Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang
sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak
juga disebut sumber penerimaan negara untuk pembiayaan pemerintah dan
pembangunan di Indonesia. Peran pajak terhadap penerimaan negara dari tahun ke tahun
semakin dominan, terutama sejak penerimaan minyak dan gas bumi tidak mampu lagi
membiayai belanja pemerintah. Semakin besarnya peranan pajak dalam pembangunan
menjadi perhatian semua pihak, karena tingginya pajak menunjukkan kemampuan
kemandirian bangsa dalam membiayai pembangunan dari seluruh komponen bangsa.
Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma- hukum untuk menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.Pajak merupakan
sumber utama pemasukan negara yang dalam penyelenggaraannya dilaksanakan oleh
Direktorat Jendral Pajak. Pajak memberikan manfaat secara tidak langsung bagi
masyarakat,karena kontraprestasi yang akan dikembalikan pada masyarakat adalah
dalam bentuk pembangunan infrasruktur dan fasilitas umum,sehingga pajak tersebut
seharusnya dapat dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat. Selain untuk
membangun infrastruktur dan fasilitas umum, pajak juga dipergunakan untuk membayar
gaji pegawai negeri,pensiunan pegawai negeri,bahkan subsidi yang selama ini dirasakan
oleh masyarakat berasal dari pajak yang dibayarkan. Berbagai macam subsidi yang
dikeluarkan pemerintah diantaranya subsidi BBM, listrik, Bantuan Langsung Tunai
(BLT),Raskin,dan Jamkesmas.Namun pada prakteknya subsidi ini tidak tepat sasaran.
Hal ini tantangan bagi Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi yang menghimpun
penerimaan negara dari pajak. DJP memiliki visi menjadi institusi pemerintah yang
menyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien,dan
dapat dipercaya masyarakat dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi dan
menghimpun pajak negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang mampu
mewujudkan kemandirian pembiayaan Anggaran Pendapatan.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1) Apa pengertian dan unsur-unsur Pajak ?
2) Bagaimana cara pembayaran dan pelaporan Pajak ?
3) Apa syarat-syarat pembayaran dan pelaporan Pajak ?
4) Apa saja fungsi,tujuan dan kegunaan pembayaran dan pelaporan pajak ?
5) Berapa lama jangka waktu pembayaran dan pelaporan Pajak ?
6) Apa sanksi yang diberikan jika wajib pajak belum melakukan pembayaran
dan pelaporan Pajak ?
7) Bagaimana mekanisme pemotongan/pemungutan pajak?
8) Bagaimana jika terjadi kelebihan Pembayaran Pajak ?

1.3. Tujuan Makalah


Tujuan dari penulisan makalah ini ialah :
1) Untuk mengetahui pengertian pajak dan unsur yang didalamnya.
2) Untuk mengetahui cara pembayaran dan pelaporan pajak.
3) Untuk mengetahui syarat dalam pembayaran dan pelaporan pajak.
4) Untuk mengetahui fungsi dan kegunaan pajak.
5) Untuk melihat sejauh mana batas waktu pembayaran.
6) Untuk mengetahui sanksi yang dikenakan dalam pembayaran dan pelaporan
pajak.
7) Untuk memahami mekanisme pemotongan/pemungutan pajak
8) Untuk memahami kelebihan pembayaran pajak.
9) Untuk mengetahui tujuan pembayaran dan pelaporan pajak.
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Teks Book


 Pembayaran Pajak
Dalam sistem self assessment wajib pajak harus menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakan ke
kantor pelayanan pajak atau kantor penyuluhan pajak. Pembayaran pajak dilakukan
dengan menggunakan surat setoran pajak (ssp) dan untuk pelaporan menggunakan
surat pemberitahuan (sp).

 Surat Setoran Pajak


Surat setoran pajak (ssp) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan
untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara
melalui kantor pos dan/ atau bank badan usaha nilik negara atau bank badan usaha
milik negara atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan.

