Anda di halaman 1dari 41

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


JL. Terusan Arjuna No. 6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT MARDI RAHAYU

Nama : Diana Atmaja Tanda Tangan


NIM : 11.2015.113
Dr. Pembimbing : dr. Christina Widjajani, Sp.PD

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 52 tahun
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Status pernikahan : Janda
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Janggalan , kota, Kudus
No. RM : 451524
Tanggal masuk RS : 10 September 2016
Dikasuskan tanggal : 11 September 2016

II. ANAMNESIS
Diambil dari autoanamnesis : tanggal 11 September 2016
Keluhan utama : batuk sejak 1 bulan SMRS

1
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan batuk dan sesak nafas sejak 1 bulan SMRS.
Sesak dirasakan bersamaan bila sedang batuk terutama pada saat menarik napas.
Sesak tidak pernah dirasakan apabila pasien dalam posisi tidur atau tidak dipengaruhi
pekerjaan. Batuk disertai dengan dahak berwarna kuning pekat tanpa darah.
Terkadang disertai demam yang hilang timbul sepanjang hari namun tidak sampai
mengigil. Pasien juga mengeluh sering lemas, mual dan nafsu makan menurun. Pasien
makan dua kali sehari dengan porsi sedikit. Pasien juga mengeluhkan suaranya sesak
semenjak batuk 1 bulan tersebut.
Pasien mengatakan tidak pernah mengeluarkan keringat yang banyak pada
malam hari, dan mengatakan bahwa berat badan sudah turun + 10 kg dalam 3 bulan
terakhir. Pasien juga mengatakan tetangga di samping rumahnya ada yang mengalami
sakit paru dan mengalami gejala yang sama. Pasien menerangkan bahwa tempat ia
tinggal rumah satu dengan yang lainnya sangat berdekatan dan pasien juga
menerangkan bahwa ia belum pernah mendapatakan pengobatan paru sebelumnya.
Pasien mengatakan BAB biasa saja, BAK berwarna coklat sedikit pekat tidak
nyeri dan tidak ada darah. Pasien bukan seorang perokok aktif dan tidak minum
alkohol.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien mengaku tidak pernah mengalami riwayat penyakit seperti ini
sebelumnya. Riwayat kencing manis (-), darah tinggi (-), sakit maag (-), penyakit
jantung (-).
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak memiliki keluarga yang memiliki gejala yang sama. Riwayat kencing
manis (-), darah tinggi (-), sakit maag (-), penyakit jantung (-), penyakit paru-paru (-)
Riwayat Obat :
Pasien memiliki alergi terhadap obat ampicilin dan sulfamethoxazole.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Umum (dilakukan pada tanggal 11 September 2016)
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tinggi badan : 156 cm
Berat badan : 35 kg

2
Indeks Massa Tubuh : 14,38 kg/m2
Tanda vital :
 Tekanan darah : 100/70 mmHg
 Nadi : 84x/ menit, kuat angkat, denyut regular
 Nafas : 22x/menit, reguler
 Suhu aksila : 36,20C
 Saturasi O2 : 98 %

Pemeriksaan Fisik
o Kepala : normocephali, tidak terdapat benjolan maupun lesi, distribusi rambut
merata, warna hitam, rambut tidak mudah dicabut
o Mata : pupil isokor diameter 3 mm, lensa jernih, refleks cahaya langsung (+/+),
reflex cahaya tidak langsung (+/+), konjungtiva pucat (+/+), sklera
ikterik (-/-), edema palpebra (-/-), cekung (-/-)
o Hidung : pernafasan cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), nyeri tekan sinus
paranasal (-)
o Telinga : nyeri tekan tragus dan mastoid (-), liang lapang, serumen (-), sekret (-)
o Mulut : simetris, bibir kering (-), bibir sianosis (-), devisi lidah (-), faring
Hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
o Leher : trakea deviasi ke sinistra, KGB tidak membesar, tiroid tidak membesar,
JVP 5-2 cmH20
Thorax
 Inspeksi
Bentuk normal, pergerakan dada tidak simetris (dada kiri tertinggal), pernafasan
torakoabdominal, retraksi intercostal (-)
 Palpasi
Nyeri (-), benjolan (-), retraksi sela iga (-)

Pulmo

Depan Belakang
Inspeksi Kiri Dada tertinggal pada saat dinamis Simetris saat statis dan dinamis
Sela iga normal, benjolan (-) Sela iga normal, benjolan (-)
Kanan Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis

3
Sela iga normal, benjolan (-) Sela iga normal, benjolan (-)
Palpasi Kiri Sela iga normal, benjolan (-), Sela iga normal, benjolan (-),
nyeri tekan (-), fremitus taktil menurun nyeri tekan (-), fremitus taktil menurun
Kanan Sela iga normal, benjolan (-), Sela iga normal, benjolan (-),
nyeri tekan (-), fremitus taktil simetris nyeri tekan (-), fremitus taktil simetris
Perkusi Kiri Redup mulai dari ICS I Redup mulai dari ICS V
Kanan Sonor pada seluruh lapang paru Sonor sepanjang linea scapularis
Batas paru-hati linea midclav dextra, sela
iga VI, peranjakan 2 cm
Auskultasi Kiri suara napas dasar vesikuler melemah , ICS III vesikuler dan seterusnya suara
Rhonki (+), Wheezing (-) napas melemah , Rhonki (+), Wheezing (-
)
Kanan SN Vesikular, Rhonki (-), Wheezing (-) SN Vesikular, Rhonki (-), Wheezing (-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat, tidak ada lesi kulit, tidak ada bekas operasi
Palpasi : Ictus cordis teraba 1 cm lateral di sela iga 4 garis mid-clavicularis kiri
Perkusi :
Batas atas : sulit dinilai
Batas kanan : Sela iga 4 garis sternalis kanan
Batas kiri : sulit dinilai
Auskultasi : BJ I-II murni, reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop

Perut
Inspeksi : Bentuk perut datar, tidak terlihat lesi kulit dan bekas luka
operasi, tidak tampak adanya pelebaran vena.
Palpasi
Dinding perut : supel, nyeri tekan (-), benjolan (-), defense muscular (-)
Hati : Tidak teraba pembesaran hati
Limpa : tidak teraba pembesaran limpa
Ginjal : Ballotement (-), nyeri ketok CVA (-)
Lain-lain : tidak ada
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi : Bising usus normoperistaltik, tidak ada bruit

4
Colok Dubur (atas indikasi) : Tidak dilakukan pemeriksaan
Alat Kelamin (atas indikasi) : Tidak dilakukan pemeriksaan
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Luka : Tidak ada Tidak ada
Varises : Tidak ada Tidak ada
Otot
Tonus : Normotonus Normotonus
Massa : Eutrofi Eutrofi
Sendi : Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Gerakan : Aktif Aktif
Kekuatan : 5 5
Oedem : Tidak ada Tidak ada
Lain-lain : Akral hangat Akral hangat

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG ( 11 September 2016)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Haemoglobin 8.4 g/dL 13,5-18,0 g/dL
Leukosit 8470/mm3 4000-10500/mm3
Hematokrit 25.80 % 42-52 %
Jumlah Trombosit 580.000/uL 163000-337000/uL
Jumlah Eritrosit 3.6 juta/uL 4.20 – 5.60
MCV 71 fL 78 – 95
MCH 23 pg 26 – 32
MCHC 33 g/dL 32 – 36
RDW – CV 11,8 % 11.5 – 14.0
Laju Endap Darah (LED) 94 mm/jam 0 – 10
Hitung Jenis
Basofil 0,20 % 0,2 – 1,2
Eosinofil 0,20 % 0,8 – 7,0
Neutrofil 85.00% 34,0 – 67,9
Limfosit 7.20 % 21,8 – 53,1

5
Monosit 7,40 % 5,3 – 12,2
LED 1 jam 69 mm/jam 0-20
LED 2 jam 105 mm/2jam

KIMIA
Ureum 17.0 mg/ dL 21 - 43
Creatinin 0.48 mg/ dL 0.6 – 1.1
SGPT 8 U/ L 7 – 35
Albumin 2.30 g/ dL 3.4 – 4.8
Natrium 133.5 mmol/ L 135 – 147
Kalium 3.51 mmol/ L 3.5 – 5.1

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


F4 17.76 9-20
TSHs 1.61 0,25-5 : eutiroid
<0.15 : hipertiroid
>7 : hipotiroid
Glukosa Puasa 81.0 mg/dL 70-105
Gula Darah 2 Jam Pagi 110.0 mg/dL <140

IMUNOSEROLOGI
Anti HCV Stick Negatif
HbsAG Stik Negatif

Radiologi ( 10 September 2016)


Pemeriksaan X-foto Thoraks
COR : CTR <50 %, bentuk dan letak
dalam batas normal
Tampak deviasi trakea ke kiri
PULMO : tampak kesuraman pada paru
kiri, lap tengah paru kanan. Corakan
bronkovaskuler meningkat.

