Anda di halaman 1dari 15

Exploring the Complexities Model of Asymmetric Decentralization: Comparative Perspectives

between Indonesia and Thailand.

M. R. Khairul Muluk1

University of Brawijaya

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan desentralisasi yang terlaksana pada dua negara kesatuan,
Indonesia dan Thailand, yang mana keduanya memiliki pola pelimpahan wewenang pusat dan daerah
yang berbeda. Desentralisasi di Indonesia cenderung bernuansa asimetrik-horisontal melalui
kehadiran daerah otonomi khusus seperti Papua. Sedangkan Thailand bertahan dengan pola
desentralisasi simetrisnya. Studi ini mengungkap bagaimana perbedaan derajat desentralisasi
diantara keduanya, kendatipun saling memiliki wilayah dengan sejarah konflik yang mengancam
stabilitas negara. Sejumlah penelitian meyakini bahwa desentralisasi merupakan jalan keluar ideal
untuk menangani konflik, namun hal ini patut dilakukan peninjauan kembali pada lingkungan
masyarakat heterogen yang rentan akan pertentangan seperti Papua dan Pattani. Data dihimpun
melalui eksplorasi studi literatur, studi dokumen, dan interviews untuk menggali informasi dari
sumber terpercaya. Landasan teori dan temuan empiris dari komparasi perspektif keduanya
dilakukan konstruksi keterikatan sub-unsur menggunakan pendekatan system dynamic. Hasil studi
menampilkan …

Keywords: Assymetric Decentralization, Comparative Study, System Dinamic

1. Pendahuluan

Jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998, dengan struktur kekuasaan dan sistem politik
Indonesia pada masa itu adalah otoritarian sentralistik yang kemudian berubah menjadi sistem politik
desentralisasi kekuasaan pusat dan daerah. Meskipun, pada dasarnya sistem negara kesatuan tidak
perlu didesentralisasikan secara hukum, namun sebagian besar dilakukan melalui pemberian juridiksi
geografis tertentu pada pemerintah daerah, serta adanya pembagian urusan pemerintahan terkait
pelayanan publik yang didesentralisasikan ke pemerintah daerah (Cohen dan Peterson, 1999).
Desentralisasi merupakan sebuah harapan yang akan mengurangi kelebihan beban dan kemacetan
administrasi dan komunikasi dalam pemerintahan (Rondinelli et.al, 1983: 9-10). Salah satu resiko dari
sistem desentralisasi adalah kemungkinan terjadinya kontrol penuh oleh elit daerah (Robison & Hadiz,
2004) dikarenakan oleh desain kelembagaan yang dibuat tidak efisien (Jaya, 2010).

Regulasi pemerintah daerah sebagai upaya regulasi desentralisasi adalah untuk mengembalikan
akuntabilitas vertikal, namun tidak berhasil terwujud bahkan akuntabilitas horizontal antara legislatif
dan eksekutif di tingkat kabupaten menjadi lumpuh (Buehler, 2009: 102). Tidak hanya merujuk pada
persoalan kapasitas pemerintah daerah, tetapi juga persoalan kapasitas pemerintah pusat (Litvak et
al.,1998). Kegagalan desentralisasi ada pada pengelolaan atas konflik horisontal (Homme, 1995).
Konflik horisontal yang dimaksud merupakan konflik yang terjadi antar kelompok masyarakat, konflik
tersebut disebabkan oleh berbagai faktor seperti ideologi politik, ekonomi dan faktor primordial.

Pada negara kesatuan meskipun daerah memiliki hubungan politik yang sama dengan
pemerintah pusat, keberagaman yang ada merupakan suatu hal yang tidak dapat ditolak, baik dari sisi
historis, budaya, ekonomi, dan sebagainya. Akibatnya, muncul beberapa kontekstual asimetrisme,
termasuk di dalamnya asimetrisme dalam konteks desentralisasi yang kemudian dikenal dengan
istilah desentralisasi asimetris (asymmetric desentralization) (Huda, 2014). Ruang lingkup
desentralisasi asimetrik yang diketengahkan oleh Katorobo (2007) pada dasarnya memperlihatkan
sisi perbedaan secara vertikal antara intitusi pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, ada
perkembangan yang menarik yang terjadi di Indonesia tentang konsep asimetrik yang cenderung
bersifat horisontal. Dalam pengertian tersebut, desentralisasi asimetrik ditujukan untuk membedakan
institusi antara suatu provinsi dengan provinsi yang lain atau perbedaan institusional antar daerah
otonom. Salah satu bentuk desentralisasi asimetrik adalah keberadaan daerah otonomi khusus seperti
Papua (Indonesia) dan Pattani (Thailand). Kedua daerah tersebut memiliki intensitas konflik yang
tinggi disebabkan oleh berbagai faktor yang salah satunya adalah sistem desentralisasi.

