M. R. Khairul Muluk1
University of Brawijaya
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan desentralisasi yang terlaksana pada dua negara kesatuan,
Indonesia dan Thailand, yang mana keduanya memiliki pola pelimpahan wewenang pusat dan daerah
yang berbeda. Desentralisasi di Indonesia cenderung bernuansa asimetrik-horisontal melalui
kehadiran daerah otonomi khusus seperti Papua. Sedangkan Thailand bertahan dengan pola
desentralisasi simetrisnya. Studi ini mengungkap bagaimana perbedaan derajat desentralisasi
diantara keduanya, kendatipun saling memiliki wilayah dengan sejarah konflik yang mengancam
stabilitas negara. Sejumlah penelitian meyakini bahwa desentralisasi merupakan jalan keluar ideal
untuk menangani konflik, namun hal ini patut dilakukan peninjauan kembali pada lingkungan
masyarakat heterogen yang rentan akan pertentangan seperti Papua dan Pattani. Data dihimpun
melalui eksplorasi studi literatur, studi dokumen, dan interviews untuk menggali informasi dari
sumber terpercaya. Landasan teori dan temuan empiris dari komparasi perspektif keduanya
dilakukan konstruksi keterikatan sub-unsur menggunakan pendekatan system dynamic. Hasil studi
menampilkan …
1. Pendahuluan
Jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998, dengan struktur kekuasaan dan sistem politik
Indonesia pada masa itu adalah otoritarian sentralistik yang kemudian berubah menjadi sistem politik
desentralisasi kekuasaan pusat dan daerah. Meskipun, pada dasarnya sistem negara kesatuan tidak
perlu didesentralisasikan secara hukum, namun sebagian besar dilakukan melalui pemberian juridiksi
geografis tertentu pada pemerintah daerah, serta adanya pembagian urusan pemerintahan terkait
pelayanan publik yang didesentralisasikan ke pemerintah daerah (Cohen dan Peterson, 1999).
Desentralisasi merupakan sebuah harapan yang akan mengurangi kelebihan beban dan kemacetan
administrasi dan komunikasi dalam pemerintahan (Rondinelli et.al, 1983: 9-10). Salah satu resiko dari
sistem desentralisasi adalah kemungkinan terjadinya kontrol penuh oleh elit daerah (Robison & Hadiz,
2004) dikarenakan oleh desain kelembagaan yang dibuat tidak efisien (Jaya, 2010).
Regulasi pemerintah daerah sebagai upaya regulasi desentralisasi adalah untuk mengembalikan
akuntabilitas vertikal, namun tidak berhasil terwujud bahkan akuntabilitas horizontal antara legislatif
dan eksekutif di tingkat kabupaten menjadi lumpuh (Buehler, 2009: 102). Tidak hanya merujuk pada
persoalan kapasitas pemerintah daerah, tetapi juga persoalan kapasitas pemerintah pusat (Litvak et
al.,1998). Kegagalan desentralisasi ada pada pengelolaan atas konflik horisontal (Homme, 1995).
Konflik horisontal yang dimaksud merupakan konflik yang terjadi antar kelompok masyarakat, konflik
tersebut disebabkan oleh berbagai faktor seperti ideologi politik, ekonomi dan faktor primordial.
Pada negara kesatuan meskipun daerah memiliki hubungan politik yang sama dengan
pemerintah pusat, keberagaman yang ada merupakan suatu hal yang tidak dapat ditolak, baik dari sisi
historis, budaya, ekonomi, dan sebagainya. Akibatnya, muncul beberapa kontekstual asimetrisme,
termasuk di dalamnya asimetrisme dalam konteks desentralisasi yang kemudian dikenal dengan
istilah desentralisasi asimetris (asymmetric desentralization) (Huda, 2014). Ruang lingkup
desentralisasi asimetrik yang diketengahkan oleh Katorobo (2007) pada dasarnya memperlihatkan
sisi perbedaan secara vertikal antara intitusi pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, ada
perkembangan yang menarik yang terjadi di Indonesia tentang konsep asimetrik yang cenderung
bersifat horisontal. Dalam pengertian tersebut, desentralisasi asimetrik ditujukan untuk membedakan
institusi antara suatu provinsi dengan provinsi yang lain atau perbedaan institusional antar daerah
otonom. Salah satu bentuk desentralisasi asimetrik adalah keberadaan daerah otonomi khusus seperti
Papua (Indonesia) dan Pattani (Thailand). Kedua daerah tersebut memiliki intensitas konflik yang
tinggi disebabkan oleh berbagai faktor yang salah satunya adalah sistem desentralisasi.