SSP dibagi menjadi menjadi 2 (dua), adalah sebagai beriku t:


 SSP standar adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan atau berfungsi untuk
melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kantor
penerimaaan pembayaran dan digunakan sebagai bukti pembayaran.
 SSP khusus adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak terutang ke kantor
penerimaan pajak yang dicetak oleh kantor penerimaan pembayaran dengan
menggunakan mesin transaksi dan/ atau alat lain yang sesuai dengan yang
ditetapkan dalam keputusan dirjen pajak dan mempunyai fungsi yang sama
dengan SSP standar dalam administrasi perpajakan.

SSP standar dibuat dalam rangkap lima (5) yang peruntukannya sebagai berikut:
Lembar 1 : untuk arsip wajib pajak.
Lembar 2 : untuk kantor pelayanan pajak melalui kantor pembendaharaan dan kas
Negara.
Lembar 3 : untuk dilaporkan wajib pajak ke kantor pelayanan pajak.
Lembar 4 : untuk arsip kantor penerimaan pembayaaran.
Lembar 5 : untuk arsip wajib pungut dan pihak lain sesuai dengan ketentuan
perundangan perpajakan yang berlaku.

SSP khusus dicetak oleh kantor penerimaan pembayaran yang telah mengadakan
kerjasama Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (mp3) dengan dirjan pajak.
Cara pengisian SSP khusus adalah sebagai berikut:
1. NPWP diisi dengan NPWP 11 dihit apabila SSP digunakan untuk melakukan
pembayaran sebelum 31 maret 2001.
2. NPWP baru 15 digit yang diterima oleh wajib pajak sebelum tanggal 1 april 2001
baru digunakan untuk identitas pembayaran pajak sejak 1 april 2001 dengan
menggunakan SSP sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dirjen pajak.
3. NTPP dan/ atau NTB dicantumkan pada ” ruang teraan”

 Surat Pemberitahuan
Surat pemberitahuan (spt) adalah surat yang oleh wajip pajak digunakan untuk
melaporkan perhitungan dan/ atau pembayaran pajak, objek pajak dan/ atau bukan objek
pajak dan/ atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan paraturan perundangan-
undangan perpajakan.

Fungsi surat pemberitahuan :


a. Bagi wajib pajak, surat pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melapor dan
mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang
dan untuk melaporkan tentang :
1. Pembayara atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakkan sendiri dan/ atau
melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) tahun pajak
bagian tahun pajak.
2. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/ atau bukan objek pajak.
3. Harta dan kewajiban.
4. Pembayaran dari pemotongan atau pemungut tentang pemotongan atau
pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) masa, yang
ditentukan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

b. Bagi pengusaha kena pajak fungsi surat pemberitahuan adalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak
pertumbuhan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang sebenarnya
tertuang dan untuk melaporkan tentang :
1. Perkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran.
2. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanaakan sendiri oleh
pengusaha kena pajak dan/ atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak,
yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku.
c. Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi surat pemberitahuan adalah sebagai
sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong
atau dipungut dan setorkan.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Pengertian Pajak


Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang
sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak
dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum atau pajak
merupakan kewajiban kenegaraan dan pengabdian peran aktif warga negara dalam
upaya pembiayaan pembangunan nasional kewajiban perpajakan setiap warga negara
diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan-peraturan pemerintah.
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah
disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan
tata cara perpajakan adalah “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak
mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dari pengertian itu dapat disimpulkan unsur-
unsur yang terdapat dalam pajak ialah :
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksananya;
2. Sifatnya dapat dipaksakan, hal ini berarti bahwa pelanggaran atas iuran
perpajakan dapat dikenakan sanksi;
3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi secara
langsung oleh pemerintah;
4. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun daerah. Pajak
diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukannya masih surplus, dipergunakan untuk membiayai public
investment
3.2. Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak
Pembayaran dan pelaporan Pajak dapat dilakukan dengan menggunakan fasilitas
sisiem pembayaran online, dilaksanakan melalui Teller Bank Persepsi/Devisa Persepsi
online atau menggunakan fasilitas alat transaksi yang disediakan oleh Bank Persepsi/
Devisa Persepsi online.