Prinsip asymmetric decentralization menawarkan suatu pendekatan untuk


mendesentralisasikan pertanggungjawaban yang lebih feasible daripada mendasarkan pada
pendekatan lainnya termasuk penyeragaman (Litvak et al. 1998: 28). Pengaturan asimetrik
memungkinkan muncul disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1) alasan politik untuk meredakan
ketegangan etnis atau regional; 2) alasan efisiensi untuk mencapai pengelolaan ekonomi makro yang
lebih baik dan kohesi administrasi; dan/atau 3) untuk memungkinkan pemerintah subnasional
dengan kapasitas yang berbeda untuk menjalankan fungsi dan kewenangan mereka secara penuh
(Congleton 2005; Wehner 2000). Dengan adanya konflik di masing-masing wilayah baik di Papua dan
Thailand maka masing-masing daerah menerapkan sistem desentralisasi.

Di Papua menerapkan Desentralisasi Politik yaitu mengacu pada situasi dimana kekuasaan dan
wewenang politik telah dialihkan ke tingkat pemerintah daerah. Otonomi Khusus di Papua merupakan
salah satu bentuk dari desentralisasi politik yang menjadi penengah konflik di Papua. Papua juga
menerapkan desentralisasi fiskal, dimana merupakan kebijakan yang mengalokasikan anggaran
khusus untuk Papua guna meningkatkan proses pembangunan. Anggaran yang dialokasikan yaitu
melalui anggaran otonomi khusus dan dana hibah. Di Thailand berfokus menggunakan sistem
Desentralisasi Fiskal, strategi yang digunakan yaitu dengan menampilkan beberapa kategori program
hibah. Kondisi saat ini, Pemerintah Daerah berhak atas pendapatan bagi hasil dan dua jenis hibah
antar pemerintah. Pertama, hibah khusus atau kegiatan yang dirancang untuk melayani prioritas
pemerintah nasional. Kedua, hibah umum untuk membantu pemerintah daerah melakukan fungsi
layanan publik serta mengurangi ketidakseimbangan fiskal antara daerah kaya dan miskin.

Desentralisasi asimetrik dapat dikatakan sebagai win-win solution dalam memecahkan berbagai
permasalahan yang terjadi di daerah agar tidak terjadi separatisme dalam suatu negara (Utomo,
2009). Meskipun desentralisasi asimetrik dapat memunculkan permasalahan politik mengenai
kebutuhan atas hukum yang memperlakukan seluruh komponen secara serupa dalam realitas di mana
terdapat perbedaan di antara berbagai daerah yang harus diakomodir (Litvack,1998). Proses
menemukan konsep desentralisasi yang tepat memiliki beberapa persoalan seperti faktor apa yang
relevan menjadi preconditions bagi desentralisasi asimetrik horisontal di Indonesia, lalu seberapa
besar derajat asimetrik bagi daerah yang sudah berstatus istimewa dan khusus dibandingkan dengan
daerah lainnya pada umumnya, serta bagaimana model empirik desentralisasi asimetrik di Indonesia
dan Thailand, dan apa leverage yang dibutuhkan untuk melakukan rekayasa model tersebut sehingga
dapat dibuat skenario pengembangan desentralisasi asimetrik pada kedua negara. Oleh sebab itu,
sangat penting untuk menemukan model Asymmetric Decentralization dalam rangka mereduksi
konflik dan meningkatkan dampak positif desentralisasi.

2. Literature Review

2.1. Decentralization: a motion, option, or solution?

Isu desentralisasi mulai menjadi pusat perhatian pada tahun 1950-an dan 1960-an ketika
Inggris dan Perancis mempersiapkan kemerdekaan bagi negara-negara jajahannya dengan
memberikan devolusi tanggung jawab pengelolaan program tertentu (Work, 2002). Sejak saat itu
perkembangan isu desentralisasi terus berlanjut dan menjadi agenda global dalam pembangunan
negara maju dan berkembang mulai periode 1980-an, sejalan dengan popularitas isu good governance.
Sementara itu, sebagian besar negara-negara yang dalam masa transisi dan sedang berkembang mulai
melakukan reformasi desentralisasi pada periode 1990-an (United Nations Capital Development Fund,
2000). Isu desentralisasi yang paling baru mencoba memperkenalkan bahasa emansipasi demokrasi,
pluralisme, dan hak asasi yang mencerminkan bahwa masyarakat daerah akan diberikan hak pilih
sehingga bertransformasi dari subjek menjadi masyarakat (Ribot, 2004).

