Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

PERITONITIS

Pembimbing :
dr. Agoes Tino, SpB

Disusun oleh :
Nira (11-2014-257)
Fiqih Vidiantoro Halim (11-2015-182)
Febriane Adeleide Everdine (11-2015-343)

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN ANTARIKSA

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA JAKARTA

PERIODE 5 SEPTEMBER 2016 – 12 NOVEMBER 2016

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peritonitis merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada penderita
bedah dengan mortalitas sebesar 10-40%. Beberapa peneliti mendapatkan angka
ini mencapai 60% bahkan lebih dari 60%.
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis,
salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post
operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal,
peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-kecilan);
kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun,
dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang
memudahkan terjadinya peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena
setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya
tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Maka dari latar belakang diatas, penulis tertarik untuk menulis referat
tentang peritonitis.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan referat ini diantaranya adalah untuk memberikan gambaran
mengenai Peritonitis beserta penanganannya.

2
1.3 Manfaat
Referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis serta
pembaca mengenai peritonitis. Selain itu, referat ini juga akan dijadikan untuk
melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik di bagian Bedah RSAU ESNAWAN
HALIM

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian atau
seluruh selaput peritoneum parietale ataupun viserale pada rongga abdomen.
Peritonitis merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut dan
kronis. Seringkali disebabkan dari penyebaran infeksi yang berasal dari organ-organ
di cavum abdomen. Penyebab tersering adalah perforasi dari organ lambung, colon,
kandung empedu dan apendiks. Infeksi dapat juga menyebar dari organ lain yang
menjalar melalui darah.
Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan
patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu
kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut
peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary
peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis
diketagori sebagai primary peritonitis.

2.2 Anatomi dan Fisiologi


Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Di
bagian belakang, struktur ini melekat pada tulang belakang, di sebelah atas pada iga,
dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri atas beberapa
lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kutis dan subkutis; lemak
subkutan dan fasia superfisial (fasia Scarpa); kemudian ketiga otot dinding perut,
m.oblikus abdominis eksternus, m.oblikus abdominis internus, dan m.tranversus
abdominis; dan akhirnya lapis preperitoneal, dan peritoneum. Otot di bagian depan
terdiri atas sepasang otot rektus abdominis dengan fasianya yang di garis tengah
dipisahkan oleh linea alba.

4
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut.
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kranikaudal diperoleh
pendarahan dari cabang aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior. Dari
kaudal, a.iliaka sirkumfleksa superfisialis, a.pudenda eksterna, dan a.epigastrica
inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun
vertikal tanpa menimbulkan gangguan pendarahan. Persarafan dinding perut dilayani
secara segmental oleh n.torakalis VI s/d XII dan n.lumbalis I.

Gambar 1 :Tampak anterior otot dinding abdomen dan penampang melintang


otot abdomen

5
Regio digunakan untuk pemeriksaan yang lebih rinci atau lebih spesifik, yaitu
dengan menarik dua garis sejajar dengan garis median dan garis transversal yang
menghubungkan dua titik paling bawah dari arkus kosta dan satu lagi yang
menghubungkan kedua spina iliaka anterior superior (SIAS). Bedasarkan pembagian
yang lebih rinci tersebut permukaan depan abdomen terbagi menjadi 9 regio:

Gambar 3: 9 regio abdomen

 Hypochondrium dextra, yaitu regio kanan atas:

 Hepar dan Vesica fellea

 Epigastrium, regio yang berada di ulu hati :

 Gaster, Hepar, Colon transversum

 Hypochondrium sinistra, regio yang berada di kiri atas:

 Gaster, Hepar, Colon Transversum

6
 Lumbaris dextra, regio sebelah kanan tengah:

 Colon ascendens

 Umbilicalis, regio tengah:

 Intestinum tenue, Colon transversum

 Lumbaris sinistra, regio sebelah kiri umbilikalis:

 Intestinum tenue, Colon descendens

 Inguinalis dextra, regio kanan bawah:

 Caecum, Appendix vermiformis

 Hypogastrium / Suprapubicum, regio di tengah bawah:

 Appendix vermiformis, Intestinum tenue, Vesica urinaria

 Inguinalis sinistra, regio kiri bawah:

 Intestinum tenue, Colon descendens, Colon sigmoideum

Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang tipis
mengkilap yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga
abdominal. Lapisan membran yang membatasi dinding abdomen dinamakan
peritoneum parietale, sedangkan bagian yang meliputi organ dinamakan peritoneum
viscerale. Di sekitar dan sekeliling organ ada lapisan ganda peritoneum yang
membatasi dan menyangga organ, menjaganya agar tetap berada di tempatnya, serta
membawa pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf.
Mesenterium ialah bangunan peritoneal yang berlapis ganda, bentuknya seperti
kipas, pangkalnya melekat pada dinding belakang perut dan ujungnya yang
mengembang melekat pada usus halus. Di antara dua lapisan membran yang
membentuk mesenterium terdapat pembuluh darah, saraf dan bangunan lainnya yang
memasok usus. Bagian mesenterium di sekitar usus besar dinamakan mesokolon.

7
Lapisan ganda peritoneum yang berisi lemak, menggantung seperti celemek di
sebelah atas depan usus bernama omentum majus. Bangunan ini memanjang dari tepi
lambung sebelah bawah ke dalam bagian pelvik abdomen dan kemudian melipat
kembali dan melekat pada colon tranversum. Ada juga membran yang lebih kecil
bernama omentum minus yang terentang antara lambung dan liver.

Gambar 4: peritoneum

Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat ± 100cc cairan peritoneal yang
mengandung protein 3 g/dl. Sebagian besar berupa albumin. Jumlah sel normal
adalah 33/mm3 yang terdiri dari 45% makrofag, 45% sel T, 8% sisanya terdiri dari
NK, sel B, eosinofil, dan sel mast serta sekretnya terutama prostasiklin dan PGE2.
Bila terjadi peradangan jumlah PMN dapat meningkat.
Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui limfe
diafragma sedang sisanya melalui peritoneum parietalis.
Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan partikel
termasuk bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel difragma yang
berhubungan dengan lacuna limfe untuk bergerak le limfe substernal. Kontraksi
diafragma menutup stomata dan mendorong limfe ke mediastinum.

8
Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis dan
mencegah terjadinya perlekatan. Peritoneum menangani infeksi dengan 3 cara:

1. Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragma


Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri
kearah stomata. Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah,
bakteri yang turut dalam aliran dapat bersarang di bagian atas dan dapat
menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis, yaitu nyeri perut atas yang disebabkan
perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii.
Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan
intersisiel ke rongga peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu,
asam lambung, dan enzim pancreas memperbesar pergeseran cairan ini.

2. Penghancuran bakteri oleh sel imun


Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil,
makrofag, sel mast, dan limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi.
Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi zat
vasoaktif yang mengandung histamine dan prostaglandin. Histamine dan
prostaglandin yang dilepas sel mast dan makrofag menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum sehingga menimbulkan
eksudasi cairan kaya komplemen, immunoglobulin, faktor pembekuan, dan
fibrin.
Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan respon
mediator pro-inflamasi di daerah sakit sampai terjadi kesembuhan dimana mulai
timbul mediator anti-inflamasi yang menghentikan proses pro-inflamasi.
Keadaan ini menunjukkan adanya keseimbangan fungsi antara respon pro- dan
anti-inflamasi. Tetapi pada keadaan tertentu dapat terjadi ketidakseimbangan
dimana salah satu yaitu: pro-inflamasi atau anti-inflamasi atau bahkan keduanya
sekaligus meningkat hebat diluar kebutuhan penderita. Dalam keadaan ini kedua

9
mediator yang bertentangan dapat menimbulkan kerusakan organ hebat sehingga
terjadi kegagalan organ.