Di Papua menerapkan Desentralisasi Politik yaitu mengacu pada situasi dimana kekuasaan dan
wewenang politik telah dialihkan ke tingkat pemerintah daerah. Otonomi Khusus di Papua merupakan
salah satu bentuk dari desentralisasi politik yang menjadi penengah konflik di Papua. Papua juga
menerapkan desentralisasi fiskal, dimana merupakan kebijakan yang mengalokasikan anggaran
khusus untuk Papua guna meningkatkan proses pembangunan. Anggaran yang dialokasikan yaitu
melalui anggaran otonomi khusus dan dana hibah. Di Thailand berfokus menggunakan sistem
Desentralisasi Fiskal, strategi yang digunakan yaitu dengan menampilkan beberapa kategori program
hibah. Kondisi saat ini, Pemerintah Daerah berhak atas pendapatan bagi hasil dan dua jenis hibah
antar pemerintah. Pertama, hibah khusus atau kegiatan yang dirancang untuk melayani prioritas
pemerintah nasional. Kedua, hibah umum untuk membantu pemerintah daerah melakukan fungsi
layanan publik serta mengurangi ketidakseimbangan fiskal antara daerah kaya dan miskin.
Desentralisasi asimetrik dapat dikatakan sebagai win-win solution dalam memecahkan berbagai
permasalahan yang terjadi di daerah agar tidak terjadi separatisme dalam suatu negara (Utomo,
2009). Meskipun desentralisasi asimetrik dapat memunculkan permasalahan politik mengenai
kebutuhan atas hukum yang memperlakukan seluruh komponen secara serupa dalam realitas di mana
terdapat perbedaan di antara berbagai daerah yang harus diakomodir (Litvack,1998). Proses
menemukan konsep desentralisasi yang tepat memiliki beberapa persoalan seperti faktor apa yang
relevan menjadi preconditions bagi desentralisasi asimetrik horisontal di Indonesia, lalu seberapa
besar derajat asimetrik bagi daerah yang sudah berstatus istimewa dan khusus dibandingkan dengan
daerah lainnya pada umumnya, serta bagaimana model empirik desentralisasi asimetrik di Indonesia
dan Thailand, dan apa leverage yang dibutuhkan untuk melakukan rekayasa model tersebut sehingga
dapat dibuat skenario pengembangan desentralisasi asimetrik pada kedua negara. Oleh sebab itu,
sangat penting untuk menemukan model Asymmetric Decentralization dalam rangka mereduksi
konflik dan meningkatkan dampak positif desentralisasi.
2. Literature Review
Isu desentralisasi mulai menjadi pusat perhatian pada tahun 1950-an dan 1960-an ketika
Inggris dan Perancis mempersiapkan kemerdekaan bagi negara-negara jajahannya dengan
memberikan devolusi tanggung jawab pengelolaan program tertentu (Work, 2002). Sejak saat itu
perkembangan isu desentralisasi terus berlanjut dan menjadi agenda global dalam pembangunan
negara maju dan berkembang mulai periode 1980-an, sejalan dengan popularitas isu good governance.
Sementara itu, sebagian besar negara-negara yang dalam masa transisi dan sedang berkembang mulai
melakukan reformasi desentralisasi pada periode 1990-an (United Nations Capital Development Fund,
2000). Isu desentralisasi yang paling baru mencoba memperkenalkan bahasa emansipasi demokrasi,
pluralisme, dan hak asasi yang mencerminkan bahwa masyarakat daerah akan diberikan hak pilih
sehingga bertransformasi dari subjek menjadi masyarakat (Ribot, 2004).
Ide tentang desentralisasi dengan mudah meraih kepopuleran hingga saat ini. Namun,
menjalankan desentralisasi di negara berkembang dan di negara industri atau post-industri belum
tentu menghasilkan dampak yang sama (Litvack et al, 1998; Kaiser, 2006). Terdapat setidaknya tiga
(3) syarat untuk terciptanya akuntabilitas daerah dalam desentralisasi yang tidak ada dalam situasi
negara berkembang, yaitu voice or exit, rules of implementation, dan oversight arrangement (Litvack et
al, 1998). Efek distribusi dari desentralisasi, khususnya pada masyarakat miskin, tidak dapat dianggap
sebagai suatu pemberian dalam situasi yang sedang berkembang, tetapi sangat bergantung pada
desain khusus dan implementasi dari langkah-langkah desentralisasi di negara tertentu (Kaiser,
2006). Dalam perjalanannya, pandangan skeptis terus berkembang mengenai dampak dari
desentralisasi, terutama karena bukti lemahnya proses demokrasi di level daerah di berbagai negara
(Olowu et al, 2004; Shah et al, 2004; Wunsch, 2001).
