Anda di halaman 1dari 6

Kloning dari Sudut Pandang Teleologi dan Deontologi

Shera Lolongan 102015057


Kelas D
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara 16 Jakarta Barat

Pendahuluan

Seiring perkembangan zaman teknologi semakin canggih dan terus berkembang pesat
terutama di dunia atau bidang bioteknologi. Salah satu penemuan yang menghebohkan dunia
yaitu teknologi kloning. Kloning adalah proses menghasilkan individu-individu dari jenis yang
sama yang identik secara genetik. Kegunaan teknologi kloning ini salah satunya yaitu kloning
hewan dan manusia. Kloning dilakukan untuk tujuan-tujuan dan manfaat tertentu. Tetapi
teknologi kloning ini tidak langsung diterima oleh seluruh masyarakat karena masih
bertentangan dengan hukum maupun agama. Makalah ini akan membahas tentang pandangan
etika terhadap penerapan teknologi kloning ini. Makalah ini juga akan membahas tentang etika
teologi dan deontologi serta kloning menurut pandangan teleologi maupun deontologi.

Kloning
Kata Klon berasal dari kata klόόn yaitu bahasa yunani yang berarti tunas. Kloning
adalah tindakan menggandakan atau mendapatkan keturunan hidup tanpa fertilisasi, berasal
dari induk yang sama, mempunyai susunan jumlah dan gen yang sama dan kemungkinan besar
mempunyai fenotib yang sama. Kloning manusia adalah teknik membuat keturunan dengan
kode genetik yang sama dengan induknya yang berupa manusia.

Terdapat tiga jenis kloning yaitu kloning DNA rekombinan, kloning reproduktif dan
kloning terapeutik. Kloning DNA rekombinan adalah pemindahan sebagian rantai DNA yang
diinginkan dari suatu organisme pada satu element replikasi genetik, contohnya penyisipan
DNA dalam plasmid bakteri untuk mengklon satu gen. Kloning reproduktif adalah kloning
yang digunakan untuk menghasilkan hewan yang sama, contohnya Dolly dengan suatu proses
yang disebut SCNT (Somatic Cell Nuclear Transfer). Dan yang terakhir adalah kloning
terapeutik yang adalah kloning untuk memproduksi embrio manusia sebagai bahan penelitian.
Tujuan utama dari proses ini bukan untuk menciptakan manusia baru, tetapi untuk
mendapatkan sel batang yang dapat digunakan untuk mempelajari perkembangan manusia dan
penyembuhan penyakit.

Kloning manusia adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama
dengan induknya yang berupa manusia. Proses kloning manusia dapat digambarkan seperti
ditunjukkan dan dijelaskan secara sederhana sebagai berikut, mempersiapkan sel stem yaitu
suatu sel awal yang akan tumbuh menjadi berbagai sel tubuh. Sel ini diambil dari manusia yang
hendak dikloning. Sel stem diambil inti sel yang mengandung informasi genetic kemudian
dipisahkan dari sel. Mempersiapkan sel telur yaitu suatu sel yang diambil dari sukarelawan
perempuan kemudian intinya dipisahkan. Inti sel dari sel stem diimplantasikan ke sel telur. Sel
telur dipicu supaya terjadi pembelahan dan pertumbuhan. Setelah membelah (hari kedua)
menjadi sel embrio. Sel embrio yang terus membelah (disebut blastosis) mulai memisahkan
diri (hari ke lima) dan siap diimplantasikan ke dalam rahim. Embrio tumbuh dalam rahim
menjadi bayi dengan kode genetik persis sama dengan sel stem donor.

Kloning Menurut Pandangan Etika Teleologi

Etika teleologi adalah etika yang mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan
tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh
tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik kalau bertujuan mencapai sesuatu yang baik, atau
kalau akibat yang ditimbulkan baik dan berguna. Etika ini bersifat situasional karena tujuan
dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusu tertentu. Etika teleologi
memusatkan perhatian pada manfaat dari suatu tindakan. Berbagai teori teleologi berbeda-beda
dalam hal kepada siapa manfaat itu harus ditujukan.