Cara Pembayaran Melalui Teller Bank


1) Wajib Pajak (WP) mendatangi teller Bank dengan membawa :
a. Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah diisi secara lengkap dan benar atau
data yang lengkap dan benar tentang :
 Nomor Pokok Wajib Pajak.
 Kode Mata Anggaran Penerimaan (MAP) sesuai dengan jenis pajak
yang akan dibayar, sebagaimana diatur dalam Buku Petunjuk
Pengisian SSP.
 Kode Jenis Setoran (KJS) sesuai dengan jenis setoran pajak yang akan
dibayar, sebagaimana diatur dalam Buku Petunjuk Pengisian SSP
(pada kolom pertama tabel MAP yang bersangkutan).
 Nomor ketetapan sebagaimana tercantum dalam SKPKB, SKPKBT,
atau STP yang akan dibayar ( hanya diisi apabila pembayaran
dilakukan untuk melunasi SKPKB, SKPKBT, atau STP).
 Masa Pajak, yang menunjukkan periode kewajiban pajak yang akan
dibayar, misalnya masa Agustus tahun 2002 diisi dengan 08-2002.
Apabila membayar PPh Pasal 29 tahunan, setelah kode jenis setoran
diisi dengan 200 maka bulan dalam masa pajak akan terisi 00 sehingga
WP hanya tinggal mengisi empat digit tahun pajak.
b. Alat pembayaran senilai Pajak yang akan dibayarkan
2) WP menyampaikan SSP yang telah diisi secara lengkap dan benar atau Data
yang lengkap dan benar serta alat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 huruf a dan b diatas kepada Teller Bank Persepsi/Devisa Persepsi
Online.
3) WP menjawab kebenaran identitas WP tentang Nama WP dan Alamat WP.
4) WP menerima Kembali SSP yang telah disahkan dengan tanda tangan
petugas teller dan cap Bank serta diberi Nomor Transaksi Pembayaran Pajak
(NTPP) dan atau Nomor Transaksi Bank (NTB), dan atau SSP yang dicetak
oleh Bank yang telah diberi NTPP dan atau NTB dari Teller.
5) WP memeriksa kebenaran SSP yang diterima dari Teller.
6) WP melaporkan SSP ke KPP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Cara Pembayaran Pajak Menggunakan Fasilitas Alat Transaksi Bank


(misalnya ATM dan Internet Banking)
1) WP mendatangi alat transaksi bank dengan membawa data yang lengkap dan
benar tentang :
 Nomor Pokok Wajib Pajak.
 Kode Mata Anggaran Penerimaan sesuai dengan jenis pajak yang akan
dibayar, sebagaimana diatur dalam Buku Petunjuk Pengisian SSP (pada
keterangan diatas setiap tabel).
 Kode Jenis Setoran sesuai dengan jenis setoran pajak yang dibayar,
sebagaimana diatur dalam Buku Petunjuk Pengisian SSP (pada kolom
pertama tabel MAP yang bersangkutan)
 Nomor ketetapan sebagaimana tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, atau
STP yang akan dibayar (hanya diisi apabila pembayaran digunakan untuk
melunasi SKPKB, SKPKBT, atau STP).
 Masa Pajak, yang menunjukkan periode kewajiban pajak yang akan
dibayar, misalnya masa Agustus tahun 2002 diisi dengan 08-2002.
Apabila membayar PPh Pasal 29 tahunan, setelah kode jenis setoran diisi
dengan 200 maka bulan dalam masa pajak akan terisi 00 sehingga WP
hanya tinggal mengisi empat digit tahun pajak.
2) WP membuka menu Pembayaran Pajak.
3) WP mengisi elemen dalam tampilan dengan data sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 diatas secara tepat, lengkap dan benar.
4) WP meneliti Identitas WP yang terdiri dari nama dan Alamat WP yang
muncul pada tampilan. Apabila Identitas WP yang terdiri dari nama dan
Alamat WP pada tampilan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, maka
proses berikutnya harus dibatalkan dan kembali kepada menu sebelumnya
untuk mengulang pemasukan data yang diperlukan.
5) WP mengisi elemen data lainnya yang diperlukan dalam tampilan berikutnya
secara tepat.
6) WP mengambil SSP hasil keluaran fasilitas alat transaksi Bank.
7) WP memeriksa kebenaran SSP yang diperoleh.
8) WP melaporkan SSP ke KPP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pembayaran Pajak Menggunakan Fasilitas Cash Management Service


