Anda di halaman 1dari 20

Dalam Bayang-Bayang Otonomi Khusus: Dilema Politik Afirmasi dan

Meritokrasi dalam Penataan Birokrasi di Papua


Oleh:
Fatih Gama Abisono N, SIP, MA.1

A. Prawacana
Kajian ini akan memotret ragam tantangan dan dilema penataan birokrasi yang lahir
sebagai konsekuensi atas implementasi kebijakan Otonomi Khusus di Papua dan Papua Barat.
Sejak UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua ditetapkan,
gelombang penguatan identitas ke-Papuaan begitu tinggi seiring dengan adanya politik afirmasi
bagi Orang Asli Papua. Secara factual, tuntutan untuk mendudukkan anak negeri (Orang Asli
Papua) dalam berbagai jabatan birokrasi sebagai wujud politik akomodasi sangat kuat, yang
disatu sisi berhadapan dengan dilema berupa kebutuhan memperkuat meritokrasi dalam
pengelolaan birokrasi. Konsepsi ideal birokrasi sebagai sosok impersonal, netral, obyektif,
bekerja menurut aturan, dan dipandu oleh nilai-nilai profesionalisme dalam penyelenggaraan
pelayanan publik, tidak sepenuhnya mudah dicapai.

Tesis dalam kajian ini mengajukan argumen, rendahnya keterkelolaan penataan birokrasi
di Papua berakar dari absennya pendekatan politis dalam memahami perilaku birokrasi.
Lowongnya pendekatan politik, acapkali menjebak para pengambilan kebijakan dalam situasi
gamang yang berujung pada politisasi birokrasi yang tidak terkelola. Perlu disadari pula, bahwa
Otonomi Khusus Papua lahir dari sebuah konteks yang bersifat politis dimana pilihan afirmasi
lahir sebagai respon Pemerintah Pusat terhadap tuntutan menguatnya identitas Ke-Papuaan.
Ringkasnya, relasi antara otonomi khusus, pengukuhan identitas, dan politik afirmasi terhadap
masyarakat asli perlu diangkat kembali menjadi konteks penataan birokrasi pemerintahan di
Papua dan Papua Barat. Oleh karena itu, kajian ini hendak menghadirkan kembali perspektif
politik dalam mendedah pengelolaan birokrasi di Papua dan Papua Barat. Penulis meyakini,
pendekatan politik akan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kebutuhan penataan
birokrasi dalam rangka membangun kesetimbangan antara mewadahi politik afirmasi sembari
mendorong profesionalisme birokrasi di Papua dan Papua Barat.

B. Desentralisasi Asimetris: Afirmasi dan Akselerasi


Dalam gagasan desentralisasi tumbuh dan berkembang pula gagasan desentralisasi
asimetris atau pemerintahan asimetris. Gagasan yang dipraktikkan baik dalam format negara
kesatuan maupun negara federal, ini secara sederhana bisa dipahami sebagai upaya pemberian
otonomi yang berbeda, khusus, dikecualikan bagi suatu daerah atau pengaturan tidak sebanding
pada suatu daerah karena berbagai alasan (Kirn & Khokrishvili, 2008:7). Asimetrisme dalam

1
Seluruh data dalam kajian ini bersumber dari hasil program evaluasi terhadap Kinerja Otonomi Khusus Papua dan
Papua Barat pada tahun 2013, oleh Direktorat Jendral Otonomi Daerah, Kementrian Dalam Negeri bekerjasama
dengan Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan. Penulis adalah salah satu peneliti yang terlibat dalam
program tersebut.
desentralisasi acap kali menjadi instrumen yang digunakan untuk menyelesaikan dua persoalan
fundamental. Pertama, persoalan politik, termasuk di dalamnya tegangan Pusat-Daerah, sejarah
formasi negara, dan budaya. Kedua, persoalan teknokratik-manajerial yang biasanya dikaitkan
fungsi-fungsi dasar penyelenggaraan pemerintahan. (lihat Lay, et.al, 2008:24). Lebih lanjut
Joachim H-G Wehner (2010: 250) menjelaskan bahwa alasan politik biasanya, berlangsung
dalam situasi ketika terjadi ketegangan etnis atau daerah.
Pada akhirnya, desentralisasi asimetris menjadi instrumen merawat bangunan integrasi
nasional dan kohesi sosial serta mencegah adanya tuntutan dan upaya pemisahan diri dengan
cara memberikan otonomi khusus kepada kelompok sosial atau daerah tertentu. Pemberian
otonomi khusus dianggap sebagai upaya untuk menjaga batas paling dasar dari sebuah unit
politik. Dengan pemberian otonomi yang berbeda terhadap pihak-pihak tersebut, maka
diharapkan minoritas regional tidak lagi menggunakan cara-cara kekerasan dan selalu berada
dalam koridor unit politik yang sudah ada ketika mengartikulasikan kepentingannya.
Pengalaman Splanyol yang memberikan otonomi khusus bagi 3 komunitas “historis”, yaitu
Basques, Navarre, dan Cataloni sejak tahun 1978, paska rejim Franco yang represif merupakan
contoh nyata dari hal ini (lihat Burg & Chernyha, 2013).
Meski demikian tegangan Pusat-Daerah serta penguatan etno-nasionalisme bukanlah
satu-satunya alasan politik yang mendasari praktik desentralisasi asimetris. Pemberian otonomi
khusus bagi Hongkong pasca dikembalikan ke Cina oleh Inggris misalnya, lebih didasari oleh
pertimbangan menjaga sistem ekonomi yang sudah mapan di Hongkong, bukan perbedaan
etnisitas antara penduduk Cina daratan dan Hongkong (Joachim H-G Wehner: 251). Wehner
(Ibid: 251) mencatat pula bahwa masalah kapasitas menjadi alasan lain bagi lahirnya gagasan
desentralisasi asimetris. Skema desentralisasi asimetris hadir ketika satu pemerintah daerah gagal
mengelola pelayanan publik secara efisien. Pemerintah Pusat akan “menahan” transfer
kekuasaan, kewenangan dan tanggungjawab kepada pemerintah lokal yang belum memiliki
kapasitas memadai hingga pemerintah lokal tersebut mampu meningkatkan kapasitasnya terlebih
dahulu.
Di Indonesia, praktik desentralisasi asimetris menunjukkan alasan yang lebih variatif.
Studi Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM (2010) menunjukkan praktik
desentralisasi asimetris yang berangkat dari alasan politik karena adanya regional question dari
Aceh dan Papua serta peran kultural-historis Yogyakarta. Sedangkan alasan teknokratis-
manajerial yang dikaitkan dengan manajemen penyelenggaraan pemerintahan, desentralisasi
asimetris menjadi jawaban atas kebutuhan akan adanya kawasan-kawasan khusus, seperti
kawasan ekonomi khusus, perbatasan, ibukota negara, dan perkotaan untuk Jakarta. Alasan
politik dan alasan teknokratis-manajerial acapkali menjadi energi utama bagi hadirnya kebijakan
desentralisasi asimetris. Dengan bahasa yang berbeda, desentralisasi asimetris lahir sebagai
respon adanya tuntutan politik akan pentingnya aksi afirmasi bagi kelompok politik atau
wilayah politik tertentu pada satu negara. Sedangkan alasan teknokratis-manajerial menegaskan
bahwa desentralisasi asimteris merupakan akselerasi terhadap kelompok politik atau wilayah
politik tertentu di dalam satu negara yang dianggap berada dalam posisi yang tidak sebanding
dengan kelompok politik atau wilayah politik yang lain karena mengalami ketertinggalan.
Adapun upaya afirmasi dan akselerasi dalam desain desentralisasi asimetris sangatlah
beragam, dari dari aspek yang sangat simbolik dan konstitusional hingga instrumen yang sangat
konkrit. Michael Keating (2001:107-122) mencatat bahwa politik simbol menjadi sangat penting
dalam dalam desain asimetrisme, khususnya ketika menekankan upaya afirmasi. Hal ini bisa
dilihat dari pengakuan atas bendera, penggunaan bahasa, hari libur lokal, muatan
lokal/kurikulum lokal, serta aspek simbolik lainnya, seperti yang terjadi di Belgia, Inggris,
Spanyol, Kanada, dsb. Bahkan pemberian ke-khusus-an tersebut mendapatkan ruang di dalam
konstitusi yang menjadi dasar negara. Selain itu, desain asimetrisme juga terejawantahkan dalam
adanya ruang representasi khusus bagi daerah atau kelompok sosial yang diberi otonomi khusus
di dalam pemerintah Pusat dan kemudian ditopang oleh skema desentralisasi fungsional yang
mengatur lebih konkrit. Tentu saja, setiap negara lagi-lagi memiliki derajat yang berbeda-beda.
Sedangkan Joachim H-G Wehner (2010: 253-255) mengidentifikasi upaya afirmasi dan
akselerasi dalam model desentralisasi asimetris terejawantahkan dalam bentuk fungsional atau
finansial. Desentralisme asimetris dalam bentuk fungsional merupakan kondisi dimana jenjang
pemerintahan yang lebih tinggi menyediakan sumberdaya tambahan (input) pada beberapa unit
tanpa berusaha mengontrol langsung dalam proses pelaksanaan pelayanan publik. Namun bisa
juga, asimetri fungsional ini justru berbentuk mekanisme intervensi misalnya dalam kondisi
darurat. Sedangkan desentralisasi asimetris dalam bentuk fiskal adalah situasi dimana kesetaraan
fiskal secara horisontal itu tidak terjadi karena jenjang pemerintahan yang lebih tinggi
menyediakan dana yang dikhususkan pada daerah tertentu yang tidak mengikuti skema atau
rumus umum yang biasanya diaplikasikan ke seluruh daerah.
Aleksandra Maksimovska Veljanovski (2010) juga membahasakan upaya afirmasi dan
akselerasi tersebut dalam tiga bentuk asimetri, yaitu: asimetri politik, asimetri administrasi dan
asimetri fiskal. Asimetri politik berlangsung dimana beberapa daerah memiliki perbedaan
kapasitas serta perbedaan kewenangan dan tanggungjawab. Sementara itu, asimetri administrasi
terjadi ketika pemerintah pusat dan pemerintah lokal sepakat dimana kompetensi disetujui
menjadi cara untuk menimbang kapasitas administrasi pemeritah lokal sehingga akan ada desain
khusus soal itu. Terakhir asimetri fiskal biasanya adalah skema fiskal yang menyertai dua bentuk
asimetri sebelumnya.

