘ilmu bi al ahkaam al syar’iyyah al ‘amaliyyah al
muktasabah min adillatiha al tafshiliyyah” Yakni mengetahui hukum-hukum syara’
yang bersifat amaliyah yang didapatkan dari dalil-dalil yang terperinci. ‘al ilm’
pada definisi ini bermakna pengetahuan secara mutlak yang didapatkan secara
yakin atau dzanni. Karena hukum yang terkait dengan amaliyah ditetapkan dengan
dalil yang bersifat qath’I atau pun dzanni.
Dalam tulisan sebelumnya telah disebutkan satu perbedaan antara fiqh Ibadah dan
muamalah,yaitu perbedaan dalam hukum asal, perbedaan lain diantar ke 2 fiqh
tersebut :
1. fiqh Ibadah mempunyai karakter yang tetap, tidak berubah dan bersifat stagnan
dalam pengertian bahwa tidak ada sesuatu yang baru dalam aspek ibadah,
shalatdari zaman nabi hingga saat ini dan masa yang akan datang pasti sama,
rakaatnya , macam-macamnya dan segala yang berhubungan dengannya, berbeda
dengan fiqh muamalah yang bercirikan dinamis dan progresif, bayak didapatkan
bentuk usaha saat ini yang belum pernah ataupun tidak sekomplex pada saat nabi
Muhammad alaihissalam hidup, seperti perbankan, asuransi dll
2. Fiqh Ibadah tidak dituntut sikap kritis dan rasional, karena substansinay adlah
keatatan kepada Allah, kita tidak perlu mengetahui rahasia shalat 5 waktu dalam
sehari, haji harus dengan wukuf dll, tapi bentuk ketatan dan kepatuhan adalh yang
paling utama (with no reserve), berbedad dengan Fiqh Muamalah yang bercirikan
rasionalitas dan logis, buktinya adlah yang terlarang dalam praktek muamlah adlah
segala bentuk transkasi yang merugikan dan mendatangkan mudharat kepada
manusia, riba diharamkan karena bertentangan dengan nilai keadilan dan
kemanusiaan.
3. fatwa dalam fiqh ibadah berdasrkan kehati-hatian, sedangkan fatwa dalam fiqh
Muamalah berdasrkan aspek kemudahan, karena lingkup fiqh muamalah yang
lebih luas dan berkembang
4. Ijtihad dalam Ibadah lebih sedikit dibandingkan Ijtihad dalam aspek muamalah
Mawaris secara bahasa merupakan bentuk plural yang artinya "harta yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia". Fiqih mawaris seringkali disebut
ilmu faraidl, juga bentuk plural yang secara bahasa artinya"bagian tertentu", atau
"ketentuan".
Adapun definisi Fiqih mawaris secara istilah, sebagaimana disebutkan oleh Hashbi
al-Siddiqy ialah "Ilmu untuk mengetahui orang-orang yang berhak menerima
warisan, orang-orang yang tidak berhak menerimanya. Bagian masing-masing ahli
waris dan cara pembagiannya.
Rifa'y Arif mendefinisikan fiqih mawaris Istri yang menjalani masa 'iddah wajib
dengan "Prinsip-prinsip yang membahas tentang ahli waris dan bagian-bagian yang
telah ditentukan, serta tata cara pembagian harta peninggalan kepada ahli waris
yang berhak.
Dari 2 definisi diatas dapat dipahami bahwa fiqih mawaris adalah cabang ilmu
fiqih yang mempelajari hal pemindahan kepemilikn harta peninggalan dan orang
yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta yang
ditinggalkan, ketentuan orang-orang yang berhak menerima bagian, ketentuan
besaran bagian masing-masing, serta tata cara pembagian sesuai aturan syar'y.
A.Pengertian
Istilah Fiqh Mawaris ( )فقه المواريثsama pengertiannya dengan Hukum Kewarisan dalam
bahasa Indonesia, yaitu hukum yang mengatur tata cara pembagian harta peninggalan
orang yang meninggal dunia. Ada dua nama ilmu yang membahas pembagian harta
warisan, yaitu ilmu mawaris ( )علم المواريثdan ilmu fara'id ()علم الفرائض. Kedua nama ini
(mawaris dan fara'id) disebut dalam al-Qur'an maupun al-hadis. Sekalipun obyek
pembahasan kedua ilmu ini sama, tetapi istilahnya jelas berbeda. Kata مواريثadalah
jama' dari ميراثdan miras itu sendiri sebagai masdar dari ورث- يرث- ارثا- وميراثا.
