Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manggis merupakan salah satu buah yang digemari oleh masyarakat


Indonesia. Tanaman manggis berasal dari hutan tropis yang teduh di kawasan
Asia Tenggara, yaitu hutan belantara Indonesia atau Malaysia. Dari Asia
Tenggara tanaman ini menyebar ke daerah Amerika Tengah dan daerah tropis
lainnya seperti Filipina, Papua Nugini, Kamboja, Thailand, Srilanka,
Madagaskar, Honduran, Brazil, dan Australia Utara. Pada tahun 1999,
volume ekspor 4.743.493 kg dengan nilai ekspor mencapai 3.887.816 US$
dan tahun 2000 volume ekspor mencapai 7.182.493 kg dengan nilai ekspor
5.885.038 US$. Pada tahun 2011, produksi manggis mencapai 136.080 ton
dan sebanyak 12.603 ton saja yang diekspor ke berbagai negara dalam bentuk
buah segar dengan total nilai U$ 9.985.684.

Kulit buah manggis merupakan salah satu bahan alami yang dapat
dimanfaatkan sebagai pangan fungsional karena memiliki beragam khasiat.
Kulit dari buah manggis ini sangat baik dikonsumsi untuk mencegah penuaan
dini. Kandungan antioksidannya lebih besar daripada yang terkandung dalam
jeruk maupun pada daging buahnya sendiri. Zat aktif xanthone merangsang
regenerasi sel rusak secara cepat sehingga membuat awet muda dan berperan
menangkal radikal bebas. Khasiat xanthone bukan hanya antioksidan, tetapi
sebagai antikanker. Ekstrak kulit buah manggis bersifat antiproliferasi untuk
menghambat pertumbuhan sel kanker. Ekstrak itu juga bersifat apoptosis
penghancur sel kanker. Xanthone dalam kulit buah manggis juga ampuh
mengatasi penyakit tuberculosis (TBC), asma, leukemia, antiinflamasi dan
antidiare.

Vasiasi pengolahan kulit buah manggis pada masyarakat Indonesia


masih rendah. Buah ini dapat disajikan dalam bentuk segar, sebagai buah
kaleng, serta dibuat sirup/sari buah. Secara tradisional buah manggis dapat

1
digunakan sebagai obat luka, sariawan, dan wasir. Kulit buahnya
dimanfaatkan sebagai pewarna termasuk untuk tekstil dan air rebusannya
sebagai obat tradisional. Kulit manggis yang memiliki banyak potensi
mendorong perlunya penelitian pemanfaatan kulit buah manggis agar lebih
optimal dalam penyembuhan suatu penyakit.

Manggis merupakan salah satu buah eksotik daerah tropis. Tanaman


manggis berasal dari hutan Indonesia dan Malaysia, lalu menyebar ke
berbagai belahan dunia seperti Amerika Tengah, Sri Lanka, Malagasi,
Karibia, Hawaii, dan Australia Utara. Buah manggis mendapat julukan
“ratunya buah tropis” (queen of tropical fruits) karena memiliki rasa yang
khas menyegarkan dan penampilannya menarik. Kandungan yang terdapat
dalam daging buah manggis antara lain gula sakarosa, dekstrosa, dan
levulosa.

Dalam takaran tiap 100 gram sajian buah manggis terdiri dari 79,2
gram air, 0,5 gram protein, 19,8 gram karbohidrat, 0,3 gram serat, 11 mg
kalsium, 17 mg fosfor, 0,9 mg besi, 14 IU vitamin A, 66 mg vitamin C, 0,09
mg vitamin B1 (Thiamin), 0,06 mg vitamin B2 (riboflavin), dan 0,1 mg
vitamin B5 (niasin). Di balik keeksotikannya, manggis menyimpan berbagai
manfaat yang luar biasa bagi kesehatan atau biasa disebut sebagai pangan
fungsional (functional food). Di beberapa negara, sudah sejak lama manggis
dijadikan sebagai obat dan bahan terapi, terutama bagian kulitnya.

Pada masyarakat tradisional, daging buah biasa di gunakan untuk


radang amandel, sariawan, disentri, wasir, luka atau borok karena
kemampuan antiinflamasi atau anti peradangan. Kulit buah manggis (kulit
buah manggis) dikategorikan sebagai limbah. kulit buah manggis
mengandung air 62,05%, abu 1,01%, lemak 0,63%, protein 0,71%, total gula
1,17%, dan karbohidrat 35,61%. Berbagai hasil penelitian menunjukkan kulit
buah manggis kaya akan antioksidan, terutama antosianin, xanthone, tanin,
dan asam fenolat. Radikal bebas (atom atau kelompok atom yang dalam
keadaan bebas alias tidak terikat dengan gugus lain) dapat menangkap

2
molekul hydrogen, asam lemak, logam berat yang pada akhirnya memicu
beragamnya penyakit degeneratif

1.2 Tujuan Pratikum


1. Mampu melakakukan proses ekstraksi dengan metoda perkolasi
2. Mampu melakukan fraksinasi dan separasi untuk dapat mengisolasi
senyawa flavonoid dari kulit buah manggis (garcinia mangostana)
3. Mampu melakukan identifikasi dan karakterisasi senyawa hasil isolasi
dari garcinia mangostana

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Garcinia mangostana L.

2.1 Tinjauan Botani

2.1.1. Klasifikasi

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)


Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Dilleniidae
Ordo : Theales
Famili : Clusiaceae
Genus : Garcinia
Spesies : Garcinia mangostana L. (Backer,1963)

2.1.2. Karakterisasi/ morfologi

 Pohon
Pohon mencapai tinggi 10-25 meter. Diameter batang 25-35 cm dan kulit
batang biasanya berwarna coklat gelap atau hampir hitam, kasar dan

4
cenderung mengelupas. Getah manggis berwarna kuning dan terdapat
pada semua jaringan utama tanaman (Shabella, 2011).
 Batang
Manggis merupakan pohon dengan tinggi 6-20 m. Batang tegak, batang
pokok jelas, kulit batang berwarna cokelat, dan memiliki getah berwarna
kuning.
 Daun
Daun manggis merupakan daun tunggal, lonjong, ujung runcing, pangkal
tumpul, tepi rata, pertulangan menyirip, panjang 20-25 cm, lebar 6-9 cm,
tebal, tngkai silindris, hijau (Hutapea, 1994).
 Buah
Buah manggis berbentuk bulat atau agak pipih dengan diameter 3,5-8 cm.
Berat buah bervariasi sekitar 75-150 gram, tergantung pada umur pohon
dan daerah geografisnya. Tebal kulit buah berkisar antara 0,8-1 cm,
berwarna keunguan dan biasanya mengandung cairan kuning yang rasanya
pahit (Shabella, 2011).
Bentuk buah bulat dengan diameter 4-7 cm dan panjang 4-8 cm. Buah
yang telah matang kulitnya akan berwarna ungu. Bila dibelah kulit sebelah
dalam akan berwarna merah lembayung. Daging buah manggis
diperkirakan 1/3 dari total bobot buah. Tiap buah terdiri dari 4-8 segmen
aril dengan 1-2 segmen yang lebih besar karena mengandung biji
apomiksis (Nakasone dan Paul., 1999).
Buah berbentuk agak gepeng bulat, garis tengah 3,5-7 cm, berwarna ungu
tua, dengan kepala putik duduk (tetap), serta kelopak tetap, dinding buah
tebal, berdaging, dan warna ungu dengan getah kuning. Biji 1-3 yang
diselimuti oleh selaput biji yang tebal dan berair, berwarna putih, serta
dapat dimakan (termasuk biji yang gagal tumbuh sempuran).
(Steenis,1947).
 Biji
Berat biji bervariasi antara 0,1-2,2 gram (Shabella, 2011).
 Bunga

5
Bunga manggis tunggal, berkelamin dua, di ketiek daun, tangkai silindris,
panjang 1-2 cm, benang sari kuning, putiksatu putih, kuning. Akarnya
tunggang, putih kecoklatan (Hutapea, 1994). Letak bunga tanaman
manggis adalah terminal. Mahkota (petal) bunga berwarna hijau dan
mempunyai stigma 4-8 (Nakasone dan Paul, 1999).
 Habitat
Habitat : banyak tumbuh secara alami pada hutan tropis di kawasan Asia
Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Myanmar, Vietnam dan
Kamboja (Hartanto, 2011). Tumbuhan manggis tersebar luas di Indonesia,
baik di habitat alami maupun yang dibudidayakan, tumbuhan ini dapat
ditemukan sampai ketinggian 600 meter di atas permukaan laut dengan
suhu rata-rata 20-30°C (Mardiana, 2011).