Penataan Birokrasi dalam UU Otonomi Khusus Papua


Penyelengaraan desentralisasi asimetrik di Papua dan Papua Barat memunculkan problem
pengelolaan birokrasi. Dalam penyelenggaraan Otonomi Khusus di Papua dan Papua Barat,
konteks politik yang eksis berupa peneguhan identitas masyarakat asli melahirkan gelombang
pengarusutamaan bagi masyarakat asli begitu kuat. Spirit afirmasi untuk memastikan akomodasi
kepada masyarakat asli Papua telah mendorong wacana representasi orang asli, tidak hanya
terbatas pada posisi jabatan kepala daerah saja. Namun juga meluas pada upaya rekrutmen
pegawai dan promosi orang asli Papua dalam jabatan-jabatan strategis dalam lingkungan
birokrasi.

Dihadapkan pada konteks demikian, pengelolaan birokrasi di Papua dan Papua Barat
memunculkan tantangan berupa: Pertama, menghadirkan birokrasi yang profesional dalam
kerangka menjamin terselenggaranya otonomi khusus tanpa mengabaikan upaya afirmasi bagi
masyarakat asli dalam pengisian struktur birokrasi. Manakala melakukan rekrutmen pegawai
misalnya, mereka diharapkan pada pilihan apakah mengutamakan masyarakat asli dahulu atau
merekrut calon pegawai beradasarkan kapasitas dan kompetensi yang memadai. Kedua, berada
dalam konteks politik semacam itu, birokrasi dituntut untuk menghadirkan pelayanan publik
secara efektif guna menjamin tercapainya misi pembangunan sebagaimana yang diamanatkan
Otonomi Khusus Papua. Secara normatif, merujuk pada konsepsi birokrasi Weberian, penataan
birokrasi umumnya hendak didorong pada wacana yang berorientasi pada merit system yang
dalam logika teknokratis-manajerial. Namun demikian, berhadapan dengan konteks semacam itu,
penataan birokrasi dituntut menjaga kesetimbangan tegangan antara logika teknokrasi manajerial
sekaligus juga bekerja dalam logika politis. Tingkat keterkelolaan politik tersebut akan
menentukan tingkat efektivitas penyelenggaraan layanan publik yang diorientasikan guna
menjawab tantangan percepatan pembangunan maupun upaya afirmasi terhadap masyarakat asli
Papua dan Papua Barat.
Secara normatif, sebetulnya pengelolaan kepegawaian di Papua dan Papua Barat telah
diatur dalam UU No. 21/2001 pada pasal 27. Dalam pasal 27 (1) dinyatatakan bahwa
“Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan menetapkan kebijakan kepegawaian yang
berpedoman pada norma, standar dan prosedur penyelenggaraan manajemen Pegawai Negeri
Sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara pada pasal 27 (2) disebutkan
bahwa: “Dalam hal ketentuan dalam ayat (1) tidak terpenuhi, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan kebijakan kepegawaian sesuai dengan kebutuhan
dan kepentingan daerah setempat.” Sedangkan ayat (3) menyatakan “Pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Perdasi”.
Norma dalam pasal 27 UU No. 21/2001 tersebut sebetulnya hendak mendorong
profesionalisme yang berlandaskan sendi-sendi meritokrasi dalam pengelolaan PNS. Hanya saja
regulasi tersebut, tetap membuka ruang asimetrik, dengan memberikan kewenangan bagi
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Papua dan Papua Barat untuk menetapkan kebijakan
kepegawaian sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan daerah. Kewenangan tersebut dapat
dijalankan sepanjang adanya kondisi dimana, norma, standar, dan prosedur penyelenggaraan
PNS tidak dapat dipenuhi, karena keterbatasan kapasitas pemerintah daerah misalnya. Secara
tersirat, pasal tersebut telah mendorong afirmasi sekaligus akselerasi dalam penyelengaraan
manajemen PNS di Papua dan Papua Barat. Pasal tersebut memang tidak menyatakan secara kuat
tentang apa yang disebut dengan kebutuhan dan kepentingan daerah. Kondisi tersebut
memunculkan ragam tafsir, terutama bahwa kepentingan dan kebutuhan daerah didefiniskan pula
sebagai menjamin representasi orang asli di tubuh birokrasi, sekalipun belum memenuhi norma,
standar, dan prosedur dalam manajemen PNS.

Sayangnya, hingga kini belum terdapat regulasi operasional yang memandu pengelolaan
kepentingan penempatan masyarakat asli di dalam struktur birokrasi di Papua dan Papua Barat.
Padahal UU Otsus memandatkan pengaturan tersebut dalam Peraturan Daerah Propinsi.2 Pasal
tersebut sesungguhnya telah membuka ruang asimetrik guna menjawab kebutuhan politik
maupun teknokrasi-manajerial dengan pengaturan lebih jauh dalam produk hukum daerah.
Pengaturan tersebut, misalnya mengatur komposisi pegawai antara asli dan pendatang, domain
pegawai orang asli dan pendatang, jumlah ideal, serta kompetensi yang harus dimiliki calon
pegawai untuk dapat menduduki posisi tertentu. Regulasi yang lebih operasional sesungguhnya
sangat diperlukan guna membangun kesetimbangan tersebut.

2Hingga kini belum terdapat produk hukum daerah baik Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat
terkait kepegawaian. Perkembangan terakhir, DPR Papua Barat tengah menginisiasi Raperdasi Tentang
Pengangkatan Tenaga Hononer menjadi Calaon Pegawai Negeri Sipil. Isu afirmasi yang memprioritaskan
masyarakat asli Papua dalam rekrutmen politik oleh partai politik memang lebih tegas dinyatakan undang-
undang tersebut, meskipun dibatasi lingkupnya hanya sampai tingkat Provinsi (Pasal 28).
C. Wajah Politik Afirmasi yang Tidak Terkelola
Kekosongan regulasi operasional ini membawa implikasi serius dalam penataan birokrasi
di Papua maupun Papua Barat: Pertama, dari sisi teknokratis-administratif muncul kerumitan
bagi birokrasi dalam mencapai efektivitas pengelolaan kepegawaian maupun penataan organisasi
pemerintahan daerah. Kedua, dari sisi perspektif politik, kekosongan regulasi berdampak pula
pada lemahnya pengelolaan politik yang berimplikasi pada tidak terkonsolidasinya penataan
birokrasi manakala merespon isu afirmasi bagi masyarakat asli.