Ide tentang desentralisasi dengan mudah meraih kepopuleran hingga saat ini. Namun,
menjalankan desentralisasi di negara berkembang dan di negara industri atau post-industri belum
tentu menghasilkan dampak yang sama (Litvack et al, 1998; Kaiser, 2006). Terdapat setidaknya tiga
(3) syarat untuk terciptanya akuntabilitas daerah dalam desentralisasi yang tidak ada dalam situasi
negara berkembang, yaitu voice or exit, rules of implementation, dan oversight arrangement (Litvack et
al, 1998). Efek distribusi dari desentralisasi, khususnya pada masyarakat miskin, tidak dapat dianggap
sebagai suatu pemberian dalam situasi yang sedang berkembang, tetapi sangat bergantung pada
desain khusus dan implementasi dari langkah-langkah desentralisasi di negara tertentu (Kaiser,
2006). Dalam perjalanannya, pandangan skeptis terus berkembang mengenai dampak dari
desentralisasi, terutama karena bukti lemahnya proses demokrasi di level daerah di berbagai negara
(Olowu et al, 2004; Shah et al, 2004; Wunsch, 2001).

Beberapa studi empiris membahas implementasi desentralisasi yang mengambil konteks


pluralisme budaya dan konflik (Crook, 2003; Fox, 2007). Dalam pelaksanaannya, ada banyak
tantangan dalam memperkenalkan proses desentralisasi pada lingkungan yang rapuh, misalnya pada
wilayah yang sedang mengalami konflik atau bencana (White, 2011). Meskipun beberapa studi
menyebutkan bahwa desentralisasi dikenal dapat menangani konflik, hal ini tidak berlaku ketika
terdapat beberapa kelompok masyarakat heterogen di bawah yurisdiksi tingkat pertama
pemerintahan (Crook, 2003). Kemungkinan terjadinya konflik juga lebih besar ketika pemerintah
memiliki kendali yang terbatas atas keamanan atau ketika masyarakat memiliki ketergantungan yang
sangat tinggi pada sumber daya alam (Fox, 2007).

Fakta empiris tersebut membawa kita pada sebuah pertanyaan, ‘Apakah desentalisasi hanya
sebuah gagasan (motion), pilihan (option), ataukah solusi (solution)?’. Terlepas dari tantangan dalam
implementasinya, ada sebuah gagasan mengenai dampak yang dicita-citakan dalam desentralisasi.
Beberapa klaim positif yang mencuat mengenai desentralisasi diantaranya menyatakan bahwa
desentralisasi memungkinkan pemerintah untuk memahami preferensi masyarakat di daerah, serta
meningkatkan efisiensi dan kesetaraan (Smoke, 1999; Ribot, 2004; Faguet, 2012). Selain itu,
desentralisasi diharapkan dapat membatasi ukuran sektor publik, mengurangi korupsi, meningkatkan
responsivitas terhadap kebutuhan masyarakat, meminimalisir konflik dan menjamin hak-hak
minoritas, mendorong kompetisi antar pemerintah, dan meningkatkan penyampaian layanan publik
(White, 2011).

Sayangnya, secara kontradiktif ada pendapat yang bertentangan dengan klaim positif di atas.
Di negara-negara dengan kekuatan elit daerah, neo-patriamonialisme, dan hubungan perlindungan
(patronage relationship) yang besar, desentralisasi dapat memicu korupsi pejabat daerah setempat
dan meningkatkan risiko dikuasainya sumber daya oleh elit-elit daerah (Manor, 1999; Tanzi, 2000;
Olowu, 2003). Hal tersebut menunjukkan bahwa hasil dari desentralisasi adalah sesuatu yang tidak
pasti. Tidak ada cetak biru atau strategi yang tertulis untuk menjamin keberhasilan desentralisasi di
suatu negara atau yang dapat menjadi acuan untuk memilih jenis desentralisasi mana yang dapat
memberikan hasil yang lebih baik. Hal ini dikarenakan strategi optimal biasanya bersifat spesifik
kasus serta bergantung pada keadaan daerah dan karakteristik masyarakat masing-masing negara.
Inilah yang kemudian membawa kita pada kajian desentralisasi simetris dan desentralisasi asimetris
yang akan diuraikan pada bahasan selanjutnya.