2.1.3 Nama daerah, nama ilmiah, dan nama luar negeri


Nama daerah :
 Manggu (Jawa Barat),
 Manggus (Lampung),
 Manggusto (Sulawesi Utara),
 Manggista (Sumatera Barat),
 Manggoita (Aceh),
 Manggustan (Maluku).

Nama ilmiah :
 Manggis : Garcinia mangostana L.

Nama luar negeri :


 Inggris: Mangosteen
 Melayu: Manggis
 Vietnam: Mang Cut
 Thailand: Mangkhut
 Philipina: Manggis
 Kamboja: Mongkhut
 Spanyol: Mangostan

6
 Perancis: Mangostanien

Komponen terbesar dari buah manggis adalah air, yaitu 83%. Komponen
protein dan lemak yang dikandung sangat kecil. Buah manggis tidak mengandung
vitamin A, tetapi mengandung vitamin B1 dan vitamin C.

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Buah Manggis per 100 gram

Kandungan Jumlah
Kalori 63,00 Kkal
karbohidrat 15,60 g
Lemak 0,60 g
Protein 0,60 g
Kalsium 8,00 mg
Vitamin B1 2,00 mg
Vitamin C1 0,03 mg
Fosfor 12,00 mg
Fe 0,80 mg
Bagian yang dapat dimakan 29,00 %
Sumber: Hasyim dan Iswari, 2012

2.1.4 Kandungan kimia

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan Pradipta dkk. (2007),


diketahui bahwa kulit buah manggis ternyata memiliki kandungan senyawa aktif
yang termasuk golongan xanthone. Kandungan kimia kulit manggis adalah
xanton, mangostin, garsinon, flavonoid ,epikatekin, dan tannin (Heyne, 1997;
Soedibyo, 1998). Xanthone ialah suatu bahan kimia aktif dengan strukturnya yang
terdiri dari 3 cincin dan ini menjadikannya sangat stabil ketika berada dalam
tubuh manusia (Anonim, 2009a). Senyawa xanthone yang telah teridentifikasi
diantaranya adalah 1,3,6-trihidroksi-7-metoksi-2.8-bis(3-metil-2-butenil)-9H-
xanten-9-on dan 1,3,6,7-tetrahidroksi-2,8-bis(3-metil-2-butenil)-9Hxanten-9-on.

7
Keduanya lebih dikenal dengan nama alfamangostin dan gamma-mangostin
(Jinsart, 1992).
Senyawa fenolik adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih gugus
hidroksil yang menempel di cincin aromatic. Alpha-mangostin merupakan contoh
senyawa golongan fenolik yang diisolasi dari buah manggis. Kulit buah manggis
kaya akan pektin, tanin, zat warna hitam, dan zat antibiotik xanthone (Verheij,
1997).
Adanya kandungan tanin menyebabkan rasa dari kulit manggis menjadi
sangat pahit. Tanin secara umum didefinisikan sebagai senyawa polifenol yang
memiliki berat molekul cukup tinggi (lebih dari 1000) dan dapat membentuk
kompleks dengan protein. Senyawa tanin umumnya dapat larut dengan pelarut
dari polar sampai semipolar. (Verheij, 1997).
 Xanthone
Menurut Obolskiy et al. (2009), xanthone merupakan kelas utama
phenol dalam tanaman. Xanthone memiliki kandungan senyawa yang
meliputi mangostin, mangostenol, mangostinon A, mangostenon B,
trapezifolixanthone, tovophyllin B, alpha-mangostin, β-mangostin,
garcinon B, mangostanol, flavonoid epicatechin, dan gartanin. Senyawa
tersebut sangat bermanfaat untuk kesehatan. Dari seluruh senyawa yang
ada, turunan xanthone berupa alpha-mangostin merupakan komponen
yang paling banyak terdapat pada kulit manggis. Selain jumlahnya yang
lebih banyak, alpha-mangostin juga memiliki aktivitas biologi yang
paling baik.

 Alpha-mangostin

8
Alpha-mangostin adalah senyawa utama yang terdapat pada kulit
buah manggis yang memiliki kerangka struktur senyawa golongan
xanthon. Kandungan alpha-mangostin pada kulit buah manggis bersifat
sebagai antibakteri. Penjelasan selanjutnya tentang antibakteri dibahas
dalam bagian manfaat. Selain itu, alpha-mangostin memiliki tingkat
toksisitas yang sangat rendah. Studi sebelumnya juga telah menemukan
bahwa alpha-mangostin memiliki sifat insektisida terhadap dipteran,
coleopteran, dan hama hemipteran (Larson et al., 2010). Alfa-mangostin
memiliki aktivitas antioksidan dan penangkal radikal bebas. Berkaitan
dengan fakta tersebut, alfa-mangostin mampu menghambat proses oksidasi
lipoprotein densitas rendah (LDL) yang sangat berperan dalam
aterosklerosis (Nugroho.,2011)

2.1.5. Manfaat
Studi fitokimia menunjukkan bahwa senyawa antioksidan dalam Kulit
Buah Manggis, terutama xanthone, antosianin dan kelompok senyawa fenolik
lainnya memiliki sifat fungsional dan manfaat untuk kesehatan seperti
antidiabetes, antikanker, antiinflamasi, meningkatkan kekebalan tubuh,
antibakteri, antifungi, antiplasmodial, dan sebagainya (Permana., 2012).
Khasiat dan manfaat manggis yaitu berkhasiat mengobati diare, radang
amandel, keputihan, disentri, nyeri urat, sembelit, dan mengatasi haid yang tidak
teratur. Di samping itu dapat juga digunakan sebagai peluruh dahak dan obat sakit
gigi (Anonim, 2008). Xanton dilaporkan memiliki aktivitas farmakologi sebagai
antibakteri, antifungi, antiinflamasi, antileukimia, antiagregasi platelet, selain itu
xanton dapat menstimulasi sistem saraf pusat dan memiliki antituberkolosis
secara in vitro pada bakteri Mycobacterium tuberculosis (Bruneton, 1999 ;
Sluis,1985).
 Antioksidan
Moongkarndi et al. (2004) melaporkan bahwa ekstrak kulit buah manggis
berpotensi sebagai antioksidan. Selanjutnya, Weecharangsan et al. (2006)
menindak-lanjuti hasil penelitian tersebut dengan melakukan penelitian
aktivitas antioksidan beberapa ekstrak kulit buah manggis yaitu ekstrak
air, etanol 50 dan 95%, serta etil asetat. Metode yang digunakan adalah

9
penangkapan radikal bebas 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil. Dari hasil
penelitian menunjukkan bahwa semua potensi sebagai penangkal radikal
bebas, dan ekstrak air dan etanol mempunyai potensi lebih besar.
Berkaitan dengan aktivitas antioksidan tersebut, kedua ekstrak tersebut
juga mampu menunjukkan aktivitas neuroprotektif pada sel NG108-15.
Seiring dengan hasil tersebut, Jung et al. (2006) melakukan penelitian
aktivitas antioksidan dari semua senyawa kandungan kulit buah manggis.
Dari hasil skrining aktivitas antioksidan dari senyawa-senyawa tersebut,
yang menunjukkan aktivitas poten adalah : 8 hidroksikudraxanton,
gartanin, alpha-mangostin, gamma-mangostin dan smeathxanton
(Nugroho.,2011).
 Antihistamin
Dalam reaksi alergi, komponen utama yang mengambil peran
penting adalah sel mast, beserta mediator-mediator yang dilepaskannya
yaitu histamin dan serotonin. Alergi disebabkan oleh respon imunitas
terhadap suatu antigen ataupun alergen yang berinteraksi dengan limfosit
B yang dapat memproduksi imunoglobulin E (IgE).
Imunoglubulin E yang diproduksi kemudian menempel pada
reseptor FceRI pada permukaan membran sel mast. Setelah adanya
interaksi kembali antara antigen-antibodi, akan merangsang sel mast untuk
melepaskan histamin (Kresno, 2001; Subowo, 1993). Berhubungan dengan
reaksi alergi atau pelepasan histamin tersebut, Chairungsrilerd et al.
(1996a, 1996b, 1998) melakukan pengujian ekstrak metanol kulit buah
manggis terhadap kontraksi aorta dada kelinci terisolasi yang diinduksi
oleh histamine maupun serotonin.
Dari analisa komponen-komponen aktif dari fraksi lanjutan hasil
dari kromatografi gel silika, mengindikasikan bahwa senyawa aktifnya
adalah alfa dan gamma mangostin. Alfa mangostin sendiri mampu
menunjukkan aktivitas penghambatan kontraksi trakea marmut terisolasi
dan aorta torak kelinci terisolasi, yang diinduksi simetidin, antagonis
reseptor histamin H. Namun, senyawa tersebut tidak menunjukkan
aktivitas pada kontraksi yang diinduksi karbakol, penilefrin dan KCl. Alfa