6
Diafragma dan sinus kanan baik & sinus kiri suram.
Kesan :
Cor : tidak membesar
Pulmo : gambaran proses KP paru lama aktif
Disertai efusi pleura kiri dan suspek atelektasis lobus superior paru kiri.

MIKROBIOLOGI
(SPUTUM ) ZIEHL NIELSON
Bahan Sputum
Hasil BTA positif 3
Leukosit >25 / LPB
Epitel 0-1 /LPB

V. DAFTAR ABNORMALITAS
Anamnesis
1. Batuk 1 bulan, disertai dengan dahak berwarna kuning kental
2. Sesak nafas pada saat batuk
3. Terkadang disertai demam yang hilang timbul sepanjang hari
4. Berat badan sudah turun + 10 kg dalam 3 bulan terakhir
5. Tetangga di lingkungan rumah ada yang mengalami gejala yang sama

Pemeriksaan Fisik
1. Pergerakan dinding dada asimetris, dada kiri tertinggal
2. Taktil fremitus melemah pada dada kiri
3. Perkusi thorax kiri redup dimulai dari ICS I
4. Auskultasi toraks didapatkan ronki (+) pada apex kiri dan kanan

Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos thorax kesan
Tampak deviasi trakea ke kiri
Pulmo : terdapat gambaran proses KP paru lama aktif disertai efusi pleura kiri dan
suspek atelektasis lobus superior paru kiri

7
2. Haemoglobin 8.4 g/dL, jumlah eritrosit 3.6 juta/uL, MCV 71 fL, MCH 23 pg, LED 94
mm/jam, neutrofil 85%, limfosit 7,20%, LED 69mm/jam, ureum 17.0 mg/dL, creatinin
0.48 mg/dL, albumin 2,30 g/dL, natrium 133,5 mmol/L.
3. Kultur BTA +3, leukosit >25/LPB, epitel 0-1/ LPB

VI. ASSEMENT
1. Atelektasis et causa TB paru
Initial Plan Diagnosis (IPDx)
 X-foto thorax
 BTA Sputum

Initial Plan Therapy (IPTx)


 Rifampicine 300 mg 1x1
 Isoniazid 300 mg 1x1
 Pirazinamid 500 mg 1x2
 Ethambutol 500 1x2
 ceftazidime inj 2 gr IV
 Bromhexine 8mg 3x1

Initial Plan Monitoring (IPMx)


 Monitor TTV
 Monitor saturasi O2
 Monitor pasien minum obat rutin
 Pemeriksaan BTA akhir bulan ke 2,4,6 pengobatan
 X-foto toraks 3 bulan sekali

Initial Plan edukasi (IPEDx)


 Jelaskan pada pasien mengenai penyakit & sumber penularan
 Jelaskan pada pasien mengenai pengobatannya

8
2. Anemia mikrositik hipokrom
 Initial Plan Diagnostik (IPDx)
Lab : feritin, TIBC, hitung jenis retikulosit
 Initial Plan Therapy (IPTx)
Infus Packed Red Cell
 Initial Plan Monitoring (IPMx)
Monitoring TTV
Monitor Hb
 Intial Plan Education (IPEx)
Tirah baring

VII. PROGNOSIS
o Ad vitam : dubia ad bonam
o Ad fungsionam : dubia ad bonam
o Ad sanationam : dubia ad malam

9
TINJAUAN PUSTAKA

TUBERCULOSIS PARU
1.1. Definisi
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit kronik jaringan paru yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis.3,5 Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman yang
khas, yaitu : berbentuk batang yang dalam pengecatan bersifat tahan asam, tahan hidup pada
suhu kamar yang lembab, yang dapat hidup terutama pada paru atau diperbagai organ tubuh
yang lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi, diidentifikasikan
pertama kali oleh Robert Koch, disebut Tuberkulosis karena terbentuknya nodul yang khas
yaitu tuberkel.
Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob yang dapat hidup terutama
di paru atau di berbagai organ tubuh lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen
yang tinggi. Kuman ini juga mempunyai kandungan lemak yang tinggi pada membran
selnya sehingga menjadikan bakteri ini tahan asam dan pertumbuhan kumannya
berlangsung secara lambat. Bakteri ini mudah mati pada air mendidih dan tidak tahan
terhadap ultraviolet.3,6

1.2. Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di


dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai “ Global Emergency” . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan
bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta
adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB
terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat
dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2
kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk.1
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta
setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar
kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka
mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat

10
di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.1
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB
setelah India dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar
140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu
diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah
penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.1

1.3. Faktor Risiko


Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukinan di wilayah perkotaan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan yang biasanya terjadi
secara inhalasi dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Prevalensi
penyakit tuberkulosis masih tinggi juga dikarenakan tingkat infeksi yang masih tinggi
di masyarakat, penurunan daya tahan tubuh akibat kemiskinan, dan semakin tingginya
pola insidensi kasus resistensi tuberkulosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis.2,7
Tuberkulosis sering ditemukan menyertai DM. TB juga menyebabkan resistensi
insulin dan “brittle” diabetes. Akibat defek sistem imun pada penderita DM, terjadi
peningkatan virulensi kuman TB. Selain itu, keluhan dan tanda klinis TB Paru toksik
tersamar sehingga tidak pernah didiagnosis atau dianggap sebagai TB Paru ringan
oleh karena gangguan saraf otonom. 14
Umumnya penderita TB dalam keadaan malnutrisi dengan berat badan sekitar
30-50 kg atau indeks masa tubuh kurang dari 18,5 pada orang dewasa. Sementara
berat badan yang lebih kecil 85% dari berat badan ideal kemungkinan mendapat TB
adalah 14 kali lebih besar dibandingkan dengan berat badan normal. Hal ini
menunjukkan bahwa malnutrisi atau penurunan berat badan telah menjadi faktor
utama peningkatan resiko TB menjadi aktif. Kekurangan gizi pada seseorang akan
berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap
penyakit.14
Adanya kontak dengan BTA positif dapat menjadi sumber penularan yang
berbahaya karena berdasarkan penelitian akan menularkan sekitar 65% orang di
sekitarnya.

11
Gambar 1. Faktor Risiko TB
1.4. Klasifikasi
Klasifikasi tuberkulosis menurut American Tuberculosis Association yaitu :5
1. Tuberkulosis minimal
Luas sarang-sarang yang kelihatan tidak melebihi daerah yang dibatasi oleh
garis median, apeks, dan iga 2 depan : sarang-sarang soliter dapat berada
dimana saja, tidak harus berada dalam daerah tersebut di atas. Tidak ditemukan
adanya kavitas.
2. Tuberkulosis lanjut sedang
Luas sarang-sarang yang bersifat bercak-bercak tidak melebihi luas satu paru,
sedangkan bila ada lubang, diameternya tidak melebihi 4cm.
3. Tuberkulosis sangat lanjut
Luas daerah yang dihinggapi sarang-sarang lebih dari klasifikasi kedua diatas,
atau bila ada lubang, diameter keseluruhan semua melebihi.