Inefektifitas Manajemen Kepegawaian


Dalam pengelolaan kepegawaian, hal ini diindikasikan dari postur dan komposisi
pegawai yang tidak seimbang, kualitas pegawai yang kurang memadai serta manajemen
kepegawaian yang tidak terkonsolidasi. Sedangkan dalam pengelolaan organisasi pemerintah
daerah, indikasi tersebut tampak dari tambunnya struktur organisasi pemerintah daerah.
Manajemen kepegawaian maupun organisasi pemerintah daerah di Pemerintah Provinsi Papua
dan Papua Barat belum sepenuhnya bersandar pada kebutuhan dan beban kerja organisasi yang
ditunjukkan oleh postur pegawai yang tidak seimbang maupun rendahnya kualitas pegawai serta
membengkaknya besaran organisasi pemerintah daerah.
Berdasarkan hasil evaluasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat oleh tim
Kemendagri-Kemitraan pada tahun 2013 lalu, kondisi tersebut ditunjukkan dengan postur,
komposisi dan kualitas pegawai di kedua provinsi tersebut yang jauh dari efektif dalam mencapai
kesetimbangan kebutuhan dan beban kerja organisasi (right sizing). Dari sisi postur dan
komposisi pegawai, Pemerintah Provinsi Papua hingga tahun 2012 mempekerjakan 7.329 PNS
yang tersebar di 36 SKPD. Dengan besaran jumlah pegawai tersebut, postur kepegawaian
Pemerintah Provinsi Papua demikian membengkak (over size). Postur kepegawaian yang tidak
seimbang juga ditunjukkan dengan distribusi pegawai yang tidak merata antar SKPD, dimana
terdapat SKPD yang kelebihan pegawai dan terdapat pula SKPD yang kekurangan pegawai.
(Lihat Gambar 1).
Dari gambar tersebut terpapar, SKPD dengan jumlah pegawai terbesar adalah Dinas
Pekerjaan Umum sebesar 739 Pegawai atau sekitar 10 % dari total PNS di lingkungan
Pemerintah Provinsi Papua. Sementara SKPD dengan jumlah terkecil adalah Kantor Satpol PP
sebanyak 29 pegawai. Jika ditilik dari kebutuhan organisasi, maka terdapat sejumlah SKPD yang
seharusnya memiliki alokasi pegawai yang lebih besar terutama untuk SKPD sektor kesehatan
dan SKPD sektor pendidikan. Dinas kesehatan misalnya, hanya memiliki jumlah pegawai 319
pegawai, sementara Dinas Pendidikan hanya memiliki pegawai sejumlah 329 pegawai saja.
Ketidakseimbangan postur kepegawaian tersebut terjadi sejak perencanaan kebutuhan pegawai,
pengadaan hingga penempatan pegawai.
Sementara, komposisi pegawai masih didominasi oleh pegawai teknis administratif.
Dalam hal ini, jumlah Pemerintah Papua kekurangan tenaga fungsional dengan keahlian tertentu
masih terbatas (Lihat Tabel.1.). Dalam konteks perencanaan dan pengadaan kepegawaian, saat
ini lebih banyak menerima tenaga administratif, ketimbang tenaga fungsional. Pengadaan
pegawai fungsional tertentu sesungguhnya dibuka untuk para pelamar. Namun banyak pelamar
tidak dapat memenuhi kualifikasi untuk tenaga fungsional tertentu. Dalam soal penempatan
pegawai juga belum bersandar pada kebutuhan dan beban unit–unit kerja di setiap SKPD.
Gambar 1. Sebaran PNS di SKPD Provinsi Papua Tahun 2012

Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura 702


376
Rumah Sakit Jiwa Daerah Abepura 118
29
Kantor Penghubung 30
121
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 179
66
Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan… 80
163
Badan Pengelolaan Insfrastruktur 68
52
Badan Pemberdayaan Masyarakat Kampung &… 74
46
Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan… 81
148
Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan 258
361
Dinas Pertambangan dan Energi 132
222
Dinas Perindagkop 214
267
Dinas Pengelolaan Teknologi Informasi dan… 103
392
Dinas Pendapatan Daerah 163
739
Dinas kesejahteraan Sosial dan Masyarakat… 265
319
Dinas Kelautan dan Perikanan 176
242
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 207
94
Sekretariat MRP Provinsi Papua 40
87
Sekretariat Daerah 706
0 100 200 300 400 500 600 700 800

Sumber: LPPD Tahun 2012, Pemerintah Provinsi Papua

Tabel 1. Tingkat Pengisian Jabatan Fungsional, Provinsi Papua


Parameter >50 % 50%-75% 76-99% 100%
Struktur Jabatan  Dinas Pendidikan  Dinas Kesehatan  Dinas
Fungsional Terisi  Dinas Kesejahteraan  Dinas Perindagkop
Sosial &Masyarakat Kependudukan &UMKM
Terisolir &Tenaga Kerja
*Data diolah dari 5 SKPD yang menwakili 5 Sektor (Pendidikan & Kebudayaan, Kesehatan, Ekonomi,
Sosial dan Kependudukan & tenaga kerja).
Sumber: Direktorat Jendral Otonomi Daerah, 2014.

Sedangkan manajemen kepegawaian di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua Barat


dihadapkan pada ketidakseimbangan antara jumlah pegawai dan besaran organisasi pemerintah
daerah. Jumlah pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua Barat pada tahun 2012
mencapai 1885 pegawai yang tersebar di 35 SKPD. Data tersebut menunjukkan sebagian besar
SKPD masih kekurangan pegawai sekaligus mengindikasikan ketidakseimbangan antara jumlah
pegawai dengan besaran jumlah SKPD (Lihat Tabel 2). Sebagai deskripsi, Dinas Pendidikan
yang hanya mengelola 52 Pegawai; Dinas Kesehatan hanya memiliki 145 pegawai; dan Dinas
PU dengan jumlah pegawai 86 pegawai. Hal ini mengindikasikan ketidakseimbangan antara
jumlah pegawai dengan beban kerja SKPD. Hal ini diperkuat dengan perbandingan antara
jumlah keseluruhan pegawai dengan jumlah jabatan struktural yang tersebar di 35 SKPD. Dari
1885 Pegawai terdapat 627 pegawai yang menduduki jabatan struktural (lihat Tabel 2.) atau
sepertiga jabatan yang tersedia.
Sementara komposisi pegawai juga tidak seimbang yang ditunjukkan dengan kekurangan
pegawai terutama pegawai fungsional yang hanya terisi dibawah 50 % dari seluruh jabatan
fungsional yang tersedia. Kekurangan pegawai tersebut terutama terjadi untuk unit-unit kerja
yang seharusnya banyak membutuhkan formasi pegawai fungsional dengan keahlian tertentu.
Hampir seluruh SKPD dari 8 Sektor prioritas otonomi khusus mengalami kekurangan pegawai
fungsional hingga dibawah 50 % jabatan fungsional tidak terisi. Sementara hanya 1 SKPD saja
yang tingkat keterisian jabatan fungsionalnya mencapai 100 % (lihat Tabel 3). Akibatnya,
penempatan pegawai yang ada diorientasikan untuk menambal kekurangan pegawai yang terjadi
hampir di seluruh SKPD.

Tabel 2. Sebaran dan Jumlah Pegawai di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua Barat Tahun 2012
No. Nama SKPD Jumlah Pegawai Jumlah Jab
Struktural
1. Sekretariat Daerah 271 96
2. Sekretariat DPR Papua Barat 39 14
3. Sekretariat MRP Provinsi Papua Barat 9 9
4. Inspektorat Provinsi Papua Barat 53 14
5. Dinas Pendidikan 52 19
6. Dinas Pemuda dan Olah Raga 38 11
7. Dinas Kesehatan 145 19
8. Dinas Pekerjaan Umum 86 14
9. Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika 51 19
10. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 38 12
11. Dinas Koperasi dan UMKM 47 19
12. Dinas Perindustrian dan Perdagangan 80 23
13. Dinas Pertambangan dan Energi 56 13
14. Dinas Kehutanan dan Perkebunan 60 22
15. Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan Pangan 109 31
16. Dinas Kelautan dan Perikanan 71 20
17. Dinas Kependudukan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi 53 22
18. Dinas Sosial 53 20
19. Dinas Pendapatan Daerah 70 40
20. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 55 17
21. Badan Kesatuan Bangsa Politk&Perlindungan 16
50
Masyarakat
22. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah 31 31
23. Badan Pendidikan dan Pelatihan 26 7
24. Badan Pemberdayaan Masyarakat 35 15
25. Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak & KB 30 14
26. Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah 48 16
27. Badan Kepegawaian Daerah 54 16
28. Badan Penanggulangan Bencana Daerah 29 12
29. Kantor Perpustakaan, Kearsipan dan Dokumentasi 18 5
30. Kantor Perwakilan Daerah 14 4
31. Kantor Satuan Polisi Pamong Praja 34 3
32. Pelaksana Harian Badan Narkotika Provinsi 25 13
33. Sekretariat Komisi Penyiaran Indonesia Daerah 9 2
34. Sekretariat KORPRI 10 4
35. Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan & 15
36
Ketahanan Pangan
Total 1885 627
Sumber: LPPD Tahun 2012, Pemerintah Provinsi Papua Barat, data diolah

Tabel 3. Tingkat Pengisian Jabatan Fungsional, Provinsi Papua Barat


Parameter >50 % 50%-75% 76-99% 100%
Struktur  Dinas Pendidikan  Dinas Kesehatan Dinas
Jabatan  Dinas Koperasi &UMKM  Dinas Pertanian,
Fungsional  Dinas Pekerjaan Umum Dukankertrans Peternakan &
Terisi  Dinas Hutbun KP
 Dinas Sosial
 Bapedalda
*Data diolah dari 9 SKPD yang menwakili 8 Sektor (Pendidikan & Kebudayaan, Kesehatan, Ekonomi,
Sosial dan Kependudukan & tenaga kerja).
Sumber: Direktorat Jendral Otonomi Daerah, 2014.