(CMS)
Pembayaran melalui CMS dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara
Bank dan nasabah (Wajib Pajak) sepanjang sistem yang menangani jenis
pelayanan ini terhubung secara online dengan Kantor Pusat Direktorat Jenderal
Pajak

3.3. Syarat-Syarat dalam Pembayaran dan Pelaporan Pajak


Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi,
masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka
pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan
berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan yaitu:
a. Pemungutan pajak harus adil
Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk
menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-
undangan maupun adil dalam pelaksanaannya. Contohnya:
1. Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak.
2. Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai
wajib pajak.
3. Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat
ringannya pelanggaran.
b. Pengaturan pajak harus berdasarkan UU
Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: “Pajak dan pungutan
yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
1. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut
harus dijamin kelancarannya.
2. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut
harus dijamin kelancarannya.
3. Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak.
c. Pemungutan pajak tidak mengganggu perekonomian
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak
mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan,
maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan
masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama
masyarakat kecil dan menengah.
d. Pemungutan pajak harus efisien
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus
diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya
pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus
sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak
akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan
maupun dari segi waktu
e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam
pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam
menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat
positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran
pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin
enggan membayar pajak. Contoh :
1. Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.
2. Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%.
3. Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan
disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan
maupun perseorangan (pribadi).

3.4. Fungsi, Tujuan, dan Manfaat Pembayaran dan Pelaporan Pajak

A. Fungsi
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara,
khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber
pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran
pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi,
yaitu:
 Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara
dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya.Biaya ini dapat
diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan
rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya.
Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah,
yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan
pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan
pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan
dari sektor pajak.
 Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan
pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik
dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan
pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan
bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
 Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan
kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasidapat
dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran
uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan
efisien.
 Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai
semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan
sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat.

B. Manfaat
Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau
keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-
pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak,
sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang
pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai
proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan,
sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang
yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam
rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga
negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas
atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal
dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu
negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan
pembiayaan pembangunan. Secara singkat pajak dimanfaatkan untuk mendanai :
 Pembangunan fasilitas dan infrastruktur
 Pembangunan fasilitas dan infrastruktur
 Alokasi Dana Umum
 Pemilihan Umum ( PEMILU)
 Penegakan hukum
 Subsidi pangan dan BBM
 Pelayanan Kesehatan
 Pendidikan
 Pertahanan dan Keamanan
 Kelestarian lingkungan hidup
 Kelestarian budaya
 Transportasi massal

3.5. Batas Waktu Pembayaran dan Pelaporan Pajak


Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010, batas
waktu penyetoran dan pelaporan pajak diatur sebagai berikut :