10
mangostin juga mampu menghambat ikatan [3H]mepiramin terhadap sel
otot polos aorta tikus. Senyawa terakhir tersebut merupakan antagonis
spesifik bagi reseptor histamin H. Dari analisa kinetika ikatan
[3H]mepiramin mengindikasikan bahwa alfa mangostin menghambat
secara kompetitif.
Dari penelitian ini disimpulkan bahwa alfa mangostin tersebut
dikategorikan sebagai pengeblok reseptor histaminergik khususnya H,
sedangkan gamma mangostin sebagai pengeblok reseptor serotonergik
khususnya 5-hidroksitriptamin 2A atau 5HT. Lebih lanjut, Nakatani et al.
(2002a) melakukan penelitian ke arah mekanisme ekstrak kulit buah
manggis tersebut. Pada penelitian tersebut ekstrak kulit manggis yaitu :
etanol 100%, 70 %, 40% dan air, diuji terhadap sintesa prostaglandin E
dan pelepasan histamin. Ekstrak etanol 40% menunjukkan efek paling
poten dalam menghambat pelepasan histamin dari sel 2H3RBL yang
diperantarai IgE. Semua ekstrak kulit buah manggis mampu menghambat
sintesa PGE2 dari sel glioma tikus yang diinduksi ionophore A23187.
Pada reaksi anafilaksis kutaneus pasif, semua ekstrak kulit manggis juga
menunjukkan aktivitas penghambatan reaksi tersebut. Dari penelitian ini,
ekstrak etanol 40 % buah manggis adalah paling poten dalam menghambat
sintesa PGE dan pelepasan histamin. (Nugroho.,2011).
 Antibakteri
Suksamranm et all (2003) bersama kelompoknya melakukan
penelitian tentang alfa mangostin, gamma mangostin dan garsinon B dari
kulit manggis yang dapat menghambat kuat terhadap bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Umumnya dalam mengobati penyakit
infeksi, masyarakat sering menggunakan obat antibiotik seperti
Tetracycline, Ampicillin, Amoxicillin atau antibiotik lainnya yang mudah
diperoleh. Namun pemakaian antibiotik secara berlebihan dan kurang
terarah dapat mengakibatkan terjadinya resistensi pada beberapa antibiotic
tertentu yang dapat menyebabkan kegagalan dalam pengobatan penyakit
itu. Oleh karena itu untuk mengatasinya diperlukan bahan alami sebagai
alternatif pengobatan. Pada jurnal ini juga dilakukan skrining fitokimia

11
untuk memastikan komponen kimia yang terkandung dalam kulit manggis
dan aktivitasnya dalam menghambat xantin oksidase serta kemampuan
antibakterinya terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus.
Ekstrak kulit manggis 100 ppm memiliki aktivitas antibakteri
terhadap E. coli dan S. aureus; daya hambat terhadap E. coli ini setara
dengan 24,41 ppm Tetracycline; 59,29 ppm Ampicillin dan 85,57 ppm
Amoxicillin; daya hambat terhadap S. aureus setara dengan 33,70 ppm
Tetracycline; 85,69 ppm Ampicillin dan 11,11 ppm Amoxicillin.
Berdasarkan skrining fitokimia ekstrak kulit manggis menunjukkan
bahwa kulit buah manggis mengandung saponin, tanin, polifenol,
flavonoid dan alkaloid. Saponin merupakan zat aktif yang dapat
meningkatkan permeabilitas membran sehingga terjadi hemolisis sel.
Apabila saponin berinteraksi dengan sel bakteri, maka bakteri tersebut
akan rusak atau lisis. Flavonoid merupakan kelompok senyawa fenol yang
mempunyai kecenderungan untuk mengikat protein, sehingga
mengganggu proses metabolisme. Tanin dalam konsentrasi rendah mampu
menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan pada konsentrasi tinggi
mampu bertindak sebagai antibakteri dengan cara mengkoagulasi atau
menggumpalkan protoplasma bakteri sehingga terbentuk ikatan yang stabil
dengan protein bakteri. Selain itu, pada saluran pencernaan tanin mampu
mengeliminasi toksin (Rahmah.,2012).

2.2 Tinjauan Pustaka Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia atau penapisan kimia adalah tahapan awal untuk


mengidentifikasi kandungan kimia yang terkandung dalam tumbuhan, krna pada
tahap ini kita bisa mengetahui golongan senyawa kimia yang dikandung
tumbuhan yang sedang kita uji/teliti.

Metode yang digunakan dalam skrining fitokimia harus memiliki persyaratan :


 metodenya sederhana dan cepat
 peralatan yang digunakan sesedikit mungkin
 selektif dalam mengidentifikasi senyawa-senyawa tertentU

12
 dapat memberikan informasi tambahan mengenai keberadaan senyawa
tertentu dalam kelompok senyawa yang diteliti.

Golongan senyawa kimia dapat ditentukan dengan cara:


 uji warna
 penentuan kelarutan
 bilangan Rf
 ciri spektrum UV
 namun secara umum penentuan golongan senyawa kimia dilakukan denga
cara uji warna dengan menggunakan pereaksi yang spesifik karena
dirasakan lebih sederhana.

Senyawa kimia berdasarkan asal biosintesis, sifat kelarutan, gugus fungsi


digolongkan menjadi :
 Senyawa fenol, bersifat hidrofil, biosintesisnya berasal dari asam shikimat
 terpenoid, berasal dari lipid, biosintesisnya berasal dari isopentenil
pirofosfat
 asam organik, lipid dan sejenisnya, biosintesisnya berasal dari asetat
 senyawa nitrogen, bersifat basa dan bereaksi positif terhadap ninhidrin
atau dragendorf
 gula dan turunannya
 makromolekul, umumnya memiliki bobot molekul yang tinggi

Sedangkan berdasarkan biogenesisnya senyawa bahan alam dikelompokkan


menjadi :
 Asetogenin : flavonoid, lipid, lignan, dan kuinon
 karbohidra : monosakarida, oligosakarida, dan polisakarida
 isoprenoid : tepenoid, steroid, karotenoid
 senyawa mengandung nitrogen : alkaloid, asam amino, protein, dan
nukleat

Skrining fitokimia merupakan suatu analisa kualitatif kandungan kimia


tumbuhan atau bagian tumbuhan. Skring dapat dilakukan dengan metode KLT

13
(kromatografi Lapis Tipis) karena KLT mempunyai beberapa kelebihan dibanding
kromatografi kertas yaitu dapat mengahasilkan pemisahan lebih
sempurna,kepekaan yang lebih tinggi,dilaksanakan hanya beberapa menit saja,
dapat dipakia preaksi kolosif, dapa dipakai senyawa hidrofob.
Pada penggunakan KLT menggunakan fase gerak dan fase diam dimana
fase diam menggunakan silika gel. Fase diam (lapisan penyerap) yang khusus
digunakanuntuk KLT yang dihasilkan oleh berbagai perusahaan. Silika gel ini
menghasilkan perbedaan dalam efek pemisahan yang tergantung pada cara
pembuatannya. Selain itu fase gerak (pelarut pengembang) ialah medium angkut
yang terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Fase gerak ini menggunakan eluena
dan etil asetat karena bersifat kepolaran dari minyak atsiri dengan perbandingan
(93:7) juga menggunakan eluena IPA dan aquadest (1/3:1/4) .