Sementara untuk kualitas pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua juga kurang
memadai. Sebagian besar PNS di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua berpendidikan setingkat
SLTA yakni sebesar 3.505 pegawai atau hampir mendekati 50 % persen dari total pegawai.
Berturut-turut kemudian, PNS yang berpendidikan Strata-1 sebanyak 2.179 pegawai dan
Diploma III sebanyak 1.406 pengawai. (Lihat Tabel.4).

Tabel 4. Jenjang Pendikan Pegawai di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua


No. Jenjang Pendidikan Jumlah
Pegawai
1. S3 4
2. S2 199
3. S1 2.179
4. D IV 28
5. D III 1.406
6. D II 21
7. DI 63
8. SLTA 3.505
9. SLTP 160
10. SD 112
Sumber: BPS, 2013
Sementara dari segi golongan didominasi pegawai golongan III sebanyak 4037. Jika
ditilik persayaratan pegawai golongan III maka serendah-rendahnya adalah pegawai dengan
tingkat pendidikan Diploma III yang telah memenuhi persyaratan. Hal ini menunjukkan bahwa
pegawai dengan golongan III diisi oleh sebagian pegawai dengan tingkat pendidikan dibawah
tingkat Diploma III bahkan berpendidikan setingkat SLTA (lihat Tabel 5.).

Tabel 5. Golongan Pegawai di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua


No. Golongan Jumlah
1. Golongan IV 380
2. Golongan III 4037
3. Golongan II 2084
4. Golongan I 176
Sumber: BPS, 2013

Penempatan pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua belum sesuai dengan


kebutuhan dan beban organisasi. Hal ini diindikasikan dengan banyaknya pegawai yang
ditempatkan belum sesuai dengan latar belakang pendidikan, keahlian maupun jenjang karir.
Kondisi tersebut, disebabkan oleh postur kepegawaian yang tidak seimbang, serta sebaran
pegawai yang belum merata. Kekosongan beberapa jabatan akhirnya diisi oleh pegawai yang
belum memenuhi persyaratan, terutama untuk jabatan fungsional.

Sementara itu, di Papua Barat menunjukkan kualitas yang lebih memadai. Hal ini
diindikasikan dengan tingkat pendidikan pegawai yang didominasi pegawai dengan tingkat
pendidikan Strata 1 sebanyak 1.115 pegawai atau 61 % dari total pegawai. Jika dinilai secara
agregat, jumlah pegawai yang mengenyam tingkat pendidikan tinggi (Diploma hingga Doktoral)
mencapai 1427 pegawai atau sekitar 75,9 % (lihat Tabel 6). Selain itu, berdasarkan golongan
didominasi, pegawai dengan Golongan III sebanyak 1150 pegawai atau sekitar 61 % (lihat Tabel
7).
Tabel 6. Jenjang Pendikan Pegawai di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua Barat
No. Jenjang Pendidikan Jumlah
Pegawai
1. S3 2
2. S2 85
3. S1 1.115
4. D IV 23
5. D III 199
6. D II 3
8. SLTA 445
9. SLTP 11
10. SD 2
Sumber: LPPD Tahun 2012, Pemerintah Provinsi Papua
Barat, data diolah
Tabel 7. Golongan Pegawai di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua Barat

No. Golongan Jumlah


1. Golongan IV 207
2. Golongan III 1.150
3. Golongan II 510
4. Golongan I 6
Sumber: LPPD Tahun 2012, Pemerintah Provinsi Papua Barat,
data diolah
Namun sayangnya, meski didominasi pegawai dengan latar belakang pendidikan tinggi belum
sepenuhnya menunjukkan kompetensi yang memadai sehingga berpengaruh pada kinerja
pegawai. Hal ini diperkuat dengan sejumlah indikasi seperti belum terpenuhinya kompetensi
formal yang dipersyaratkan serta terbatasnya anggaran untuk peningkatan kapasitas pegawai
yang menunjukkan kecenderungan tetap dari tahun ke tahun, sehingga kurang berdampak bagi
peningkatan kinerja pegawai (lihat Tabel 8. dan Tabel 9). Kekurangan pegawai di hampir seluruh
SKPD membuat penempatan pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua Barat belum
dapat memenuhi kebutuhan dan beban organisasi. Hal ini diindikasikan dengan banyaknya
pegawai yang ditempatkan tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan, keahlian maupun
jenjang jabatan guna mengisi jabatan yang masih kosong.

Tabel 8. Tingkat Kompetensi Pegawai Provinsi Papua Barat*


Parameter >50 % 50%-75% 76-99% 100%
Pejabat struktural  Dinas Perindag  Dinas Pendidikan  Dinas Hutbun  Dinas Sosial
yang telah  Dinas Pekerjaan  Dinas Kesehatan  Dinas
memenuhi Umum  Dinas Koperasi Duknakertans
persyaratan &UMKM  Bapedalda
pendidikan pelatihan
kepemimpinan.
Pejabat fungsional  Dinas Perindag  Dinas Pendidikan  Dinas
yang telah  Dinas Koperasi Kesehatan
memenuhi syarat &UMKM  Dinas Sosial
pendidikan formal  Dinas Pertanian,  Dinas
sesuai dengan Peternakan & KP Duknakertans
bidang tugasnya.  Dinas Hutbun
 Bapedalda
Pejabat fungsional  Dinas Perindag  Dinas Pendidikan  Dinas
tertentu yang telah  Dinas Koperasi Kesehatan
tersertifikasi. &UMKM  Dinas Sosial
 Dinas Pertanian,  Dinas
Peternakan & KP Duknakertans
 Dinas Hutbun
 Bapedalda
*Data diolah dari 9 SKPD yang menwakili 8 Sektor (Pendidikan & Kebudayaan, Kesehatan, Ekonomi, Sosial dan
Kependudukan & tenaga kerja).
Sumber: Direktorat Jendral Otonomi Daerah, 2014.
Tabel 9. Trend Anggaran Untuk Peningkatan Kompetensi Pegawai Provinsi Papua Barat
Parameter Turun lebih Turun Tetap Naik
dari 1 kali
Tren Anggaran yang  Dinas  Dinas Perindag  Dinas  Dinas
digunakan untuk Koperasi  Dinas Pekerjaan Umum Pendidikan Kesehatan
peningkatan &UMKM  Dinas Hutbun  Dinas
kapasitas pegawai  Dinas Sosial Duknakertans
struktural..  Bapedalda
Tren anggaran yang  Dinas  Dinas Kehutanan dan  Dinas
digunakan untuk Pertanian, Perkebunan Pendidikan
peningkatan Peternakan  Dinas Sosial  Dinas Kesehatan
kapasitas pegawai & KP  Bapedalda  Dinas
fungsional Duknakertans
*Data diolah dari 9 SKPD yang menwakili 8 Sektor (Pendidikan & Kebudayaan, Kesehatan, Ekonomi, Sosial dan
Kependudukan & tenaga kerja, ).
Sumber: Direktorat Jendral Otonomi Daerah, 2014.

Secara faktual pengarusutamaan masyarakat asli di dalam struktur birokrasi sebagaimana


diamanatkan otonomi khusus berada dalam tegangan antara isu pendatang, orang asli, dan
kompetensi. Sejauh ini tingkat pendidikan memang masih menjadi persyaratan utama dalam
pengisian jabatan. Artinya, orang asli sekalipun apabila tidak memiliki kecakapan yang memadai
tidak serta merta dapat menduduki posisi tertentu di dalam struktur jabatan birokrasi. Tetapi,
tentu saja, jika asli dan pendatang sama-sama memiliki kecakapan yang sama, maka orang asli
adalah pilihan utama. Namun pilihan semacam ini tidak selalu tersedia.