2.2. Towards Symmetric and Asymmetric Decentralization


Reformasi desentralisasi seringkali direncanakan dan diimplementasikan secara seragam atau
menggunakan pendekatan simetris. Dalam desentralisasi simetris semua pemerintah daerah
diberikan otonomi dan diperlakukan dengan sama dalam menjalankan berbagai peran dan fungsi yang
telah didesentralisasikan terlepas dari perbedaan yang mereka miliki, baik itu fisik, etnis atau budaya
(OECD, 2020; Mbeya, 2012). Desentralisasi simetris berupaya untuk mencerminkan dan mereproduksi
lembaga pemerintahan nasional di tingkat subnasional atau daerah dengan menempatkan unit yang
lebih rendah seolah-olah daerah merupakan mikrokosmos dari pemerintah pusat (Katorobo, 2007).
Upaya untuk mendorong keberhasilan implementasi desentralisasi simetris sering kali menuntut
mekanisme pemerataan yang sangat kuat dan tidak menuntut kemungkinan, pelaksanaan reformasi
struktural administratif seperti penggabungan kota (OECD, 2020).

Selain desentralisasi simetris, sejumlah negara di dunia juga menganut sistem desentralisasi
asimetris yang di antara keduanya memiliki perbedaan. Pola simetris ditandai oleh “the level of
conformity and commonality in the relations of each separate political unit of the system to both the
system as a whole and to the other componen units” (Tarlton, 1965). Adanya hubungan simetris antar
setiap negara bagian/daerah dengan pemerintah pusat tersebut didasari jumlah dan bobot
kewenangan yang sama. Sementara dalam pola asimetris, satu atau lebih unit pemerintahan lokal
“possessed of varying degrees of autonomy and power” (Tarlton, 1965). Berbedanya derajat otonomi
dan kekuasaan yang ditandai oleh tidak seragamnya pengaturan muatan kewenangan itu membentuk
derajat hubungan yang berbeda pula antar negara bagian/daerah asimetris dengan unit-unit
politik/pemerintahan lainnya baik secara horizontal (negara bagian/daerah simetris) maupun vertikal
(nasional).

Desentralisasi asimetris seringkali merupakan karakteristik pokok di negara federal


sementara desentralisasi simetris pada umumnya merupakan prinsip pokok di negara kesatuan. Meski
demikian, pada perkembangannya desentralisasi asimetris kemudian juga semakin umum di negara
kesatuan dikarenakan oleh kebutuhan untuk mereformasi pemerintahan yang metropolitan (OECD,
2020). Desentralisasi asimetris dapat terjadi karena berbagai alasan, misalnya karena masyarakat
memiliki preferensi yang berbeda di tingkat daerah (Fiorillo et al, 2020). Motivasi untuk
dilaksanakannya desentralisasi asimetris berbeda antara negara kesatuan dan negara federal, baik
dari segi politis (sejarah, budaya, dan etnis), administratif (isu kapasitas, efisiensi, dan pembelajaran)
maupun fiskal.

Atensi internasional terhadap desentralisasi asimetris di negara dengan sistem politik


kesatuan, federal, dan confederal terus meningkat setelah dekade lalu (Watts, 2000). Terdapat
sejumlah manfaat dan tantangan yang mungkin dihadapi dalam desentralisasi asimetris. Tantangan
yang ada sering kali terkait dengan biaya untuk mengoordinasikan sistem yang kompleks yang
mungkin tidak jelas bagi warga negara dan menimbulkan tantangan akuntabilitas, terutama di tingkat
metropolitan. Tantangan lain terkait dengan meningkatnya disparitas dalam hal kapasitas antar
wilayah, dan dalam kasus ekstrim, berisiko mengancam persatuan nasional (OECD, 2020).

Gambar 2.1 Benefits and Challenge of Asymmetric Decentralization


Sumber: OECD (2019)
Dari uraian tersebut memberikan gambaran bahwa terlepas dari beberapa tantangan yang
muncul dalam implementasinya, manfaat yang diberikan desentralisasi terhitung lebih banyak. Secara
umum, desentralisasi asimetris lebih menyukai eksperimen, learning by doing, dan inovasi dalam
pembuatan kebijakan yang pada akhirnya merupakan bentuk lanjutan dari kebijakan berbasis lokasi.
Pengalaman negara-negara yang berbeda dalam menuai hasil desentralisasi asimetris menunjukkan
bahwa pengaturan asimetris dalam arsitektur desentralisasi lebih sering dan, dalam beberapa kasus,
lebih akomodatif, tahan lama dan praktis, juga lebih fleksibel dan efektif dalam mengelola dan
mencegah konflik antar pemerintah (MacGarry 2001; Coakley 2004; Conversi 2007).