Berdasarkan Konsensus TB paru tahun 2003, maka TB dikategorikan menjadi 4


kelompok : 5
1. Kategori I : TB baru BTA (+) / (-), TB ekstra paru berat
2. Kategori II : TB kambuh, lalai berobat, gagal pengobatan
3. Kategori III : TB paru BTA (-) dengan lesi minimal
4. Kategori IV : TB kronik dan Multi Dose Resistant (MDR)
Di Indonesia, klasifikasi yang dipakai untuk TB paru adalah sebagai berikut:5
1. Tuberkulosis paru

12
2. Bekas Tuberkulosis paru
3. Tersangka Tuberkulosis paru, yang terbagi menjadi diobati dan tidak diobati
Dalam klasifikasi ini perlu disebutkan:5
- Status bakteriologis (mikroskopis sputum BTA, biakan BTA)
- Status radiologis, kelaian yang relevan dengan tuberkulosis paru
- Status kemoterapi, riwayat pengobatan dengan OAT.

1.5.Patofisiologi
I. Tuberkulosis primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam
udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi
yang baik dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan
berhari-hari sampai berbulan-bulan.4
Bila partikel ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada jalan nafas
atau paru-paru. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag
keluar dari trakeo-bronkhial beserta gerakan silia dengan sekretnya. Kuman juga
dapat masuk melalui luka pada kulit atau mukosa tapi hal ini sangat jarang terjadi.4,14
Bila kuman menetap di jaringan paru, ia bertumbuh dan berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman
yang bersarang di jaringan paru-paru akan membentuk sarang tuberkulosis pneumonia
kecil dan disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini dapat terjadi
dibagian mana saja jaringan paru dimana akan timbul peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah
bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer + limfangitis local + limfadenitis
regional = kompleks primer.4 Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:
1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus atau kompleks sarang Ghon.4

Penyebaran tuberkulosis dapat melalui beberapa cara sebagai berikut:


a. Per kontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya.

13
b. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru disebelahnya.
Dapat juga kuman tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke
usus.
c. Secara limfogen, ke organ tubuh lainnya
d. Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.
II. Tuberkulosis Post-primer
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post-
primer). Tuberkulosis post-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di
regio atas paru (bagian apical posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah
kedaerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.4
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel
histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh
sel-sel limfosit dan bermacam-macam jaringan ikat.4

1.6. Prosedur Diagnostik


Untuk menegakkan diagnosis, maka tuberkulosis perlu diketahui dan dibuktikan
dengan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:7
a. Anamnesis
 Gejala umum
- Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam satu bulan
dengan penanganan gizi.
- Nafsu makan tidak ada (anoreksia), dengan penurunan berat badan.
- Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas, dapat disertai keringat
malam.
- Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit.
- Gejala respiratorik seperti batuk yang lama lebih dari tiga bulan atau tanda
cairan di dada, nyeri dada.
- Gejala gastrointestinal seperti diare persisten yang tidak sembuh dengan
pengobatan diare atau benjolan/massa di abdomen atau tanda-tanda cairan
dalam abdomen. 5
 Gejala spesifik

14
- Tuberkulosis kulit atau sklofuroderma.
- Tuberkulosis tulang dan sendi misalnya gibbus, coxitis
- Tuberkulosis otak atau saraf, dengan gejala iritabel, kaku kuduk, muntah-
muntah dan kesadaran menurun.
- Gejala mata misalnya konjungtivitis fliktenularis (mata gatal dan merah),
tuberkel koroid.
- Tuberkulosis organ - organ lainnya. 5

b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tuberkulosis, sering tidak menunjukkan suatu kelainan,
terutama pada kasus yang dini atau yang terinfiltrasi secara asimptomatik. Tempat
yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang
luas, didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara bronchial. Akan didapatkan
juga suara nafas tambahan berupa ronkhi basah dan nyaring. Tetapi bila infiltrat
diliputi oleh penebalan pleura, suara nafas akan menjadi vesikuler melemah. Bila
terjadi kavitas yang cukup besar, perkusi menjadi hipersonor atau timpani dan
auskultasi memberikan suara amorfik.5-7
Bila terdapat jaringan fibrotik sangat luas yang mengakibatkan hipertensi
pulmonal dan gagal jantung kanan, akan ditemukan tanda-tanda seperti takipnea,
takikardia, sianosis, right ventricular lift, right arterial gallop, murmur, bunyi P2
yang mengeras, tekanan vena jugularis meningkat, hepatomegali, ascites, dan edema.2
Pada pemeriksaan efusi pleura akan ditemukan stem fremitus yang menurun,
perkusi yang pekak, tanda-tanda pendorongan mediastinum, suara nafas yang
menghilang pada auskultasi.2

c. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah :
1. Darah
- LED meningkat saat aktif, menurun saat regresi/menyembuh.
- Serologis yang dipakai adalah reaksi Takahashi (aktif atau tidak).
2. Sputum
Bila dari sputum ditemukan BTA, diagnosis dapat dipastikan. Kriterianya
adalah sekurang-kurangnya 3 kuman /sediaan, atau dalam 1ml sputum

15
diperlukan 5000 kuman untuk menyatakan positif. Dengan cara ini 30-70%
penderita TB positif terdeteksi secara bakteriologis. Pewarnaan dapat
dilakukan degan cara Tan Thiam Hok (modifikasi Kinyoun Gibbet).
Biakan dapat mengatakan positif bila ditemukan 50-100 kuman /ml sputum,
jadi kepekaannya lebih tinggi dari mikroskopik. Sputum dibiakkan dalam
medium Lowenstein-Jensen. Pada minggu ke 4-6 akan tampak koloni dari
M. tuberculosis, dan bila dalam 8 minggu tidak tumbuh, dinyatakan negatif.
Bila dalam proses pengambilan, transportasi, dan pengeraman ada gangguan,
dapat terjadi fenomena dead bacilli atau non culturable bacilli. Bahan lain
yang dapat diambil adalah bilasan lambung, cairan bronkus, jaringan paru,
pleura, jaringan kelenjar, LCS, urin, dan juga feses.5-7

 Pemeriksaan Radiologis
Saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara praktis untuk menemukan
lesi tuberkulosis.Lokasi lesi tuberkulosis umumnya berada di daerah apeks paru
(segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah). Tapi dapat juga
mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau daerah hilus menyerupai tumor paru
(misalnya pada tuberkulosis endobronkial).9,10
Pada awal penyakit, di mana lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia,
gambaran radiologisnya berupa bercak-bercak seperti awan dengan batas tidak tegas
yang dapat bertumpuk dengan bayangan klavikula dan costa. Membandingkan
densitas paru kanan dan kiri dapat menolong dan memperjelas.11
Bila proses penyakit telah berlanjut, bercak-bercak awan menjadi lebih padat
dan batasnya menjadi lebih tegas. Bila lesi telah diliputi jaringan ikat dan terlihat
bayangan berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai
tuberkuloma teretak 85% di segmen apikal dan posterior dari lobus atas, 10% segmen
superior lobus bawah, 5% gabungan dari segmen posterior dan anterior lobus atas.11

16
Gambar 2. Gambaran TB paru aktif

Pada foto thoraks di atas tampak konsolidasi disertai kavitas didalamnya


(panah), yang letaknya di lapangan tengah dan bawah paru kanan. Gambaran ini
sesuai dengan TB paru lesi luas aktif.13
Kavitas warna bayangan lusen berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis,
lama kelamaan menjadi sklerotik dan dinding terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis
terlihat bayangan opak bentuk garis-garis. Pada kalsifikasi bayangan tampak sebagai
bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis
luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada
satu bagian paru.9,10
Gambaran tuberkulosis milier berupa bercak-bercak opak milier halus yang
pada umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Gambaran radiologis
yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan pleura (pleuritis), massa
cairan di bagian bawah paru (efusi pleura/empiema), bayangan hitam radiolusen di
pinggir paru atau pleura (pneumothoraks). Selain itu terlihat atelektasis pada foto
dada yang merupakan pengurangan volume bagian paru baik lobaris, segmental, atau
seluruh paru, dengan akibat kurangnya aerasi sehingga memberi bayangan yang lebih
suram dengan penarikan mediastinum kearah atelektasis, sedangkan diafragma
tertarik keatas dan sela iga menyempit.9,12