Penataan Organisasi Pemerintah Daerah


Adaptasi kebijakan otonomi khusus dalam desain organisasi Pemerintah Provinsi Papua
digerakkan oleh dua faktor: Pertama, keberadaan regulasi nasional yang menjamin
dipastikannya urusan dalam 8 sektor otonomi khusus diselenggarakan oleh SKPD sesuai dengan
tugas pokok fungsinya. Kedelapan sektor tersebut sesunggunnya telah diatur dalam PP 41 Tahun
2007. Kedua, adanya gelombang otonomi khusus turut mendorong Pemerintah Provinsi Papua
mendesain kelembagaan organisasi sesuai dengan kewenangan khusus yang dimandatkan dalam
UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua serta karakteristik daerahnya.
Adaptasi kebijakan otonomi khusus dalam desain organisasi pemerintahan daerah
Provinsi Papua terlihat sangat jelas. Hal ini dapat dilihat dari dibentuknya sejumlah manakala
sejumlah SKPD dibentuk sebagai respon langsung atas kebijakan otonomi khusus. Sejumlah
SKPD tersebut misalnya Badan Pengelolaan Sumber Daya Manusia, Badan Pengelolaan
Infrastruktur, Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Dinas
kesejahteraan Sosial dan Masyarakat Terisolir, dan Badan Perbatasan dan Kerjasama Luar
Negeri (lihat Tabel 10). Selain itu, sejumlah organisasi yang dibentuk telah mengakomodasi 8
sektor prioritas otonomi khusus.
Tabel 10. SKPD di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua Pengampu Sektor Prioritas Otonomi Khusus
No. Sektor Prioritas SKPD Reguler SKPD Yang Dibentuk Dalam
Otonomi Khusus Rangka Otsus
1. Pendidikan dan Dinas pendidikan, Pemuda & Olahraga Badan Pengelolaan Sumber Daya
Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Manusia
2. Kesehatan Dinas Kesehatan Badan Pengelolaan Sumber Daya
Manusia
3. Ekonomi Dinas Perindustrian, Perdagangan,
Koperasi dan UKM
4. Infrastruktur Dinas Pekerjaan Umum Badan Pengelolaan Infrastruktur
Dinas Pengelolaan Teknologi Informasi
dan Komunikasi
Dinas Perhubungan
5. Kependudukan dan Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan
Tenaga Kerja
6. Sosial Dinas kesejahteraan Sosial dan Dinas kesejahteraan Sosial dan
Masyarakat Terisolir Masyarakat Terisolir
Badan Pemberdayaan Kampung dan
Kesejahteraan Keluarga
7. Pengelolaan SDA Dinas Perkebunan dan Peternakan Badan Pengelolaan Sumber Daya
Dinas Kehutanan dan Konservasi Alam dan Lingkungan Hidup
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan
Dinas Kelautan dan Perikanan
Dinas Pertambangan dan Energi
8. Pembangunan Dinas Kehutanan dan Konservasi Badan Pengelolaan Sumber Daya
Berkelanjutan Alam dan Lingkungan Hidup
9. Urusan Khusus Badan Perbatasan dan Kerjasama
Lainnya Luar Negeri

Namun demikian, dampak dari gelombang otonomi khusus tersebut membuat besaran
organisasi menjadi tidak proporsional dan membengkak sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan
seperti yang dipersyaratkan dalam regulasi nasional. Sebagai deskripsi, di sektor infrastruktur
terdapat 4 SKPD yang menangani 3 urusan yakni urusan pekerjaan umum, urusan perhubungan,
dan urusan komunikasi dan informatika. Di sektor dan kebudayaan terdapat 3 SKPD yang
menangani 2 urusan yakni pendidikan dan kebudayaan.
Merujuk pada regulasi tentang organisasi pemerintahan daerah yakni PP 41 Tahun 2007
besaran organisasi pemerintah Provinsi Papua melebihi dari dipersayaratkan oleh regulasi
tersebut. Penghitungan skor yang mempertimbangkan besaran organisasi berdasarkan luas
wilayah, jumlah penduduk dan besaran APBD menempatkan skor 84 atau termasuk dalam skor
70<. Berdasarkan skor tersebut maka, besaran organisasi pemerintah Provinsi Papua melebihi
yang dipersyaratkan yakni pada jumlah lembaga teknis daerah. Dalam PP 41/2007
dipersyaratkan jumlah maksimal lembaga teknis daerah sebanyak 12 lembaga, namun lembaga
teknis berjumlah lebih banyak yakni 18 lembaga teknis daerah (lihat tabel 11).
Tabel 11. Jumlah Besaran Organisasi yang dipersayaratkan PP 41/2007 Provinsi Papua
Jumlah Maksimal Yang Diatur
Jumlah
No Unsur SKPD Dalam PP 41/2007 Untuk Daerah Ket
Aktual
Dengan Skor 70<
1. Asisten Sekretariat Daerah 4 3 Sesuai
2. Sekretariat DPRD 1 1 Sesuai
3. Dinas 18 15 Sesuai
4. Lembaga Teknis Daerah 12 18 Tidak Sesuai

Sementara itu, adapatasi kebijakan otonomi khusus dalam desain organisasi Pemerintah
Provinsi Papua Barat lebih didorong oleh keberadaan regulasi nasional. Regulasi nasional berupa
PP no. 41 Tahun 2007 telah memastikan urusan dalam 8 sektor otonomi khusus diselenggarakan
oleh SKPD sesuai dengan tugas pokok fungsinya. Dari 8 sektor prioritas otonomi khusus
terdapat 14 SKPD yang menangani urusan berdasarkan tugas pokok dan fungsi SKPD tersebut
(lihat Tabel 12). Adaptasi tersebut juga menemukan keseuaian dengan pola perumpunan
organisasi SKPD yang mengikuti regulasi nasional yakni PP 38/2007 tentang pembagian urusan
pusat dan daerah.
Tabel 12. SKPD Pemerintah Provinsi Papua Barat Pengampu Sektor Prioritas
Otonomi Khusus
No. Sektor Prioritas Otonomi SKPD Reguler
Khusus
1 Pendidikan dan Kebudayaan Dinas pendidikan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
2 Kesehatan Dinas Kesehatan
3 Ekonomi Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Dinas Koperasi dan UKM
4 Infrastruktur Dinas Pekerjaan Umum
Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika
5 Kependudukan dan Tenaga Kerja Dinas Kependudukan, Tenaga Kerja dan
Transmigrasi
6 Sosial Dinas Sosial
7 Pengelolaan SDA Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan Pangan
Dinas Kelautan dan Perikanan
Dinas Pertambangan dan Energi
8 Pembangunan Berkelanjutan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

Namun besaran organisasi pemerintah Provinsi Papua Barat belumlah sesuai dengan
regulasi yakni PP 41/ 2007. Berdasarkan regulasi tersebut, besaran organisasi Pemerintah
Provinsi Papua Barat masih melebihi seperti yang dipersyaratkan PP 41/ 2007. Penghitungan
skor yang mempertimbangkan besaran organisasi berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk
dan besaran APBD menempatkan skor 68 atau termasuk dalam skor 40-70. Berdasarkan skor
tersebut maka, besaran organisasi pemerintah Provinsi Papua melebihi yang dipersyaratkan
yakni pada jumlah lembaga teknis daerah. Dalam PP 41/2007 dipersyaratkan jumlah maksimal
lembaga teknis daerah sebanyak 10 lembaga, namun lembaga teknis daerah di lingkungan
Pemerintah Provinsi Papua barat berjumlah lebih banyak yakni 17 lembaga teknis daerah (lihat
Tabel 13). Membengkaknya jumlah SKPD berdampak pula pada jumlah jabatan struktural di
lingkungan Pemerintah Provinsi Papua Barat yang mencapai 627 jabatan struktural.