2.3 Metabolit Sekunder

1. Alkaloid

Alkaloid yaitu senyawa kimia yang biasa ditemukan pada tumbuhan dan
digunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan obat, misalnya morphin, atropin,
dan codein. Alkaloid dapat menembus barier darah otak (blood-brain barrier),
apabila kandungan alkaloid berlebihan dalam tubuh maka alkaloid dapat
menyebabkan kerusakan hati. Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan
sekunder yang terbesar.

Pada umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang


mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai
bagian dari system siklik.Alkaloid seringkali beracun bagi manusia dan banyak
yang mempunyai kegiatanfisiologi yang menonjol yang digunakan secara luas
dalam bidang pengobatan. Alkoloid biasanya tanpa warna, seringkali bersifat
optis aktif, kebanyakan berbentuk Kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (
misalnyanikotina pada suhu kamar ).

Prazat alkaloid yang paling umum adalah asam amino,


meskipunsebenarnya biosintesis kebanyakan alkaloid lebih rumit. Secara kimia,

14
alkaloidmerupakan suatu golongan heterogen. Ia berkisar dari senyawa sederhana
seperti koniina, yaitu alkoloid utama conium maculatum, sampai ke struktur
pentasiklik seperti strikhnina , yaitu racun kulit Strychnos. Amina tumbuhan
(misalnyameskalina) dan basa Purina dan pirimidina (misalnya kafeina) kadang-
kadangdigolongkan sebagai alkoloid dalam arti umum. Banyak alkoloid
bersifatterpenoid dan beberapa (misalnya solanina alkoloid – steroid kentang,
Solanumtuberosum) sebaiknya ditinjaudari segi biosintesis sebagai terpenoid
termodifikasi.Yang lainnya terutama berupa senyawa aromatic ( misalnya
kolkhisina, alkoloidtropolon umbi crocus musim gugur ) yang mengandung gugus
basa sebagai gugusrantai samping. Banyak sekali alkoloid yang khas pada suatu
suku tumbuhan atau beberapa tumbuhan sekerabat. Jadi nama alkoloid sering kali
diturunkan darisumber tumbuhan penghasilnya, misalnya alkoloid Atropa atau
alkoloid tropana,dan sebagainya (Harbrone, 1987).

Sebagian besar alkaloid alami yang bersifat sedikit asam


memberikanendapan dengan reaksi yang terjadi dengan reagent Mayer (
LarutanKaliummercuri Iodida); reagent Wangner (larutan Iodida dalam Kalium
Iodida) dengan larutan asam tanat,reagent Hager (saturasi dengan asam pikrat);
ataudengan reagent Dragendroff (larutan Kalium Bismuth Iodida). Endapan
ini berbentuk amorf atau terdiri dari kristal dari berbagai warna. Cream(Mayer),
Kuning (Hager), coklat kemerah – merahan (Wagner dan Dragendroff). Caffein
dan beberapa alkaloid tidak menimbulkan reaksi pengendapan. Ketelitian harus
dimulai dari ekstraksi alkaloid yang diuji karena bahan akanmembentuk endapan
dengan protein. Sebagian dari protein akan membuat tidak larut dari bahan yang
telah diekstrak oleh proses evaporasi atau mungkindisebabkan filtrate yang
terbongkar. Jika ekstrak asli telah dikonsentrasi ke konsentrasi rendah akan
membentuk ekstrak alkaloid yang berbentuk basa dengan pertolongan suatu
pelarut organik kemudian dimasukan dalam larutan asam encer (misalnya :
Tartarat), larutan harus bebas dari protein dan siap untuk dilakukan ujialkaloid
(Teyler, 1988).

Pada bagian yang memaparkan sejarah alkaloid, jelas kiranya


bahwaalkaloid sebagai kelompok senyawa, tidak diperoleh definisi tunggal

15
tentangalkaloid. Sistem klasifikasi yang diterima, menurut Hegnauer,
alkaloiddikelompokkan sebagai:

1. Alkaloid sesungguhnya
Sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkanaktivitas
phisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa;
lazimmengandung Nitrogen dalam cincin heterosiklik diturunkan dari
asam amino biasanya terdapat “aturan” tersebut adalah kolkhisin dan asam
aristolokhat yang bersifat bukan basa dan tidak memiliki cincin
heterosiklik dan alkaloid quartener,yang bersifat agak asam daripada
bersifat basa.
2. Protoalkaloid
Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana nitrogen
danasam amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklik. Protoalkaloid
diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa3)
PseudoalkaloidPseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam
amino. Senyawabiasanya bersifat basa. Ada dua seri alkaloid yang penting
dalam khas ini, yaitu alkaloidsteroidal (contoh: konessin dan puri kaffein)
(Teyler, 1988)

2. Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa yang larut air, dapat diekstrasi dengan etanol
70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter
minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenil oleh karakter itu warnnya berubah
bila ditambah basa atau amonia. Flavonoid mengandung sistem aromatik yang
terkonjungsi sehingga kan menunjukan pita serapan yang kuat pada sinar UV(ulta
violet) dan sinar tampak. Flavonoid merupakan senyawa polar sehingga flavonoid
dapat larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, aseton, dimetil sulfoksida
(DMSO), dimetil fonfamida (DMF), dan air. Flavonoid merupakan senyawa kimia
yang bekerja sebagai antioksidan, memiliki hubungan sinergis dengan vitamin C
(meningkatkan efektivitas vitamin C), antiinflamasi,menghambat pertumbuhan
tumor, dan mencegah keropos tulang (Harbone 1987).

16
3. Saponin
Saponin atau glikosida sapongenin adalah salah satu tipe glikosida yang
tersebar luas dalam tanaman. Tipe saponin terdiri dari sapongenin yang
merupakan molekul aglikon dan sebuah gula.saponin merupakan senyawa yang
menimbulkan busa jika dikocok dengan air dan pada konsentrasi rendah sering
menyebabkan hemolisis sel darah merah, sering digunakan sebagai
detergen(Clauss dkk 1970).
Saponin adalah suatu glikosida triterpana dan sterol yang mungkin
terdapat pada banyak tanaman. Kata saponin berasal dari bahasa Latin “sapo”
yaitu suatu bahan yang akan membentuk busa jika dilarutkan dalam larutan yang
encer. Saponin berfungsi sebagai ekspektoran, kemudian emetikum jika
dikonsumsi dalam jumlah yang besar. Saponin juga merupakan senyawa kimia
yang dapat menyebabkan sel darah merah terganggu akibat dari kerusakan
membran sel, menurunkan kolestrol plasma, dan dapat menjaga keseimbangan
flora usus, serta sebagai antibakteri (Harbone, 1987).
Saponin mempunyai aktifitas farmakologi yang cukup luas
diantaranyameliputi: immunomodulator, anti tumor, anti inflamasi, antivirus, anti
jamur,dapat membunuh kerang-kerangan, hipoglikemik, dan efek
hypokholesterol.Saponin juga mempunyai sifat bermacam-macam, misalnya:
terasa manis, adayang pahit, dapat berbentuk buih, dapat menstabilkan emulsi,
dapat menyebabkan hemolisis. Dalam pemakaiannya saponin bisa dipakai untuk
banyak keperluan,misalnya dipakai untuk membuat minuman beralkohol, dalam
industri pakaian,kosmetik, membuat obat-obatan, dan dipakai sebagai obat
tradisional.

4. Steroid / triterpenoid
Triterpeoid adalah seyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprane dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C3O a siklik
yaitu skulen. Senyawa ini berstruktur siklik yang hisbi rumit kebanyakan berupa
alkohol, aldehida atau sama karbohidrat. Uji yang banyak digunakan adalah reaksi

17
Lieberman-Buchard (aldehida asetat –H2S04 pekat) yang dengan kebanyakan
triterpen dan sterol memberikan warna hijau-biru ( Harbone, 1987)

5. Fenolik
Senyawa fenolik meliputi bermacam senyawa yang memiliki cirri yaitu
berupa senyawaaromatis. Beberapa enyawa yang termasuk dalam golongan
fenolik antara lain fenol sederhana, lignin, antrakinon, flavonoid, tannin
danfenil propanoid. Fenol sederhana memiliki kelarutan y a n g t e r b a t a s
d a l a m a i r d a n b e r s i f a t a s a m . I d e n t i f i k a s i s e n ya w a f e n o l s e c a r a
u m u m d a p a t menggunakan FeCl3, di mana akan dihasilkan larutan berwarna
merah, violet atau merah-ungu.