Fakta empiris tersebut membawa kita pada sebuah pertanyaan, ‘Apakah desentalisasi hanya
sebuah gagasan (motion), pilihan (option), ataukah solusi (solution)?’. Terlepas dari tantangan dalam
implementasinya, ada sebuah gagasan mengenai dampak yang dicita-citakan dalam desentralisasi.
Beberapa klaim positif yang mencuat mengenai desentralisasi diantaranya menyatakan bahwa
desentralisasi memungkinkan pemerintah untuk memahami preferensi masyarakat di daerah, serta
meningkatkan efisiensi dan kesetaraan (Smoke, 1999; Ribot, 2004; Faguet, 2012). Selain itu,
desentralisasi diharapkan dapat membatasi ukuran sektor publik, mengurangi korupsi, meningkatkan
responsivitas terhadap kebutuhan masyarakat, meminimalisir konflik dan menjamin hak-hak
minoritas, mendorong kompetisi antar pemerintah, dan meningkatkan penyampaian layanan publik
(White, 2011).
Sayangnya, secara kontradiktif ada pendapat yang bertentangan dengan klaim positif di atas.
Di negara-negara dengan kekuatan elit daerah, neo-patriamonialisme, dan hubungan perlindungan
(patronage relationship) yang besar, desentralisasi dapat memicu korupsi pejabat daerah setempat
dan meningkatkan risiko dikuasainya sumber daya oleh elit-elit daerah (Manor, 1999; Tanzi, 2000;
Olowu, 2003). Hal tersebut menunjukkan bahwa hasil dari desentralisasi adalah sesuatu yang tidak
pasti. Tidak ada cetak biru atau strategi yang tertulis untuk menjamin keberhasilan desentralisasi di
suatu negara atau yang dapat menjadi acuan untuk memilih jenis desentralisasi mana yang dapat
memberikan hasil yang lebih baik. Hal ini dikarenakan strategi optimal biasanya bersifat spesifik
kasus serta bergantung pada keadaan daerah dan karakteristik masyarakat masing-masing negara.
Inilah yang kemudian membawa kita pada kajian desentralisasi simetris dan desentralisasi asimetris
yang akan diuraikan pada bahasan selanjutnya.
Selain desentralisasi simetris, sejumlah negara di dunia juga menganut sistem desentralisasi
asimetris yang di antara keduanya memiliki perbedaan. Pola simetris ditandai oleh “the level of
conformity and commonality in the relations of each separate political unit of the system to both the
system as a whole and to the other componen units” (Tarlton, 1965). Adanya hubungan simetris antar
setiap negara bagian/daerah dengan pemerintah pusat tersebut didasari jumlah dan bobot
kewenangan yang sama. Sementara dalam pola asimetris, satu atau lebih unit pemerintahan lokal
“possessed of varying degrees of autonomy and power” (Tarlton, 1965). Berbedanya derajat otonomi
dan kekuasaan yang ditandai oleh tidak seragamnya pengaturan muatan kewenangan itu membentuk
derajat hubungan yang berbeda pula antar negara bagian/daerah asimetris dengan unit-unit
politik/pemerintahan lainnya baik secara horizontal (negara bagian/daerah simetris) maupun vertikal
(nasional).
Wilayah Ujung Selatan (The Deep South) Thailand salah satunya adalah Provinsi Pattani
merupakan daerah rentan konflik pemberontakan yang mematikan. Konflik ini berasal dari
ketegangan antara negara bangsa dan populasi minoritas yaitu Muslim Melayu. Etnis Muslim
Melayu adalah kelompok minoritas dengan persentase hanya 2% di tingkat nasional.
Kendatipun demikian, Thailand tetap mempertahankan pola desentralisasi simetris melalui
serangkaian instrumen desentralisasi fiskal. Pemerintah daerah di Thailand memiliki hak atas
pendapatan bagi hasil dan dua skema hibah antar pemerintah yang bertujuan untuk
mengoptimalkan layanan publik dan mengurangi kesenjangan fiskal antara daerah kaya dan
miskin.
