Keracunan Oksigen
Keracunan Oksigen
KERACUNAN OKSIGEN
Oleh :
I1A009052
Pembimbing :
BANJARMASIN
Desember, 2013
BAB I
PENDAHULUAN
kecukupan pasokan oksigen ke jaringan atau sel.1 Oksigen adalah bagian dari
udara terpeting kedua yaitu sebanyak 20,93% setelah nitrogen (78,10%). Oksigen
memiliki fungsi yang sangat penting untuk kehidupan. Priestly, penemu yang
pertama kali mengenali oksigen, termasuk juga yang pertama kali mengemukakan
adanya efek samping pada pemberian “udara murni”. 2 Keracunan oksigen pada
pasien sakit kritis masih kontroversial namun demikian pada kondisi tertentu
ISI
TOKSIKOLOGI
Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber, sifat serta khasiat racun,
pada korban yang meninggal. Toksikologi merupakan ilmu yang sangat luas
yang mencakup berbagai disiplin ilmu yang sudah ada seperti ilmu kimia,
ini terus berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu lainnya, dan ini
singkat dan tepat mengenai Toksikologi. Sebagai contoh, menurut Ahli Kimia
mekanisme kerja yang merugikan dari agen-agen Kimia terhadap binatang dan
Farmakologi yang berhubungan dengan efek samping zat kimia didalam sistem
Racun ialah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik
mengakibatkan kematian.4
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERACUNAN
1. Cara masuk
intraperitoneal, subkutan, peroral dan paling lambat ialah melalui kulit yang
sehat.
2. Umur
Orang tua dan anak-anak lebih sensitif misalnya pada barbiturat. Bayi
prematur lebih rentan terhadap obat oleh karena eksresi melalui ginjal
3. Kondisi tubuh
Pada penderita demam dan penyakit lambung absorbsi jadi lebih lambat.
4. Kebiasaan
Pengaruh langsung racun tergantung pada takaran, makin tingi takaran maka
jaringan dan organ. Toksisitas oksigen terjadi saat tekanan parsial oksigen di
alveolar (PaO2) meningkat. Keadaan terjadinya paparan secara terus menerus pada
Pada kondisi hiperoksi yang patologis terjadi influks besar-besaran dari oksigen
paparan, tekanan atmosfer, dan fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO 2) menentukan
Oksigen akan menjadi zat beracun di paru jika dihirup dengan FiO2 yang
tinggi, yaitu >0,60 dalam waktu yang lama (≥24 jam) pada tekanan barometrik
normal, yaitu 1 atm (atmospheres absolute (ATA)). Tipe paparan ini disebut
Smith. Paparan oksigen setelah hampir 12 jam akan berakibat terjadinya kongesti
jalan napas, edem paru, dan atelektasis yang disebabkan oleh kerusakan dinding
bronkus dan alveolus. Terbentuknya cairan di paru menyebabkan sesak dan rasa
terbakar pada tenggorokan dan dada, sehingga akan terasa sakit saat menarik
napas. Penyebab terjadinya efek ini pada paru, namun tidak pada jaringan lain
adalah karena ruangan udara paru-lah yang terpapar langsung oleh oksigen
bertekanan tinggi tersebut. Oksigen diantarkan ke jaringan tubuh lain dengan
Toksisitas juga terjadi saat tekanan atmosfer tinggi (1,6 – 4 atm) dan
lamanya paparan dengan FiO2 tinggi hanya sebentar. Tipe paparan ini disebut
keracunan oksigen tekanan tinggi atau efek Paul Bert dan efek utamanya adalah
pada sistem saraf pusat (SSP). Toksisitas pada SSP menyebabkan terjadinya
kejang yang diikuti dengan koma pada hampir seluruh korban dalam waktu 30
hingga 60 menit. Kejang sering terjadi tanpa didahului gejala sebelumnya dan
cenderung mematikan. Gejala lain termasuk nausea, twitching otot, rasa berputar,
lebih sering mengalami toksisitas SSP adalah pada kasus penyelam. Endotel
kapiler paru dan sel epitel alveolar adalah target dari ROS yang berakibat pada
edem paru yang diakibatkan oleh cedera sel, perdarahan, dan deposit kolagen,
elastin, dan membran hyalin. Di atas PaO2 kritis, terjadi kegagalan mekanisme
buffer hemoglobin-O2 dan PO2 jaringan dapat meningkat hingga ratusan atau
ribuan mmHg. Pada O2 kadar tinggi, sistem enzim antioksidan endogen yang
kematian sel.5
Sumber: Sawatzky D. Oxygen toxicity – signs and symptoms. Sport Diving Medicine 2012; 12:
55.