3. Lokalisasi infeksi sebagai abses


Pada peningkatan permeabilitas venula terjadi eksudasi cairan kaya
protein yang mengandung fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan tromboplastin
yang mengubah protrombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin.
Fibrin akan menangkap bakteri dan memprosesnya hingga terbentuk abses. Hal
ini dimaksud untuk menghentikan penyebaran bakteri dalam peritoneum dan
mencegah masuknya ke sistemik. Dalam keadaan normal fibrin dapat
dihancurkan antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme ini tak berfungsi.

2.3 Etiologi
Penyebab yang paling serius dari peritonitis adalah terjadinya suatu hubungan
(viskus) ke dalam rongga peritoneal dari organ-organ intra-abdominal (esofagus,
lambung, duodenum, intestinal, colon, rektum, kandung empedu, apendiks, dan saluran
kemih), yang dapat disebabkan oleh trauma, darah yang menginfeksi peritoneal, benda
asing, obstruksi dari usus yang mengalami strangulasi, pankreatitis, PID (Pelvic
Inflammatory Disease) dan bencana vascular (trombosis dari mesenterium/emboli).
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi
akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis,
salpingitis), ruptur saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang
sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon pada kasus ruptur
apendiks, seperti Escherichia coli atau Bacteroides sedangkan stafilokokus dan
stretokokus sering masuk dari luar.
Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:
 Peritonitis primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung
dari rongga peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer

10
adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis.
Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites akan berkembang
menjadi peritonitis bakterial. Peritonitis primer dibedakan menjadi : 1) Spesifik
yaitu peritonitis yang disebabkan oleh infeksi kuman yang spesifik seperti kuman
Tb. 2) Non spesifik yaitu Peritonitis yang disebabkan oleh infeksi kuman yang
non spesifik seperti pneumonia. Infeksi peritonitis relatif sulit ditegakkan dan
sangat bergantung dari penyakit yang mendasarinya.
 Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi
appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon
(paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta
strangulasi usus halus.

Table 1. Penyebab peritonitis sekunder


Regio asal Penyebab
Esophagus Boerhaave syndrome
keganasan
Trauma (sebagian besar menembus)
Perut Perforasi ulkus peptikum
Keganasan (Adenokarsinoma, Lympoma,
Tumor stroma gastrointestinal)
Trauma (sebagian besar menembus)
Duodenum Perforasi ulkus peptikum
Trauma (Tumpul dan Tajam)
Saluran Empedu Kolesistitis
Perforasi batu di kandung empedu
Keganasan
Trauma (sebagian besar menembus)

11
Pancreas Pancreatitis
Trauma (Tumpul dan Tajam)
Usus kecil Usus iskemik
Hernia inkaserata
Obstruksi
Crohn disease
Keganasan
Diventrikulum meckel
Trauma (sebagian besar menembus)
Usus besar dan Usus iskemik
appendix Keganansan
Diventrikulitis
Colitis
Appendiksitis
Trauma (sebagian besar menembus)
Uterus, salpinx Penyakit radang panggul (misalnya
dan ovarium salpingitis, tubo ovarium abses, kista ovarium

 Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan
akibat tindakan operasi sebelumnya.
Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized
(peritonitis) dan localized (abses intra abdomen).
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous Bacterial
Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi
intraabdomen, namun biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat penyakit
hati kronik. Akibat asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal
sehingga menjadi translokasi bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe

12
mesenterium, kadang-kadang terjadi pula penyebaran hematogen jika telah terjadi
bakteremia. Sekitar 10-30% pasien dengan sirosis dan asites akan mengalami
komplikasi seperti ini. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi
risiko terjadinya peritonitis dan abses. Hal tersebut terjadi karena ikatan opsonisasi
yang rendah antarmolekul komponen asites.
Sembilan puluh persen kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba.
Patogen yang paling sering menyebabkan infeksi ialah bakteri gram negatif, yakni
40% Eschericia coli, 7% Klebsiella pneumoniae, spesies Pseudomonas, Proteus, dan
gram negatif lainnya sebesar 20%. Sementara bakteri gram positif, yakni
Streptococcus pneumoniae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan golongan
Staphylococcus sebesar 3%. Pada kurang dari 5% kasus juga ditemukan
mikroorganisme anaerob dan dari semua kasus, 10% mengandung infeksi campur
beberapa mikroorganisme.
Sedangkan peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering
terjadi, disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ
dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius
tergantung penyebab asalnya. Berbeda dengan SBP, peritonitis sekunder lebih
banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas.
Pada pasien dengan supresi asam lambung dalam waktu panjang, dapat pula terjadi
infeksi gram negatif. Kontaminasi kolon, terutama dari bagian distal, dapat
melepaskan ratusan bakteri dan jamur. Umumnya peritonitis akan mengandung
polimikroba, mengandung gabungan bakteri aerob dan anaerob yang didominasi
organisme gram negatif.
Sebanyak 15% pasien sirosis dengan asites yang sudah mengalami SBP
akan mengalami peritonitis sekunder. Tanda dan gejala pasien ini tidak cukup
sensitif dan spesifik untuk membedakan dua jenis peritonitis. Anamnesis yang
lengkap, penilaian cairan peritoneal, dan pemeriksaan diagnostik tambahan
diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan tata laksana yang tepat untuk pasien
seperti ini.

13
2.4 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan
obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa
ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba
untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung,
tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum
dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi
sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen
usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan

14
dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa
ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah
dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari

15
makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung,
sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di
ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan
dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi
pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri
kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan,
defansmuskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan
peritoneum yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium
akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan
menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak
kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama
dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam
lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut
menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria,
kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan
rangsangan peritoneum berupa pengenceran zat asam garam yang merangsang, ini
akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis
bacteria.
Pada apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena
sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik
lokal maupun general.

16
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai
organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai
dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia
sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat
dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah
lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi
gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula
tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena
perangsangan peritoneum.

2.5 Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di
dalam rongga abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor
yaitu : lamanya penyakit, perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan
kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta tingkat kesehatan penderita secara
umum.
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal
dari awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal
meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi,
adanya udara bebas pada cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang
merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus.
Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu,
gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok.

17
2.5.1 Gejala
 Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada
peritonitis. Nyeri biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba.
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus,
tidak ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai
gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan
peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan
adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah
meningkat disertai dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari
peritonitis.
Nyeri dirasakan seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat
menunjukkan secara tepat letaknya dengan jari. Rangsang yang menimbulkan
nyeri ini dapat berupa rabaan, tekanan, rangsang kimiawi, atau proses radang.
 Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti
dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa
seperti demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul.
Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38OC sampai 40 OC.
 Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini
termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong,
kedua telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat.
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya
berada pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka
berbaring dengan lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena
setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen.

18
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat
kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan
perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang.
 Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor.
Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke
lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata.
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan
kuman gram negative dimana dapat menyebabkan terjadinya tahap yang
menyerupai syok. Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari
penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat
memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang
terlihat pada manusia.

2.5.2 Tanda
 Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau
komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolik dapat
dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai
mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi,
berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat
menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera
diketahui dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian
tertentu mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.
 Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya
distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak
menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada

19
awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda
distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi
kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik.

 Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara
usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal
sampai hampir tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan
ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltik yang terdengar tanpa stetoskop
lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-
tiba hilang pada abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi
dari usus yang mengalami strangulasi.
 Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman
pemeriksa. Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi
intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum
yang berasal dari intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan
tanda awal dari peritonitis.
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga,
udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga
akan ditemukan pekak hepar yang menghilang.