Penyetoran Pajak
1. PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus
disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
2. PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus disetor
paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
3. PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
4. PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri harus disetor paling lama tanggal 15
(lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
5. PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
6. PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor
paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
7. PPh Pasal 25 harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
8. PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi bersamaan
dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau
dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi
pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.
9. PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang dipungut oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu)
hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak.
10. PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara harus disetor pada hari yang sama
dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari
belanja Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara.
11. PPh Pasal 22 atas penyerahan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada
penyalur/agen atau industri yang dipungut oleh Wajib Pajak badan yang bergerak
dalam bidang produksi bahan bakar minyak, gas, dan pelumas, harus disetor
paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
12. PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu
sebagai Pemungut Pajak harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
13. PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri harus disetor oleh orang
pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri paling lama
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(13a) PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan
atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus disetor oleh orang pribadi
atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 (lima belas)
bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
14. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara
Pengeluaran sebagai Pemungut PPN, harus disetor paling lama tanggal 7
(tujuh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
(14a) PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat
Penandatangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN, harus
disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada
Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara.
15. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut
PPN selain Bendahara Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lama
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
16. PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa
Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling lama
pada akhir Masa Pajak terakhir.
17. Pembayaran masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP
yang melaporkan beberapa masa pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa,
harus dibayar paling lama sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing
jenis pajak.
Pelaporan Pajak
1. Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran pajak
sendiri maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut PPh,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat
(5), ayat (6), ayat (7), ayat (11), dan ayat (12) wajib menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
(1a) Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah
disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (13) dan ayat (13a), serta Pasal
2A, dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPN ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan, paling lama akhir bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(1b) Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan
Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (13) dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke Kantor
Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat bangunan tersebut, paling
lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(1c) Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan
Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (13a) dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke Kantor
Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau
tempat kedudukan badan tersebut, paling lama akhir bulan berikutnya setelah
saat terutangnya pajak.
2. Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (9) wajib
melaporkan hasil pemungutannya secara mingguan paling lama pada hari kerja
terakhir minggu berikutnya.
3. Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (10) wajib
melaporkan hasil pemungutannya paling lama 14 (empat belas) hari setelah Masa
Pajak berakhir.
(3a) Pemungut PPN wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah disetor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (14) dan ayat (15) ke Kantor
Pelayanan Pajak tempat Pemungut PPN terdaftar paling lama akhir bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
4. Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(16) dan ayat (17) yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat
Pemberitahuan Masa, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling
lama 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir.

3.6. Sanksi yang diberikan jika Wajib Pajak belum Melakukan Pembayaran
dan Pelaporan Pajak
Pengetahuan tentang sanksi dalam perpajakan menjadi penting karena
pemerintah lndonesia memilih menerapkan self assessment system dalam rangka
pelaksanaan pemungutan pajak. Berdasarkan sistem ini, Wajib Pajak diberikan
kepercayaan untuk menghitung menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Untuk
dapat menjalankannya dengan baik, maka setiap Wajib Pajak memerlukan pengetahuan
pajak, baik dari segi peraturan maupun teknis administrasinya. Agar pelaksanaannya
dapat tertib dan sesuai dengan target yang diharapkan, pemerintah telah menyiapkan
rambu-rambu yang diatur dalam UU Perpajakan yang berlaku.
Dari sudut pandang yuridis, pajak memang mengandung unsur pemaksaan.
Artinya, jika kewaiiban perpajakan tidak dilaksanakan, maka ada konsekuensi hukum
yang bisa terjadi. Konsekuensi hukum tersebut adalah pengenaan sanksi-sanksi
perpajakan.
Pada hakikatnya, pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan untuk menciptakan
kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Itulah sebabnya,
penting bagi Wajib pajak memahami sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui
konsekuensi hukum dari apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan. Untuk dapat
memberikan gambaran mengenai hal-hal apa saja yang perlu dihindari agar tidak dikenai
sanksi perpajakan, di bawah ini akan diuraikan tentang jenis-jenis sanksi perpajakan dan
perihal pengenaannya. Ada 2 macam Sanksi perpajakan, yaitu:
1. Sanksi Administras
Terdiri dari :
a. Sanksi Administrasi berupa Denda
Sanksi denda adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan dalam
UU perpajakan. Terkait besarannya denda dapat ditetapkan sebesar jumlah
tertentu, persentase dari jumlah tertentu, atau suatu angka perkalian dari
jumlah tertentu.
Pada sejumlah pelanggaran, sanksi denda ini akan ditambah dengan
sanksi pidana. Pelanggaran yang juga dikenai sanksi pidana ini adalah
pelanggaran yang sifatnya alpa atau disengaja. Untuk mengetahui lebih
laniut, dalam tabel 1 dimuat hal-hal yang dapat menyebabkan sanksi
administrasi berupa denda, bentuk pengenaan denda, dan besarnya denda.
b. Sanksi Administrasi berupa Bunga
Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan atas pelanggaran yang
menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar. Jumlah bunga dihitung
berdasarkan persentase tertentu dari suatu jumlah, mulai dari saat bunga itu
menjadi hak/kewajiban sampai dengan saat diterima dibayarkan.
Terdapat beberapa perbedaan dalam menghitung bunga utang biasa
dengan bunga utang paiak. Penghitungan bunga utang pada umumnya
menerapkan bunga majemuk (bunga berbunga). Sementara, sanksi bunga
dalam ketentuan pajak tidak dihitung berdasarkan bunga majemuk.
Besarnya bunga akan dihitung secara tetap dari pokok pajak yang
tidak/kurang dibayar. Tetapi, dalam hal Waiib Paiak hanya membayar
sebagian atau tidak membayar sanksi bunga yang terdapat dalam surat
ketetapan pajak yang telah diterbitkan, maka sanksi bunga tersebut dapat
ditagih kembali dengan disertai bunga lagi.
c. Sanksi Administrasi berupa Kenaikan
Jika melihat bentuknya, bisa jadi sanksi administrasi berupa kenaikan
adalah sanksi yang paling ditakuti oleh wajib Pajak. Hal ini karena bila
dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak yang harus dibayar bisa menjadi
berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada dasarnya dihitung dengan
angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak kurang dibayar.
Jika dilihat dari penyebabnya, sanksi kenaikan biasanya dikenakan karena
Wajib Pajak tidak memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam
menghitung jumlah pajak terutang. Untuk lebih jelasnya, hal-hal yang dapat
menyebabkan sanksi berupa kenaikan dan besarnya kenaikan dapat dilihat
dalam tabel 3.