Tabel 13. Jumlah Besaran Organisasi yang dipersayaratkan PP 41/2007 Provinsi Papua Barat
No Unsur SKPD Jumlah Maksimal Yang Diatur Jumlah Ket
Dalam PP 41/2007 Untuk Aktual
Daerah Dengan Skor 40-70
1. Asisten Sekretariat Daerah 3 3 Sesuai
2. Sekretariat DPRD 1 1 Sesuai
3. Dinas 15 15 Sesuai
4. Lembaga Teknis Daerah (Badan, 10 17 Tidak
Kantor, Inspektorat, RSUD) Sesuai

Tambunnya struktur organisasi pemerintah daerah tersebut berakar dari respon


langsung atas adaptasi kebijakan otonomi khusus dalam manajemen organisasi.
Pemerintah Provinsi Papua misalnya, disamping membentuk SKPD untuk mengelola
urusan pemerintahan daerah (wajib dan pilihan), membentuk pula SKPD khusus yang
menangani urusan otonomi khusus. Secara fungsional, SKPD yang dibentuk baik untuk
urusan pemerintah maupun yang diorientasikan untuk mengelola urusan otonomi khusus
saling mengiris. Sementara Pemerintah Papua Barat sejak awal banyak membentuk SKPD
yang diorientasikan untuk menangangi sektor-sektor prioritas otonomi khusus. Hanya saja
upaya mendesain besaran organisasi tampak tidak efisien. Beberapa SKPD yang menangani
urusan sektoral dalam perumpunan yang sama sesungguhnya dapat dilakukan regrouping.
Boleh jadi, penjelasan membengkaknya besaran organisasi tersebut baik di Papua maupun
Papua Barat diorientasikan untuk mempersiapkan masyarakat asli untuk duduk dalam
birokrasi pemerintahan.

D. Penguatan Identitas dan Politisasi Birokasi dalam Penataan Birokrasi

Akibat kekosongan regulasi operasional turut melemahkan pengelolaan politik


dalam merespon isu afirmasi terkait dengan penataan birokrasi yang memunculkan
politisasi birokrasi. Dinamika politik birokrasi, sejauh ini, sangat mengganggu kinerja dan
banyak energi yang tersedot untuk mengurus masalah politik di dalam tubuh birokrasi di Papua
dan Papua Barat. Rendahnya tingkat keterkelolaan politik di dalam tubuh birokrasi Pemerintah
Provinsi Papua dan Papua Barat berdampak pada terhambatnya penataan birokrasi sebagai
agenda utama dalam meningkatkan kinerja birokrasi. Agenda penataan birokrasi tersebut
menjangkau tiga ranah utama yakni perbaikan manajemen kepegawaian, peningkatan efektvitas
manajemen organisasi dan peningkatan kultur pelayanan birokrasi yang masih sering dinilai
menjadi penghambat dalam menghadirkan pelayanan publik yang prima sebagai mandat dari UU
Otonomi Khusus. Ketiga isu dalam agenda penataan birokrasi tersebut diletakkan dalam
kombinasi dua logika penataan birokrasi sekaligus yakni pada lingkup pada lingkup teknokrasi-
admnistratif dan menjangkau pula lingkup pengelolaan politik.
Pada ranah isu manajemen kepegawaian di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua dan
Papua Barat, masalah mendasar yang muncul adalah belum terkonsolidasinya manajemen
kepegawaian. Pada lingkup teknokratis-administratif problem tersebut diindikasikan dengan
postur dan komposisi kepegawaian yang tidak seimbang, kesenjangan kapasitas dan kualitas
pegawai, distribusi dan penempatan pegawai yang tidak merata serta perekrutan pegawai
termasuk pengisian jabatan-jabatan strategis di birokrasi. Namun problem yang terkesan bersifat
teknis tersebut sesungguhnya menyimpan logika politik yang kental. Sebagai misal, masih
banyak perekrutan PNS dan pengisian jabatan yang ada saat ini belum sesuai dengan standar
kompetensi yang disyaratkan regulasi kepegawaian nasional karena kebutuhan mendudukkan
anak negeri dalam birokrasi. Seringkali, terjadinya kondisi seperti ini juga dampak dari politisasi
birokrasi. Politisasi birokrasi telah turut mendorong manajemen kepegawaian menjadi cenderung
bercorak politis dibanding administratif.
Sementara pada lingkup manajemen organisasi, problem utama yang eksis berupa belum
memadainya upaya konsolidasi dan sinergi antar unit-unit kerja yang memunculkan inefektivitas
kinerja dalam lingkup birokrasi. Secara teknokratis-administratif masalah ini tampak dalam
sejumlah isu seperti membengkaknya struktur organisasi pemerintah daerah, kuatnya ego
sektoral yang memperlemah koordinasi, desain organisasi yang secara fungsional kurang sesuai
dengan kebutuhan dan beban organisasi birokrasi manajemen kepegawaian di lingkungan
Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat. Pada aras politis, manajemen organisasi kerap kali
tak lepas dari anggapan sebuah unit kerja didesain untuk melayani kepentingan politik tertentu.
Sedangkan dalam lingkup isu kultur pelayanan, masalah mendasar adalalah belum
terlembaganya kultur pelayanan secara memadai. Secara teknokratis, meski terdapat upaya
peningkatan kapasitas pegawai namun belum menghasilkan dampak yang signifikan dalam
meningkatkan kinerja pelayanan. Dalam sejumlah kasus misalnya, beberapa pegawai sudah
mendapatkan pendidikan hingga level pasca sarjana, namun hal ini belum cukup untuk
membangun kinerja pelayanan yang berkualitas. Ragam hambatan yang muncul tersebut pada
gilirannya melemahkan kapasitas birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik pada
masyarakat. Alih-alih hendak meningkatkan efektivitas performa layanan publik, birokrasi di
lingkungan Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat justru disibukkan dengan upaya
merespon ketegangan yang bercorak politis. Pada titik ini upaya untuk membangun
kesetimbangan tampaknya belum memadai. Birokrasi yang seharusnya bekerja dengan
berdasarkan kapasitas tidak lagi tampil dalam sosok yang profesional dalam mengelola layanan
publik.
Persoalan politik birokrasi di Papua dan Papua Barat yang paling menyedot energi paling
besar adalah masalah ketegangan identitas antara orang asli, anak negeri, dan pendatang. Otsus
telah memicu munculnya penguatan identitas lokal bagi masyarakat asli Papua untuk
menuntut hak atas pengelolaan sumberdaya di lingkungan pemerintah, termasuk birokrasi.
Wacana ini secara sederhana dapat ditandai melalui isu masyarakat asli Papua atau orang
asli Papua. Ekspresi wacana ini kerap muncul bersamaan dengan proses negasi atas
identitas lain non Papua. Isu pembedaan antara asli dan pendatang cenderung lebih cepat
ditandai oleh logika umum dalam memahami kekhususan bagi Papua. Peneguhan terhadap
identitas asli Papua kadang juga mewujud sebagai suara kolektif untuk menekan kebijakan
dari pemerintah daerah, mulai dari aksi palang memalang untuk menarik kentungan
ekonomi dari proses pembangunan yang dilakukan Pemerintah sampai pada munculnya
ungkapan-ungkapan wacana Papua merdeka.

Peneguhan identitas lokal juga berlaku pada pembedaan antara asli setempat dan
trans lokal Papua atau dikenal dengan Gejala “teritorialisasi etnis”. Gejala teritorialisasi
etnis dapat dibaca dalam pengertian sebagai upaya perebutan kepentingan di antara warga
masyarakat untuk berebut akses sumberdaya negara dengan cara penciptaan sekat antar
identitas kultural di antara warga. “Teritorialisasi etnis” adalah wujud dari ekspresi
pengentalan politik identitas di kalangan masyarakat, bukan saja di antara orang asli Papua
dan pendatang namun juga di antara sesama etnis Papua. Dalam konteks ini mulai
diperkenalkan istilah orang asli Papua setempat dan orang asli Papua “imigran”. Struktur
sosial kesukuan yang dibatastepikan oleh penguasaan wilayah geografis antar suku
digunakan untuk menjadi pembeda antara masyarakat asli di suatu daerah dan masyarakat
Papua lainnya yang bertempat tinggal di daerah tersebut. Wacana orang asli berkembang
semakin dalam dan makin diperumit.

Ketidakjelasan siapa yang disebut dengan orang asli membuat tafsir identitas ini
berkembang dengan sendirinya. Orang asli adalah kategori sosial politik yang tidak hanya
membedakan antara Papua dan Non-Papua tetapi juga antar Papua sendiri, orang asli
kemudian dikaitan dengan kelahiran, suku, marga, dan teritori, sehingga yang disebut
pendatang bukan saja orang luar Papua tetapi juga adalah orang yang datang dari kampung
lainnya meskipun sama-sama Papua. Absennya konsepsi tentang definisi orang asli tentu juga
berimplikasi pada penataan birokrasi dalam konteks implementasi otonomi khusus Papua dan
Papua Barat. Kondisi ini berakar dari perbedaan pandangan terhadap konsep otsus di kalangan
pengambil kebijakan. Yang diletakkan bukan semata problem administratif dari kebijakan,
namun juga politis. Dalam pengertian ini, perbedaan pandangan adalah cerminan tarik menarik
kepentingan politik di lingkungan para pengambil kebijakan.