Seperti terlihat pada diagram, efek toksik dari tekanan parsial oksigen antara
0,5 – 1,6 atm akan mengenai paru, sedangkan efek toksik pada tekanan parsial
cedera terjadi tumpang tindih sesuai dengan keparahan dan reversibilitas cedera.
Fase tersebut adalah inisiasi, inflamasi, proliferasi, dan fibrosis. Diawali dengan
peningkatan ROS dan kekurangan kadar antioksidan, kemudian paru akan gagal
membersihkan mukus yang ada. Fase inflamasi atau fase eksudatif memiliki
karakteristik adanya destruksi dari dinding paru dan migrasi leukosit dan mediator
inflamasi lain ke tempat cedera. Fase proliferasi merupakan fase subakut dan
terjadi hipertrofi sel, peningkatan sekresi dari sel alveolar tipe 2 yang mensekresi
surfaktan dan peningkatan monosit. Fase akhir adalah fase fibrotik dimana terjadi
perubahan yang telah ireversibel dan permanen. Terjadi deposisi kolagen dan
penebalan ruang interstisial paru dan terjadi fibrosis jaringan. Secara klinis,
gejala klinis yang terlihat jelas. Biopsi spesimen paru dapat memperlihatkan
perubahan konsisten dengan toksisitas O2, namun nilai primer biopsi adalah untuk
bersamaan dengan tertutupnya kavitas paru dan cedera yang berkaitan dengan
ventilator juga dapat menyertainya dan sulit dibedakan dengan toksisitas paru itu
sendiri. Keracunan oksigen dapat diminimalisir dengan menjaga PaO2 kurang dari
telah dapat dijelaskan. Secara anatomis, permukaan epitel paru mudah terpapar
respon inflamasi yang bersifat detruktif. Proses inflamasi ini merusak barrier
kapiler alveolar yang akan mengakibatkan gangguan pertukaran udara dan edem
paru. ROS merangsang sekresi kemoatraktan oleh sel paru dan sitokin
menstimulasi pergerakan dan akumulasi makrofag dan monosit menuju paru, yang
Cedera paru akut atau sindrom distress napas akut (acute respiratory
Perubahan patologis yang berkaitan dengan cedera paru akut akibat hiperoksik
mirip dengan cedera paru akut yang disebabkan oleh penyebab-penyebab lain
paraquat.5
Sindrom cedera paru akut biasanya mulai terlihat dalam 24 hingga 48 jam
setelah adanya paparan. Awalnya pasien akan merasakan sesak, batuk, nyeri dada,
takipnea, takikardi, penggunaan otot bantu napas, sianosis, kulit mottled, dan
Menurut tahapannya, tanda awal dari keracunan oksigen pada paru diawali
dengan iritasi pada trakea yang akan semkain memberat saat menarik napas
dalam-dalam. Pasien akan mulai batuk, yang jika iritasi makin berat maka akan
membuat nyeri saat menarik napas dan batuk menjadi tidak terkendali. Jika
paparan terus berlanjut, pasien akan merasakan sesak, kesulitan bernapas, hingga
gagal napas dan terjadi kematian. Kerusakan paru yang progresif ini tidak
oksigen 1 atm selama 12 hingga 16 jam, 1,5 atm selama 8 hingga 14 jam, dan 2
atm selama 3 hingga 6 jam sebelum pada akhirnya muncul gejala keracunan
ringan.5
Ada beberapa hal cara untuk mendeteksi terjadinya keracunan oksigen pada
paru dan cara yang paling sensitif dan akurat adalah melihat gejala pada
Kapasitas vital (banyaknya udara yang dapat masuk saat menarik napas
10% pada gejala yang berat. Efek ringan ini cenderung reversibel dan tidak ada