2. Sanksi Pidana
Kita sering mendengar isilah sanksi pidana dalam peradilan umum.
Dalam perpajakan pun dikenai adanya sanksi pidana. UU KUP menyatakan
bahwa pada dasarnya, pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Namun, pemerintah masih memberikan keringanan dalam pemberlakuan
sanksi pidana dalam pajak, yaitu bagi Wajib Pajak yang baru pertama kali
melanggar ketentuan Pasal 38 UU KUB tidak dikenai sanksi pidana, tetapi
dikenai sanksi administrasi. Pelanggaran Pasal 38 UU KUP adalah tidak
menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Hukum pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dan tindak
kejahatan. Sehubungan dengan itu, di bidang perpajakan, tindak pelanggaran
disebut dengan kealpaan, yaitu tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang
mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara. Sedangkan tindak kejahatan adalah tindakan dengan sengaja
tidak mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian
pada pendapatan negara.
Meski dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tindak
pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah jangka waktu 10
(sepuluh) tahun terlampaui.Jangka waktu ini dihitung sejak saat terutangnya
pajak, berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya
tahun pajak yang bersangkutan. Penetapan jangka waktu 10 (sepuluh) tahun ini
disesuaikan dengan daluarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang
dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terutang, yaitu selama 10
(sepuluh) tahun.
Dalam UU Perpajakan Indonesia, ketentuan mengenai sanksi pidana pada
intinya diatur dalam Bab VIII UU KUP sebagai hukum pajak format. Namun,
dalam UU Perpajakan lainnya, dapat juga diatur sanksi pidana. Sanksi pidana
biasanya disertai dengan sanksi administrasi berupa denda, walaupun tidak selalu
ada.