Tahap keempat adalah mendesain model simulasi atau policy scenario, kemudian tahap
terakhir adalah pengujian dari desain yang telah tersusun. Namun, penelitian ini bertujuan
untuk mengeksplorasi perbandingan kompleksitas assymetric decentralization dan symetric
decentralization pada negara kesatuan seperti Indonesia dan Thailand, sehingga analisis yang
tersusun dari tahap ketiga telah mampu menampilkan gambaran derajat desentralisasi
keduanya. Sebagaimana Coyle (1996) mengutarakan bahwa Tahap Tiga mampu mengarah
pada hasil yang signifikan (significant results) melalui identifikasi loops dan telah terkontruksi
dalam analisis oleh karena itu tidak perlu melanjutkan di tahap selanjutnya (tergambarkan
dengan adanya dotted lines di antara Tahap Tiga dan Empat).
4. Hasil Penelitian
Struktur administratif negara Indonesia dan Thailand memiliki perbedaan. Sistem administrasi
dan politik di Indonesia terdiri dari 4 (empat) level pemerintahan yaitu pemerintah pusat, provinsi,
kabupaten/kota, dan kelurahan/desa. Sedangkan Thailand terdiri dari 3 (tiga) level sistem
administrasi yaitu central administration, local administration, dan local autonomy (sesuai dengan
State Adminitration Act 1991) (Nagai et al, 2---). Central administrative system berisi kabinet, menteri-
menteri dan departemen-departemen. Lembaga kementerian dikepalai oleh seorang menteri yang
mengawasi para pegawai secara penuh, termasuk para sekretaris dan direktur umum departemen.
Pada tataran local administration system (de-concentration) terdiri dari provinsi dan distrik. Beberapa
kementerian di tingkat pusat memiliki kantor-kantor cabang yang beroperasi di tingkat provinsi dan
dan distrik dengan petugas yang dikirimkan untuk mengisi jabatan di unit-unit tersebut. Dengan kata
lain, local administration di Thailand dalam banyak cara merupakan agregasi dari kantor-kantor
cabang kementerian dan departemen pusat.
Terdapat dua undang-undang utama yang menetapkan sistem desentralisasi di Indonesia yaitu
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. UU 2/1999 menghapus hubungan hierarkis antara kota dan
kabupaten dan tingkat pemerintahan yang lebih tinggi, yang memberikan otonomi sebelumnya dan
tanggung jawab luas. Undang-undang ini telah direvisi sebagai UU 32 tahun 2004, yang
memungkinkan pemilihan langsung pemimpin daerah mulai tahun 2005, membangun kembali pusat
pelibatan mereka dan mempekerjakan pegawai negeri sipil, dan membutuhkan persetujuan awal
anggaran daerah.
Undang-undang ini telah diperbarui sebagai UU 33 tahun 2004 yang memuat definisi aspek-
aspek sistem fiskal antar pemerintah. Undang-undang 34 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
tahun 2000 secara sederhana meningkatkan otoritas pendapatan daerah dan pemerintah memiliki
rencana untuk memperluas kekuasaan ini dalam undang-undang yang akan datang. Amandemen
konstitusi yang disahkan pada 2000 mengkonsolidasikan reformasi desentralisasi tertentu dan
mempersulit Majelis Nasional dan presiden untuk secara substansial membalikkannya.
Sementara itu, Thailand memiliki landasan konstitusional dan hukum untuk desentralisasi.
Konstitusi Thailand tahun 1997 dengan jelas menetapkan prinsip-prinsip otonomi daerah dan
perwakilan terpilih, dan menetapkan tujuan reformasi antar pemerintah yang spesifik. Komisi
Nasional untuk Reformasi Sektor Publik mencakup sub-komite untuk mengimplementasikan
kebijakan desentralisasi. Kabinet menyetujui Rencana Induk Fiskal Lokal pada tahun 1997 yang
memuat kerangka kerja untuk UU Desentralisasi tahun 1999. Namun negara ini membutuhkan
instrumen hukum dan peraturan lebih lanjut untuk mendefinisikan sistem sub-nasional yang lebih
lengkap. Kode Pemerintah Daerah 1991 mengkodifikasi undang-undang yang ada tentang pemerintah
daerah, menyediakan devolusi substansial layanan, dan menciptakan lembaga-lembaga lokal, seperti
dewan sekolah, dewan pengembangan, dewan kesehatan, dan dewan penanganan dan penertiban.