Secara etimologi kata miras mempunyai beberapa arti, di antaranya: al-baqa' ( )البقاء,
yang kekal; al-intiqal(" )االنتقالyang berpindah", dan al-maurus ( )الموروثyang maknanya
at-tirkah (" )التركةharta peninggalan orang yang meninggal dunia". Ketiga kata ini (al-
baqa', al-intiqal, dan at- tirkah) lebih menekankan kepada obyek dari pewarisan, yaitu
harta peninggalan pewaris.
Adapun kata fara'id ( )الفرائضdalam kontek kewarisan adalah bagian para ahli waris.
Dengan demikian secara bahasa, apabila ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu
fara'id karena yang dibahas adalah bagian para ahli waris, khususnya ahli waris yang
bagiannya sudah ditentukan. Apabila dibandingkan kedua istilah di atas dalam
pengertian bahasa, kata mawaris mempunyai pengertian yang lebih luas dan lebih
menampung untuk menyebut ilmu yang membahas tata cara pembagian harta
peninggalan orang yang meninggal dunia dibandingkan istilah fara'id.
Apabila ditelusuri pemakaian kedua istilah di atas di kalangan para ulama, tampaknya
pada awalnya lebih banyak digunakan kata fara'id daripada kata mawaris. Hal ini dapat
dilihat dari fiqh-fiqh klasik yang dalam salah satu babnya memakai judul bab al-faraid
atau kitab al-fara'id, sebagai judul pembahasan kewarisan. Adapun pada masa
belakangan menunjukkan kebalikannya, yaitu lebih banyak digunakan kata mawaris,
seperti Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya "al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu", jilid VIII
dalam bab ke-6 memberi judul babnya الميراث.
Lafad al-faraid, sebagai jamak dari kafazd faridhah, oleh para ulam faradhiyun diartikan
semakna dengan lafazd mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya.
Faraid dalam istilah mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah
ditentukan besar kecilnya oleh syara. Sedang ilmu faraidh oleh sebagian ulama
faradhiyun di ta’rifkan “ ilmu fiqhi yang berpautan dengan pembagian harta pusaka,
pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian
harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peningalan
untuk setiap pemilik harta pusaka”.
Menurut fiqih adalah apa yang ditinggalkan oleh orang mati berupa harta atau hak-hak
yang karena kematianya itu menjadi hak ahli warisnya secara syar’i.
Ilmu faraid adalah ilmu yang mempelajari pembagian warisan dan cara penghitunganya
dilihat darai kaca mata fiqih.
Istilah Fara’id adalah bahasa yang menunjukkan bentuk plural atau jamak. Adapun
bentuk mufradnya adalah “Faridah” yang berarti: suatu ketentuan atau dapat pula
diartikan bagian-bagian yang tertentu. Di dalam hukum waris islam dikenal dengan
istilah “Ilmul Fara’id” atau disebut dengan ilmul mirats, yakni ilmu yang membahas
tentang pembagian warisan dari seseorang yang meninggal dunia.
Al-Syarbiny dalam sebuah kitabnya Mughni al-Muhtaj juz 3 mengatakan bahwa: “Fiqih
Mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui
perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian bagian
yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.”
Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak
kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup.
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia misalnya
mendefinisikan “Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan
beralih kepada orang lain yang masih hidup”.
Fiqih Munakahat terdiri dari dua kata, yaitu fiqih dan munakahat. Berikut penjelasan dari fiqih,
munakahat, dan fiqih munakahat.
1. Fiqih
Fiqih adalah satu term dalam bahasa Arab yang terpakai dalam bahasa sehari-hari orang Arab
dan ditemukan pula dalam Al-Qur’an, yang secara etimologi berarti “paham”. Dalam
mengartikan fiqih secara terminologis terdapat beberapa rumusan yang meskipun berbeda namun
saling melengkapi. Ibnu Subki dalam kitab Jam’al-Jawami’ mengartikan fiqih itu dengan:
العلمّباالحكامّالشرعيةّالعمليةّالمكتسبّمنّأدّلتهاّالتفصلية.
Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali yang diperoleh dari dalil-dalil
yang tafsili.