3.7. Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak


Pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) terjadi apabila jumlah
kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan
catatan Wajib Pajak tidak punya hutang pajak lain.
A. Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Dalam hal jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari
pada jumlah pajak yang terutang :
a. Wajib Pajak (WP) dapat mengajukan permohonan restitusi ke Direktur
Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat WP terdaftar
atau berdomisili.
b. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

Dalam hal pembayaran pajak yang seharusnya tidak terhutang :


Pajak yang yang seharusnya tidak terutang adalah pajak yang telah dibayar oleh
WP yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau kesalahan
pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau
dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut
berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan atau bukan merupakan
objek pajak.
a. Wajib Pajak (WP orang pribadi dan badan termasuk orang pribadi yang
belum memiliki NPWP) dapat mengajukan permohonan restitusi ke kantor
Direktur Jenderal Pajak melalui KPP tempat WP terdaftar atau berdomisili,
apabila terjadi kesalahan pembayaran pajak atas pajak yang seharusnya tidak
terutang. Surat permohonan harus melampirkan:
 Asli bukti pembayaran pajak
 Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang
 Alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang
b. WP yang dipotong atau dipungut (PPh, PPN dan PPnBM) dapat mengajukan
permohonan restitusi ke kantor Direktur Jenderal Pajak melalui KPP tempat
WP yang dipotong atau yang dipungut terdaftar atau melalui KPP tempat
Pengusaha Kena Pajak yang dipungut dikukuhkan dengan catatan PPh dan
PPN serta PPnBM yang dipotong atau dipungut belum dikreditkan atau
dibiayakan. Surat permohonan harus melampirkan:
 Asli bukti pemotongan/pemungutan pajak.
 Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang, dan.
 Alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang.

B. Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak Kepada Wajib Pajak yang
Memenuhi Persyaratan Tertentu
Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu yang dapat diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah :
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
dengan jumlah peredaran usaha yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh
kurang dari Rp1.800.000.000,00 (satu milyar delapan ratus juta rupiah) dan
jumlah lebih bayarnya kurang dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau
paling banyak 0,5% (setengah persen) dari jumlah peredaran usaha yang
tercantum dalam SPT Tahunan PPh tersebut;
c. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha yang tercantum dalam
SPT Tahunan PPh paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)
dan jumlah lebih bayarnya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah); atau
d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan untuk suatu Masa Pajak paling
banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan jumlah lebih
bayarnya paling banyak Rp 28.000.000,00 (dua puluh delapan juta rupiah).

Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib


Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, Kepala KPP melakukan penelitian
atas :
1. Kelengkapan SPT dan lampiran-lampirannya;
2. Kebenaran penulisan dan penghitungan pajak;
3. Kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh WP; dan
4. Kebenaran alamat yang tercantum dalam SPT tersebut atau dalam SPT
perubahan alamat. Dan menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak
permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan dan paling
lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk
Pajak Pertambahan Nilai. Dalam hal hasil penelitian menyatakan tidak
lebih bayar, lampiran SPT tidak lengkap, pembayaran pajak tidak benar,
atau alamat tidak sesuai dengan yang tercantum dalam SPT atau dengan
pemberitahuan perubahan alamat sehingga Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak tidak diterbitkan, maka
Kepala KPP harus memberitahu secara tertulis kepada WP.