Indonesia dan Thailand memiliki sejumlah perbedaan dalam hal orientasi kebijakan
desentralisasi. Indonesia lebih fokus pada devolusi substansial ke kota dan kabupaten, yang mana
sebelumnya lebih fokus pada dekonsentrasi ke provinsi. Selain itu, tingkat terendah pemerintahan
memiliki peran formal yang terbatas. Pada periode setelah orde baru, lahir dua undang-undang
tentang pemerintahan daerah yang dianggap aspiratif mengakomodasikan prinsip demokrasi dalam
sistem pemerintahan daearah di Indonesia. Kedua undang-undang tersebut adalah UU No. 22 Tahun
1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 32 Tahun 2004 yang dianggap sebagai revisi terhadap
UU No. 22 Tahun 1999. Reformasi 2004 telah meningkatkan peran tingkat yang lebih tinggi dengan
ditetapkannya UU 32/2004 tentang Otonomi Daerah. Otonomi Daerah ini dilaksanakan dengan
melihat adanya keragaman yang terjadi di masyarakat dan didorong oleh adanya tuntutan partisipasi
dan keterbukaan yang diakibatkan globalisasi dunia. Kontrol pusat atas daerah dilakukan dengan
mekanisme pengawasan yang menunjukkan formulasi cukup ketat dengan mekanisme pengawasan
preventif, represif, dan pengawasan umum.
Di Thailand, fokus historis pada dekonsentrasi ke provinsi dan kabupaten, tetapi kerangka kerja
1997 bergeser ke arah devolusi ke kota, kabupaten, dan kecamatan serta implementasi telah dibatasi.
Negara Thailand dan Indonesia menekankan dekonsentrasi, pendelegasian, atau devolusi fungsi
dan otoritas. Pelaksanaan kebijakan desentralisasi Thailand dilakukan secara bertahap sedangkan di
Indonesia kebijakan dilaksanakan sekaligus. Dalam hal ini, Thailand secara bertahap mengalihkan
fokusnya dari fokus dekonsentrasi diarahkan ke devolusi, tetapi reformasi tersebut masih pada tahap
yang relatif awal. Sementara di Indonesia, akibat dari penerapan otonomi daerah sekaligus, maka
tidak setiap daerah mampu menerapkan kebijakan tersebut. Di Indonesia menekankan pelimpahan
tanggung jawab kepada entitas sub-provinsi yang lebih otonom dari segi pendekatan spesifik yang
berbeda. Tiga level administratif di Thailand memainkan orientasi yang berbeda. Orientasi
administrasi pusat adalah sentralisasi, administrasi provinsi berorientasi dekonsentrasi, dan
adminstrasi daerah berorientasi desentralisasi.
Meskipun Indonesia dan Thailand memiliki perbedaan level sistem administrasi dan mekanisme
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat hingga ke tatanan otonomi lokal, mencermati sisi
transparansi dari tingkat atas hingga ke bawah cukup menarik untuk dibahas. Keduanya berbeda
namun sama-sama memerlukan perluasan akses informasi yang lebih menyeluruh. Sebagaimana telah
disampaikan sebelumnya bahwa orientasi kebijakan desentralisasi Indonesia cenderung kepada
devolusi (dari Pemerintah Pusat ke Provinsi) dan desentralisasi murni ditatanan kabupaten/kota
hingga ke bawah, serta menghadirkan otonomi khusus bagi beberapa wilayah yang kemudian
menyebabkan desentralisasi negara ini menjadi asimetris. Transparansi otonomi-otonomi pada level
di bawah pemerintah provinsi perlu ditingkatkan. Hal ini pun terjadi pada level sub-nasional di
Thailand, meskipun Konstitusi 1997 menjamin kebebasan informasi, namun hingga saat ini Thailand
belum mengeluarkan undang-undang teknis untuk menerapkan akses informasi seluas-luasnya.
Indonesia memiliki mekanisme publikasi dokumen anggaran dan audit eksternal, namun kendala
terkait kapasitas kelembagaan dan birokrasi yang belum efektif masih tetap mempersulit hak sipil
mengenai transparansi informasi.
5. Analisis
- Beberapa negara mengembangkan Desentralisasi Asimetris untuk menjaga kesatuan dari potensi
konflik yang mengancam stabilitas politik (Bermeo, 2002; OECD, 2020). Namun derajat kausalitas
penerapan Desentralisasi Asimetris untuk meminimalisir perkembangan kelompok separatis masih
belum terlihat dengan jelas (Rode, Pitlik & Borrella Mas, 2018).
6. Kesimpulan
REFERENSI
Bermeo, N. (2002), “The Import of Institutions”, Journal of Democracy, Vol. Volume 13/Number 2.
OECD. 2020. Assymetric Decentralization: Trends, Challenges and Policy Implications. OECD Regional
REFERENSI