Pada konteks penataan birokrasi, isu afirmasi digunakan sebagai alat atas
ketidaktepatan kebijakan yang dinilai justru terlihat menguntungkan masyarakat non
Papua, khususnya terkait rekrutmen dalam jabatan publik. Isu ini memiliki daya tawar
untuk menekan pemerintah agar mengakomodasi masyarakat asli Papua dalam dalam
jabatan-jabatan public. Penguatan terhadap identitas Papua terlihat dari upaya-upaya
sistematis yang dilakukan oleh masyarakat adat guna mengarusutamakan akomodasi
putra-putra adat untuk masuk ke wilayah birokrasi dan parlemen. Pada titik ini, agenda
utama masyarakat adat adalah mencoba membangun definisi identitas untuk menentukan
tafsir dasar terhadap epistimologi orang Papua. Tafsir inilah yang dijadikan sebagai dasar
politik akomodasi untuk memasukkan kategori orang asli Papua ke dalam birokrasi.

Kondisi ini diindikasikan dengan isu rekrutmen pegawai serta penentuan jabatan
strategis di lingkungan birokrasi. Dalam rekrutmen pegawai, situasi tersebut kerap mendorong
ketegangan dimana kompetisi antara orang asli dan pendatang tidak terkelola secara memadai.
Memang, dalam beberapa tahun terakhir ini Pemerintah Provinsi dan Papua Barat menyediakan
skema pegawai kontrak yang banyak mengakomodasi masyarakat asli maupun pendatang.
Namun, skema tersebut tanpa diimbangi strategi penguatan kapasitas terutama bagi calon
pegawai berasal dari masyarakat asli. Manakala desakan politik akomodasi afirmasi dalam
rekrutmen pegawai menguat, kerap kali Pemerintah daerah nyaris tidak memiliki pilihan lain
dengan merekrut tenaga kontrak dengan sedikit mengesampingkan pertimbang kompetensi dan
kapasitas yang dipersyaratkan dalam regulasi kepegawaian.
Sedangkan dalam pengisian jabatan strategis di lingkungan birokrasi, hal tersebut tampak
dari fenomena dampak Pemilukada yang diyakini sebagai salah satu faktor utama yang
menyebabkan politisasi birokrasi. Formasi jabatan-jabatan strategis birokrasi diindikasikan
menjadi medium transaksi di antara para kelompok pendukung kandidat yakni tim sukses dan
partai politik pendukung. Jika tim sukses merupakan tim yang berada langsung dalam kendali
kandidat, partai politik pendukung muncul menjadikan loyalitas dukungan sebagai alat
pertukaran bagi distribusi sumberdaya dalam birokrasi. Pada lingkup pendukung di lingkungan
partai politik, pengaruh terutama banyak terlihat pada penentuan pejabat strategis di lingkungan
SKPD, terutama untuk Kepala dan Sekretaris. Oleh karena itu, selain faktor kompetensi dan
kesesuaian pangkat, faktor penentuan jabatan ini juga kerap dipengaruhi kedekatan politik dari
birokrat dengan partai politik tertentu. Selain partai politik, faktor kedekatan juga berlaku bagi
kedekatan dengan pemimpin daerah. Kondisi ini juga membuat beberapa keputusan rekrutmen
jabatan strategis dinilai menyimpang dari standar kompetensi dan kepangkatan.
Manifestasi dari bekerjanya politisasi birokrasi terlihat pada saat kebijakan penempatan
melalui rotasi pejabat di lingkungan SKPD. Rotasi dibutuhkan untuk penyegaran dan
pemerataan kemampuan. Dalam konteks ini peran Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat
(BAPERJAKAT) mestinya menjadi acuan di dalam menentukan rotasi pegawai. Tetapi
kenyataanya, di Papua dan Papua Barat, keputusan rotasi pada akhirnya akan seturut „selera‟
pimpinan pemerintahan daerah meskipun Baperjakat memberikan hasil analisisnya. Baperjakat
selama ini hanya berwenang mengusulkan dan melakukan analisis, tidak lebih dari itu. Siapa
yang akan dipindahkan, dan kemana ia akan dipindahkan sangat tergantung pada seberapa
kedekatanya dengan pimpinan daerah. Kedekatan masih menjadi modus penting dalam
menentukan posisi dan jabatan dan tentu saja pertimbangan tersebut sangat politis.
Salah satu bukti yang menunjukkan bagaimana politisasi bagitu besar mempengaruhi
kinerja birokrasi dengan sebuah kasus di SKPD di sebuah daerah di Papua menjadi contoh
praktik tersebut. Seorang pejabat eselon II diturunkan jabatannya menjadi kepala sekolah karena
secara politik tidak sejalan dengan kepala daerah terpilih. Selain itu, terdapat banyak fakta yang
memperlihatkan proses pengangkatan jabatan eselon II dan eselon I ditentukan oleh afilisi politik
dari birokrat yang bersangkutan. Birokrasi yang seharusnya bekerja berdasarkan kompetensi
tidak lagi tampil dalam profil yang profesional. Proses penempatan jabatan tidak lagi merujuk
pada kapasitas teknokratis administratif, tetapi justru merujuk pada kedekatan personal dan
hubungan politik dengan kepala daerah.
Dalam kaitannya dengan isu afirmasi bagi masyarakat asli, memang tidak selalu menjadi
pertimbangan utama dalam pengisian jabatan strategis. Namun demikian, meskipun
pertimbangan kompetensi, kepangkatan, serta kedekatan politik dengan kelompok pendukung
dalam Pemilukada tampak lebih menonjol, bukan berarti isu orang asli-pendatang dalam
penentuan jabatan tidak tampil dalam wacana publik.. Dengan kata lain, politisasi birokrasi juga
bergerak bukan semata faktor tekanan kelompok pendukung (partai politik) pada Pemilukada,
namun juga beriringan dengan desakan pada isu-isu “identitas kultural” atas nama Otonomi
khusus. Dalam sejumlah kasus, isu tersebut menjadi instrumen transaksi yang efektif dalam
membangun posisi tawar diantara kelompok politik yang berkontestasi dalam tubuh birokrasi.
Pada titik tertentu, hal ini menjadi pertimbangan yang cukup kuat bagi kepala daerah dalam
pengisian formasi jabatan guna membangun perimbangan di dalam birokrasi antara orang asli-
pendatang dalam lingkup birokrasi.
Wacana otsus pada kenyataannya telah berkembang lebih jauh, bukan saja pada sisi
outcome yang diharapkan dari pelayanan publik oleh pemerintah, namun juga pada sisi
kebutuhan untuk mendorong akomodasi terhadap orang asli Papua agar dapat menjadi pelaku
utama dalam proses penentuan kebijakan. Pada konteks ini, wacana representasi orang asli tidak
terbatas pada posisi jabatan kepala daerah, namun juga meluas pada upaya promosi pada jabatan-
jabatan strategis dalam lingkungan birokrasi. Dengan kata lain, politisasi birokrasi juga bergerak
bukan semata faktor tekanan kelompok pendukung (partai politik) pada Pemilukada, namun juga
beriringan dengan desakan pada isu-isu “identitas kultural” atas nama otsus. Meski instensitas
dan pengaruh tekanan pada isu ini relatif lebih rendah dan kurang efektif sampai saat ini, namun
wacana ini tetap diminati sebagai upaya membangun perimbangan politik dalam tubuh birokrasi.
E. Agenda Penataan Birokrasi Dalam Rangka Otsus Papua
Politisasi birokrasi sebetulnya telah menjadi gejala umum di banyak daerah.
Dwiyanto (2015: 145-146) mencatat promosi dan penempatan pegawai dalam jabatan
tertentu cenderung menjadi arena politisasi dan komodifikasi pasca pelaksanaan
pemilihan kepala daerah secara langsung, dimana kegagalan dalam melembagakan
meritokrasi manajemen kepegawaian lebih banyak didasarkan perimbangan subyektif
seperti afiliasi politik, kedekatan hubungan dan pembayaran suap. Politisasi birokrasi
semakin menemukan tingkat kerumitan yang tinggi, manakala beririsann dengan
fragmentasi spasial berbasis etnis dan kedaerahan dan penguatan nilai-nilai
primordialisme (Dwiyanto, 2015: 115). Manajemen kepegawaian yang seharusnya
dipandu profesionalisme berbasis prestasi kerja, kompetensi, dan kualifikasi yang berlaku
obyektif semakin jauh dari gambaran ideal di berbagai penjuru daerah.