Etika teleologi digolongkan menjadi 4 yaitu hedonisme, eudemonisme, utilitarisme dan


etika situasi. Hedonisme hedonisme sudah ditemukan pada Aristippos dari Kyrene (sekitar
435–355 SM), seorang murid Sokrates. Menurut Aristippos, yang sungguh baik bagi manusia
adalah ‘kesenangan’. Hal ini terbukti karena sejak masa kecilnya manusia merasa tertarik
akan kesenangan dan bila telah tercapai ia tidak mencari sesuatu yang lain lagi. Sebaliknya ia
selalu menjauhkan diri dari ketidaksenangan. Hedonisme memiliki ciri-ciri yaitu sesuatu
dikatakan baik apabila memuaskan keinginan kita, apabila meningkatkan kuantitas kesenangan
atau kenikmatan dalam diri kita.
Eudemonisme adalah etika yang memusatkan tujuannya pada kebahagiaan yang hakiki,
Kebahagiaan merupakan tujuan terakhir manusia, karena apabila manusia sudah bahagia
manusia tidak memerlukan apa-apa lagi. Di lain pihak, kalau orang sudah bahagia maka tidak
masuk akal masih mencari sesuatu yang lain lagi. Menurut Aristoteles, apa pun yang bergerak
dan apa pun yang dilakukan manusia mesti demi sesuatu yang baik, demi suatu nilai. Nilai
itulah tujuannya. Namun ada dua macam tujuan. Ada yang dicari demi suatu tujuan lebih jauh
dan ada yang dicari demi dirinya sendiri. Yang dicari demi suatu tujuan lain hanya merupakan
sarana, sedangkan apa yang dicari demi dirinya sendiri adalah eudaimonia, kebahagiaan.

Utilitarisme diperhalus dan diperkokoh lagi oleh John Stuart Mill (1806-1873),
dalam bukunya Utilitarianism (1864). Dari pendapatnya dapat disebutkan dua hal. Pertama,
ia mengkritik pandangan Bentham bahwa kesenangan dan kebahagiaan harus diukur
secara kuantitatif. Ia berpendapat bahwa kualitasnya juga perlu dipertimbangkan juga karena
ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah. Kesenangan manusia
harus dinilai lebih tinggi dari kesenangan hewan, dan kesenagan orang bijak seperti Sokrates
lebih bermutu dari pada kesenangan orang tolol. Tetapi kualitas kebahagiaan dapat diukur
secara empiris, yaitu kita harus berpedoman pada orang yang bijaksana dan berpengalaman
dalam hal ini. Orang seperti itu dapat memberi kepastian tentang mutu kesenangan. Pikiran
Mill yang kedua adalah bahwa kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan
semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian bukan kebahagiaan satu orang saja yang
barangkali bertindak sebagai pelaku utama. Raja dan seorang bawahan dalam hal ini harus
diperlakukan sama. Kebahagiaan satuorang tidak pernah boleh dianggap lebih penting dari
pada kebahagiaan orang lain. ulititarisme adalah etika yang berpusat pada kebahagiaan
orang banyak seperti yang dikatakan Mill, “Everybody to count for one nobody to count for
more than one”, dengan demikian suatu perbuatan dinilai baik jika kebahagiaan melebihi
ketidakbahagiaan, dimana kebahagiaan semua orang yang terlibat dihitung dengan cara yang
sama.

Etika situasi adalah Etika situasi adalah sebuah pendekatan dan teori dalam etika yang
timbul sesudah perang dunia dua dan sangat dipengaruhi oleh filsafat eksistensialisme dan
personalisme. Eksistensialisme sangat menekankan keunikan dan tanggung jawab tiap-tiap
orang bahwa tiap-tiap orang itu khas dan tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka-
kerangka, skema-skema, dan norma-norma umum, melainkan harus menentukan diri sendiri
berdasarkan penghayatannya yang otentik. Personalisme menekankan bahwa manusia adalah
person bukan sekedar nomor dalam kumpulan, melainkan bernilai pada dirinya sendiri,
mahkluk yang berakal budi dan berkehendak sendiri, yang memiliki kebebasan untuk
menentukan dirinya sendiri, dan suaru hati sebagai kesadaran mandiri akan apa yang
merupakan kewajiban dan tanggung jawabnya.