20
 Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada
kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah
yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai
terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang
kuat langsung pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak
berguna. Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada
wanita yang sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua,
sulit untuk menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen.
Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap
lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan
biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter. Orang yang
cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan
kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri
tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu proses inflamasi.
Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi lokal, atau dapat
menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat
hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang
maksimal.
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan
spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis,
reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti papan.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


2.6.1 Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara
riwayat penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan
adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel

21
darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat
tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat
mengerahkan mekanisme pertahanannya.
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan
didominasi oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan,
meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata.
Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi
hepar dan ginjal dapat dilakukan.
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak
protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi
dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi
memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar
diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.

2.6.2 Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya
mencakup foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak
dapat memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan
proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak diafragma dapat
terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara bebas dalam
cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen.

Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :

1. Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi


anteroposterior (AP).
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal,
proyeksi AP.

22
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat
mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan
film ukuran 35 x 43 cm.
Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase
usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan
gambaran radiologis antara lain:
1. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada
tidaknya penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di
proksimal daerah obstruksi, penebalan dnding usus, gambaran seperti
duri ikan (Herring bone appearance).

Gambar 4. Herring bone appearance


2. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi
usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air
fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-
panjang kemungkinan gangguan di kolon. Gambaran yang diperoleh
adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level.

23
Gambar 5. air fluid level

3. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh


adanya air fluid level dan step ladder appearance.

Gambar 6. step ladder appearance

Jadi gambaran radiologis pada ileus obstruktif yaitu adanya distensi usus partial,
air fluid level, dan herring bone appearance.

24
Sedangkan pada ileus paralitik didapatkan gambaran radiologis yaitu :

1. Distensi usus general, dimana pelebaran usus menyeluruh sehingga kadang-


kadang susah membedakan antara intestinum tenue yang melebar atau
intestinum crassum.
2. Air fluid level
3. Herring bone appearance

Bedanya dengan ileus obstruktif : pelebaran usus menyeluruh sehingga air


fluid level ada yang pendek – pendek (usus halus) dan panjang – panjang (kolon)
karena diameter lumen kolon lebih lebar daripada usus halus. Ileus obstruktif
bila berlangsung lama dapat menjadi ileus paralitik.

Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada


foto polos abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG
(ultrasonografi).

Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada


pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena
ulkus peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda utama radiologi
adalah:

1. Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line


menghilang, dan kekaburan pada cavum abdomen.
2. Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air sub diafragma berbentuk bulan
sabit (semilunair shadow).

25
Gambar 7. free air sub diafragma

3. Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling
tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis
dengan dinding abdomen.

Gambar 8. free air intra peritonial

26
Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada cavum
abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas
subdiafragma atau intra peritoneal.6,11

Gambar 9: Foto BNO pada peritonitis

2.7 Tata Laksana


Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.
Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna dengan :
1. memuasakan pasien
2. dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal
3. penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena
4. pemberian antibiotik yang sesuai
5. pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainnya
6. bila mungkin dengan mengalirkan nanah keluar
7. tindakan-tindakan menghilangkan

27
2.7.1 Penanganan Preoperatif

 Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan
perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang
intersisial.
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui
intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan
status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari
hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole
Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti cairan
yang hilang.
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan
cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid
lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar
karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal.
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan
dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi.

 Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi
bakteri aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus,
sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium,
Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terapi peritonitis,
pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau
anaerob yang menginfeksi peritoneum.
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan
hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika
masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai

28
dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan
antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil
dari uji sensitivitas.
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi
seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis
trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida.
Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu,
selama dan setelah operasi.
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram
harus segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika
dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan
streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan
beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai
didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita
yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara
parenteral lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi.
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan
aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk
gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob.
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting
daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal
awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan
aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal
merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH
intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian
antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung
sel darah putih yang normal.

29
 Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada
peritonitis cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari
metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-
paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti (1)
ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan
meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang
ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan
dangkal.

 Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik


Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari
abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi
jumlah udara pada usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari
kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah,
nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia
preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali
fosfatase dan urinalisis.