3. Data and Method

Penelitian ini menggunakan pendekatan sistem dinamis (system dinamic). Pendekatan


sistem dinamis berasal dari landasan akar-nya (grassroot) yaitu system thinking (Caulfield &
P. Maj, 2001). Sistem dinamis mengidentifikasi karakteristik dari informasi dan umpan balik
(feedback) yang berhasil terkumpul, kemudian menyusun desain permodelan untuk
membantu organisasi melakukan perbaikan kebijakan (Forrester, 1961). Tahap pertama,
kami mengadakan pengakuan adanya permasalahan (problem recognition) dan mencari tahu
urgensi penyebab kepedulian banyak orang terhadap masalah tersebut (Coyle, 1996).
Permasalahan yang muncul adalah pemerintah daerah menjalankan derajat desentralisasi
dengan fungsi dan urusan yang berbeda, hal ini akibat dari kontrol pemerintah pusat atas
pemerintah daerah mempengaruhi efektivitas pelaksanaan desentralisasi. Sementara itu,
permasalahan desentralisasi bersinggungan dengan pengambilan keputusan dari penerimaan
dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap keuangannya.
Stages of System Dynamic Approach

Source: Coyle, 1996, p. 11.


Tahap kedua, membangun pemahaman mengenai masalah dan mengidentifikasi
deskripsi sistem yang melingkupi permasalahan tersebut. Output dari tahapan ini adalah
penyusunan influence diagram atau causal loop diagram yang menggambarkan pengaruh
berbagai unsur sub-sistem dalam penerapan assymetric decentralization. Tuntutan assymetric
decentralization terpengaruh oleh keberagaman budaya dan latar belakang politik,
keberagaman demografi, disparitas sosial ekonomi, serta isu teritori. Identifikasi unsur sub-
sistem pada tahap ini berkaitan dengan tahap keempat yang akan dijelaskan nantinya.
Source: Compiled by authors.

Tahap ketiga, menyusun qualitative analysis dengan pemahaman dan pencermatan


(scrunity/critical observation) melalui pengaruh keterhubungan antar unsur sub-sistem dalam
causal loop diagram. Hasil analisis menemukan bahwa assymetric decentralization di Papua
terbentuk akibat pengaruh empat faktor, pertama, meliputi diskriminasi pembangunan
ekonomi, budaya, dan migrasi. Kedua, adanya kegagalan pembangunan melalui sistem
pengambilan keputusan top down tanpa memberikan ruang pada masyarakat, serta perhatian
pemerintah yang terlalu fokus melakukan pembangunan di Pulau Jawa mengembangkan
stigma negatif dan situasi yang tidak stabil di Papua. Ketiga, perbedaan identitas politik di
Papua dan Jakarta. Keempat, pengalaman marjinalisasi dan diskriminasi oleh orang asli Papua
sejak tahun 1970.

Wilayah Ujung Selatan (The Deep South) Thailand salah satunya adalah Provinsi Pattani
merupakan daerah rentan konflik pemberontakan yang mematikan. Konflik ini berasal dari
ketegangan antara negara bangsa dan populasi minoritas yaitu Muslim Melayu. Etnis Muslim
Melayu adalah kelompok minoritas dengan persentase hanya 2% di tingkat nasional.
Kendatipun demikian, Thailand tetap mempertahankan pola desentralisasi simetris melalui
serangkaian instrumen desentralisasi fiskal. Pemerintah daerah di Thailand memiliki hak atas
pendapatan bagi hasil dan dua skema hibah antar pemerintah yang bertujuan untuk
mengoptimalkan layanan publik dan mengurangi kesenjangan fiskal antara daerah kaya dan
miskin.

Tahap keempat adalah mendesain model simulasi atau policy scenario, kemudian tahap
terakhir adalah pengujian dari desain yang telah tersusun. Namun, penelitian ini bertujuan
untuk mengeksplorasi perbandingan kompleksitas assymetric decentralization dan symetric
decentralization pada negara kesatuan seperti Indonesia dan Thailand, sehingga analisis yang
tersusun dari tahap ketiga telah mampu menampilkan gambaran derajat desentralisasi
keduanya. Sebagaimana Coyle (1996) mengutarakan bahwa Tahap Tiga mampu mengarah
pada hasil yang signifikan (significant results) melalui identifikasi loops dan telah terkontruksi
dalam analisis oleh karena itu tidak perlu melanjutkan di tahap selanjutnya (tergambarkan
dengan adanya dotted lines di antara Tahap Tiga dan Empat).