17
Gambar 3. Gambaran TB Paru Lama

Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus


(pada satu tuberkulosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis-garis fibrotik,
kalsifikasi, kavitas (non sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema.9
Pada pemeriksaan foto thoraks, efusi pleura memperlihatkan adanya gambaran
cairan pleura yang tampak berupa perselubungan homogen menutupi struktur paru
bawah yang biasanya relatif radiopak dengan permukaan atas cekung berjalan dari
lateral atas kearah medial bawah. Karena cairan mengisi ruang hemithoraks sehingga
jaringan paru akan terdorong ke arah sentral atau hillus. Kadang-kadang mendorong
mediastinum ke arah kontralateral.12
Manifestasi radiologis pada tuberkulosis primer adalah:
1. Inaktif
Fokus primer biasanya terjadi lebih awal yaitu berupa jaringan parut minor.
Foto thoraks tampak normal. Kasifikasi pada parenkim dapat berupa satu atau
lebih nodul homogen. Biasanya diameternya kurang dari 5 mm dan dapat terjadi
di mana saja. 8

2. Konsolidasi
Konsolidasi dapat terjadi di mana saja dan bentuknya tidak spesifik.
Konsolidasi biasanya homogen, ukurannya kurang dari 10 mm sampai lobaris.

18
Kavitasi jarang terjadi dan terjadinya kavitasi menandakan penyakit primer
yang progresif. 8

Gambar 4. Gambaran Konsolidasi


3. Limfadenopati
Limfadenopati sering terjadi dengan atau tanpa konsolidasi. Nodus yang terkena
adalah nodus yang sebelumnya mendrainase area yang
terkonsolidasi.Limfadenopati biasanya mengenai hilus unilateral, hilus
unilateral dengan paratrakeal kanan, atau paratrakeal kanan. 8
Tekanan nodus dan erosi menyebabkan komplikasi pada organ sekitarnya:
a. Saluran napas
Saluran napas yang terdekat dapat mengalami obstruksi atau kolaps
segmental/lobar.Biasanya pada bagian kiri, kemudian menyerang segmen
anterior lobus atas dan lobus tengah.Konsolidasi segmental mengikuti
terjadinya perforasi bronkial dan aspirasi distal material kaseosa yang
infektif.Penyembuhan pada lesi bronkial dan segmental walaupun jarang
tanpa sekuele namun sering mendahului terjadinya berbagai kombinasi
seperti bronkostenosis, bronkiektasis dan fibrosis parenkim dengan
kehilangan volume yang banyak serta pembentukan bulla.
b. Pembuluh darah
Penyebaran hematogen dari nodus dapat menyebabkan TB milier atau lesi
yang terisolasi seperti abses pada jaringan lunak. Metastase dari nodus dapat
mengalami masa dorman selama beberapa tahun dan akan menjadi aktif,
sebagian dapat berupa TB tulang atau TB renal.
c. Perikardium
Erosi pada nodus ke perikardium dapat menyebabkan perikarditis.

19
d. Pleura
Erosi pada pleura karena sebuah nodus merupakan satu dari beberapa
mekanisme terjadinya efusi pleura pada TB primer.
Komplikasi lainnya yang jarang terjadi adalah paresis n.phrenicus, n.recurrent
laryngeus dan obstruksi v.cava superior serta pambentukan fistula. 8

Gambar 5. Gambaran Limfadenopati Perihiler


4. Efusi pleura
Efusi pleura adalah manifestasi yang sering dijumpai pada anak- anak, dimana
kejadiannya menyerang parenkim paru dan pada remaja yang diisolasi lebih
sering terjadi. Pada bentuk kronis, akumulasi terjadi dengan pelan dan tanpa
nyeri, sehingga efusi nampak lebih luas. Efusi biasanya terjadi unilateral kecuali
bila efusi merupakan komplikasi dari tuberkulosis milier. Penegakan diagnosa
paling tepat dengan biopsi pleura dan kultur.
Prognosis untuk jangka pendek bagus meskipun tanpa terapi akan memberikan
hasil yang bersih, tapi pada 30 – 50 % kasus tuberkulosis post primer harus
diawasi selama 2 tahun. Gejala sisa dari pleura biasanya tidak terjadi. Penebalan
dan pengapuran lebih sering terjadi pada tuberkulosis empyema. 8

20
Gambar 6. Gambaran Efusi Pleura

5. Tuberkulosis Milier
Walaupun biasanya merupakan manifestasi penyakit primer, tuberkulosis
sekarang sering terlihat sebagai proses post primer pada pada pasien usia lanjut.
Pada awalnya gambaran thoraks mungkin normal sebelun terbentuk nodul
multipel kecil- kecil(±1mm) yang menyebar dikedua lapangan paru.
Sebaliknya pada tuberkulosis primer lain mungkin bisa terdapat nodus besar
tapi jarang terjadi. Dengan terapi nodul dapat hilang tapi perlu waktu sampai
beberapa bulan tanpa memberikan gejala sisa.12

Gambar 7. Gambaran TB Milier


Prosedur diagnostik tuberkulosis paru di atas dapat dirangkum dalam bagan
diagnosis TB paru sebagai berikut.

21
Gambar 8. Diagnosis TB

1.7. Penatalaksanaan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT.
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:7
 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebihmenguntungkan dan sangat dianjurkan.
 Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
o Tahap awal (intensif)

22
 Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat.
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu.
 Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
o Tahap Lanjutan
 Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangkawaktu yang lebih lama.
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegahterjadinya kekambuhan.

Tabel 1. Jenis OAT

1.8. Pemantauan Kemajuan Pengobatan


Dilihat dari :
a. Keluhan
Dari anamnesis pada pasien dapat diketahui perbandingan keluhan saat
sebelum dan sesudah pengobatan.
b. Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik sebelum dan sesudah pengobatan, dapat ditemukan
adanya perbaikan atau tidak.

23
c. Laboratorium
Pada hasil laboratorium sesudah dan sebelum pengobatan, dapat diketahui
adanya perbaikan atau tidak.
d. Radiologi
Secara radiologi dilihat 2 – 6 bulan pasca terapi

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di


Indonesia:

 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
 Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
 Kategori Anak: 2HRZ/4HR

Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau
4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:

1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan mengurangi efek samping
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

24
WHO dan IUALTD merekomendasikan OAT standar, yaitu:
Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)
Obat tersebut diberikan tiap hari selama dua bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan
dengan tahap lanjutan, diberikan tiga kali seminggu selama empat bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA positif dan penderita TB paru BTA
negative dengan rontgen positif yang sakit berat.
Tabel 2. OAT Kategori 1
Tahap Lama Dosis per hari/kali Jumlah
Pengobatan pengobatan H R Z E hari/kali
300mg 450mg 500mg 250mg menelan
obat
Tahap intensif 2 bulan 1 1 3 3 60
Tahap lanjutan 4 bulan 2 1 - 54

Kategori-2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Tabel 3. OAT Kategori 2
Tahap Lama DOSIS PER HARI/KALI STREPTOM MENEL
pengobata pengob H R Z ETAMBUT ISIN AN
n atan 300 450 500 OL INJEKSI OBAT
mg mg mg 250 500
mg mg
Tahap 2 bulan 1 1 3 3 - 0.75gr 60
intensif 1 bulan 1 1 3 3 - - 30
Tahap 5 bulan 2 1 - 1 2 - 66
Lanjutan

Setelah tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan
tablet HRZE dan suntikan streptomisin. Dilanjutkan satu bulan dengan tablet HRZE
setiap hari. Setelah itu diturunkan dengan tahap lanjutan selama lima bulan dengan
HRE yang diberikan tiga kali seminggu. Suntikan streptomisin diberikan setelah
penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk penderita yang kambuh,
penderita gagal berobat, atau penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
Obat sisipan

25
Tabel 4. Obat Sisipan
Tahap Lama pengobatan H R Z E Jumlah
pengobatan 300m 450 500m 250m hari/kali
g mg g g menelan obat

Tahap intensif 1 bulan 1 1 3 3 30

Bila pada akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori 1 atau kategori 2, hasil
pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan setiap hari selama 1 bulan (28
hari).