kerusakan paru yang permanen. Bagaimanapun juga, jika telah terjadi kerusakan
Pada penyelam, tanda pertama dari keracunan oksigen pada SSP adalah
terjadinya kejang tipe grand mal. Ada banyak gejala dan tanda keracunan oksigen
namun tidak ada yang bisa memprediksikan akan terjadinya kejang. Bahkan
gambaran EEG tampak normal sampai mulai terjadinya kejang. Kejang pada
karena tubuh berada pada kondisi surplus oksigen. Namun jika kejang terjadi saat
Pada analisa gas darah dapat terlihat perburukan kondisi hipoksemia yang
dapat berujung pada gagal napas. Pada rontgen dada dapat terlihat adanya infiltrat
bilateral dengan adanya edem paru namun tanpa adanya gambaran jantung yang
dengan pengobatan suportif.5 Karena pengobatan pada kasus ini lebih pada
hiperoksik secara dini lah yang lebih penting. Namun harus diingat juga bahwa
dimulai justru akan memunculkan efek oxygen off dan memperburuk kondisi.
maksimal yang dapat diterima adalah 10%. Komplians paru yang dinamis serta
Tidak ada obat yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya kejang
pada keracunan oksigen pada SSP. Pada percobaan dengan hewan, kejang dapat
dicegah dengan obat namun kerusakan sel otak akibat kejang yang berkelanjutan
masih akan ada. Cara paling efektif untuk menurunkan resiko keracunan oksigen
pada SSP adalah dengan membatasi tekanan oksigen yang diberikan, membatasi
penyelaman.6
dapat diberikan sebagai pencegahan pada bayi dengan resiko keracunan oksigen,
mengingat mekanisme keracunan ini didasarkan pada ROS sebagai radikal bebas.
Dosis yang direkomendasikan adalah, vitamin E 100mg/kgBB/hari selama 4 – 6
minggu.2
adrenergik.2
PENGGUNAAN OKSIGEN
memperbaiki keadaan hpoksia. Namun jika tidak terjadi hal demikian maka PEEP
tidak diperlukan pada pasien.Pada kondisi akut dengan hipoksia berat, konsentrasi
Terapi oksigen harus diberikan terus menerus sampai pasien pulih dan tidak
turunnya tekanan oksigen alveolar. Dosis oksigen harus dihitung cermat. Tekanan
parsial oksigen dapat diukur dalam darah arteri. Saturasi hemoglobin dalam darah
arteri tidak harus 100%. PO2 arteri 60mmHg dapat memberikan saturasi 90%,
tetapi jika ada asidosis, PaO2 lebih dari 80mmHg diperlukan. Pada pasien
dengan gagal napas dengan anemia harus diperbaiki dengan memperbaiki kadar
Dalam keadaan normal, tidak ada manfaat meningkatkan PaO 2 lebih besar dari
frekuensi pernapasan, warna kulit, dan oxymetri berada dalam kisaran normal.
mengevaluasi kembali parameter klinis dan PaO 2 secara berkala. Pasien dengan
PROGNOSIS
hingga 75% dan terjadi pada 86 dari 100.000 pasien per tahun.2
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
hipoksemia pada berbagai kondisi klinis. Namun oksigen itu sendiri dapat
menjadi trigger terjadinya cedera paru akut jika tidak diberikan pada konsentrasi
dan durasi yang sesuai. Paru merupakan organ yang rawan terjadinya cedera yang
diakibatkan oleh oksidan, yang diawalo oleh sinyal protein hingga ke respon
selular. Hal ini berakibat pada ruskanya epitel dan kapiler alveolar. Kemudian
lainnya dapat menyebabkan efek toksik biasanya pada SSP dan paru. Terapi yang
dapat diberikan berupa terapi suportif namun pencegahan dan deteksi dini