4. Hasil Penelitian

4.1. Level of Government Administration

Struktur administratif negara Indonesia dan Thailand memiliki perbedaan. Sistem administrasi
dan politik di Indonesia terdiri dari 4 (empat) level pemerintahan yaitu pemerintah pusat, provinsi,
kabupaten/kota, dan kelurahan/desa. Sedangkan Thailand terdiri dari 3 (tiga) level sistem
administrasi yaitu central administration, local administration, dan local autonomy (sesuai dengan
State Adminitration Act 1991) (Nagai et al, 2---). Central administrative system berisi kabinet, menteri-
menteri dan departemen-departemen. Lembaga kementerian dikepalai oleh seorang menteri yang
mengawasi para pegawai secara penuh, termasuk para sekretaris dan direktur umum departemen.
Pada tataran local administration system (de-concentration) terdiri dari provinsi dan distrik. Beberapa
kementerian di tingkat pusat memiliki kantor-kantor cabang yang beroperasi di tingkat provinsi dan
dan distrik dengan petugas yang dikirimkan untuk mengisi jabatan di unit-unit tersebut. Dengan kata
lain, local administration di Thailand dalam banyak cara merupakan agregasi dari kantor-kantor
cabang kementerian dan departemen pusat.

Tabel 4.1 Level of Government Administration

Country Subnational Levels of Government


Indonesia ─ Tiga tingkat (de jure):
─ Provinsi (33), daerah khusus (2), dan ibu kota (1)
─ Pemerintah daerah: kota madya (kota) dan kabupaten (440)
─ Desa
Thailand ─ Empat level dengan tiga teratas diberdayakan secara formal:
─ Provinsi (75)
─ Distrik dan kota (811)
─ Tambon (subdistrik) (6.744)
─ Desa (67.000+)
Sumber: Dari berbagai sumber diolah peneliti, 2019.

Struktur pemerintahan subnasional wilayah Thailand dan Indonesia bervariasi. Mayoritas


negara-negara di dunia memiliki tiga atau empat tingkat administrasi pemerintahan. Di Thailand,
semua level kecuali yang terendah memiliki otoritas formal. Di Indonesia, dua tingkat memiliki
kekuatan independen, sementara tingkat lainnya sebagian besar menjalankan fungsi administratif dan
politik. Di Indonesia, tingkat yang lebih rendah tidak memiliki fungsi formal atau anggaran
independen, tetapi skema pembangunan masyarakat yang dikelola secara terpusat seringkali
mendapatkan bantuan dana yang mana merupakan dukungan sumber daya yang besar bagi daerah.
Beberapa negara juga memiliki pengaturan kelembagaan sub-nasional ad hoc seperti status khusus
untuk ibukota dan kota-kota besar lainnya. Ini termasuk Jakarta di Indonesia dan Kota Pattaya di
Thailand.

4.2 Decentralization Framework

Tabel 4.2 Decentralization Frameworks

Country Formal basis for decentralization


Indonesia Dasar hukum dan amandemen konstitusi: UU 22 tentang
Pemerintahan Daerah (1999) diubah menjadi UU 32 (2004), UU 25
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
(1999) diubah menjadi UU 33 (2004), dan UU 34 tentang Pajak Daerah /
Retribusi (2000) (akan diubah) memberikan kerangka kerja untuk
desentralisasi; amandemen konstitusi (2000) memperkuat dasar untuk
desentralisasi.
Thailand Dasar konstitusional dan hukum: Konstitusi (1997) menetapkan
prinsip-prinsip otonomi daerah dan pemerintah daerah terpilih;
Undang-Undang Administrasi Provinsi (1997) mengkodifikasi kebijakan
dekonsentrasi; Undang-undang Desentralisasi (1999) mendefinisikan
fungsi dan proses desentralisasi.

Sumber : Dari berbagai sumber Diolah Peneliti, 2019

Terdapat dua undang-undang utama yang menetapkan sistem desentralisasi di Indonesia yaitu
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. UU 2/1999 menghapus hubungan hierarkis antara kota dan
kabupaten dan tingkat pemerintahan yang lebih tinggi, yang memberikan otonomi sebelumnya dan
tanggung jawab luas. Undang-undang ini telah direvisi sebagai UU 32 tahun 2004, yang
memungkinkan pemilihan langsung pemimpin daerah mulai tahun 2005, membangun kembali pusat
pelibatan mereka dan mempekerjakan pegawai negeri sipil, dan membutuhkan persetujuan awal
anggaran daerah.
Undang-undang ini telah diperbarui sebagai UU 33 tahun 2004 yang memuat definisi aspek-
aspek sistem fiskal antar pemerintah. Undang-undang 34 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
tahun 2000 secara sederhana meningkatkan otoritas pendapatan daerah dan pemerintah memiliki
rencana untuk memperluas kekuasaan ini dalam undang-undang yang akan datang. Amandemen
konstitusi yang disahkan pada 2000 mengkonsolidasikan reformasi desentralisasi tertentu dan
mempersulit Majelis Nasional dan presiden untuk secara substansial membalikkannya.
Sementara itu, Thailand memiliki landasan konstitusional dan hukum untuk desentralisasi.
Konstitusi Thailand tahun 1997 dengan jelas menetapkan prinsip-prinsip otonomi daerah dan
perwakilan terpilih, dan menetapkan tujuan reformasi antar pemerintah yang spesifik. Komisi
Nasional untuk Reformasi Sektor Publik mencakup sub-komite untuk mengimplementasikan
kebijakan desentralisasi. Kabinet menyetujui Rencana Induk Fiskal Lokal pada tahun 1997 yang
memuat kerangka kerja untuk UU Desentralisasi tahun 1999. Namun negara ini membutuhkan
instrumen hukum dan peraturan lebih lanjut untuk mendefinisikan sistem sub-nasional yang lebih
lengkap. Kode Pemerintah Daerah 1991 mengkodifikasi undang-undang yang ada tentang pemerintah
daerah, menyediakan devolusi substansial layanan, dan menciptakan lembaga-lembaga lokal, seperti
dewan sekolah, dewan pengembangan, dewan kesehatan, dan dewan penanganan dan penertiban.