Dalam pandangan etika teleologi terhadap penerapan kloning dapat dinilai dari situasi,
akibat dan tujuannya. Dalam hedonisme menurut Epikuros kesenangan ada 3 macam keinginan
yaitu keinginan alamiah yang perlu, keinginan alamiah yang tidak perlu dan keinginan yang
sia-sia. Jika ditinjau kloning merupakan keinginan alamiah yang tidak perlu. Untuk
menciptakan manusia masih bisa dengan acara alami tidak perlu dengan teknologi kloning.
Dari segi pandang eudamonisme bahagia yang ditimbulkan oleh kloning ini adalah
kebahagiaan dari sang penemu yang telah berhasil dengan penemuannya yaitu bahagia dengan
aktualisasi diri. Utilitarisme, kloning tidak menimbulkan kabahagiaan bagi banyak orang
karena banyak yang tidak setuju dengan penerapan teknologi kloning tersebut. Sedangkan
untuk etika situasi, kloning tergantung pada situasi pada dari masing-masing pribadi yang ingin
melakukannya. Tergantung pada motif dari penerapan kloning itu senidiri.

Kloning Menurut Pandangan Etika Deontologi

Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban. Karena itu,
etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut etiks
deontologi, suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan beradasarkan akibat atau
tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada
dirinya sendiri. Dengan kata lain, tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan
berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari
tujuan itu. Etika deontologi memusatkan perhatian pada kemaslahatan individu dan
menekankan pada cara serta maksud dalam menjustifikasi suatu tindakan. Bagi Kant, inti dari
moralitas adalah menyangkut baik dan buruk tetapi bukan sekedar baik dan buruk
melainkan apa yang baik bagi dirinya sendiri, yang baik tanpa pembatasan sama sekali.
Yang baik tanpa pembatasan sama sekali hanyalah kehendak baik. Kehendakbaik adalah
kehendak yang mau melakukan kewajiban karena ia mau memenuhi apa yang menjadi
kewajibannya. Itulah yang oleh Kant disebut moralitas. Untuk mengukur moralitas seseorang,
kita tidak boleh melihat pada hasil perbuatan karena perbuatan baik tidak menentukan
adanya kehendak baik. Yang membuat perbuatan manusia menjadi baik dalam arti moral
bukanlah hasilnya, bukan juga hasil yang dimaksud atau yang mau dicapai oleh si pelaku,
melainkan apakah kehendak pelaku ditentukan semata-mata oleh kenyataan bahwa perbuatan
itu merupakan kewajiban.

Menurut kajian etika deontologi kloning tidak dibenarkan karena kloning tidak diterima
di masyarakat, agama dan dikecam oleh beberapa pihak. Kloning tidak dianggap benar karena
prnciptaan manusia melalui kloning tidak sesuai dengan ajaran agama yang seharusnya anak
dialahirkan langsung dari manusia dengan proses yang sudah ada. Tindakan kloning tidak
sesuai dengan norma universal dan tidak sejalan dengan etika deontologi.

Kesimpulan

Kloning adalah salah satu dari dampak kemajuan teknologi. Kloning dapat
menghasilkan manusia tanpa proses biologis yang normal atau sebagaimana mestinya.
Menurut kajian etis kloning kloning tidak dibenarkan baik dari segi pandang teleologi maupun
segi pandang deontologi. Dalam etika teleologi ada 4 jenis etika yaitu hedonisme,
eudominisme, utilitarisme dan etika situasi. Menurut etika teleologi kloning tidak dibenarkan
karena walapun dapat menimbulkan kebahagiaan dari penemunya dan dapat membantu bagi
sebagian orang karena kloning merupakan keinginan ilmiah yang tidak perlu dan tidak
menimbulkan kebahagian bagi banyak orang tetapi hanya untuk sebagian kecil saja. Menurut
etika deontologi pun kloning tidak dibenarkan juga karena bertentangan dengan norma
universal karena tidak sesuai dengan ajaran agama dan hukum. Jadi pada umumnya kloning
tidak dibenarkan maupun disetujui.
Daftar Pustaka

1. Churchill GA. Dasar-dasar riset pemasaran. 4th ed. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2001.
2. Keraf AS. Etika bisnis bisnis tuntutan dan relevansinya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius;
1998.
3. Suseno FM. 13 tokoh etika, sejak zaman Yunani sampai abad ke-19. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius; 1997.
4. Suseno FM. Etika dasar: masalah-masalah pokok filsafat moral. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius; 2001.
5. Bertens K. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2007.

Anda mungkin juga menyukai