Efek Samping Obat


Ternyata sebagian besar obat-obat anti tuberkulosis yang banyak dipakai
adalah hepatotoksik. Kelainan yang ditimbulkan mulai dari peningkatan kadar
transminase darah (SGOT / SGPT) yang ringan saja sampai pada hepatitis fulminan.
Hepatitis karena obat antituberkulosis banyak terjadi karena pemakaian INH +
rifampisin. Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa INH memproduksi hidrazin,
yakni suatu metabolik yang hepatotoksik. Hidrazin ini lebih banyak lagi diproduksi
bila pemberian INH dikombinasikan dengan rifampisin.
Biasanya bila kadar SGOT/SGPT meningkat tetapi angkanya tidak lebih dari 2
x nilai normal, INH-rifampisin masih dapat diteruskan. Bila kadarnya meningkat
terus, INH+rifampisin harus dihentikan pemberiannya. Bila memungkinkan
hendaknya diperiksakan antibodi terhadap rifampisin. Jika ternyata antibodi ini
positif, pemberian INH masih dapat dipertimbangkan kelanjutannya. Untuk mencegah
terjadinya hepatitis karena obat anti tuberkulosis, dianjurkan agar memilih paduan
obat yang tidak terlalu berat efek hepatotoksiknya, dan diperlukan evaluasi yang
cermat secara klinis dan laboratoris terhadap pasien pada minggu-minggu pertama
pengobatan. Bila sudah terjadi hepatitis karena obat ini, biasanya hepatitis ini sembuh
sendiri jika obat-obat hepatotoksik tadi dihentikan pemberiannya, dan diganti dengan
obat-obat yang tidak hepatotoksik. Pemberian steroid pada hepatitis karena OAT
dapat dipertimbangkan. Rifampisin atau INH kemudian dapat diberikan kembali
sendiri-sendiri secara desensitisasi (dosis obat dimulai dan yang paling kecil dan
dinaikkan perlahan-lahan sambil menilai adakah kelainan toksik /alergi terjadi.

26
Desentisasi dengan INH, dimulai dengan 25 mg dan dinaikkan 2 kali dosis
sebelumnya setiap 3 hari (25-50-100-200-300-400 mg). Untuk rifampisin sama
seperti INH dan dimulai dengan dosis 75 mg (hari pertama 75mg, hari ke-4 75mg,
hari ke-7 150 mg, hari ke-10 150 mg, hari ke-13 600 mg). Untuk mencegah terjadinya
efek samping OAT perlu dilakukan pemeriksaan kontrol seperti :
- Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai obat etambutol
- Tes audiometri bagi yang memakai obat Streptomisin
Pemeriksaan darah terhadap enzim hati, bilirubin, ureum / kreatinin, darah perifer dan asam
urat (untuk pemakai pirazinamid).

Kegagalan Pengobatan
Sebab-sebab kegagalan pengobatan, antara lain:
Obat: 1). Paduan obat tidak adekuat. 2). Dosis obat tidak cukup. 3).Minum obat tidak
teratur/tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan. 4). Jangka waktu pengobatan
kurang dari semestinya. 5). Terjadi resistensi obat. 6). Resistensi obat sudah harus
diwaspadai yakni bila dalam 1-2 bulan pengobatan tahap intensif, tidak terlihat
perbaikan.
Drop out: 1. Kekurangan biaya pengobatan. 2. Merasa sudah sembuh. 3. Malas
berobat/ kurang motivasi.
Penyakit: 1). Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat. 2). Penyakit lain
yangmenyertai tuberkulosis seperti diabetes melitus, alkoholisrae. 3). Adanya
gangguan imunologis.
Sebab-sebab kegagalan pengobatan yang terbanyak adalah karena kekurangan
biaya pengobatan atau merasa sudah sembuh. Penanggulangan terhadap kasus-kasus
yang gagal ini adalah:
a. Terhadap pasien yang sudah berobat secara teratur.
- Menilai kembali apakah paduan obat sudah adekuat mengenai dosis dan cara
pemberiannya.
- Lakukan pemeriksaan uji kepekaan/tes resistensi kuman terhadap obat.
- Bila sudah dicoba dengan obat-obat yang masih peka, tetapi ternyata gagal juga,
maka pertimbangkan terapi dengan pembedahan terutama pada pasien dengan
kavitas atau destroyed lung.

27
b. Terhadap pasien dengan riwayat pengobatan tidak teratur.
- Teruskan pengobatan lama selama +3 bulan dengan evaluasi bakteriologis tiap-
tiap bulan.
- Nilai kembali tes resistensi kuman terhadap obat.
- Bila ternyata terdapat resistensi terhadap obat, ganti dengan paduan obat yang
masih sensitif.

ATELEKTASIS PARU
2.1. Definisi
Atelectasis adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak sempurna
dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang tidak
mengandung udara dan kolaps. Atelectasis seharusnya dapat dibedakan dengan
pneumothoraks. Walaupun kolaps alveolar terdapat pada kedua keadaan tersebut,
penyebab kolaps dapat dibedakan dengan jelas. Atelektasis timbul karena alveoli
menjadi kurang berkembang atau tidak berkembang , sedangkan pneumothoraks
timbul karena udara masuk ke dalam rongga pleura. Pada kebanyakan pasien,
pneumotoraks tidak dapat dicegah, tetapi atelektasis dapat dicegah dengan perawatan
yang tepat. Terdapat dua penyebab utama kolaps yaitu atelektasis absorpsi sekunder
dari obstruksi bronkus atau bronkiolus, dan atelektasis yang disebabkan oleh
penekanan.
Pada atelektasis absorpsi, obstruksi saluran napas menghambat masuknya udara
ke dalam alveolus yang terletak distal terhadap sumbatan. Udara yang sudah terdapat
dalam alveolus tersebut diabsopsi sedikit demi sedikit ke dalam aliran darah dan
alveolus kolaps. (untuk mengembangkan alveolus yang kolaps total diperlukan
tekanan udara yang lebih besar, seperti halnya seseorang harus meniup balon lebih
keras pada waktu mulai mengembangkan balon). Atelektasis absorpsi dapat
disebabkan oleh obstruksi bronkus intrinsik atau ekstrinsik. Obstruksi bronkus
intrinsik paling sering disebabkan oleh sekret atau eksudat yang tertahan. Tahan
ekstrinsik pada bronkus biasanya disebabkan oleh neoplasma, pembesaran kelenjar
getah bening, aneurisma atau jaringan parut.

2.2. Etiopatogenesis
Terdapat tiga mekanisme yang dapat menyebabkan atau memberikan kontribusi
terjadinya atelektasis, diantaranya adalah: Obstruksi saluran pernapasan, kompresi

28
jaringan parenkim paru pada bagian ekstratoraks, intratoraks, maupun proses pada
dinding dada , penyerapan udara dalam alveoli, dan gangguan fungsi dan defisiensi
surfaktan. Ketiga penyebab ini dapat menjelaskan dasar fisiologis penyebab atelektasis.

1. Atelektasis Resorpsi
Terjadi akibat adanya udara di dalam alveolus. Apabila aliran masuk udara
ke dalam alveolus dihambat, udara yang sedang berada di dalam alveolus
akhirnya berdifusi keluar dan alveolus akan kolaps.