4.2. Orientasi Kebijakan Desentralisasi

Indonesia dan Thailand memiliki sejumlah perbedaan dalam hal orientasi kebijakan
desentralisasi. Indonesia lebih fokus pada devolusi substansial ke kota dan kabupaten, yang mana
sebelumnya lebih fokus pada dekonsentrasi ke provinsi. Selain itu, tingkat terendah pemerintahan
memiliki peran formal yang terbatas. Pada periode setelah orde baru, lahir dua undang-undang
tentang pemerintahan daerah yang dianggap aspiratif mengakomodasikan prinsip demokrasi dalam
sistem pemerintahan daearah di Indonesia. Kedua undang-undang tersebut adalah UU No. 22 Tahun
1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 32 Tahun 2004 yang dianggap sebagai revisi terhadap
UU No. 22 Tahun 1999. Reformasi 2004 telah meningkatkan peran tingkat yang lebih tinggi dengan
ditetapkannya UU 32/2004 tentang Otonomi Daerah. Otonomi Daerah ini dilaksanakan dengan
melihat adanya keragaman yang terjadi di masyarakat dan didorong oleh adanya tuntutan partisipasi
dan keterbukaan yang diakibatkan globalisasi dunia. Kontrol pusat atas daerah dilakukan dengan
mekanisme pengawasan yang menunjukkan formulasi cukup ketat dengan mekanisme pengawasan
preventif, represif, dan pengawasan umum.

Di Thailand, fokus historis pada dekonsentrasi ke provinsi dan kabupaten, tetapi kerangka kerja
1997 bergeser ke arah devolusi ke kota, kabupaten, dan kecamatan serta implementasi telah dibatasi.

Tabel 4.2. Orientasi Kebijakan Desentralisasi

Negara Orientasi Kebijakan


Indonesia ─ Fokus pada devolusi substansial ke kota dan kabupaten;

─ Peran formal yang terbatas di tingkat terendah;

─ Reformasi 2004 meningkatkan peran tingkat yang lebih tinggi.


Thailand ─ Fokus historis pada dekonsentrasi ke provinsi dan kabupaten;

─ Kerangka kerja 1997 bergeser ke arah devolusi ke kota, kabupaten,


dan kecamatan;

─ Implementasi telah dibatasi.


Sumber : Dari berbagai sumber Diolah Peneliti, 2019

Negara Thailand dan Indonesia menekankan dekonsentrasi, pendelegasian, atau devolusi fungsi
dan otoritas. Pelaksanaan kebijakan desentralisasi Thailand dilakukan secara bertahap sedangkan di
Indonesia kebijakan dilaksanakan sekaligus. Dalam hal ini, Thailand secara bertahap mengalihkan
fokusnya dari fokus dekonsentrasi diarahkan ke devolusi, tetapi reformasi tersebut masih pada tahap
yang relatif awal. Sementara di Indonesia, akibat dari penerapan otonomi daerah sekaligus, maka
tidak setiap daerah mampu menerapkan kebijakan tersebut. Di Indonesia menekankan pelimpahan
tanggung jawab kepada entitas sub-provinsi yang lebih otonom dari segi pendekatan spesifik yang
berbeda. Tiga level administratif di Thailand memainkan orientasi yang berbeda. Orientasi
administrasi pusat adalah sentralisasi, administrasi provinsi berorientasi dekonsentrasi, dan
adminstrasi daerah berorientasi desentralisasi.