Dalam definisi ini “fiqih diibaratkan” dengan “ilmu” karena memang dia merupakan satu bentuk
dari ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri dengan prinsip dan metodologinya.[1]
Dalam literatur berbahasa Indonesia fiqih itu biasa disebut Hukum Islam yang secara definitif
diartikan dengan : “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Ilahi dan penjelasannya dalam
sunnah Nabi tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk
semua yang beragama Islam”.
Dengan pengertian ini fiqih itu mengikat untuk semua ummat Islam dalam arti merupakan
kewajiban umat Islam untuk mengamalkannya. Mengamalkannya merupakan suatu perbuatan
ibadah dan melanggarnya merupakan pelanggaran terhadap pedoman yang telah ditetapkan oleh
Allah.[2]
1. Munakahat
Kata “munakahat” term yang terdapat dalam bahasa Arab yang berasal dari akar kata na-ka-ha,
yang dalam bahasa Indonesia kawin atau perkawinan.[3] Kata kawin adalah terjemahan dari kata
nikah dalam bahasa Indonesia. Kata menikahi berarti mengawini, dan menikahkan sama dengan
mengawinkan yang berarti menjadikan bersuami. Dengan demikian istilah pernikahan
mempunyai arti yang sama dengan perkawinan.[4] Dalam fiqih Islam perkataan yang sering
dipakai adalah nikah atau zawaj. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti
kawin, seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 3:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: Dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja”
Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Qur’an dalam arti kawin, seperti pada
surat al-Ahzab ayat 37:
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami
kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini)
isteri-isteri anak-anak angkat mereka”
Pengertian nikah atau zawaj secara bahasa syari’iah mempunyai pengertian secara hakiki dan
pengertian secara majazi. Pengertian nikah atau ziwaj secara hakiki adalah bersenggama (wathi’)
sedang pengertian majazinya adalah akad. Kedua pengertian tersebut diperselisihkan oleh
kalangan ulama’ fiqih karena hal tersebut berimplikasi pada penetapan hukum peristiwa yang
lain, misalnya tentang anak hasil perzinaan. Namun pengertian yang lebih umum dipergunakan
adalah pengertian bahasa secara majazi, yaitu akad.
َ ص ِر َوأ َ ْح
ص ُن َ َض ِل ْلب َ ُع ِم ْن ُك ُم ا ْلبَا َءةَ فَ ْليَت َ َز َّوجْ فَ ِإنَّه
ُّ غ َ ست َ َطا
ْ ب َم ِن ا
ِ شبَا
َّ يَا َم ْعش ََر ال
ص ْو ِم فَ ِإنَّهُ لَهُ ِو َجا ٌء
َّ ست َ ِط ْع فَ َعلَ ْي ِه ِبال
ْ )رواه البخارى و مسلم( ِل ْلفَ ْرجِ َو َم ْن لَ ْم َي
Artinya :”Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka nikahlah.
Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara faraj (kelamin) dan barang siapa
tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat”. (HR.
Bukhori Muslim).
Sebelum pernikahan berlangsung dalam agama Islam tidak mengenal istilah pacaran akan
tetapi dikenal dengan nama “khitbah”. Khitbah atau peminangan adalah penyampaian maksud
atau permintaan dari seorang pria terhadap seorang wanita untuk dijadikan istrinya baik secara
langsung oleh si peminang atau oleh orang lain yang mewakilinya. Yang diperbolehkan selama
khitbah, seorang pria hanya boleh melihat muka dan telapak tangan. Wanita yang dipinang
berhak menerima pinangan itu dan berhak pula menolaknya. Apabila pinangan diterima, berarti
antara yang dipinang dengan yang meminang telah terjadi ikatan janji untuk melakukan
pernikahan. Semenjak diterimanya pinangan sampai dengan berlangsungnya pernikahan disebut
dengan masa pertunangan. Pada masa pertungan ini biasanya seorang peminang atau calon suami
memberikan suatu barang kepada yang dipinang (calon istri) sebagai tanda ikatan cinta yang
dalam adat istilah Jawa disebut dengan peningset.
Hal yang perlu disadari oleh pihak-pihak yang bertunangan adalah selama masa
pertunangan, mereka tidak boleh bergaul sebagaimana suami istri karena mereka belum syah dan
belum terikat oleh tali pernikahan. Larangan-larang agama yang berlaku dalam hubungan pria
dan wanita yang bukan muhrim berlaku pula bagi mereka yang berada dalam masa pertunangan.