Gambar 9. Atelektasis Resorpsi. Terjadi akibat obstruksi total pada saluran


napas. Keadaan ini bersifat reversible jika obstruksi dihilangkan.
Penyumbatan aliran udara biasanya akibat penimbunan mukus dan
obstruksi aliran udara bronkus yang mengaliri suatu kelompok alveolus
tertentu. Setiap keadaan yang menyebabkan akumulasi mukus, seperti :
fibrosis kistik, pneumonia, atau bronkitis kronik yang meningkatkan resiko
atelektasis resorpsi. Obstruksi saluran napas menghambat masuknya udara ke
dalam alveolus yang terletak distal terhadap sumbatan. Udara yang sudah
terdapat dalam alveolus tersebut diabsorpsi sedikit demi sedikit ke dalam
aliran darah dan alveolus menjadi kolaps.
Atelektasis absorpsi dapat disebabkan oleh obstruksi bronkus intrinsik atau
ekstrinsik. Obstruksi bronkus intrinsik paling sering disebabkan oleh sekret
atau eksudat yang tertahan. Tekanan ekstrinsik pada bronkus biasanya
disebabkan oleh neoplasma, pembesaran kelenjar getah bening, aneurisma
atau jaringan parut. Pembedahan merupakan faktor resiko terjadinya
atelektasis resorpsi karena efek anastesia yang menyebabkan terbentuknya
mukus serta keengganan membatukkan mukus yang terkumpul setelah

29
pembedahan. Hal ini terutama terjadi pada pembedahan di daerah abdomen
atau toraks karena batuk akan menimbulkan nyeri yang hebat. Tirah baring
yang lama setelah pembedahan meningkatkan resiko terbentuknya atelektasis
resorpsi karena berbaring menyebabkan pengumpulan sekret mukus di daerah
dependen paru sehingga ventilasi di daerah tersebut berkurang. Akumulasi
mukus meningkatkan resiko pneumonia karena mukus dapat berfungsi sebagai
media perkembangbiakan mikroorganisme.
Atelektasis resorpsi juga dapat disebabkan oleh segala sesuatu yang
menurunkan pembentukan atau konsentrasi surfaktan. Tanpa surfaktan
tegangan permukaan alveolus sangat tinggi, meningkatkan kemungkinan
kolapsnya alveolus. Bayi premature dikaitan dengan penurunan produksi
surfaktan dan tingginya insiden atelektasis resorpsi. Kerusakan sel alveolus
tipe II yang menghasilkan surfaktan juga dapat menyebabkan atelektasis
resorpsi. Sel sel ini dihancurkan oleh dinding alveolus yang rusak, hal ini
terjadi selama proses beberapa jenis penyakit pernapasan. Demikian juga
dengan terapi tinggi oksigen dalam periode lebih dari 24 jam. Akibat tidak
adanya sel sel ini produksi surfaktan mengalami penurunan.

2. Atelektasis Kompresi
Terjadi bila rongga pleura sebagian atau seluruhnya terisi dengan
eksudat,darah, tumor,atau udara. Kondisi ini ditemukan pada pneumotoraks, efusi
pleura, atau tumor dalam toraks. Keadaan ini terjadi ketika sumber dari luar
alveolus menimpakan gaya yang cukup besar pada alveolus sehingga alveolus
menjadi kolaps.

30
Gambar 10. Atelektasis Kompresi. Terjadi ketika rongga pleura mengembang karena
cairan, atau karena udara. Keadaan ini bersifat reversible jika udara dan cairan
dihilangkan.
Atelektasis kompresi terjadi jika dinding dada tertusuk atau terbuka,
karena tekanan atmosfir lebih besar daripada tekanan yang menahan paru
mengembang (tekanan pleura), dan dengan pajanan tekanan atmosfir paru
akan kolaps. Atelektasis kompresi juga dapat terjadi jika terdapat tekanan
yang bekerja pada paru atau alveoli akibat pertumbuhan tumor, distensi
abdomen yang mendorong diafragma ke atas, atau edema dan penimbunan
ruang interstisial yang mengelilingi alveolus. Tekanan ini yang mendorong
udara ke luar dan mengakibatkan kolaps. Atelektasis tekanan lebih jarang
terjadi dibandingkan dengan atelektasis absorpsi. Bentuk atelektasis kompresi
biasanya dijumpai pada penyakit payah jantung, penyakit peritonitis atau
abses diafragma yang dapat menyebabkan diafragma terangkat keatas dan
mencetuskan terjadinya atelektasis. Pada atelektasis kompresi diafragma
bergerak menjauhi atelektasis.

3. Atelektasis Kontraksi
Terjadi akibat perubahan perubahan fibrotik jaringan parenkim paru lokal
atau menyeluruh, atau pada pleura yang menghambat ekspansi paru secara
sempura. Atelektasis kontraksi bersifat irreversible.

Gambar 11. Atelektasis Kontraksi (sikatrisasi) terjadi ketika terdapat fibrosis


umum atau lokal yang menghambat ekspansi paru atau pleura dan
meningkatkan elastisitas recoil selama ekspirasi.

31
4. Mikroatelektasis
Mikroatelektasis (atelektasis adhesive) adalah berkurangnya ekspansi
paru-paru yang disebabkan oleh rangkaian peristiwa kompleks yang paling
penting yaitu hilangnya surfaktan. Surfaktan memilki phospholipid dipalmitoyl
phosphatidylcholine yang mencegah kolaps paru dengan mengurangi tegangan
permukaan alveolus. Berkurangnya produksi atau inaktivasi surfaktan, keadaan
ini biasanya ditemukan pada NRDS (Neonatal Respiratory Distress Syndrome),
ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome), dan proses fibrosis kronik.

Gambar 12. Mikroatelektasis terjadi akibat gangguan pada fungsi dan


produksi surfaktan.
NRDS atau dikenal sebagai hyaline membrane disease merupakan
keadaan akut yang terutama ditemukan pada bayi prematur, lebih sering pada
bayi dengan usia gestasi dibawah 32 minggu yang mempunyai berat dibawah
1500 gram. Bayi prematur lahir sebelum produksi surfaktan memadai. Surfaktan,
suatu senyawa lipoprotein yang mengisi alveoli, mencegah alveoli kolaps dan
menurunkan kerja respirasi dengan menurunkan tegangan permukaan. Pada
defisiensi surfaktan, tegangan permukaan meningkat, menyebabkan kolapsnya
alveolar dan menurunnya komplians paru, yang akan mempengaruhi ventilasi
alveolar sehingga terjadi hipoksemia dan hiperkapnia dengan asidosis
respiratorik.

ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome) merupakan sindrom yang


ditandai oleh peningkatan permeabilitas membran alveolar kapiler terhadap air,
larutan,dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus dan akumulasi cairan
dalam parenkim paru yang mengandung protein. Cairan dan protein tersebut merusak
integritas surfaktan di alveolus dan terjadi kerusakan yang lebih parah. Penyebab

32
langsung ARDS adalah injury pada epitel alveolus, seperti aspirasi isi gaster, infeksi
paru difus, contusio paru, tenggelam, inhalasi toksik, sedangkan penyebab tidak
langsung ialah sepsis, trauma non toraks, pankreatitis, dan transfuse darah yang
massif.

2.3. Manifestasi Klinis


Gejala yang paling umum didapatkan pada atelektasis adalah sesak napas,
pengembangan dada yang tidak normal selama inspirasi, dan batuk. Gejala gejala
lainnya adalah demam, takikardi, adanya ronki, berkurangnya bunyi pernapasan,
pernapasan bronkial,dan sianosis. Jika kolaps paru terjadi secara tiba-tiba, maka
gejala yang paling penting didapatkan pada atelektasis adalah sianosis. Jika obstruksi
melibatkan bronkus utama, mengi dapat didengar, dapat terjadi sianosis dan asfiksia,
dapat terjadi penurunan mendadak pada tekanan darah yang mengakibatkan syok. Jika
terdapat sekret yang meningkat pada alveolus dan disertai infeksi, maka gejala
atelektasis yang didapatkan berupa demam dan denyut nadi yang meningkat
(takikardi). Pada pemeriksaan klinis didapatkan tanda atelektasis pada inspeksi
didapatkan berkurangnya gerakan pada sisi yang sakit, bunyi nafas yang berkurang,
pada palpasi ditemukan vokal fremitus berkurang, trakea bergeser ke arah sisi yang
sakit, pada perkusi didapatkan pekak dan uskustasi didapatkan penurunan suara
pernapasan pada satu sisi.