6. Terpenoid
Pereaksi Lieberman-Burchard adalah pereaksi yang sering digunakan
untuk uji senyawa terpenoida.Pereaksi ini dibuat dari campuran anhidrid asetat
dan H2SO4 pekat. Kebanyakan triterpena dan sterol memberikan warna hijau
biru dengan pereaksi ini. Cara lain untuk mendeteksi terpena adalah
menyemprot plat KLT dengan larutan KMnO4 0,2% dalam air, antimon dalam
kloroform, H2SO4 pekat atau vanillin- H2SO4. Setelah penyemprotan, senyawa
yang positif mengandung terpenoid akan menunjukkan perubahan warna
(Harborne, 1987).

2.4 Metoda ektraksi

Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari


jaringan tumbuhan maupun hewan dengan menggunakan penyari tertentu. Adala
beberapa metode ekstraksi, yaitu :

a. Cara dingin
1. Meserasi
Meserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur ruangan (kamar). Remeserasi berarti dilakukan pengulangan

18
penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan meserat pertama dan
seterusnya.
2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi
penyaringan sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar.
Proses perkolasi terdiri dari tahaan pengembangan bahan , tahap meserasi
antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak),
terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat)

b. Cara panas
1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya
selama waktu tertentu dan dalam jumlah pelarut terbatas yang relatif
konstan dengan adalanya pendingin balik
2. Digesti
Digesti adalah meserasi dengan pengadukan kontuniu dari temperatur
kamar yaitu pada 40-50˚ C
3. Infus
Infus adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperatur penangas
air (bajana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur
90˚ C) selama 15 menit.
4. Dekok
Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air temperatur 90˚C selama 30
menit
5. Sokletasi
Sokletasi merupakan penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan
penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi
menjadi molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari
simplisia dalam klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu
alas bundar setelah melewati pipa sifon.
Keuntungan metode ini adalah :
 Dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak
tahan terhadap pemanasan secara langsung.

19
 Digunakan pelarut yang lebih sedikit.
 Pemanasannya dapat diatur.

Kerugian dari metode ini :


 Karena pelarut didaur ulang, ekstrak yang terkumpul pada wadah di
sebelah bawah terus-menerus dipanaskan sehingga dapat
menyebabkan reaksi peruraian oleh panas.
 Jumlah total senyawa-senyawa yang diekstraksi akan melampaui
kelarutannya dalam pelarut tertentu sehingga dapat mengendap dalam
wadah dan membutuhkan volume pelarut yang lebih banyak untuk
melarutkannya.
 Bila dilakukan dalam skala besar, mungkin tidak cocok untuk
menggunakan pelarut dengan titik didih yang terlalu tinggi, seperti
metanol atau air, karena seluruh alat yang berada di bawah komdensor
perlu berada pada temperatur ini untuk pergerakan uap pelarut yang
efektif (Sudjadi, 1988)

2.5 Metoda fraksinasi

Fraksinasi adalah suatu proses pemisahan senyawa-senyawa berdasarkan


tingkat kepolaran. Jumlah dan senyawa yang dapat dipisahkan menjadi fraksi
berbeda-beda tergantung pada jenis tumbuhan. Pada prakteknya dalam melakukan
fraksinasi digunakan dua metode yaitu dengan menggunakan corong pisah dan
kromatografi kolom.
Destilasi bertingkat atau fraksinasi adalah proses pemisahan destilasi ke
dalam bagian-bagian dengan titik didih makin lama makin tinggi yang selanjutnya
pemisahan bagian-bagian ini dimaksudkan untuk destilasi ulang. Destilasi
bertingkat merupakan proses pemurnian zat/senyawa cair dimana zat
pencampurnya berupa senyawa cair yang titik didihnya rendah dan tidak berbeda
jauh dengan titik didih senyawa yang akan dimurnikan. Dengan perkataan lain,
destilasi ini bertujuan untuk memisahkan senyawa-senyawa dari suatu campuran
yang komponen-komponennya memiliki perbedaan titik didih relatif kecil.

20
Destilasi ini digunakan untuk memisahkan campuran aseton-metanol, karbon tetra
klorida-toluen, dll. Pada proses destilasi bertingkat digunakan kolom fraksinasi
yang dipasang pada labu destilasi.
Tujuan dari penggunaan kolom ini adalah untuk memisahkan uap
campuran senyawa cair yang titik didihnya hampir sama/tidak begitu berbeda.
Sebab dengan adanya penghalang dalam kolom fraksinasi menyebabkan uap yang
titik didihnya sama akan sama-sama menguap atau senyawa yang titik didihnya
rendah akan naik terus hingga akhirnya mengembun dan turun sebagai destilat,
sedangkan senyawa yang titik didihnya lebih tinggi, jika belum mencapai harga
titik didihnya maka senyawa tersebut akan menetes kembali ke dalam labu
destilasi, yang akhirnya jika pemanasan dilanjutkan terus akan mencapai harga
titik didihnya. Senyawa tersebut akan menguap, mengembun dan turun/menetes
sebagai destilat.
Macam - macam proses fraksinasi:
a. Proses Fraksinasi Kering (Winterization)
Fraksinasi kering adalah suatu proses fraksinasi yang didasarkan pada berat
molekul dan komposisi dari suatu material. Proses ini lebih murah
dibandingkan dengan proses yang lain, namun hasil kemurnian fraksinasinya
rendah.
b. Proses Fraksinasi Basah (Wet Fractination)
Fraksinasi basah adalah suatu proses fraksinasi dengan menggunakan zat
pembasah (Wetting Agent ) atau disebut juga proses Hydrophilization atau
detergent proses. Hasil fraksi dari proses ini sama dengan proses fraksinasi
kering.
c. Proses Fraksinasi dengan menggunakan Solvent (pelarut)
Solvent Fractionation Ini adalah suatu proses fraksinasi dengan menggunakan
pelarut. Dimana pelarut yang digunakan adalah aseton. Proses fraksinasi ini
lebih mahal dibandingkan dengan proses fraksinasi lainnya karena
menggunakan bahan pelarut
d. Proses Fraksinasi dengan Pengembunan (Fractional Condentation)
Proses fraksinasi ini merupakan suatu proses fraksinasi yang didasarkan pada
titik didih dari suatu zat / bahan sehingga dihasilkan suatu produk dengan

21
kemurnian yang tinggi. Fraksinasi pengembunan ini membutuhkan biaya
yang cukup tinggi namun proses produksi lebih cepat dan kemurniannya lebih
tinggi

2.6 Metode Kromatografi


Kromatografi berasal dari bahasa Yunani “kromatos” yang berarti
warna dan “graphos” yang berarti menulis. Kromatografi pertama kali
diberikan oleh Michael Tsweet, seorang ahli botani Rusia pada tahun 1906.
Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan campuran berdasarkan
perbedaan kecepatan perambatan komponen dalam media tertentu. Pada
kromatografi, komponen-komponennya akan dipisahkan antara 2 (dua) fase
yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam akan menahan komponen-
komponen campuran sedangkan fase gerak akan melarutkan zat komponen
campuran. Komponen yang mudah tertahan pada fase diam akan tertinggal,
sedangkan komponen yang mudah larut dalam fase gerak akan bergerak lebih
cepat.

2.6.1 Kromatografi lapis tipis


Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan tahun 1938 oleh
Ismailoff dan Schraiber. Adsorben dilapiskan pada lempeng kaca yang
bertindak sebagai peunjang fase diam. Fase bergerak akan merayap
sepanjang fase diam dan terbentuklah kromatogram. Ini dikenal juga
sebagai kromatografi kolom terbuka.Metode ini sederhana, cepat
dalam pemisahan tinggi dan mudah untuk memperoleh kembali
senyawa-senyawa yang terpisahkan.
Pada dasarnya kromatografi lapis tipis (KLT atau TLC = Thin
layer Chromatography) sangat mirip dengan kromatografi kertas,
terutama pada cara melakukannya. Perbedaan nyata terlihat pada
media pemisahannya, yakni digunakan lapisan tipis adsorben halus
yang tersangga pada papan kaca, aluminium atau plastic sebagai
pengganti kertas. Lapisan tipis dsorben ini pada pross pemisahan
berlaku sebagai fasa diam.