Adapun wanita-wanita yang haram dipinang dibagi menjadi 2 kelolmpok yaitu :
1. Yang haram dipinang dengan cara sindiran dan terus terang adalah wanita yang termasuk
muhrim, wanita yang masih bersuami, wanita yang berada dalam masa iddah talak roj’i dan
wanita yang sudah bertunangan.
2. Yang haram dipinang dengan cara terus terang, tetapi dengan cara sindiran adalah wanita yang
berada dalam iddah wafat dan wanita yang dalam iddah talak bain (talak tiga).
2.2 Hukum Munakahat
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan
dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian ditinjau dari segi kondisi orang yang akan
melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi wajib, sunat, makruh dan
haram. Adapun penjelasannya adalah sebagi berikut:
1. Jaiz, artinya dibolehkan dan inilah yang menjadi dasar hukum nikah.
2. Wajib, yaitu orang yang telah mampu/sanggup menikah sedangkan bila tidak menikah khawatir
akan terjerumus ke dalam perzinaan.
3. Sunat, yaitu orang yang sudah mampu menikah namun masih sanggup mengendalikan dirinya
dari godaan yang menjurus kepada perzinaan.
4. Makruh, yaitu orang yang akan melakukan pernikahan dan telah memiliki keinginan atau hasrat
tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberikan nafkah tanggungan-nya.
5. Haram, yaitu orang yang akan melakukan perkawinan tetapi ia mempunyai niat yang buruk,
seperti niat menyakiti perempuan atau niat buruk lainnya.
قَ ِب ْلتُ ِن َك َح َها َوت َ ْز ِو َج َها ِلنَ ْفسِى ِبا ْل َم ْه ِر ا ْل َم ْذك ُْو ِر
Perempuan yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya tidak syah. Rasulullah saw,
bersabda : Artinya :”Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya maka pernikahan
itu batal (tidak syah)”. (HR. Empat Ahli Hadits kecuali Nasai).
d. Wali mempelai perempuan, artinya orang yang berhak menikahkan dengan syarat:
a) Laki-laki,
b) Beragama islam,
c) Balig,
d) Berakal sehat,
e) Merdeka,
f) Adil,
g) Tidak sedang ihram, haji, dan umrah.
Saksi harus benar-benar adil. Rasulullah saw., bersabda َ لَنِكَا َح إِلَّ بِ َو ِل ٍِّي َوشَا ِهدَى
ع ْد ٍل
( )روه احمد
Artinya:”Tidak syah nikah seseorang melainkan dengan wali dan 2 orang saksi yang adil”.
(HR. Ahmad)
Setelah selesai aqad nikah biasanya diadakan walimah, yaitu pesta pernikahan. Hukum
mengadakan walimah adalah sunat muakkad. Rasulullah SAW bersabda :”Orang yang sengaja
tidak mengabulkan undangan berarti durhaka kepada Allah dan RasulNya’. (HR. Bukhori).
2.5 Muhrim
Menurut pengertian bahasa muhrim berarti yang diharamkan. Menurut Istilah dalam
ilmu fiqh muhrim adalah wanita yang haram dinikahi. Penyebab wanita yang haram dinikahi ada
4 macam:
1. Wanita yang haram dinikahi karena keturunan
a) Ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek dari ibu dan nenek dari ayah).
b) Anak perempuan kandung dan seterusnya ke bawah (cucu dan seterusnya).
c) Saudara perempuan sekandung (sekandung, sebapak atau seibu).
d) Saudara perempuan dari bapak.
e) Saudara perempuan dari ibu.
f) Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.
g) Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.
ُ َأ َ ْبغ
َّ ض ا ْل َحالَ ِل ِع ْن َد هللاِ ال
طالَق
()رواه ابوداود
Artinya :”Perbuatan halal tetapi paling dibenci oleh Allah adalah talak”. (HR. Abu Daud)
2.7.2 Rukun Talak
a) Yang menjatuhkan talak(suami), syaratnya: baligh, berakal dan kehendak sendiri.
b) Yang dijatuhi talak adalah istrinya.
c) Ucapan talak, baik dengan cara sharih (tegas) maupun dengan carakinayah (sindiran).