2.4. Diagnosis
Gejala dan tanda ditentukan oleh oklusi bronkial yang terjadi, luas lapangan
paru yang terkena, serta ada tidaknya komplikasi infeksi. Oklusi bronkial yang cepat
dengan sebagian besar area paru kolaps menyebabkan nyeri pada sisi yang terkena,
dispneu akut, dan sianosis. Hipotensi, takikardia, demam, dan syok juga dapat terjadi.
Perkembangan atelektasis yang lambat mungkinterjadi secara asimtomatik atau
hanya menyebabkan gejala ringan. Sindrom lobus tengah sering asimtomatik,
meskipun iritasi pada bronkus kanan tengah dan atas dapat menyebabkan batuk
nonproduktif yang parah.
Dari pemeriksaan fisik, ditemukan kepekakana pada perkusi di daerah dada
yang terkena dan berkurang atau hilangnya suara pernapasan. Stem fremittus di
daerah ini berkurang atau tidak ada. Trakea dan jantung menyimpang ke sisi yang
terkena.

33
Penyebab utama dari atelektasis akut atau kronis adalah obstruksi bronkus
akibat benda asing, endobronchial tumor, serta tumor, kelenjar getah bening, atau
aneurisma yang menekan bronkus dan distorsi bronkial. Kompresi paru eksternal oleh
cairan pleural atau udara (misalnya, efusi pleura, pneumotoraks) juga dapat
menyebabkan atelektasis. Kelainan produksi surfaktan yang mengakibatkan
ketidakstabilan alveolar dapat menyebabkan atelektasis. Kelainan ini biasanya terjadi
dengan toksisitas oksigen dan distres respirasi.

2.5. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium 15
Atelektasis yang memiliki ukuran signifikan menyebabkan terjadinya
hipoksemia, yang dapat dideteksi dari analisa gas darah arterial. Kadar PaCO2
biasanya normal atau rendah.

b. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologis atelektasis berupa penarikan diafragma mendekati lobus
yang kolaps, penarikan mediastinum mendekati lobus paru yang kolaps dan ICS
(intercostal space yang mengecil) akibat tarikan kolaps paru. Paru menjadi kolaps
akibat tekanan negatif yang seharusnya ada pada alveolus berkurang akibat sumbatan
sehingga saat inspirasi udara susah masuk ke alveolus sehingga parunya menjadi
kolaps dan sesuai dengan hukum keseimbangan maka semakin negatif tekanan di
dalam suatu ruangan maka dengan kuat ruangan yang bertekanan sangat negatif itu
akan berusaha menyeimbangkan tekanannya dengan menarik udara maupun zat lain
di sekitar sehingga pada gambaran radiologis terdapat gambaran radioopak pada lobus
kolaps dan ada tarikan organ menuju lobus paru yang kolaps tersebut.

2.6. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari pengobatan adalah untuk mengeluarkan dahak dan kembali
mengembangkan jaringan paru yang kolaps. Terapi bisa dimulai dengan fisioterapi
thoraks agresif, tetapi mungkin memerlukan bronkoskopi untuk melepaskan sumbatan
pada paru dan reekspansi segmen paru yang kolaps. Jika penyebab atelektasis adalah
obstruksi parsial, maka langkah pertama adalah menghilangkan obstruksinya. Sebuah
benda asing dapat dihilangkan dengan cara membuat pasien batuk, dengan suction, dan
bronkoskopi. Sumbatan lendir dapat di dilakukan dengan cara 'drainase postural', yaitu

34
cara klasik untuk mengeluarkan sekret dari paru dengan mempergunakan gaya berat
dan sekret itu sendiri. Drainase postural dapat dilakukan untuk mencegah terkumpulnya
sekret dalam saluran nafas dan mempercepat pengeluaran sekret sehingga tidak terjadi
ateletaksis. Selain itu, pasien juga dianjurkan untuk berbaring pada sisi normal
sehingga paru-paru yang kolaps mendapat kesempatan untuk kembali berkembang.
Pasien dapat melakukan pernapasan yang dalam dengan tujuan agar paru dapat
mengembang. Dalam kasus atelektasis yang dikarenakan oleh pengumpulan cairan di
rongga pleura dilakukan drainase interkostalis. Jika alveoli mengalami kompresi karena
beberapa tumor di rongga dada, maka pengangkatan tumor dengan operasi harus
dilakukan. Tetapi jika jaringan paru-paru yang rusak diperbaiki dan tidak dapat
dikembalikan secara normal maka satu-satunya jalan untuk jenis atelektasis adalah
lobektomi.
Tujuan pengobatan adalah mengeluarkan dahak dari paru-paru dan kembali
mengembangkan jaringan paru yang terkena. Tindakan yang biasa dilakukan:

Berbaring pada sisi paru-paru yang sehat sehingga paru-paru yang terkena
kembali bisa mengembang
Menghilangkan penyumbatan, baik melalui bronkoskopi maupun prosedur
lainnya
Latihan menarik nafas dalam (spirometri insentif)
Perkusi (menepuk-nepuk) dada untuk mengencerkan dahak
Postural drainase
Antibiotik diberikan untuk semua infeksi
Pengobatan tumor atau keadaan lainnya.
Pada kasus tertentu, jika infeksinya bersifat menetap atau berulang, menyulitkan
atau menyebabkan perdarahan, maka biasanya bagian paru-paru yang terkena
mungkin perlu diangkat
Setelah penyumbatan dihilangkan, secara bertahap biasanya paru-paru yang
mengempis akan kembali mengembang, dengan atau tanpa pembentukan jaringan
parut ataupun kerusakan lainnya.

35
2.7. Komplikasi
1. Pnemonia. Keadaan ini diakibatkan oleh berkurangnya oksigen dan kemampuan
paru untuk mengembang sehingga secret mudah tertinggal dalam alveolus dan
mempermudah menempelnya kuman dan mengakibatkan terjadinya peradangan
pada paru.
2. Hypoxemia dan gagal napas. Bila keadaan atelektasis dimana paru tidak
mengembang dalam waktu yang cukup lama dan tidak terjadi perfusi ke jaringan
sekitar yang cukup maka dapat terjadi hypoxemia hingga gagal napas. Bila paru
yang masih sehat tidak dapat melakukan kompensasi dan keadaan hipoksia mudah
terjadi pada obstruksi bronkus.
3. Sepsis. Hal ini dapat terjadi bila penyebab atelektasis itu sendiri adalah suatu proses
infeksi, dan bila keadaan terus berlanjut tanoa diobati maka mudah terjadi sepsis
karena banyak pembuluh darah di paru, namun bila keadaa segera ditangani keadaan
sepsis jarang terjadi.
4. Bronkiektasis. Ketika paru paru kehilangan udara, bentuknya akan menjadi kaku dan
mengakibatkan dyspnea, jika obstruksi berlanjut dapat mengakibatkan fibrosis dan
bronkiektasis.

ANEMIA
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis
anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red
cell count). Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian
hematokrit. Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga
parameter tersebut tidak sejalan dengan massa eritrosit, seperti dehidrasi, perdarahan akut
dan kehamilan.

3.1. Kriteria Anemia


parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan masasa
eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada
umumnya ketiga prameter tersebut saling bersesuaian. Di negara Barat kadar

36
hemoglobin paling rendah untuk laki-laki adalah 14 g/dl dan 12 g/dl pada perempuan
dewasa pada permukaan laut. WHO menetapkan cut off point anemia untuk keperluan
penelitian lapangan seperti terlihat pada tabel 4.
Tabel 4. Kriteria Anemia Menurut WHO 16
Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki dewasa < 13 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita hamil < 11 g/dl
Untuk keperluan klinik di Indonesia dan negara berkembang lainnya, kriteria
WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria WHO dipergunakan
secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau dirawat di
rumah sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut. Oleh karena
itu, beberapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria
hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia.