22
Bila KLT dibandingkan dengan KKt, kelebihan khas KLT
ialah keserbagunaan, kecepatan, dan kepekaannya. Keserbagunaan
KLT disebabkanoleh kenyataan bahwa di samping selulosa, sejumlah
penjerap yang berbeda-beda dapat disaputkan pada plat kaca atau
penyangga lain dan digunakan untuk kromatografi. Kromatografi
Lapis Tipis merupakan teknik pemisahan cara lama yang digunakan
secara luas, terutama dalam analisis campuran yang rumit dari sumber
alam. Tetapi dalam kuantisasi belakangan ini kromatografi lapis tipis
digantikan oleh “HPLC” (High Performance Thin-layer
Chromatography) atau Kromatografi Lapis Tipis Kinerja Tinggi
(Munson, 1991).
Deteksi noda KLT terkadang lebih mudah dibandingkan
dengan kromatografi kertas karena dapat digunakan teknik-teknik
umum yang lebih banyak. Kerap kai, noda tidak berwarna atau tidak
berpendar jika dikenai sinar ultra violet dapat ditampakkan dengan
cara mendedahkan papan pengembang pada uap iod. Uap iod akan
berinteraksi dengan komponen-komponen sampel baik secara kimia
atau berdasarkan kelarutan membentuk warna-warna tertentu
(Soebagio, 2002 ).
Kromatografi Lapisan Tipis (KLT) dapat dipakai dengan dua tujuan :
 Dipakai selayaknya sebagai metode untuk mencapai hasil
kualitatif, kuantitatif dan preparatif
 Dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga
yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau
kromatografi cair kinerja tinggi.

Pada hakikatnya Kromatografi Lapisan Tipis melibatkan dua


pengubah:

 sifat fasa diam atau sifat lapisan


 sifat fase gerak atau campuran pelarut pengembang.

Beberapa contoh penyerap yang digunakan untuk pemisahan


dalam kromatografi lapis tipis adalah sebagai berikut :

23
1. Silika gel
Ada beberapa jenis silika gel, yaitu :
a) Silika gel G
Silika gel G adalah silika gel yang mengandung 13 %
kalsium sulfat sebagai perekat. Jenis silika gel ini biasanya
mengandung ion logam, terutama ion besi. Kandungan ion besi
dapat dihilangkan dengan mengembangkan plat TLC silika gel
G dengan sstem pelarut metanol : asam HCl pekat 9 :
1(Keese,R. dkk, 1982).
b) Silika gel H
Perbedaan silika gel G dan silika gel H ialah, bahwa
silika gel H tidak menngandung perekat kalsium sulfat. Silika
gel H dipakai untuk pemisahan yang bersifat spesifik, terutama
lipida netral (Keese,R. dkk, 1982)
c) Silika gel PF
Jenis silika gel ini diketemukan belakangan, yang
dibuat sedemikian rupa sehingga senyawa-senyawa organik
terikat pada plat ini dapat mengadakan fluoresensi. Oleh
karena itu visualisasinya dapat dikerjakan dengan
menempatkan plat yang telah dikembangkan di dalam ruangan
gelap atau dengan sinar ultra violet yang bergelombang
pendek (Keese,R. dkk, 1982).
2. Alumina
Penggunaan alumina dalam TLC, yang semula
diperkenalkan oleh peneliti dari Cekoslowakia, tidak sesering
silika gel. Sebenarnya alumina netral mempunyai kemampuan
untuk memisahkan bermacam-macam senyawa, seperti terpena,
alkaloid, steroid, dan senyawa-senyawa alisklik, alifatik, serta
aromatik. Sebagai zat perekat alumina tidak mengandung zat
perekat, memepunyai sifat alkalis dan dapat digunakan baik tanpa
maupun dengan aktivasi (Keese,R. dkk, 1982).
3. Kieselguhr

24
Kieselguhr merupakan adsorben yang lebih lemah dari
silika gel dan alumina, oleh karena itu lebih cocok untuk
memisahkan senyawa-senyawa polar (Adnan, M., 1997).
Menurut Markham, KLT memiliki peranan penting dalam
metoda pemisahan dan isolasi yaitu :
 Mencari pelarut untuk kromatografi kolom
 Analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom
 Menyigi arah atau perkembangan reaksi seperti hidrolisis atau
metilasi
 Identifikasi flavonoida secara ko-kromatografi
 Isolasi flavonoida murni skala kecil.

Keuntungan KLT, yaitu :


a. lebih serba guna
b. cepat
c. kepekaannya lebih tinggi dan
d. pemisahan komponen senyawa lebih sempurna.
Kelemahannya KLT yaitu :
Pada prosedur pembuatan lempengnya yang memerlukan tambahan
waktu kecuali bila tersedia lempeng yang diproduksi secara
komersial. (Gritter,1991).

Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan media dalam KLT yang


juga mempengariuhi nilai Rf yaitu (Surmono, 1986):

1. Struktur kimia dan senyawa yang sedang dipisahkan


2. Sifat dari penyerap dan derajat aktivitasnya
3. Suhu dan kesetimbangan
4. Pelarut (dan derajat kemurniannya) fase gerak
5. Derajat kejenuhan

25
2.6.1. Kromatografi kolom

Prinsip kromatografi kolom adalah adsorbs, yakni berdasarkan


interaksi fase diam dengan solut (cair-padat). Adsorbsi merupakan
penjerapan pada permukaan fase diam yang melibatkan interaksi-
interaksi elektrostatik seperti ikatan hydrogen, interaksi dipol-dipol,
dan interaksi van der waals. Bila interaksi solute dengan fase diam
sangat kuat maka solute akan tertahan lebih lama pada fase diam.
Solut akan bersaing dengan fase gerak untuk berikatan dengan sisi
aktif atau sisi polar pada permukaan adsorben.
Absorbsi solut dengan fase diam sangat tergantung pada
struktur kimia solut atau adanya gugus aktif tertentu yang berinteraksi
dengan adsorben, ukuran partikel adsorben, kelarutan solut pada fase
gerak. Solut yang mudah larut dalam fase gerak akan semakin mudah
lepas dari fase diam. Kromatografi kolom didasarkan pada afinitas
kepolaran analit dengan fase diam, sedangkan fase gerak selalu
memiliki kepolaran yang berbeda dengan fase diam. Pada sebagian
kromatografi kolom menggunakan fase diam yang bersifat polar
dengan fase gerak yang bersifat non polar.

Klasifikasi kromatografi kolom :


1. Berdasarkan interaksi komponen dengan adsorben
a. Kromatografi adsorbsi : Komponen yang dipisahkan secara
selektif teradsorbsi pada permukaan adsorben yang dipakai
untuk bahan isian kolom. Fase diamnya padat dan fase
geraknya cair atau gas. Pemisahan komponen sangat
tergantung pada perbedaan polaritas masing-masing molekul
yang akan dipisahkan.
b. Kromatografi partisi : Komponen yang dipisahkan secara
selektif mengalami partisi antara lapisan cairan tipis pada
penyangga padat yang bertindak sebagai fase diam dan eluen
yang bertindak sebagai fase gerak (fase diam dan fase gerak
adalah cair). Pemisahan komponen tergantung pada

26
perbedaan koefisien distribusi molekul yang akan dipisahkan
dan sedikit faktor adsorbsi.
c. Kromatografi pertukaran ion : Memisahkan komponen yang
berbentuk ion. Komponen-komponen tersebut yang terikat
pada penukar ion sebagai fase diam secara selektif akan
terlepas atau terelusi oleh fase gerak.
d. Kromatografi filtrasi gel : Kolom diisi dengan gel yang
permeable sebagai fase diam. Pemisahan berlangsung seperti
proses pengayakan yang didasarkan atas ukuran molekul dari
komponen yang dipisahkan.
2. Berdasarkan gaya yang bekerja pada kolom : Kromatografi kolom
kategori ini tergantung pada bagaimana eluen bergerak melewati
kolom, terdiri dari :
a. Kromatografi kolom gravitasi : Eluen bergerak berdasarkan gaya
gravitasi atau perkolasi.
b. Kromatografi kolom tekanan : Eluen bergerak karena adanya
pemberian tekanan pada kolom. Tekanan yang diberikan tidak
terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi.