3.8. Pemotongan / Pemungutan Pajak


Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan
yang dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak
ketiga. Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh
Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPN dan PPn BM.
Adapun definisi dari masing-masing pajak penghasilan tersebut adalah sebagai
berikut :
 PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ke-3
sehubungan dengan penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi
dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan
(seperti gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh perusahaan dimana dia
bekerja).
 PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ke-3
sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, impor barang dan
kegiatan usaha di bidang-bidang tertentu (seperti penyerahan barang oleh
rekanan kepada bendaharawan pemerintah).
 PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ke-3
sehubungan dengan penghasilan tertentu seperti : deviden, bunga, royalty, sewa,
dan jasa yang diterima oleh WP badan dalam negeri, dan BUT.
 PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ke-3
sehubungan denan penghasilan yang diterima oleh WP luar negeri.
 PPh Final (Pasal 4 ayat (2) Ada beberapa penghasilan yang dikenakan PPh
Final. Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh
pihak ketiga atau dibayar sendiri tidak dapat dikreditkan (bukan pembayaran di
muka) terhadap utang pajak pada akhir tahun dalam penghitungan pajak
penghasilan pada SPT Tahunan. Beberapa contoh penghasilan yang dikenakan
PPh final : bunga deposito, penjualan tanah dan bangunan, persewaan tanah dan
bangunan, hadiah undian, bunga obligasi dsb.
 PPh Pasal 15 adalah pemotongan pajak penghasilan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak tertentu yang menggunakan norma penghitungan khusus, antara lain
perusahaan pelayaran atau penerbangan international, perushaan asuransi luar
negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang
asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun guna serah.
Seperti halnya PPh Pasal 25, pemotongan/pemungutan tersebut merupakan
angsuran pajak. Untuk PPh dikreditkan pada akhir tahun, sedangkan PPN
dikreditkan pada masa diberlakukannya pemungutan dengan mekanisme Pajak
Keluaran (PK) dan Pajak Masukan (PM).
Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh DJP untuk melakukan
pemotongan/pemungutan tidak melakukan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, maka dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% dan
kenaikan 100%.

Perbedaan antara Pemotongan dengan Pemungutan Pajak

No. Perbedaan Pemotongan Pemungutan


1. Dari sisi jenis Digunakan untuk PPh 21 Digunakan untuk PPh 22
pajak (Pemotongan atas penghasilan (pemungutan atas penjualan ke
berupa gaji, honorarium), PPh bendaharawan APBN/D, impor,
23 (Pemotongan atas dll) dan untuk PPN
penghasilan berupa hasil
imbalan jasa, royalti, dividen,
dll), dan juga PPh 26
(Pemotongan atas penghasilan
bagi WP Luar Negeri).
2. Dari sisi Pemotongan pajak pada Pemungutan pada umumnya
objek umumnya dikenakan atas dikenakan atas sesuatu yang
penghasilan yang memang belum tentu penghasilan bagi
akan menjadi penghasilan bagi penerima uang, karena objek
si penerima. contoh : gaji, pemungutan bisa jadi berupa
imbalan jasa, dan divide Penjualan, bisa juga berupa
Pembelian, cth : PPh 22 atas
impor barang, PPh 22 atas
pembelian BBM
3. Dari sisi Pemotong pajak pada Pemungut pajak sifatnya lebih
subjek umumnya tidak spesifik, yaitu spesifik, karena ditunjuk oleh
(eksekutor) pemberi kerja, bendaharawan Menkeu, yaitu Bendaharawan
pemerintah atas gaji, dan pemerintah, Badan tertentu,
penyelenggara kegiatan. DJBC, dll (PER 57/2010)
4. Dari sisi Kolom NPWP pada saat Kolom NPWP pada saat
Pengisian pengisian SSP diisi dengan pengisian SSP diisi dengan
SSP NPWP Pemotong Pajak. Hal NPWP Pihak yang dipungut.
ini penting agar dapat
dilakukan ekualisasi antara
biaya yang telah dikeluarkan
oleh pemotong dengan pajak
yang telah dipotong karena
kewajiban pemotongan dan
penyetoran telah dilimpahkan
pada pemotong pajak.
SUMBER REFERENSI

Moh.Zain dan Kustandi Arinti, 1990, Pembaharuan perpajakan nasional, citra Aditya
Bakti. Bandung.

Santoso Broto Diharjo, 1991, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Revisi, Erosco.
Bandung.

www.setiawatiita.blogspot.com/2012/05/manfaat-pajak-bagi-perekonomian.html

www.pajak.net/blog/2012/02/03/batas-waktu-pembayaran-dan-pelaporan-pajak/

www.pajak.go.id/dmdocument/manfaat%20pajak.pdf

http://konsultanpajak-aaa.com/mengenal-sanksi-pajak.htm

http://www.pajak.go.id/content/seri-kup-pengembalian-kelebihan-pembayaran-pajak

http://daholi4tengku.wordpress.com/2011/02/10/perbedaan-pemotongan-dan-
pemungutan-pajak/

Anda mungkin juga menyukai