Cara sharih, misalnya “saya talak engkau!” atau “saya cerai engkau!”. Ucapan talak dengan cara
sharih tidak memerlukan niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara sharih, maka
jatuhlah talaknya walupun tidak berniat mentalaknya.
Cara kinayah, misalnya “Pulanglah engkau pada orang tuamu!”, atau “Kawinlah engkau dengan
orang lain, saya sudah tidak butuh lagi kepadamu!”, Ucapan talak cara kinayah memerlukan niat.
Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara kinayah, padahal sebenarnya tidak berniat
mentalaknya, maka talaknya tidak jatuh.
2.7.6 Hadhonah.
Hadhonah artinya mengasuh dan mendidik anak yang masih kecil. Jika suami/istri
bercerai maka yang berhak mengasuh anaknya adalah:
a) Ketika masih kecil adalah ibunya dan biaya tanggungan ayahnya.
b) Jika si ibu telah menikah lagi maka hak mengasuh anak adalah ayahnya.
2.8 Iddah
Secara bahasa iddah berarti ketentuan. Menurut istilah iddah ialah masa menunggu bagi
seorang wanita yang sudah dicerai suaminya sebelum ia menikah dengan laki-laki lain. Masa
iddah dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada bekas suaminya apakah dia akan rujuk
atau tidak.
1. Lamanya Masa Iddah.
a. Wanita yang sedang hamil masa idahnya sampai melahirkan anaknya. (Lihat QS. At-Talak :4)
b. Wanita yang tidak hamil, sedang ia ditinggal mati suaminya maka masa idahnya 4 bulan 10
hari. (lihat QS. Al-Baqoroh ayat 234)
c. Wanita yang dicerai suaminya sedang ia dalam keadaan haid maka masa idahnya 3 kali quru’
(tiga kali suci). (lihat QS. Al-Baqoroh : 228)
d. Wanita yang tidak haid atau belum haid masa idahnya selama tiga bulan. (Lihat QS, At-Talaq
:4)
e. Wanita yang dicerai sebelum dicampuri suaminya maka baginya tidak ada masa iddah.
(Lihat QS. Al-Ahzab : 49)
2 Hak Perempuan Dalam Masa Iddah.
a. Perempuan yang taat dalam iddah raj’iyyah (dapat rujuk) berhak mendapat dari suami yang
mentalaknya: tempat tinggal, pakaian, uang belanja. Sedang wanita yang durhaka tidak berhak
menerima apa-apa.
b. Wanita dalam iddah bain (iddah talak 3 atau khuluk) hanya berhak atas tempat tinggal saja.
(Lihat QS. At-Talaq : 6)
c. Wanita dalam iddah wafat tidak mempunyai hak apapun, tetapi mereka dan anaknya berhak
mendapat harta warits suaminya.
2.9 Rujuk.
Rujuk artinya kembali. Maksudnya ialah kembalinya suami istri pada ikatan perkawinan
setelah terjadi talak raj’i dan masih dalam masa iddah. Dasar hukum rujuk adalah QS. Al-
Baqoroh: 229, yang artinya sebagai berikut: ”Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki rujuk”.
1. Hukum Rujuk.
a) Mubah, adalah asal hukum rujuk.
b) Haram, apabila si istri dirugikan serta lebih menderita dibanding sebelum rujuk.
c) Makruh, bila diketahui meneruskan perceraian lebih bermanfaat.
d) Sunat, bila diketahui rujuk lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian.
e) Wajib, khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu.
2. Rukun Rujuk.
a) Istri, syaratnya : pernah digauli, talaknya talak raj’i dan masih dalam masa iddah.
b) Suami, syaratnya : Islam, berakal sehat dan tidak terpaksa.
c) Sighat (lafal rujuk).
d) Saksi, yaitu 2 orang laki-laki yang adil.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa munakahat merupakan salah satu
wujud dari ibadah kepada Allah SWT, Di dalam islam tidak ada istilah pacaran, saat saling
mengenal dikenal dengan istilah khitbah nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-
laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang
dilakukan menurut hukum syariat Islam. Menikah wajib bagi seseorang yang sudah siap baik
mental maupun fisik. Untuk melepaskan pernikahan dilakukan dengan talak, di dalam islam talak
diperbolehkan, tetapi sangat di benci oleh Allah, jika sudah talak masih ada jalan yang digunakan
untuk kembali, yaitu dengan rujuk.