Cara pembuatan dalam kromatografi kolom, terdiri dari 2 (dua) metode


yaitu :
1. Metode kering : Silica gel dimasukkan ke dalam kolom yang telah
diberi kapas kemudian ditambahkan cairan pengelusi. Metode ini
lebih mudah tetapi dapat menimbulkan adanya gelembung udara
dalam kolom
2. Metode basah : Kromatografi kolom bertujuan untuk purifikasi dan
isolasi komponen dari suatu campurannya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pemisahan dengan kromatografi kolom adalah fase
diam yang digunakan, kepolaran pelarut (fase diam), ukuran kolom
(diameter dan panjang kolom), kecepatan alir elusi

Keuntungan kromatografi kolom :


a. Dapat digunakan untuk analisis dan aplikasi preparative.

27
b. Digunakan untuk menentukan jumlah komponen campuran.
c. Digunakan untuk memisahkan dan purifikasi substansi.
Kerugian kromatografi kolom :
a. Untuk mempersiapkan kolom dibutuhkan kemampuan teknik
dan manual
b. Metode ini sangat membutuhkan waktu yang lama (time
consuming)
Keterbatasan kromatografi kolom-terbuka klasik ialah sebagai berikut :
a. Pemisahan lambat.
b. Penjerapan eluen yang tidak bolak-balik.
c. Tidak dapat dipakai jika partikel terlalu kecil.

28
BAB III
PENATA PELAKSAAN PRATIKUM

3.1 Alat dan Bahan

a. Alat
- Lumpang dan stamfer
- Vial
- Pipet tetes
- Kapas
- Hot plate
- Erlenmeyer
- Klem
- Kolom kaca
- Plat KLT
- Botol reagen
- Perkolator
- Corong pisah
- Rangkaian alat rotary evaporator
- Melting point apparatus dan
- Batang pengaduk
b. Bahan
- Kulit buah manggis 100 gr
- Metanol
- Etanol
- Kloroform
- n-heksana
- Aquades
- Asam sulfat

3.2 Cara kerja


1. Penyiapan sampel
a. Timbang kulit buah manggis kering sebanyak 100 gr

29
b. Haluskan menggunakan lumpang dan stamfer

2. Ekstraksi sampel
a. Masukkan sampel kedalam perkolator
b. Tambahkan metanol sebanyak 200 ml (sampai terendam sempurna)
c. Diamkan selama 24 jam
d. Buka kran perkolator dengan kecepatan 1 – 2 ml/menit
e. Tampung perkolat kemudian pekatkan menggunakan rotary
evaporator
f. Timbang berat ekstrak yang diperoleh
g. Hitung rendemen ekstrak yang didapat

3. Fraksinasi sampel
a. Timabang 10 gram ekstrak, masukkan kedalam corong pisah
b. Tambahkan 50 ml n-heksana dan 50 ml aquades
c. Kocok searah atau membentuk angka 8 (delapan)
d. Diamkan sampai terbentuk dua lapisan
e. Pisahkan lapisan n-heksana dan lapisan air
f. Masukkan kembali lapisan air ke dalam corong pisah, fraksinasikan
kembali dengan 50 ml n-heksana dengan cara kerja yang sama
g. Lapisan n-heksana yang diperoleh dikumpulkan, lalu dipekatkan
dengan rotary evaporator, hitung berat fraksi n-heksana yang dieroleh
h. Hitung rendemen fraksi n-heksana terhadap kstrak
i. Masukkan kembali lapisan air ke dalam corong pisah, fraksinasikan
dengan etil asetat dengan cara kerja yang sama, sampai diperoleh
fraksi etil asetat
j. Hitung berat fraksi etil asetat dan rendemennya terhadap ekstrak

4. Isolasi dengan metoda kromatografi


a. Analisa komponen senyawa ekstrak dan fraksi menggunakan
kromatografi lapis tipis
- Potong plat KLT dengan panjang 5 cm dan lebar 2,5 cm

30
- Berikan batas garis bawah dan garis atas dengan jarak 0,5 cm
dari ujung plat
- Tandai tempat totolan untuk masing-masing sampel baik
ekstrak maupun fraksi pada plat yang sama
- Siapkan eluen yang digunakan berupa campuran n-heksana :
etil asetat (1:1)
- Masukkan eluen kedalam bejana, tutup bejana untuk
penjenuhan
- Larutkan ekstrak dan fraksi menggunakan pelarut yang sesuai,
totolkan dengan penotol pada garis bawah yang sudah dibuat
- Elusikan dalam wadah sampai garis atas
- Angkat plat tersebut, angin-anginkan, lalu dilihat noda yang
ada di bawah lampu UV 254 dan 366 nm
- Tandai noda menggunakan pensil, dan hitung Rf masing –
masing noda

b. Isolasi senyawa menggunakan kromatografi kolom


- Siapkan kolom kaca, statip dan klem yang diperlukan
- Lakukan packing kolom dengan jalan membuat bubur silica
dengan n-heksana. Masukkan bubur silica ke kolom, lalu
padatkan
- Lakukan preabsorbsi sampel dengan silica gel
- Masukkan sampel tersebut ke dalam, elusi dengan eluen yang
disiapkan
- Tampung hasil kolom dengan vial yang sudah dinomori
- Lakukan pemeriksaan profil KLT hasil kolom menggunakan
eluen yang sesuai

c. Pemurnian senyawa hasil isolasi


- Pilih hasil kolom yang berbentuk padatan, kristal atau minyak
dengan profil KLT noda sederahana
- Lakukan pemurnian dengan jalan pencucian dengan pelarut
yang sesuai atau dengan kristalisasi

31
5. Karakterisasi dan identifikasi senyawa hasil isolasi
a. Pemeriksaan titik leleh menggunakan alat melting point apparatus
b. Pemeriksaan profil KLT

Skema Cara Kerja Uji Senyawa Flavonoid Dari Kulit Buah Manggis

SAMPEL SEGAR 250 GRAM

 Dicuci
 Sotasi basah
 Dikeringkaan
 Sortasi kering
 Penghalusan menggunakan
lumpang dan stamfer

SIMPLISIA KERING 150 GRAM

 Sampel masukan dalam alat perkolasi


 Tambahkan metanol sebanyak 350
ml(sampai terendam)
 Diamkan selama 24 jam
 Buka kran perkolat lalu tampung
 Hitung rendemen

EKSTRAK
BAB IV CAIR
Dipekatkan dengan rotary evaporator dan
dikeringkan

EKSTRAK KENTAL (70,896 GRAM)

 Fraksinasi sampel
 timbang sampel, masukan dalam
corong pisah
 tambahkan 50ml n-heksana dan 50ml
aquadest
 kocok pisahkan lapisan n-
heksana dan air

Fraksinasi n-heksana cair Fraksinasi etil asetat cair

32
dipekatkan dipekatkan

Fraksi kental (44,913 gram) Fraksi kental (40,029 gram)

Uji KLT

33
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Skrining Fitokimia

Sampel Metabolit Sekunder Golongan


No
Tumbuhan Alkaloid Terpenoid Steroid Flavonoid Fenolik Saponin
Kulit Buah
Manggis
1 + + - + + +
(Garcinia
Mangostana)
Bunga
Kembang
2 Sepatu + + - + + +
(Hibiscus
Rosasinensis)

4.2 Hasil Ekstraksi Sampel

a) Rendemen Ekstrak Dan Fraksi

𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘
Rendemen Ekstrak = × 100 %
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎

70,896 𝑔
= × 100%
150 𝑔

= 47,26 %

𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘
Rendemen n-heksana = 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 × 100 %

44,813 𝑔
= × 100%
150 𝑔

= 29,87 %

34
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘
Rendemen Etil asetat = 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 × 100%

40,029 𝑔
= × 100 %
150 𝑔

= 26,680 %

b) Profil KLT Ekstrak Dan Fraksi

𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑛𝑜𝑑𝑎
Rf =
𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡

 Etil asetat : Heksan ( 5 : 5 )


Etil asetat
1 𝑐𝑚
Rf 1 = 3,5 𝑐𝑚 = 0,28
1,3 𝑐𝑚
Rf 2 = = 0,37
3,5 𝑐𝑚
1,7 𝑐𝑚
Rf 3 = 3,5 𝑐𝑚 = 0,48
2 𝑐𝑚
Rf 4 = 3,5 𝑐𝑚 = 0,57