4.3 Transparansi Sub-Nasional

Meskipun Indonesia dan Thailand memiliki perbedaan level sistem administrasi dan mekanisme
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat hingga ke tatanan otonomi lokal, mencermati sisi
transparansi dari tingkat atas hingga ke bawah cukup menarik untuk dibahas. Keduanya berbeda
namun sama-sama memerlukan perluasan akses informasi yang lebih menyeluruh. Sebagaimana telah
disampaikan sebelumnya bahwa orientasi kebijakan desentralisasi Indonesia cenderung kepada
devolusi (dari Pemerintah Pusat ke Provinsi) dan desentralisasi murni ditatanan kabupaten/kota
hingga ke bawah, serta menghadirkan otonomi khusus bagi beberapa wilayah yang kemudian
menyebabkan desentralisasi negara ini menjadi asimetris. Transparansi otonomi-otonomi pada level
di bawah pemerintah provinsi perlu ditingkatkan. Hal ini pun terjadi pada level sub-nasional di
Thailand, meskipun Konstitusi 1997 menjamin kebebasan informasi, namun hingga saat ini Thailand
belum mengeluarkan undang-undang teknis untuk menerapkan akses informasi seluas-luasnya.
Indonesia memiliki mekanisme publikasi dokumen anggaran dan audit eksternal, namun kendala
terkait kapasitas kelembagaan dan birokrasi yang belum efektif masih tetap mempersulit hak sipil
mengenai transparansi informasi.

Tabel 4.3 Transparansi Sub-Nasional

Negara Transparansi Sub-Nasional


Indonesia ─ Memiliki berbagai persyaratan pelaporan publik namun lemah
dalam praktik;

─ Lembaga audit memiliki mandat untuk meninjau penyelenggaraan


pemerintahan di dua level terbawah namun masih belum
terlaksana dengan optimal.
Thailand ─ Pemerintah sub-nasional memiliki kewajiban menyusun laporan
keuangan publik yang signifikan;

─ Pelaksanaan audit eksternal terhambat oleh keterbatasan


kapasitas kelembagaan;

─ Lemahnya audit internal.


Sumber : Dari berbagai sumber Diolah Peneliti, 2019

4.4 Tanggung Jawab Pengelola Desentralisasi

Badan khusus untuk memandu penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia dan Thailand


dibentuk sebagai penguat otonomi daerah serta lini pertimbangan kebijakan kepada kekuasaan yang
lebih tinggi. Indonesia memiliki Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) yang anggotanya
setingkat menteri dan memainkan peran penentu awal kebijakan desentralisasi. Namun, dengan
kerangka hukum dan kelembagaan desentralisasi yang saat ini menjadi landasan, Kementerian Dalam
Negeri memiliki peran dan tanggung jawab terkuat dalam menentukan parameter kebijakan yang luas.
Begitu pula dengan Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) pun menjadi
sentral input urusan-urusan tertentu yang mempengaruhi desentralisasi. Koordinasi administrasi
yang kurang baik antara badan-badan negara dengan urusan masing-masing menyentuh pelaksanaan
desentralisasi tentu menimbulkan kompetisi yang problematis. Sedangkan di Thailand terdapat
Komite Desentralisasi yang berperan sebagai unit strategis pelaksanaan kebijakan desentralisasi.
Anggotanya terdiri dari pejabat pemerintah dan non-pemerintah lokal serta perwakilan pemerintah
pusat. Seperti halnya DPOD, badan negara ini memiliki peran strategis untuk mendesain
desentralisasi, memantau pelaksanaan reformasi, serta memberikan rekomendasi kebijakan
desentralisasi.

Tabel 4.4 Tanggung Jawab Pengelola Desentralisasi

Negara Tanggung Jawab Pengelola Desentralisasi


Indonesia ─ Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) pada awalnya
bertanggung jawab atas kebijakan desentralisasi, namun kemudian
kini lebih didominasi oleh Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Keuangan dan kementerian lainnya;

─ Koordinasi antar kementerian lemah menyebabkan kompetisi


yang problematis.
Thailand ─ Komite Desentralisasi Nasional menjadi badan negara sentral yang
bertugas menyusun, melaksanakan, dan memantau kebijakan
desentralisasi.

Sumber : Dari berbagai sumber Diolah Peneliti, 2019

5. Analisis

- Beberapa negara mengembangkan Desentralisasi Asimetris untuk menjaga kesatuan dari potensi
konflik yang mengancam stabilitas politik (Bermeo, 2002; OECD, 2020). Namun derajat kausalitas
penerapan Desentralisasi Asimetris untuk meminimalisir perkembangan kelompok separatis masih
belum terlihat dengan jelas (Rode, Pitlik & Borrella Mas, 2018).

6. Kesimpulan
REFERENSI

Bermeo, N. (2002), “The Import of Institutions”, Journal of Democracy, Vol. Volume 13/Number 2.

OECD. 2020. Assymetric Decentralization: Trends, Challenges and Policy Implications. OECD Regional

Development Papers No. 10.

REFERENSI

Anda mungkin juga menyukai