3.2 Saran
Sebagai salah satu umat islam sebaiknya setelah siap mental maupun fisiknya,
disegerakan menikah selain untuk menghindari zina, juga dapat menjadi suatu ibadah jika
dilakukan untuk mencadi ridho Allah SWT dan memenuhi kewajiban sebagai umat islam.
Pengertian Fiqh Muamalah
1. Fiqh
Menurut etimologi (bahasa) fiqh adalah paham, menurut terminology, fiqh pada mulanya berarti
pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama baik berupa akidah, akhlak,
maupun amaliah (ibadah)1[2]. Fiqh juga diartikan sebagai bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu
pengetahuan tentang hukum syariah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang
telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.
2. Muamalah
Menurut bahasa (lughatan), kata muamalah adalah bentuk masdar dari ‘amala yan artinya saling
bertindak, saling berbuat, dan saling beramal. Secara istilah (syar’an), muamalah merupakan
system kehidupan.2[3] Islam memberikan warna pada setiap dimensi kehidupan manusia, tak
terkecuali pada dua ekonomi, bisnis, dan masalah social. Sistem Islam ini mencoba
mendialektikan nilai-nilai ekonomi dengan nilai-nilai kaidah atau etika. Konsep dasar Islam
dalam kegiatan muamalah atau ekonomi dan bisnis juga sangat censeren dengan nilai-nilai
humanism yang bersifat Islami. Diantaranya adala kaidah-kaidah dasar fikih muamalah yang
diungkapkan oleh Jawaini yaitu sabagai berikut :
a. Hukum asal muamalah adalh diperbolehkan.
b. Konsep fiqh muamalah untuk mewujudkan kemasalahatan.
c. Menetapkan harga yang kompetitif.
d. Meninggalkan intervensi yang terlarang.
e. Menghindari eksploitasi.
f. Member kelenturan dan toleransi.
3. Fiqh Muamalah
Pengertian Fiqh Muamalah dalam Arti Luas
Diantara definisi fiqh muamalah yang dikemukakan oleh parulama ialah sebagai berikut :
a. Menurut Zuhaily, pembahasan fiqh muamalah sangat luas, mulai dari hukum pernikahan,
transaksi jual beli, hukum pidana, hukum perdata, hukum perundang- undangan, hukum
kenegaraan, ekonomi, keuangan, hingga akhlak dan etika.
b. Ad-Dimyati mendefinisikan fikih muamalah sebagai aktivitas untuk menghasilkan duniawi yang
menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa fiqh muamlah adalah aturan-aturan (hukum) Allah
swt .yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan atau urusan
yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan.
Pengertian Fiqh Muamalh dalam Arti Sempit
Beberapa definisi fiqh muamalah menurut ulama dan pakar, antara lain:
a. Menurut Suhendi (2008: 2), muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling
menukar manfaat.
b. Menurut Ahmad (1986: 1), muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia lainnya dalm usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya
dengan cara yang paling baik.
c. Menurut Rasyid Ridha (2000: 2), muamalah adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang
bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.
Dapat disimpulkan bahwa fiqh muamalah dalam arti sempit terkonsentrasi pada sikap patuh pada
aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan berkaitan dengan interaksi dan perilaku manusia
lainnya dalam upaya memperoleh, mengatur, mengelola, dan mengembangkan harta benda (al-
mal).
Apabila kita lihat sistematika pembahasan Hukum Perdata yang terdiri dari : Huku, orang pribadi
dan Hukum keluarga, Hukum benda, dan Hukum waris, Hukum perikatan, bukti dan daluwarsa,
maka materi-materi tersebut dalm hukum islam, terdapat dalam al ahwal al syakhsiyah,
muamalah dan qadla. Oleh karena itu tidak tepat mempersamakan bidang fiqh muamalah dengan
hukum perdata. Bahkan ada sebagian materi hukum perdata oleh para ulama dibahas dalam kitab
Ushul Fiqh, seperti subjek hukum atau orang mukallaf. Sistematika hukum perdata seperti juga
halnya sistematika fiqh, bukanlah suatu hal yang mutlak yang tidak bisa dirubah lagi. Sebab
sistematika itu dibuat oleh para ahli sesuai dengan perkembangan ilmu itu sendiri.