Heksan
-

Ekstrak
0,8
Rf 1 = 3,5 = 0,22
1,2
Rf 2 = 3,5 = 0,34
1,7
Rf 3 = 3,5 = 0,48
2
Rf 4 = 3,5 = 0,57

c) Profil KLT Hasil Kolom

𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑛𝑜𝑑𝑎
Rf = 𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡

35
 Vial 14 (heksan : etil asetat (6 : 4))

0,3 𝑐𝑚
Rf 1 = = 0,075
4 𝑐𝑚

1 𝑐𝑚
Rf 2 = 4 𝑐𝑚 = 0,25

3 𝑐𝑚
Rf 3 = 4 𝑐𝑚 = 0,75

 Vial 21 (heksan : etil asetat (4 : 6))


0,5 𝑐𝑚
Rf 1 = = 0,125
4 𝑐𝑚
1,5 𝑐𝑚
Rf 2 = = 0,375
4 𝑐𝑚
3 𝑐𝑚
Rf 3 = 4 𝑐𝑚 = 0,75
3,3 𝑐𝑚
Rf 4 = = 0,825
4 𝑐𝑚

 Vial 28 (heksan : etil asetat (2 : 8 ))


1 𝑐𝑚
Rf 1 = 4 𝑐𝑚 = 0,25
1,7 𝑐𝑚
Rf 2 = = 0,425
4 𝑐𝑚
2,2 𝑐𝑚
Rf 3 = = 0,55
4 𝑐𝑚

 Vial 35 (Etil asetat 100%)


1,5 𝑐𝑚
Rf 1 = = 0,375
4 𝑐𝑚

 Vial 42 (Etil asetat : Metanol (8 : 2)


0,3 𝑐𝑚
Rf 1 = = 0,075
4 𝑐𝑚
1,1 𝑐𝑚
Rf 2 = = 0,275
4 𝑐𝑚

 Vial 49 (Etil asetat : Metanol (6 : 4))


0,7 𝑐𝑚
Rf 1 = = 0,175
4 𝑐𝑚

1,7 𝑐𝑚
Rf 2 = = 0,425
4 𝑐𝑚

36
4.3 Pembahasan

Ekstrak adalah suatu produk hasil pengambilan zat aktif dari tanaman
menggunakan pelarut, tetapi pelarutnya diuapkan kembali sehingga zat aktif
ekstrak menjadi pekat. Bnetuknya dapat kental atau kering tergantung apakah
sebagian aja pelarut yang diuapkan atau seluruhnya.
Pada praktikum kali ini kami menggunakan metode ekstraksi dengan
perkolasi. Penyarian dengan metode perkolasi adalah pemyarian dengan dengan
cara mengalirkan cairan penyari memalui serbuk simplisia yang telah terlebih
dahulu dibasahi. Serbuk simplisia ditempatkan disuatu bejana silinder yang
dibawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah
melalui serbuk tersebut, cairan penyari ini akan melarutkan sel-sel yang dilaluinya
hingga mencapai keadaan jenuh.
Isolasi senyawa Flavonoid (α-mangostin) dilakukan pada praktikum ini
berasal dari sampel kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.) yang telah
dikeringkan dan hancurkan sampai halus. Adapun tujuan pengeringan ini adalah
untuk meninaktivasi enzim yang terkandung di dalam jaringannya, selain itu juga
untuk mencegah tumbuhnya jamur, sehingga sampel bisa digunakan untuk waktu
yang lama. Didalam langkah kerja juga di haruskan sampelnya dalam keadaan
halus dengan tujuan adalah agar luas permukaan sampel bertambah sehingga
mempermudah proses pelarutan senyawa-senyawa yang terkandung didalam
sampel.

37
Sebelum mengisolasi senyawa α-mangostin dilakukan ekstraksi dingin,
yaitu dengan perkolasi. Pada tahap awal, dihilangkan senyawa-senyawa non-
polar, seperti lemak dengan menggunakan pelarut n-heksan. Karena yang diisolasi
adalah bagian kulit, kita ketahui bahwa bagian kulit memiliki banyak kandungan
lain selain senyawa utama contohnya seperti lemak. Kemudian diperkolasi dengan
etil asetat bertujuan untuk menarik senyawa alfa mangostin yang cenderung
bersifat semi polar. Dalam melakukan maserasi ini juga dibantu dengan
pengocokan, sehingga senyawa yang diinginkan lebih mudah tertarik

Perkolat dipekatkan dengan rotary evaporator sehingga didapatkan fraksi


kentalnya, dan fraksi ini di kristalisasi dengan menggunakan 2 pelarut berbeda
kepolarannya, yaitu etil asetat dan h-heksan. Rekristalisasi dilakukan berulang-
ulang, sampai didapatkan senyawa murni.
Setelah itu dilakukan pengecekan KLT dengan menggunakan eluen n-
heksan : etil asetat dengan perbandingan 5 : 5. Didapatkanlah 4 buah noda dengan
nilai Rf yang berbeda. Namun yang diduga adalah senyawa alfa mangostin yaitu
noda ke 4 dimana noda ini adalah yang paling besar dengan nilai Rf sebesar 0,57.
Kemungkinan ini karena alfa mangostin adalah senyawa mayor yang terdapat
dalam kulit buah manggis.

Hasil isolasi yang didapatkan adalah sebanyak 70,896 g dengan randemen


sekitar 47,26 %, berat ekstraks n-heksana sebanyak 44,813 gram dengan
rendemennya yaitu 29,87%, dan berat ekstrak etil asetat yaitu 40,029 gram dengan
nilai rendemen nya yaitu 26,680 % Pada pengujian kromatografi kolom vial yang
mempunyai nilai Rf paling tinggi yaitu pada vial no Vial 21 (heksan : etil asetat (4
: 6)) dengan nilai Rf nya yaitu 0,825

Hasil uji skrining fitokimia menunjukkan bahwa kulit buah manggis


(Garcinia mangostana L.) mengandung senyawa golongan alkaloid, terpenoid,
saponin, flavonoid, dan fenolik sedangkan menunjukan hasil negatif terhadap
senyawa steroid.

38
BAB V

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

1. Ekstrak kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.) mengandung


senyawa alkaloid, terpenoid, saponin, flavonoid, dan fenolik sedangkan
menunjukan hasil negatif terhadap senyawa steroid.
2. Uji KLT dengan menggunakan eluen n-heksan : etil asetat dengan
perbandingan 5 : 5. Didapatkanlah 4 buah noda dengan nilai Rf yang
berbeda. noda ke 4 adalah yang paling besar dengan nilai Rf sebesar 0,57
3. Hasil isolasi yang didapatkan adalah berat ekstrak sebanyak 70,896 g
dengan randemen sekitar 47,26 %, berat ekstraks n-heksana sebanyak
44,813 gram dengan rendemennya yaitu 29,87%, dan berat ekstrak etil
asetat yaitu 40,029 gram dengan nilai rendemen nya yaitu 26,680 %
4. Pada pengujian kromatografi kolom vial yang mempunyai nilai Rf paling
tinggi yaitu pada vial no 21 (heksan : etil asetat (4 : 6)) dengan nilai Rf nya
yaitu 0,825

3.3 SARAN

39
DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M., 1997, Teknik Kromatografi Untuk Analisis Bahan Makanan, Penerbit
Andi, Yogyakarta.

Hutapea, J.R., 1994, Inventaris Tanaman Obat Indonesia Jilid III, Departemen
Kesehatan RI dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Ni’m Manggis (Garcinia Mangostana Linn) dengan Ketokonazole 2% dalam


Menghambat Pertumbuhan Pityrosporum Ovale pada Ketombe.
Semarang: Universitas Diponegoro.

Nugroho, Agung Endro. 2011. Manggis (Garcinia mangostana L.) : dari Kulit
Buah yang Terbuang Hingga Menjadi Kandidat Suatu Obat.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Shabella, R., 2011, Terapi Kulit Manggis, Galmas Publisher, Yogyakarta.

Verheij, E.W.M. 1992. Garcinia mangostana L. p. 177-181. In. E.W.M. Verheij


and R.E. Coronel (Eds). Edible Fruit and Nuts. Plant Resources of
South East Asia 2. Bogor. Indonesia.

40

Anda mungkin juga menyukai