2.7.2 Penanganan Operatif


Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya
dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini
berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau
dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang
didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum
peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan
membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen.

30
 Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk
menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi
penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada
peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi yang
terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau
nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari
seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat
bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan
tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus
perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan
jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah
memasuki kavum peritoneum.

 Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3
liter) dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin,
serta bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak
berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin,
povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai
level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada
pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan
aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi
karena kelompok obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction.
Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi
karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan
benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri.

31
 Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan
peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum
peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang
terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan
kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah
pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula.
Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan.
Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang
tidak dapat direseksi.

2.7.3 Pengananan Postoperatif


Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang
tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk
perfusi organ-organ vital, dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping
pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada
keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang
normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum
membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan
peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat
menurunkan resiko infeksi sekunder.

2.8 Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi
komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis
intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama
postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan
distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya infeksi
abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-

32
Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ
yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun.

2.9 Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis, antara lain:
1. jenis infeksinya/penyakit primer
2. durasi/lama sakit sebelum infeksi
3. keganasan
4. gagal organ sebelum terapi
5. gangguan imunologis
6. usia dan keadaan umum penderita
Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau
apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan
pada pasien yang terdiagnosis lebih awal.
Keterlambatan penanganan 6 jam meningkatkan angka mortalitas
sebanyak 10-30%. Pasien dengan multipel trauma 80% pasien berakhir dengan
kematian. Peritonitis yang berlanjut, abses abdomen yang persisten, anastomosis
yang bocor, fistula intestinal mengakibatkan prognosis yang jelek.

33
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum-lapisan membrane serosa
membran serosa rongga abdomen dan meliputi visera. Penyebab yang paling
serius dari peritonitis adalah terjadinya suatu hubungan (viskus) ke dalam rongga
peritoneal dari organ-organ intra-abdominal (esofagus, lambung, duodenum,
intestinal, colon, rektum, kandung empedu, apendiks, dan saluran kemih), yang
dapat disebabkan oleh trauma, darah yang menginfeksi peritoneal, benda asing,
obstruksi dari usus yang mengalami strangulasi, pankreatitis, PID (Pelvic
Inflammatory Disease) dan bencana vascular (trombosis dari
mesenterium/emboli). Tanda-tanda peritonitis yaitu demam tinggi dan mengigil,
bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi.
Nyeri abdomen yang hebat, dinding perut akan teras tegang karena iritasi
peritoneum.
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi
lokal dan sistemik. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas
antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ
multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Wim de Jong. Sjamsuhidayat. R. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2011.
2. Arief M., Kuspuji T, Syafitri R, Wahyu I,. Bedah digestif, dalam Kapita Selekta
Kedokteran, Ed: 4; Jilid: 1; Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2014.
3. Brian J. Peritonitis and abdominal sepsis; 2011.
4. Marshall JC. Intensive care management of intra abdominal infection. Critical Care
Medicine. 2003, 31(8) : 2228-37
5. Evans, HL. Tertiary peritonitis (recurrent diffuse or localized disease) is not an
independent predictor of mortality in surgical patients with intra abdominal
infection. surgical infection (larchmt). 2001. 2(4) : 255-63
6. Hau, T. Peritoneal defense mechanisms. Turk J Med Sci. 2003. 33: 131-4
7. Schrock. TR. Peritonitis dan massa abdominal dalam ilmu bedah, Ed.7, alih bahasa
dr. Petrus Lukmanto, Jakarta: EGC; 2000.
8. Fauci et al. Harrison’s principal of internal medicine volume 1, McGraw Hill,
Peritonitis; 2008. 44(16): 927-36
9. Doherty, Gerard. Peritoneal cavity in current surgical diagnosis & treatment 12ed.
USA: The McGraw-Hill Companies; 2006.
10. Schwartz et al. Priciple of Surgery 10th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill.
2015. h.1459-67

35

Anda mungkin juga menyukai