Perbedaan mendasar antara di Papua dan Papua Barat dengan banyak daerah di
Indonesia, etnosentrime menjadi keniscayaan karena pilihan politik kebijakan berupa
afirmasi bagi Orang Asli Papua adalah konstitusional. Disengaja ataupun tidak, UU Otonomi
Khusus Papua telah membawa masyarakat Papua-sadar atau tidak-membuat garis
demarkasi yang tegas dan jelas dengan identitas-identitas lainnya. Dalam konteks
kepentingan Otsus, mau tidak mau hal ini harus dipatuhi. Tidak hanya masyarakat,
pemerintah juga harus membuatnya demikian, karena sudah menjadi mandat Undang-
Undang Otonomi Khusus Papua. Narasi afirmasi yang juga merambah ke berbagai jabatan-
jabatan publik termasuk birokrasi, sebagaimana telah dipaparkan diatas, merupakan buah
dari upaya melembagakan perlindungan bagi Orang Asli Papua dalam koridor
konstitusional.
Dihadapkan pada konteks persoalan semacam itu, tantangan yang muncul adalah
bagaimana membangun kesetimbangan antara upaya membangun birokrasi yang
profesional yang berpijak pada meritokrasi tanpa abai terhadap afirmasi politis bagi Orang
Asli Papua. Tulang punggung pelaksanaan kebijakan, termasuk otsus, akan banyak
tergantung pada performa birokrasi. Bergerak dalam logika teknokratis-administratif,
birokrasi adalah mesin pelaksana kebijakan untuk memastikan bahwa pelaksanaan
kebijakan mampu mencapai hasil yang diharapkan. Pelaksanaan otonomi khusus di Papua
dan Papua Barat yang dimandatkan menghadirkan kesejahteraan melalui pelayanan publik
yang prima dapat terganggu apabila birokrasi yang professional tidak terwujud. Namun,
mereka yang duduk di birokrasi pemerintah daerah mengalami dilema dalam mengelola
pegawai: apakah yang diutamakan adalah orang asli dulu, atau orang yang benar-benar
memiliki kapasitas dan kompetensi yang mencukupi untuk menduduki jabatan strategis.

Memperkuat Meritokrasi, Meningkatkan Daya Saing Masyarakat Asli


Posisi kajian ini meyakini bahwa upaya membangun kesetimbangan kedua kutub tersebut
masih memiliki ruang yang memadai. Strategi yang dapat ditempuh adalah tetap memperkuat
meritokrasi dalam agenda penataan birokrasi di Papua, sembari pada saat yang sama turut
memperkuat daya saing masyarakat asli agar siap berkompetisi memperebutkan jabatan-jabatan
publik. Beberapa agenda yang dapat ditempuh adalah:
Pertama, memperkuat kapasitas sistem manajemen perencanaan kepegawaian secara terpadu
yang menyesuaikan dengan kebutuhan organisasi dan karakteristik lokal secara tepat dan terukur.
Perencanaan pegawai, tetap mengacu pada analisis jabatan, analisis beban kerja, dan evaluasi
jabatan dengan menekankan kualifikasi jabatan sebagai indikator penting perencanaan pegawai.
Sistem Formasi yang digunakan sebagai dasar menentukan kebutuhan pegawai saat ini
sesungguhnya tidak cukup memadai. Dwiyanto (2015:118) mencatat bawa sistem formasi
memiliki kelemahan bahwa sistem ini tidak menggambarkan jenis kecakapan yang dibutuhkan
organisasi pemerintah daerah.

Kedua, memperbaiki sistem sistem seleksi CPNS guna mendapatkan PNS yang berkualitas
dengan mempertimbangkan akomodasi terhadap masyarakat asli Papua. Dalam konteks ini,
sistem pengadaan PNS didorong untuk mengacu standar kompetensi dan kualifikasi jabatan yang
dipersyaratkan. Guna menegakkan konsistensi terhadap regulasi tersebut, maka perlu
memperkuat pengawasan terhadap proses rekrutmen dan seleksi PNS. Pada saat yang sama,
sebagai upaya afirmasi terhadap masyarakat asli, perlu tindakan fasilitasi bantuan pendidikan
bekerjasama dengan lembaga pendidikan tinggi untuk meningkatkan kompetensi tenaga kontrak
yang berasal dari masyarakat asli. Pilihan studi masyarakat asli ada baiknya diarahkan untuk
mengisi tenaga fungsional dengan keahlian tertentu yang masih banyak dibutuhkan untuk
mengisi jabatan birokrasi di Papua dan Papua Barat. Selepas menempuh pendidikan formal yang
disyaratkan, mereka diproyeksikan mengisi kebutuhan PNS Daerah.

Ketiga, melembagakan manajemen berbasis kinereja yang diorientasikan bagi perbaikan sistem
karir baik dalam kerangka mutasi, penempatan dan promosi jabatan. Dalam konteks ini,
penerapan manajemen kinerja akan mendorong pengisian jabatan (penempatan, mutasi dan
promosi) sesuai standar kompetensi jabatan dengan menimbang kebutuhan organisasi dan pola
karir PNS. Untuk keperluan promosi perlu didorong penerapan uji kompetensi jabatan bagi PNS
terutama untuk jabatan structural. Misalnya dengan menyelenggarakan seleksi terbuka melalui
mekanisme Fit and Proper Test untuk pengisian jabatan-jabatan struktural SKPD. Konteks
afirmasi masyarakat asli dalam promosi jabatan dilakukan dengan memprioritaskan program-
program fasilitasi pendidikan, baik bimbingan teknis maupun diklat bagi PNS yang berasal dari
masyarakat asli. Tindakan ini dilakukan untuk mempersiapkan kompetensi manajerial PNS yang
berasal dari masyarakat asli Papua guna meningkatkan daya saing dalam pengisian jabatan di
lingkungan pemerintah daerah.

Keempat, menyelenggarakan sistem evaluasi kinerja yang terintegrasi dalam mendorong


pengembangan profesi, peningkatan kinerja dan disiplin pegawai. Hal ini dilakukan dengan
menerapkan sistem insentif berupa tunjangan kinerja yang disesuaikan dengan beban kerja dan
prestasi kinerja pegawai dan memperkuat sistem penegakkan disiplin pegawai yang efektif bagi
pegawai melalui penerapan sanksi terhadap pelanggaran disiplin PNS. Upaya afirmasi dilakukan
dengan memprioritaskan Fasilitasi peningkatan kompetensi PNS melalui bimbingan teknis,
pelatihan, serta sertifikasi profesi bagi PNS yang berasal dari masyarakat asli Papua.
DAFTAR PUSTAKA

Burg, Steven L. & Chernyha , Lachen T (2013), Asymmetric Devolution and Ethnoregionalism
in Spain: Mass Preferences and the Microfoundations of Instability, Journal of Nationalism and
Ethnic Politics Volume 19, Issue 3, August 2013.

Kirn, Tanja & Khokrishvili, Elguja (2013), Will an Asymmetrical System of Fiscal
Decentralisation Resolve the Conflicts in the Republic of Georgia

Direktorat Jendral Otonomi Daerah, Kementrian Dalam Negeri (2014). Kinerja Otonomi Khusus
Papua dan Papua Barat Tahun 2013, Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan
Dwiyanto, Agus (2015). Administrasi Publik: Desentralisasi, Kelembagaan dan Aparatur Sipil
Negara, Yogyakarta: UGM Press-Lembaga Administrasi Negara.

Lay, Cornelis Et.al (2008) Keistimewaan Yogyakarta : Naskah Akademik Dan Rancangan
Undang-Undang Keistimewaan, Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Yogyakarta:
FISIPOL UGM Universitas Gadjah Mada.

Keating, Michael (2001). Nations Against the State, Second Editioni: The New Politics of
Nationalism in Quebec, Catalonia and Scotland, Palgrave Macmillan

Santoso, Purwo, Et.al (2010), Decentralized
Governance:Sebagai
Wujud
Nyata
dari
Sistem



Kekuasaan,Kesejahteraan
dan
Demokrasi, Yogyakarta: Jurusan
Politik
dan
Pemerintahan,

FISIPOL UGM.

Wehner,
 Joachim
 HG
 (2010),
 Asymmetrical
 Devolution,
 Journal
 of
 Development



Southern
Africa
Vol.
17,
No.
2,
June
2000,
Southern
Africa.


Dokumen:

LPPD Provinsi Papua 2012


LPPD Provinsi Papua Barat 2012
Provinsi Papua Dalam Angka Tahun 2013, BPS
Provinsi Papua Barat Dalam Angka Tahun 2013, BPS
UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua

Anda mungkin juga menyukai