3.2. Patofisiologi dan Gejala Anemia


Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang
timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun
di bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena : 1.) anoksia organ; 2).
Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen.
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin
telah turun di bawah 7 g/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada : a.)
derajat penurunan hemoglobin : b). kecepatan penurunan hemoglobin; c). usia; d).
adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu :
o Gejala umum anemia.
Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia
organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar
hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan
hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7g/dl) sindrom anemia terdiri dari rasa
lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging, mata berkunang-kunang, kaki terasa
dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang
mudah dilihat pada kongjungtiva, mukosa mulut telapak tangan dan jaringan di

37
bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena timbul setelah
penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7g/dl).
o Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh :
 Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan
kuku sendok (koilonychia).
 Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin
B12
 Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali
 Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi

o Gejala penyakit dasar


Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyabab anemia tersebut. Meskipun tidak spesifik,
anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus anemia untuk
mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diganosis anemia
memerlukan pemeriksaan laboratorium.

3.3. Klasifikasi
Berdasarkan gambaran morfologik, anemia diklasifikasikan menjadi tiga jenis
anemia :
1. Anemia normositik normokrom
Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena perdarahan akut,
hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang.
Terjadi penurunan jumlah eritrosit tidak disertai dengan perubahan konsentrasi
hemoglobin (indeks eritrosit normal MCV 80- 96 fl, MCH 27 – 33 pg, MCHC
33- 35%), bentuk dan ukuran eritrosit.

2. Anemia makrositik hiperkrom


Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan hiperkrom
karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. Indeks eritrosit MCV > 96
fl, MCH > 33 pg, MCHC > 35%). Ditemuka pada anemia megaloblastik
(defisiensi vitamin B12, asam folat), serta anemia makrositik non-megaloblastik
(penyakit hati, dan myelodisplasia).

38
3. Anemia mikrositik hipokrom
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan
mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal. Indeks eritrosit :
MCV < 80 fl, MCH < 27 pg, MCHC 26-35%).
Penyebab anemia mikrositik hipokrom :
 Berkurangnya zat besi : anemia defisiensi besi
 Berkurangnya sintesis globin : thalasemia dan hemoglobinopati
 Berkurangnya sintesis heme : anemia sideroblastik

3.4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia disesuaikan dengan etiologi dari anemia, sebagai contoh
penggunaan kortikosteroid berguna pada penatalaksanaan dengan anemia autoimun
hemolitik.
Penatalaksaan yang baik untuk anemia disebabkan oleh kehilangan darah adalah
mengkoreksi penyebab utama dan pemberian oral Ferrous sulfate hingga anemia
teratasi dan untuk selama beberapa bulan selanjutnya. Meskipun dosis umumnya
ferrous sulfate adalah 325 mg oral 3x sehari, pemberian dosis rendah dapat
memberikan hasil yang sama efektif dan menyebabkan efek samping yang lebih
sedikit.
Transfusi sel darah merah dalam bentuk PRC harus diberikan kepada pasien yang
memiliki perdarahan secara aktif dan untuk pasien dengan anemia berat dan gejala.
Transufi paliatif tidak boleh digunakan sebagai pengganti terapi khusus. Pada penyakit
kronis yang berhubungan dengan anemia gangguan kronis, erythropoietin mungkin
dapat membantu dalam mencegah atau mengurangi tranfsui sel darah merah.
Risiko tranfusi darah adalah reaksi hemolitik dan risiko penularan penyakit
menular. Pasien dengan autoimun antibodi terhadap sel darah merah berada pada risiko
yang lebih besar dari reaksi transfusi hemolitik karena kesulitan dalam lintas
pencocokan darah.

39
PEMBAHASAN

Seorang perempuan 52 tahun dengan keluhan utama disertai dahak kental


berwarna kekuningan sejak 1 bulan SMRS. Keluhan disertai dengan sesak nafas yang
hanya dirasakan saat batuk tidak dipengaruhi oleh posisi tidur. Pasien mengatakan
suara serak sejak batuk tersebut. Dan sering mengalami demam yang naik turun dan
hilang timbul. Terdapat penurunan berat badan dan tidak ada keringat malam hari.
Tidak ada riwayat pengobatan TB sebelumnya. Terdapat riwayat sosial yaitu tetangga
pasien yang menderita penyakit paru.
Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya penurunan vokal fremitus kiri
dibandingkan dengan sisi kanan, pada perkusi terdapat redup dimulai dari ICS I
sinistra, pada pemeriksaan auskultasi terdapat suara tambahan rokhi di seluruh
lapangan paru kiri.
Pemeriksaan x-foto thorax proyeksi PA menunjukkan tampak deviasi trakea ke
kiri, pulmo terdapat gambaran proses KP paru lama aktif disertai efusi pleura kiri dan
suspek atelektasis lobus superior paru kiri.
Berdasarkan teori Paofisiologi Sylvia , atelectasis adalah istilah yang berarti
pengembangan paru yang tidak sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada
bagian paru yang terserang tidak mengandung udara dan kolaps. Gejala yang paling
umum didapatkan pada atelektasis adalah sesak napas, pengembangan dada yang
tidak normal selama inspirasi, dan batuk. Gejala gejala lainnya adalah demam,
takikardi, adanya ronki, berkurangnya bunyi pernapasan, pernapasan bronkial,dan
sianosis. Penegakkan diagnosis atelektasis dapat diperkuat dengan hasil radiologi.
Dari foto toraks, didapatkan gambaran berupa penarikan diafragma mendekati lobus
yang kolaps, penarikan mediastinum mendekati lobus paru yang kolaps dan ICS
(intercostal space yang mengecil) akibat tarikan kolaps paru.
Pemberian antibiotika spektrum luas seperti ceftazidime diperlukan bila terdapat
gejala infeksi seperti demam, leukositosis dan neutrofil yang meningkat karena
atelektasis sekunder biasanya menjadi infeksi tanpa memperhatikan penyebab
obstruksinya. Terapi antitusif tidak diberikan karena dapat mengurangi refleks batuk
yang akan membuat obstruksi lebih jauh. Selain itu, penyakit dasar pada pasien yang
menyebabkan atelektasis ini harus diobati agar penyumbatan ini tidak terjadi lagi.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Indonesian Tuberculosis Profile. Diunduh dari:


http//:www.who.int/tb/data. 2010.
2. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid Edisi
IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2006
3. Fauci AS, Kasper DL, et al. Tuberkulosis. Harrison’s: Principal of Internal
Medicine, 17thed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008
4. Palomino, J. Tuberculosis 2007 from basic science to patient care. Diunduh dari:
http://www.TuberculosisTextbook.com. 2007
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis, Edisi ke-2. Jakarta: Depkes RI. 2014
6. Sutton, David. Textbook Book Of Radiology and Medical Imaging. Churchill
Livingstone Vol I, 1785-1786.
7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis Edisi 2. 2006. Avalable form :
http://tbindonesia.or.id/pdf/BUKU_PEDOMAN_NASIONAL.pdf
8. Rachmatullah P. Seri Ilmu Penyakit Dalam, Buku ajar: Ilmu Penyakit Paru
(Pulmonologi). Semarang: BP UNDIP. 1997
9. Soeparman, Waspadji S. Tuberkulosis Paru Dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Jakarta: PB FKUKI. 1990
10. Light RW. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 18th ed. Philadelphia : The
McGraw- Hill Companies; 2012. pg. 2178-80
11. Sylvia A Price, Lorraine M Wilson. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit.
Ed 6. Vol 2. Jakarta : EGC, 2005. hal 799-800.
12. Mansjoer, A. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2 ed.3. Jakarta: Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000
13. Rasad Sjahriar, Kartoleksono-Sukonto. Radiologi Diagnostik. Jakarta: FK UI.
2000
14. Medison, Irvan. Tuberkulosis Paru. Available from: http://www.parupadang.
com/unduh/Kuliah_TB_Paru.pdf
15. Madappa, Tarun. Atelectasis. 2008. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/296468

41

Anda mungkin juga menyukai